BAB I
PENDAHULUAN
1. A. Latar Belakang
Dalam dunia bisnis kontrak sangat banyak dipergunakan orang, bahkan hampir
semua kegiatan bisnis diawali oleh adanya kontrak, meskipun kontrak dalam
tampilan yang sangat sederhana sekalipun. Karena itu, memang tepat jika masalah
kontrak ini ditempatkan sebagai bagian dari hukum bisnis.[1]
Sebagaimana kita ketahui, era globalisasi saat ini telah melanda dunia, termasuk
Indonesia. Salah satu dampak yang dirasakan akibat perubahan tersebut adalah
bidang hukum ekonomi. Bagian yang paling pesat perkembangannya adalah
hukum kontrak/perjanjian khususnya kontrak dagang.
Pada dasarnya suatu kontrak merupakan dokumen tertulis yang memuat keinginan-
keinginan para pihak untuk tujuan tertentu dan bagaimana pihaknya diuntungkan,
dilindungi/dibatasi tanggung jawab.[2]
BAB II
PEMBAHASAN
1. A. Pengertian Kontrak/Perjanjian
Dalam tampilannya yang klasik, untuk istilah kontrak ini sering disebut dengan
istilah “perjanjian”, sebagai terjemahan dari “agreement” dalam bahasa Inggris,
atau “overeenkomst” dalam bahasa Belanda. Disamping itu, ada juga istilah yang
sepadan dengan istilah “kontrak”, yaitu istilah “transaksi”. Namun demikian
istilah “kontrak” adalah yang paling modern, paling luas dan paling lazim
digunakan, termasuk pemakaiannya dalam dunia bisnis. Dan hukum yang
mengatur tentang kontrak itu disebut dengan “hukum kontrak”.[3]
Secara umum sumber hukum bisnis (sumber hukum perundangan) tersebut adalah :
1. Hukum Perdata (KUHPerdata)
2. Hukum Dagang (KUHDagang)
3. Hukum Publik (pidana Ekonomi/KUHPidana)
4. Peraturan Perundang-undangan diluar KUHPerdata, KUHPidana, KUHDagang
1. B. Asas-asas Kontrak/Perjanjian
Dalam Ilmu Hukum, dikenal beberapa asas hukum terhadap suatu kontrak, yaitu
sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan istilah Prestasi dalam hukum kontrak (dalam bahasa
Inggris disebut dengan istilah performance) adalah pelaksanaan dari isi kontrak
yang telah diperjanjikan menurut tata cara yang telah disepakati bersama.
Sedangkan Wanprestasi, yang kadang-kadang disebut juga dengan istilah cidera
janji adalah kebalikan dari pengertian prestasi. Dalam bahasa Inggris untuk
wanprestasi ini sering disebut dengan default atau nonfulfillment atau breach of
contract. Yang dimaksud adalah tidak dilaksanakannya suatu prestasi atau
kewajiban sebagaimana mestinya yang telah disepakati bersama.
b.Force Majeure
Istilah force majeure atau act of god sering diterjemahkan menjadi keadaan
memaksa atau keadaan darurat. Yang dimaksudkan adalah suatu keadaan dimana
pihak debitur dalam suatu kontrak terhalang untuk melaksanakan prestasinya
karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak
tersebut, keadaan atau peristiwa mana tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada
debitur, sementara debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk.
1. c. Ganti Rugi
Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya maka timbullah kerugian
bagi pihak lainnya. Kerugian tersebut haruslah diganti oleh pihak yang melakukan
wanprestasi sebagai konsekuensi dari tindakannyayang tidak mau mengikuti
kontrak. Pergantian inilah yang dalam hukum disebut dengan istilah ganti rugi.
