UPAYA KHUSUS
PENURUNAN TINGKAT KEMISKINAN
PANDUAN PENARGETAN PROGRAM PENANGGULANGAN
KEMISKINAN BERBASIS WILAYAH
Disusun oleh:
Tulisan dan data dalam publikasi ini dapat direproduksi selama mencantumkan sumber yang dikutip. Dilarang
mereproduksi untuk tujuan komersial.
i
Saran untuk mengutip: TNP2K, (2014), “Upaya Khusus Penurunan Tingkat Kemiskinan: Panduan Penargetan Program
Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Wilayah”, Jakarta: TNP2K.
Cetakan Kedua, April 2014
ii
Foto Cover: TNP2K
KATA PENGANTAR
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan kesejahteraan rumah tangga yang
tercermin dari naiknya tingkat pendapatan masyarakat. Pada saat yang sama, fenomena
tingginya inflasi yang tercermin dari tingginya tingkat harga komoditas sebagai representasi
pengeluaran rumah tangga akan semakin menambah beban hidup rumah tangga. Kombinasi
diantara keduanya sangat mempengaruhi kemampuan daya beli masyarakat.
Buku ini merupakan panduan identifikasi wilayah prioritas (geographic targeting) atau
kantong kemiskinan, yang dapat digunakan untuk menentukan basis wilayah prioritas
pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Di wilayah prioritas ini, seluruh program
penanggulangan kemiskinan dari Pemerintah Pusat maupun Daerah seharusnya dipastikan
berjalan efektif. Pemanfaatan Indeks Kesejahteraan Wilayah (IKW) ini seyogyanya juga tidak
hanya untuk program penanggulangan kemiskinan, namun juga dapat digunakan oleh semua
program dan kegiatan Pemerintah Pusat maupun Daerah. Target RPJMN angka kemiskinan 8-
10 persen bukan mustahil untuk dicapai apabila tercipta sinergi dalam penargetan individu
maupun penargetan wilayah, di kantong-kantong kemiskinan ini.
iii
DAFTAR ISI
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Target Jumlah dan Pengurangan Penduduk Miskin, Maret 2014 dan 11
September 2014
Tabel 2. Distribusi Program Menurut Jenjang Administrasi Wilayah 15
Tabel 3. Jumlah Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga Sasaran Program 16
Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Rumah Tangga dan Individu, 2013
Tabel 4. Jumlah Desa dan Kecamatan Menurut Jumlah Program Penanggulangan 17
Kemiskinan yang Diterima, 2013
Tabel 5. Skenario Penargetan Wilayah Prioritas 20
Tabel 6. Faktor, Variabel dan Indikator Kesejahteraan Wilayah 23
Tabel 7. Perbandingan Indikator Kemiskinan di 100 Kabupaten Wilayah Prioritas 31
Tabel 8. Perbandingan Distribusi Wilayah dengan Berbagai Skenario 34
Tabel 9. Kabupaten dan Kota Prioritas Berdasarkan Indeks Kesejahteraan 36
Wilayah
v
DAFTAR GAMBAR
vi
Bagian 1.
Perkembangan Indikator Perekonomian
BAGIAN 1
PERKEMBANGAN INDIKATOR
PEREKONOMIAN
1
Dalam upaya terus menerus untuk menanggulangi kemiskinan di Indonesia, sangat penting
untuk secara teratur memperhatikan perkembangan indikator kemiskinan. Kemiskinan
didefinisikan sebagai suatu situasi di mana pengeluaran rumah tangga berada di bawah garis
minimal yang disebut garis kemiskinan. Karena itu tingkat kemiskinan sangat dipengaruhi oleh
dua hal. Pertama adalah tingkat kesejahteraan yang menentukan besarnya pengeluaran
rumah tangga. Kedua adalah beban hidup rumah tangga yang dicerminkan oleh tingkat harga
komoditas yang menjadi pengeluaran rumah tangga. Dalam perkembangan antarwaktu,
tingkat kesejahteraan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, sementara beban
hidup rumah tangga dapat terlihat dalam perkembangan inflasi. Pertumbuhan ekonomi akan
meningkatkan daya beli, sementara inflasi akan menurunkan daya beli. Perkembangan dua
indikator ini diuraikan di bagian berikut.
Sejak 2004 hingga 2013, perekonomian Indonesia tumbuh di atas 5 persen, kecuali pada tahun
2009 akibat krisis keuangan global. Sejalan dengan membaiknya perekonomian global,
pertumbuhan ekonomi Indonesia juga membaik dan mencapai angka 6,49 persen di tahun
2011. Setelah itu terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi, meskipun masih cukup tinggi di
tingkat sekitar 6 persen (lihat Gambar 1).
Tingkat pertumbuhan sebesar ini telah pula memberikan dampak kepada seluruh kelompok
ekonomi. Kelompok miskin maupun kaya secara nyata menikmati peningkatan pengeluaran.
Namun demikian harus diakui bahwa peningkatan pengeluaran selama 2008-2012 tidak
merata untuk seluruh kelompok masyarakat. Sekitar 40 persen kelompok penduduk dengan
kondisi sosial-ekonomi terendah hanya mengalami pertumbuhan pengeluaran riil sebesar 2
persen per tahun, sementara rata-rata Indonesia selama periode tersebut adalah 4,87 persen
per tahun (lihat Gambar 2). Hanya sekitar 20% kelompok masyarakat terkaya mengalami
pertumbuhan pengeluaran yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Hal ini telah
menyebabkan ketimpangan meningkat di perekonomian.
2
Gambar 1. Gambar 2.
Pertumbuhan Ekonomi, 2004-2013 Pertumbuhan Pengeluaran Tahunan 2008-2012
menurut 100 Kelompok Penduduk
10.0
6,35
6,01 6,22 6,49 6,23 8.0
4.0
2.0
2013
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
0.0
1 15 29 43 57 71 85 99
Percentiles
Sumber: Badan Pusat Statistik Sumber: Susenas, diolah
2008-2012 growth oleh TNP2K
Growth in mean
Pada tahun 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,78 persen, lebih rendah
dibandingkan dengan target APBN-P 2013 sebesar 6,13 persen. Perlambatan pertumbuhan
ekonomi pada tahun 2013 disebabkan karena perlambatan pertumbuhan sektor industri
pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan rumah makan. Pertumbuhan sektor konstruksi
melambat sesuai dengan perlambatan pertumbuhan investasi di sektor bangunan.
Sementara itu, pertumbuhan sektor jasa tetap kuat, tetapi sub-sektor terbesar yaitu
perdagangan, hotel dan rumah makan mengalami perlambatan (lihat Gambar 3). Perlambatan
pertumbuhan ekonomi ini juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu kondisi keuangan
internasional yang lebih ketat, akibat rencana tapering di Amerika Serikat, dan melambatkan
pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang seperti Cina dan India. Harga komoditas
dunia mengalami tekanan, dan pada gilirannya mempengaruhi ekspor Indonesia. Indonesia
mengalami peningkatan suku bunga domestik serta depresiasi Rupiah, dan keseluruhannya
menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi di 2013.
