Anda di halaman 1dari 13

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini keselamatan pasien merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan

kritis dalam rumah sakit yang sering dipublikasikan dan menjadi fokus internasional.

Rumah sakit merupakan tempat dengan ratusan macam obat, ratusan test dan

prosedur, banyak alat dengan teknologinya, serta bermacam jenis tenaga profesi dan

non profesi yang siap memberikan pelayanan pasien 24 jam terus menerus.

Keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik

dapat mengancam keselamatan pasien (Depkes RI, 2006).

Keselamatan pasien didefinisikan sebagai layanan yang tidak mencederai dan

merugikan pasien ataupun sebagai suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan

pasien lebih aman (IOM dalam Cahyono, 2008; Depkes RI, 2006). Keselamatan

pasien merupakan acuan bagi rumah sakit di Indonesia untuk melaksanakan

kegiatannya sehingga hal tersebut dijadikan standar guna meningkatkan mutu

pelayanan. Salah satu dari standar keselamatan pasien yang ada adalah hak pasien

dalam menerima asuhan yang aman (Permenkes RI, 2011).

Insiden keselamatan pasien merupakan bentuk kejadian yang berpotensi

mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien ketika sistem pemberian

asuhan yang aman tidak dikelola dengan baik oleh suatu rumah sakit. Insiden

keselamatan pasien dapat berupa kejadian tidak diharapkan atau KTD, kejadian
2

nyaris cedera atau KNC, dan kejadian sentinel (mengakibatkan cedera serius atau

kematian pada pasien) (Depkes RI, 2006). Laporan pertama mengenai insiden

diterbitkan oleh Institute Of Medicine (IOM) berjudul To Err is Human: Building a

Safer Health System pada tahun 2000 menunjukkan sebanyak 58% dari 98.000

kesalahan terkait kematian terjadi setiap tahunnya akibat kesalahan yang mungkin

dapat dicegah (Depkes RI, 2006).

Sepanjang Oktober 2011 hingga Oktober 2012 telah terjadi sebanyak 12,1 KTD tiap

100.000 total jumlah hari rawat inap di Minnesota, Amerika Serikat. Tahun 2012

KTD terbanyak adalah dekubitus (130 kasus), tertinggalnya benda medis di dalam

tubuh pasien (31 kasus), kesalahan site making dalam prosedur operasi (27 kasus),

dan yang paling sedikit adalah kesalahan medikasi (2 kasus). Faktor yang

berkontribusi terhadap terjadinya KTD di rumah sakit di Minnesota antara lain adalah

kebijakan rumah sakit (36%), komunikasi (26%), ingkungan fisik (26%), training

(21%), dan faktor kesalahan manusia (2%) (MDH, 2013).

Laporan mengenai KTD di berbagai negara menunjukkan angka yang bervariasi.

Data tentang keselamatan pasien yang dilaporkan oleh Clinical Excelence

Commission, New South Wales, Australia sepanjang Januari hingga Juni 2010

menunjukkan telah terjadi 64.225 KTD di seluruh fasilitas kesehatan yang ada.

Kejadian tidak diharapkan yang paling sering terjadi antara lain pasien jatuh (12.670

kasus), kejadian yang terkait dengan obat-obatan dan cairan intravena (11,171 kasus)

dan manajemen klinis (9915 kasus) (Clinical Excellence Commission, 2013).


3

Data keselamatan pasien berdasarkan propinsi pada tahun 2007 di Indonesia

ditemukan tertinggi di Propinsi DKI Jakarta yaitu 37,9%, disusul Propinsi Jawa

Tengah 15,9%, D.I. Yogyakarta 13,8%, Jawa Timur 11,7%, Aceh 10,7%, Sumatera

Selatan 6,9%, Jawa Barat 2,8%, Bali 1,4%, Sulawesi Selatan 0,7%. Bidang

spesialisasi unit kerja ditemukan paling banyak pada unit penyakit dalam, bedah, dan

anak yaitu sebesar 56,7% dibandingkan unit kerja yang lain, sedangkan untuk

pelaporan KNC lebih banyak dilaporkan sebesar 47,6% dibandingkan KTD sebesar

46,2% (KKP-RS, 2008). Data tentang KTD di Indonesia belum terlalu mewakili

kejadian KTD yang sebenarnya di Indonesia. Data tentang KTD dan KNC di

Indonesia dikategorikan masih langka untuk ditemukan karena standar pelayanan

kesehatan di Indonesia masih kurang optimal (Depkes RI, 2006).

