Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PENDAHULUAN

DIAGNOSA – DIAGNOSA KEPERAWATAN JIWA

DISUSUN OLEH :

ALVIS SYAHRU RAMADHAN


317036

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN

PPNI JAWA BARAT

2018
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


A. Pengertian
Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negative dan dapat secara langsung atau tidak langsung
diekspresikan (Towsend, 1998). Perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya
percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 1998).

B. Tanda Dan Gejala


Berikut ini adalah tanda dan gejala klien dengan gangguan harga diri rendah :
1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit
(rambut botak karena terapi)
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)
3. Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
4. Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
5. Mencederai diri

Tanda dan Gejala yang lain:


1 Mengkritik diri sendiri
2 Perasaan tidak mampu
3 Pandangan hidup yang pesimistis
4 Tidak menerima pujian
5 Penurunan produktivitas
6 Penolakan terhadap kemampuan diri
7 Kurang memperhatikan perawatan diri
8 Berpakaian tidak rapih
9 Selera makan berkurang
10 Tidak berani menatap lawan bicara
11 Lebih banyak menunuduk
12 Bicara lambat dengan nada suara lemah (Fitria, 2009).
C. Rentang Respon
Respon Respon
Adaptif Maladaptif

Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kerancuan Depersonalisasi


diri positif rendah identitas

1. Aktualisasi diri : Pernayataan diri tentangkonsep diri yang positif dengan latar
belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima.
2. Konsep diri positif: apabila individu mempunyai pengalaman yang positif dalam
beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang negative dari
dirinya
3. Harga diri rendah: Individu cenderung untuk menilai dirinya negative dan
merasa rendah dari orang lain.
4. Kerancuan identitas: Kegagalan individu mengintegrasikan aspek-aspek
identitas masa kanak-kanak kedalam kematangan aspek psikososial kepribadian
pada masa dewasa yang harmonis.
5. Depersonalisasi: Perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri sendiri
yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan
dirinya dengan orang lain.

D. Faktor Predisposisi
1. Faktor yang mempengaruhi harga diri, termasuk penolakan orang tua, harapan
orang tua yang tidak realistis.
2. Faktor yang mempengaruhi penampilan peran, yaitu peran yang sesuai dengan
jenis kelamin, peran dalam pekerjaan dan peran yang sesuai dengan kebudayaan
3. Faktor yang mempengaruhi identitas diri, yaitu orang tua yang tidak percaya pada
anak, tekanan teman sebaya dan kultur social yang berubah.

E. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya sebagian
anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan,
serta menurunnya produktivitas. Gangguan konsep diri : harga diri rendah ini dapat
terjadi secara situasional maupun kronik.
1. Situasional
Gangguan konsep diri: harga diri rendah yang terjadi secara situasional bisa
disebabkan oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba misalnya harus dioperasi,
mengalami kecelakaan, mejadi korban perkosaan, atau menjadi narapidana
sehingga harus masuk penjara.
2. Kronik
Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis biasanya sudah berlangsung sejak
lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat. Klien sudah
memiliki pikiran negatif sebelum dirawat dan menjadi semakin meningkat saat
dirawat.

F. Akibat (Effect)
Harga diri rendah kronis dapat beresiko terjadinya isolasi sosial. Isolasi sosial
merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari
hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993). Isosial sosial dapat mengakibatkan
perubahan persepsi sensori: halusinasi yang pada akhirnya menyebabkan resiko tinggi
perilaku kekerasan.

G. Teori Para Ahli Mengenai Harga Diri Rendah


Peplau dan Sulivan dalam Keliat (1999) mengatakan bahwa pengalaman
interpersonal di masa atau tahap perkembangan dari bayi sampai lanjut usia yang tidak
menyenangkan seperti good me, bad me, not me, merasa sering dipersalahkan, atau
merasa tertekan kelak, akan menimbulkan perasaan aman yang tidak terpenuhi. Hal
ini dapat menimbulkan perasaan ditolak oleh lingkungan dan apabila koping yang
digunakan tidak efektif dapat menyebabkan harga diri rendah.

H. Mekanisme Koping
Mekanisme koping termasuk pertahanan koping jangka pendek dan jangka
panjang serta penggunaan mekanisme pertahanan ego untuk melindungi diri yang
menyakitkan.
1. Pertahanan jangka pendek
a. Aktivitas yang dapat memberikan pelarian sementara dari krisis identitas (misal
: bermain musik, bekerja keras, menonton TV)
b. Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara (ikut serta
dalam aktivitas sosial, agama, klub politik, kelompok/geng)
c. Aktivitas yang secara sementara menguatkan perasaan diri (misal: olahraga
yang kompetitif, pencapaian akademik, kontes untuk mendapatkan popularitas)
d. Aktivitas yang mewakili upaya jangka pendek untuk membuat masalah identitas
menjadi kurang berarti dalam kehidupan idividu (misal : penyalahgunaan obat)
2. Pertahanan jangka panjang
a. Penutupan identitas : Adopsi identitas premature yang diinginkan oleh orang
penting bagi individu tanpa memperhatikan keinginan, aspirasi dan potensi diri
individu tersebut
b. Identitas negatif : Asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat diterima
oleh nilai dan harapan masyarakat.

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN


A. Gangguan konsep diri : HDR
Data Mayor :
 DS : Klien hidup tak bermakna, tidak memiliki kelebihan apapun,
merasa jelek
 DO : Kontak mata kurang, tidak berinisiatif berinteraksi dengan orang
lain
Data Minor :
 DS : Klien mengatakan malas, putus asa, ingin mati.
 DO : Klien malas-malasan, produktivitas menurun
III. Intervensi
Pasien Keluarga

SP I SP I
1. Mengidenfikasi kemampuan dan 1. Mendiskusikan masalah yang
aspek positif yang dimiliki pasien dirasakan keluarga dalam merawat
2. Membantu pasien menilai pasien
kemampuan pasien yang masih dapat 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan
digunakan gejala harga diri rendah yang dialami
3. Membantu pasien memilih kegiatan pasien beserta proses terjadinya
yang akan dilatih sesuai dengan 3. Menjelaskan cara-cara merawat
kemampuan pasien pasien harga diri rendah
4. Melatih pasien kegiatan yang dipilih
sesuai kemampuan
5. Membimbing pasien memasukkan SP II
dalam jadwal kegiatan harian. 1) Melatih keluarga mempraktekkan cara
merawat pasien dengan harga diri
SP II rendah
1. Memvalidasi masalah dan latihan 2) Melatih keluarga melakukan cara
sebelumnya. merawat langsung kepada pasien
2. Melatih kegiatan kedua (atau harga diri rendah
selanjutnya) yang dipilih sesuai
kemampuan SP III
3. Membimbing pasien memasukkan 1) Membantu keluarga membuat jadual
dalam jadwal kegiatan harian. aktivitas di rumah termasuk minum
obat (discharge planning)
2) Menjelaskan follow up pasien
setelah pulang
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


A. Pengertian
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri
secara mandiri seperti mandi (higiene), berpakaian/berhias, makan dan BAB/BAK
(Toileting).

B. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Defisit Perawatan Diri


1. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan
inisiatif dan keterampilan klien kurang.
2. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri.
3. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan dari lingkungannya.

C. Tanda dan Gejala


1. Mandi/hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan, memperoleh atau
mendapatkan sumber air mandi, mengaturan suhu atau aliran air mandi,
mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar
kamar mandi.
2. Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan
pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau menukar pakaian.
3. Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan, mempersiapkan
makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan, menggunakan alat
tambahan, mendapatkan makanan, membuka container, memanipulasi makanan
dalam mulut, mengambil makanan dari wadah lalu memasukkannya ke mulut,
melengkapi makan, mencerna makanan menurut cara yang diterima masyarakat,
mengambil cangkir atau gelas, serta mencerna cukup makanan dengan aman.
4. BAB/BAK (toileting)
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan jamban
atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian untuk
toileting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan tepat, dan menyiram toilet
atau kamar kecil.

D. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Menyendiri (Solitude) Kesepian Manipulasi


Otonomi Menarik diri Impulsive
Kebersamaan Ketergantungan Narcisme
Saling ketergantungan

1. Menyendiri (Solitude) : Respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan


apa yang dilakukan dilingkungan sosialnya dan juga suatu cara mengevaluasi diri
untuk menentukan langkah selanjutnya.
2. Otonomi :Kemampuan individu dalam menentukan dan
menyampaikan ide-ide pikiran, perasaan dalam hubungan social
3. Kebersamaan :Kondisi dalam hubungan sosial interpersonal dimana
individu mampu saling member dan menerima.
4. Saling Ketergantungan :Hubungan saling tergantung antara individu dengan
orang lain dalam rangka membina hubungan interpersonal.

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN


A. Defisit Perawatan diri
Data Mayor :
 DS : Menyatakan malas mandi, tidak tahu cara makan yang baik,
tidak tahu cara dandan yang baik, tidak tahu cara eliminasi yang
baik.
 DO : Badan kotor, dandan tidak rapih, makan berantakan, BAB/BAK
sembarang tempat.
Data Minor :
 DS : Merasa tidak berguna, merasa tak perlu merubah penampilan,
merasa tidak ada yang peduli
 DO : Tidak tersedia alat kebersihan, tidak tersedia alat makan,
tidak tersedia alat toileting

III. Intervensi
Pasien Keluarga
SP I SP I
1) Menjelaskan pentingnya 1) Mendiskusikan masalah yang
kebersihan diri dirasakan keluarga dalam merawat
2) Menjelaskan cara menjaga pasien
kebersihan diri 2) Menjelaskan pengertian, tanda dan
3) Melatih pasien cara menjaga gejala defisit perawatan diri, dan
kebersihan diri jenis defisit perawatan diri yang
4) Membimbing pasien memasukkan dialami pasien beserta proses
dalam jadwal kegiatan harian. terjadinya
3) Menjelaskan cara-cara merawat
SP II pasien defisit perawatan diri
1) Memvalidasi masalah dan latihan
sebelumnya. SP II
2) Menjelaskan cara makan yang baik 1) Melatih keluarga mempraktekkan
3) Melatih pasien cara makan yang cara merawat pasien dengan defisit
baik perawatan diri
4) Membimbing pasien memasukkan 2) Melatih keluarga melakukan cara
dalam jadwal kegiatan harian. merawat langsung kepada pasien
defisit perawatan diri
SP III
1) Memvalidasi masalah dan latihan SP III
sebelumnya. 1) Membantu keluarga membuat
2) Menjelaskan cara eliminasi yang jadual aktivitas di rumah termasuk
baik minum obat (discharge planning)
3) Melatih cara eliminasi yang baik. 2) Menjelaskan follow up pasien
4) Membimbing pasien memasukkan setelah pulang
dalam jadwal kegiatan harian.

SP IV
1) Memvalidasi masalah dan latihan
sebelumnya.
2) Menjelaskan cara berdandan
3) Melatih pasien cara berdandan
4) Membimbing pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


A. Pengertian
1. Hubungan Sosial
Hubungan sosial adalah hubungan untuk menjalin kerjasama dan ketergantungan
dengan orang lain (Stuart and Sundeen, 1998).
2. Kerusakkan Interaksi Sosial
Kerusakan interaksi sosial merupakan suatu gangguan hubungan
intrapersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang
menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam
hubungan sosial (Depkes, 2000).
3. Isolasi Sosial
Suatu sikap di mana individu menghindari diri dari interaksi dengan orang
lain. Individu merasa bahwa ia kehingan hubungan akrab dan tidak mempunyai
kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan. Ia
mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang
dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian, dan tidak
sanggup membagi pengamatan dengan orang lain (Balitbang, 2007) .
Merupakan upaya menghindari suatu hubungan komunikasi dengan orang
lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan
untuk berbagi rasa, pikiran, dan kegagalan. Klien mengalami kesulitan dalam
berhubungan secara spontan dengan orang lain yang dimanifestasikan dengan
mengisolasi diri, tidak ada perhatian, dan tidak sanggup berbagi pengalaman
(Balitbang, 2007).

B. Tanda dan Gejala


Berikut ini adalah tanda dan gejala klien dengan isolasi sosial.
1 Kurang spontan.
2 Apatis (acuh terhadap lingkungan).
3 Ekspresi wajah kurang berseri.
4 Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri.
5 Tidak ada atau kurang komunikasi verbal.
6 Mengisolasi diri
7 Tidak ada atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.
8 Asupan makanan dan minuman terganggu.
9 Retensi urine dan feses.
10 Aktivitas menurun.
11 Kurang energi (tenaga).
12 Rendah diri.
13 Poster tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin (khususnya pada posisi tidur).

C. Rentang Respons
Respons Adaptif Respons Maladaptif

Menyendiri Merasa sendiri Menarik diri


Otononi Depedensi Ketergantungan
Bekerja sama Curiga Manipulasi
Interdependen curiga

Berikut ini akan dijelaskan tentang respons yang terjadi pada isolasi sosial.
1. Respons adaptif
Respons adaptif adalah respons yang masih dapat diterima oleh norma-norma
sosial dan kebudayaan secara umum berlaku. Dengan kata lain individu tersebut
masih dalam batas normal ketika menelesaikan masalah. Berikut ini adalah sikap
yang termasuk respons adaptif.
a. Menyendiri, respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang
telah terjadi di lingkungan sosialnya.
b. Otonomi, kemempuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
c. Bekerja sama, kemampuan individu yang saling membutuhkan satu sama lain.
d. Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam
membina hubungan interpersonal.
2. Respons maladaptif
Respons maladaptif adalah respons yang menyimpang dari norma sosial dan
kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk respons
maladaptif.
a. Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan
secara terbuka dengan orang lain.
b. Ketergantungan, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri sehingga
tergantung dengan orang lain.
c. Manipulasi, seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu
sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
d. Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang lain.