3
Gambar 3. Kontribusi Sektoral Terhadap Pertumbuhan PDB (y-o-y)
September 2010 – September 2013
4
Persentase
0
Sep-10 Dec-10 Mar-11 Jun-11 Sep-11 Dec-11 Mar-12 Jun-12 Sep-12 Dec-12 Mar-13 Jun-13 Sep-13
-1
Secara umum, pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang diuraikan di atas telah meningkatkan
pengeluaran seluruh kelompok penduduk, termasuk di dalamnya kelompok miskin. Namun
demikian, peningkatan daya beli tersebut harus berhadapan dengan peningkatan harga
komoditas, dan secara khusus harga komoditas yang dikonsumsi oleh kelompok masyarakat
miskin. Bagian berikut akan menguraikan hal tersebut.
1.2 Inflasi
4
peningkatan harga BBM yang berdekatan dengan Hari Raya Idul Fitri 2013 di sekitar Juni-Juli
2013.
Gambar 4. Gambar 5.
Perkembangan Inflasi, Januari 2003-Desember Perbandingan Inflasi menurut Kelompok Barang,
2013 (persen, y-o-y) Desember 2009 dan Desember 2013
18,38
2009 2013 15,36
11,35
12,14 7,81
7,45
6,22 6,00
3,91
3,88 3,893,7 3,89
8,74 8,79 1,83
0,52 -3,67
6,84
Sandang
Bahan Makanan
Kesehatan
Olahraga
dan Tembakau
Bahan bakar
Keuangan
Jan-03
Jan-05
Jan-07
Jan-09
Jan-11
Jan-13
Mei-04
Mei-06
Mei-08
Mei-10
Mei-12
Sep-03
Sep-05
Sep-07
Sep-09
Sep-11
Sep-13
Pada tahun 2013, inflasi tahunan (y-o-y) teratas untuk kelompok transportasi, komunikasi dan
jasa keuangan yaitu sebesar 15,36 persen. Sedangkan kelompok inflasi tertinggi kedua adalah
bahan makanan sebesar 11,35 persen. Di sisi lain, inflasi terendah terdapat pada kelompok
sandang, dengan inflasi yang hanya sekitar 0,52 persen (y-o-y).
Berdasarkan Berita Resmi Statistik BPS, pada Desember 2013 terjadi inflasi bulanan sebesar
0,55 persen. Dari 66 kota IHK, tercatat 61 kota mengalami inflasi dan 5 kota lainnya mengalami
deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Manado 2,69 persen dan inflasi terendah terjadi di
Palembang dan Tangerang masing-masaing 0,04 persen. Di sisi lain, deflasi tertinggi terjadi di
Padang Sidempuan 0,44 persen dan terendah terjadi di Kendari 0,05 persen.
Kelompok masyarakat miskin memiliki komposisi konsumsi yang berbeda dengan kelompok
masyarakat yang lebih tinggi status ekonominya. Konsumsi kelompok masyarakat miskin
terkonsentrasi pada jenis komoditas pangan. Sementara itu, komoditas pangan pada
umumnya memiliki harga yang lebih fluktuatif (karena produksi yang sifatnya musiman) dan
inflasi yang lebih tinggi. Beberapa komoditi pangan utama seperti beras, kedelai, bawang
5
merah, maupun daging sapi, mengalami pergerakan inflasi yang cukup signifikan di tahun 2013
(lihat Gambar 6).
Agustus
April
Januari
Maret
September
Oktober
Juli
Februari
November
Desember
Mei
Juni
Agustus
Maret
April
Januari
September
Oktober
Juli
Februari
November
Desember
Bawang Merah Kedelai
80.000
11.000 Kedelai Impor Kedelai lokal
70.000
60.000
50.000
40.000
10.000
30.000
20.000
10.000
0 9.000
Mei
Juni
Agustus
April
Januari
Maret
September
Oktober
Juli
November
Desember
Februari
Mei
Juni
Agustus
April
Januari
Maret
September
Oktober
Juli
Februari
November
Desember
Komposisi pengeluaran kelompok miskin yang lebih terkonsentrasi kepada komoditas pangan
menjadikan kelompok miskin menghadapi inflasi yang berbeda dibandingkan inflasi umum
(lihat Gambar 7 dan 8). Gambar 7 menunjukkan bahwa inflasi umum yang diwakili oleh Indeks
Harga Konsumen (IHK) dan inflasi garis kemiskinan memiliki tren pergerakan yang mirip,
namun inflasi garis kemiskinan selalu lebih tinggi dibandingkan inflasi umum. Artinya,
6
kelompok masyarakat miskin menghadapi peningkatan harga yang lebih tinggi dibandingkan
inflasi yang dihadapi masyarakat umum. Pada 2012, inflasi garis kemiskinan berada 3,29 titik
persen (percentage points) lebih tinggi dibandingkan inflasi secara umum. Demikian pula pada
2013, inflasi garis kemiskinan berada 1,06 titik persen (percentage points) lebih tinggi di atas
inflasi IHK. Gambar 8 lebih lanjut menunjukkan bahwa perbedaan antara inflasi umum dan
inflasi garis kemiskinan ternyata makin melebar dari waktu ke waktu.
Gambar 7. Gambar 8.
Inflasi Umum (IHK) dan Inflasi Garis Kemiskinan, Pergerakan inflasi Umum dan Inflasi Garis
2003-2013 (y-o-y) Kemiskinan, 2005-2013
20 250
Annual Inflation (March YoY) %
200
Index (2005=100)
15
150
10
100
5
50
0 0
2010
2005
2006
2007
2008
2009
2011
2012
2013
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Berdasarkan inflasi tahun 2013 yang cukup tinggi, garis kemiskinan pada 2014 diperkirakan
akan semakin meningkat. Hal ini berarti beban biaya hidup yang lebih tinggi bagi kelompok
masyarakat miskin. Jika tidak diimbangi dengan intervensi untuk meningkatkan daya beli,
maka upaya penanggulangan kemiskinan melalui program penanggulangan kemiskinan tidak
akan optimal.
7
1.3 Kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi dan pergerakan tingkat harga akan mempengaruhi jumlah penduduk
yang hidup di bawah garis kemiskinan. Selama periode 2004-2013, terlihat adanya tren
penurunan jumlah orang miskin maupun angka kemiskinan. Pada September 2013, terdapat
28,55 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan yang berarti angka kemiskinan sebesar
11,47 persen.
39,05 3,43
37,17
36,15
35,10 34,97 2,99
2,89
32,53 2,78 2,77
31,02
30,02 29,13
28,60 28,07 28,55 2,50
2,21
2,08 2,05
1,88 1,90 1,89
1,75
17,75 1,00
16,66 15,97 16,58 0,78 0,76 0,84
15,42 0,76
0,68
14,15 13,33 0,58 0,55 0,53
12,49 11,96 11,66 0,47 0,49 0,43 0,48
11,37 11,47
2006
2007
2008
2009
Sep-12
Sep-13
Sep-11
Sep-12
Sep-13
2004
2005
2010
2011
Mar-12
Mar-13
2008
2004
2005
2006
2007
2009
2010
Mar-11
Mar-12
Mar-13
Selama periode 2006-2009, tingkat kemiskinan turun lebih dari 1 titik persen (percentage
points) setiap tahunnya. Namun dalam periode 2010-2013 terjadi perlambatan penurunan
tingkat kemiskinan. Pengumuman jumlah penduduk miskin dan angka kemiskinan di
September 2013 menunjukkan perlambatan yang sangat mengkhawatirkan. Antara Maret
2012-Maret 2013, masih terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 1,06 juta jiwa.
Namun dalam periode September 2012-September 2013 penurunan jumlah penduduk miskin
tersebut hanyalah sejumlah 50 ribu jiwa. Perlambatan yang sama juga terjadi dalam hal
8
perubahan angka kemiskinan. Antara Maret 2012-Maret 2013, terjadi penurunan angka
kemiskinan sebesar 0,58 titik persen (percentage point). Namun dalam periode September
2012-September 2013 penurunan angka kemiskinan tersebut hanyalah 0,19 titik persen
(percentage point).
Indikator kedalaman kemiskinan (P1) dan keparahan kemiskinan (P2) juga mengalami tren
penurunan dalam periode 2006-2013. Tren penurunan indikator kedalaman kemiskinan (P1)
menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran rumah tangga miskin semakin mendekati garis
kemiskinan. Sementara itu, tren penurunan indikator keparahan kemiskinan (P2) berarti
kesenjangan pengeluaran antarpenduduk miskin makin mengecil. Namun demikian, tren
perlambatan penurunan juga terlihat sangat jelas untuk kedua indikator ini.
Perlambatan tren penurunan indikator kemiskinan ini akan mempengaruhi pencapaian target
angka kemiskinan sebesar 8-10 persen pada tahun 2014. Diperlukan penguatan berbagai
upaya yang telah berjalan selama ini, dan lebih dari itu diperlukan upaya khusus untuk
menurunkan angka kemiskinan ini. Oleh karena itu, secara progresif pemerintah pusat melalui
kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah sangat perlu mengoptimalkan dan
mensinergikan berbagai progam penanggulangan kemiskinan yang telah berjalan. Salah satu
upaya yang dapat ditempuh adalah dengan melaksanakan sistem pemantauan terpadu
terhadap berbagai program tersebut dengan target pencapaian output yang terukur dan tepat
waktu, tepat jumlah serta tepat sasaran dalam implementasi program.
9
10
BAGIAN 2
UPAYA PEMERINTAH
11
2.1 Target Pengurangan Tingkat Kemiskinan
Tabel 1. Target Jumlah dan Pengurangan Penduduk Miskin, Maret 2014 dan September 2014
Catatan:
Asumsi jumlah penduduk: 251,05 juta (Maret 2014) dan 252,78 juta (Sept 2014)
Target di atas tidak mudah untuk selesaikan, terutama jika melihat perlambatan penurunan
jumlah penduduk miskin maupun perlambatan penurunan angka kemiskinan seperti yang
diuraikan di Bagian 1. Karena itu dalam waktu 6 bulan ke depan Pemerintah perlu lebih
meningkatkan sinergi melalui penargetan program-program penanggulangan kemiskinan
secara tepat. Dua dimensi penargetan harus mendapat perhatian penuh, yaitu ketepatan
penargetan individu dan juga ketepatan penargetan secara wilayah.
12
Ketepatan penargetan individu dilakukan dengan pemanfaatan Basis Data Terpadu,
pelaksanaan Program Percepatan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S) dengan Kartu
Pelindungan Sosial (KPS). Diperlukan instrumen pemantauan yang ketat terhadap
implementasi program penanggulangan kemiskinan di lapangan untuk memastikan ketepatan
sasaran, ketepatan jumlah dan ketepatan waktu pelaksanaan progam. Hal ini akan diuraikan
pada Bagian 2 ini. Sementara itu, ketepatan penargetan secara wilayah akan diuraikan lebih
lanjut di Bagian 3 setelah ini.
Sejak awal pemerintahan SBY-Boediono, Pemerintah telah meletakkan dasar bagi peningkatan
efektivitas penargetan individu bagi seluruh program penanggulangan kemiskinan yang
dijalankan. Satu hal yang telah dilakukan adalah pembentukan Basis Data Terpadu (BDT) hasil
Program Pendataan Perlindungan Sosia (PPLS) 2011 yang kemudian dikelola sebagai sumber
data penerima bagi seluruh program penanggulangan kemiskinan Pemerintah yang memiliki
target individu dan rumah tangga. Pada tahun 2013, Pemerintah meluncurkan Program
Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S) disertai penggunaan Kartu Perlindungan
Sosial (KPS) sebagai upaya untuk meningkatkan ketepatan individu dan rumah tangga
penerima program.
Basis Data Terpadu (BDT) yang saat ini dikelola oleh Sekretariat Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) berisikan nama dan alamat individu yang termasuk
dalam 40 persen rumah tangga dengan status sosial-ekonomi terendah. BDT merupakan hasil
PPLS 2011 yang telah mengalami perbaikan metodologi pendataan (dibandingkan dengan
pendataan PSE 2005 maupun PPLS 2008). Berbagai kegiatan verifikasi data yang telah
dilakukan (melalui spot-checks maupun penggunaan data bagi program) yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa BDT memiliki tingkat akurasi yang tinggi.
BDT dikelola sebagai basis data yang dapat dipergunakan oleh program Pemerintah Pusat
maupun Daerah baik untuk kegiatan penargetan maupun untuk kegiatan perencanaan
program. Sekretariat TNP2K menyediakan bantuan teknis untuk penggunaan BDT tersebut.
Akses data untuk kegiatan perencanaan dapat dilakukan secara on-line melalui
www.tnp2k.go.id. Di samping itu, data nama dan alamat dapat dipergunakan oleh Program
Pemerintah Pusat dan Daerah yang memiliki target sasaran individu maupun rumah tangga.
13
2.2.2. Kartu Perlindungan Sosial
Kartu Perlindungan Sosial (KPS) adalah kartu yang diterbitkan pemerintah dalam rangka
pelaksanaan Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S). KPS memuat
informasi Nama Kepala Rumah Tangga, Nama Pasangan Kepala Rumah Tangga, Nama Anggota
Rumah Tangga Lain, Alamat Rumah Tangga, Nomor Kartu Keluarga, dilengkapi dengan kode
batang (barcode) beserta nomor identitas KPS yang unik. Bagian depan bertuliskan Kartu
Perlindungan Sosial dengan logo Garuda, dan masa berlaku kartu sampai dengan tahun 2014.
Sumber: TNP2K
Berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT), diputuskan bahwa KPS diberikan kepada 25 persen
Rumah Tangga dengan status sosial ekonomi terendah. Mengingat jumlah penduduk yang
hidup di bawah garis kemiskinan pada bulan September 2012 adalah 11,66 persen, berarti
pemberian KPS tidak hanya mencakup mereka yang miskin namun juga mereka yang berada
diatas garis kemiskinan/rentan.
Melalui KPS, rumah tangga bersangkutan dapat mengakses seluruh manfaat Program P4S.
Syarat dan ketentuan dari penggunaan KPS adalah sebagai berikut:
1. Kepala Rumah Tangga pemegang KPS beserta seluruh Anggota Rumah Tangganya
berhak menerima Program Perlindungan Sosial.
2. Kartu ini ditunjukkan pada saat pengambilan manfaat Program Perlindungan Sosial.
Ketidaksesuaian nomor Kartu Keluarga asli dengan nomor Kartu Keluarga yang ada di
KPS, tidak menghapus hak Rumah Tangga atas manfaat program.
14
3. Kartu ini tidak dapat dipindahtangankan.
4. KPS harus disimpan dengan baik, kehilangan atau kerusakan kartu menjadi tanggung
jawab pemegang kartu.
Mekanisme penyaluran kartu dirumuskan oleh TNP2K berkoordinasi dengan Kementerian dan
Lembaga terkait dan dilaksanakan sepenuhnya oleh PT. Pos Indonesia. Tugas utama PT. Pos
Indonesia adalah mendistribusikan KPS ke RTS tanpa dikenai biaya apapun, didampingi oleh
aparat desa/kelurahan, dan TKSK (Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan). Selain itu, PT. Pos
Indonesia juga berkewajiban mendata KPS yang kembali (retur) dikarenakan berbagai alasan,
seperti Rumah Tangga tercatat ganda; Rumah Tangga pindah; Rumah Tangga tidak ditemukan;
dan Rumah Tangga yang seluruh anggotanya telah meninggal.
Selama proses distribusi kartu, TKSK memfasilitasi pencatatan jumlah KPS yang kembali per
Desa/Kelurahan, selanjutnya direkapitulasi di tingkat kecamatan yang menjadi wilayah
kerjanya. TKSK menginformasikan jumlah kartu yang kembali pada masing-masing
desa/kelurahan sebagai bahan pelaksanaan Musyawarah Desa atau Kelurahan untuk
menentukan rumahtangga pengganti.
Pemerintah meluncurkan Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S) pada
pertengahan tahun 2013 dalam rangka pengalihan subsidi BBM yang sebagian besar dinikmati
oleh 20 persen kelompok terkaya di Indonesia menjadi program bantuan sosial berbasis
rumah tangga. Program ini juga bertujuan untuk mempertahankan daya beli kelompok rumah
tangga miskin dan rentan. P4S menjangkau 15,5 juta rumah tangga atau kurang lebih 62 juta
jiwa. Cakupan P4S ini adalah 25 persen rumah tangga dengan kondisi sosial-ekonomi
terendah, yang ditandai dengan penyaluran KPS. Dalam pendistribusian program bantuan
sosial, pemerintah tidak mengalokasikannya secara spesifik di daerah tertentu. Program
didistribusikan berdasarkan anggaran yang tersedia dan tingkat kemiskinan suatu wilayah.
Semakin tinggi tingkat kemiskinan suatu wilayah, semakin banyak program bantuan sosial
yang dilaksanakan di wilayah tersebut. P4S sendiri merupakan pengintegrasian berbagai
program bantuan sosial yang sudah lama dilaksanakan, seperti Raskin, Bantuan Siswa Miskin
(BSM), Program Keluarga Harapan (PKH), Jamkesmas dan Program Percepatan Pembangunan
Infrastruktur dan Air Bersih, serta Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). BLSM
hanya dilakukan dalam empat bulan, yaitu pada bulan Juli-Oktober 2013 dengan dua kali
pembayaran di bulan Juli dan September.
15
P4S merupakan salah satu program pemerintah yang didesain secara terintegrasi bagi rumah
tangga sasaran penerima program perlindungan sosial. Desain terintegrasi yang dimaksud
adalah menggunakan satu KPS yang dapat digunakan untuk pengambilan manfaat dari
beberapa program bantuan sosial. Dengan desain terintegrasi diharapkan dapat lebih
mempercepat penurunan kemiskinan selain upaya mengefektifkan program penanggulangan
kemiskinan lainnya yang telah berjalan.
Program yang cakupan wilayahnya masih relatif kecil adalah PKH, yakni baru menjangkau 22
persen desa dan kecamatan yang tersebar di 120 kabupaten/kota dan 25 provinsi, dan
menyasar sekitar 7 persen jumlah rumah tangga. Sampai dengan pembayaran tahap ke empat
16
tahun 2013, jumlah penerima manfaat program PKH adalah 2,32 juta rumah tangga atau
setara dengan 10,06 juta jiwa.
Dalam konteks penargetan, diharapkan bahwa rumah tangga yang paling miskin mendapatkan
seluruh program penanggulangan kemiskinan dan P4S yang diluncurkan oleh Pemerintah.
Karena PKH adalah program dengan cakupan kepesertaan yang paling sedikit, maka seluruh
peserta PKH seyogyanya mendapatkan BSM (untuk anak yang bersekolah), Raskin (untuk
rumah tangga), dan menjadi penerima bantuan iuran program Jaminan Kesehatan (untuk
seluruh anggota rumah tangga). Dengan bantuan program yang komprehensif tersebut maka
diharapkan RT yang paling miskin dapat memperbaiki kondisi hidupnya.
Tabel 3. Jumlah Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga Sasaran Program
Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Rumah Tangga dan Individu, 2013
Program
Program Program Program
Cakupan Penerima Keluarga
RASKIN BSM Jamkesmas*
Harapan
Rumah tangga (juta) 15,5 1,9 15,5 21,8
Individu anggota RT (juta) 10,9 16,6 86,4
Sumber: TNP2K
Keseluruhan program tersebut secara kumulatif seharusnya mempunyai dampak yang nyata
terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Namun, seperti dikemukakan sebelumnya, laju
penurunan tingkat penduduk miskin secara aktual masih belum mampu mencapai target
tingkat kemiskinan yang ditetapkan RPJMN 2010-2014.
Distribusi cakupan wilayah yang luas dan jumlah rumah tangga penerima manfaat program
yang besar merupakan modal dasar bagi pemerintah untuk mencapai target tingkat
kemiskinan sesuai dengan rencana. Namun demikian, kenyataan yang ada menunjukkan
bahwa tingkat kemiskinan yang terjadi belum sesuai dengan target yang ditentukan. Oleh
karena itu, efektivitas pelaksanaan berbagai program terurai di atas perlu dipertajam.
