BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Angka kejadian ISPA pada balita di Kota Palu pada tahun 2014 mencapai
17.524 kasus. Wilayah Kerja Puskesmas Tipo, Menurut data UPTD Puskesmas
Tipo angka kejadian ISPA termasuk dalam 10 penyakit terbanyak di Puskesmas
Tipo tahun 2015 yaitu menempati urutan pertama, dengan jumlah kasus 1566
kasus. Kemudian mengalmi penurunan pada tahun 2016 1324 kasus ISPA. Pada
tahun 2017 hingga bulan agustus ditemukan 626 kasus ISPA. (Profil Puskesmas
Tipo, 2015)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka
rumusan masalah yang akan diteliti yakni apakah terdapat hubungan Faktor resiko
Kejadian ISPA pada balita usia 0-59 bulan di Puskesmas Tipo Kota Palu Periode
Oktober 2017 ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan BBLR, asi eksklusif dan status gizi
terhadap kejadian ISPA pada balita usia 0-59 bulan di Puskemas Tipo Tahun
2017.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tingkat kejadian ISPA pada balita usia 0-59 bulan di
Puskesmas Tipo
b. Untuk mengetahui prevalensi berdasarkan usia yang mengalami ISPA
pada balita usia 0-59 bulan di Puskesmas Tipo.
c. Untuk mengetahui risiko BBLR terhadap kejadian ISPA pada balita usia
0-59 bulan di Puskesmas Tipo.
d. Untuk mengetahui hubungan pemberian asi eksklusif terhadap kejadian
ISPA pada balita usia 0-59 bulan di Puskesmas Tipo.
e. Untuk mengetahui hubungan status gizi terhadap kejadian ISPA pada
balita usia 0-59 bulan di Puskesmas Tipo.
f. Untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadia
ISPA pada balita usia 0-59 bulan di Puskesmas Tipo.
B. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap :
1. Manfaat bagi Dinas Kesehatan
3
C. Keaslian Penelitian
1. Sadono (2008) meneliti tentang “Hubungan BBLR dan kelengkapan status
imunisasi sebagai faktor risiko infeksi saluran pernapasan akut pada bayi di
Kabupaten Blora”. Kesimpulannya bayi berat lahir rendah secara statistik
terbukti merupakan faktor risiko infeksi saluran pernafasan akut pada bayi.
Selain itu, ada kecenderungan semakin rendah berat lahir, maka frekuensi
ISPA semakin sering. Penelitian kelengkapan status imunisasi juga
merupakan salah satu faktor risiko ISPA. Bayi yang tidak mendapat imunisasi
sesuai dengan umurnya, maka mempunyai risiko menderita ISPA sebesar 2,6
kali.
2. Lebuan dan Somia (2014) meneliti tentang “ Faktor yang berhubungan
dengan infeksi saluran pernapasan akut pada siswa taman kanak-kanan di
kelularah dangin puri kecatan denpasar timur tahun 2014” Penelitian ini
menggunakan studi analitik cross-sectional. Sampel yang digunakan
berjumlah 165 orang yang diambil secara konsekutif pada lima taman kanak-
kanak di Kelurahan Dangin Puri Kecamatan Denpasar Timur. Hasil penelitian
menggunakan uji chi-square menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
status gizi ( p < 0,0001), paparan terhadap asap rokok (p < 0,0001), pola
pemberian ASI (p < 0,0001; dan kepadatan hunian (p < 0,0001) dengan
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
b. Epidemiologi ISPA
Penyakit ISPA sering terjadi pada anak-anak. Episode penyakit
batuk pilek pada balita di Indonesi diperkirakan 3-6 kali per tahun (rata-
rata 4 kali per tahun), artinya seorang balita rata-rata mendapatkan
serangan batuk pilek sebanyak 3-6 kali setahun. Penyakit ISPA merupakan
25% penyebab kematian pada anak, terutama pada bayi berusia kurang
dari dua bulan. Dari Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986
diketahui bahwa morbiditas pada bayi akibat ISPA sebesar 42,4% dan pada
balita sebesar 40,6%, sedangkan angka mortlitas pada bayi akibat ISPA
sebesar 25% dan pada balita sebesar 36% (Widoyono, 2015).
c. Etiologi ISPA
Dari studi mikrobiologik ditemukan penyebab utama bakteriologik
ISPA pada neonatus disebabkan oleh bakteri gram negatif yaitu Klebsiella
spp dan E coli, sedangkan penyebab bakteri gram positif seperti S
pneumoniae (Mardjanis, 2014).
Penyebab utama pada anak balita adalah Streptococcus pneumoniae
(30-50 % kasus) dan Hemo philus influenzae (10-30% ) (Mardjanis, 2014).
Penyebab utama ISPA pada anak pra-sekolah yang disebabkan oleh
virus, yaitu: Adenovirus dan Parainfluenza, sedangkan penyebab bakteri
6
d. Cara Penularan
1) Penularan melalui udara
Bila seseorang sakit batuk-pilek, saat dia batuk, bersin atau berbicara
bisa menularkan virus pada bayi dan anak (Yuli & Khasanah, 2013).
2) Menyentuh benda yang terkontaminasi virus
Virus dari orang yang sedang sakit dapat melekat di permukaan
benda dalam waktu 2 jam atau lebih. Pada bayi dan anak bisa tertular
bila menyentuh benda yang terkontaminasi tersebut (Yuli & Khasanah,
2013).
e. Patogenesis
Secara umum efek dari pencemaran udara terhadap saluran
pernapasan dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat
dan kaku bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan
saluran pernapasan yang menyebabkan iritasi.
Jika silia rusak maka kotoran akan masuk ke dalam sistem
pernapasan bersama dengan udara. Sehingga menunjukkan bahwa tidak
ada proses penyaringan sehingga menimbulkan pada infeksi.
Ketika virus atau bakteri masuk ke dalam saluran pernapasan
kemudian menempel pada saluran pernafasan sehingga menimbulkan
infeksi pada saluran pernafasan yang mengakibatkan sekresi mucus
meningkat dan mengakibatkan sesak nafas dan batuk produktif.
Ketika saluran pernafasan telah terinfeksi oleh virus dan bakteri
yang kemudian terjadi reaksi inflamasi yang ditandai dengan rubor dan
dolor yang mengakibatkan aliran darah meningkat pada daerah inflamasi
yang ditandai dengan kemerahan pada faring dan menyebabkan
timbulnya nyeri. Tanda inflamasi berikutnya adalah kalor, yang
mengakibatkan suhu tubuh meningkat. Tumor yakni adanya pembesaran
pada tonsil yang mengakibatkan kesulitan dalam menelan yang
7
f. Prosedur Diagnostik
1) Anamnesis
Pasien balita biasanya mengalami demam tinggi, batuk, gelisah,
rewel, dan sesak nafas. Sedangkan pada anak kadang mengeluh sakit
kepala, nyeri abdomen disertai muntah.
2) Manifestasi Klinik
a) ISPA ringan
Batuk
Rinorea
Demam subfebris
b) ISPA sedang
Tenggorokan berwarna merah
Febris
Timbul bercak merah pada kulit
Telinga terasa sakit
c) ISPA berat
Bibir atau kulit tampak sianosis
Kesadaran menurun
Anak tampak gelisah
Stridor
Tidak dapat minum
Kejang
(Ade, 2014).
3) Penatalaksanaan
a) Terapi non-farmakologi
Berikan minum lebih banyak untuk mengencerkan lendir
di tenggorokanya
Memposisikan bayi dengan posisi pronasi atau posisi
tengkurap dengan demikian sekret dapat mengalir dengan
lancer sehingga drainase secret akan lebih mudah.
b) Terapi farmakologi
Mengatasi panas (demam) dengan memberikan parasetamol
atau dengan kompres. Parasetamol dengan dosis 10-15
8
4) Pemeriksaan Penunjang
Darah Perifer Lengkap
Pada pasien ISPA yang disebabkan oleh bakteri terjadi
leukositosis (15.000-40.000/mm³) dengan predominan
Polimorfonuklear (PMN). Kadang-kadang terjadi anemia dan
laju endapan darah (LED) menigkat.
Transiluminasi
Pemeriksaan ini menunjukan adanya perbedaan sinus kanan
dan kiri. Sinus yang sakit akan tampak lebih gelap.
Pemeriksaan radiologi
Foto posisi waters tampak adanya edema mukosa dan
cairan dalam sinus. Jika cairan tidak penuh akan tampak
gambaran air fluid level
(Rahajoe,2013).
b. Etiologi BBLR
1. Persalinan kurang bulan / prematur
Bayi lahir pada umur kehamilan antara 28 minggu sampai 36
minggu. Pada umumnya byi kurang bulan disebabkan tidak
mampunya uterus menahan janin, gangguan selama kehamilan,
lepasnya plasenta lebih cepat dari waktunya atau rangsangan yang
memudahkan terjadinya kontraksi uterus sebelum cukup bulan. Bayi
lahir kurang bulan mempunyi organ dan alat tubuh yang belum
berfungsi normal untuk bertahan hidup diluar rahim. Semakin muda
umur kehamilan, fungsi organ tubuh semakin kurang sempurna dan
prognosisnya semakin kurang baik. Kelompok BBLR ini sering
mendapatkan penyulit atau komplikasi akibat kurang matangnya organ
karena masa gestasi yang kurang ( Prematur ) (Waspodo, et a.l, 2014).
2. Bayi lahir kecil untuk masa kehamilan
12
c. Klasifikasi BBLR
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) adalah bila berat
badannya kurang dari 2500 gram. Sebelum tahun 1961, berdasarkan berat
badan saja, dianggap bayi prematur atau berdasarkan umur kehamilan,
yaitu kurang dari 37 minggu. Ternyata tidak semua bayi dengan berat
badan lahir rendah , bermasalah sebagai bayi prematur, tetapi terdapat
beberapa kriteria sebagai berikut :
1. Berat badan lahir rendah, sesuai dengan umur kehamilannya,
menurut perhitungan hari pertama haid terakhir.
2. Bayi dengan ukuran kecil masa kehamilan (KMK) artinya bayi
yang berat badannya kurang dari persentil ke -10 dari berat
sesungguhnya yang harus dicapai menurut umur kehamilannya
3. Atau berat badan lahir rendah ini disebabkan oleh kombinasi
keduanya artinya :
a. Umur hamilnya belum waktunya untuk lahir.
b. Tumbuh kembang intrauteri, mengalami gangguan sehingga
terjadi kecil untuk masa kehamilannya
(Manuamba, 2015).
f. Manajemen BBLR
Penanganan pada bayi dengan berat lahir rendah mencakup
beberapa hal yaitu : memepertahankan suhu bayi, mencegah infeksi dan
penimbangan berat badan secara rutin. Mempertahankan suhu bayi
dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotermia karena bayi dengan berat
lahir rendah mudah mengalami hipotermia. Pencegahan infeksi pada bayi
dengan berat lahir rendah perlu memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan
infeksi dengan cara mencuci tangan sebelum memegang bayi karena bayi
dengan berat lahir rendah belum memiliki sistem imun yang matang
sehingga mudah mengalami infeksi. Penimbangan berat badan pada bayi
dengan berat lahir rendah harus dilakukan secara rutin untuk menilai
peningkatan berat badan (Syarifuddin, 2013).
g. Komplikasi BBLR
1. Bayi Preterm
BBLR dapat menyebabkan kondisi ketidakmatangan secara
anatomi dan fisiologis sehingga dapat mengakibatkan asfiksia lahir
hipotermia, tertundanya adaptasi peredaran darah setelah kelahiran
dengan ditandai pulmonary hypertension, hipotensi sistemik, dan
tertunda penutupan foramen ovale. Vaskular yang imatur
menyebabkan pendarahan intraventrikuler dan retinopati. Pada
susunan kulit yang belum sempurna mengakibatkan ketidakmatangan
fungsi imun selular dan humoral (Sigh G.et. al., 2014).
