OLEH :
NYOMAN DANTES
Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
1. PENGANTAR
Dalam tulisan ini secara terbatas dilakukan kajian materi dan
pengorganisasiannya dalam kaitan dengan pendidikan yang berwawasan
multicultural, dan penuangannya dalam kurikulum.
Pendidikan adalah merupakan suatu proses pemanusiaan manusia, dan
kaitan dengan hal itu hakekat kehidupan plurallistik bertumpu pada adanya “social
reproduction”, dalam arti apa yang dilaksanakan didunia pendidikan dimasa kini,
akan berbuah dimasa mendatang. Bila pendidikan mengajarkan sopan santun kelak
akan muncul anak yang sopan dan santun, bila pendidikan mengajarkan kekerasan
kel;ak akan terlahir generasi-generasi anarkis, dan begitu pula bila pendidikan
menanamkan jiwa pluralistik dan multikulturallisme, kelak akan lahir manusia saling
memahami, menghormati, dan menghargai eksistensi masing-masing dalam
kehidupan damai dan demokratis.
Munculnya berbagai masalah dan isu-isu lokal maupun global seperti
pelanggaran HAM, penomena kekerasan, terusiknya perdamaian antar warga
maupun etnik dengan latar belakang yang berbeda menyadarkan dan sekaligus
mengharuskan dunia pendidikan menemukan sistem dan visi yang relevan
Indonesia sebagai suatu bangsa yang mempunyai keraganman budaya yang
diikat dalam semangat “Bhineka Tunggal Ika”,dituntut untuk mampu mengelola
keragaman atau pluralistik itu secara baik, dan pengelolaan keragaman secara baik
akan bisa memunculkan kondisi yang dapat memberi kontribusi kondusip secara
optimal dalam usaha memperkokoh dan memperkuat semanagat kebangsaan dalam
bingkai”Bhneka Tinggal Ika”. Hal tersebut dimaksudkan sebagai pernyataan dan
semangat bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi perasatuan meskipun negara
dan bangsa Indonesia terdiri dari keragaman yang begitu kompleks. Dengan
demikian meskipun disadari keragaman budaya yang kompleks, dalam kenyataan
kehidupan bangsa Indonesia, kesemua itu dapat dirangkum dalam kesatuan yang
kokoh dan teguh.
Dalam perkembangan perjalanan sejarah bangsa pernah terjadi bahwa
keragaman etnik dan pluralisme budaya dianggap tabu untuk masuk kedalam
domain publik. Negara menjadi represip untuk mengakui dan menghargai
keragaman budaya, dimana isu SARA menjadi momok dan harus dipendam, dan hal
itu menyebabkan menjadi laten dan sensitive. Kehawatiran tersebut akhirnya
terbukti dengan munculnya berbagai konflik diberbagai belahan nusantara. Konflik
muncul dari minimnya kesadaran tentang pluralitas, keragaman maupun
multikulturalisme di tengah komunitas masyarakat. Bias konflik melebar sampai
membawa keterpurukan diberbagi sektor pembangunan, minimnya semangat
kebangsaan, hilangnya kepekaan moral, dan emosi antar sesama. Seolah –olah
semua mencabik identitas dan integritas bangsa, padahal disisi lain intergritas
bangsa adalah jaminan mutlak dalam membangun bangsa yang besar. Pembangunan
sesuatu bangsa akan bisa berlangsung secara berkesinambungan apabila bangsa
tersebut mempunyai semangat kebangsaan yang tinggi dengan tidak
mengedepankan perbedaan dan wawasan secara sempit. Semangat kebangsaan
itulah yang perlu diusung, bukan semangat yang cenderung bercorak fanatisme
sempit. Pilihan yang paling tepat untuk itu adalah memperkuat kesadaran
multikulturalisme dengan mengasah kesadaran untuk saling menghormati,
mengakui, dan menghargai sebagai sesama warga bangsa
Disinilah fungsi semua jenis lembaga pendidikan ( informal, nonformal, dan
formal) dapat memberikan peran maksimal bagi satu komunitasnya untuk
tumbuhnya kesadaran multikulturalisme secara lebih luas. Mengajarkan tentang
pentingnya menghargai dan memahami kelompok-kelompok etnik dan budaya lain
serta keragaman kultural dalam mayararak Indonesia dan masyarakat dunia yang
melahirkan anak yang melek multikultural. Sekolah/kampus institusi sosial
mempunyai tanggung jawab dalam membentuk anak-anak/mahasiswa melek
multikultural dan mengkonsepsi secara sistemmatik terprogram dan kontinyu.
Multikulturalisme dapat dijelaskan sebagai suatu pemahaman, penghargaan, dan
penilaian atas budaya seseorang, sebuah penghormatan dan keingin tahuan tentang
budaya etnik lain, bukan dalam artian menyetujui seluruh aspek kebudayaan-
kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudaayaan tertentu
dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya. Multikulturalisme dapat pula
dipahami sebagai kesadaran normative, dan penerimaan keragaman pandangan
seperti ini merupakan titik tolak dan fondasi bagi kewarganegaraan yang
berkeadaban dan disinilah multikulturallisme dapat dipandang sebagai landasan
transformasi dalam dunia pendidikan
Dalam kaitan paparan diatas fungsi sekolah/kampus dan guru/dosen memiliki
andil besar untuk menanamkan nilai-nilai yang terkait menjadi suatu kebutuhan,
guna menghasilkan generasi muda yang memiliki kesadaran multikultural secara
utuh sehingga dapat menerima realitas keragaman dalam hidupnya secara arif, baik
dalam kehidupannya disekolah/kampus maupuin dimasyarakat dengan sikap yang
demokratis. Dalam konteks itulah dicoba menawarkan suatu pengembangan pola
kurikulum yang berwawasan multikultural dengan pendekatan berbasisi kopetensi
Banks, J. 1979. Shaping The Future of Multicultural Education. The journal of negro
Education, XL VIII, Summer No 3.
Ernie Isis Aisyah Amini. 2004. Analisis Kebutuhan Pendidikan Multicultural Berbasis
Kompetensi Pada Siswa SLTP di Kota Mataram. Tesis. Singaraja: PPs IKIP
Negeri Singaraja