Perbaikan terobosan dalam keselamatan pasien sudah dimulai oleh Leapfrog Group

dan IOM pada tahun 2009 yang menekankan agar rumah sakit mengembangkan

inisiatif keselamatan pasien (patient safety initiative). Hal ini dirancang untuk

meningkatkan keselamatan pasien (McFadden et al, 2009). World Health

Organization Collaborating Center for Patient Safety Solutions bekerjasama dengan

Joint Commission and Joint Commission International (JCI) telah memasukkan

masalah keselamatan pasien dengan menerbitkan program kegiatan keselamatan

pasien pada tahun 2005, salah satunya yaitu penerapan budaya keselamatan pasien

(WHO, 2007). Gerakan keselamatan pasien rumah sakit di Indonesia sudah dimulai

sejak tahun 2005, namun penerapannya masih belum komprehensif (Depkes RI,

2006).
4

Penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksana adalah tindakan yang

dilakukan oleh perawat pelaksana yang mencerminkan dimensi budaya keselamatan

pasien yaitu keterbukaan dan melaporkan ketika terjadi insiden keselamatan pasien,

keadilan antar perawat ketika terjadi insiden keselamatan pasien, serta pembelajaran

terhadap suatu kesalahan atau insiden keselamatan pasien (KBBI, 2013; NPSA, 2004;

Reiling, 2006). Survey pelaksanaan budaya keselamatan pasien di rumah sakit di

Amerika Serikat oleh Agency Research Care and Quality (AHRQ) mengidentifikasi

adanya angka yang rendah pada komunikasi terbuka (62%), frekuensi pelaporan

kejadian (60%), kerjasama lintas unit (57%), ketenagaan (55%), operan (44%), dan

respon tidak menghukum terhadap kesalahan 44% (Nazdam, 2009 dalam Setiowati,

2010).

Penelitian empiris telah menemukan bahwa insiden keselamatan pasien cenderung

lebih sedikit terjadi pada rumah sakit yang merangkul budaya keselamatan, memiliki

organisasi kelompok yang berorientasi budaya, keselamatan pasien (Tucker, 2004).

Budaya keselamatan pasien merupakan suatu cara untuk membangun program

keselamatan pasien secara keseluruhan (Kizer, 1999 dalam Fleming, 2012) dan

penerapan budaya keselamatan pasien membantu perawat bekerja dengan aman

(Agnew, 2013).

Penelitian tahun 2012 yang meneliti 723 perawat dari 29 unit perawatan sebuah

rumah sakit di USA menemukan terjadinya cedera perawat dan KTD (ulkus

dekubitus) terhadap pasien berkaitan dengan faktor budaya keselamatan. Penelitian

tersebut juga mengemukakan bahwa faktor staf menjadi bagian dari risiko terjadinya
5

KTD (Taylor et al, 2012). Penelitian oleh Zohar et al terhadap 995 perawat di rumah

sakit di Israel menunjukkan bahwa prediktor dari perilaku para perawat dalam

memberikan asuhan keperawatan yang aman adalah mutu rumah sakit itu sendiri

(Zohar et al, 2007). Penerapan budaya keselamatan pasien dapat ditingkatkan melalui

kegiatan supervisi pelayanan keperawatan yang dilakukan oleh supervisor

keperawatan (Halpern & McKimm 2006).