2. Bayi Aterm
Pada bayi yang mengalami IUGR akan lebih meningkatkan
risiko komplikasi posterm dibandingkan dengan pertumbuhan
intrauterin yang memadai. Pada bayi aterm akan menimbulkan
masalah pernapasan misalnya asfiksia walaupun jauh lebih jarang
dibandingkan pada bayi preterm. Penyebab umumnya antara lain
sepsis dan pneumonia intrauterin, hipertensi pulmonal persisten pada
neonatus (Persistent pulmonary hypertension of the newborn),
sindrom aspirasi mekonium, dan pendarahan paru. Septikemia,
terutama akibat Steroptococus grup B merupakan penyebab gawat
15
iii. Lemak
Lemak merupakan sumber kalori yang utama bagi bayi, dan
sumber vitamin yang larut dalam lemak (A,D,E dan K) dan sumber
asam lemak yang esensial. (Soetjiningsih,2014)
Fraksi asam ASI mempunyai aktivitas antiviral. Diperkirakan
monogliserida dan asam lemak tak jenuh yang ada pada fraksi ini
dapat merusak sampul virus. (Mataram,2014)
iv. Mineral
ASI mengandung mineral yang lengkap. Garam organik yang
terdapat dalam ASI adalah kalsium, kalium dan natrium dari asam
klorida dan fosfat. Cu, Fe dan Mn yang merupakan bahan untuk
pembuatan darah relatif sedikit. Ca dan P merupakan bahan
pembentuk tulang kadarnya cukup dalam ASI. (Soetjiningsih,2014)
v. Air
ASI merupakan sumber air yang secara metabolik adalah aman. Air
yang relatif tinggi dalam ASI akan meredakan rangsangan haus dari
bayi. (Soetjiningsih,2014)
vi. Vitamin
Vitamin A, D dan C dalam ASI cukup, sedangkan golongan
vitamin B, kecuali riboflavin dan asam pantotenik adalah kurang.
(Soetjiningsih,2012). Menurut Arvin (2000) kekurangan vitamin A
jelas dihubungkan dengan peningkatan insiden, morbiditas, dan
mortalitas penyakit saluran pernapasan, Vitamin A menstabilkan
struktur dan fungsi permukaan mukosa dan terlibat dalam respon
imun dan produksi mukus
lebih banyak dibanding ASI yang matang. Kadar karbohidrat dan lemak
rendah dibandingkan dengan ASI matang. (Roesli dkk,2015)
Sel BALT diduga bermigrasi dari daerah limfoid lain dan berperan
dalam respon terhadap antigen kuman yang terhirup. MALT merupakan
agregat jaringan limfoid yang berperan dalam pertahanan imun lokal dan
regional melalui kontak langsung dengan antigen asing. MALT salah
satunya terdapat pada mukosa saluran nafas yang akan mengawali respon
imun terhadap antigen yang terhirup. (Mataram,2014)
2) ASI Transisi/Peralihan
Air susu ibu yang dihasilkan mulai hari keempat sampai hari
kesepuluh. Kadar protein semakin berkurang, sedangkan kadar
karbohidrat dan lemak semakin meningkat (Roesli dkk,2015)
Pada ASI 2 minggu pertama mengandung leukosit lebih dari 4000
sel/unit. Terdiri dari 3 macam sel yaitu Bronchial-Associated Lymphoid
Tissue (BALT) sebagai antibodi saluran pernapasan, Gut-associated
Lymphoid Tissue (GALT) sebagai antibodi saluran cerna, dan Mucosal-
Associated Lymphoid Tissue (MALT) sebagai antibodi mamae.
(Mataram,2014)
3) ASI Matang (Matur)
Air susu ibu yang dihasilkan mulai hari kesepuluh sampai seterusnya.
ASI merupakan satu-satunya yang paling baik dan cukup untuk bayi
sampai umur 6 bulan. (Roesli dkk,2015)
4. Status Gizi
a. Definisi
Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang
dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat gizi untuk mem-
pertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal organ tubuh serta
untuk menghasilkan suatu energi untuk beraktifitas (Supariasa, 2014).