Dalam hal ini fungsi kontrak sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya
berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Secara hukum, kontrak dapat
dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi terhadap
pelaku pelanggaran kontrak atau ingkar janji (wanprestasi).[5]
Suatu asas hukum penting berkaitan dengan berlakunya kontrak adalah asas
kebebasan berkontrak, artinya pihak-pihak bebas untuk membuat kontrak apa saja,
baik yang sudah ada pengaturannya maupun yang belum ada pengaturannya dan
bebas menentukan sendiri isi kontrak. Namum kebebasan tersebut tidak mutlak
karena terdapat pembatasannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Dengan kata lain selama perjanjian itu
tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, mengikat kepentingan
umum dan ketertiban, maka perjanjian itu diperbolehkan. Berlakunya asas
kebebasan berkontrak dijamin oleh Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.[6]
Sutan Remy Sjahdeni merumuskan perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir
seluruh klausula – klausulanya sudah di bakukan oleh pemakainya dan pihak yang
lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta
perubahan. Menurut Hondius Dalam Purwahid Patrik menyatakan bahwa syarat-
syarat baku dalam perjanjian adalah syarat-syarat konsep tertulis yang di muat
dalam beberapa perjanjian yang masih akan di buat, yang jumlahnya tidak tertentu
tanpa merundingkan terlebih dahulu isinya. Syarat baku yang disebutkan umumnya
juga dinyatakan sebagai perjanjian baku. Jadi pada asasnya isi perjanjian yang
dibakukan adalah tetap dan tidak dapat diadakan perundingan lagi.
Kontrak standar merupakan perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni oleh
produsen/penyalur produk (penjual) dan mengandung ketentuan yang berlaku
umum (massal), sehingga pihak lain (konsumen) hanya memiliki 2 pilihan yakni
menyetujui atau menolaknya.
Definisi dari kontrak standar itu sendiri adalah kontrak tertulis yang dibuat hanya
oleh salah satu pihak dan didalam kontrak tersebut sudah tercetak dalam bentuk
formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak
tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data
informative tersebut saja dengan sedikit atau tanpa perubahan pada klausula-
klausulanya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai
kesempatan atau hanya memiliki sedikit kesempatan guna menegosiasi maupun
mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut.
Sehingga sangat berat sebelah. Pihak yang disodorkan kontrak baku tersebut tidak
mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi “take it
or leave it”.
Yang mendasari berlakunya Perjanjian baku adalah asas – asas hukum perjanjian
yang di atur dalam Pasal 1338 KUH Perdata ada tiga (3) yaitu ;
1. Asas Konsensualisme;
Bahwa, perjanjian yang dibuat umumnya bukan secara formal tetapi konsensual,
artinya perjanjian itu selesai karena persetujuan kehendak atau konsensus semata-
mata.
Bahwa, pihak-pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan, sesuai dengan
Pasal 1338 KUH Perdata, bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-undang bagi
para pihak.
Adapun yang merupakan contoh-contoh dari kontrak baku yang sering dilakukan
dalam praktek adalah sebagai berikut :
Dalam KUH Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian
dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian
khusus) yang namanya sudah diberikan undang-undang.
Ada pula dua bentuk alternatif penyelesaian lainnya yang mirip dengan arbitrase,
yaitu :
1. Mini-Trial. Bentuk ini dalam Bahasa Indonesia dapat disebut pula dengan
“peradilan mini” yang berguna bagi perusahaan yang bersangkutan dalam
sengketa-sengketa besar.
2. Med-Arb. Bentuk ini merupakan kombinasi antara bentuk mediasi dan
arbitrase. Di sini seorang yang netral diberi wewenang untuk mengadakan
mediasi. Namun demikian, dia tidak mempunyai wewenang untuk memutus
setiap isu yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak. Bentuk-bentuk
tersebut oleh Suyud Margono dikelompokkan menjadi tiga kelompok/cara
penyelesaian perselisihan, yaitu :
1. Perundingan;
2. Arbitrase;
3. Litigasi. [9]
BAB III
PENUTUP
1. A. Kesimpulan
Kontrak dalam hal ini fungsinya sama dengan UU tapi hanya berlaku bagi pihak
yang membuatnya. Yang ingkar/melanggar digugat dengan gugatan wanprestasi
(ingkar janji). Seperti kita ketahui bahwa banyak peraturan perundang-undangan
kita yang masih berasal dari masa pemerintahan Hindia Belanda.
Momentum terjadinya kontrak pada umumnya adalah ketika telah tercapai kata
sepakat yang ditandai dengan penandatanganan kontrak sebagai bentuk
kesepakatan oleh para pihak. Fungsi kontrak adalah demi memberikan kepastian
hukum bagi para pihak. Agar mereka tenang dan mengetahui dengan jelas akan
hak dan kewajiban mereka.