DISUSUN OLEH :
2018
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH
1. Aktualisasi diri : Pernayataan diri tentangkonsep diri yang positif dengan latar
belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima.
2. Konsep diri positif: apabila individu mempunyai pengalaman yang positif dalam
beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang negative dari
dirinya
3. Harga diri rendah: Individu cenderung untuk menilai dirinya negative dan
merasa rendah dari orang lain.
4. Kerancuan identitas: Kegagalan individu mengintegrasikan aspek-aspek
identitas masa kanak-kanak kedalam kematangan aspek psikososial kepribadian
pada masa dewasa yang harmonis.
5. Depersonalisasi: Perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri sendiri
yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan
dirinya dengan orang lain.
D. Faktor Predisposisi
1. Faktor yang mempengaruhi harga diri, termasuk penolakan orang tua, harapan
orang tua yang tidak realistis.
2. Faktor yang mempengaruhi penampilan peran, yaitu peran yang sesuai dengan
jenis kelamin, peran dalam pekerjaan dan peran yang sesuai dengan kebudayaan
3. Faktor yang mempengaruhi identitas diri, yaitu orang tua yang tidak percaya pada
anak, tekanan teman sebaya dan kultur social yang berubah.
E. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya sebagian
anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan,
serta menurunnya produktivitas. Gangguan konsep diri : harga diri rendah ini dapat
terjadi secara situasional maupun kronik.
1. Situasional
Gangguan konsep diri: harga diri rendah yang terjadi secara situasional bisa
disebabkan oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba misalnya harus dioperasi,
mengalami kecelakaan, mejadi korban perkosaan, atau menjadi narapidana
sehingga harus masuk penjara.
2. Kronik
Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis biasanya sudah berlangsung sejak
lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat. Klien sudah
memiliki pikiran negatif sebelum dirawat dan menjadi semakin meningkat saat
dirawat.
F. Akibat (Effect)
Harga diri rendah kronis dapat beresiko terjadinya isolasi sosial. Isolasi sosial
merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari
hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993). Isosial sosial dapat mengakibatkan
perubahan persepsi sensori: halusinasi yang pada akhirnya menyebabkan resiko tinggi
perilaku kekerasan.
H. Mekanisme Koping
Mekanisme koping termasuk pertahanan koping jangka pendek dan jangka
panjang serta penggunaan mekanisme pertahanan ego untuk melindungi diri yang
menyakitkan.
1. Pertahanan jangka pendek
a. Aktivitas yang dapat memberikan pelarian sementara dari krisis identitas (misal
: bermain musik, bekerja keras, menonton TV)
b. Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara (ikut serta
dalam aktivitas sosial, agama, klub politik, kelompok/geng)
c. Aktivitas yang secara sementara menguatkan perasaan diri (misal: olahraga
yang kompetitif, pencapaian akademik, kontes untuk mendapatkan popularitas)
d. Aktivitas yang mewakili upaya jangka pendek untuk membuat masalah identitas
menjadi kurang berarti dalam kehidupan idividu (misal : penyalahgunaan obat)
2. Pertahanan jangka panjang
a. Penutupan identitas : Adopsi identitas premature yang diinginkan oleh orang
penting bagi individu tanpa memperhatikan keinginan, aspirasi dan potensi diri
individu tersebut
b. Identitas negatif : Asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat diterima
oleh nilai dan harapan masyarakat.