20
dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan den-
gan mengukur beberapa parameter(Supariasa, 2012). Indikator
antropometri bisa merupakan rasio dari satu pengukuran terhadap
satu atau lebih pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur
(Hatriyanti dan Triyanti, 2007). Klasifikasi Status Gizi Anak ber-
dasarkan berat badan menurut umur adalah sebagai mana terdapat
pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.1 Klasifikasi Status Gizi Anak berdasarkan berat badan
menurut umur
(ISPA)
Status Gizi
1. Protein 1. Lebih
2. Karbohidrat 2. Baik
3. Lemak 3. Kurang
Faktor Internal
4. Mineral 4. buruk
5. Air 1. Usia ibu hamil
6. vitamin 2. Jarak kelahiran
3. Status gizi ibu
4. Kadar Hb
Faktor External
1. Faktor lingkungan
2. Faktor ekonomi
3.
Keterangan Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak diteliti
Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian(Bambang et al, 2013; Behrman et al, 2014;
Rudolph, 2015;Santrock, 2015; Supryanto, 2013Yuli & Khasanah 2014;)
C. KERANGKA KONSEP
Berat Badan
Lahir Rendah
(BBLR) Infeksi Saluran
Asi Eksklusif Pernapasan Akut(ISPA)
Status Gizi
D. Landasan Teori
24
E. Hipotesis
25
H0 : Tidak terdapat hubungan antara Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), ASI
Eksklusif dan Status Gizi dengan Kejadian Ispa pada anak usia 0-59 bulan
di Puskesmas Tipo pada 2 Oktober sampai 22 Oktober 2017
BAB III
METODE PENELITIAN
D. Sample Minimal
Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus untuk besar populasi
yang tidak diketahui karena dalam hal ini peneliti tidak mengetahui besar populasi
yang akan diteliti. Rumusnya yaitu :
Z21 – α/2P(1 – P)
n=
d2
n = 96,4
Keterangan :
n = besar sampel
P = proporsi subyek dalam penelitian
Q = (1 – P) proporsi non subyek dalam populasi
d2 = presisi (nilaiabsolut)
Z21 – α/2 = tingkat kemaknaan yang diinginkan
3) Status Gizi adalah Keadaan gizi balita, yang diukur dengan BB/TB
berdasarkan indeks antropometri: BB (Kg) yang diukur dibandingkan
dengan TB (cm) dengan menggunakan grafik z-score.
Alat ukur : Pengisian grafik Z-Score
Skala ukur : Ordinal
Hasil Ukur : 1. Gizi Baik -2 sampai +2 SD
2. Gizi kurang < -2 SD
3. Gizi buruk < -3 SD
(Kemenkes, 2011)
b. Variabel Terikat
Pasien usia 0-59 bulan yang datang dengan keluhan umum ISPA seperti
demam, batuk, flu, sesak napas, dan telah di diagnosis ISPA di Puskesmas
Tipo Palu.
Alat ukur : Rekam medik
Skala ukur : Nominal
Hasil Ukur : 1. ISPA
2. Tidak ISPA
F. Alur Penelitian
Usulan judul
penelitian
28
G. Pengolahan Data
H. Analisis Data
29
f fh
2
O
Kuadrat yaitu 2
fh
Keterangan :
2 Kai Kuadrat
3. Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan dengan tujuan untuk melihat hubungan
beberapa variabel (lebih dari satu) independen dengan satu atau beberapa
variabel dependen (umumnya satu variabel dependen). Dalam analisa
multivariat akan diketahui variabel independen mana yang paling besar
pengaruhnya terhadap variabel dependen (Hastono, 2007). Langkah-langkah
dalam analisis multivariat menggunakan regresi logistic.
Analisis regresi logistik adalah salah satu pendekatan model matematis yang
digunakan untuk menganalisis hubungan satu atau beberapa variabel
independen dengan variabel dependen. Variabel yang digunakan dalam
penelitian ini yakni variable kategorik dikotom. Variabel dikotom adalah
variabel yang mempunyai dua nilai variasi. (Hastono dan Sabri, 2007)
I. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memandang perlu adanya
rekomendasi dari pihak institusi dengan mengajukan :
1. Informed Consent (Lembar Persetujuan)
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memandang perlu adanya
rekomendasi dari pihak institusi dengan mengajukan permohonan izin kepada
instansi tempat penelitian dilaksanakan yang di keluarkan oleh Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako dan disetujui oleh
Kepala Puskesmas Tipo Palu.
2. Anonymity (Tanpa Nama)
Setelah mendapat persetujuan tersebut, barulah dilakukan penelitian
dengan menekankan masalah etika penelitian diantaranya anonymity (tanpa
nama) untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan nama
tetapi lembar tersebut diberikan kode.
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya
oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil
penelitian.
BAB IV
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Tipo pada tanggal 2 Oktober 2017 -
20 Oktober 2017. Data yang diambil adalah data pasien balita yang datang
berobat ke Puskesmas Tipo pada tanggal 2 Oktober sampai 22 Oktober tahun
31
b. Jenis Kelamin
Tabel 4.2 Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin
Baik 33 34.4
Kurang 63 65.6
Buruk 0 0
Total 96 100
f. ISPA
33
Ya 58 60.4
Tidak 38 39.6
Total 96 100.0
ISPA
Berat TOTAL P
value
Lahir ISPA Tidak ISPA
n % n % n %
usia 0-59 bulan yang berobat di Puskesmas Tipo Palu pada bulan oktober
tahun 2017. Berdasarkan data pada tabel 4.7 terlihat bahwa sebanyak 28
orang (29.2%) balita yang memiliki berat lahir < 2500 gram menderita
ISPA dan 0 orang (0%) balita dengan berat lahir < 2500 gram tidak
menderita ISPA. Pada pasien yang memiliki berat lahir ≥ 2500 gram
sebanyak 30 orang (31.2%) menderita ISPA dan sebanyak 38 orang
(39.6%) balita dengan berat lahir ≥ 2500 gram tidak mengalami ISPA. Dari
data di atas terlihat bahwa pasien balita yang memiliki berat lahir ≥2500
gram lebih banyak mengalami ISPA daripada balita yang memiliki berat
lahir < 2500 gram. Hal ini juga didukung dengan uji statistik dimana nilai
p < nilai α yaitu 0,121, artinya H0 diterima dan H1 ditolak.
b. Hubungan Asi Eksklusif dengan Keladian ISPA
Tabel 4.8 Hubungan Asi Eksklusif dengan Keladian ISPA
ISPA
ASI TOTAL P
Eksklusif value
ISPA Tidak ISPA
n % n % n %
0,012
Asi 29 30,2 16 16,7 45 46,9
Tidak Asi 30 31.25 21 21,9 51 53,1
terlihat bahwa pasien balita yang tidak mendapatkan asi eksklusif lebih
banyak mengalami ISPA daripada balita yang mendapatkan asi eksklusif.
Hal ini juga didukung dengan uji statistik dimana nilai p < nilai α yaitu
0,012, artinya H0 ditolak dan H1 diterima.
ISPA
Status TOTAL P
value
Gizi ISPA Tidak ISPA
n % n % n %
0,025
Baik 26 27.1% 7 7.3% 33 34.4%
B. Pembahasan
a. Berat Lahir
Berdasarkan data dari tabel 4.3 menurut distribusi berat lahir bayi di
Puskesmas Tipo Kota Palu bulan Oktober Tahun 2017 menunjukkan jumlah
bayi yang lahir dengan berat < 2500 gram sebanyak 28 orang (29,2%) dan
jumlah bayi yang lahir dengan berat ≥ 2500 gram sebanyak 68 orang (70,8%).
Dari data tabel 4.6 sebanyak 58 (60,4) bayi mengalami ISPA dan sebanyak 38
orang (39,6%) bayi tidak mengalami ISPA. Berdasarkan hasil analisis bivariat
pada tabel 4.7 diketahui distribusi antara BBLR dan kejadian ISPA pada bayi.
Pada kelompok BBLR didapatkan 28 orang (29,2%) menderita ISPA dan 31
orang (81,57%) tidak menderita pneumonia.
Untuk mengetahui hubungan antara BBLR dengan kejadian ISPA pada
bayi dilakukan uji statistic menggunakan Lambda dan diperoleh nilai p 0,121
yang secara statistik dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
BBLR dengan kejadian ISPA pada bayi usia 0-59 bulan yang terdiagnosis
ISPA di Puskesmas Tipo Tahun 2017. Oleh karena itu, hipotesis kerja (H1)
ditolak.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang sebelumnya
dilakukan oleh Ribka (2013) dan yang menyatakan bahwa tidak ada
hubungan antara BBLR dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil penelitian
yang sama juga dikemukakan oleh Sukmawati dan Sri (2014) bahwa tidak
terdapat hubungan antara BBLR dengan kejadian ISPA Pada balita.
Namun hasil penelitian yang berbeda didapatkan oleh Musdalifah
(2013) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara Berat Bayi Lahir
Rendah dengan kejadian ISPA. Sadono, et al (2011) menyimpulkan dari hasil
penelitian yang dilakukannya bahwa terdapat hubungan antara Berat Bayi
Lahir Rendah dengan kejadian ISPA.
Hasil dari penelitian ini didapatkan 28 orang pasien pneumonia bayi
dengan BBLR. Nilai p (0,001) pada penelitian ini menunjukkan nilai negatif,
dimana tidak terdapat hubungan antara berat bayi lahir rendah dengan
kejadian ISPA pada balita. Pada penelitian yang dilakukan di Puskesmas Tipo
37
bulan yang di terdiagnosis ISPA di Puskesmas Tipo Tahun 2017. Oleh karena
itu, hipotesis kerja (H0) ditolak dan hipotesis kerja (H1) diterima.
Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Nataprawira et al (2010)
melaporkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian ASI
eklusif terhadap kejadian pneumonia dengan diperoleh nilai p 0,02, kemudian
diuji dengajika dilihat dari nilai RR = 3 berarti balita yang tidak mendapatkan
ASI Eksklusif dapat meningkatkan kejadian pneumonia 3 kali.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sugiharto (2012) bahwa balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif
mempunyai hubungan yang signifikan terhadap terjadinya ISPA dengan
diperoleh nilai p=0,000 dan mempunyai risiko 8 kali lebih besar untuk
menderita ISPA, dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI
Banyak penelitian yang membuktikan bahwa Air Susu Ibu merupakan
makanan terbaik dan utama bagi bayi karena di dalam ASI terkandung
antibodi yang diperlukan bayi untuk melawan penyakit-penyakit yang
menyerangnya. Pada dasar-nya ASI adalah imunisasi pertama karena ASI
mengandung bergbagai zat kekebalan antara lain immunoglobulin. (Umboh et
al,2013)
ASI eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan cairan
lain. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu
setidaknya selama 6 bulan, dan setelah 6 bulan bayi mulai diperkenalkan
dengan makanan padat. Sistem pertahanan tubuh balita akan berusaha
mempertahankan atau melawan benda asing yang masuk kedalam tubuh,
sistem pertahanan tubuh yang paling baik diperoleh dari ASI. Bayi yang
diberi ASI terbukti lebih kebal terhadap berbagai penyakit infeksi.
(Sugihartono & Nurjazuli,2012)
c. Status Gizi
Berdasarkan data dari tabel 4.5 menurut distribusi status gizi balita yang
di berobat jalan di puskesmas Tipo selama bulan oktober 2017 menunjukkan
bahwa jumlah balita dengan status gizi kurang sebanyak 63 orang (65,6%)
dan jumlah balita dengan status gizi baik sebanyak 33 orang (34,4%).).
Berdasarkan data dari tabel 4.6 menunjukkan jumlah pasien balita yang
menderita ISPA sebanyak 58 (60,4%) dan 38 orang (39,6%) balita tidak
menderita ISPA. Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 4.9 diketahui
distribusi antara status gizi dan kejadian ISPA pada balita di dapatkan 32
orang (33,3%) balita yang memiliki status gizi kurang menderita ISPA dan
sebanyak 31 (32,3%) balita yang memiliki status gizi kurang tidak menderita
ISPA.
Untuk mengetahui hubungan antara Status gizi dengan kejadian ISPA pada
balita dilakukan uji statistic menggunakan lambda dan diperoleh nilai p 0,025
( p < α ) yang secara statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita usia 0-59 bulan yang
41
berobat jalan di Puskesmas TIpo Palu tahun 2017. Oleh karena itu, hipotesis
kerja (H1) diterima.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang sebelumnya dilakukan
oleh Athanasia dkk (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara
status gizi dengan kejadian ISPA. Sudan Yos (2013) menyimpulkan dari hasil
penelitian yang dilakukannya bahwa terdapat hubungann antara status gizi
terhadap terjadinya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di
Puskesmas Pajang Surakarta. Sukmawati & Sri Dara Ayu (2010) di wilayah
kerja Puskesmas Tunikamaseang Kabupaten Maros Sulawesi juga
menunjukkan kejadian ISPA berulang yang lebih banyak pada balita dengan
status gizi kurang dengan p = 0,03, hal ini disebabkan karena status gizi yang
kurang menyebabkan ketahanan tubuh menurun dan virulensi patogen lebih
kuat, sehingga akan menyebabkan keseimbangan terganggu dan akan terjadi
infeksi.
Gizi merupakan salah satu penentu dari kualitas sumber daya manusia.
Akibat kekurangan gizi akan menyebabkan beberapa efek serius seperti
kegagalan dalam pertumbuhan fisik serta tidak optimalnya perkembangan dan
kecerdasan. Akibat lain adalah terjadinya penurunan produktifitas,
menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit yang akan meningkatkan
resiko kesakitan salah satunya adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Status gizi yang kurang atau tidak normal akan lebih rentan terhadap infeksi
akibat menurunnya kekebalan tubuh terhadap invasi patogen. Sebaliknya,
pertumbuhan fisik yang terhambat biasanya disertai dengan status imunologi
yang rendah sehingga mudah terkena penyakit. Pada anak dengan keadaan
malnutrisi, proses fisiologi ini tidak berjalan dengan baik, sehingga agen
penyakit yang seharusnya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
42
.
Berdasarkan hasil penelitian dari yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan bahwa :
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Ade, I.A, 2012, Hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian infeksi
saluran pernafasan akut pada anak balita di kabupaten wonosobo provinsi
44
Hadiana, S.Y., 2013. Hubungan Status Gizi terhadap terjadinya Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ispa) pada balita di Puskesmas Pajang Surakarta.
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta, pp. 3-12. 20
Oktober 2017. Dari [http://eprints.ums.ac.id/22566/9/NASKAH_ PUBLI-
KASI.pdf].
Kementerian Kesehatan RI., 2013. Rencana Kerja Pembinaan Gizi tahun 2013 .
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA Kementerian Kesehatan RI. Jakarta
Kurniasari ,F.N., Surono,A., Pangastuti, R., 2015. Status Gizi Sebagai Prediktor
Kualitas Hidup Pasien Kanker Kepala Dan Leher. Indonesian Journal of
Human Nutrition, pp 61 – 68.
Mataram, I.K. 2011. ‘Aspek Imunologi Air Susu Ibu’. Jurnal Ilmu Gizi, Vol.2,
No.1. Diakses pada 20 Oktober 2017. Dari <http://poltekkes-denpasar.ac.id>
Rahajoe, N.N, Supriyanto, B, Setyanto, D.B, 2013, Buku Ajar Respirologi Anak,
EGC, Jakarta
Rudolph, C.D., Hostette, M.K., Siegel, J.N., Lister, G., 2014, Buku Ajar Pediatrik,
Edisi 20, Vol.1, EGC, Jakarta
Santrock, J.W., 2015, Perkembangan Anak, Edisi 11, Jilid, Erlangga, Jakarta
Scott J.A., dkk, 2014, Review series : Pneumonia research to reduce childhoold
mortality in the developing world, Jurnal Clin Invest, Vol.118,No.4.
WHO, 2013, Pencegahan & pengendalian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
yang menjadi epidemi & pendemi di pelayanan kesehatan primer,Jurnal
World Health Organization, Vol.6, diakses20 Oktober 2017, dari
<http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/69707/14/WHO_CDS_EPR>
Yuli T., dan Khasanah, K., 2013, Analisis faktor intrinsik & ekstrinsik yang
berpengaruh terhadap kejadian infeksi saluran pernapasan akut pada balita
tahun 2013, Jurnal Kebidanan, Vol.5, No.1, diakses 3 Mei 2015, dari
<http://journal.akbideub.ac.id/index.php/>