Anda di halaman 1dari 4

Petemuan ke empat SALAM 2 Oktober 2013

Judul : Aplikasi Pembiayaan Salam di Perbankan Syariah

Penulis : Drs. H. Abd. Salam, SH. M. Hum (Hakim Pengadilan Agama Jember)

Pemakalah : Nuril Huda

Mumin Billah

Muhtar Nasir Affandi

Pada pertemuan ini pemakalah memaparkan materi mengenai akad salam. Dalam jurnal ini
setidaknya ada 3 point utama yang dibahas :

 Salam adalah akad Jual-beli barang dimana pembeli memesan barang dengan spesifikasi
yang telah ditentukan sebelumnya, dengan pembayaran yang dilakukan sebelum barang
tersebut selesai dibuat, baik secara tunai maupun angsuran, dan penyerahan barangnya
dilakukan pada suatu saat yang disepakati di kemudian hari. Di perbankan Syariah, jual beli
salam lazimnya diterapkan pada pembelian alat-alat pertanian, barang-barang industri, dan
kebutuhan rumah tangga. Nasabah yang memrlukan biaya untuk memproduk barang-barang
industri bisa mengajukan permohonan pembiayaan ke bank syari’ah dengan sistem jual-beli
salam

• Ada 3 model akad salam di perbankan syariah yaitu :

1. Model akad Salam Tunggal Hakiki : Model akad Salam Tunggal Hakiki yaitu dimana bank
benar-benar melakukan pembelian barang dan kemudian terjun langsung dalam bisnis
penjualan barang itu.

2. Model akad Salam Tunggal Hukmi (formal) : Model akad Salam Tunggal Hukmi (formal),
dimana bank tidak benar-benar bermaksud membeli barang, karena setelah itu bank
menjualnya kembali kepada penjual pertama dengan akad Bay’ Murabahah Bisaman Ajil,
atau menyuruh menjualnya ke pihak lain dengan akad Wakalah.

3. Model akad Salam Paralel : Model akad Salam Paralel, dimana bank melakukan dua akad
Salam secara simultan, yakni akad Salam dengan nasabah yang butuh barang dan akad
Salam dengan nasabah yang butuh dana untuk memproduksi barang.

• Di bank-bank Islam yang sudah mapan seperi di Sudan,Bahrain, dan negara-negara Timur
Tengah lainnya, transaksi dilakukan dengan system Salam Tunggal. Konsekuensinya, bank
harus memiliki inventory yang dikelola secara professional agar tidak mengalami kerugian.
Bank juga harus menyediakan gudang tempat penyimpanan (Warehouse) barang, baik milik
sendiri maupun menyewa dari pihak lain. Jadi bank dalam hal ini bertindak sebagai
pedagang yang terjun langsung dalam persaingan bisnis komoditi. Sedangkan di negara-
negara yang masih memegang paradigma bank sebagai intermediary institution di mana
bank tidak malakukan transaksi perdagngan secara langsung, maka mekanisme yang
memungkinkan adalah salam paralel. Aritinya bank melakukan transaksi salam dengan
produsen (Salam pertama) jika bank sudah memiliki nasabah sebagai calon pembeli (Salam
kedua). Bank dalam hal ini tidak perlu mengoperasikan gudang karena pengiriman barang
bisa dilakukan langsung dari produsen kepada pembeli.

Sesi tanya jawab

1. Bagaimana meyakinkan masyarakat untuk mempercayai sistem salam di perbankan


syariah?

Ya kita mencoba memberi sosialisasi sebanyak mungkin kepada masyarakat. Namun, sosiaslisasi ini
tidak akan berjalan lancar apabila masyarakat kaum menengah atas tidak mecoba untuk percaya dan
tidak menaruh dana nya di bank syariah. Karena pertumbuhan bank sangat dipengaruhi oleh
seberapa besar dana yang ada didalam bank tersebut.

2. Bagaimana sistem transaksi salam di perbankan syariah, dan bagaimana pengembalian


dari nasabah ke bank?

Salam adalah akad jual beli yang ada di perbankan syariah. Pihak bank membeli barang kepada
supplier kemudian baru dijual atau ditawarkan kepada nasabah yang memerlukan. Tapi jika nasabah
butuh sebelum ada barang maka ini namanya salam paralel. Dimana nantinya bank akan meminta
kepada supplier yang sudah bekerja sama awalnya dengan pihak bank tersebut untuk membuatkan
pesenan yang diminta nasabah tersebut.

3. Apa perbedaan antara salam dan ijon ?

Beda antara sistem ijon dengan akad salam ada pada beberapa poin berikut:

[1] Penjual memiliki kebebasan dalam pengadaan barang, dapat dari hasil ladangnya dan bisa pula
dengan membeli dari hasil ladang orang lain, sedangkan sistem ijon, penjual hanya dibatasi agar
mengadakan buah dari ladangnya sendiri.

[2] Pada akad salam, penjual bisa saja mendapatkan hasil panen yang melebihi jumlah pesanan,
sebagaimana dimungkinkan pula hasil panen ladangnya tidak mencukupi jumlah pesanan. Akan
tetapi itu tidak menjadi masalah yang berarti, sebab ia dapat menutup kekurangannya dengan
membeli dari orang lain. Sedangkan pada sistem ijon, maka semua hasil panen ladang penjual
menjadi milik pembeli, tanpa peduli sedikit banyaknya hasil panen. Dengan demikian, bila hasil
panennya melimpah, maka penjual merugi besar, sebaliknya bila hasil panen kurang bagus, karena
suatu hal, maka pembeli merugi besar pula.

[3] Pada akad salam, buah yang diperjual-belikan telah ditentukan mutu dan kriterianya, tanpa
peduli ladang asalnya. Sehingga bila pada saat jatuh tempo, jika penjual tidak bisa mendatangkan
barang dengan mutu dan kriteria yang disepakati maka pembeli berhak untuk membatalkan
pesanannya. Adapun pada sistem ijon, pembeli tidak memiliki hak pilih pada saat jatuh tempo, apa
yang dihasilkan oleh ladang penjual, maka itulah yang harus ia terima.

Dengan mencermati ketiga perbedaan di atas, maka kita dapat mengetahui bahwa jual-beli dengan
cara salam lebih adil dibanding dengan sistem ijon. Pada sistem salam, penjual dan pembeli sama-
sama mendapatkan haknya tanpa merugikan pihak yang lain. Sedangkan, pada sistem ijon, biasanya
pada saat panen salah satu pihak merasa tertipu atau dirugikan.
Pertemuan ke lima ISTISHNA’ 9 Oktober 2013

Judul jurnal : ISTISNA‘ FINANCING OF INFRASTRUCTURE PROJECTS


Penulis : Muhammad Anas Zarqa (Professor of Economics, Centre for Research in Islamic
Economics, King Abdulaziz University, Jeddah, Kingdom of Saudi Arabia)
Edisi : Islamic Economic Studies Vol. 4, No. 2, May 1997
Pemakalah : Farah Azizah
Elis Sri Ramdhani
Hanny Aqmarina Fildzah
Pada pertemuan ini pemakalah memaparkan materi mengenai akad istishna’. Dalam jurnal ini
setidaknya ada 3 point utama yang dibahas :
Didalam jurnal ini, penulis membicarakan tentang solusi alternatif untuk pembiayaan –
pembiayaan proyek infrastruktur publik, yaitu dengan pembiayaan melalui akad istishna’.
Menurutnya, pembiayaan mudhorabah dan musyarakah kurang cocok membiayai
pembangunan infrastruktur publik seperti jembatan layang, jalan tol, mercusuar di laut,
ataupun lapangan olahraga.
Bank islam sangat berperan dalam pembiayaan ini. Karena dari sini lah pembiayaan istishna’
diberikan. Bank sebagai mudhorib (yaitu pengelola dana yang dihimpun dari nasabah
penyimpan dana) memberikan dana untuk pembiayaan istishna’ dari dana yang bersifat
jangka panjang( deposito). Dari pembiayaan ini, bank mendapat keuntungan. Keuntungan
yang didapat bank dari hasil pembiayaan istishna’ ini kemudian di bagi kepada shohibul
mal(nasabah yang menyimpan dananya di bank tersebut) sesuai nisbah keuntungan yang
disepakati di awal akad.
Akad istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang di sepakati antara pemesan dan penjual.
Penjual akan menyiapkan barang yang di pesan sesuai dengan spesifikasi yang telah di
sepakati di mana ia dapat menyiapkan sendiri atau melalui pihak lain (istishna’ pararel).

Sesi tanya jawab

1. Darimana bank mendapatkan dana untuk pembiayaan istishna’ ? apakah nasabah juga
mendapat keuntungan dari pembiayaan yang dilakukan ? jika iya, bagaimana
penjelasannya?

Bank yang berfungsi menghimpun dana memiliki 3 produk penghimpunan dana, yaitu tabungan, giro
dan deposito. Tabungan dan giro yang memiliki likuiditas yang rendah tidak mungkin digunakan
untuk membiayai akad istishna’ yang membutuhkan likuiditas tinggi. Oleh karena itu, karena
depostio memiliki likuiditas tinggi, maka pembiayaan istishna’ ini menggunakan dana deposito.

Dari dana deposito yang dipakai bank untuk pembiayaan akad istishna’, bank mendapat keuntungan
dari pembiayaan tersebut. Ketika mendapat keuntungan, bank(sebagai shohibul mal) akan membagi
keuntungan tersebut kepada nasabah(sebagai mudhorib) deposito sesuai nisbah keuntungan yang
telah disepakati di awal perjanjian akad mudhorobah.
2. Mengapa pembiayaan istishna’ sulit diterapkan di Indonesia tetapi mudah di Arab Saudi ?

Pertama, dilihat dari sisi pendapatan perkapita masyarakat arab. Mayoritas masyarakat arab
mempunyai penghasilan yang tinggi dibanding masyarakat Indonesia.

Kedua, dilihat dari sisi perbankan syariah. Di Arab Saudi, sistem serta regulasi perbankan syariah
sudah jelas dan tidak rumit dibanding Indonesia. Hal ini menyebabkan masyarakat kaum menengah
ke atas percaya untuk menyimpan dana nya di bank syariah. Dan dari sinilah bank syariah
mempunyai deposito yang besar, sehingga mampu membiayai proyek infrastruktur melalui akad
istishna’. Hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat Indonesia yang masih kurang percaya dengan
adanya sistem dan regulasi perbankan syariah di Indonesia. Hal ini menyebabkan penduduk
Indonesia dengan pendapatan yang tinggi, enggan menyimpan dana nya di bank-bank syariah yang
ada di Indonesia. Oleh karena itu, bank syariah tidak mempunyai dana yang cukup untuk melakukan
pembiayaan berdasarkan akad istishna’ ini.

Anda mungkin juga menyukai