D. Etiologi
Terjadinya menarik diri dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan stressor
presipitasi. Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predisposisi
dan stressor presipitasi. Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor
predisposisi terjadi perilaku menarik diri. Kegagalan perkembangan dapat
mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya pada diri orang lain, ragu,
takut salah, pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindari
orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan dan merasa tertekan. Keadaan ini
dapat menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, menghindar
dari orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri dan kegiatan sendiri terabaikan.
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Tumbuh Kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan
yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial.
Bila tugas-tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan
menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya akan dapat
menimbulkan masalah.
Tugas Perkembangan Berhubungan Dengan Pertumbuhan
Interpersonal.
Tahap
Tugas
Perkembangan
Masa Bayi Menetapkan rasa percaya
Masa Bermain Mengembangkan otonomi dan awal perilaku mandiri
Masa Belajar menunjukkan inisiatif, rasa tanggung jawab,
Prasekolah dan hati nurani
Belajar berkompetisi, bekerja sama, dan
Masa Sekolah
berkompromi
Menjalin hubungan intim dengan teman sesama jenis
Masa Praremaja
kelamin.
Menjadi intim dengan teman lawan jenis atau
Masa Remaja
bergantung pada orang tua.
Menjadi saling bergantung antara orangtua dan
Masa Dewasa
teman, mencari pasangan, menikah, dan mempunyai
Muda
anak.
Masa Tengah Belajar menerima hasil kehidupan yang sudah dilalui.
Baya
Masa Dewasa Berduka karena kehilangan dan mengembangkan
Tua perasaan keterikatan dengan budaya.
Sumber : Stuart dan Sundeen (1995)

b. Faktor Komunikasi dalam Keluarga


Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung
terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk
masalah dalam berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan (double
bind) yaitu suatu keadaan di mana seorang anggota keluarga menerima pesan
yang saling bertentangan dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang
tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan
lingkungan di luar keluarga.
c. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan suatu
faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini
disebabkan oleh norma-norma yang salah dianut oleh keluarga, dimana setiap
anggota keluarga yang tidak produktif seperti usia lanjut, berpenyakit kronis,
dan penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya.
d. Faktor Biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya
gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat mempengaruhi
terjadinya gangguan hubungan sosial adalah otak, misalnya pada klien
skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial memiliki struktur
yang abnormal pada otak seperti atropi otak, serta perubahan ukuran dan
bentuk sel-sel dalam limbik dan daerah kortikal.
2. Faktor Presipitasi
Terjadinya gangguan hubungan sosial juga dapat ditimbulkan oleh faktor internal
dan eksternal seseorang. Faktor stresorpresipitasi dapat dikelompokkan sebagai
berikut.
a. Faktor eksterna
Contohnya adalah stresor sosial budaya, yaitu stres yang ditimbulkan oleh
faktor sosial budaya seperti keluarga.
b. Faktor internal
Contohnya adalah stresor psikologis, yaitu stres terjadi akibat ansietas yang
berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan
individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi akibat tuntutan untuk
berpisah dengan orang terdekat atau tidak terpenuhinya kebutuhan individu.

E. Dampak Menarik Diri Terhadap Kebutuhan Dasar Manusia


Dibawah ini akan dijelaskan mengenai dampak gangguan interaksi sosial
menarik diri terhadap kebutuhan dasar manusia yang dikemukakan oleh Abraham
Maslow.
1. Kebutuhan Fisiologis
Klien dengan interaksi sosial menarik diri kurang memperhatikan diri dan
lingkungannya sehingga motivasi untuk makan sendiri tidak ada. Klien kurang
memperhatikan kebutuhan istirahat dan tidur, karena asyik dengan pikirannya
sendiri sehingga tidak ada minat untuk mengurus diri dan keberhasilannya.
2. Kebutuhan Rasa Aman
Klien dengan gangguan interaksi menarik diri cenderung merasa cemas, gelisah,
takut dan bingung sehingga akan menimbulkan rasa tidak aman bagi klien.
3. Kebutuhan Mencintai dan Dicintai
Klien dengan gangguan interaksi sosial menarik diri cenderung memisahkan diri
dari orang lain.
4. Kebutuhan Harga Diri
Klien dengan gangguan interaksi sosial menarik diri akan mengalami perasaan
yang tidak berarti dan tidak berguna. Klien akan mengkritik diri sendiri,
menurunkan dan mengurangi martabat diri sendiri sehingga klien terganggu.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Klien dengan gangguan interaksi sosial menarik diri akan merasa tidak percaya
diri, merasa dirinya tidak pantas menerima pengakuan dan penghargaan dari orang
lain dan klien akan merasa rendah diri untuk meminta pengakuan dari orang lain.

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN


A. Isolasi sosial
Data Mayor :
DS : Klien mengatakan malas berinteraksi, mengatakan orang lain tidak mau
menerima dirinya, merasa orang lain tidak selevel.
DO : Menyendiri, mengurung diri, tidak mau bercakap-cakap dengan orang lain.
Data Minor :
DS : Curiga dengan orang lain, mendengar suara/melihat bayangan, merasa tak
berguna
DO : Mematung, mondar-mandir tanpa arah, tidak berinisiatif berhubungan dengan
orang lain.

III. Intervensi
Pasien Keluarga
SP I SP I
1) Mengidentifikasi penyebab isolasi 1) Mendiskusikan masalah yang
sosial pasien dirasakan keluarga dalam merawat
2) Mengidentifikasi keuntungan pasien
berinteraksi dengan orang lain. 2) Menjelaskan pengertian, tanda dan
3) Mengidentifikasi kerugian tidak gejala isolasi sosial yang dialami
berinteraksi dengan orang lain. pasien beserta proses terjadinya
4) Melatih pasien berkenalan dengan 3) Menjelaskan cara-cara merawat
satu orang. pasien isolasi sosia
5) Membimbing pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian. SP II
1) Melatih keluarga mempraktekkan
SP II cara merawat pasien dengan isolasi
1) Memvalidasi masalah dan latihan sosial
sebelumnya. 2) Melatih keluarga melakukan cara
2) Melatih pasien berkenalan dengan merawat langsung kepada pasien
dua orang atau lebih. isolasi sosial
3) Membimbing pasien memasukkan SP III
dalam jadwal kegiatan harian. 1) Membantu keluarga membuat
jadual aktivitas di rumah
SP III termasuk minum
1) Memvalidasi masalah dan latihan obat (discharge planning)
sebelumnya. 2) Menjelaskan follow up pasien
2) Melatih pasien berinteraksi dalam setelah pulang
kelompok.
3) Membimbing pasien dan
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian.
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN SENSORI PERSEPSI : HALUSINASI

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


A. Pengertian
Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya rangsang
dari luar. Walaupun tampak sebagai suatu yang “khayal”, halusinasi sebenarnya
merupakan bagian dari kehidupan mental penderita yang “terepsesi”. Halusinasi dapat
terjadi karena dasarr-dasar organik fungsional, psikotik, maupun histerik (Yosep,
2007). Individu menginterpretasikan stresor yang tidak ada stimulus dari lingkungan
(Depkes RI, 2000).