SP I SP I
1. Mengidenfikasi kemampuan dan 1. Mendiskusikan masalah yang
aspek positif yang dimiliki pasien dirasakan keluarga dalam merawat
2. Membantu pasien menilai pasien
kemampuan pasien yang masih dapat 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan
digunakan gejala harga diri rendah yang dialami
3. Membantu pasien memilih kegiatan pasien beserta proses terjadinya
yang akan dilatih sesuai dengan 3. Menjelaskan cara-cara merawat
kemampuan pasien pasien harga diri rendah
4. Melatih pasien kegiatan yang dipilih
sesuai kemampuan
5. Membimbing pasien memasukkan SP II
dalam jadwal kegiatan harian. 1) Melatih keluarga mempraktekkan cara
merawat pasien dengan harga diri
SP II rendah
1. Memvalidasi masalah dan latihan 2) Melatih keluarga melakukan cara
sebelumnya. merawat langsung kepada pasien
2. Melatih kegiatan kedua (atau harga diri rendah
selanjutnya) yang dipilih sesuai
kemampuan SP III
3. Membimbing pasien memasukkan 1) Membantu keluarga membuat jadual
dalam jadwal kegiatan harian. aktivitas di rumah termasuk minum
obat (discharge planning)
2) Menjelaskan follow up pasien
setelah pulang
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI
D. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif
III. Intervensi
Pasien Keluarga
SP I SP I
1) Menjelaskan pentingnya 1) Mendiskusikan masalah yang
kebersihan diri dirasakan keluarga dalam merawat
2) Menjelaskan cara menjaga pasien
kebersihan diri 2) Menjelaskan pengertian, tanda dan
3) Melatih pasien cara menjaga gejala defisit perawatan diri, dan
kebersihan diri jenis defisit perawatan diri yang
4) Membimbing pasien memasukkan dialami pasien beserta proses
dalam jadwal kegiatan harian. terjadinya
3) Menjelaskan cara-cara merawat
SP II pasien defisit perawatan diri
1) Memvalidasi masalah dan latihan
sebelumnya. SP II
2) Menjelaskan cara makan yang baik 1) Melatih keluarga mempraktekkan
3) Melatih pasien cara makan yang cara merawat pasien dengan defisit
baik perawatan diri
4) Membimbing pasien memasukkan 2) Melatih keluarga melakukan cara
dalam jadwal kegiatan harian. merawat langsung kepada pasien
defisit perawatan diri
SP III
1) Memvalidasi masalah dan latihan SP III
sebelumnya. 1) Membantu keluarga membuat
2) Menjelaskan cara eliminasi yang jadual aktivitas di rumah termasuk
baik minum obat (discharge planning)
3) Melatih cara eliminasi yang baik. 2) Menjelaskan follow up pasien
4) Membimbing pasien memasukkan setelah pulang
dalam jadwal kegiatan harian.
SP IV
1) Memvalidasi masalah dan latihan
sebelumnya.
2) Menjelaskan cara berdandan
3) Melatih pasien cara berdandan
4) Membimbing pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL
C. Rentang Respons
Respons Adaptif Respons Maladaptif
Berikut ini akan dijelaskan tentang respons yang terjadi pada isolasi sosial.
1. Respons adaptif
Respons adaptif adalah respons yang masih dapat diterima oleh norma-norma
sosial dan kebudayaan secara umum berlaku. Dengan kata lain individu tersebut
masih dalam batas normal ketika menelesaikan masalah. Berikut ini adalah sikap
yang termasuk respons adaptif.
a. Menyendiri, respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang
telah terjadi di lingkungan sosialnya.
b. Otonomi, kemempuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
c. Bekerja sama, kemampuan individu yang saling membutuhkan satu sama lain.
d. Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam
membina hubungan interpersonal.
2. Respons maladaptif
Respons maladaptif adalah respons yang menyimpang dari norma sosial dan
kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk respons
maladaptif.
a. Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan
secara terbuka dengan orang lain.
b. Ketergantungan, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri sehingga
tergantung dengan orang lain.
c. Manipulasi, seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu
sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
d. Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang lain.
D. Etiologi
Terjadinya menarik diri dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan stressor
presipitasi. Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predisposisi
dan stressor presipitasi. Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor
predisposisi terjadi perilaku menarik diri. Kegagalan perkembangan dapat
mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya pada diri orang lain, ragu,
takut salah, pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindari
orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan dan merasa tertekan. Keadaan ini
dapat menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, menghindar
dari orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri dan kegiatan sendiri terabaikan.
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Tumbuh Kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan
yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial.
Bila tugas-tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan
menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya akan dapat
menimbulkan masalah.
Tugas Perkembangan Berhubungan Dengan Pertumbuhan
Interpersonal.
Tahap
Tugas
Perkembangan
Masa Bayi Menetapkan rasa percaya
Masa Bermain Mengembangkan otonomi dan awal perilaku mandiri
Masa Belajar menunjukkan inisiatif, rasa tanggung jawab,
Prasekolah dan hati nurani
Belajar berkompetisi, bekerja sama, dan
Masa Sekolah
berkompromi
Menjalin hubungan intim dengan teman sesama jenis
Masa Praremaja
kelamin.
Menjadi intim dengan teman lawan jenis atau
Masa Remaja
bergantung pada orang tua.
Menjadi saling bergantung antara orangtua dan
Masa Dewasa
teman, mencari pasangan, menikah, dan mempunyai
Muda
anak.
Masa Tengah Belajar menerima hasil kehidupan yang sudah dilalui.
Baya
Masa Dewasa Berduka karena kehilangan dan mengembangkan
Tua perasaan keterikatan dengan budaya.
Sumber : Stuart dan Sundeen (1995)
III. Intervensi
Pasien Keluarga
SP I SP I
1) Mengidentifikasi penyebab isolasi 1) Mendiskusikan masalah yang
sosial pasien dirasakan keluarga dalam merawat
2) Mengidentifikasi keuntungan pasien
berinteraksi dengan orang lain. 2) Menjelaskan pengertian, tanda dan
3) Mengidentifikasi kerugian tidak gejala isolasi sosial yang dialami
berinteraksi dengan orang lain. pasien beserta proses terjadinya
4) Melatih pasien berkenalan dengan 3) Menjelaskan cara-cara merawat
satu orang. pasien isolasi sosia
5) Membimbing pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian. SP II
1) Melatih keluarga mempraktekkan
SP II cara merawat pasien dengan isolasi
1) Memvalidasi masalah dan latihan sosial
sebelumnya. 2) Melatih keluarga melakukan cara
2) Melatih pasien berkenalan dengan merawat langsung kepada pasien
dua orang atau lebih. isolasi sosial
3) Membimbing pasien memasukkan SP III
dalam jadwal kegiatan harian. 1) Membantu keluarga membuat
jadual aktivitas di rumah
SP III termasuk minum
1) Memvalidasi masalah dan latihan obat (discharge planning)
sebelumnya. 2) Menjelaskan follow up pasien
2) Melatih pasien berinteraksi dalam setelah pulang
kelompok.
3) Membimbing pasien dan
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian.
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN SENSORI PERSEPSI : HALUSINASI
D. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh dari
klien atau keluarga. Faktor predisposisi meliputi:
1. Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal
terganggu, maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
2. Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa disingkarkan,
sehingga orang tersebut merasa kesepian di lingkungan yang membesarkannya.
3. Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika seseorang
mengalami stres yang berlebihan, maka di dalam tubuhnya akan dihasilkan suatu
zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan
dimethytransferase (DMP).
4. Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda
bertentangan yang sering diterima oleh seseorang akan mengakibatkan stres dan
kecemasan yang tinggi dan berakhir pada gangguan orientasi realitas.
5. Faktor Genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini.
E. Faktor Presipitasi
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan,
ancaman/tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang
lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama
diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan juga suasana sepi/isolasi adalah
sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan
stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.
F. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut, tidak aman,
gelisah dan bingung, berperilaku yang merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu
mengambil keputusan, serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata.
Rawlins dan Heacock (1993) mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan
atas hakikat keberadaan individu sebagai makhluk yang dibangun atas unsur-unsur
bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu:
1. Dimensi fisik
Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi ransangan eksternal yang
diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi
fisik seperti: kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga
delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan tidur dalam waktu lama.
2. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan karena masalah yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah
memaksa dan menakutkan, sehingga klien tidak sanggup lagi menentang perintah
tersebut hingga berbuat sesuatu terhadap ketakutannya.
3. Dimensi intelektual
Individu yang mengalami halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan
fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, tetapi pada saat tertentu menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan
mengontrol semua perilaku klien.
4. Dimensi sosial
Dimensi sosial menunjukkan individu cenderung untuk mandiri. Individu asik
dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri, dan harga diri yang tidak didapatkan
dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol, sehingga jika perintah
halusinasi berupa ancaman, maka hal tersebut dapat mengancam dirinya atau orang
lain.
5. Dimensi spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan
manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Klien yang mengalami
halusiansi cenderung menyendiri dan cenderung tidak sadar dengan keberadaanya
serta halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut.
G. Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat
mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping dilingkungan.
Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan
sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan
pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
H. Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya
penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk
melindungi diri.
I. Tahapan Halusinasi
1. Tahap I ( non-psikotik )
Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada klien, tingkat
orientasi sedang. Secara umum pada tahap ini halusinasi merupakan hal yang
menyenangkan bagi klien. Karakteristik :
a. Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan
b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan kecemasan
c. Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam control kesadaran
Perilaku yang muncul :
a. Tersenyum atau tertawa sendiri
b. Menggerakkan bibir tanpa suara
c. Pergerakan mata yang cepat
d. Respon verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi
2. Tahap II ( non-psikotik )
Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami tingkat
kecemasan yang berat. Secara umum, halusinasi yang ada dapat menyebabkan
antipasti.
Karakteristik :
a. Pengalaman sensori menakutkan atau merasakan dilecehkan oleh pengalaman
tersebut
b. Mulai merasa kehilangan kontrol
c. Menarik diri dari orang lain
Perilaku yang muncul :
a. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah.
b. Perhatian terhadap lingkungan menurun
c. Konsentrasi terhadap pengalaman sensori menurun
d. Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinasi dan realita
3. Tahap III ( psikotik )
Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat kecemasan berat,
dan halusinasi tidak dapat ditolak lagi. Karekteristik:
a. Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya
b. Isi halusinasi menjadi atraktif
c. Klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori berakhir
Perilaku yang muncul :
a. Klien menuruti perintah halusinasi
b. Sulit berhubungan dengan orang lain
c. Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat
d. Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata
e. Klien tampak tremor dan berkeringat
4. Tahap IV ( psikotik )
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat panic
Perilaku yang muncul :
a. Resiko tinggi menciderai
b. Agitasi atau kataton
c. Tidak mampu merespon rangsangan yang ada
Timbulnya perubahan persepsi sensori halusinasi biasanya diawali dengan
seseorang yang menarik diri dari lingkungan karena orang tersebut menilai dirinya
rendah. Bila klien mengalami halusinasi dengar dan lihat atau salah satunya yang
menyuruh pada kejelekan maka akan berisiko terhadap perilaku
III. Intervensi
Pasien Keluarga
SP I SP I
1) Mengidentifikasi jenis halusinasi 1) Mendiskusikan masalah yang
pasien dirasakan keluarga dalam merawat
2) Mengidentifikasi isi halusinasi pasien pasien
3) Mengidentifikasi waktu halusinasi 2) Menjelaskan pengertian, tanda dan
pasien gejala halusinasi, dan jenis halusinasi
4) Mengidentifikasi frekuensi halusinasi yang dialami pasien beserta proses
pasien terjadinya
5) Mengidentifikasi situasi yang 3) Menjelaskan cara-cara merawat pasien
menimbulkan halusinasi halusinasi
6) Mengidentifikasi respons pasien
terhadap halusinasi SP II
7) Melatih pasien cara kontrol halusinasi 1) Melatih keluarga mempraktekkan cara
dengan menghardik merawat pasien dengan halusinasi
8) Membimbing pasien memasukkan 2) Melatih keluarga melakukan cara
dalam jadwal kegiatan harian. merawat langsung kepada pasien
halusinasi
SP II
1) Memvalidasi masalah dan latihan SP III
sebelumnya 1) Membantu keluarga membuat jadual
2) Melatih pasien cara kontrol halusinasi aktivitas di rumah termasuk minum
dengan berbincang dengan orang lain obat (discharge planning)
3) Membimbing pasien memasukkan 2) Menjelaskan follow up pasien setelah
dalam jadwal kegiatan harian. pulang
SP III
1) Memvalidasi masalah dan latihan
sebelumnya
2) Melatih pasien cara kontrol halusinasi
dengan kegiatan (yang biasa
dilakukan pasien).
3) Membimbing pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
SP IV
1) Memvalidasi masalah dan latihan
sebelumnya.
2) Menjelaskan cara kontrol halusinasi
dengan teratur minum obat (prinsip 5
benar minum obat).
3) Membimbing pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN PROSES PIKIR : WAHAM
C. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif
1. Faktor predisposisi
a. Faktor perkemabangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal seseorang.
Hal ini dapat menigkatkan stress dan ansiets yang berakhir dengan gangguan
persepsi, klien menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual
dan emosi yang tidak efektif.
b. Faktor sosial budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbulnya
waham.
c. Faktor psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat menimbulkan
ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan.
d. Faktor biologis
Waham diyakini terjadi karena atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak, atau
perubahan pada sel kortikal dan limbik.
e. Genetis
Diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif.
f. Neurobiologis
Adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic
g. Neurotransmitter
Abnormalitas pada dopamine, serotonin dan glutamat.
h. Virus paparan virus influensa pada trimester III
2. Faktor Presipitasi
a. Faktor sosial budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang berarti atau
diasingkan dari kelompok.
b. Faktor biokimia
Dopamine, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat menjadi
penyebab waham pada seseorang.
c. Faktor psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk mengatasi
masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan
yang menyenangkan.
F. Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang
menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif meliputi :
1. Regresi : berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
mengatasi ansietas
2. Proyeksi : sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi
3. Menarik diri
4. Pada keluarga ; mengingkari
III. Intervensi
Pasien Keluarga
SP I SP I
1) Membantu orientasi realita 1) Mendiskusikan masalah yang
2) Mengidentifikasi kebutuhan yang tidak dirasakan keluarga dalam merawat
terpenuhi. pasien
3) Melatih pasien memenuhi 2) Menjelaskan pengertian, tanda dan
kebutuhannya gejala waham, dan jenis waham yang
4) Membimbing pasien memasukkan dialami pasien beserta proses
dalam jadwal kegiatan harian. terjadinya
3) Menjelaskan cara-cara merawat pasien
SP II waham
1) Memvalidasi masalah dan latihan
sebelumnya. SP II
2) Mengidentifikasi kemampuan yang 1) Melatih keluarga mempraktekkan cara
dimiliki merawat pasien dengan waham
3) Melatih kemampuan yang dimiliki 2) Melatih keluarga melakukan cara
4) Membimbing pasien memasukkan merawat langsung kepada pasien
dalam jadwal kegiatan harian. waham
SP III SP III
1) Memvalidasi masalah dan latihan 1) Membantu keluarga membuat jadual
sebelumnya. aktivitas di rumah termasuk minum
2) Menjelaskan penggunaan obat secara obat
benar. 2) Mendiskusikan sumber rujukan yang
3) Membimbing pasien memasukkan bisa dijangkau keluarga
dalam jadwal kegiatan harian.
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN
C. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif
E. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat dibedakan menjadi factor internal dan eksternal :
1. Internal adalah semua factor yang dapat menimbulkan kelemahan, menurunya
percaya diri, rasa takut sakit, hilang kontrol dan lain-lain.
2. Eksternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai, krisis dan
lain-lain.
Menurut Shives (1998) hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau
penganiayaan antara lain sebagai berikut :
1. Kesulitan kondisi social ekonomi
2. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu
3. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuannya
dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa
4. Pelaku mungkin mempuanyai riwayat anti sosial seperti penyalahgunaan obat dan
alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa frustasi
5. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
F. Mekanisme Koping
Mekanisme yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti
displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial, dan reaksi formasi.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang
berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap sangat
berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat
menyebabkan seseorang rendah diri (Harga diri rendah), sehingga sulit untuk bergaul
dengan orang lain. Bila ketidakmampuan bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi
akan memunculkan halusinasi berupa suara-suara atau bayangan yang meminta klien
untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut dapat berdampak pada keselamatan
dirinya dan orang lain (resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
G. Faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah perilaku kekerasan, antara
lain sebagai berikut :
1. Ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah
2. Stimulus lingkungan
3. Konflik interpersonal
4. Status mental
5. Putus obat
6. Penyalahgunaan narkoba/alcohol
Data Minor :
DS : mengatakan ada yang mengejek dan mengancam, mendengar suara
yang menjelekkan, merasa orang lain mengancam dirinya
DO : menjau dari orang lain, katatonia
III. Intervensi
Pasien Keluarga
SP 1 SP I
1) Mendiskusikan penyebab PK anak 1) Mengidentifikasi kemampuan keluarga
2) Mendiskusikan tanda dan gejala PK anak dalam merawat pasien
3) Mendiskusikan PK yang biasanya 2) Menjelaskan peran serta keluarga dalam
dilakukan oleh anak merawat pasien
4) Mendiskusikan akibat PK 3) Menjelaskan cara merawat anak PK
5) Melatih anak mencegah PK dengan cara
fisik: nafas dalam SP II
6) Membimbing memasukkan ke jadwal 1) Melatih keluarga merawat anak PK
kegiatan harian 2) Menjelaskan tentang obat untuk
mengatasi PK*
SP II
1) Memvalidasi masalah dan latihan SP III
sebelumnya.
2) Melatih cara sosial untuk 1) Menjelaskan sumber rujukan yang
mengekspresikan marah tersedia untuk mengatasi anak PK
3) Memimbing memasukkan ke jadwal 2) Mendorong untuk memanfaatkan sumber
kegiatan harian rujukan yang tersedia
SP III
1) Memvalidasi masalah dan latihan
sebelumnya.
2) Melatih cara spiritual untuk mencegah
PK
3) Membimbing memasukkan ke jadwal
kegiatan harian
SP IV
1) Memvalidasi masalah dan latihan
sebelumnya
2) Mendiskusikan manfaat obat
3) Menjelaskan kerugian jika tidak patuh
obat
4) Menjelaskan 5 benar dalam pemberian
obat
5) Membimbing memasukkan ke jadwal
kegiatan harian
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO TINGGI BUNUH DIRI
C. Rentang Respon
Respons Adaptif Respon Maladaptif
Peningkatan diri Beresiko destruktif Destruktif diri Pencederaan diri Bunuh diri
tidak langsung
Keterangan :
1. Peningkatan diri : Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri
secara wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahanan diri.
2. Beresiko destruktif : Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang
seharusnya dapat mempertahankan diri.
3. Destruktif diri tidak langsung : Seseorang telah mengambil sikap yang kurang
tepat (maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan dirinya unSP
mempertahankan diri.
4. Pencenderaan diri : Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencenderaan
diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
5. Bunuh diri : Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan
nyawanya hilang.
Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara ekspresi orang yang penuh
stress. Perilaku bunuh diri berkembang dalam rentang diantaranya :
1. Suicidal ideation, Pada tahap ini merupakan proses kontemplasi dari bunuh diri,
atau sebuah metoda yang digunakan tanpa melakukan aksi/ tindakan, bahkan
klien pada tahap ini tidak akan mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan.
2. Suicidal intent, Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah melakukan
perencanaan yang konkrit unSP melakukan bunuh diri
3. Suicidal threat, Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan
hasrat yang dalam, bahkan ancaman unSP mengakhiri hidupnya
4. Suicidal gesture, Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang
diarahkan pada diri sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya
tetapi sudah pada percobaan unSP melakukan bunuh diri. Tahap ini sering di
namakan “Crying for help” sebab individu ini sedang berjuang dengan stres yang
tidak mampu di selesaikan
5. Suicidal attempt, Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang mempunyai
indikasi individu ingin mati dan tidak mau diselamatkan misalnya minum obat
yang mematikan, walaupun demikian banyak individu masih mengalami
ambivalen akan kehidupannya.
D. Faktor Predisposisi
1. Faktor genetik dan teori biologi
Faktor genetik mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri pada keturunannya.
Disamping itu adanya penurunan serotonin dapat menyebabkan depresi yang
berkontribusi terjadinya resiko buuh diri.
2. Teori sosiologi
Emile Durkheim membagi bunuh diri dalam 3 kategori yaitu : Egoistik (orang yang
tidak terintegrasi pada kelompok sosial) , atruistik (Melakukan bunuh diri unSP
kebaikan masyarakat) dan anomik ( Bunuh diri karena kesulitan dalam
berhubungan dengan orang lain dan beradaptasi dengan stressor).
3. Teori psikologi, memfokuskan pada masalah tahap awal perkembangan ego,
trauma interpersonal, dan kecemasam berkepanjangan yang nungkin dapat memicu
seseorang unSP mencederai diri. Sigmund Freud dan Karl Menninger meyakini
bahwa bunuh diri merupakan hasil dari marah yang diarahkan pada diri sendiri.
4. Teori interpersonal mengungkapkan bahwa mencederai diri sebagai kegagalan dari
pertemuan dalam hidup, masa anak-anak mendapat perlakuan kasar serta tidak
mendapatkan kepuasan (Stuart dan Sundeen, 1995)
5. Penyebab lain :
a. Adanya harapan yang tidak dapat di capai
b. Merupakan jalan untuk mengakhiri keputusasaan dan ketidak-berdayaan
c. Cara untuk meminta bantuan
d. Sebuah tindakan untuk menyelesaikan masalah
E. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres berlebihan yang dialami individu.
Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan. Faktor lain yang dapat
menjadi pencetus adalah melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang
melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya
labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.
Data Minor :
DS : Mengatakan ada yang menyuruh bunuh diri, mengatakan lebih baik mati
saja, mengatakan sudah bosan hidup
DO : Perubahan kebiasaan hidup, perubahan perangai
III. Intervensi
Pasien Keluarga
SP I SP I
1) Mengidentifikasi benda-benda yang 1) Mendiskusikan masalah yang
dapat membahayakan pasien dirasakan keluarga dalam merawat
2) Mengamankan benda-benda yang pasien
dapat membahayakan pasien 2) Menjelaskan pengertian, tanda dan
3) Melakukan kontrak treatment gejala risiko bunuh diri, dan jenis
4) Mengajarkan cara mengendalikan perilaku bunuh diri yang dialami pasien
dorongan bunuh diri beserta proses terjadinya
5) Melatih cara mengendalikan dorongan 3) Menjelaskan cara-cara merawat pasien
bunuh diri risiko bunuh diri
SP II SP II
1) Mengidentifikasi aspek positif pasien 1) Melatih keluarga mempraktekkan cara
2) Mendorong pasien untuk berfikir merawat pasien dengan risiko bunuh
positif terhadap diri diri
3) Mendorong pasien untuk menghargai 2) Melatih keluarga melakukan cara
diri sebagai individu yang berharga merawat langsung kepada pasien risko
SP III bunuh diri
1) Mengidentifikasi pola koping yang
biasa diterapkan pasien SP III
2) Menilai pola koping yang biasa 1) Membantu keluarga membuat jadual
dilakukan aktivitas di rumah termasuk minum
3) Mengidentifikasi pola koping yang obat
konstruktif 2) Mendiskusikan sumber rujukan yang
4) Mendorong pasien memilih pola bisa dijangkau oleh keluarga
koping yang konstruktif
5) Membimbing pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
SP IV
Aziz R, dkk, 2003. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino
Gonohutomo.
Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) untuk 7 Diagnosa
Keperawatan Jiwa Berat bagi S-1 Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Keliat Budi Ana. 1999. Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC.
Keliat, B,A. 1998. Askep Pada Kliean Gangguan Orientasi Realitas. Jakarta.
Keliat, B.A. 1999. Proses Kesehatan Jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC
Maramis, F, W. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University
Press.
Stuart & Sundeen. 1998. Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Stuart GW, Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.).
St.Louis Mosby Year Book.
Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J. 1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Terjemahan dari
Pocket Guide to Psychiatric Nursing, oleh Achir Yani S. Hamid. 3rd ed. Jakarta : EGC.
Tim Direktorat Keswa. 2000. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa. Ed : 1. Bandung :
RSJP.
Townsend C. Mary , 1998, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3, Penerbit Buku
Kedokteran,EGC;Jakarta
Yosep, I. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama.