Panduan DNR
Panduan DNR
1. Resusitasi Jantung-Paru (RJP) didefinisikan sebagai suatu sarana dalam memberikan bantuan
hidup dasar dan lanjut kepada pasien yang mengalami henti napas atau henti jantung. RJP
diindikasikan untuk pasien yang tidak sadar, tidak bernapas, dan yang tidak menunjukkan adanya
1
tanda-tanda sirkulasi.
a. RJP merupakan suatu prosedur emergensi dan di rumah sakit biasanya telah dibentuk tim
2,3
khusus yang terlatih dan berpengalaman dalam melakukan RJP.
b. Menurut statistik, tindakan RJP dilakukan sebanyak 1/3 dari 2 miliar kematian pasien
yang terjadi di rumah sakit Amerika Serikat setiap tahunnya. Proporsi dari tindakan
RJP ini dianggap berhasil dalam merestorasi fungsi kardiopulmoner pasien.
c. Dari pasien-pasien yang dilakukan RJP, sebanyak 1/3-nya berhasil, dan 1/3 dari pasien-
pasien yang berhasil ini dapat bertahan hingga pulang dari rumah sakit.
d. Tingkat keberhasilan RJP bergantung pada sifat dan derajat penyakit pasien.
e. Pada suatu studi di Rumah Sakit Boston, pasien dengan kanker lanjut yang telah
bermetastasis tidak ada yang dapat bertahan hidup hingga pulang dari rumah sakit.
Diantara pasien gagal ginjal, hanya 2% yang bertahan hidup sampai pulang dari rumah
sakit.
f. Biasanya pada pasien yang berhasil dilakukan RJP inisial tetapi meninggal sebelum
pulang dari rumah sakit, hampir selalu dirawat di Ruang Rawat Intensif (Intensive Care
Unit-ICU)
g. Pada suatu studi lainnya menyatakan bahwa sekitar 11% pasien yang berhasil dilakukan
RJP
inisial akan mengalami RJP ulang minimal 1 kali selama masa perawatan di rumah
sakit.
h. Biasanya pasien RJP yang berhasil bertahan hidup dan pulang dari rumah sakit
tidak mengalami gangguan / disfungsi yang berat.
i. Suatu studi menyatakan bahwa 93% dari pasien-pasien ini memiliki orientasi yang baik
4
saat dipulangkan dari rumah sakit.
j. Pada pasien-pasien yang berhasil dilakukan RJP; beberapa diantaranya berhasil
mengalami pemulihan sempurna, beberapa pulih tetapi memiliki masalah kesehatan dan
tidak pernah kembali ke level normal sebelum terjadi henti jantung / napas, beberapa
mengalami kerusakan
/ cedera otak atau koma, dan beberapa lainnya jatuh kembali ke dalam kondisi henti
jantung /
napas sehingga harus dilakukan RJP ulang.
k. Tingkat keberhasilan RJP bergantung pada:
i. Penyebab terjadinya henti jantung / napas pada
pasien ii. Penyakit / masalah medis yang mendasari
iii. Kondisi kesehatan pasien secara umum.
l. Seringnya, pasien yang berhasil dilakukan RJP masih mengalami kondisi yang sakit
5
dan membutuhkan penanganan lebih lanjut, dan biasanya dirawat di ICU.
2. Penting untuk mengidentifikasi pasien di mana terjadinya henti napas dan jantung menandakan
kondisi terminal penyakit pasien dan di mana usaha RJP tidak akan membuahkan hasil (sia-sia).
3. Dalam menetapkan kebijakan DNR, penting untuk diketahui bahwa kebijakan ini harus dipatuhi
dan diikuti oleh seluruh tenaga kesehatan profesional di tingkat primer, rumah sakit, dan petugas /
tim transfer intra- dan antar-rumah sakit.
4. Hak pasien untuk menolak RJP harus dihargai. Hal ini mungkin dikarenakan pasien berpendapat
bahwa dengan melakukan usaha RJP hanya akan memperpanjang kualitas hidup yang buruk.
5. Kebijakan ini hanya berkaitan dengan usaha RJP, bukan dengan penundaan atau pembatalan
1
pemberian tatalaksana lainnya, seperti terapi antibiotic, nutrisi parenteral, dan sebagainya.
1
LATAR BELAKANG
1. Angka kelangsungan hidup pasien dewasa (survival rates) yang dilakukan RJP dan pulang dari
rumah sakit sekitar 5 – 20 %, dan telah terbukti bahwa usaha RJP akan lebih baik jika:
a. Akses ke Tim Resusitasi / Unit Gawat Darurat dilakukan lebih awal (segera)
b. Pemberian bantuan hidup dasar lebih
awal c. Pemberian bantuan hidup lanjut
lebih awal
2. Beberapa pasien memiliki angka kelangsungan hidup yang sangat rendah (< 1-2%), misalnya pada
pasien dengan infeksi berat, tekanan darah rendah dalam jangka waktu lama, gagal ginjal /
jantung yang berat, atau keganasan dengan penyebaran luas (metastasis).