B. Teori yang Menjelaskan Halusinasi


1. Teori Biokimia
Terjadi sebagai respon metabolisme terhadap stres yang mengakibatkan
terlepasnya zat halusinogenik neurotik (buffofenon dan dimethytransaferase).
2. Teori Psikoanalisis
Merupakan respon pertahanan ego untuk melawan rangsangan dari luar yang
mengancam dan ditekan untuk muncul dalam alam sadar.

C. Jenis – jenis Halusinasi


Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif
Halusinasi Dengar  Bicara atau  Mendengar suara-
tertawa sendiri. suara atau
(Klien mendengar
 Marah-marah kegaduhan.
suara/bunyi yang tidak
tanpa sebab.  Mendengar suara
ada hubungannya dengan
 Mendekatkan yang mengajak
stimulus yang
telinga ke arah bercakap-cakap.
nyata/lingkungan).
tertentu.  Mendengar suara
 Menutup telinga. menyuruh
melakukan sesuatu
yang berbahaya.
Halusinasi Penglihatan  Menunjuk-nunjuk Melihat bayangan,
ke arah tertentu. sinar, bentuk
(Klien melihat gambaran
 Ketakutan pada geometris, kartun,
yang jelas/samar terhadap
situasi yang tidak melihat hantu, atau
adanya stimulus yang
jelas. monster.
nyata dari lingkungan dan
orang lain tidak
melihatnya).
Halusinasi Penciuman  Mengendus-endus Membauai bau-bauan
seperti sedang seperti bau darah, urin,
(Klien mencium bau yang
membaui bau- feses, dan terkadang
muncul dari sumber
bauan tertentu. bau-bau tersebut
tertentu tanpa stimulus
 Menutup hidung. menyenangkan bagi
yang nyata).
klien.

Halusinasi Pengecapan  Sering meludah. Merasakan rasa seperti


 Muntah. darah, urin, atau feses.
(Klien merasakan sesuatu
yang tidak nyata, biasanya
merasakan rasa yang tidak
enak).
Halusinasi Perabaan  Menggaruk-garuk  Mengatakan ada
permukaan kulit. serangga di
(Klien merasakan sesuatu
permukaan kulit.
pada kulitnya tanpa ada
 Merasa seperti
stimulus yang nyata)
tersengat listrik.

Halusinasi Kinestetik  Memegang Mengatakan badannya


kakinya yang melayang di udara.
(Klien merasa badannya
dianggapnya
bergerak dalam suatu
bergerak sendiri.
ruangan/anggota
badannya bergerak)
Halusinasi Viseral  Memegang Mengatakan perutnya
badannya yang menjadi mengecil
(Perasaan tertentu timbul
dianggap berubah setelah minum
dalam tubuhnya)
bentuk dan tidak softdrink.
normal seperti
biasanya.

Sumber : Stuart dan Sundeen (1998)

D. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh dari
klien atau keluarga. Faktor predisposisi meliputi:
1. Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal
terganggu, maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
2. Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa disingkarkan,
sehingga orang tersebut merasa kesepian di lingkungan yang membesarkannya.
3. Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika seseorang
mengalami stres yang berlebihan, maka di dalam tubuhnya akan dihasilkan suatu
zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan
dimethytransferase (DMP).
4. Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda
bertentangan yang sering diterima oleh seseorang akan mengakibatkan stres dan
kecemasan yang tinggi dan berakhir pada gangguan orientasi realitas.
5. Faktor Genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini.
E. Faktor Presipitasi
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan,
ancaman/tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang
lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama
diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan juga suasana sepi/isolasi adalah
sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan
stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.

F. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut, tidak aman,
gelisah dan bingung, berperilaku yang merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu
mengambil keputusan, serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata.
Rawlins dan Heacock (1993) mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan
atas hakikat keberadaan individu sebagai makhluk yang dibangun atas unsur-unsur
bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu:
1. Dimensi fisik
Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi ransangan eksternal yang
diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi
fisik seperti: kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga
delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan tidur dalam waktu lama.
2. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan karena masalah yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah
memaksa dan menakutkan, sehingga klien tidak sanggup lagi menentang perintah
tersebut hingga berbuat sesuatu terhadap ketakutannya.
3. Dimensi intelektual
Individu yang mengalami halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan
fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, tetapi pada saat tertentu menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan
mengontrol semua perilaku klien.
4. Dimensi sosial
Dimensi sosial menunjukkan individu cenderung untuk mandiri. Individu asik
dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri, dan harga diri yang tidak didapatkan
dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol, sehingga jika perintah
halusinasi berupa ancaman, maka hal tersebut dapat mengancam dirinya atau orang
lain.
5. Dimensi spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan
manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Klien yang mengalami
halusiansi cenderung menyendiri dan cenderung tidak sadar dengan keberadaanya
serta halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut.

G. Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat
mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping dilingkungan.
Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan
sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan
pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.

H. Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya
penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk
melindungi diri.

I. Tahapan Halusinasi
1. Tahap I ( non-psikotik )
Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada klien, tingkat
orientasi sedang. Secara umum pada tahap ini halusinasi merupakan hal yang
menyenangkan bagi klien. Karakteristik :
a. Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan
b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan kecemasan
c. Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam control kesadaran
Perilaku yang muncul :
a. Tersenyum atau tertawa sendiri
b. Menggerakkan bibir tanpa suara
c. Pergerakan mata yang cepat
d. Respon verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi
2. Tahap II ( non-psikotik )
Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami tingkat
kecemasan yang berat. Secara umum, halusinasi yang ada dapat menyebabkan
antipasti.
Karakteristik :
a. Pengalaman sensori menakutkan atau merasakan dilecehkan oleh pengalaman
tersebut
b. Mulai merasa kehilangan kontrol
c. Menarik diri dari orang lain
Perilaku yang muncul :
a. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah.
b. Perhatian terhadap lingkungan menurun
c. Konsentrasi terhadap pengalaman sensori menurun
d. Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinasi dan realita
3. Tahap III ( psikotik )
Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat kecemasan berat,
dan halusinasi tidak dapat ditolak lagi. Karekteristik:
a. Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya
b. Isi halusinasi menjadi atraktif
c. Klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori berakhir
Perilaku yang muncul :
a. Klien menuruti perintah halusinasi
b. Sulit berhubungan dengan orang lain
c. Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat
d. Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata
e. Klien tampak tremor dan berkeringat
4. Tahap IV ( psikotik )
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat panic
Perilaku yang muncul :
a. Resiko tinggi menciderai
b. Agitasi atau kataton
c. Tidak mampu merespon rangsangan yang ada
Timbulnya perubahan persepsi sensori halusinasi biasanya diawali dengan
seseorang yang menarik diri dari lingkungan karena orang tersebut menilai dirinya
rendah. Bila klien mengalami halusinasi dengar dan lihat atau salah satunya yang
menyuruh pada kejelekan maka akan berisiko terhadap perilaku

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN


A. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
Data Mayor :
 DS : Mengatakan mendengar suara, bisikan/melihat bayangan
 DO : Bicara sendiri, tertawa sendiri, marah tanpa sebab
Data Minor :
 DS : Menyatakan kesal, menyatakan senang dengan suara-
suara
 DO : Menyendiri, melamun.