17
Tabel 4. Jumlah Desa dan Kecamatan Menurut Jumlah Program
Penanggulangan Kemiskinan yang Diterima, 2013
Jumlah
Jumlah program (% terhadap total Nasional)
DESA KECAMATAN
1 Program 7,624 570
9.49 8.32
2 Program 20,136 147
25.06 2.14
3 Program 40,073 4,754
49.88 69.36
4 Program 12,503 1,383
15.56 20.18
Total 80,336 6,854
Sumber: TNP2K
Keterangan:
[1] Wilayah yang hanya menerima salah satu dari program Raskin, BSM, Jamkesmas dan PKH
[2] Wilayah yang menerima 2 program yang terdiri dari kombinasi antara Raskin, BSM, Jamkesmas dan PKH
[3] Wilayah yang menerima 3 program yang terdiri dari kombinasi antara Raskin, BSM, Jamkesmas dan PKH
[4] Wilayah yang menerima 4 program dan terdiri dari Raskin, BSM, Jamkesmas dan PKH
Dimensi lain dari distribusi program penanggulangan kemiskinan tersebut adalah dengan
melihatnya menurut desa dan kecamata. Data menunjukkan bahwa sebagian besar
kecamatan dan desa menerima lebih dari satu program. Jumlah kecamatan dan desa yang
hanya menerima satu jenis program masing-masing persentasenya hanya 8 persen dan 9
persen. Jumlah kecamatan dan desa yang menerima sekaligus 3 program, masing-masing
mencapai 49 persen dan 69 persen. Penajaman penargetan wilayah ini akan diuraikan di
Bagian 3 berikut.
18
BAGIAN 3
UPAYA PENAJAMAN
PENANGGULANGAN
KEMISKINAN
19
3.1 Penargetan Wilayah Prioritas
Penargetan wilayah prioritas kantong kemiskinan sebenarnya bukanlah merupakan hal baru
dalam program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Di masa lalu, program Inpres Desa
Tertinggal (IDT) misalnya, merupakan program pemerintah yang telah menggunakan
pendekatan target kewilayahan atau geographical targeting. Pada batasan tertentu,
pelaksanaan program PNPM Mandiri, juga telah mengadopsi pendekatan ini.
20
3.2 Basis Wilayah Prioritas
Upaya dan program penanggulangan kemiskinan yang telah dijalankan masih memerlukan
penguatan, yang dilakukan dengan cara memberikan perhatian lebih berupa pemantauan
terhadap pelaksanan program penanggulangan kemiskinan di wilayah prioritas kantong
kemiskinan. Paling tidak terdapat empat skenario yang dapat dimanfaatkan sebagai
pendekatan dalam menentukan basis wilayah prioritas. Keempat skenario tersebut adalah
berdasarkan: (i) jumlah penduduk miskin, (ii) jumlah penduduk yang termasuk 10 persen
terendah (desil 1 di Basis Data Terpadu), (iii) jumlah rumah tangga penerima KPS, dan (iv)
pemanfaatan Indeks Kesejahteraan Wilayah (IKW) berbasis kemiskinan multidimensi.
Tiga dasar penentuan yang pertama adalah indikator-indikator terkait erat dengan tingkat
kemiskinan dan pelaksanaan program. Ketiga indikator tersebut pada dasarnya merupakan
varian dari indikator kemiskinan berbasiskan pengeluaran atau konsumsi rumah tangga.
Jumlah penduduk miskin ditentukan oleh tingginya garis kemiskinan yang direpresentasikan
oleh sejumlah pengeluaran minimum yang diperlukan rumah tangga untuk memenuhi
21
pengeluaran makanan dan non-makanan minimum. Jumlah penduduk di Desil 1 BDT
didapatkan dari pemeringkatan kondisi sosial-ekonomi rumah tangga, berbasiskan model
proxy-means testing yang juga dibangun berdasarkan pengeluaran atau konsumsi rumah
tangga. Jumlah penerima KPS pada prinsipnya juga ditentukan oleh hasil pemeringkatan
rumah tangga, namun pada jumlah cakupan yang lebih tinggi dibandingkan indikator kedua.
Jika Desil 1 menggunakan batasan (cut-off) 10 persen peringkat terendah, maka cakupan KPS
menggunakan batasan (cut-off) sebesar 25 persen peringkat terendah.
Indeks Kesejahteraan Wilayah (IKW) dibangun dengan memasukkan berbagai dimensi non-
konsumsi, terutama variabel-variabel yang dapat lebih mencerminkan kondisi kemiskinan di
wilayah yang bersangkutan. Perumusan IKW didasari oleh kenyataan bahwa permasalahan
kemiskinan tidak hanya tercermin dari rendahnya tingkat konsumsi masyarakat, melainkan
juga terkait dengan permasalahan infrastruktur wilayah, pendidikan, kesehatan, perumahan,
ketenagakerjaan dan dimensi lainnya. Penggunaan IKW untuk memilih dan menentukan
wilayah prioritas yang menjadi kantong kemiskinan, dapat digunakan baik dari tingkat
kabupaten/kota hingga tingkat desa/kelurahan. Beberapa faktor yang diduga berperan kuat
sebagai pendorong maupun penghambat terhadap kemajuan atau ketertinggalan suatu
wilayah, antara lain 1) Tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat, 2) Kondisi kesehatan
masyarakat, 3) Kondisi pendidikan masyarakat, 4) Kondisi infrastruktur masyarakat, 5) Kondisi
perumahan masyarakat, dan 6) Kondisi ketenagakerjaan masyarakat. Keseluruhan variabel,
indikator dan metode pembentukan indeks akan diuraikan di bawah ini.
Indeks Kesejahteraan Wilayah (IKW) yang mencerminkan tingkat kemiskinan (dan juga tingkat
kesejahteraan) suatu wilayah dibentuk dari dua faktor komposit (lihat Gambar 12). Faktor
komposit pertama adalah komponen non-konsumsi rumah tangga yang merupakan gabungan
dari berbagai variabel sumberdaya dan infrastruktur masing-masing wilayah di dalamnya.
Faktor komposit non-konsumsi menggambarkan kondisi kesejahteraan suatu wilayah, dengan
tanpa memperhatikan tingkat kemiskinan penduduknya. Wilayah dengan sumberdaya dan
infrastruktur yang terbatas dapat dikategorikan sebagai wilayah kurang sejahtera. Enam
variabel utama pembentuk faktor komposit komponen non-kemiskinan terdiri dari variabel
ekonomi, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, perumahan dan ketenagakerjaan, di mana
masing-masing variabel dibentuk dari beberapa indikator penjelas lainnya. Tabel 6
menguraikan seluruh indikator penjelas yang digunakan dalam faktor komposit non-konsumsi.
Faktor komposit kedua adalah komponen kemiskinan konsumsi rumah tangga yang
merupakan komposit dari indikator kemiskinan di setiap wilayah. Komponen kemiskinan
22
rumah tangga identik dengan kemiskinan pada level individu dan rumah tangga. Beberapa
komponen variabel atau indikator yang termasuk dalam komponen kemiskinan adalah jumlah
penduduk miskin, tingkat kemiskinan (P0), kedalaman kemiskinan (P1) dan keparahan
kemiskinan (P2).
23
Tabel 6. Faktor, Variabel dan Indikator Kesejahteraan Wilayah
KOMPONEN NON-KONSUMSI
FAKTOR 1 1. Produk Domestik Regional FAKTOR 2 1. Jumlah Sarana Sekolah Dasar
Bruto (PDRB) Perkapita (SD/MI);
Tingkat Harga Konstan; Kondisi
Kesejahteraan 2. Pendapatan Asli Daerah Pendidikan 2. Jumlah Sarana Sekolah
Ekonomi (PAD); Masyarakat Menengah Pertama
Masyarakat (SMP/MTs);
3. Indeks Kemahalan Konstruksi 3. Jumlah Sarana Sekolah
(IKK); Menengah Atas
(SMA/MA/MTs);
4. Indeks Kapasitas Fiskal (IKF); 4. Rasio Guru/Murid (Per-100
siswa);
5. Jumlah Koperasi; 5. Angka Partisipasi Sekolah;
6. Bank Umum dan Kredit 6. Angka Melek Huruf
FAKTOR 3 1. Jumlah Dokter/1000 FAKTOR 4 1. Penerangan Utama di Jalan;
Penduduk;
Kondisi 2. Tingkat Kesakitan (Morbidity Kondisi 2. Telepon Desa
Kesehatan Rate); Infrastruktur
Masyarakat 3. Jumlah Rumah Sakit; Wilayah 3. Wartel/Warnet;
4. Jumlah Posyandu; 4. Kantor Pos/Poskel;
5. Jumlah Praktek Kesehatan 5. Permukaan Jalan Utama
Aspal/Beton/Kerikil;
6. Permukaan Jalan Terluas
Aspal/Beton/Kerikil
FAKTOR 5 1. Rasio Elektrifikasi; FAKTOR 6 1. Tingkat Pengangguran
Terbuka;
Kondisi 2. Persentase Rumah Tangga Kondisi 2. Persentase Pekerja yang
Perumahan dengan Air Minum Layak; Ketenaga- Bekerja Selama Kurang dari 14
Masyarakat kerjaan Jam Seminggu;
3. Persentase Rumah Tangga Masyarakat 3. Persentase Pekerja yang
dengan Lantai Keramik, Bekerja Selama Kurang dari 35
Semen, Ubin; Jam Seminggu;
4. Persentase Rumah Tangga 4. Persentase Keluarga Sektor
dengan Sanitasi Layak; Pertanian;
5. Persentase Rumah Tangga 5. Persentase Keluarga Buruh
dengan Bahan Bakar Listrik, Pertanian
Minyak Tanah dan Gas;
6. Persentase Rumah Tangga
yang Memiliki Aset
Berharga;
7. Persentase desa dengan
Permukiman Kumuh;
KOMPONEN KONSUMSI
Kondisi 1. Jumlah Penduduk Miskin;
Kemiskinan 2. Tingkat kemiskinan (P0);
Masyarakat 3. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1);
4. Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
24
Model yang digunakan dalam pembentukan faktor komposit IKW adalah discriminant analysis
dengan memanfaatkan tools statistik faktor atau PCA – Principal Component Analysis.
Pendekatan yang digunakan adalah dengan membuat komposisi pembobotan (weighting)
yang setara antara dimensi kemiskinan non-konsumsi dan dimensi kemiskinan konsumsi yang
dilakukan dengan cara membuat scoring pada masing-masing faktor dimensi.
Indeks
Kesejahteraan
Wilayah (IKW)
Pada saat yang sama, setiap komponen faktor pembentuk IKW diberi bobot yang sama,
dengan asumsi tidak ada satupun komponen faktor yang dianggap lebih memiliki kemampuan
(prioritas) dalam mempengaruhi tingkat kesejahteraan suatu wilayah. Gambar 13 menjelaskan
bahwa faktor-faktor di bawah dimensi kemiskinan non-konsumsi mempunyai kesetaraan
bobot yang saling terkait satu-sama lain. Pada sisi lain, dimensi kemiskinan konsumsi hanya
mempunyai komponen pembentuk faktor.
25
3.3 Pemilihan Wilayah Prioritas
Peringkat kesejahteraan wilayah disajikan dengan pola urutan nilai IKW dari nilai indeks
terendah sampai tertinggi (0-100). Suatu wilayah dengan nilai komposit indeks mendekati 0
(nol) merupakan wilayah yang perlu mendapatkan prioritas dalam pemantauan pelaksanaan
program penanggulangan kemiskinan. Sebaliknya, wilayah dengan nilai komposit indeks
mendekati 100 merupakan wilayah yang lebih sejahtera.
Langkah awal penentuan wilayah prioritas dilakukan dengan cara mengurutkan nilai IKW
seluruh kabupaten/kota yang diperoleh dari normalisasi scoring faktor, yang terbentuk dari
faktor komposit dimensi non-konsumsi dan konsumsi, dari nilai terkecil sampai terbesar.
Berdasarkan nilai IKW yang sudah diurutkan tersebut, kemudian dipilih 100 kabupaten/kota
yang terendah sebagai basis wilayah prioritas.
Pemilihan wilayah prioritas dilakukan atas dasar ketersediaan biaya dan target yang akan
dicapai. Saat ini, jumlah wilayah prioritas untuk tingkat nasional hanya dipilih sebanyak 100
kabupaten/kota tertinggal. Jumlah kabupaten/kota terpilih yang terbatas tersebut didasari
oleh beberapa alasan, yaitu:
Pendekatan yang sama juga dapat dilakukan ketika akan memilih wilayah prioritas untuk
tingkat kecamatan dan desa. Kecamatan prioritas diidentifikasi di dalam wilayah prioritas
kabupaten/kota. Dengan menggunakan pendekatan yang sama, desa/kelurahan yang terpilih
haruslah merupakan desa/kelurahan yang berada di wilayah prioritas kecamatan. Secara
teknis, penentuan wilayah kabupaten/kota prioritas didasarkan pada IKW di tingkat nasional.
Data yang digunakan untuk menyusun indeks komposit IKW adalah data outcome yang
mewakili supply dan demand side pada masing-masing kelompok indikator.
26
Gambar 14. Dasar Pemilihan Wilayah Prioritas Berdasarkan IKW
Thresholds
100
39 KOMPOSIT INDEKS 100 Wilayah KABUPATEN/KOTA
Variabel
KABUPATEN KOTA PRIORITAS
Proxy Variabel
2.382
49 KOMPOSIT INDEKS KECAMATAN
Variabel 40% Wilayah
KECAMATAN PRIORITAS
Agregasi
28.232
47 KOMPOSIT INDEKS Mean + DESA
Variabel StdDev
DESA PRIORITAS
Penentuan target IKW tingkat kecamatan dan desa dilakukan di tingkat kabupaten/kota
terpilih. Untuk tingkat kecamatan dan desa, indikator yang digunakan adalah proxy dari
indikator yang dipakai pada tingkat kabupaten/kota, dengan beberapa tambahan indikator
yang mencerminkan ketertinggalan wilayah. Oleh karena itu, sebagian besar data yang
digunakan pada tingkat kecamatan dan desa adalah data Potensi Desa (Podes) tahun 2011
yang telah memasukkan dimensi kualitas dan beberapa indikator lain yang bersumber dari
Sensus Penduduk Tahun 2010.
Untuk menjaga agar program penanggulangan kemiskinan berjalan sesuai dengan rencana,
serta mampu memberikan dampak yang signifikan terhadap percepatan penurunan tingkat
kemiskinan di tingkat nasional, perlu dilakukan evaluasi (perbandingan) terhadap basis
wilayah prioritas berdasarkan keempat skenario pemilihan wilayah prioritas yang sudah
ditentukan. Hasil evaluasi akan memberi konfirmasi awal berupa seberapa robust (mampu
27
memberi dampak yang signifikan) basis wilayah prioritas yang dihasilkan berdasarkan
pendekatan IKW dibandingkan dengan pendekatan yang lain. Evaluasi akan dilakukan
terhadap indikator-indikator kemiskinan, antara lain tingkat kemiskinan, kedalaman dan
keparahan kemiskinan, serta jumlah orang miskin.
Tingkat Kemiskinan
Dengan menggunakan referensi tingkat kemiskinan nasional sekitar 11,66 persen (September
2012), Skenario 1 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan pada wilayah prioritas adalah
sebesar 16,41 persen, sedangkan pada wilayah non-prioritas sebesar 7,56 persen. Sementara
dengan menggunakan Skenario 2, tingkat kemiskinan di wilayah prioritas adalah sebesar 12,20
persen, dan 9,08 persen pada wilayah non-prioritas.
20,40
16,41
12,20 11,73
11,29
11,66 9,08 9,83
7,56
Hasil evaluasi Skenario 3 terhadap wilayah prioritas kantong kemiskinan menunjukkan jika
tingkat kemiskinan di wilayah prioritas adalah sebesar 11,29 persen, sedangkan wilayah non-
prioritas sebesar 11,73 persen. Sementara penerapan Skenario 4 menghasilkan gambaran
tentang tingkat kemiskinan pada wilayah prioritas jauh lebih tinggi, yaitu 20,4 persen,
sedangkan pada wilayah non-prioritas adalah sebesar 9,83 persen.
28
Dari keseluruhan hasil evaluasi pemilihan skenario wilayah prioritas berdasarkan tingkat
kemiskinan, dapat ditunjukkan jika wilayah prioritas pada Skenario 4 memiliki tingkat
kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan skenario lain. Dengan kata lain,
pemantauan terhadap pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan yang efektif di
wilayah prioritas berdasar Skenario 4 diharapkan akan mampu memberi dampak yang besar
terhadap penurunan tingkat kemiskinan.
3,61
2,74
Hasil evaluasi Skenario 3 menunjukkan tingkat kedalaman kemiskinan di wilayah prioritas dan
non-prioritas relatif sama, bahkan lebih tinggi tingkat kedalaman kemiskinan pada wilayah
29
non-prioritas. Sementara itu, Skenario 4 memberi gambaran jika kedalaman kemiskinan pada
wilayah prioritas lebih dari 2 kali wilayah non-prioritas.
Dalam konteks keparahan kemiskinan, angka nasional yang digunakan sebagai referensi
adalah sebesar 0,49 persen (September 2012). Hasil pendekatan Skenario 1 menunjukkan jika
tingkat keparahan kemiskinan wilayah prioritas ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan
wilayah non-prioritas, dan masih lebih tinggi dibanding angka nasional. Dengan menggunakan
Skenario 2, wilayah prioritas memiliki tingkat keparahan kemiskinan lebih tinggi dibandingkan
dengan wilayah non-prioritas, yaitu 0,51 berbanding 0,39.
1,20
0,98
0,90
0,70
0,00
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
30
Penggunaan Skenario 3 menunjukkan tingkat keparahan wilayah non-prioritas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan wilayah prioritas, yaitu 0,53 dibanding 0,48. Hal ini menunjukkan
bahwa wilayah yang menjadi prioritas merupakan wilayah dengan ketimpangan per kapita
rumah tangga lebih rendah terhadap garis kemiskinan dibandingkan dengan wilayah non-
prioritas. Sementara, hasil penerapan Skenario 4 menunjukkan hal yang lebih kontras, dimana
tingkat keparahan kemiskinan di wilayah prioritas hampir 3 kali lipat lebih besar dibanding
wilayah non-prioritas, dan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tiga skenario sebelumnya.
Dengan kata lain, wilayah prioritas yang dihasilkan oleh pendekatan IKW merupakan wilayah
dengan ketimpangan pendapatan per kapita rumah tangga terhadap garis kemiskinan yang
paling tinggi. Sehingga upaya khusus Pemerintah yang dilakukan di wilayah-wilayah terpilih
berdasarkan penerapan Skenario 4 diharapkan akan mampu memperkecil ketimpangan
pendapatan per kapita antar rumah tangga.
Dengan menggunakan referensi jumlah penduduk miskin pada September 2012 sekitar 28,6
juta, ternyata wilayah-wilayah prioritas pada Skenario 4 memiliki jumlah penduduk miskin
sebanyak 8,67 juta yang jauh lebih kecil dibanding dengan tiga skenario lainnya. Hal ini dapat
dipahami mengingat pendekatan IKW tidak mendasarkan pilihan wilayah prioritas hanya
dengan menggunakan dimensi kemiskinan konsumsi (ekonomi) saja, tetapi juga
mengikutsertakan dimensi kemiskinan non-konsumsi (sosial, infrastruktur, dan lain
sebagainya). Artinya, wilayah-wilayah yang terpilih berdasarkan Skenario 4 merupakan
wilayah yang memiliki tingkat kompleksitas permasalahan kemiskinan (ekonomi dan non-
ekonomi) yang lebih besar dibanding wilayah lain.
31
kantong kemiskinan. Pendekatan IKW dikatakan lebih unggul mengingat wilayah-wilayah
prioritas yang terpilih berdasarkan pendekatan IKW terbukti memiliki karakteristik (i) tingkat
kemiskinan yang lebih tinggi dibanding wilayah prioritas yang dihasilkan dengan menggunakan
pendekatan lain, (ii) perbedaan jarak pendapatan rumah tangga terhadap garis kemiskinan
yang lebih besar dibanding wilayah prioritas yang dihasilkan dengan menggunakan
pendekatan lain, (iii) ketimpangan pendapatan rumah tangga yang lebih besar dibanding
wilayah prioritas yang dihasilkan dengan menggunakan pendekatan lain, serta (iv) jumlah
penduduk miskin yang lebih sedikit dibanding wilayah prioritas yang dihasilkan dengan
menggunakan pendekatan lain.
1
IKW berangkat dari kabupaten/kota; contoh: jika 1 provinsi terdiri atas 5 kabupaten/kota dimana 2 termasuk daerah IKW, maka
provinsi tersebut disebut provinsi prioritas (2 kabupaten/kota) dan juga non prioritas (3 kabupaten/kota). Jika suatu provinsi
tidak memiliki daerah yang masuk dalam kategori IKW, maka bisa dikatakan daerah tersebut sebagai provinsi non-prioritas.
32
Cakupan dan Distribusi Wilayah Prioritas
Dengan menggunakan Skenario 2 atau pendekatan jumlah penduduk yang berada pada desil
1, diperoleh gambaran sebaran wilayah prioritas yang relatif sama dengan Skenario 1, dimana
wilayah prioritas hanya mencakup 13 provinsi. Dari 100 wilayah yang dijadikan prioritas, 80
kabupaten/kota diantaranya berada di Pulau Jawa dan 13 kabupaten/kota lainnya berada di
Pulau Sumatera. Hal ini mengindikasikan jumlah penduduk miskin pada kedua pulau tersebut
ternyata proporsional terhadap jumlah penduduk yang termasuk dalam kelompok desil 1 atau
10 persen kelompok terbawah. Skenario 3 atau pemilihan wilayah berdasarkan sebaran rumah
tangga penerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS) menunjukkan hal yang tidak jauh berbeda
dibandingkan dengan dua skenario sebelumnya. Sekali lagi, distribusi wilayah prioritas masih
cenderung terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera dan hanya tersebar di 13 provinsi.
Gambaran tentang sebaran wilayah prioritas yang hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa dan
sebagaia Pulau Sumatera berdasarkan Skenario 1 sampai dengan 3, tidak ditemui lagi jika
penentuan wilayah prioritas menggunakan pendekatan IKW. Dengan menggunakan Skenario
4, wilayah prioritas tersebar hampir di seluruh provinsi. Provinsi Papua, Papua Barat, Aceh,
Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi-provinsi dengan jumlah
kabupaten/kota prioritas pemantauan terbanyak. Dengan demikian, upaya khusus
penanggulangan kemiskinan berbasis wilayah dengan menggunakan pendekatan IKW akan
meningkatkan pengurangan tingkat kemiskinan yang lebih merata di seluruh wilayah
Indonesia. Distribusi detail wilayah prioritas pada tingkat kabupaten/kota berdasarkan
keempat skenario tersaji secara lengkap pada Tabel 8 berikut.
33
Gambar 18. Sebaran Wilayah Prioritas
Skenario 3: Jumlah
Penerima Kartu
Perlindungan Sosial (KPS)
Skenario 4: Indeks
Kesejahteraan Wilayah
34
Tabel 8. Perbandingan Distribusi Wilayah dengan Berbagai Skenario
Prioritas Skenario
Jumlah Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk Jumlah Rumah Tangga Indeks Kesejahteraan
Provinsi Kabupaten Miskin Desil 1 KPS Wilayah
/Kota
35
3.3.3. Program Penanggulangan Kemiskinan pada Wilayah Prioritas
Wilayah terpilih merupakan wilayah (kabupaten/kota) prioritas yang akan dijadikan target
pemantauan secara intensif dan lebih terukur dalam mencapai tujuan pemantauan. Kegiatan
utama yang dilakukan di wilayah prioritas pemantauan hanya memanfaatkan program yang
sudah ada dan sedang berjalan. Demikian pula halnya dengan instrumen dan petugas yang
akan bekerja di lapangan adalah dengan mengunakan (mamaksimalkan) perangkat yang sudah
ada. Dengan kata lain, tidak ada program baru yang akan dilaksanakan di wilayah prioritas.
Hal baru yang mungkin dilakukan di wilayah prioritas pemantauan adalah adanya koordinasi
yang solid antar penyelenggara program penanggulangan kemiskinan. Koordinasi harus
dilakukan dengan lebih baik serta di bawah kendali suatu unit lembaga yang mempunyai
pengalaman, tugas dan tanggung jawab dalam pengawasan dan penilaian kinerja
kementerian/lembaga. Hal ini menjadi sangat penting mengingat besar kemungkinan satu
wilayah prioritas memiliki (dilaksanakan) lebih dari satu program penanggulangan kemiskinan.
Dalam konteks bantuan sosial, kombinasi program Raskin, BSM, PKH, dan Jamkesmas,
sebagian besar desa di 100 kabupaten/kota prioritas telah menerima sedikitnya 3 (tiga)
program atau sebanyak 14.556 desa dari total 21.917 desa (66,4 persen). Hanya sekitar 32
persen (2.456 dari 7.624) wilayah prioritas yang menerima 1 (satu) program, dan sekitar 24
persen (4.905 dari 20.136) wilayah prioritas yang menerima sedikitnya 2 (dua) program. Rata-
rata tertimbang dari keempat kombinasi program sekitar 27 persen dari keseluruhan program
bantuan sosial yang menjadi target pemantauan terutama untuk program Raskin, BSM, PKH
dan Jamkesmas.
36
3.4. Wilayah Prioritas Berdasarkan IKW
Program penanggulangan kemiskinan harus dilaksanakan secara tepat sasaran, tepat jumlah,
tepat harga, dan tepat waktu. Dalam koneksitas ini, Pemerintah memiliki peran besar dalam
memastikan bahwa program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan dapat berjalan
sesuai dengan rencana.
Wilayah prioritas yang ditentukan berdasarkan IKW akan digunakan sebagai basis pelaksanaan
pemantauan program penanggulangan kemiskinan yang efektif. 100 wilayah prioritas
(kabupaten/kota) yang perlu dipantau secara intensif adalah sebagaimana dalam tabel
berikut.
37
Jumlah Jumlah Indeks
Jumlah Rumah Tangga
No Kabupaten/Kota Provinsi Penduduk Penduduk Kesejahteraan
Penerima KPS
Miskin Desil 1 Wilayah
38
Jumlah Jumlah Indeks
Jumlah Rumah Tangga
No Kabupaten/Kota Provinsi Penduduk Penduduk Kesejahteraan
Penerima KPS
Miskin Desil 1 Wilayah
39
SEKRETARIAT
TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN