ABSES SEREBRI
PEMBIMBING :
dr. Dina Siti Daliyanti, Sp.A
PENYUSUN :
Ratika Yos Widya
030.09.192
Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Bekasi
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan atas segala nikmat, rahmat, dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Abses Serebri”
dengan baik dan tepat waktu.
Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di RSUD Bekasi Periode 27 Februari – 06 Mei
2017. Di samping itu, laporan kasus ini ditujukan untuk menambah pengetahuan bagi kita semua
tentang Abses Serebri.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar–besarnya kepada
dr. Dina Siti Daliyanti, Sp.A selaku pembimbing dalam penyusunan laporan kasus ini, serta kepada
dokter–dokter pembimbing lain yang telah membimbing penulis selama di Kepaniteraan Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Bekasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan–rekan
anggota Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi serta berbagai pihak yang telah
memberi dukungan dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari
kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun saran yang
membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih yang sebesar–besarnya, semoga tugas ini
dapat memberikan tambahan informasi bagi kita semua.
Abses otak adalah suatu proses infeksi dengan pernanahan yang terlokalisir
diantara jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri, fungus dan
protozoa. Abses serebri/ abses otak pada anak jarang ditemukan dan di Indonesia juga
kelainan jantung bawaan sianotik. Mikroorganisme penyebab abses otak meliputi bakteri,
jamur dan parasit tertentu. Mikroorganisme tersebut mencapai substansia otak melalui
aliran darah, perluasan infeksi sekitar otak, luka tembus trauma kepala dan kelainan
telah mengalami kemajuan, namun rate kematian penyakit abses otak tetap masih tinggi
yaitu sekitar 10-60% atau rata-rata 40%.1 Penyakit ini sudah jarang dijumpai terutama di
negara-negara maju, namun karena resiko kematiiannya tinggi, abses otak termasuk
infection’’).2
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Data Pasien Ayah Ibu
Nama An. D Tn. E Ny. W
Umur 11 tahun 45 tahun 36 tahun
Jenis Kelamin Laki-Laki Laki-laki Perempuan
Alamat Jalan Ampera Duren Jaya, Kota Bekasi
Agama Islam Islam Islam
Suku bangsa Sunda
Pendidikan SD SMP SD
Pekerjaan Siswa Serabutan -
Penghasilan - - -
Keterangan Hubungan dengan
orang tua : Anak
Kandung
Tanggal Masuk RS 07 Maret 2017
II. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis kepada bapak pasien pada tanggal 10 Maret 2017 pukul 11.00 di bangsal
Melati RSUD Bekasi
a. Keluhan Utama :
Kejang sebanyak satu kali ± 1 jam SMRS
b. Keluhan Tambahan :
Nyeri kepala
c. Penyakit Sekarang :
Pasien dibawa ke IGD RSUD Bekasi pada tengah malam hari Selasa tanggal 07 Maret
2017 oleh ayahnya dengan keluhan kejang sebanyak satu kali ± 1 jam SMRS. Pasien mengalami
kejang selama kurang lebih 3 menit, saat kejang pasien tidak sadar, mata mendelik ke atas, dari
mulut keluar busa, dan seluruh tubuh kaku. Beberapa saat sesudah kejang, pasien sadar, kemudian
ayahnya langsung membawa ke IGD RSUD Bekasi. Demam juga dialami pasien sejak 2 hari
SMRS, namun demam tidak tinggi. Pasien juga merasakan nyeri kepala yang hebat, namun tidak
disertai dengan mual dan muntah. Buang air kecil dan buang air besar dalam batas normal.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mempunyai riwayat pernah di rawat di Rumah Sakit Bella, dengan keluhan nyeri
kepala hebat, yang sebelumnya diawali dengan demam tinggi, demam dirasakan terus menerus.
Pasien juga mengalami muntah yang menyembur sebanyak satu kali, yang berisi makanan. Pasien
tidak mempunyai riwayat kejang sebelumnya. Kemudian pasien di rujuk ke RSUD Bekasi, dan
pasien di diagnosis Abses Serebri, kemudian pasien menjalani operasi.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Di dalam keluarga pasien tidak ada yang mengalami penyakit yang sama seperti pasien.
Namun ayah pasien mengatakan, ibu dan kakak pertama pada pasien pernah mempunyai penyakit
flek (TB paru).
f. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
0-2 +
2-4 +
4-6 +/+
6-7 -/- - - -
8-10 -/- - - -
10-12 -/- - - -
Kesan : Pasien mendapat ASI eksklusif hanya sampai usia 4 bulan, selanjutnya pasien
mendapatkan tambahan susu formula.
i. Riwayat Imunisasi
Ayah pasien mengatakan pasien mendapatkan imunisasi lengkap.
j. Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Perkawinan ke 1 1
Orientasi :-
Refleks Fisiologis
Bisep +2 +2
Trisep +2 +2
Patela +2 +2
Achiles +2 +2
Refleks Patologis
Hoffman Trommer - -
Babinski - -
Chaddock - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Openheim - -
Klonus patella - -
Klonus achilles - -
Kaku kuduk :+
Brudzinski I : -/-
Brudzinski II : -/-
Kernig : -/-
Laseq : -/-
Hematokrit 37.2 40 – 54
Leukosit 15.4 5 – 10
Clorida 90 94 – 111
b. Pemeriksaan CT Scan Kepala tanggal 10/03/17
V. RESUME
Pasien dibawa ke IGD RSUD Bekasi pada dini hari tanggal 07 Maret 2017 oleh ayahnya dengan
keluhan kejang sebanyak satu kali ± 1 jam SMRS, dengan durasi kejang selama kurang lebih 3 menit, saat
kejang pasien tidak sadar, mata mendelik ke atas, dari mulut keluar busa, dan seluruh tubuh kaku. Beberapa
saat sesudah kejang pasien sadar, kemudian ayahnya langsung membawa ke IGD. Demam juga dirasakan
pasien sejak 2 hari SMRS, namun demam tidak tinggi. Pasien juga merasakan nyeri kepala yang hebat,
namun tidak disertai dengan mual dan muntah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien somnolen, tanda vital ditemukan RR meningkat
20x/menit, HR meningkat 98x/menit dan suhu didapatkan 37.1 C. Status gizi pasien menurut CDC BB/TB
adalah gizi kurang. Pada pasien ditemukan adanya secret yang keluar dari telinga, dan leher terasa keras
seperti papan. Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kaku kuduk.
Pada pemeriksaan laboratorium hari pertama pasien masuk rumah sakit ditemukan hematokrit
menurun 37,2% dari nilai normal 40-54% dan leukosit juga meningkat 15,4 dari nilai normal 5-10 ribu/uL.
IX. PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa
- IVFD KaEN 3A 12 tpm (Dosis ≥3 tahun dan BB ≥ 15 kg 50-100 mL/jam)
- IV Phenobarbital (Sibital) 2x60 mg
- IV Antibiotik (Meropenem) 2x1 gr
- Paracetamol 3x250 mg
- Dexametason 3x5 mg
- Ranitidin (Rantin) 2x1/2 ampul
- Metronidazole 3x500 mg selama 7-10 hari
b. Non medikamentosa
- Edukasi kepada orang tua pasien tentang penyakit dan pengobatan yang diberikan
- Konsul Spesialis THT
- Telinga dihindari dari masuknya air
X. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
XI. FOLLOW UP
Tanggal S O A P
11/03/17 Nyeri kepala (+) KU: Somnolen, tampak sakit Abses -IVFD KA EN 3A 12tpm
Pusing (+) berat Serebri
Demam (-) -Meropenem 2x1 gr
Keluar cairan dan Nadi = 102x /menit OMSK
darah dari telinga -Sibital 2x50 mg
kiri (+) RR = 22x /menit
Muntah (-) -Dexamethasone 3x5 mg
Suhu = 37,2 ºC
-Metronidazole 3x500 mg
▪ Liang telinga: cairan keluar
AS -Inj. Rantin 2x1/2 amp
14/03/17 Nyeri kepala (+) KU: Compos mentis, tampak Abses -IVFD KA EN 3A 12tpm
Pusing <<< sakit berat Serebri
Demam (-) -Meropenem 2x1 gr
Cairan dan darah Nadi = 100x /menit OMSK
dari telinga kiri -Sibital 2x50 mg
sudah <<< RR = 28x /menit
Lemas (+) -Dexamethasone 3x5 mg
Suhu = 37.1 ºC
-Metronidazole 3x500 mg
▪ Liang telinga: cairan keluar
AS - Ofloxacin ear drops
15/03/17 Nyeri kepala (+) KU: Compos mentis, tampak Abses -IVFD KA EN 3A 12tpm
Demam (-) sakit berat Serebri
Mual (-) -Meropenem 2x1 gr
Muntah (-) TD = 120/70 OMSK
Nyeri di daerah -Sibital 2x50 mg
jahitan operasi Nadi = 96x /menit
-Dexamethasone 3x5 mg
RR = 22x /menit
-Metronidazole 3x500 mg
Suhu = 36,5 ºC
- Ofloxacin ear drops
▪ Liang telinga: secret -/-
otalgia -/-
Thorax Suara napas
vesikuler, Rh -/-, Wh -/- S1S2
reguler, murmur (-), gallop (-
)
16/03/17 Nyeri kepala (-) KU: Compos mentis, tampak Abses -IVFD KA EN 3A 12tpm
Pusing <<< sakit sedang Serebri
Demam (-) -Meropenem 2x1 gr
Cairan dan darah TD = 110/70 OMSK
dari telinga kiri -Sibital 2x50 mg
sudah <<< Nadi = 102x /menit
-Dexamethasone 3x5 mg
RR = 20x /menit
-Metronidazole 3x500 mg
Suhu = 36.5 ºC - Ofloxacin ear drops
▪ Liang telinga: cairan keluar
-/-
▪ Thorax Suara napas
vesikuler, Rh -/-, Wh -/- S1S2
reguler, murmur (-), gallop (-
)
17/03/17 Nyeri kepala (-) KU: Compos mentis, tampak Abses -IVFD KA EN 3A 12tpm
Pusing <<< sakit sedang Serebri
Demam (-) -Meropenem 2x1 gr
Cairan dan darah TD = 120/80 OMSK
dari telinga kiri -Sibital 2x50 mg
sudah <<< Nadi = 67x /menit
-Dexamethasone 3x5 mg
RR = 22x /menit
-Metronidazole 3x500 mg
Suhu = 36.6 ºC
- Ofloxacin ear drops
▪ Liang telinga: cairan keluar
-/-
Thorax Suara napas
vesikuler, Rh -/-, Wh -/- S1S2
reguler, murmur (-), gallop (-
)
18/ Nyeri kepala (-) KU: Compos mentis, tampak Abses -IVFD KA EN 3A 12tpm
Pusing <<< sakit sedang Serebri
03/17 Demam (-) -Meropenem 2x1 gr
Cairan dan darah Nadi = 86x /menit OMSK
dari telinga kiri -Sibital 2x50 mg
sudah <<< RR = 30x /menit
-Dexamethasone 3x5 mg
Suhu = 36,5 ºC
-Metronidazole 3x500 mg
▪ Liang telinga: cairan keluar
-/- - Ofloxacin ear drops
ABSES SEREBRI
3.1 Definisi
Abses serebri adalah kumpulan bahan supuratif pada parenkim otak yang disebabkan
oleh bakteri piogenik3, yang tersering adalah bakteri aerob. Abses ini dapat terjadi dalam bentuk
tunggal atau multipel pada otak atau medula spinalis, dengan gejala dan tanda SOL (space-
occupying lessions).4
3.2 Epidemiologi
Abses otak dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, namun paling sering terjadi pada
anak berusia 4 sampai 8 tahun. Penyebab abses otak yaitu, embolisasi oleh penyakit jantung
kongenital dengan pintas atrioventrikuler (terutama tetralogi fallot), meningitis, otitis media
kronis dan mastoiditis, sinusitis, infeksi jaringan lunak pada wajah ataupun scalp, status
imunodefisiensi dan infeksi pada pintas ventrikuloperitonial. Patogenesis abses otak tidak begitu
dimengerti pada 10-15% kasus.
Walaupun teknologi kedokteran diagnostik dan perkembangan antibiotika saat ini telah
mengalami kemajuan, namun rate kematian penyakit abses otak masih tetap tinggi, yaitu sekitar
10-60% atau rata-rata 40%. Penyakit ini sudah jarang dijumpai terutama di negara-negara maju,
namun karena resiko kematiannya sangat tinggi, abses otak termasuk golongan penyakit infeksi
yang mengancam kehidupan masyarakat (life threatening infection).5
Di Indonesia belum ada data pasti, namun Amerika Serikat dilaporkan sekitar 1500-2500
kasus abses serebri per tahun. Prevalensi diperkirakan 0,3-1,3 per 100.000 orang/tahun. Jumlah
penderita pria lebih banyak daripada wanita, yaitu dengan perbandingan 2-3:1.
Menurut Britt, Richard et al., penderita abses otak lebih banyak dijumpai pada laki-laki
daripada perempuan dengan perbandingan 3:1 yang umumnya masih usia produktif yaitu sekitar
20-50 tahun.
Yang SY menyatakan bahwa kondisi pasien sewaktu masuk rumah sakit merupakan
faktor yang sangat mempengaruhi rate kemtian. Jika kondisi pasien buruk, rate kematian akan
tinggi. Hasil penelitian Xiang Y Han (The University of Texas MD. Anderson Cancer Center
Houston Texas) terhadap 9 penderita abses otak yang diperolehnya selama 14 tahun (1989-
2002), menunjukkan bahwa jumlah penderita laki-laki > perempuan dengan perbandingan 7:2,
berusia sekitar 38-78 tahun dengan rate kematian 55%.
Demikian juga dengan hasil penelitian Hakim AA. Terhadap 20 pasien abses otak yang
terkumpul selama 2 tahun (1984-1986) dari RSUD Dr Soetomo Surabaya, menunjukkan hasil
yang tidak jauh berbeda, dimana jumlah penderita abses otak pada laki-laki > perempuan dengan
perbandingan 11:9, berusia sekitar 5 bulan-50 tahun dengan angka kematian 35% (dari 20
penderita, 7 meninggal). Dengan perkembangan pelayanan vaksinasi, pengobatan pada infeksi
pediatri, serta pandemic AIDS, terjadi pergeseran prevalensi ke usia dekade 3-5 kehidupan.5
3.3 Etiologi
Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi telinga tengah, sinusitis
(paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan maxillaries).Abses otak dapat timbul akibat penyebaran
secara hematogen dari infeksi paru sistemik (empyema, abses paru, bronkiektas, pneumonia),
endokarditis bakterial akut dan subakut dan pada penyakit jantung bawaan Tetralogi Fallot (abses
multiple, lokasi pada substansi putih dan abu dari jaringan otak). Abses otak yang penyebarannya
secara hematogen, letak absesnya sesuai dengan peredaran darah yang didistribusi oleh arteri
cerebri media terutama lobus parietalis, atau cerebellum dan batang otak.6
Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik seperti AIDS, penderita
penyakit kronis yang mendapat kemoterapi/steroid yang dapat menurunkan sistem kekebalan
tubuh. 20-37% penyebab abses otak tidak diketahui. Penyebab abses yang jarang dijumpai,
osteomyelitis tengkorak, sellulitis, erysipelas wajah, abses tonsil, pustule kulit, luka tembus pada
tengkorak kepala, infeksi gigi luka tembak di kepala, septikemia. Berdasarkan sumber infeksi
vena diploika menuju lobus frontalis atau temporal. Bentuk absesnya biasanya tunggal, terletak
superficial di otak, dekat dengan sumber infeksinya. Sinusitis frontal dapat juga menyebabkan
abses di bagian anterior atau inferior lobus frontalis. Sinusitis sphenoidalis dapat menyebakan
abses pada lobus frontalis atau temporalis. Sinusitis maxillaris dapat menyebabkan abses pada
lobus temporalis. Sinusitis ethmoidalis dapat menyebabkan abses pada lobus frontalis. Infeksi pada
telinga tengah dapat pula menyebar ke lobus temporalis. Infeksi pada mastoid dan kerusakan
tengkorak kepala karena kelainan bawaan seperti kerusakan tegmentum timpani atau kerusakan
positif, Bacteroides spp, Fusobacterium spp, Prevotella spp, Actinomyces spp, dan Clostridium
spp), basil aerob gram negatif (enteric rods, Proteus spp, Pseudomonas aeruginosa, Citrobacter
diversus, dan Haemophilus spp). Infeksi parasit (Schistosomiasis, Amoeba) dan fungus
(Actinomycosis, Candida albicans) dapat pula menimbulkan abses, tetapi hal ini jarang terjadi.9
3.4 Patofisiologi
Abses otak dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi di sekitar
otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara langsung seperti trauma kepala
dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian
otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang
perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu.10
Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan otak dengan infiltrasi
lekosit disertai udem, perlunakan dan kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik
perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada
pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag mengelilingi
jaringan yang nekrotikan. Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan
fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara
beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi perubahan patologi AO
Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi polymofonuklear leukosit, limfosit dan
plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada hari pertama dan
meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada tunika adventisia dari
ini disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema di sekita otak dan peningkatan
Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah pusat nekrosis
karena pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Di tepi pusat nekrosis didapati
kolagen. Pada fase ini edema otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi sangat
besar.
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular debris dan fibroblast
tengah memungkinkan abses membesar ke dalam substansi putih. Bila abses cukup
besar, dapat robek ke dalam ventrikel lateralis. Pada pembentukan kapsul, terlihat
daerah anyaman reticulum yang tersebar membentuk kapsul kolagen, reaksi astrosit
· Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel radang.
Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke arah
nasal dan abses apikal dental dapat menyebabkan AO yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis
media, mastoiditis terutama menyebabkan AO lobus temporalis dan serebelum, sedang abses lobus
Setelah kuman telah menerobos permukaan tubuh, kemudian sampai ke susunan saraf
pusat melalui lintasan-lintasan berikut. Kuman yang bersarang di mastoid dapat menjalar ke otak
perkuntinuitatum. Invasi hematogenik melalui arteri intraserebral merupakan penyebaran ke otak
secara langsung.
Ada penjagaan otak khusus terhadap bahaya yang dating melalui lintasan hematogen, yang
dikenal sebagai sawar darah otak atau blood brain barrier. Pada toksemia dan septicemia, sawar
darah otak terusak dan tidak lagi bertindak sebagai sawar khusus. Infeksi jaringan otak jarang
dikarenakan hanya bakterimia saja, oleh karena jaringan otak yang sehat cukup resisten terhadap
infeksi. Kuman yang dimasukkan ke dalam otak secara langsung pada binatang percobaan ternyata
tidak membangkitkan abses sereebri/ abses otak, kecuali apabila jumlah kumannya sangat besar
atau sebelum inokulasi intraserebral telah diadakan nekrosis terlebih dahulu. Walaupun dalam
banyak hal sawar darah otak sangat protektif, namun ia menghambat penetrasi fagosit, antibody
dan antibiotik. Jaringan otak tidak memiliki fagosit yang efektif dan juga tidak memiliki lintasan
pembuangan limfatik untuk pemberantasan infeksi bila hal itu terjadi. Maka berbeda dengan proses
infeksi di luar otak, infeksi di otak cenderung menjadi sangat virulen dan destruktif.
Pada stadium awal gambaran klinik AO tidak khas, terdapat gejala-gejala infeksi seperti
demam, malaise, anoreksi dan gejalagejala peninggian tekanan intrakranial berupa muntah, sakit
kepala dan kejang. Dengan semakin besarnya abses otak gejala menjadi khas berupa trias abses
otak yang terdiri dari gejala infeksi (demam, leukositosis), peninggian tekanan intracranial
(sakit kepala, muntah proyektil, papil edema) dan gejala neurologik fokal (kejang, paresis,
ataksia, afaksia)13
Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-gejala neurologik seperti
prognosis yang kurang baik karena biasanya terjadi herniasi dan perforasi ke dalam kavum
ventrikel.
Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran dan mengecap
didapatkan disfasi, defek penglihatan kwadran alas kontralateral dan hemianopsi komplit.
Gangguan motorik terutama wajah dan anggota gerak atas dapat terjadi bila perluasan abses ke
dalam lobus frontalis relatif asimptomatik, berlokasi terutama di daerah anterior sehingga gejala
fokal adalah gejala sensorimotorik. Abses serebelum biasanya berlokasi pada satu hemisfer dan
menyebabkan gangguan koordinasi seperti ataksia, tremor, dismetri dan nistagmus. Abses batang
otak jarang sekali terjadi, biasanya berasal hematogen dan berakibat fatal.
3.6 Diagnosis
disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Selain itu penting juga untuk melibatkan evaluasi
riwayat perjalanan penyakit, onset, faktor resiko yang mungkin ada, riwayat kelahiran, imunisasi,
Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi status mental, derajat
kesadaran, fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis, refleks patologis, dan juga tanda rangsang
dan kemungkinan terdapatnya gerakan abnormal dari anggota gerak, ataupun kelumpuhan yang
lekosit dan laju endap darah; didapatkan peninggian lekosit dan laju endap darah. Pemeriksaan
cairan serebrospinal pada umumnya memperlihatkan gambaran yang normal. Bisa didapatkan
kadar protein yang sedikit meninggi dan sedikit pleositosis, glukosa dalam batas normal atau
menunjukkan adanya fokus infeksi ekstraserebral; tetapi dengan pemeriksaan ini tidak dapat
diidentifikasi adanya abses. Pemeriksaan EEG terutama penting untuk mengetahui lokalisasi abses
dalam hemisfer. EEG memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang lambat delta dengan
frekuensi 13 siklus/detik pada lokasi abses. Pnemoensefalografi penting terutama untuk diagnostik
abses serebelum. Dengan arteriografi dapat diketahui lokasi abses di hemisfer. Saat ini,
pemeriksaan angiografi mulai ditinggalkan setelah digunakan pemeriksaan yang relatif noninvasif
seperti CT scan. Dan scanning otak menggunakan radioisotop tehnetium dapat diketahui lokasi
abses; daerah abses memperlihatkan bayangan yang hipodens daripada daerah otak yang normal
dan biasanya dikelilingi oleh lapisan hiperderns. CT scan selain mengetahui lokasi abses juga
dapat membedakan suatu serebritis dengan abses. Magnetic Resonance Imaging saat ini banyak
digunakan, selain memberikan diagnosis yang lebih cepat juga lebih akurat.14
Gambaran CT-Scan :
Pada hari pertama terlihat daerah yang hipodens dengan sebagian gambaran
seperti cincin. Pada hari ketiga gambaran cincin lebih jelas sesuai dengan diameter
serebritisnya. Didapati mengelilingi pusat nekrosis.
Late cerebritis (hari 4-9): daerah inflamasi meluas dan terdapat nekrosis
dari zona central inflamasi.
Gambaran CT-Scan :
Gambaran CT-Scan :
Hampir sama dengan fase cerebritis, tetapi pusat nekrosis lebih kecil dan
kapsul terlihat lebih tebal.
Late capsule stage (hari >14): terdapat daerah sentral yang hipodens
(sentral abses) yang dikelilingi dengan kontras - ring enhancement (kapsul abses)
Gambaran CT-Scan :
Gambaran kapsul dari abses jelas terlihat, sedangkan daerah nekrosis tidak
diisi oleh kontras.
Pemeriksaan CT scan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan prosedur diagnostik,
dikarenakan sensitifitasnya dapat mencapai 90% untuk mendiagnosis abses serebri. Yang perlu
dipertimbangkan adalah walaupun gambaran CT tipikal untuk suatu abses, tetapi tidak menutup
Walaupun sukar membedakan antara abses dan tumor (glioblastoma, metastasis) dari CT
scan, ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk membedakan keduanya antara lain :
umur penderita, ketebalan ring (cicin tipis hanya 3-6 mm) dan biasanya uniform, diameter ring,
rasio lesi dan ring. Pada ½ kasus, kapsul bagian medial lebih tipis dari kapsul subkortikal. Hal ini
menunjukkan sedikitnya vaskularisasi dari massa putih dan menjelaskan mengapa daughter
Abses serebri yang hematogen ditandai dengan adanya fokus infeksi (yang tersering dari
paru), lokasi pada daerah yang diperdarahi oleh arteri serebri media di daerah
perbatasan massa putih dan abu-abu dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Sedangkan gambaran
glioblastoma pada CT scan adalah adanya mixed density tumor, ring enhancement yang berlekuk-
3.7 Tatalaksana
1. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang dapat mengancam jiwa
5. Pencegahan kejang
6. Neurorehabilitasi
Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi diagnosis yang tepat dan pemilihan
antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan organisme yang memungkinkan terjadinya abses.
Ketika etiologinya tidak diketahui, dapat digunakan kombinasi dari sefalosporin generasi ketiga
dan metronidazole. Jika terdapat riwayat cedera kepala dan pembedahan kepala, maka dapat
digunakan kombinasi dari napciline atau vancomycine dengan sephalosforin generasi ketiga dan
juga metronidazole. Antibiotik terpilih dapat digunakan ketika hasil kultur dan tes sentivitas telah
tersedia.
Etiologi Antibiotik
terapi aminoglikosida
Pada abses terjadi akibat trauma penetrasi,cedera kepala, atau sinusitis dapat diterapi
dengan kombinasi dengan napsiline atau vancomycin, cefotaxime atau cetriaxone dan juga
metronidazole. Monoterapi dengna meropenem yang terbukti baik melawan bakteri gram negatif,
bakteri anaerob, stafilokokkus dan streptokokkus dan menjadi pilihan alternatif. Sementara itu
pada abses yang terjadi akibat penyakit jantung sianotik dapat diterapi dengan penissilin dan
metronidazole. Abses yang terjadi akibat ventrikuloperitoneal shunt dapat diterapi dengan
vancomycin dan ceptazidine.Ketika otitis media, sinusitis, atau mastoidits yang menjadi penyebab
dapat digunakan vancomycin karena strepkokkus pneumonia telah resisten terhadap penissilin.
Ketika meningitis citrobacter, yang merupakan bakteri utama pada abses local, dapat digunakan
sefalosporin generasi ketiga, yang secara umum dikombinasikan dengan terapi aminoglikosida.
Tabel 1.2 Dosis dan Cara Pemberian Antibiotik pada Abses Otak13
Drug Dose Frekwensi dan rute
50-100 mg/KgBBt/Hari IV
35-50 mg/KgBB/Hari IV
2 grams IV
15 mg/KgBB/Hari IV
Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan steroid dapat mempengaruhi
penetrasi antibiotik tertentu dan dapat menghalangi pembentukan kapsul abses. Tetapi
penggunaannya dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus dimana terdapat risiko potensial dalam
intrakranial yang meningkat, papil edema dan gambaran edema yang luas serta midline shift pada
CT scan. Kortikosteroid diberikan dalam 2 minggu setelah itu di tap-off, dan terlihat bahwa
berangsur-angsur sakit kepala berkurang dan pada pemeriksaan nervus optikus hari XV tidak
didapatkan papil edema. Penatalaksanaan secara bedah pada abses otak dipertimbangkan dengan
menggunakan CT-Scan, yang diperiksa secara dini, untuk mengetahui tingkatan peradangan,
Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri adalah kombinasi antara antimikrobial dan
tindakan bedah. Pada studi terakhir, terapi eksisi dan drainase abses melalui kraniotomi merupakan
prosedur pilihan. Tetapi pada center-center tertentu lebih dipilih penggunaan stereotaktik aspirasi
atau MR-guided aspiration and biopsy. Tindakan aspirasi biasa dilakukan pada abses multipel,
abses batang otak dan pada lesi yang lebih luas digunakan eksisi.
Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak banyak menguntungkan, seperti: small deep
abscess, multiple abscess dan early cerebritic stage. Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan bermakna diantara penderita yang mendapatkan terapi konservatif ataupun dengan
Pada penderita ini direncanakan untuk dilakukan operasi kraniotomi mengingat proses
desak ruang yang cukup besar guna mengurangi efek massa baik oleh edema maupun abses itu
sendiri, disamping itu pertimbangan ukuran abses yang cukup besar, tebalnya kapsul dan lokasinya
di temporal.
Antibiotik mungkin digunakan tersendiri, seperti pada keadaan abses berkapsul dan secara
umum jika luas lesi yang menyebabkan sebuah massa yang berefek terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial. Dan harus ditatalaksanakan dengan kombinasi antibiotik dan aspirasi abses.
Pembedahan secara eksisi pada abses otak jarang digunakan, karena prosedur ini
dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas jika dibandingkan dengan teknik aspirasi.
Indikasi pembedahan adalah ketika abses berdiameter lebih dari 2,5 cm, adanya gas di dalam abses,
lesi yang multiokuler, dan lesi yng terletak di fosa posterior, atau jamur yang berhubungan dengan
proses infeksi, seperti mastoiditis, sinusitis, dan abses periorbita, dapat pula dilakukan
pembedahan drainase. Terapi kombinasi antibiotik bergantung pada organisme dan respon
terhadap penatalaksanaan awal. Tetapi, efek yang nyata terlihat 4-6 minggu.
Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses dan posisinya terhadap
korteks. Oleh karena itu kapan antikonvulsan dihentikan tergantung dari kasus per kasus
(ditetapkan berdasarkan durasi bebas kejang, ada tidaknya abnormalitas pemeriksaan neurologis,
Pada penderita ini diberikan fenitoin oral, mengingat penderita sudah mengalami kejang
dengan frekuensi yang cukup sering. Penghentian antikonvulsan ini ditetapkan berdasarkan
3.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada abses otak ialah robeknya kapsul abes kedalam
menyebabkan hidrosepalus, edema otak, dan herniasi tentorial oleh massa abses otak.10
3.9 Prognosis
Angka kematian yang dihubungkan dengan abses otak secara signifikan berkurang, dengan
perkiraan 5-10% didahului CT-Scan atau MRI dan antibiotic yang tepat, serta manajemen
pembedahan merupakan faktor yang berhubungan dengan tingginya angka kematian, dan waktu
yang mempengaruhi lesi, abses mutipel, kesadaran koma dan minimnya fasilitas CT-Scan. Angka
harapan yang terjadi paling tidak 50% dari penderita, termasuk hemiparesis, kejang, hidrosefalus,
Dengan alat-alat canggih dewasa ini AO pada stadium dini dapat lebih cepat didiagnosis
sehingga prognosis lebih baik. Prognosis AO soliter lebih baik dan mu1tipel. Defisit fokal dapat
KESIMPULAN
Abses otak adalah suatu proses infeksi dengan pernanahan yang terlokalisir diantara
jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri, fungus, dan protozoa, dimana
kasusnya jarang dijumpai tetapi angka kematiannya tinggi (rata-rata 40%) sehingga tergolong
kelompok penyakit “life threaqtening infection”. Sebagian besar penderita abses otak adalah laki-
Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi tengah, sinusitis
(paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan maxillaries), dapat timbul akibat penyebaran secara
hematogen dari infeksi paru sistemik (empyema, abses paru, bronkiektase, pneumonia),
endokarditis bacterial akut dan subakut dan pada penyakit jantung bawaan Tetralogi Fallot ( abses
multiple, lokasi pada substansi putih dan abu dari jarinagn otak). Dapat juga timbul akibat trauma
Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik seperti AIDS, penderita
penyakit kronis yang mendapat kemoterapi. Steroid yang dapat menurunkan system kekebalan
tubuh. Proses pembentukan abses otak memakan waktu 2 minggu dan terdiri dari 4 tahap. Dengan
semakin besarnya abses otak gejala menjadi khas berupa trias abses otak yang terdiri dari gejala
infeksi, peninggian tekanan intracranial, dan gejala neurologic fokal. Diagnosa ditegakkan dengan
Terapi definitive untuk abse melibatkan penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan
edema) yang dapat mengancam jiwa, terapi antibiotic dan test sensitifitas dari kultur material
abses, terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi), pengobatan terhadap infeksi primer, pencegahan
kejang, dan neurorehabilitasi. Prognosis dari abses otak ini tergantung dari cepatnya diagnosis
ditegakkan, derajat perubahan patologis, soliter atau multiple, penegakan yang adekuat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudewi, AA Raka, dkk. Abses Serebri. Infeksi pada system saraf “PERDOSSI”.
Hal 21-27. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair. 2011.
2. Misbach, H Jusuf, dkk. Serebritis dan Abses Otak. Buku Pedoman SPM dan SPO
Neurologi “ PERDOSSI’’. hal 27-29. Jakarta: 2006.
3. Rahayu. Abses Otak dan Penatalaksanaannya. Jakarta;1996.
4. Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM, Jankovic J. Neurology in clinical practice
: Principles of Diagnosis and Management. 4th ed. Elsevier:USA;2004. Pp 1491-
3.
5. Mardjono, Mahar, dkk. Abses Serebri. Neurologi Klinis Dasar.hal 320-321.
Jakarta: Dian Rakyat. 2008.
6. Hakim, Adril Arsyad. Abses Otak. Dep Bedah FK USU/ SMF Bedah Saraf RSUP
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15591/1/mkn-des2005-%20(9).pdf
8. Brouwer, MC. Et al. 2014. Brain Abscess. N Engl J Med 2014;371:447-56. Avalable at :
9. Hakim, AA. 2010. Abses otak. Departemen Bedah Fakultas Kedokteran USU/SMF
10. Hakim, AA. Abses Otak. Majalah Kedokteran Nusantara. 2005; Vol. 5, No. 4.
11. Mardjono M, Sidharta P. 2010. Neurologi Klinis Dasar, ed 15. PT. Dian Rakyat. Jakarta.
12. Mustafa M, Iftikhar, Latif I And Munaidy R. 2014. Brain Abscess: Pathogenesis,
http://www.impactjournals.us/download.php?fname=2-14-1401385169-34.%20Applied-
Brain%20Abscess%20Pathogenesis,%20diagnosis%20and%20management-
Murtaza%20Mustafa.pdf
13. Mustafa, M. et al., Brain Abscess: Pathogenesis, Diagnosis And Management Strategies.
14. Sudewi, AA Raka, dkk. 2011. Abses Serebri. Infeksi pada system saraf “PERDOSSI”.