III. Intervensi
Pasien Keluarga
SP I SP I
1) Mengidentifikasi jenis halusinasi 1) Mendiskusikan masalah yang
pasien dirasakan keluarga dalam merawat
2) Mengidentifikasi isi halusinasi pasien pasien
3) Mengidentifikasi waktu halusinasi 2) Menjelaskan pengertian, tanda dan
pasien gejala halusinasi, dan jenis halusinasi
4) Mengidentifikasi frekuensi halusinasi yang dialami pasien beserta proses
pasien terjadinya
5) Mengidentifikasi situasi yang 3) Menjelaskan cara-cara merawat pasien
menimbulkan halusinasi halusinasi
6) Mengidentifikasi respons pasien
terhadap halusinasi SP II
7) Melatih pasien cara kontrol halusinasi 1) Melatih keluarga mempraktekkan cara
dengan menghardik merawat pasien dengan halusinasi
8) Membimbing pasien memasukkan 2) Melatih keluarga melakukan cara
dalam jadwal kegiatan harian. merawat langsung kepada pasien
halusinasi
SP II
1) Memvalidasi masalah dan latihan SP III
sebelumnya 1) Membantu keluarga membuat jadual
2) Melatih pasien cara kontrol halusinasi aktivitas di rumah termasuk minum
dengan berbincang dengan orang lain obat (discharge planning)
3) Membimbing pasien memasukkan 2) Menjelaskan follow up pasien setelah
dalam jadwal kegiatan harian. pulang
SP III
1) Memvalidasi masalah dan latihan
sebelumnya
2) Melatih pasien cara kontrol halusinasi
dengan kegiatan (yang biasa
dilakukan pasien).
3) Membimbing pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.

SP IV
1) Memvalidasi masalah dan latihan
sebelumnya.
2) Menjelaskan cara kontrol halusinasi
dengan teratur minum obat (prinsip 5
benar minum obat).
3) Membimbing pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN PROSES PIKIR : WAHAM

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


A. Pengertian
Waham adalah keyakinan yang salah dan kuat dipertahankan walaupun tidak
diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realitas social (Stuart dan Sundeen,
1998). Menurut Depkes (2000), Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan
knyataan, tetapi dipertahankan dan tidak dapay diubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan
ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol.

B. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala pada klien dengan perubahan proses piker : waham adalah sebagai
berikut.
1. Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
kenyataan
2. Klien tampak tidak mempunyai orang lain
3. Curiga
4. Bermusuhan
5. Merusak (diri, orang lain, lingkungan)
6. Takut, sangat waspada
7. Tidak tepat menilai lingkungan/ realitas
8. Ekspresi wajah tegang
9. Mudah tersinggung (Azis R dkk, 2003).

Tanda dan Gejala :


1. Menolak makan
2. Tidak ada perhatian pada perawatan diri
3. Ekspresi wajah sedih/gembira/ketakutan
4. Gerakan tidak terkontrol
5. Mudah teresinggung
6. Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan
7. Tidak dapat membedakan antara kenyataan dan bukan kenyataan
8. Menghindar dari orang lain
9. Mendominasi pembicaraan
10. Berbicara kasar
11. Menjalankan kegiatan keagamaan secara berlebihan (Fitria, 2009).

C. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif

- Pikiran logis - Kadang proses - Gg. Isi piker


- Persepsi akurat piker terganggu halusinasi
- Emosi konsisten - Ilusi - Perubahan proses
dng pengalaman - Emosi berlebih emosi
- Perilaku sesuai - Berperilaku yg - Perilaku tidak
- Hubungan social tidak biasa terorganisasi
harmonis - Menarik diri - Isolasi sosial

D. Penyebab dari Waham


Salah satu penyebab dari perubahan proses pikir: waham yaitu harga diri rendah
kronis. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Gangguan harga diri dapat
digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri,
dan merasa gagal mencapai keinginan. Harga diri rendah kronik dapat menyebabkan
isolasi sosial dan pada akhirnya menyebabkan perubahan proses pikir: waham.

1. Faktor predisposisi
a. Faktor perkemabangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal seseorang.
Hal ini dapat menigkatkan stress dan ansiets yang berakhir dengan gangguan
persepsi, klien menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual
dan emosi yang tidak efektif.
b. Faktor sosial budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbulnya
waham.
c. Faktor psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat menimbulkan
ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan.
d. Faktor biologis
Waham diyakini terjadi karena atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak, atau
perubahan pada sel kortikal dan limbik.
e. Genetis
Diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif.
f. Neurobiologis
Adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic
g. Neurotransmitter
Abnormalitas pada dopamine, serotonin dan glutamat.
h. Virus paparan virus influensa pada trimester III
2. Faktor Presipitasi
a. Faktor sosial budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang berarti atau
diasingkan dari kelompok.
b. Faktor biokimia
Dopamine, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat menjadi
penyebab waham pada seseorang.
c. Faktor psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk mengatasi
masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan
yang menyenangkan.

E. Macam – macam Waham


1. Waham agama : keyakinan seseorang bahwa ia dipilih oleh Yang Maha Kuasa atau
menjadi utusan Yang Maha Kuasa.
2. Waham somatik : keyakinan seseorang bahwa tubuh atau bagian tubuhnya sakit
atau terganggu.
3. Waham kebesaran : keyakinan seseorang bahwa ia memiliki kekuatan yang
istimewa.
4. Waham paranoid : kecurigaan seseorang yang berlebihan atau tidak rasional dan
tidak mempercayai orang lain, ditandai dengan waham yang sistematis bahwa
orang lain “ingin menangkap “ atau memata-matainya.
5. Waham depresif : kepercayaan tidak mendasar serta cenderung menyalahkan diri
sendiri akibat perbuatan-perbuatannya yang melanggar kesusilaan atau kejahatan,
sering dirasakan sebagai waham sakit dan waham bersalah
6. Waham nihilistik : suatu pikiran bahwa dirinya atau orang lain sudah meninggal
atau dunia sudah hancur
7. Waham pengaruh : keyakinan bahwa dirinya merupakan subjek pengaruh dari
orang lain
8. Siar pikir ; waham tentang pikiran yang disiarkan ke dunia luar.
9. Sisip pikir ; waham tentang pikiran yang ditempatkan ke dalam benak orang lain
atau pengaruh luar.

F. Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang
menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif meliputi :
1. Regresi : berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
mengatasi ansietas
2. Proyeksi : sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi
3. Menarik diri
4. Pada keluarga ; mengingkari

G. Akibat dari Waham


Klien dengan waham dapat berakibat terjadinya resiko mencederai diri, orang
lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan
dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.
Tanda dan Gejala :
1. Memperlihatkan permusuhan
2. Mendekati orang lain dengan ancaman
3. Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai
4. Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
5. Mempunyai rencana untuk melukai
II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN
A. Perubahan proses pikir: waham
Data Mayor :
 DS : Merasa curiga, merasa cemburu, merasa diancam/diguna-guna,
merasa sebagai orang hebat, merasa memiliki kekuatan luar biasa,
merasa sakit/rusak organ tubuh.
 DO : Marah –marah tanpa sebab, banyak kata (longorhoe),
menyendiri, sirkumtansial, inkoheren.
Data Minor :
 DS : Merasa orang lain menjauh, merasa tidak ada yang mau mengerti
 DO : Marah – marah karena urusan sepele, menyendiri.

III. Intervensi
Pasien Keluarga
SP I SP I
1) Membantu orientasi realita 1) Mendiskusikan masalah yang
2) Mengidentifikasi kebutuhan yang tidak dirasakan keluarga dalam merawat
terpenuhi. pasien
3) Melatih pasien memenuhi 2) Menjelaskan pengertian, tanda dan
kebutuhannya gejala waham, dan jenis waham yang
4) Membimbing pasien memasukkan dialami pasien beserta proses
dalam jadwal kegiatan harian. terjadinya
3) Menjelaskan cara-cara merawat pasien
SP II waham
1) Memvalidasi masalah dan latihan
sebelumnya. SP II
2) Mengidentifikasi kemampuan yang 1) Melatih keluarga mempraktekkan cara
dimiliki merawat pasien dengan waham
3) Melatih kemampuan yang dimiliki 2) Melatih keluarga melakukan cara
4) Membimbing pasien memasukkan merawat langsung kepada pasien
dalam jadwal kegiatan harian. waham

SP III SP III
1) Memvalidasi masalah dan latihan 1) Membantu keluarga membuat jadual
sebelumnya. aktivitas di rumah termasuk minum
2) Menjelaskan penggunaan obat secara obat
benar. 2) Mendiskusikan sumber rujukan yang
3) Membimbing pasien memasukkan bisa dijangkau keluarga
dalam jadwal kegiatan harian.
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


A. Pengertian
(Towsend, 1998) perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang individu
mengalamai perilaku yang dapat melukai secara fisik baik terhadap diri sendiri maupun orang
lain. Suatu keadaan di mana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien
sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang – barang (Maramis, 1998). Perilaku
kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan scara verbal dan fisik (Keltner et al,
1995).

B. Tanda dan Gejala


1. Fisik : Muka merah, Pandangan tajam/mata melotot, tangan mengepal, otot
tegang, rahang mengatup, serta postur tubuh kaku.
2. Verbal : Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan
nada keras, kasar dan ketus.
3. Perilaku : Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak
lingkungan, amuk/agresif
4. Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, ngamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan
menuntut.
5. Intelektual : Mendominasi, cerewet, cenderung suka meremehkan berdebat, kasar,
dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
6. Spiritual : Merasa diri kuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tak bermoral,
kreativitas terhambat
7. Sosial : Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan,, ejekan, sindiran,
memperlihatkan permusuhan, mendekati orang lain dengan ancaman, memberikan
kata-kata ancaman dengan rencana melukai, menyentuh orang lain dengan cara
yang menakutkan, mempunyai rencana untuk melukai

C. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan


Keterangan :
1. Asertif : Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain
dan memberikan ketenangan
2. Frustasi : Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat
menemukan alternative
3. Pasif : Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya
4. Agresif : Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut
tetapi masih terkontrol
5. Kekerasan : Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya control

Perbandingan antara perilaku Asertif, Pasif dan Agresif/Kekerasan


Pasif Asertif Agresif
Isi Negatif dan Positif dan Menyombongkan diri.
Pembicaraan merendahkan menawarkan diri, Merendahkan orang lain,
diri, contohnya contohnya perkataan contohnya perkataan:
perkataan : : “Kamu selalu…”
“Dapatkah “Saya dapat…” “Kamu tidak pernah…”
saya?” “Saya akan….”
“Dapatkah
kamu?”
Tekanan Cepat lambat, Sedang Keras dan ngotot
suara mengeluh
Posisi badan Menundukan Tegap dan santai Kaku, condong kedepan
kepala
Jarak Menjaga jarak Mempertahankan Siap dengan jarak akan
dengan sikap jarak yang nyaman menyerang orang lain
acuh/
mengabaikan
Penampilan Loyo, tidak dapat Sikap tenang Mengancam, posisi
tenang menyerang
Kontak mata Sedikit/sama Mempertahankan Mata melotot dan
sekali tidak kontak mata sesuai dipertahankan
dengan hubungan
Sumber : Keliat (1999) dalam Fitria (2009)
D. Faktor Predisposisi
Menurut Townsend (1996) terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan tentang
factor predisposisi perilaku kekerasan diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Teori Biologik
Berdasarkan teori biologic, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi
seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut :
a. Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen system neurologis mempunyai
implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbic
sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan
respons agresif
b. Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996) menyatakan
bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetil
kolin dan serotinin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan menghambat
impuls agresif. Peningkatan hormone androgen dan norepinefrin serta
penurunan serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan serebrospinal
merupakan factor predisposisi penting yang menyebabkan timbulnya perilaku
agresif pada seseorang.
c. Pengaruh genetic, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya
dengan genetic termasuk genetic tipe kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki
oleh penghuni penjara pelaku tindak criminal (narapidana)
d. Gangguan otak, sindrom otak organic berhubungan dengan berbagai gangguan
serebral, tumor otak (khususnya pada limbic dan lobus temporal), trauma otak,
penyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus temporal) terbukti berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2. Teori Psikologik
a. Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan
dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan
dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri serta memberikan arti dalam
kehidupannya.
b. Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari,
individu yang memiliki pengaruh biologic terhadap perilaku kekerasan lebih
cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran eksternal dibandingkan anak-
anak tanpa factor predisposisi biologic.
3. Teori Sosiokultural
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan
sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat ,erupakan factor predisposisi
terjadinya perilaku kekerasan

E. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat dibedakan menjadi factor internal dan eksternal :
1. Internal adalah semua factor yang dapat menimbulkan kelemahan, menurunya
percaya diri, rasa takut sakit, hilang kontrol dan lain-lain.
2. Eksternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai, krisis dan
lain-lain.
Menurut Shives (1998) hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau
penganiayaan antara lain sebagai berikut :
1. Kesulitan kondisi social ekonomi
2. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu
3. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuannya
dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa
4. Pelaku mungkin mempuanyai riwayat anti sosial seperti penyalahgunaan obat dan
alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa frustasi
5. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.

F. Mekanisme Koping
Mekanisme yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti
displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial, dan reaksi formasi.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang
berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap sangat
berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat
menyebabkan seseorang rendah diri (Harga diri rendah), sehingga sulit untuk bergaul
dengan orang lain. Bila ketidakmampuan bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi
akan memunculkan halusinasi berupa suara-suara atau bayangan yang meminta klien
untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut dapat berdampak pada keselamatan
dirinya dan orang lain (resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
G. Faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah perilaku kekerasan, antara
lain sebagai berikut :
1. Ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah
2. Stimulus lingkungan
3. Konflik interpersonal
4. Status mental
5. Putus obat
6. Penyalahgunaan narkoba/alcohol

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN


A. Perilaku kekerasan
Data Mayor :
 DS : Mengancam, mengumpat, bicara keras dan kasar
 DO : Agitasi, meninju, membanting dan melempar

Data Minor :
 DS : mengatakan ada yang mengejek dan mengancam, mendengar suara
yang menjelekkan, merasa orang lain mengancam dirinya
 DO : menjau dari orang lain, katatonia

III. Intervensi

Pasien Keluarga
SP 1 SP I
1) Mendiskusikan penyebab PK anak 1) Mengidentifikasi kemampuan keluarga
2) Mendiskusikan tanda dan gejala PK anak dalam merawat pasien
3) Mendiskusikan PK yang biasanya 2) Menjelaskan peran serta keluarga dalam
dilakukan oleh anak merawat pasien
4) Mendiskusikan akibat PK 3) Menjelaskan cara merawat anak PK
5) Melatih anak mencegah PK dengan cara
fisik: nafas dalam SP II
6) Membimbing memasukkan ke jadwal 1) Melatih keluarga merawat anak PK
kegiatan harian 2) Menjelaskan tentang obat untuk
mengatasi PK*
SP II
1) Memvalidasi masalah dan latihan SP III
sebelumnya.
2) Melatih cara sosial untuk 1) Menjelaskan sumber rujukan yang
mengekspresikan marah tersedia untuk mengatasi anak PK
3) Memimbing memasukkan ke jadwal 2) Mendorong untuk memanfaatkan sumber
kegiatan harian rujukan yang tersedia

SP III
1) Memvalidasi masalah dan latihan
sebelumnya.
2) Melatih cara spiritual untuk mencegah
PK
3) Membimbing memasukkan ke jadwal
kegiatan harian

SP IV
1) Memvalidasi masalah dan latihan
sebelumnya
2) Mendiskusikan manfaat obat
3) Menjelaskan kerugian jika tidak patuh
obat
4) Menjelaskan 5 benar dalam pemberian
obat
5) Membimbing memasukkan ke jadwal
kegiatan harian
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO TINGGI BUNUH DIRI

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


A. Pengertian
Bunuh diri adalah suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri
kehidupan individu secara sadar berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya untuk
mati. Perilaku bunuh diri meliputi isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang
akan mengakibatkan kematian, luka atau mernyakiti diri sendiri (Clinton, 1995)

B. Tanda dan Gejala


1. Mempunyai ide untuk bunuh diri
2. Mengungkapkan keinginan untuk mati
3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
4. Impulsif
5. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh)
6. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri
7. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat dosis
mematikan)
8. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panik, marah, dan
mengasingkan diri)
9. Kesehatan mental ( secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi, psikosis
dan menyalahgunakan alkohol)
10. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau terminal)
11. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan
karier)
12. Umur 15-19 tahun atau diatas 45 tahun
13. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan)
14. Pekerjaan
15. Konflik interpersonal
16. Latar belakang keluarga
17. Orientasi seksual
18. Sumber-sumber personal
19. Sumber-sumber sosial
20. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil

C. Rentang Respon
Respons Adaptif Respon Maladaptif

Peningkatan diri Beresiko destruktif Destruktif diri Pencederaan diri Bunuh diri
tidak langsung
Keterangan :
1. Peningkatan diri : Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri
secara wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahanan diri.
2. Beresiko destruktif : Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang
seharusnya dapat mempertahankan diri.
3. Destruktif diri tidak langsung : Seseorang telah mengambil sikap yang kurang
tepat (maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan dirinya unSP
mempertahankan diri.
4. Pencenderaan diri : Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencenderaan
diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
5. Bunuh diri : Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan
nyawanya hilang.
Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara ekspresi orang yang penuh
stress. Perilaku bunuh diri berkembang dalam rentang diantaranya :

1. Suicidal ideation, Pada tahap ini merupakan proses kontemplasi dari bunuh diri,
atau sebuah metoda yang digunakan tanpa melakukan aksi/ tindakan, bahkan
klien pada tahap ini tidak akan mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan.
2. Suicidal intent, Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah melakukan
perencanaan yang konkrit unSP melakukan bunuh diri
3. Suicidal threat, Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan
hasrat yang dalam, bahkan ancaman unSP mengakhiri hidupnya
4. Suicidal gesture, Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang
diarahkan pada diri sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya
tetapi sudah pada percobaan unSP melakukan bunuh diri. Tahap ini sering di
namakan “Crying for help” sebab individu ini sedang berjuang dengan stres yang
tidak mampu di selesaikan
5. Suicidal attempt, Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang mempunyai
indikasi individu ingin mati dan tidak mau diselamatkan misalnya minum obat
yang mematikan, walaupun demikian banyak individu masih mengalami
ambivalen akan kehidupannya.

D. Faktor Predisposisi
1. Faktor genetik dan teori biologi
Faktor genetik mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri pada keturunannya.
Disamping itu adanya penurunan serotonin dapat menyebabkan depresi yang
berkontribusi terjadinya resiko buuh diri.
2. Teori sosiologi
Emile Durkheim membagi bunuh diri dalam 3 kategori yaitu : Egoistik (orang yang
tidak terintegrasi pada kelompok sosial) , atruistik (Melakukan bunuh diri unSP
kebaikan masyarakat) dan anomik ( Bunuh diri karena kesulitan dalam
berhubungan dengan orang lain dan beradaptasi dengan stressor).
3. Teori psikologi, memfokuskan pada masalah tahap awal perkembangan ego,
trauma interpersonal, dan kecemasam berkepanjangan yang nungkin dapat memicu
seseorang unSP mencederai diri. Sigmund Freud dan Karl Menninger meyakini
bahwa bunuh diri merupakan hasil dari marah yang diarahkan pada diri sendiri.
4. Teori interpersonal mengungkapkan bahwa mencederai diri sebagai kegagalan dari
pertemuan dalam hidup, masa anak-anak mendapat perlakuan kasar serta tidak
mendapatkan kepuasan (Stuart dan Sundeen, 1995)
5. Penyebab lain :
a. Adanya harapan yang tidak dapat di capai
b. Merupakan jalan untuk mengakhiri keputusasaan dan ketidak-berdayaan
c. Cara untuk meminta bantuan
d. Sebuah tindakan untuk menyelesaikan masalah

E. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres berlebihan yang dialami individu.
Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan. Faktor lain yang dapat
menjadi pencetus adalah melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang
melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya
labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.

F. Masalah dan Data yang Perlu dikaji


Data yang perlu dikumpulkan saat pengkajian :
1. Riwayat masa lalu :
a. Riwayat percobaan bunuh diri dan mutilasi diri
b. Riwayat keluarga terhadap bunuh diri
c. Riwayat gangguan mood, penyalahgunaan NAPZA dan skizofrenia
d. Riwayat penyakit fisik yang kronik, nyeri kronik.
e. Klien yang memiliki riwayat gangguan kepribadian boderline, paranoid,
antisosial, gangguan persepsi sensori, gangguan proses pikir, dlsb
f. Klien yang sedang mengalami kehilangan dan proses berduka
2. Symptom yang menyertainya
a. Apakah klien mengalami :
a) Ide bunuh diri
b) Ancaman bunuh diri
c) Percobaan bunuh diri
d) Sindrom mencederai diri sendiri yang disengaja
b. Derajat yang tinggi terhadap keputusasaan, ketidakberdayaan dan anhedonia
dimana hal ini merupakan faktor krusial terkait dengan resiko bunuh diri.
3. Bila individu menyatakan memiliki rencana bagaimana untuk membunuh diri mereka
sendiri. Perlu dilakukan penkajian lebih mendalam lagi diantaranya :
a. Cari tahu rencana apa yang sudah di rencanakan
b. Menentukan seberapa jauh klien sudah melakukan aksinya atau perencanaan
untuk melakukan aksinya yang sesuai dengan rencananya.
c. Menentukan seberapa banyak waktu yang di pakai pasien untuk merencanakan
dan mengagas akan bunuh diri
d. Menentukan bagaiamana metoda yang mematikan itu mampu diakses oleh
klien.
e. Hal – hal yang perlu diperhatikan didalam melakukan pengkajian tentang
riwayat kesehatan mental klien yang mengalami resiko bunuh diri :
f. Menciptakan hubungan saling percaya yang terapeutik
g. Memilih tempat yang tenang dan menjaga privasi klien
h. Mempertahankan ketenangan, suara yang tidak mengancam dan mendorong
komunikasi terbuka.
i. Menentukan keluhan utama klien dengan menggunakan kata – kata yang
dimengerti klien
j. Mendiskuiskan gangguan jiwa sebelumnya dan riwayat pengobatannya
k. Mendaptakan data tentang demografi dan social ekonomi
l. Mendiskusikan keyakinan budaya dan keagamaan
m. Peroleh riwayat penyakit fisik klien
Salah satu Instrumen yang dapat dipekai untuk mengukur bunuh diri : SAD PERSONS

NO SAD PERSONS Keterangan


1 Sex (jenis kelamin) Laki laki lebih komit melakukan suicide 3 kali lebih
tinggi dibanding wanita, meskipun wanita lebih sering
3 kali dibanding laki laki melakukan percobaan bunuh
diri
2 Age ( umur) Kelompok resiko tinggi : umur 19 tahun atau lebih
muda, 45 tahun atau lebih tua dan khususnya umur 65
tahun lebih.
3 Depression 35 – 79% oran yang melakukan bunuh diri mengalami
sindrome depresi.
4 Previous attempts 65- 70% orang yang melakukan bunuh diri sudah
(Percobaan pernah melakukan percobaan sebelumnya
sebelumnya)
5 ETOH ( alkohol) 65 % orang yang suicide adalah orang
menyalahnugunakan alkohol
6 Rational thinking Loss ( Orang skizofrenia dan dementia lebih sering melakukan
Kehilangan berpikir bunuh diri disbanding general populasi
rasional)
7 Sosial support lacking ( Orang yang melakukan bunuh diri biasanya kurannya
Kurang dukungan dukungan dari teman dan saudara, pekerjaan yang
social) bermakna serta dukungan spiritual keagaamaan
8 Organized plan ( Adanya perencanaan yang spesifik terhadap bunuh diri
perencanaan yang merupakan resiko tinggi
teroranisasi)
9 No spouse ( Tidak Orang duda, janda, single adalah lebih rentang
memiliki pasangan) dibanding menikah
10 Sickness Orang berpenyakit kronik dan terminal beresiko tinggi
melakukan bunuh diri.

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN


A. Risiko bunuh diri
Data Mayor :
 DS : Mengatakan hidupnya tak berguna lagi, ingin mati, mengatakan pernah
mencoba ingin bunuh diri, mengancam bunuh diri
 DO : Ekspresi murung, tak bergairah, ada bekas percobaan bunuh diri

Data Minor :
 DS : Mengatakan ada yang menyuruh bunuh diri, mengatakan lebih baik mati
saja, mengatakan sudah bosan hidup
 DO : Perubahan kebiasaan hidup, perubahan perangai

III. Intervensi
Pasien Keluarga
SP I SP I
1) Mengidentifikasi benda-benda yang 1) Mendiskusikan masalah yang
dapat membahayakan pasien dirasakan keluarga dalam merawat
2) Mengamankan benda-benda yang pasien
dapat membahayakan pasien 2) Menjelaskan pengertian, tanda dan
3) Melakukan kontrak treatment gejala risiko bunuh diri, dan jenis
4) Mengajarkan cara mengendalikan perilaku bunuh diri yang dialami pasien
dorongan bunuh diri beserta proses terjadinya
5) Melatih cara mengendalikan dorongan 3) Menjelaskan cara-cara merawat pasien
bunuh diri risiko bunuh diri

SP II SP II
1) Mengidentifikasi aspek positif pasien 1) Melatih keluarga mempraktekkan cara
2) Mendorong pasien untuk berfikir merawat pasien dengan risiko bunuh
positif terhadap diri diri
3) Mendorong pasien untuk menghargai 2) Melatih keluarga melakukan cara
diri sebagai individu yang berharga merawat langsung kepada pasien risko
SP III bunuh diri
1) Mengidentifikasi pola koping yang
biasa diterapkan pasien SP III
2) Menilai pola koping yang biasa 1) Membantu keluarga membuat jadual
dilakukan aktivitas di rumah termasuk minum
3) Mengidentifikasi pola koping yang obat
konstruktif 2) Mendiskusikan sumber rujukan yang
4) Mendorong pasien memilih pola bisa dijangkau oleh keluarga
koping yang konstruktif
5) Membimbing pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.

SP IV

1) Membuat rencana masa depan yang


realistis bersama pasien
2) Mengidentifikasi cara mencapai
rencana masa depan yang realistis
3) Memberi dorongan pasien
melakukan kegiatan dalam rangka
meraih masa depan yang realistis
DAFTAR PUSTAKA

 Aziz R, dkk, 2003. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino
Gonohutomo.
 Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor
 Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) untuk 7 Diagnosa
Keperawatan Jiwa Berat bagi S-1 Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
 Keliat Budi Ana. 1999. Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC.
 Keliat, B,A. 1998. Askep Pada Kliean Gangguan Orientasi Realitas. Jakarta.
 Keliat, B.A. 1999. Proses Kesehatan Jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC
 Maramis, F, W. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University
Press.
 Stuart & Sundeen. 1998. Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
 Stuart GW, Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.).
St.Louis Mosby Year Book.
 Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J. 1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Terjemahan dari
Pocket Guide to Psychiatric Nursing, oleh Achir Yani S. Hamid. 3rd ed. Jakarta : EGC.
 Tim Direktorat Keswa. 2000. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa. Ed : 1. Bandung :
RSJP.
 Townsend C. Mary , 1998, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3, Penerbit Buku
Kedokteran,EGC;Jakarta
 Yosep, I. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai