Anda di halaman 1dari 10

Pengertian Hukum Bisnis

A. Pengertian Hukum Bisnis


Hukum Bisnis adalah suatu perangkat kaidah hukum yang mengatur tentang
tata cara pelaksanaan urusan atau kegiatan dagang, industri, atau keuangan yang
dihubungkan dengan produksi atau pertukaran barang atau jasa dengan
menempatkan uang dari pra entrepreneur dalam resiko tertentu dengan usaha
tertentu dengan motif adalah untuk mendapatkan keuntungan tertentu.
Ruang lingkup hukum bisnis diantara lain:
1. Kontrak Bisnis.
2. Jual Beli.
3. Bentuk-bentuk Perusahaan.
4. Perusahaan Go Public dan Pasar Modal.
5. Penanaman Modal Asing.
6. Kepailitan dan Likuidasi.
7. Merger dan Akuisisi.
8. Perkreditan dan Pembiayaan.
9. Jaminan Hutang.
10. Surat Berharga.
11. Perburuhan.
12. Hak atas Kekayaan Intelektual.
13. Anti Monopoli.
14. Perlindungan Konsumen.
15. Keagenan dan Distribusi.
16. Asuransi.
17. Perpajakan.
18. Penyelesaian Sengketa BIsnis.
19. Bisnis Internasional.
20. Hukum Pengangkutan (Darat, Laut, Udara, dan Multimoda.)

B. Hukum Bisnis Di Indonesia


Dasar hukum bisnis di Indonesia yang tertulis adalah sebagai berikut:
1. KUH Dagang yang belum banyak diubah
a. Keagenan dan distributor (makelar dan komisioner)
b. Surat berharga (wesel, cek, dan aksep)
c. Pengangkutan laut
2. KUH Dagang yang sadah banyak diubah
a. Pembukuan dagang
b. Asuransi
3. KUH Dagang yang sudah diganti dengan perundang-undangan yang baru
a. Perseroan Terbatas
b. Pembukuan Perseroan
c. Reklame dan penuntutan kembali dalam kepailitan
4. KUH Perdata yang belum banyak diubah
a. Kontrak
b. Jual Beli
c. Hipotik (atas kapal)
5. KUH Perdata yang sudah banyak berubah\
a. Perkreditan (perjanjian pinjam-meminjam)
6. KUH Perdata yang sudah diganti dengan perundang-undangan yang baru
a. Hak Tanggungan (dahulu hipotik atas tanah)
b. Perburuhan
7. Perundang-undangan yang tidak terkait dengan KUH Dagang maupun KUH
Perdata
a. Perusahaan Go Publik dan Pasar Modal
b. Penanaman Modal Asing
c. Kepailitan dan Likuidasi
d. Akuisisi dan Merger
e. Pembiayaan
f. Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
g. Anti Monopoli
h. Perlindungan Konsumen
i. Penyelesaian sengketa bisnis
j. Bisnis Internasional

BAB I

PENDAHULUAN

1. A. Latar Belakang

Dalam dunia bisnis kontrak sangat banyak dipergunakan orang, bahkan hampir
semua kegiatan bisnis diawali oleh adanya kontrak, meskipun kontrak dalam
tampilan yang sangat sederhana sekalipun. Karena itu, memang tepat jika masalah
kontrak ini ditempatkan sebagai bagian dari hukum bisnis.[1]
Sebagaimana kita ketahui, era globalisasi saat ini telah melanda dunia, termasuk
Indonesia. Salah satu dampak yang dirasakan akibat perubahan tersebut adalah
bidang hukum ekonomi. Bagian yang paling pesat perkembangannya adalah
hukum kontrak/perjanjian khususnya kontrak dagang.

Pada dasarnya suatu kontrak merupakan dokumen tertulis yang memuat keinginan-
keinginan para pihak untuk tujuan tertentu dan bagaimana pihaknya diuntungkan,
dilindungi/dibatasi tanggung jawab.[2]

BAB II

PEMBAHASAN

1. A. Pengertian Kontrak/Perjanjian

Dalam tampilannya yang klasik, untuk istilah kontrak ini sering disebut dengan
istilah “perjanjian”, sebagai terjemahan dari “agreement” dalam bahasa Inggris,
atau “overeenkomst” dalam bahasa Belanda. Disamping itu, ada juga istilah yang
sepadan dengan istilah “kontrak”, yaitu istilah “transaksi”. Namun demikian
istilah “kontrak” adalah yang paling modern, paling luas dan paling lazim
digunakan, termasuk pemakaiannya dalam dunia bisnis. Dan hukum yang
mengatur tentang kontrak itu disebut dengan “hukum kontrak”.[3]

Yang dimaksud dengan kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan


(promissory agreement) diantara 2 (dua) atau lebih pihak yang dapat menimbulkan,
memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum. (Black, Henry Campbell,
1968: 394). Selanjutnya, ada juga yang memberikan peengertian kepada kontrak
adalah sebagai suatu perjanjian atau serangkaian perjanjian dimana hukum
memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi dari kontrak tersebut, dan oleh
hukum, pelaksanaan dari kontrak tersebut diangga merupakan suatu tugas yang
harus dilaksanakan. Dan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Pasal
1313), maka suatu kontrak diartikan sebagai suatu perbuatan dimana 1 (satu) orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.[4]

Dasar-dasar dari hukum kontrak nasional terdapat dalam Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata. Karena itu, Kitab Undang-undang Hukum Perdata merupakan
sumber utama dari suatu kontrak.

Sumber Hukum Bisnis


Yang dimaksud dengan sumber hukum bisnis disini adalah dimana kita bia
menemukan sumber hukum bisnis itu. Yang mana nantinya sumber hukum tersebut
dijadikan sebagai dasar hukum berlakunya hukum yang dipakai dalam
menjalankan bisnis tersebut.
Sumber hukum bisnis yang utama/pokok (1338 ayat 1 KUHPerdata) adalah :
• Asas kontrak (perjanjian) itu sendiri yang menjadi sumber hukum utama, dimana
masing-masing pihak terikat untuk tunduk kepada kontrak yang telah disepakati.
(kontrak yg dibuat diberlakukan sama dgn UU)
• Asas kebebasan berkontrak, dimana para pihak bebas untuk membuat dan
menentukan isi dari kontrak yang mereka sepakati.

Secara umum sumber hukum bisnis (sumber hukum perundangan) tersebut adalah :
1. Hukum Perdata (KUHPerdata)
2. Hukum Dagang (KUHDagang)
3. Hukum Publik (pidana Ekonomi/KUHPidana)
4. Peraturan Perundang-undangan diluar KUHPerdata, KUHPidana, KUHDagang

Atau menurut Munir Fuady, sumber-sumber hukum bisnis adalah :


1. Perundang-undangan
2. Perjanjian
3. Traktat
4. Jurisprudensi
5. Kebiasaan
6. Pendapat sarjana hukum (doktrin)

1. B. Asas-asas Kontrak/Perjanjian

Dalam Ilmu Hukum, dikenal beberapa asas hukum terhadap suatu kontrak, yaitu
sebagai berikut :

1. Asas kontrak sebagai hukum mengatur.


2. Asas kebebasan berkontrak.
3. Asas pacta sunt servanda.
4. Asas konsensual.
5. Asas obligatoir.

Sebagaimana umumnya, perjanjian merupakan suatu lembaga hukum yang


berdasarkan asas kebebasan berkontrak dimana para pihak bebas untuk
menentukan bentuk dan isi jenis perjanjian yang mereka buat. Perjanjian dianggap
sah dan mengikat secara penuh bagi para pihak yang membuatnya sejauh tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, tidak melanggar
kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian dianggap sah dan mengikat secara
penuh bagi para pihak yang membuatnya sejauh tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Mengenai batalnya perjanjian yaitu suatu
perjanjian dibuat dengan tidak memenuhi syarat pasal 1320 KUH Perdata, bisa
berakibat kepada batalnya perjanjian. Suatu perjanjian dapat dibatalkan
berdasarkan berbagai alasan, antara lain: prestasi, kesepakatan para pihak atau
wanprestasi. Berdasarkan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
terdapat 4 syarat suatu perjanjian dinyatakan sah secara hukum, yaitu:

1. Adanya kesepakatan untuk mengikatkan diri bahwa semua pihak menyetujui


materi yang diperjanjikan, tidak ada paksaan atau dibawah tekanan.
2. Para pihak mampu membuat suatu perjanjian kata mampu dalam hal ini
adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena
prerilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-
undang dilarang membuat suatu perjanjian tertentu.
3. Ada hal yang diperjanjikan perjanjian yang dilakukan menyangkut
obyek/hal yang jelas.
4. Dilakukan atas sebab yang halal adalah bahwa perjanjian dilakukan dengan
itikad baik bukan ditujukan untuk suatu kejahatan.
5. a. Prestasi dan Wanprestasi

Yang dimaksud dengan istilah Prestasi dalam hukum kontrak (dalam bahasa
Inggris disebut dengan istilah performance) adalah pelaksanaan dari isi kontrak
yang telah diperjanjikan menurut tata cara yang telah disepakati bersama.
Sedangkan Wanprestasi, yang kadang-kadang disebut juga dengan istilah cidera
janji adalah kebalikan dari pengertian prestasi. Dalam bahasa Inggris untuk
wanprestasi ini sering disebut dengan default atau nonfulfillment atau breach of
contract. Yang dimaksud adalah tidak dilaksanakannya suatu prestasi atau
kewajiban sebagaimana mestinya yang telah disepakati bersama.

b.Force Majeure

Istilah force majeure atau act of god sering diterjemahkan menjadi keadaan
memaksa atau keadaan darurat. Yang dimaksudkan adalah suatu keadaan dimana
pihak debitur dalam suatu kontrak terhalang untuk melaksanakan prestasinya
karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak
tersebut, keadaan atau peristiwa mana tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada
debitur, sementara debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk.

1. c. Ganti Rugi
Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya maka timbullah kerugian
bagi pihak lainnya. Kerugian tersebut haruslah diganti oleh pihak yang melakukan
wanprestasi sebagai konsekuensi dari tindakannyayang tidak mau mengikuti
kontrak. Pergantian inilah yang dalam hukum disebut dengan istilah ganti rugi.

1. Proses dan prosedur Pembuatan Kontrak

Melalui kontrak terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan


hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat kontrak. Dengan
kata lain, para pihak terikat untuk mematuhi kontrak yang telah mereka buat
tersebut.

Dalam hal ini fungsi kontrak sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya
berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Secara hukum, kontrak dapat
dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi terhadap
pelaku pelanggaran kontrak atau ingkar janji (wanprestasi).[5]

Suatu asas hukum penting berkaitan dengan berlakunya kontrak adalah asas
kebebasan berkontrak, artinya pihak-pihak bebas untuk membuat kontrak apa saja,
baik yang sudah ada pengaturannya maupun yang belum ada pengaturannya dan
bebas menentukan sendiri isi kontrak. Namum kebebasan tersebut tidak mutlak
karena terdapat pembatasannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Dengan kata lain selama perjanjian itu
tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, mengikat kepentingan
umum dan ketertiban, maka perjanjian itu diperbolehkan. Berlakunya asas
kebebasan berkontrak dijamin oleh Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.[6]

1. D. Perjanjian Baku/Kontrak Standar

Didalam kepustakaan hukum Inggris untuk istilah perjanjian baku digunakan


istilah standarized agreement atau standarized contract. Sedangkan kepustakaan
Belanda menggunakan istilah standaarized voorwaarden, standard contract.
Mariam Badrulzaman menggunakan istilah perjanjian baku, baku berarti ukuran,
acuan. Jika bahasa hukum di bakukan berarti bahasa hukum itu ditentukan
ukurannya, standarnya, sehingga memiliki arti tetap, yang dapat menjadi pegangan
umum.

Sutan Remy Sjahdeni merumuskan perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir
seluruh klausula – klausulanya sudah di bakukan oleh pemakainya dan pihak yang
lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta
perubahan. Menurut Hondius Dalam Purwahid Patrik menyatakan bahwa syarat-
syarat baku dalam perjanjian adalah syarat-syarat konsep tertulis yang di muat
dalam beberapa perjanjian yang masih akan di buat, yang jumlahnya tidak tertentu
tanpa merundingkan terlebih dahulu isinya. Syarat baku yang disebutkan umumnya
juga dinyatakan sebagai perjanjian baku. Jadi pada asasnya isi perjanjian yang
dibakukan adalah tetap dan tidak dapat diadakan perundingan lagi.

Kontrak standar merupakan perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni oleh
produsen/penyalur produk (penjual) dan mengandung ketentuan yang berlaku
umum (massal), sehingga pihak lain (konsumen) hanya memiliki 2 pilihan yakni
menyetujui atau menolaknya.

Definisi dari kontrak standar itu sendiri adalah kontrak tertulis yang dibuat hanya
oleh salah satu pihak dan didalam kontrak tersebut sudah tercetak dalam bentuk
formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak
tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data
informative tersebut saja dengan sedikit atau tanpa perubahan pada klausula-
klausulanya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai
kesempatan atau hanya memiliki sedikit kesempatan guna menegosiasi maupun
mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut.
Sehingga sangat berat sebelah. Pihak yang disodorkan kontrak baku tersebut tidak
mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi “take it
or leave it”.

Yang mendasari berlakunya Perjanjian baku adalah asas – asas hukum perjanjian
yang di atur dalam Pasal 1338 KUH Perdata ada tiga (3) yaitu ;

1. Asas Konsensualisme;

Bahwa, perjanjian yang dibuat umumnya bukan secara formal tetapi konsensual,
artinya perjanjian itu selesai karena persetujuan kehendak atau konsensus semata-
mata.

1. Asas Kekuatan Mengikatnya Perjanjian;

Bahwa, pihak-pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan, sesuai dengan
Pasal 1338 KUH Perdata, bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-undang bagi
para pihak.

1. Asas Kebebasan Berkontrak ;


Bahwa orang bebas, membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan
isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan
bebas memilih undang-undang mana yang akan di pakai untuk perjanjian itu.

Adapun yang merupakan contoh-contoh dari kontrak baku yang sering dilakukan
dalam praktek adalah sebagai berikut :

1. Kontrak (polis) asuransi.


2. Kontrak di bidang perbankan.
3. Kontrak sewa guna usaha.
4. Kontrak jual beli rumah atau apartemen dari perusahaan Real Estate.
5. Kontrak sewa-menyewa gedung perkantoran.
6. Kontrak pembuatan credit card.[7]
7. E. Kontrak / Perjanjian Khusus Tertentu

Dalam KUH Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian
dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian
khusus) yang namanya sudah diberikan undang-undang.

Contoh perjanjian khusus : jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar, pinjam-


meminjam, pemborongan, pemberian kuasa dan perburuhan.

1. F. Penyelesaian Sengketa Kontrak Dagang di Indonesia

Penyelesaian sengketa investasi perdagangan dapat dilakukan melalui dua cara


yaitu litigasi dan non litigasi.Salah satu bentuk penyelasain sengketa non litigasi
yang biasa digunakan dalam investasi perdagangan adalah arbistrase. Arbistrase
mulai dikenal dalam sistem hukum di Indonesia semenjak diterbitkannya Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase
didasarkan pada suatu perjanjian yang bersifat tertulis yang disepakati oleh kedua
belah pihak.Terhadap putusan arbitrase pada dasarnya adalah bersifat final dan
mengikat sehingga dapat dieksekusi secara sederhana. Akan tetapi apabila salah
satu merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan kepada ketua Pengadilan
Negeri setempat.[8]

Penyelesaian dengan Melalui Pengadilan dan Tidak Melalui Pengadilan.


Dikemukakan oleh banyak para sarjana, diantaranya M. Husseyn Umar.
Penyelesaian yang tidak melalui pengadilan inilah disebut sebagai “Alternative
Dispute Resolution” atau penyelesaian sengketa alternatif. Alternative Dispute
Resolution (ADR) atau penyelesaian sengketa alternatif ini terdiri dari :
1. Konsiliasi.
2. Negosiasi.
3. Mediasi.
4. Arbitrase.

Ada pula dua bentuk alternatif penyelesaian lainnya yang mirip dengan arbitrase,
yaitu :

1. Mini-Trial. Bentuk ini dalam Bahasa Indonesia dapat disebut pula dengan
“peradilan mini” yang berguna bagi perusahaan yang bersangkutan dalam
sengketa-sengketa besar.
2. Med-Arb. Bentuk ini merupakan kombinasi antara bentuk mediasi dan
arbitrase. Di sini seorang yang netral diberi wewenang untuk mengadakan
mediasi. Namun demikian, dia tidak mempunyai wewenang untuk memutus
setiap isu yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak. Bentuk-bentuk
tersebut oleh Suyud Margono dikelompokkan menjadi tiga kelompok/cara
penyelesaian perselisihan, yaitu :
1. Perundingan;
2. Arbitrase;
3. Litigasi. [9]

BAB III

PENUTUP

1. A. Kesimpulan

Kontrak dalam hal ini fungsinya sama dengan UU tapi hanya berlaku bagi pihak
yang membuatnya. Yang ingkar/melanggar digugat dengan gugatan wanprestasi
(ingkar janji). Seperti kita ketahui bahwa banyak peraturan perundang-undangan
kita yang masih berasal dari masa pemerintahan Hindia Belanda.

Momentum terjadinya kontrak pada umumnya adalah ketika telah tercapai kata
sepakat yang ditandai dengan penandatanganan kontrak sebagai bentuk
kesepakatan oleh para pihak. Fungsi kontrak adalah demi memberikan kepastian
hukum bagi para pihak. Agar mereka tenang dan mengetahui dengan jelas akan
hak dan kewajiban mereka.

Pada dasarnya asas kebebasan berkontrak mengutamakan kebebasan dan


kesederajatan tiap manusia. Akan tetapi, pada penerapannya sehari-hari dalam
pembuatan kontrak baku sangat minim menerapkan asas kebebasan berkontrak.
Padahal asas kebebasan berkontrak mengandung makna bahwa masyarakat
mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian sesuai dengan kepentingan
masing-masing. Kebebasan tersebut meliputi:

1. kebebasan para pihak untuk memutuskan apakah akan membuat perjanjian


atau tidak.
2. kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuatsuatu perjanjian.
3. kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian.
4. kebebasan untuk menentukan isi perjanjian.
5. kebebasan untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.

Sementara itu kebebasan-kebebasan yang masih dapat diwujudkan dalam


implementasi Asas Kebebasan Berkontrak ini adalah:

1. kebebasan untuk memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian atau


tidak.
2. kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuat suatu perjanjian.

Anda mungkin juga menyukai