3. Angka kelangsungan hidup pasien anak yang mengalami henti jantung / napas di rumah sakit
adalah rendah. Namun jika ditangani dengan tepat dan segera, memiliki angka keberhasilan
sebesar 70%.
4. Angka kelangsungan hidup pasien anak yang mengalami henti jantung / napas di luar rumah sakit
masih di bawah 10%. Pada umumnya, anak-anak yang berhasil bertahan hidup dan pulang dari
rumah sakit mengalami defisit neurologi.
1
TUJUAN
1. Untuk memastikan bahwa pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan Do Not
Resuscitate
(DNR)tidak disalahartikan / misinterpretasi.
2. Untuk memastikan terjadinya komunikasi dan pencatatan yang jelas dan terstandarisasi mengenai
pengambilan keputusan DNR.
DEFINISI
1. Henti jantung: adalah suatu kondisi di mana terjadi kegagalan jantung secara mendadak untuk
mempertahankan sirkulasi yang adekuat.
a. Hal ini dapat disebabkan oleh fibrilasi ventrikel, asistol, atau pulseless electrical
activity
(PEA).
b. Untuk memperoleh RJP yang efektif, resusitasi harus dimulai sesegera mungkin (< 3
menit setelah kejadian henti jantung).
c. Jika pasien ditemukan tidak bernapas, tidak adanya denyut nadi, dan pupil dilatasi
maksimal;
2
hal ini bukanlah kejadian henti jantung dan tidak perlu dilakukan tindakan resusitasi.
2. Resusitasi Jantung-Paru (RJP): didefinisikan sebagai suatu sarana dalam memberikan bantuan
hidup dasar dan lanjut kepada pasien yang mengalami henti napas atau henti jantung. RJP
diindikasikan untuk: pasien yang tidak sadar, tidak bernapas, dan yang tidak menunjukkan adanya
1
tanda-tanda sirkulasi; dan tidak tertulis instruksi DNR di rekam medisnya.
3. Tindakan Do Not Resuscitate (DNR): adalah suatu tindakan di mana jika pasien mengalami henti
jantung dan atau napas, paramedis tidak akan dipanggil dan tidak akan dilakukan usaha resusitasi
jantung-paru dasar maupun lanjut.
a. Jika pasien mengalami henti jantung dan atau napas, lakukan asesmen segera untuk
mengidentifikasi penyebab dan memeriksa posisi pasien, patensi jalan napas, dan
sebagainya. Tidak perlu melakukan usaha bantuan hidup dasar maupun lanjut.
b. DNR tidak berartisemuatatalaksana / penanganan aktif terhadap kondisi pasien
diberhentikan. Pemeriksaan dan penanganan pasien (misalnya terapi intravena, pemberian
obat-obatan) tetap dilakukan pada pasien DNR.
2
c. Semua perawatan mendasar harus terus dilakukan, tanpa kecuali.
4. Fase / kondisi terminal penyakit:adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh cedera atau
penyakit, yang menurut perkiraan dokter atau tenaga medis lainnya tidak dapat disembuhkan dan
bersifat ireversibel, dan pada akhirnya akan menyebabkan kematian dalam rentang waktu yang
singkat, dan di mana pengaplikasian terapi untuk memperpanjang / mempertahankan hidup hanya
akan berefek dalam memperlama proses penderitaan / sekarat pasien.
5. Pelayanan paliatif: adalah pemberian dukungan emosional dan fisik untuk mengurangi
nyeri / penderitaan pasien. Hal ini termasuk: pemberian nutrisi, hidrasi, dan kenyamanan, kecuali
6
terdapat instruksi spesifik untuk menunda pemberian nutrisi / hidrasi.
1
TANGGUNG JAWAB
1. Chief Executive Officerdan Dewan Direksi: bertanggungjawab untuk memastikan
implementasi
Kebijakan Do Not Resuscitate (DNR). Fungsi ini didelegasikan kepada Manajer Pelayanan
Medis
2. Manajer Pelayanan Medis: memastikan setiap staf / petugas mengetahui dan mematuhi
kebijakan ini, serta memastikan dilakukannya audit kebijakan DNR.
3. Staf / Petugas Rumah Sakit: semua staf yang terlibat dalam pengambilan keputusan tindakan
DNR dan resusitasi memahami dan menerapkan kebijakan ini. Penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi selama proses ini berlangsung harus dilaporkan pada berkas / formulir insidens sesuai
dengan algoritma yang berlaku.
PRINSIP
1. Harus tetap ada anggapan untuk selalu melakukan resusitasi kecuali telah dibuat keputusan secara
lisan dan tertulis untuk tidak melakukan resusitasi (DNR).
1
2. Keputusan tindakan DNR ini harus dicatat di rekam medis pasien.
3. Komunikasi yang baik sangatlah penting.
4. Dokter harus berdiskusi dengan pasien yang memiliki kemungkinan henti napas / jantung
mengenai tindakan apa yang pasien ingin tim medis lakukan jika hal ini terjadi.
5. Pasien harus diberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai kondisi dan penyakit
2
pasien, prosedur RJP dan hasil yang mungkin terjadi.
6. Tanggung jawab dalam mengambil keputusan DNR terletak pada konsultan / dokter umum yang
1
bertanggungjawab atas pasien. Jika terdapat keraguan dalam mengambil keputusan, dapat
2
meminta saran dari dokter senior.
7. RJP sebaiknya tidak dilakukan pada kondisi-kondisi berikut ini:
a. RJP dinilai tidak dapat mengembalikan fungsi jantung dan pernapasan pasien
b. Pasien dewasa, yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk
mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP
c. Terdapat alasan yang valid, kuat, dan dapat diterima mengenai pengambilan keputusan
untuk tidak melakukan tindakan RJP.
d. Terdapat perintah DNR sebelumnya yang valid, lengkap, dan dengan alasan kuat.
e. Pada pasien-pasien yang berada dalam fase terminal penyakitnya / sekarat, di mana
tindakan RJP tidak dapat menunda fase terminal / kodisi sekarat pasien dan tidak
memberikan keuntungan terapetik (risiko / bahayanya melebihi keuntungannya)
i. Contoh: henti jantung / napas yang dialami pasien merupakan kejadian alamiah
akibat penyakit terminal yang diderita. Pada kasus ini, RJP mungkin dapat
mengembalikan fungsi jantung-paru pasien secara sementara tetapi kondisi
keseluruhan pasien dapat memburuk dan henti jantung / napas akan terjadi
kembali, yang merupakan bagian dari proses alamiah dan tidak dapat terhindarkan
dari proses sekarat /kematian pasien.
ii. Melakukan RJP pada kasus di atas akan membahayakan / merugikan pasien
7
dan bertolak belakang dengan etika kedokteran (prinsip ‘do no harm’).
6. Berikut adalah beberapa kondisi di mana tidak perlu dilakukan diskusi dengan pasien:
a. Jika resusitasi dianggap tidak ada gunanya / sia-sia
b. Diskusi berpengaruh buruk terhadap kesehatan pasien, misalnya pasien menjadi depresi.
c. Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka tidak ingin
mendiskusikan hal tersebut
d. Pasien mengalami deteriorasi, misalnya pasien berada dalam fase sekarat / terminal dari
2
penyakitnya.
1
e. Pasien dinilai tidak memiliki kapasitas yang adekuat untuk mengambil keputusan
7. Pasien diperbolehkan untuk mengambil keputusan dini akan penolakan tindakan penyelamatan
hidup dengan memenuhi beberapa persyaratandi bawah ini:
a. Usia pasien harus > 18 tahun
b. Pasien harus kompeten dan memiliki kapasitas yang baik secara mental untuk mengambil
keputusan
c. Keputusan ini harus tertulis, yang berarti harus ditulis oleh pasien sendiri atau
keluarga /
kerabat yang dipercaya oleh pasien, dan harus dicatat di rekam
medis. d. Harus ditandatangani oleh 2 orang, yaitu:
i. penulis / pembuat keputusan atau oleh orang lain atas nama pasien sambil
diarahkan oleh pasien (jika pasien tidak mampu menandatanganinya sendiri)
ii. 1 orang lain sebagai saksi
e. Harus diverifikasi oleh pernyataan spesifik yang dilakukan oleh pembuat keputusan, dapat
dituliskan di dokumen lain / terpisah, yang menyatakan bahwa keputusan dini ini
diaplikasikan untuk tindakan / penanganan spesifik, bahkan jika terdapat risiko kematian.
f. Pernyataan keputusan dini di dokumen terpisah ini juga harus ditandatangani dan
1
disaksikan oleh 2 orang (salah satunya pasien).
8. Diskusi antara dokter dengan keluarga pasien mengenai keputusan ini harus atas izin pasien.
9. Jika pasien tidak kompeten secara mental, diskusi dapat dilakukan dengan keluarga / wali sah
2
pasien dengan mempertimbangkan kondisi dan keinginan pasien. Jika tidak terdapat keluarga /
8
wali yang sah, keputusan dapat diambil oleh dokter penanggungjawab pasien.
10. Jika terdapat situasi di mana pasien kehilangan kompetensinya untuk mengambil keputusan tetapi
telah membuat ‘keputusan dini DNR’ sebelumnya yang valid, keputusan ini haruslah tetap
dihargai.
11. Dokter dapat tidak mengindahkan keputusan dini yang dibuat oleh pasien, jika terdapat hal-
hal berikut ini:
a. Pasien telah melakukan hal-hal yang tidak konsisten terhadap keputusan dini /awal yang
dibuat, yang mempengaruhi validitas keputusan tersebut (misalnya, pasien pindah agama)
b. Terdapat situasi yang tidak diantisipasi oleh pasien dan situasi tersebut dapat
mempengaruhi keputusan pasien (misalnya, perkembangan terkini dalam tatalaksana
pasien yang secara drastis mengubah prospek kondisi tertentu pasien).
c. Situasi / kondisi yang ada tidak jelas dan tidak dapat diprediksi
d. Terdapat perdebatan / perselisihan mengenai validitas keputusan dini / awal dan kasus
tersebut telah dibawa ke pengadilan.
12. Jika terdapat keraguan terhadap apa yang pasien inginkan / maksudkan, paramedis harus bertindak
sesuai dengan kepentingan / hal yang terbaik untuk pasien. Dapat meminta saran dari dokter senior
juga.
13. Tatalaksana emergensi tidak boleh tertunda hanya kerena mencari ada tidaknya instruksi DNR
pasien jika tidak terdapat indikasi jelas bahwa instrusksi tersebut ada.
14. Pasien tidak diperbolehkan menolak perawatan dasar yang diberikan.
15. Perawatan dasar ini didefinisikan sebagai pemberian tempat tidur yang nyaman dan
hangat, pengurang rasa sakit / analgesik, manajemen gejala-gejala yang memicu stress fisik
(seperti sesak napas, muntah, inkontinensia), dan manajemen higene / kebersihan diri pasien.
16. Jika pasien tetap menolak perawatan dasar, dokter yang bertugas sebaiknya meminta saran dari
dokter senior, dan masalah ini dapat juga dibawa ke komisi etik.
1
17. Rumah sakit sebaiknya membuat kerangka konsep dalam hal mengambil keputusan DNR.
8
KEPUTUSAN DNR PADA PASIEN DEWASA PERI-OPERATIF
1. Tindakan pembedahan dan anestesi turut berkontribusi dalam perubahan kondisi medis pasien
dengan keputusan DNR sebelumnya dikarenakan adanya perubahan fisiologis yang dapat
meningkatkan risiko pasien.
2. Tindakan anestesi sendiri (baik regional ataupun umum), akan menimbulkan
instabilitas kardiopulmoner yang akan membutuhkan dukungan / penanganan medis.
3. Angka keberhasilan RJP di kamar operasi lebih tinggi secara signifikan dibandingkan di ruang
rawat inap (di mana keputusan DNR ini ditetapkan). Angka keberhasilan RJP di kamar operasi
ini dapat mencapai 92%.
4. Menilik dari hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan peninjauan ulang keputusan DNR sebelum
melakukan prosedur anestesi dan pembedahan.
5. Rekomendasi:
a. Pasien dengan keputusan DNR yang mungkin memerlukan prosedur pembedahan
harus dikonsultasikan kepada tim bedah dan anestesiologis.
b. Lakukan peninjauan ulang keputusan DNR oleh anestesiologis dan dokter bedah
dengan pasien, wali, keluarga, atau dokter penanggungjawab pasien (jika diindikasikan)
sebelum melakukan prosedur anestesi dan pembedahan.
c. Tujuan peninjauan ulang ini adalah untuk memperoleh kesepakatan mengenai penanganan
apa saja yang akan boleh dilakukan selama prosedur anestesi dan pembedahan.
d. Terdapat 3 pilihan dalam meninjau ulang keputusan DNR, yaitu:
i. Pilihan pertama: keputusan DNR dibatalkan selama menjalani anestesi dan
pembedahan, dan ditinjau ulang kembali saat pasien keluar dari ruang pemulihan.
Saat menjalani pembedahan dan anestesi, lakukan RJP jika terdapat henti jantung
/ napas.
iii. Pilihan ketiga: keputusan DNR tetap berlaku (tidak ada perubahan).
• Pada beberapa kasus, pilihan ini tidak sesuai dengan pemberian
anestesi umum dalam pembedahan.
• Pasien dapat menjalani prosedur pembedahan minor dengan
tetap mempertahankan keputusan DNR-nya.
• Anestesiologis harus berdiskusi dan membuat kesepakatan dengan
psien / wali sah mengenai intervensi apa saja yang diperbolehkan,
seperti: kanulasi intravena, pemberian cairan intravena, sedasi, analgesik,
monitor, obat vasopressor, obat anti-aritmia, oksigenasi, atau intervensi
lainnya.
g. Secara hukum, yang berwenang untuk membuat keputusan DNR ini adalah:
i. Pasien dewasa yang kompeten secara mental
ii. Wali sah pasien (jika pasien tidak kompeten secara mental)
iii. Dokter penanggungjawab pasien, yang bertindak dengan
mempertimbangkan tindakan terbaik untuk pasien(jika belum ada keputusan DNR
dini / awal yang telah dibuat oleh pasien / wali sahnya).
h. Jika setelah diskusi, masih belum terdapat kesepakatan mengenai pilihan DNR mana
yang akan digunakan, pemegang keputusan tetaplah diberikan ke pasien/ wali sahnya.
i. Jika terdapat keraguan atau ketidakjelasan mengenai siapa yang berwenang untuk
membuat keputusan DNR, atau terdapat keraguan mengenai validitas suatu keputusan
DNR dini / awal, atau terdapat keraguan mengenai tindakan apa yang terbaik untuk
pasien; segeralah mencari saran kepada komisi etik atau lembaga hukum setempat.
j. Dalam kondisi gawat darurat, dokter harus membuat keputusan yang menurutnya
terbaik untuk pasien dengan menggunakan semua informasi yang tersedia.
k. Pilihan keputusan DNR ini harus diaplikasikan selama pasien berada di kamar operasi dan
ruang pemulihan.
l. Keputusan DNR ini haruslah ditinjau ulang saat pasien kembali ke ruang rawat inap.
6. Beberapa kondisi medis yang membutuhkan anestesi untuk intervensi operatif pada pasien
dengan keputusan DNR adalah:
a. Alat bantu asupan nutrisi (misalnya: feeding tube)
b. Pembedahan segera untuk kondisi yang tidak berhubungan dengan penyakit kronis
pasien
(misalnya: apendisitis akut)
c. Pembedahan segera untuk kondisi yang berhubungan edngan penyakit kronis pasien tetapi
tidak dianggap sebagai suatu bagian dari proses terminal penyakitnya (misalnya: ileus
obstruktif)
d. Prosedur untuk mengurangi nyeri (misalnya: operasi fraktur kolum femur)
e. Prosedur untuk menyediakan akses vaskular.
8. Fase pre-operatif:
a. Lakukan diskusi antara pasien / wali sah, keluarga, anestesiologis, dokter bedah, dokter
penanggungjawab pasien, dan perawat.
b. Lakukan asesmen mengenai:
i. Kondisi medis pasien, termasuk status mental dan kompetensi
pasien ii. Intervensi pembedahan yang diperlukan
iii. Riwayat keputusan DNR sebelumnya, termasuk:
• Durasi / batas waktu berlakunya keputusan tersebut
• Siapa yang bertanggungjawab menetapkan keputusan tersebut
• Alasan keputusan tersebut dibuat
iv. Keputusan pertama yang dibuat adalah mengenai apakah pasien ini perlu
menjalani anestesi dan pembedahan (pertimbangkan dari sudut pandang pasien,
keluarga, dokter bedah, dan anestesiologis).
v. Jika pembedahan dianggap perlu, tentukan batasan-batasan tindakan resusitasi
apa saja yang dapat dilakukan di fase peri-operatif , lakukan komunikasi yang
efektif, detail, dan terbuka dengan pasien, keluarga, dan atau wali sah pasien.
vi. Jika keputusan DNR telah dibuat dan disepakati, harus dicatat di rekam medis
pasien, ditandatangani oleh pihak-pihak yang terlibat, dan cantumkan tanggal
keputusan dibuat.
vii. Lakukan prosedur pembedahan segera setelah keputusan dibuat dan kondisi
medis pasien memungkinkan untuk menjalani pembedahan.
9. Fase intra-operatif
a. Keputusan DNR diaplikasikan selama pasien berada di kamar operasi.
b. Jika dilakukan pemberian premedikasi, haruslah sangat hati-hati untuk menghindari
terjadinya perubahan status fisiologis pasien sebelum di-transfer ke kamar operasi.
c. Semua petugas kamar operasi harus mengetahui mengenai pilihan keputusan DNR yang
diambil.
d. Dokter bedah dan anestesiologis yang terlibat dalam konsultasi pre-operatif harus hadir
selama prosedur berlangsung.
1
PEMBATALAN KEPUTUSAN DNR
1. Jika instruksi DNR tidak lagi berlaku, bagian pembatalandi formulir DNR harus dilengkapi /
diisi.
Dituliskan tanggal dan ditandatangani oleh dokter senior yang saat itu sedang bertugas atau
oleh konsultan.
2. Pembatalan ini harus dengan jelas dicatat di dalam rekam medis pasien.
1
KEPUTUSAN DNR DAN TRANSFER PASIEN
1. Jika pasien ditransfer ke rumah sakit lain dengan instruksi DNR, dokter senior yang saat itu
sedang bertugas atau konsultan harus bertanggungjawab untuk melakukan asesmen ulang dan
mengambil
keputusan berdasarkan informasi yang didapat saat itu mengenai: ‘Apakah instruksi DNR
masih berlaku atau tidak?’Sebelum asesmen ulang tersebut dilakukan, pasien masih dianggap
sebagai DNR.
2. Jika pasien ditransfer ke pelayanan primer lain dengan instruksi DNR, dokter umum di layanan
primer tersebut bertanggungjawab melakukan asesmen ulang dan pengambilan keputusan harus
dikomunikasikan dengan semua petugas yang terlibat dalam perawatan pasien. Sebelum asesmen
ulang tersebut dilakukan, pasien masih dianggap sebagai DNR.
3. Saat melakukan transfer pasien, formulir DNR harus tetap disertakan dalam rekam medis
pasien.
Formulir DNR ini tidak boleh difotokopi.
5. Definisi:
a. Formulir Instruksi DNR di Luar Rumah Sakit yang valid:formulir tertulis
yang dinyatakan valid jika terisi lengkap dan ditandatangani oleh pasien / wali sahnya dan
dokter penanggungjawab pasien. Fotokopi yang dilegalisir dianggap sah dan berlaku.
(lihat lampiran
4)
b. Gelang DNR: adalah gelang pengenal yang berarti bahwa pemakainya memiliki
instruksi
DNR yang valid. Gelang ini harus telah disetujui oleh pemerintah setempat, resmi,
mudah
dikenali, dan khusus / khas; dipakai di pergelangan tangan atau kaki. Gelang ini harus
dikenali oleh Tim Kegawatdaruratan Medis dan petugas kesehatan lainnya.
6. Panduan:
a. Tim Kegawatdaruratan Medis akan melakukan usaha RJP pada semua pasien yang
ditemukan henti napas/jantung kecuali jika pasien tersebut memiliki instruksi DNR yang
valid.
b. Jika pasien dengan henti jantung / napas memiliki instruksi DNR, tim
kegawatdaruratan medis harus:
i. Melakukan asesmen mengenai tidak adanya pernapasan dan atau denyut jantung
ii. Jika petugas tiba di tempat kejadian tanpa mobil rawat intensif (MICU), ikuti
protokol setempat
iii. Untuk petugas MICU, kontak / hubungi dokter penanggungjawab pasien (yang
menandatangani DNR) untuk mengkonfirmasi validitas instruksi DNR-di luar
rumah sakit, beritahukan kondisi pasien.
c. Jika pasien dengan instruksi DNR yang valid tidak berada dalam kondisi henti jantung
/
napas, tim kegawatdaruratan medis harus:
i. Melakukan asesmen pasien
ii. Menyediakan semua tatalaksana yang sesuai
iii. Menyediakan transportasi ke rumah sakit, jika diperlukan
iv. Menghargai dan mematuhi instruksi DNR jika terjadi henti napas / jantung
pada pasien selama transfer.
v. Memberikan salinan instruksi DNR ke rumah sakit penerima, jika tersedia.
d. Saat memutuskan untuk membuat instruksi DNR, dokter tidak boleh mempengaruhi
keinginan pasien / wali sahnya.
e. Instruksi DNR dapat dibatalkan kapanpun oleh pasien dengan merusak / menyobek
9
formulir dan gelang DNR, atau dengan menyatakan secara lisan.
7. Pada pasien di panti jompo: perawat pasien diperbolehkan untuk menulis instruksi DNR
dan
‘penolakan untuk dirawat di rumah sakit’ (Do Not Hospitalized), berdasarkan hasil konsultasi
dengan dokter.
a. Prosedur Dasar
i. Memperoleh izin persetujuan tertulis (informed consent) dari pasien / wali sahnya.
ii. Melengkapi ‘formulir instruksi DNR di luar rumah sakit’. Berikan salinan di
rekam medis pasien. Berikan bebrapa salinan kepada pasien dan atau keluarga /
pengasuh di luar rumah sakit / panti jompo.
iii. Informasikan kepada pasien dan atau pengasuh mengenai penggunaan formulir
DNR ini dan anjurkan agar formulir ini diletakkan di tempat-tempat yang mudah
terlihat di rumah (misalnya: papan harian pasien, senderan ranjang, pintu kamar
tidur, atau kulkas).
iv. Pasien boleh menggunakan gelang DNR (tidak wajib). Gelang ini harus
dianggap valid dan mengindikasikan bahwa pasien memiliki instruksi DNR di
luar rumah sakit. Dokter harus menginformasikan kepada pasien / wali sahnya
mengenai ketersediaan gelang DNR sebagai sarana tambahan untuk memberitahu
Tim Kegawatdaruratan Medis.
v. Lakukan peninjauan ulang terhadap status DNR secara periodikn dengan pasien /
wali sahnya, lakukan revisi terhadap rencana penanganan pasien (jika diperlukan),
dan catatlah di rekam medis pasien. Jika instruksi DNR ini dibatalkan, berikan
instruksi untuk menghancurkan / menyobek formulir DNR dan melepas gelang
DNR.
8. Dokumentasi
a. Catat semua informasi pasien dan asesmen pasien
b. Catat instruksi DNR pasien yang telah divalidasi. Lampirkan salinan formulir NDR di
luar rumah sakit.
9
c. Ikuti protokol kegawatdaruratan medis setempat
1
PELATIHAN
1. Manajer Pelayanan Medis bertanggungjawab untuk mengidentifikasi pelatihan-pelatihan apa saja
yang diperlukan untuk mengimplementasikan kebijakan ini.
2. Persyaratan pelatihan yang harus dimiliki oleh personel rumah sakit harus didiskusikan sebagai
bagian dari proses Peninjauan Ulang Performa Kerja Rumah Sakit (Performance Development
Review) dan keputusan mengenai pelatihan-pelatihan yang diperlukan harus dituliskan dalam
Rencana Pengembangan Performa Kerja Rumah Personel Rumah Sakit (Personal Development
Plan).
1
PENINJAUAN ULANG DAN AUDIT
1. Audit akan dilakukan setiap tahunnya untuk memastikan bahwa semua keputusan DNR
didokumentasi sepenuhnya sesuai dengan kebijakan yang berlaku.
2. Audit mengenai semua kejadian resusitasi harus dilakukan untuk memastikan bahwa kejadian-
kejadian tersebut telah sesuai dengan kebijakan yang berlaku.
3. Peninjauan ulang mengenai isi dari kebijakan ini akan dilakukan 2 tahun setelah tanggal
kebijakan ini disetujui.
4. Peninjauan ulang dini dapat dilakukan jika terjadi salah satu atau lebih dari kondisi-kondisi berikut
ini:
a. Adanya perubahan atau perkembangan dalam regulasi / peraturan perundang-undangan
yang berlaku
b. Terjadinya insidens yang penting / krusial
c. Adanya alasan-alasan yang kuat / relevan lainnya.
LAMPIRAN 1
1. Pasien memiliki gangguan fungsi kognitif / mental yang membuatnya tidak dapat
mengambil keputusan untuk dirinya sendiri.
2. Pasien tidak dapat mengerti mengenai informasi yang relevan dengan pengambilan keputusan,
yang diberikan oleh dokter / petugas medis lainnya.
3. Pasien memiliki gangguan dalam hal mengingat informasi yang baru diberikan.
4. Pasien tidak dapat mengolah atau mempertimbangkan informasi tersebut sebagai bagian dari
proses pengambilan keputusan.
5. Pasien tidak dapat mengkomunikasikan keputusannya, baik dengan berbicara, bahasa tubuh, atau
cara lainnya.
LAMPIRAN 2
2
KERANGKA KONSEP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DO NOT RESUSCITATE (DNR)
tidak
Apakah pasien • Tidak perlu menginisiasi diskusi tentang RJP dengan
kemungkinan
LAMPIRAN 3 akan pasien atau keluarganya.
mengalami henti • Diskusi dilakukan jika pasien meminta / menginginkannya.
jantung
/ napas?
ya
• Jika telah diputuskan tindakan DNR secara
tidak medis, informasikanlah kepada pasien (jika memungkinkan).
Apakah ada
• Pada pasien yang tidak kompeten secara mental;
kemungkinan secara
beritahukanlah mengenai keputusan DNR ini berikut
realistis bahwa RJP
alasannya kepada pengacara pribadi / wali yang telah
dapat berhasil?
ditunjuk pasien.
• Dapat meminta pendapat dokter lain (second opinion),
jika diperlukan.
ya
ya
Apakah pasien telah
membuat keputusan • Jika pasien telah membuat keputusan DNR dan
dini kriteria validitas telah terpenuhi, haruslah dihargai dan
/ awal mengenai dipatuhi.
DNR? • Keputusan ini harus diberitahukan juga dengan pengacara /
wali yang telah ditunjuk pasien.
tidak
Apakah potensi risiko dan • Jika terdapat kemungkinan yang sangat kecil akan
ya tingkat keberhasilan RJP, dan terdapat pertanyaan apakah
beban RJP dianggap lebih
besar daripada risikonya lebih besar daripada keuntungan dilakukan RJP;
keuntungan yang keterlibatan pasien atau walinya (jika pasien tidak kompeten)
didapat? dalam membuat keputusan merupakan hal yang krusial .
• Pada pasien anak / remaja, orang tua harus dilibatkan
dalam diskusi ini (jika memungkinkan).
tidak • Pada pasien dewasa yang kompeten secara
mental, pertimbangkanlah pendapat / pandangan pasien
RJP harus dilakukan terhadap keputusan DNR ini.
kecuali pasien
(kompeten secara
mental) menolak
tindakan RJP
• Keputusan tindakan RJP ini adalah hal yang sensitif dan kompleks, sehingga harus dilakukan oleh
personel medis yang kompeten dan berpengalaman, dan dilakukan dokumentasi dengan jelas dan
lengkap.
• Keputusan harus ditinjau ulang secara teratur dan rutin, minimal setiap 7 hari sekali dan tiap kali
terdapat perubahan kondisi.
• Jika terdapat keraguan/ ketidakpastian, mintalah saran dari dokter senior.
LAMPIRAN 3
1
FORMULIR TINDAKAN DO NOT RESUSCITATE (DNR)
DIAGNOSIS :
9
FORMULIR INSTRUKSI DNR PADA PASIEN DI LUAR RUMAH SAKIT
DO NOT RESUSCITATE
(DNR)
Permintaan ini ditujukan untuk usaha resusitasi pada kondisi terjadinya henti jantung / napas
pada:
(Nama Pasien), dan telah diinstruksikan oleh dokter yang bertandatangan di bawah ini.
Instruksi ini sesuai dengan keinginan pasien dan telah diputuskan dan didokumentasikan oleh dokter (yang bertandatangan
di bawah ini) bahwa usaha resusitasi pada pasien ini dianggap tidak sesuai secara medis.
Instruksi DNR ini harus dihormati oleh seluruh Tim Kegawatdaruratan Medis, Pemberi Pertolongan Pertama, dan
petugas kesehatan lainnya yang berhubungan dengan pasien dalam situasi kegawatdaruratan medis.
Alamat pasien :
Nama dokter :
Alamat dokter :
Nomor telepon :
Tanggal :
DOKUMEN INI HARUS DITUNJUKKAN DAN TERSEDIA SETIAP SAAT UNTUK TIM
KEGAWATDARURATAN MEDIS
INSTRUKSI UNTUK PEMBERI PERTOLONGAN PERTAMA
/ TIM KEGAWATDARURATAN MEDIS
1. Lakukan asesmen pada pasien mengenai tidak adanya pernapasan dan atau denyut jantung
2. Jika pasien tidak berada dalam kondisi henti jantung dan atau napas, sediakan semua perawatan
yang dibutuhkan, termasuk transportasi, jika diperlukan.
3. Jika pasien berada dalam kondisi henti jantung dan atau napas, jangan melakukan RJP dan
usaha resusitasi lainnya.
5. Dokumentasikan semua informasi di lembar asesmen dan lamprikan salinan Instruksi DNR di
Luar
Rumah Sakit ini.
6. Hanya individu (pasien, wali sah, atau dokter) yang menadatangani formulir ini yang
dapat membatalkan instruksi ini setiap saat.
7. Salinan dokumen ini adalah sah dan harus dihormati setiap saat.
LAMPIRAN 5
9
PANDUAN GELANG DNR
1. Gelang DNR merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi pasien yang memiliki
instruksi
DNR yang valid dan berada di luar rumah sakit.
2. gelang ini harus dihargai dan ditaati oleh tim kegawatdaruratan medis dengan atau tanpa
adanya formulir instruksi DNR tertulis.
3. Gelang ini harus:
a. dipakai di pergelangan tangan / kaki pasien
b. Bertuliskan:
i. nama pasien
ii. nama dan nomor telepon dokter
iii. tanggal pembuatan instruksi DNR dan masa berlakunya (jika ada)
c. Tidak rusak / sobek
4. Pasien / wali sahnya dapat meminta gelang DNR ini dari rumah sakit tempat pasien berobat
dengan membawa formulir DNR tertulis yang didapat dari dokter.
5. Rumah sakit akan menyimpan salinan formulir instruksi DNR.
6. Rumah sakit akan bertanggungjawab dalam:
a. Memberikan gelang DNR kepada pasien, berdasarkan formulir tertulis DNR yang ada
b. Melengkapi tulisan di gelang DNR, meliputi: nama pasien, nama dokter, dan
tanggal pembuatan instruksi DNR
c. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai tujuan dan maksud dari
instruksi DNR ini. menekankan bahwa instruksi DNR ini hanya berlaku untuk usaha RJP,
penanganan lainnya tetap dilakukan
7. Instruksi DNR dapat dibatalkan dengan cara:
a. Melepas gelang DNR
b. Menyatakan secara lisan mengenai pembatalan instruksi DNR
c. Menghancurkan / menyobek instruksi tertulis DNR
8. Pembatalan DNR ini harus dilaporkan kepada dokter pembuat formulir dan rumah sakit tempat
pasien berobat sehingga dapat dicatat ke rekam medis pasien.
REFERENSI