Supervisi pelayanan keperawatan merupakan interaksi dan komunikasi professional

antara supervisor keperawatan dan perawat pelaksana yakni dalam interaksi

komunikasi tersebut perawat pelaksana menerima bimbingan, dukungan, bantuan,

dan dipercaya, sehingga perawat pelaksana dapat memberikan asuhan yang aman

kepada pasien (Halpern & McKimm 2006; Suyanto, 2008). Supervisi pelayanan

keperawatan dipandang sebagai bagian terpenting dari aktivitas keperawatan (Tony et

al, 2007). Supervisi pelayanan keperawatan yang dilakukan dengan baik akan

memberikan dampak peningkatan motivasi, kesadaran diri, dan perubahan perilaku

perawat pelaksana yang pada akhirnya berdampak pada kualitas asuhan keperawatan

(Hyrkas, 2002 : Halpern & Mckimm, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Gershon et al (2000) terhadap 789 pekerja rumah

sakit di USA menunjukkan bahwa ketika supervisor memberikan dukungan untuk

keamanaan para pekerja akan memberikan umpan balik positif terhadap keselamatan

serta mengurangi insiden terpapar cairan tubuh dari pasien dan sebaliknya (Gershon

et al, 2000). Beberapa studi kualitatif juga melaporkan setelah dilakukan supervisi,

perawat melaporkan merasa lebih sadar akan tanggung jawab profesional mereka,
6

menggambarkan rasa hormat dan kepekaan terhadap pasien (Hasenbo & Kihlgren,

2004). Efek supervisi pada kualitas pelayanan, merupakan aspek utama dalam

peningkatan kualitas dan hal tersebut didefinisikan sebagai area target oleh WHO

(Hyrkas & Lethi, 2003).

Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar merupakan salah satu rumah

sakit pusat rujukan untuk wilayah Bali, NTB, NTT dan merupakan rumah sakit tipe

A pendidikan sesuai Permenkes 1636 tahun 2005. RSUP Sanglah Denpasar

merupakan RS padat tenaga kesehatan di dalamnya yang berstatus karyawan tetap

dan juga praktikan tenaga kesehatan sehingga hal tersebut berisiko terhadap

pelayanan yang tidak aman bagi pasien. RSUP Sanglah Denpasar dahulu berbentuk

perusahaan jawatan dan sekarang menjadi rumah sakit badan layanan umum

berdasarkan Kepmenkes RI No.1243 tahun 2005. Hal ini membuat RSUP Sanglah

selalu meningkatkan upaya-upaya dalam peningkatan mutu keperawatan diantaranya

adalah keselamatan pasien.

Hasil wawancara dengan kepala bidang keperawatan RSUP Sanglah tanggal 12

Oktober 2013 didapatkan data bahwa pelaksanaan supervisi pelayanan keperawatan

di RSUP Sanglah telah berjalan optimal sesuai dengan pedoman penyelenggaraan

keperawatan rumah sakit. Kegiatan supervisi pelayanan keperawatan di RSUP

Sanglah merupakan salah satu bentuk kegiatan pembinaan dan pengawasan internal

yang terdiri dari komponen normatif (manajerial), formatif (edukatif), dan restoratif

(dukungan) kepada perawat pelaksana dalam memberikan asuhan keperawatan dan

membahas insiden keselamatan pasien.


7

Supervisi pelayanan keperawatan di RSUP Sanglah dilaksanakan oleh tim supervisi

yang terdiri dari kepala ruang, pegawas keperawatan, dan kepala bidang keperawatan.

Salah satu sasaran supervisi pelayanan keperawatan di ruang rawat inap RSUP

Sanglah adalah perawat pelaksana. Cakupan lingkup pembinaan dan pengawasan

dalam kegiatan supervisi pelayanan keperawatan di RSUP Sanglah antara lain

pelaksanaan asuhan keperawatan dan dokumentasinya, kompetensi perawat dalam

memberikan asuhan keperawatan, kepatuhan menerapkan SOP, penerapan kode etik

keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan, kelengkapan fasilitas dan

sarana serta prasarana untuk melakukan asuhan keperawatan, manajemen asuhan

keperawatan dalam menerapkan proses asuhan keperawatan, keamanan unit ruang

rawat, termasuk pembahasan insiden keselamatan pasien (Pedoman Penyelenggaraan

Pelayanan Keperawatan RSUP Sanglah, 2011).

Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar telah membentuk tim keselamatan

pasien sejak tahun 2010 dengan uraian tugas antara lain penyusunan indikator-

indikator keselamatan pasien pada semua unit kerja pelayanan di RSUP Sanglah

Denpasar, menerima laporan insiden dari unit kerja pelayanan, menganalisis dan

mengevaluasi laporan insidensi, dan melaporkan kepada Direktur Utama RSUP

Sanglah Denpasar. Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar juga sudah memiliki

standar untuk keselamatan pasien. Standar keselamatan pasien yang digunakan sesuai

dengan 6 sasaran keselamatan pasien dari WHO yaitu (1) identifikasi pasien, (2)

komunikasi efektif, (3) peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, (4)

kepastian tepat lokasi, prosedur, dan tepat pasien tindakan operasi, (5) pengurangan
8

risiko infeksi, dan (6) pencegahan risiko pasien jatuh (Tim KPRS RSUP Sanglah

Denpasar, 2011)

Hasil wawancara dengan ketua tim keselamatan pasien, RSUP Sanglah Denpasar

sudah pernah melaksanakan survey budaya keselamatan pasien terhadap seluruh staf

rumah sakit dan hasilnya RSUP Sanglah Denpasar berada pada karakteristik

kalkulatif. Karakteristik kalkulatif berarti menggambarkan sistem sudah tertata baik,

pendekatan berbasis pada bukti (evidence based) namun pelaksanaannya masih

terfragmentasi (Fleming, 2008 dalam Cahyono, 2008). Hasil survey pendahuluan

terhadap 28 perawat pelaksana tentang pelaksanaan budaya keselamatan pasien di

IRNA D RSUP Sangah tahun 2013 menunjukkan hanya 51% yang memberikan

penilaian baik tentang unit (kepegawaian dan beban kerja), 51 % memberikan

penilaian baik tentang komunikasi dan bertanya sesuai kewenangan. Sedangkan

sebanyak 67% menilai kesalahan yang mereka lakukan akan dicatat pada file, serta

65% menyatakan memiliki masalah keselamatan pasien di unit bekerja (Tim KPRS

RSUP Sanglah, 2013).

Penerapan budaya keselamatan pasien juga dapat ditinjau dari insiden terkait

keselamatan pasien yang masih terjadi. Hal tersebut menjadi perhatian mengingat

insiden keselamatan pasien di rumah sakit diharapkan pada nilai zero defect (tingkat

insidensi 0%). Menurut data laporan tim keselamatan pasien dari bulan Januari

sampai Juni 2013 didapatkan data KPC (kondisi potensial cedera) sebanyak 50

insiden, KNC (kejadian nyaris cedera) sebanyak 515 insiden, KTC (kejadian tidak

cedera) sebanyak 11 insiden, KTD (Kejadian tidak diharapkan) sebanyak 227 insiden.
9

Beberapa tipe insiden keselamatan pasien yang dilaporkan antara lain medikasi dan

cairan infus (237 kasus), prosedur klinis (151 kasus), transfusi darah (120 kasus),

pasien jatuh (22 kasus), infeksi nosokomial (3 kasus) (Laporan bulanan tim KPRS

RSUP Sanglah, 2013).

Berdasarkan data di atas, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan supervisi

pelayanan keperawatan terhadap penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat

pelaksana di RSUP Sanglah Denpasar.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

“Apakah ada hubungan supervisi pelayanan keperawatan dengan penerapan budaya

keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUP Sanglah

Denpasar tahun 2014?”

1.3 Tujuan

Penelitian ini memiliki tujuan umum dan khusus yaitu:

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan supervisi pelayanan

keperawatan dengan penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di

ruang rawat inap RSUP Sanglah Denpasar tahun 2014.


10

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk:

a. Mengidentifikasi supervisi pelayanan keperawatan di ruang rawat inap RSUP

Sanglah Denpasar tahun 2014.

b. Mengidentifikasi penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di

ruang rawat inap RSUP Sanglah Denpasar tahun 2014.

c. Menganalisis hubungan supervisi pelayanan keperawatan dengan penerapan

budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUP

Sanglah Denpasar tahun 2014.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah :

a. Menambah kelimuan di bidang keperawatan khususnya dalam bidang manajemen

keperawatan dalam meningkatkan pelaksanaan supervisi pelayanan keperawatan

dengan model yang efektif guna menerapkan budaya keselamatan pasien di

rumah sakit.

b. Sebagai dasar bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti tentang budaya

keselamatan pasien di rumah sakit lain.


11

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah :

a. Sebagai evaluasi dan masukan terhadap kegiatan supervisi pelayanan

keperawatan yang selama ini sudah dilakukan oleh pimpinan keperawatan

khususnya RSUP Sanglah Denpasar.

b. Menambah masukan serta informasi mengenai perkembangan budaya

keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di rumah sakit khususnya di RSUP

Sanglah Denpasar.

c. Sebagai masukan dalam upaya meningkatkan komitmen perawat secara pribadi

dalam keberhasilan program budaya keselamatan pasien.

1.5 Keaslian Penelitian

Penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan

oleh peneliti diantaranya:

a. Nurmalia, mahasiswi Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia tahun

2012 melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Mentoring Terhadap

Penerapan Budaya Keselamatan Pasien di Ruang Rawat Inap RS Islam Sultan

Agung Semarang. Penelitian ini menggunakan desain quasi experiment dengan

rancangan yang digunakan adalah pretest-posttest with control group design

dengan jumlah sampel sebanyak 90 orang responden. Sampel diambil dengan

menggunakan teknik probability sampling yaitu simple random sampling.

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan lembar


12

observasi. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan statistik

deskriptif untuk masing-masing variabel yang diteliti dan uji chi-square untuk

menganalisis kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hasil analisa data

disajikan dalam tabel distribusi frekuensi dan persentase. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa program mentoring keperawatan mempunyai pengaruh

dalam meningkatkan penerapan budaya keselamatan pasien sebesar 20%. Hasil

penelitian juga menunjukkan perbedaan yang bermakna pada kelompok intervensi

dan kelompok kontrol sesudah dilakukan mentoring keperawatan dan kelompok

yang tidak mendapatkan program mentoring keperawatan akan berisiko

mengalami penurunan dalam penerapan budaya keselamatan pasien sebesar 2,5

kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan program

mentoring keperawatan.

b. Wibowo, dkk, mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Jurusan

Keperawatan Purwokerto tahun 2013 melakukan penelitian dengan judul

Hubungan Pelaksanaan Supervisi Kepala Ruang dengan Kinerja Perawat dalam

Pendokumentasian Asuhan Keperawatan di Rumah Sakit Tentara Wijayakusuma

Purwokerto. Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif korelasi dengan

pendekatan cross sectional study terhadap 100 responden. Pengambilan sampel

dilakukan dengan teknik simple random sampling dengan rumus Slovin. Data

diperoleh dengan menggunakan kuesioner. Uji statistik menggunakan korelasi

Chi Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 44 responden dengan

pelaksanaan supervisi kurang baik terlihat bahwa 25 responden (53,2%) memiliki


13

kinerja tidak baik, dari 56 responden kategori pelaksanaan supervisi baik terlihat

bahwa 39 responden (73,6%) memiliki kinerja baik.

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu seperti yang telah dikemukakan,

tampaknya belum ada peneliti yang mencoba meneliti hubungan supervisi pelayanan

keperawatan dengan penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksana.

Dengan demikian, peneliti menjamin keaslian penelitian ini dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Anda mungkin juga menyukai