Anda di halaman 1dari 112

WP/3/2015

4JD BANK INOONESIA

WORKING PAPER

ANALISIS DAYA SAING DAN STRATEGI


INDUSTRI NASIONAL DI ERA MASYARAKAT
EKONOMI ASEAN DAN PERDAGANGAN BEBAS

Masagus M. Ridhwan
Gunawan Wicaksono
Linda Nurliana
Pakasa Bary
Fenty Tri Suryani
Redianto Satyanugroho

September, 2015

Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis


dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis
dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank
Indonesia.
ANALISIS DAYA SAING DAN STRATEGI INDUSTRI NASIONAL
DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN
PERDAGANGAN BEBAS
Masagus M. Ridhwan, Gunawan Wicaksono, Linda Nurliana, Pakasa Bary,
Fenty Tri Suryani, Redianto Satyanugroho1

Abstrak

Penelitian ini mengkaji kinerja perdagangan internasional Indonesia


dan daya saing termasuk faktor pendukung yang berkontribusi terhadap
kinerja perdagangan tersebut. Dari hasil analisis yang dilakukan, daya saing
produk manufaktur domestik, khususnya yang berbasis teknologi menengah
dan tinggi, relatif tertinggal jika dibandingkan dengan negara peers di ASEAN
(Singapura, Malaysia dan Thailand) dan extra ASEAN khususnya Tiongkok.
Sementara daya saing produk yang berbasis teknologi rendah hingga saat ini
masih cukup baik meskipun ke depan akan semakin berkompetisi ketat
dengan Vietnam khususnya. Struktur ekspor industri nasional juga masih
sangat berorientasi resource based dengan nilai tambah rendah. Hasil studi
ini juga mengidentifikasi sejumlah faktor yang menyebabkan lemahnya daya
saing dimaksud terutama berkaitan erat dengan faktor kapabilitas domestik
khususnya masalah skill set dan ketenagakerjaan, logistik, kebijakan, dan
institusi domestik yang kurang kondusif serta kurangnya dukungan akses
pasar. Untuk itu, strategi nasional perlu diarahkan untuk membangun industri
yang berdaya saing tinggi. Hal itu dapat dicapai melalui peningkatan
(upgrading) dan deepening industri, penciptaan nilai tambah domestik,
serta pewujudan Indonesia sebagai basis produksi (hub) yang berorientasi
ekspor. Dengan demikian, rekomendasi strategi kebijakan (dengan semangat
reformasi) yang perlu dilakukan meliputi aspek industri, investasi, dan
perdagangan yang bertumpu pada tujuh aspek, yaitu i) faktor institusi dan
leadership, ii) skema insentif trade and investment, iii) faktor sumber daya
manusia (SDM) dan ketenagakerjaan, iv) infrastruktur, v) efisiensi teknis dan
business services, vi) akses pembiayaan, serta vii) akses pasar.
Key word : ASEAN Economic Community, International Trade,
Industrial Policy

JEL Classification : O2, O57, L52

1 Adalah Peneliti Ekonomi di Grup Riset Ekonomi (GRE), Departemen Kebijakan Ekonomi
dan Moneter (DKEM), Bank Indonesia. Pandangan dalam paper ini merupakan
pandangan penulis dan tidak merefleksikan pandangan DKEM atau Bank Indonesia.
Penulis menyampaikan penghargaan kepada Bpk. Solikin M. Juhro, Bpk. Yoga Affandi,

1
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) secara formal akan diimplementasikan


pada akhir tahun 2015 meskipun prosesnya telah dimulai sejak
ditandatanganinya The ASEAN Framework Agreement on Economic Cooperation oleh
para pemimpin ASEAN pada tahun 1992 (Kemenko, 2015). Dengan demikian,
perdagangan bebas sejatinya telah mulai diterapkan secara bertahap dan progresif
oleh negara anggota ASEAN melalui regional trade agreement (RTA) berbentuk
ASEAN Free Trade Area (AFTA). Berbeda dengan AFTA, MEA lebih bersifat
komprehensif yang mencakup empat pilar dengan tujuan untuk mentransformasi
ASEAN menjadi pasar tunggal dengan basis produksi yang terintegrasi, dalam
suatu kawasan ekonomi yang berdaya saing, dengan tingkat pembangunan
ekonomi yang semakin merata, dan terhubung dengan jaringan produksi global.
Komitmen negara–negara ASEAN di MEA tidak hanya terdiri atas liberalisasi,
tetapi juga meliputi reformasi ekonomi, fasilitasi, dan harmonisasi regulasi. Secara
substansial penerapan MEA sebenarnya sebagian besar telah tercapai, misalnya,
melalui penghapusan tarif, fasilitasi perdagangan, agenda integrasi pasar jasa,
fasilitasi investasi, simplifikasi dan harmonisasi framework kebijakan pasar modal,
fasilitas tenaga kerja terampil, dan lainnya. MEA 2015 bukanlah tujuan akhir,
melainkan merupakan suatu langkah penting bagi perkembangan perekonomian
ASEAN yang semakin terintegrasi.

Bagi Indonesia implementasi MEA merupakan salah satu langkah strategis


yang dapat diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka mengambil manfaat
yang sebesar–besarnya dari globalisasi ekonomi. Aspirasi multilateral, terutama
yang berkaitan dengan integrasi ekonomi kawasan, seperti MEA dan lainnya,
selain memberikan kesempatan/peluang pasar yang lebih luas, juga mengandung
sejumlah tantangan/permasalahan yang kompleks.

Dalam hal ini, pemberlakuan MEA selain meningkatkan perdagangan intra


regional ASEAN, juga akan meningkatkan persaingan untuk mendapatkan
investasi, produksi, dan perdagangan di kawasan. Dengan perdagangan yang akan
semakin meningkat, surplus atau defisit perdagangan yang terjadi bagi suatu
negara cenderung akan semakin dinamis dan multidimensi. Dalam konteks

2
hubungan dagang internasional itu tentu akan sangat relevan dengan tugas Bank
Indonesia dalam rangka stabilitas makroekonomi domestik, khususnya inflasi dan
nilai tukar.

Defisit transaksi berjalan Indonesia yang telah terjadi sejak akhir tahun
2011 hingga periode berjalan sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu
faktor domestik: masalah struktural pada industri dan perdagangan, dan faktor
eksternal: shock global. Struktur ekspor Indonesia saat ini didominasi oleh
industri pengolahan berbasis sumber daya alam (SDA) yang kinerjanya bergantung
pada harga komoditas. Berakhirnya commodity super cycle dan perlambatan
ekonomi dunia menyebabkan turunnya harga komoditas yang berdampak negatif
terhadap ekspor Indonesia.

Gambar 1. Alur Pikir Permasalahan dan Strategi

Selain itu, pangsa industri Indonesia semakin menurun pada 1–2 dekade
terakhir dan secara bersamaan rata–rata pertumbuhan ekonomi menjadi lebih
rendah jika dibandingkan dengan tahun 1980-an. Saat ini industri pengolahan
Indonesia sendiri umumnya didominasi oleh industri yang berorientasi domestik
dengan tingkat kandungan impor yang tinggi. Salah satu penyebabnya adalah
lemahnya kebijakan investasi dan kurangnya koneksi pada pasar global.

Indonesia sendiri mempunyai potensi yang jauh melebihi kinerja saat ini.
Indonesia mempunyai sumber daya alam yang melimpah, mengalami bonus

3
demografi, dan mempunyai letak geografis yang strategis. Selain itu, Indonesia
juga dapat mengoptimalkan momentum the rise of Asia untuk ikut
mengembangkan ekonominya.

Dalam mengatasi berbagai permasalahan di atas dan untuk


mengoptimalkan potensi Indonesia, transformasi ekonomi perlu dilakukan melalui
peningkatan daya saing industri di pasar global. Industri menjadi sentral dalam
transformasi karena industri merupakan lokomotif pertumbuhan menuju negara
maju. Penyerapan banyak tenaga kerja dapat menciptakan nilai tambah dalam
perekonomian yang pada akhirnya dapat menjadi sumber devisa secara
fundamental.

Studi terkait MEA telah banyak dilakukan sebelumnya, baik dilakukan


Bank Indonesia maupun eksternal. Penelitian sebelumnya oleh Nugroho dan
Yanfitri (2011) yang menganalisis dampak liberalisasi di sektor barang, jasa,
modal, dan investasi menyimpulkan bahwa daya saing Indonesia lemah sehingga
terdapat kemungkinan Indonesia menjadi pihak yang dirugikan dari MEA. Salah
satu studi ERIA menyebutkan bahwa MEA akan memberikan manfaat bagi semua
anggota meskipun besarnya tidak sama. Indonesia tetap tumbuh, tetapi lebih
rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Survei yang dilakukan
oleh BCG (2014) menunjukkan bahwa perusahaan Indonesia cenderung
memandang pemberlakuan MEA sebagai ancaman, sedangkan perusahaan di
Malaysia dan Singapura lebih optimis dan memandang MEA sebagai peluang.
Laporan AT&K (2013) menyebutkan perusahaan lokal yang hanya berfokus pada
pasar domestik adalah perusahaan yang paling rentan terhadap MEA. Temuan
tersebut mengindikasikan bahwa perusahaan atau industri Indonesia cenderung
berorientasi domestik dan berdaya saing rendah di pasar global.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk


melihat secara mendalam daya saing Indonesia dan kemudian merumuskan
strategi kebijakan nasional untuk meningkatkan daya saing Indonesia. Secara
khusus kebijakan ekonomi dan perdagangan yang telah diambil harus senantiasa
ditinjau ulang dan dipertajam agar Indonesia sebagai anggota terbesar di ASEAN
dapat menarik manfaat dari MEA. Pendekatan yang digunakan pada tahap awal
adalah analisis daya saing (trade competitiveness diagnostics) yang mengukur
kinerja perdagangan internasional Indonesia dibandingkan peer countries–nya,
dalam hal ini dengan negara ASEAN lainnya. Aktivitas perdagangan merupakan
lensa yang berguna untuk mengukur daya saing. Pasar ekspor umumnya memiliki

4
tingkat persaingan yang tinggi sehingga negara yang memiliki daya saing tinggi di
ekspor, umumnya juga lebih unggul pada faktor domestik. Hal itu sejalan dengan
hubungan timbal balik antara perdagangan dan produktivitas. Pelaku usaha yang
produktif menjadi eksportir dan akan semakin produktif dengan adanya
permintaan dari pasar ekspor. Lebih lanjut, Reis dan Farole (2012) menyatakan
bahwa hambatan utama negara berkembang untuk bersaing dalam perdagangan
internasional umumnya bersifat behind the border, yaitu faktor internal dalam
suatu negara seperti logistik, bea cukai, pembiayaan, kondisi faktor produksi, dan
kurangnya kompetisi.

Studi mengenai perdagangan tidak akan terlepas dari studi mengenai


industri dan investasi mengingat eratnya hubungan ketiga hal ini dalam
menentukan daya saing suatu negara, terlebih dalam pola perdagangan global
value chain (GVC) saat ini. Studi tersebut selanjutnya akan menjadi masukan
dalam merumuskan kebijakan industri, perdagangan, dan investasi sebagai
strategi nasional dalam menyambut MEA 2015–2025.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah: (a) menganalisis daya saing industri nasional
pada era perdagangan bebas dunia (termasuk MEA, dll), dan (b) menyusun strategi
industri nasional yang berdaya saing tinggi.

Selain dapat memberikan kontribusi pada literatur terkait yang ada


sebelumnya, kontribusi penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan (a)
asesment pada kinerja dan daya saing ekspor Indonesia secara komprehensif dan
menyeluruh (upstream ke downstream); serta (b) perumusan strategi nasional yang
khususnya berkaitan dengan peningkatan daya saing industri.

1.3 Batasan Penulisan

Penelitian ini mencakup analisis dan perumusan rekomendasi strategi


nasional terkait daya saing pada sektor industri manufaktur. Cakupan penelitian
tidak termasuk pada sektor jasa, seperti keuangan dan tenaga kerja, lalu lintas
modal, dan pilar keempat MEA berkaitan dengan integrasi pada ekonomi global.

5
1.4 Organisasi Penulisan

Penulisan kajian ini akan dibagi ke dalam lima bab yang dimulai dengan
Bab 1 mengenai pendahuluan dan tujuan dari penelitian ini, kemudian
dilanjutkan dengan Bab 2 yang berisi studi literatur yang pernah dilakukan. Pada
Bab 3 diuraikan metode dan data yang digunakan dalam riset ini. Hasil empiris,
analisis, dan rekomendasi kebijakan yang berupa strategi nasional yang dapat
ditempuh untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam upaya menjadikan
Indonesia sebagai basis produksi dan investasi, terutama di kawasan ASEAN, akan
diuraikan pada Bab 4. Kajian ini ditutup pada Bab 5 yang berupa simpulan dan
rekomendasi penelitian lebih lanjut.

6
II. STUDI LITERATUR

2.1 Sekilas tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Declaration of ASEAN Concord II pada Oktober 2003 untuk pertama kalinya


memperkenalkan konsep Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic
Community) atau MEA yang merupakan perwujudan pasar tunggal bagi negara–
negara anggota ASEAN. Selain itu, pembentukan MEA diharapkan mendorong
terwujudnya kesatuan basis produksi ASEAN yang didukung oleh aliran bebas
barang, jasa, tenaga kerja, dan modal (investasi). MEA diharapkan menjadi
kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi, kawasan dengan pembangunan yang
merata, dan terintegrasi dengan ekonomi global. Pasar tunggal ASEAN dapat
menjadi peluang bagi perekonomian Indonesia, dan negara-negara ASEAN lainnya,
untuk mendorong aktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang dapat meningkatkan
kesejahteraan hidup bangsa Indonesia.

Gambar 2. Pilar MEA

Dalam Cetak Biru MEA 2015 terdapat empat tujuan pilar utama MEA yang
ingin dicapai dan memiliki keterkaitan erat satu sama lain. Pertama, pembentukan
pasar tunggal dan basis produksi. Tujuan ini akan menciptakan terjadinya aliran
bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja, serta aliran modal yang lebih bebas

7
antarnegara di kawasan. Sebagai tahap awal disepakati dua belas sektor kerja
prioritas yang mewakili lebih dari 50% perdagangan intra-ASEAN, yaitu (1)
pengolahan agro, (2) industri berbasis karet, (3) industri berbasis kayu, (4)
penerbangan, (5) otomotif, (6) elektronik, (7) teknologi komunikasi informasi, (8)
perikanan, (9) kesehatan, (10) logistik, (11) tekstil, serta (12) pariwisata. Indonesia
menjadi negara koordinator untuk sektor otomotif dan industri berbasis kayu.
Tercapainya tujuan tersebut akan mentransformasikan berbagai keragaman
karakteristik di kawasan menjadi peluang bisnis yang dapat menjadikan ASEAN
lebih dinamis dan kuat dalam global supply chain. Terbentuknya pasar tunggal
akan memfasilitasi terbangunnya jejaring produksi di dalam kawasan dan
meningkatkan kapasitas ASEAN sebagai pusat produksi global atau bagian dari
global supply chain.Untuk mencapai tujuan tersebut, setiap negara anggota ASEAN
dituntut untuk meliberalisasi atau membuka pasar domestiknya.

Kedua, kawasan ekonomi yang kompetitif. Tujuan itu merupakan


prakondisi yang dibutuhkan untuk mendukung pencapaian pasar tunggal dan
basis produksi internasional. Pencapaian tujuan kedua itu dilakukan melalui kerja
sama di berbagai bidang yang meliputi (i) pengembangan infrastruktur, seperti
transformasi, informasi, energi, pertambangan, dan keuangan; (ii) kebijakan
persaingan; (iii) pelindungan konsumen; (iv) hak kekayaan intelektual; (v)
perpajakan; dan (vi) e–commerce.

Ketiga, pembangunan ekonomi yang merata. Kawasan ASEAN memiliki


tahapan pembangunan ekonomi yang berbeda sehingga berdampak pada kesiapan
dan kecepatan dari negara anggota masing–masing untuk melakukan liberalisasi.
ASEAN harus dapat menjamin manfaat integrasi ekonomi kawasan yang dapat
dirasakan seluruh anggota dan masyarakat ASEAN. Hal tersebut dilakukan
melalui pengembangan UMKM dan kerja sama serta bantuan teknis dalam rangka
mengurangi kesenjangan pembangunan di antara negara–negara anggota,
terutama antara negara ASEAN-5 dan Brunei, Cambodia, Myanmar, Laos, dan
Vietnam. Keempat, terintegrasinya perekonomian global. Dengan tercapainya
ketiga tujuan di atas diharapkan pasar ASEAN semakin menarik bagi penanaman
modal asing dan industri ASEAN dapat semakin kompetitif di global supply chain.
Dalam upaya pencapaian tujuan itu, dilakukan pendekatan yang koheren dalam
hubungan ekonomi eksternal ASEAN dengan mitra dagang seperti ASEAN+1
(ASEAN+Tiongkok, ASEAN+India, ASEAN+Jepang) atau ASEAN++ (ASEAN+3, EAS)

8
untuk memastikan sentralitas dari ASEAN dan memperluas partisipasi ASEAN
dalam global supply chain.

Implementasi cetak biru MEA 2015 secara substansial telah tercapai.


Pencapaian scorecard MEA per 30 Juni 2015 mencapai 91,1% dan ditargetkan
akan mencapai 95% pada akhir tahun 2015. Untuk scorecard MEA Indonesia
sendiri telah mencapai 92,7%. Tingginya pencapaian scorecard MEA baik ASEAN
dan Indonesia mencerminkan bahwa ASEAN dan Indonesia secara konsisten telah
memenuhi komitmennya.

Dalam perjalanannya pada Cebu Declaration Januari 2007 pemimpin


ASEAN menyepakati untuk mempercepat pembentukan MEA menjadi efektif per 1
Januari 2016 untuk sektor–sektor strategis tertentu. Batas waktu implementasi
pasar tunggal ASEAN makin dekat sehingga perlu dilakukan asesment pencapaian
komitmen-komitmen yang telah disepakati dalam pembentukan MEA. Hasil
pengukuran gap analysis yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia secara umum
menunjukkan bahwa upaya untuk mewujudkan aliran bebas perdagangan barang,
jasa, investasi, tenaga kerja terampil, serta aliran modal yang lebih bebas telah
menunjukkan kemajuan yang cukup tinggi. Di antara pencapaian liberalisasi
tersebut adalah penurunan tarif impor hingga 0%, pemenuhan komitmen
liberalisasi foreign equity participation (FEP) untuk beberapa subsektor jasa,
penghapusan restriksi investasi dan pengembangan sistem informasi investasi,
penandatanganan mutual recognition agreement (MRA), dan liberalisasi aliran
modal.

2.2 Penelitian Sebelumnya

Sejumlah studi yang terkait dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),


khususnya yang mendalami pemetaan pasar barang, jasa, tenaga kerja, modal,
dan investasi di kawasan ASEAN-5 serta melakukan gap analysis terhadap
pencapaian proses liberalisasi yang mengacu pada cetak biru MEA dan pencapaian
key deliverables ASEAN secara keseluruhan, dapat diringkas pada Tabel 1.

9
Tabel 1. Studi Literatur

Penelitian Ringkasan Studi

Reis dan Farole (2012) – Framework analisis perdagangan internasional


“Trade competitiveness dengan dua pendekatan:
diagnostic toolkit”
1. Trade outcomes analysis: menganalisis kinerja
perdagangan dalam dimensi intensive,
extensive, quality, dan sustainability
2. Competitivenss diagnostics: menganalisis kinerja
faktor yang memengaruhi daya saing
perdagangan – akses pasar, macro–incentive
framework, factor conditions, trade promotion
infrastructure

Reis dan Wrinkler (2012) – Menganalisis kinerja ekspor dan determinan


“Export Competitiveness in industri manufaktur untuk sektor apparel,
Indonesia’s Manufacturing furnitur kayu, dan komponen otomotif.
Sector”
Indonesia memiliki peluang kedua untuk
mengembangkan industri manufaktur tradisional
yang menyerap banyak tenaga kerja. Hal ini
didorong ketersediaan tenaga kerja dengan tingkat
upah yang lebih rendah dibandingkan Tiongkok,
ukuran pasar domestik, serta keterbukaan
Indonesia di pasar dunia.

Policy actions yang harus diambil:

• Jangka pendek: mengeksploitasi gap upah


dengan Tiongkok
• Jangka menengah: memanfaatkan pasar
domestik dan potensi masuk ke Global Value
Chain
• Jangka panjang: persiapan saat keunggulan
dari sisi biaya tidak lagi berlaku
• Dengan prioritas reformasi di: i) transportasi
dan logistik, ii) akses pembiayaan, iii) rigiditas
pasar tenaga kerja dan training, iv) inovasi, v)
standar, vi) collective actions, vii) transparansi
dan predictability, viii) SEZ.

10
Tabel 1. (lanjutan)

Penelitian Ringkasan Studi

Munandar, et al (2007) – Aplikasi pendekatan equal share relationship


“Integrasi Ekonomi dengan menggunakan database makroekonomi
Regional, Mobilitas Faktor negara ASEAN untuk mengetahui dampak
Produksi Serta Peran kebijakan moneter terhadap investasi.
Otoritas Moneter”

Nugroho dan Yanfitri (2011) Analisis kualitatif melakukan pemetaan kondisi


– “Potensi Dampak pasar barang, jasa, tenaga kerja, investasi di
Pembentukan Pasar ASEAN dan mengidentifikasi beberapa potensi
Tunggal ASEAN terhadap dampak positif dan negatif pasar tunggal terhadap
Perekonomian Indonesia” perekonomian Indonesia.

Analisis kualitatif dan kuantitatif mengenai


Hasil Kajian lintas Satker dampak implementasi integrasi ASEAN serta
(2011) – “Masyarakat tantangan bagi daya saing dan stabilitas makro
Ekonomi ASEAN 2015: Indonesia.
Proses Harmonisasi di
Tengah Persaingan”

Anas, Narjoko, dan Pemetaan daya saing dan potensi ekspor Indonesia
Aswicahyono (2015) – secara regional (daerah), khususnya sektor
“Mapping of Indonesia manufaktur, antara lain dengan Regional
Potential on Trading Comparative Productivity Advantage (RCPA). Selain
Manufacture Products: A itu, dilakukan FGD untuk mengetahui penyebab
Regional Perspective” performa ekspor dibawah potensinya.

11
III. METODOLOGI DAN DATA

3.1 Analisis Daya Saing

Analisis daya saing (TCD) sebagian besar merujuk pada Trade


Competitiveness Diagnostic (Reis dan Farole, 2012) yang merupakan pendekatan
yang bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai posisi, performa, dan
kapabilitas sebuah negara pada pasar ekspor, serta faktor yang memengaruhi daya
saingnya. Aktivitas perdagangan merupakan lensa yang berguna untuk mengukur
daya saing. Pasar ekspor umumnya memiliki tingkat persaingan yang tinggi
sehingga negara yang berdaya saing tinggi pada ekspor umumnya juga lebih
unggul pada faktor domestiknya. Hal itu sejalan dengan hubungan timbal balik
antara perdagangan dan produktivitas. Pelaku usaha yang produktif menjadi
eksportir dan akan semakin produktif dengan adanya permintaan dari pasar
ekspor.

Di era liberalisasi untuk mengukur kinerja suatu perekonomian, kinerja


ekspor menjadi lebih penting daripada sebelumnya.. Ekspor tetap relevan sebagai
sumber utama penghasilan devisa, sarana untuk mencapai skala ekonomi dan
spesialisasi produksi, serta untuk mengakses teknologi baru. Secara tidak
langsung ekspor juga merupakan indikator efisiensi sektor industri saat
menghadapi kompetisi lebih ketat (akibat liberalisasi) dan lebih intensif (akibat
penurunan biaya transportasi). Sepanjang industri tetap menjadi mesin
pertumbuhan, perubahan struktural, serta pertumbuhan teknologi dan
modernisasi, ekspor manufaktur yang bertumbuh menjadi tanda bahwa mesin
tersebut bekerja.

Analisis daya saing yang dilakukan terdiri atas dua komponen yang
umumnya dilakukan secara berurutan, yaitu sebagai berikut.

1. Analisis kinerja perdagangan (trade outcomes analysis) adalah kerangka untuk


memperoleh gambaran detail atas kinerja ekspor secara historis. Analisis itu
dilakukan melalui berbagai macam pendekatan serta pengolahan data
sekunder.
2. Diagnostik daya saing (competitiveness diagnostics) adalah diagnostik yang
bertujuan untuk menganalisis daya saing, termasuk faktor–faktor yang
berkontribusi terhadap kinerja ekspor seperti pada tahap 1. Diagnostik

12
dilakukan dengan pendekatan kuantitatif (analisis data sekunder) dan
kualitatif melalui survei dan wawancara (FGD), seperti wawancara dengan
perumus kebijakan, pelaku usaha, akademisi, ahli perdagangan, dan lainnya.
Hasil dari dua analisis tersebut akan dielaborasi lebih lanjut untuk
perumusan rekomendasi kebijakan dan perumusan strategi nasional. Gambar
berikut mengilustrasikan kerangka kerja dari analisis daya saing (TCD).

Sumber: Reis and Farole (2012)

Gambar 3. Framework Analisis Daya Saing

3.1.1 Analisis Kinerja Perdagangan

Analisis kinerja perdagangan (trade outcome analysis) memberikan penilaian


kuantitatif dan kualitatif dari performa perdagangan dengan menggunakan
dekomposisi pertumbuhan perdagangan internasional. Pertumbuhan ekspor dapat
terjadi karena empat dimensi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.

Sumber: Reis and Farole (2012)

Gambar 4. Dimensi Pertumbuhan Ekspor

13
Dalam melakukan analisis kinerja perdagangan, terdapat empat faktor
utama, yaitu sebagai berikut.

1. Intensive Margin
Pertumbuhan ekspor dalam dimensi ini tercipta dengan menjual produk
yang sama pada pasar yang sama. Peningkatan intensive margin dapat tercipta
melalui spesialisasi, baik pada antarproduk (across) maupun dalam produk
(within). Dimensi ini secara umum mengevaluasi tingkat, pertumbuhan, dan
pangsa pasar ekspor yang terjadi saat ini (existing). Hasil analisis intensive
margin dapat menunjukkan posisi perdagangan Indonesia dibandingkan
dengan negara–negara peers–nya jika dilihat berdasarkan nilai atau volume
ekspornya. Ada beberapa indikator yang dianalisis seperti rasio nilai
perdagangan terhadap PDB, revealed comparative advantage (RCA) sektoral,
trade intensity index, trade complementary index.
2. Extensive Margin
Untuk negara berkembang, dimensi ini kritikal untuk mendorong ekspor
dan penciptaan lapangan kerja. Extensive margin berarti menjual produk baru
atau menjual produk yang ada saat ini (existing) ke pasar yang baru. Struktur
ekspor yang semakin terdiversifikasi akan mengurangi kerentanan akan
demand shocks dan pergerakan harga di luar negeri. Diversifikasi ekspor juga
penting sebagai indikasi arah pertumbuhan pada masa mendatang. Export
diversification melihat konsentrasi dan variasi produk dan pasar dari ekspor
suatu negara, tingkat kesesuaian portofolio ekspor suatu negara dengan
produk dan pasar dunia yang berkembang, dan evolusi pasar dari ekspor
spesifik (sukses atau tidak).
3. Quality Margin
Dimensi ini mengevaluasi produk-produk ekspor berdasarkan kualitas
dan kecanggihannya. Produk yang mengandung nilai tambah lebih tinggi dari
sisi orisinalitas (ingenuity), skill, dan teknologi akan memiliki harga yang lebih
tinggi di pasar. Dengan demikian peningkatan (upgrading) kualitas produk
menjadi sumber yang pasti bagi pertumbuhan ekspor dan ekonomi. Dimensi
ini diukur dengan menganalisis teknologi, pendapatan, factor contents dari
ekspor untuk menentukan tingkat kecanggihan dan nilai produk, serta product
space untuk mengidentifikasi sektor tempat suatu negara memiliki atau
kehilangan keunggulan.

14
4. Sustainability Margin
Agar ekspor baru dapat bertahan dan memberikan pertumbuhan jangka
panjang, diperlukan daya tahan sebagian besar perusahaan yang dapat
memanfaatkan kesempatan dan mengatasi hambatan pada tahun-tahun awal.
Sustainability margin of new exporter mengevaluasi survival rate dari barang-
barang yang diekspor, baik barang baru maupun barang yang sudah lama
diekspor. Selain itu, pada tahap ini dilihat juga pertumbuhan dan survival rate
dari hubungan ekspor, intensitas faktor ekspor, dan perbandingan tingkat
endowment nasional. Bentuk partisipasi perusahaan dan survival pada sektor
ekspor membantu mengidentifikasi faktor utama (biaya entry, faktor, teknologi,
dan efisiensi) yang menjadi hambatan utama terhadap daya saing.
Analisis kinerja perdagangan dilakukan dengan 4 tahapan, yaitu sebagai
berikut.

a. Pemilihan peer countries bertujuan sebagai benchmark dari kinerja negara yang
diukur. Umumnya peer countries meliputi kombinasi antara negara tetangga,
negara dengan ukuran, pertumbuhan ekonomi, struktur yang sama, dan
negara kompetitor.
b. Pengumpulan dan kompilasi data, baik cross section maupun time series.
c. Analisis dan interpretasi.
d. Identifikasi tantangan utama pada daya saing.

3.1.2 Diagnostik Daya Saing

Dalam melakukan diagnostik daya saing, terdapat beberapa aspek yang


dianalisa, yaitu sebagai berikut.

1. Akses Pasar
Akses pasar merupakan sebuah konsep yang membahas kebijakan
perdagangan yang dapat memfasilitasi atau membatasi eksportir untuk masuk
dan menjaga daya saingnya di pasar. Dalam market access dilihat faktor–faktor
yang menghambat penjualan barang ekspor, seperti hambatan tarif dan
hambatan nontarif. Gambar 5 mengilustrasikan cakupan dari analisa market
access.

15
Sumber: Reis and Farole (2012)

Gambar 5. Cakupan Akses Pasar

2. Faktor Sisi Suplai


Faktor ini mencakup banyak hal, termasuk tata kelola dan macrofiscal,
kebijakan perdagangan dan domestik yang membentuk kerangka insentif bagi
pelaku usaha, serta faktor masukan (input) yang menentukan daya saing dari
sisi produksi.
3. Dukungan Promosi Perdagangan
Dukungan promosi perdagangan meliputi serangkaian intervensi oleh
pemerintah unuk mengatasi kegagalan pasar (market failures, seperti
coordination challenges, dan asymmetric information) dan kegagalan pemerintah
yang membatasi partisipasi dan kinerja ekspor seperti promosi ekspor, special
economic zones (SEZ), serta badan koordinasi industri dan standarisasi.

Masing–masing dimensi tersebut membentuk kinerja ekspor melalui


pengaruhnya terhadap perusahaan melalui jalur sebagai berikut:

a. biaya tetap (fixed cost), risiko produksi, dan export entry;


b. biaya faktor dan transaksi yang menentukan daya saing produksi dari tingkat
pabrik; dan
c. tingkat teknologi dan efisiensi dari sektor atau perusahaan.

16
3.1.3 Forum Diskusi Terpumpun (Focus Group Discussion (FGD))
Focus group discussion merupakan bagian penting dalam analisis TCD
karena menjadi sarana yang menghubungkan hasil benchmark data/kuantitatif
yang telah dilakukan dengan kondisi faktual yang terjadi. Secara garis besar FGD
dilakukan terhadap tiga kelompok, yaitu pelaku usaha, perumus kebijakan
(pemerintah), dan ahli dengan perincian sebagaimana tertera pada lampiran (Tabel
12).

Selain kegiatan diskusi, juga terdapat kegiatan expert panel dalam


perumusan rekomendasi strategi nasional yang melibatkan kementerian terkait
(Kemendag, Kemenperin, dan Kemenko), panel ahli dan akademisi, serta kalangan
pengusaha (Apindo).

3.2 Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berfrekuensi tahunan dari


periode tahun 2000 hingga 2014, tergantung ketersediaan data. Tabel di bawah ini
menunjukkan data–data yang digunakan secara umum serta sumber datanya.
Mengingat jenis data yang digunakan sangat beragam, detil penggunaan data akan
dijelaskan lebih lanjut pada bagian analisis.

Tabel 1. Data
Variabel Sumber Data
Ekspor (per komoditas HS/SITC, per negara), Impor World Integrated Trade
(per komoditas HS/SITC, per negara, revealed Solution (WITS), World
comparative advantage, konten teknologi ekspor, Bank.
product sophistication, tariff, non tariff barriers, dan
lain–lain.
Populasi, PDB, Suku bunga pinjaman riil, akses World Development
pembiayaan, bandwidth internet, konsumsi listrik, Indicators (WDI), World
logistik, dan lain–lain Bank.
Lisensi teknologi, pelatihan formal, sertifikasi kualitas Enterprise Surveys,
internasional, dan lain–lain. World Bank.
Kemudahan berusaha, doing business index, waktu Doing Business, World
untuk ekspor/impor, dan lain–lain. Bank.
Global competitiveness World Economic Forum

17
IV. HASIL DAN ANALISIS

4.1 Pemetaan Daya Saing Indonesia

Analisis daya saing yang dilakukan mengindikasikan adanya banyak


tantangan atas kinerja ekspor dan daya saing Indonesia. Dari hasil analisis kinerja
perdagangan, tantangan utama Indonesia adalah dari aspek intensive margin serta
quality margin. Jika dilihat diagnostik daya saingnya, tantangan pada ekspor
tersebut terjadi karena kurangnya market access, incentive framework, factors
condition, serta trade promotion facilititation.

4.1.1. Analisis Kinerja Perdagangan

Dari hasil analisis kinerja perdagangan (Tabel 3), kinerja ekspor Indonesia
terlihat tertinggal jika dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand dan masuk
dalam klasifikasi negara low middle income country yang cenderung bersifat
resource based dan rendah nilai tambah. Vietnam terlihat mengalami peningkatan
kinerja ekspor secara tajam dalam dua dekade terakhir. Secara umum Indonesia
memiliki permasalahan dan terlihat mengalami penurunan kinerja pada keempat
dimensi ekspornya dengan isu utama pada intensive dan quality margin.
Kelemahan ekspor Indonesia mengindikasikan bahwa industri Indonesia
cenderung semakin inward oriented yang didukung dengan temuan analisis
keterkaitan nilai tambah.

Tabel 2. Ringkasan Hasil Analisis Kinerja Perdagangan


Permasalahan Utama Ekspor Keterangan

Intensive Margin ↓↓ Keterbukaan perdagangan Indonesia turun


dibandingkan awal tahun 2000, dengan
pertumbuhan ekspor sebagian besar produk dan
pasar yang lebih rendah dari perdagangan dunia.

Extensive Margin ↓ Kinerja Indonesia secara umum hanya lebih baik


dari Filipina. Jumlah kematian produk Indonesia
tertinggi dengan produk yang bertahan umumnya
berbasis SDA atau primary products.

18
Tabel 2. (lanjutan)
Permasalahan Utama Ekspor Keterangan
Quality Margin ↓↓ Indonesia tertinggal pada ekspor produk high tech
dan sedikit unggul pada primary products. Selain
itu, bila dibandingkan selama 10–20 tahun
terakhir, terdapat indikasi pergeseran produk
ekspor Indonesia dari low dan hightech menjadi
medtech dan resource–based.
Sustainability Margin ↓ Durasi ekspor Indonesia hanya lebih baik dari
Filipina
Keterangan:
↓ : sedikit tertinggal dibandingkan peers
↓↓ : tertinggal dibandingkan peers

4.1.1.1 Intensive Margin


Intensive margin diukur dengan melakukan asesmen terhadap tingkat,
pertumbuhan, dan pangsa pasar yang mencerminkan struktur dan daya saing dari
basket ekspor yang telah ada. Berdasarkan data neraca perdagangan pada periode
tahun 2009–2013, secara rata-rata Indonesia masih mencatat surplus meskipun
dengan tingkat yang lebih rendah jika dibandingkan dengan periode tahun 2004–
2008. Beberapa negara, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam memiliki tingkat
ekspor yang cukup tinggi hingga mencapai lebih dari 50% dari PDB-nya. Meskipun
demikian, impor yang tinggi turut membebani kinerja neraca perdagangan negara–
negara tersebut. Namun, Malaysia mampu mencatat surplus neraca perdagangan
hingga 15% dari PDB sepanjang tahun 2009–2013.

Gambar 6 menunjukkan tingkat keterbukaan perdagangan suatu negara


relatif terhadap tingkat PDB per kapitanya. Indikator ini mengindikasikan
seberapa penting ekspor dan impor barang dan jasa dalam sebuah perekonomian
atau seberapa terintegrasi suatu perekonomian dengan dunia jika dibandingkan
dengan peers-nya. Tingkat keterbukaan Indonesia pada tahun 2009–2013
dibandingkan tahun 2004–2008 menurun dari 60% ke 50%. Angka itu lebih
rendah dibandingkan peers seperti Vietnam (150%) dan Filipina (65%) yang juga
mengalami tren peningkatan jika dibandingkan dengan periode sebelumnya
(Vietnam dan India).

19
Sumber: WDI, WITS Worldbank, diolah

Gambar 6. Openness to Trade

Indikator lainnya adalah ekspor/kapita yang mengukur keberadaan suatu


ekonomi di pasar internasional. Negara yang memiliki nilai ekspor/kapita yang
tinggi mengindikasikan pendapatan ekspor dolar yang tinggi dari basis produksi
domestik yang terdiversifikasi dengan baik dan tidak berbasis SDA. Ekspor per
kapita Indonesia (Gambar 7) sesuai dengan karakteristik lower middle income, yang
jauh lebih rendah dari upper middle-high seperti Malaysia dan Singapura. Jika
dilihat dari indikator lainnya, yaitu share of merchandise trade (non oil and gas),
rasio Indonesia bahkan lebih rendah dibandingkan lower middle income countries
(Gambar 8).

Sumber: WITS Worldbank, diolah Sumber: WITS Worldbank, diolah

Gambar 7. Ekspor per Kapita Gambar 8. Share of Merchandise


Trade

20
Pertumbuhan ekspor dapat disebabkan oleh perubahan pada harga (export
value), volume ekspor (export volume), atau keduanya. Export value index
merupakan nilai ekspor (c.i.f) yang dikonversi ke dolar AS dan dinyatakan dalam
persentase dari rata-rata tahun dasar. Export volume index merupakan rasio
antara export value index dan unit value index-nya. Indikator ini (Gambar 9)
merefleksikan indeks perdagangan berdasarkan nilai dan volume perdagangan.
Selama periode tahun 2009–2012, Tiongkok dan Vietnam menunjukkan
pertumbuhan ekspor yang cukup tinggi berdasarkan nilai dan volume ekspornya.
Meskipun berdasarkan export volume index, Indonesia berada pada posisi terakhir,
tetapi nilai barang ekspor Indonesia relatif moderat.

Jika dilihat dari pasar tujuan ekspornya, pasar ekspor Indonesia


terkonsentrasi ke Tiongkok dan Jepang dengan pangsa 20% dan 18% dari total
ekspor. Malaysia, Thailand, dan Filipina juga menjadikan Tiongkok sebagai negara
tujuan ekspor utamanya dengan indeks intensitas perdagangan yang lebih tinggi
dibandingkan Indonesia.

Indikator trade intensity index (Gambar 10) menunjukkan tingkat intensitas


ekspor dari suatu negara ke negara mitra dagangnya. Indeks itu digunakan untuk
melihat apakah sebuah negara mengekspor lebih banyak ke mitra dagangnya
dibandingkan dengan ekspor dunia ke negara tersebut. Trade intensity index
menggunakan logika yang sama dengan RCA, tetapi untuk pasar bukan produk.
Jika trade intensity index > 100, hal itu mengindikasikan bahwa hubungan dagang
antara negara–𝑖 dan 𝑗 lebih intensif jika dibandingkan dengan rata–rata dunia (��)
dengan negara-��. Indonesia memiliki intensitas perdagangan yang tinggi ke Jepang
dibandingkan dengan negara Eropa dan Amerika. Pola itu relatif sama dengan
negara berkembang lainnya, kecuali Vietnam yang memiliki trade intensity yang
tinggi ke USA.

21
Sumber: WITS Worldbank, diolah Sumber: WITS Worldbank, diolah

Gambar 9. Export Value Index vs. Gambar 10. Trade Intensity Index to
Export Volume Index Japan

Trade complementarity index digunakan untuk melihat apakah profil ekspor


suatu negara sesuai dengan profil impor mitra dagangnya atau justru bersifat
komplementer. Nilai indeks yang tinggi mengindikasikan kedua negara
mendapatkan keuntungan dari hubungan perdagangannya. Berdasarkan trade
complementarity index Indonesia sepanjang periode tahun 2009–2012, semua
negara peers rata–rata memilki besaran indeks yang sama. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa kebutuhan impor Indonesia dipenuhi dari profil–profil
ekspor dari negara–negara tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa Indonesia
merupakan pasar ekspor bagi negara peers–nya. Sementara itu, trade
complementarity index Malaysia menunjukkan nilai yang rendah dengan Indonesia
dan Jerman, artinya produk ekspor Malaysia tidak sesuai dengan kebutuhan
impor Indonesia dan Jerman.

Indikator lainnya adalah orientasi pertumbuhan yang dapat dilihat dari


Orientasi Pertumbuhan Produk dan Pasar. Orientasi Pertumbuhan Produk
mengevaluasi potensi pertumbuhan ekspor dengan membandingkan compounded
annual growth rate (CAGR) dari produk ekspor utama suatu negara terhadap
pertumbuhan perdagangan dunia untuk produk tersebut. Negara dengan
pertumbuhan ekspor lebih tinggi daripada pertumbuhan dunia berarti mengalami
peningkatan pangsa di pasar dunia. Negara yang ekspor utamanya di sektor yang
memiliki pertumbuhan tinggi memiliki posisi yang baik untuk pertumbuhan ke
depan. Sementara itu, pertumbuhan di bawah pertumbuhan dunia
mengindikasikan adanya barrier yang menghambat pertumbuhan.

22
Sumber: WITS Worldbank, diolah Sumber: WITS Worldbank, diolah

Gambar 11. Pertumbuhan Produk Gambar 12. Pertumbuhan Produk


Ekspor Indonesia Ekspor Vietnam

Sumber: WITS Worldbank, diolah


Sumber: WITS Worldbank, diolah

Gambar 13. Pertumbuhan Pasar Gambar 14. Pertumbuhan Pasar


Ekspor Indonesia Ekspor Vietnam

Gambar 11 memperlihatkan ekspor produk Indonesia yang umumnya


tumbuh lebih rendah dari perdagangan dunia (di bawah garis 45 derajat). Produk
Indonesia yang memiliki pangsa yang besar umumnya bersifatnya komoditas,
seperti mineral fuels. Untuk beberapa produk manufaktur, Indonesia
meningkatkan pangsanya dalam perdagangan dunia, tetapi porsinya masih kecil
pada basket ekspor Indonesia. Hal itu berbeda dengan Vietnam (Gambar 12) yang
mengalami peningkatan pasar untuk hampir semua produk unggulannya.
Pertumbuhan ekspor manufakturnya lebih besar dari pertumbuhan dunia dan
merupakan produk dominan pada basket ekspornya.

Orientasi Pertumbuhan Pasar mengevaluasi potensi pertumbuhan pasar


ekspor suatu negara dengan membandingkan CAGR dari ekspor ke suatu pasar
relatif terhadap pertumbuhan impor pasar tersebut dari rest of the world (ROW).
Gambar 13 memperlihatkan pertumbuhan ekspor Indonesia ke mitra dagangnya

23
lebih rendah dari pertumbuhan impor mitra dagang dari ROW. Pasar dimana
Indonesia meningkatkan pangsanya adalah Tiongkok dan India. Sementara
Vietnam (Gambar 14) justru meningkatkan pangsanya di hampir seluruh mitra
dagangnya dengan pangsa ekspor terbesar ke USA.

4.1.1.2 Extensive Margin

Extensive margin mengukur diversifikasi ekspor dari dua dimensi, yaitu


menjual produk baru atau menjual produk existing ke pasar yang baru. Ukuran
yang digunakan adalah konsentrasi dan variasi produk dan pasar dari ekspor
suatu negara, tingkat kesesuaian portofolio ekspor suatu negara dengan produk
dan pasar dunia yang berkembang, dan evolusi pasar dari ekspor spesifik (sukses
atau tidak).

Dari sisi extensive margin, kinerja Indonesia relatif moderat dibandingkan


dengan peers meskipun dari beberapa ukuran, Indonesia tertinggal. Indikator
pertama menghitung jumlah mitra dagang dan produk yang diekspor suatu
negara, yang dihitung pada 6-digit HS level 2 . Dalam satu dekade (Lampiran–
Gambar 50) Indonesia mengalami peningkatan moderat dalam jumlah produknya
sebesar 83, sedangkan Vietnam bertambah signifikan sebesar 1024. Selain itu,
hanya sebagian kecil ekspor Indonesia yang ditujukan ke high income countries jika
dibandingkan dengan negara lain (Lampiran–Gambar 51).

Indikator lainnya adalah jangkauan ekspor. Pertumbuhan ekonomi


umumnya disertai dengan adanya produk baru dan kematangan ekonomi ditandai
dengan kemampuan negara tersebut untuk memelihara hubungan dagang.
Indikator jangkauan ekspor menginformasikan kelahiran, survival, dan kematian
produk serta nilai dan jumlah pasarnya. Tingkat kematian yang tinggi pada
beragam sektor mengindikasikan volatilitas ekonomi; sedangkan jika
terkonsentrasi pada beberapa industri, tingkat kematian itu mengindikasikan
evolusi produksi domestik. Gambar 15 memperlihatkan produk Indonesia yang
mencapai lebih dari 10 tujuan ekspor, pada tahun 2010 sebanyak 1.961 produk,
kemudian pada tahun 2013 meningkat menjadi 2.099 produk. Jumlah itu sekitar
50%–53% dari total 3.906 produk yang survive pada kurun waktu tahun 2010–
2013. Angka tersebut memperlihatkan perbedaan yang jauh jika dibandingkan

2Mitra dagang dihitung apabila telah terjadi ekspor minimal satu barang dengan nilai
minimum 10,000 USD dan jumlah produk dihitung apabila setidaknya dikirim ke satu
negara dengan nilai setidaknya 10,000 USD.

24
dengan Tiongkok (Lampiran-Gambar 52), yaitu produk yang mencapai lebih dari
10 pasar adalah sebanyak 4.123 (2010) dan meningkat menjadi 4.133 (2013) yaitu
sekitar 87–88% dari total 4.687 produk yang survive. Selain itu, tingkat kematian
produk Indonesia cukup tinggi dibandingkan peers (Tabel 3) dengan surviving
product bernilai tinggi adalah natural resources–based goods (Tabel 4).

Sumber: WITS Worldbank, diolah

Gambar 15. Jangkauan Ekspor Indonesia Tahun 2010–2013

Tabel 3. Perbandingan ASEAN Tabel 4. Top Surviving Product


2010-2013 Top Surviving Product
Suriviving Product New By Value Palm oil, other than crude
Product Death Product Coal other than anthracite & bituminous
Indonesia 3906 311 308 Natural gas, liquefied
Malaysia 4168 241 247 Natural gas, in gaseous state
Lignite
Thailand 4455 132 217
By Number Paper & paperboard
Filipina 1990 403 887
of Market Carbon paper
Vietnam 3242 285 487 Original sculptures & statuary
Cina 4687 99 59 Seats with wooden frames
India 4655 137 128 Women's/girls' dresses

Sumber: WITS Worldbank, diolah Sumber: WITS Worldbank, diolah

Indikator lainnya adalah Hummels-Klenov untuk produk dan pasar.


Indikator ini terdiri atas intensive margin (IM) dan extensive margin (EM). IM produk

25
mengukur apakah suatu negara big player pada produk yang diekspornya (pangsa
suatu negara pada produk yang diekspornya di perdagangan dunia) dan EM
mengukur seberapa penting barang yang diekspornya secara global (ekspor ragam
portofolio relatif terhadap semua ekspor dunia). Untuk Hummels-Klenov pasar, IM
mengindikasikan apakah suatu negara big player pada pasar ekspornya dan EM
mengukur seberapa penting pasar ekspornya secara global. Dalam satu dekade
(Gambar 16 dan Gambar 17) Indonesia mengalami peningkatan moderat dan
hanya lebih baik dari Filipina dalam meningkatkan pangsanya di produk dan
pasar ekspor-nya. Vietnam terlihat signifikan meningkatkan prduk dan pasar yang
bernilai secara global (EM) dan Tiongkok terlihat paling berhasil meningkatkan
perannya pada produk dan pasar ekspornya (IM).

Sumber: WITS Worldbank, diolah

Gambar 16. Hummels Klenov dari Segi Produk

Sumber: WITS Worldbank, diolah

Gambar 17. Hummels Klenov dari Segi Pasar

26
4.1.1.3 Quality Margin

Quality margin mengukur kinerja ekspor dari sisi kualitas, yang antara lain
dilakukan melalui analisis komponen teknologi, tingkat kecanggihan (product
sophistication), product space, serta relative quality. Klasifikasi produk ekspor
menurut komponen teknologi dimungkinkan menggunakan SITC 3 digit
berdasarkan Hatzichronoglou (1997) dan Lall (2000). Analisis product sophistication
(EXPY)3 merujuk pada Hausmann, Hwang, and Rodrik (2007). Lebih lanjut, product
space merujuk pada Hidalgo et al. (2007) yang memetakan koneksi antarproduk
berkeunggulan komparatif pada suatu negara.

Komponen teknologi dan kecanggihan yang rendah pada produk ekspor


Indonesia membuat margin kualitas produk ekspor Indonesia sangat terbatas,
khususnya jika dibandingkan dengan negara–negara peers. Indonesia tertinggal
pada ekspor produk high tech dan sedikit unggul pada primary products. Selain itu,
apabila dibandingkan selama 10–20 tahun terakhir, terdapat indikasi pergeseran
produk ekspor Indonesia dari low dan high tech menjadi med tech dan resource-
based. Sementara itu, Tiongkok beralih dari low tech menjadi high tech.

Produk ekspor Indonesia memiliki tingkat kecanggihan yang rendah jika


dibandingkan dengan peer countries. Tingkat kecanggihan produk ekspor di
Indonesia mengalami tren penurunan walaupun PDB per kapita secara konsisten
meningkat. Padahal, menurut Felipe (2010), pada umumnya kenaikan EXPY 10%
meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.5%.

Sumber: WDI, WITS World Bank, diolah Sumber: WDI, WITS World Bank, diolah

Gambar 18. Perkembangan dan Pangsa Ekspor berdasarkan Komponen


Teknologi

3
EXPY diukur dari proporsi ekspor atas PRODY masing–masing produk dan PRODY
merupakan tingkat kecanggihan suatu produk yang diukur dari pendapatan per kapita
negara (pada PPP) pengekspor utama produk tersebut di dunia.

27
Sumber: WDI, WITS World Bank, diolah

Gambar 19. Tingkat Kecanggihan Produk Ekspor dan PDB Per Kapita

Melalui analisis product space 4 , terdapat indikasi bahwa product space


Indonesia semakin menjauh dari core-nya. Indonesia mengalami penurunan
jumlah produk berkeunggulan komparatif pada dense forest (mesin, elektronik,
garmen, tekstil, dan furnitur) yang banyak “diserap” oleh Tiongkok. Keunggulan
komparatif hilang pada elektronik, mesin, dan furnitur yang merupakan tendensi
keunggulan komparatif pada upper-middle countries. Hal itu menunjukkan risiko
(lower) middle income trap. Menurut Hidalgo et al (2007) daya saing rendah pada
klaster industri dengan proximity tinggi (dense forest) akan menyulitkan transisi ke
income group yang lebih tinggi. Sementara itu, Tiongkok mengalami kenaikan
keunggulan komparatif pada mesin dan elektronik yang kemudian
mengindikasikan bahwa Tiongkok juga “menyerap” keunggulan komparatif pada
Jepang.

4Konsep product space mengacu pada Hidalgo et. al. (2007) yang dipetakan dengan product
space explorer (http://www.chidalgo.com/productspace/data.htm) dan Cytoscape
(www.cytoscape.org). Data RCA dihitung menggunakan data ekspor UN Comtrade dari
World Integrated Trade Solution, World Bank.

28
Sumber: Perhitungan peneliti dengan Cytoscape dan Product Space Explorer, sumber
data ekspor dari WITS.

Gambar 20. Product Space Indonesia Tahun 2000 dan 2013

Tabel 5. Perubahan Product Space pada Beberapa Negara Lain


Negara Perubahan Product Space (2013 vs 2000)
Indonesia Garmen, mesin, dan elektronik turun
Jepang Mesin dan Elektronik turun
Thailand Penurunan garmen dan tekstil, namun machinery naik
Malaysia Penurunan furniture
Tiongkok Machinery dan Electronics naik
Sumber: Perhitungan peneliti dengan Cytoscape dan Product Space Explorer, sumber data
ekspor dari WITS.

Beberapa produk terindikasi masih berkualitas baik dibandingkan peers.


Produk dengan kualitas yang kompetitif sekaligus bernilai tinggi adalah alat berat.
Pada komoditas penyumbang nilai ekspor tertinggi, relative quality5 dari produk
Indonesia yang tertinggi (dibandingkan peers) adalah copper, natural rubber, tin,
gold, dan chemical wood pulp. Pada komoditas dengan unit price tertinggi, relative

5 Mengikuti Reis dan Farole (2012), relative quality diproksikan dari rasio unit price suatu
produk terhadap unit price peers pada percentile 90. Asumsinya adalah saat suplai
kompetitif, harga yang tinggi umumnya terkait dengan kualitas = diferensiasi produk yang
lebih tinggi. Kategori produk menggunakan HS 6 digit.

29
quality dari produk Indonesia yang tertinggi (dibandingkan peers) adalah crane
lorries, lifting machinery, dan tower cranes.

Lebih lanjut, pada gambar dibawah, dapat diketahui produk ekspor dengan
pangsa pasar tinggi, tetapi kualitas rendah, yaitu natural gas dan nickel. Copper
mempunyai pangsa pasar tinggi dengan kualitas tinggi. Selain itu, produk yang
mempunyai pangsa pasar rendah, tetapi kualitas tinggi adalah crane lorries dan
lifting machinery. Lebih lanjut, antara tahun 2010 ke 2013 terdapat peningkatan
pangsa pasar dan kualitas pada crane lorries, pesawat, dan natural gas. Sementara
itu, terdapat penurunan pangsa pasar pada tower crane.

Sumber: Perhitungan peneliti; sumber data ekspor dari WITS.

Gambar 21. Posisi Pangsa Pasar dan Relative Quality Produk Ekspor

4.1.1.4 Sustainability Margin

Kemampuan untuk mempertahankan hubungan perdagangan merupakan


suatu ukuran perekonomian yang berkembang dengan baik (well developed
economy). Ada tiga indikator yang digunakan untuk mengevaluasi durasi dan
ketahanan hubungan produk-partner serta menjelaskan faktor–faktor yang
memengaruhi product birth dan extinction.

Export Duration yang mengukur tingkat kelangsungan hidup selama periode


tahun dari hubungan produk baru-pasar dengan nilai minimal USD10.000.
Selama rentang waktu 10 tahun (tahun 2003–2013), pangsa kelangsungan hidup

30
hubungan produk baru-pasar yang bertahan di Indonesia adalah sebesar 61,2%
dengan jumlah hubungan ekspor sebesar 326. Export duration ini hanya lebih baik
dibandingkan Filipina dan Malaysia, tetapi lebih rendah dibandingkan Vietnam,
Thailand, Tiongkok, dan India (Gambar 22).

Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 22. Durasi Ekspor

Perubahan pada arus ekspor dapat terjadi sepanjang dua margin yang
berbeda, yaitu intensif dan ekstensif. Intensive margin meliputi perubahan pada
arus perdagangan saat ini (existing) yang dapat dibagi lagi menjadi peningkatan,
penurunan, dan kepunahan (extinction). Extensive margin meliputi penambahan
arus perdagangan baru yang mungkin terjadi karena pengenalan produk baru
(introduction of a new product), masuk ke pasar baru (entry into new market), atau
diversifikasi produk dengan mitra dagang saat ini. Indikator decomposition of export
growth along margins of trade mendekomposisi semua pertumbuhan perdagangan
menjadi salah satu dari tujuh kategori eksklusif sesuai dengan margin tersebut.

Suatu negara yang sudah mengekspor ke berbagai pasar dan telah sangat
terdiversifikasi portofolio ekspornya mungkin memiliki potensi terbatas untuk
ekspansi pada extensive margin. Bahkan, untuk negara–negara berkembang,
extensive margin umumnya menyumbang tidak lebih dari 20% pertumbuhan
ekspor (Brenton dan Newfarmer, 2009). Sementara itu, bagi eksportir yang telah
mature, pertumbuhan umumnya terjadi pada intensive margin.

Dari Gambar 53 (Lampiran) dapat dilihat keenam negara menghadapi


tantangan persaingan yang kompetitif dalam produk dan pasar tradisional dengan

31
kerugian terjadi dalam intensive margin, termasuk punahnya hubungan produk–
pasar. Dalam EM kinerja ekspor negara–negara tersebut tidak menunjukkan
pertumbuhan yang berarti, hanya sebagian kecil peningkatan pada penjualan
produk yang ada ke pasar baru. Indonesia relatif lebih baik dari Filipina dan
Malaysia dari sisi IM (IM tumbuh 108,73% dan turun 9,15%). Namun, dapat
dilihat bahwa pertumbuhan Tiongkok relatif lebih baik karena IM tumbuh
105,04% dan penurunan ekspor sebesar 4,97%. Dari dimensi EM, Vietnam
tumbuh 2,73%, lebih tinggi dibandingkan Indonesia sebesar 0,96%.

110 99.05 108.73 110 97.27 97.83


90 Extensive 90
90 90 Margin Intensive
70 70
70 70 Margin
50 50
50 50
30 30 30 30
0 0 2.73 0 -0.09 -0.47
10 0 0 0.96 0 -0. 53 10 10 10
-9.15
-10 -10 -10 2.73 -10
0.96

Increase of new products

Increase of new products


Creation of old products
Extinction of exports of

Extinction of exports of

Fall of old products in old

Increase of old products


products in new markets
Increase of new products

Increase of old products

old products in old


old products in old

Introduction of old

in new markets

in old markets
in old markets

in old markets
in new markets

in old markets
Creation of old products

Fall of old products in old


products in new markets

Increase of new products

markets
markets

markets
Introduction of old
in old markets

in old markets

markets

Indonesia Vietnam
Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 23. Dekomposisi Pertumbuhan Ekspor tahun 2003–2013

Indikator export suspension and factor endowments mengidentifikasi aliran


perdagangan yang bernilai paling sedikit 10.000 dolar AS yang menghilang sejak
tahun awal. Indikator itu dipilih untuk membandingkan faktor intensitas produk
tersebut terhadap faktor pendukung tertentu milik negara tersebut. Harapannya
adalah kematian produk lebih mungkin terjadi jika faktor intensitas suatu produk
berada jauh dari faktor pendukungnya. Jika titik faktor pendukung suatu negara
diwakili oleh perpotongan antara rata–rata intensitas modal manusia dan fisik,
dapat dilihat seberapa jauh atau seberapa dekat faktor intensitas ekspor dari titik
rata–rata faktor pendukungnya. Dari Gambar 24 terlihat bahwa ekspor Indonesia
pada tahun 2013 tidak begitu selaras dengan faktor pendukungnya. Hal itu
ditunjukkan jarak antara faktor intensitas ekspor dengan titik perpotongan faktor
pendukungnya yang cukup jauh. Berbeda halnya dengan Thailand, mayoritas
ekspor besarnya berada relatif lebih dekat dengan faktor pendukungnya. Hal itu
dapat mengindikasikan kelangsungan ekspor produk–produk di Thailand akan
lebih bertahan lama.

32
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 24. Export Relative to Endowment – Indonesia 2013

Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 25. Export Relative to Endowment – Thailand 2013

4.1.2 Diagnostik Daya Saing

Indonesia memiliki permasalahan pada keempat dimensi daya saing dengan


isu terutama pada tenaga kerja (skill set), logistik, kebijakan, dan institusi
domestik yang tidak kondusif serta kurangnya dukungan market access dari sisi
free trade agreement (FTA) dan non-tariff measures (NTMs). Hal itu juga ditemukan
dari hasil FGD dengan pelaku usaha, faktor utama yang disebutkan adalah
ketidakpastian hukum.

33
Tabel 6. Ringkasan Diagnostik Daya Saing
Tantangan Utama Keterangan
Ekspor Indonesia

Akses Pasar ↓↓ Didominasi oleh non-tariff measures dari negara


maju. FTA Indonesia relatif tertinggal dibandingkan
negara kawasan.

Incentive Framework ↓↓ Kebijakan FDI Indonesia paling tertinggal


dibandingkan peers. Dari sisi kebijakan dan
institusi domestik, kemudahan berusaha Indonesia
terendah di ASEAN dan menurun dalam 10 tahun
terakhir.

Factors Condition ↓↓ Tenaga kerja khususnya pada skill set, kondisi


logistik merupakan hambatan utama.

Trade and Invesment ↓ Kendala utama dalam promosi ekspor dan investasi
Facilitation Indonesia adalah di bidang standar dan sertifikasi
yang belum memenuhi standar internasional dengan
promosi investasi dan ekspor yang tergolong lemah.

Keterangan:
↓ : Sedikit tertinggal dibandingkan peers
↓↓ : Tertinggal dibandingkan peers

4.1.2.1 Akses Pasar

Hambatan terbesar dari segi akses pasar didominasi oleh non-tariff


measures yang banyak diterapkan oleh negara-negara maju yang merupakan
tujuan ekspor. Rendahnya tarif bea masuk di negara-negara maju seharusnya
menjadi peluang bagi peningkatan ekspor Indonesia. Namun, proteksi dari segi
non-tariff measures, seperti sanitary and phytosanitary (SBS) dan technical barriers
(TBT) yang berlaku di beberapa negara maju dapat menjadi hambatan bagi
eksportir dalam melakukan penetrasi pasar.

34
Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 26. Tarif Impor di Beberapa Negara

Rata–rata tarif bea masuk untuk barang impor yang diterapkan oleh
Indonesia berkisar antara 5%–10%. Negara–negara maju tujuan ekspor, seperti
USA dan Jepang menerapkan tarif bea masuk barang impor <5%. Amerika,
Jepang, Tiongkok, Korea, India, dan Eropa memberlakukan tarif bea masuk yang
tinggi untuk produk–produk pertanian, berkisar antara 5%–35%. Di Indonesia,
tarif bea masuk untuk produk pertanian relatif sama dengan produk–produk non-
pertanian. Beberapa negara di kawasan, seperti Thailand dan Vietnam
memberlakukan tarif bea masuk yang lebih tinggi untuk produk pertanian.
Bilateral trade arrangement antara Indonesia dan beberapa negara tujuan ekspor
menyebabkan produk–produk Indonesia bisa mendapatkan tarif bea masuk yang
lebih rendah. Jika dibandingkan dengan negara–negara kawasan, tarif bea masuk
yang berlaku di Indonesia dan Filipina tergolong paling rendah, terutama untuk
produk–produk impor dari negara–negara Asia Tenggara. Eropa memberlakukan
non-tariff measures yang cukup tinggi, terutama dalam bentuk TBT dan SPS. Oleh
karena itu, respon yang krusial adalah membentuk trade agreement dengan Eropa
untuk mengeliminasi non-tariff measures tersebut.

35
Tabel 7. Daftar Non–Tariff Measures di Beberapa Negara

Sumber: WITS World Bank, diolah

Indonesia relatif tertinggal jika dibandingkan dengan negara peers dalam


menjajaki dan ikut serta dalam regional trade agreements (RTA) dengan negara–
negara di luar ASEAN. Misalnya, Indonesia tidak mempunyai RTA dengan Eropa
atau AS, padahal negara–negara di kawasan tersebut mempunyai produk yang
bersifat komplementer dengan Indonesia. Sebagai salah satu implikasi,
berdasarkan hasil FGD dengan pelaku usaha, beberapa perusahaan asing lebih
memilih melakukan ekspansi ke Vietnam daripada ke Indonesia karena negara
Vietnam mempunyai keunggulan dalam hal akses pasar. Indonesia juga akan
berisiko terkena dampak negatif trade diversion atas RTA yang tidak diikuti.

4.1.2.2 Incentive Framework

Incentive framework merupakan salah satu determinan daya saing dari sisi
suplai, yaitu kerangka insentif yang dihadapi pelaku usaha. Terdapat dua hal yang
dikupas, yaitu kebijakan perdagangan dan investasi serta kebijakan dan institusi
domestik. Dari sisi kebijakan perdagangan dan investasi, kebijakan FDI Indonesia
paling rendah dibandingkan peers (Gambar 27) karena hanya sektor
pertambangan, minyak dan gas, serta listrik dan perbankan yang keterbukaan

36
terhadap investasi asing lebih tinggi daripada rata–rata. Sementara itu, dari sisi
kebijakan dan institusi domestik, kemudahan berusaha Indonesia terendah di
ASEAN dan jika dibandingkan dengan peers-nya menurun dalam 10 tahun
terakhir (Gambar 28) meskipun terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2014
(peringkat 120). Beberapa aspek jauh lebih rendah dari peers seperti starting a
business, registering property, enforcing contracts, dan paying taxes (Gambar 29).

Sumber: Doing Business, diolah Sumber: Doing Business, diolah

Gambar 27. Ease of Establishment Gambar 28. Ease of Doing Business


Index

Sumber: Doing Business, diolah

Gambar 29. Kemudahan Berusaha di Indonesia

37
4.1.2.3 Factor Conditions

Kondisi tenaga kerja, logistik, serta beberapa faktor lain yang kurang baik
menjadi hambatan keunggulan Indonesia dibandingkan dengan negara peers
lainnya.

Untuk kondisi tenaga kerja, terdapat biaya yang tinggi. Upah minimum
terlalu tinggi (apabila mempertimbangkan produktivitas), jika dibandingkan
dengan kondisi negara maju. Upah minimum yang terlalu tinggi menyebabkan
PHK serta pemindahan pabrik ke provinsi dengan UMR lebih rendah. Biaya
pemecatan juga sangat tinggi dibandingkan peers, yaitu sekitar 50 kali gaji
mingguan. Selain itu, terdapat beberapa implicit cost seperti banyaknya labor union
yang menyulitkan proses negosiasi, banyaknya demonstrasi, serta meningkatnya
risiko operasional.

Dari sisi skill, terdapat permasalahan yang lebih serius. World Bank (2014)
menyatakan bahwa (1) terdapat skill mismatch, 50% lulusan SMA/setara dan 15%
lulusan universitas bekerja di unskilled position; (2) 70% pengusaha manufaktur
mengatakan ‘sangat sulit’ untuk mengisi skilled positions; (3) hanya 5% pekerja
yang memperoleh on-the-job training formal. Lebih lanjut, hasil FGD
mengindikasikan bahwa Indonesia membutuhkan medium dan high skilled workers
pada tahun 2020. MEA menyebabkan Indonesia akan mengalami shortage skilled
labor.

Sumber: World Development Indicators, diolah Sumber: Global Competitiveness Index,


WEF

Gambar 30. Upah Minimum dan Gambar 31. Biaya Pemecatan


Produktivitas

38
Kondisi logistik memprihatinkan dan sangat menghambat perkembangan
daya saing. Walaupun data WDI menunjukkan bahwa Logistic Performance Index
dan kondisi infrastruktur Indonesia sedikit meningkat, kondisinya masih lebih
rendah dibandingkan peers. Skor international shipments turun dan menempati
peringkat terbawah. Lebih lanjut, waktu yang dibutuhkan untuk ekspor-impor
relatif lama dibandingkan negara peers, yang antara lain karena adanya hambatan
akses di darat dan proses bongkar muat di pelabuhan.

Beberapa masalah lain yang diketahui adalah (1) kecepatan, bandwidth,dan


harga internet broadband tidak kompetitif; (2) kurangnya sertifikasi internasional
dan compliance atas produk ekspor dan proses industri; (3) kurangnya
penggunaan lisensi teknologi; (4) listrik yang bermasalah; serta (5) regulasi tidak
tepat sasaran.

Sumber: Doing Business, World Bank Sumber: World Bank

Gambar 32. Upah Minimum dan Gambar 33. Logistic Performance


Produktivitas Index

Sumber: Ookla Net Index Sumber: Enterprise Surveys, World Bank

Gambar 34. Biaya Bulanan Internet Gambar 35. Persentase


Perusahaan dengan Lisensi
Teknologi Asing

39
4.1.2.4 Trade Promotion Infrastructure

Infrastruktur promosi perdagangan meliputi berbagai intervensi Pemerintah


untuk mengatasi kegagalan pasar (tantangan koordinasi dan informasi asimetrik)
dan kegagalan Pemerintah yang membatasi partisipasi dan kinerja ekspor,
termasuk promosi ekspor tradisional dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK),
lembaga koordinasi industri, standar dan sertifikasi, serta inovasi.

Kendala utama dalam promosi ekspor dan investasi Indonesia adalah di


bidang standar dan sertifikasi. Meskipun banyak hal yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan hal tersebut dari perspektif kelembagaan, masalah yang timbul
lebih banyak dari rendahnya tingkat kecanggihan industri/perusahaan Indonesia,
yang pada gilirannya terkait dengan salah satu tantangan daya saing fundamental,
yaitu inovasi.

a. Standar dan Sertifikasi

Tantangan utama untuk meningkatkan daya saing kualitas produk


ekspor Indonesia adalah mampu memberikan standar internasional (bahkan
mempunyai sertifikasi untuk membuktikannya). Berdasarkan data pada
Gambar 36, hanya 3% perusahaan Indonesia yang memiliki sertifikasi
berkualitas internasional, jauh tertinggal dengan negara kawasan lainnya.
Kebanyakan standar teknis penting diberlakukan oleh pembeli internasional
atau mitra dagang agar para eksportir memenuhi standar tersebut sehingga
dapat berlanjut dengan pemberian kontrak. Sebagian besar perusahaan
industri Indonesia sudah memenuhi standar nasional, tetapi belum dapat
memenuhi standar internasional. Kendala utamanya adalah masalah besarnya
biaya sertifikasi standar internasional dan implikasinya terhadap daya saing.
Sertifikasi ternyata meningkatkan biaya produksi, sementara biaya tersebut
sukar untuk ditransmisikan ke konsumen.

Selain itu, masih lemahnya infrastruktur standardisasi Indonesia juga


menjadi penyebab kurang kompetitifnya produk ekspor Indonesia. Banyak
laboratorium penguji di Indonesia tidak mendapat pengakuan internasional
sehingga memengaruhi proses sertifikasi dan pemenuhan standar yang
dibutuhkan oleh pembeli internasional. Daya saing eksportir Indonesia juga
ditentukan oleh rezim standar nasional. Rezim standar nasional yang lemah

40
ditambah dengan kurangnya monitoring dan penegakan peraturan
berkontribusi pada terjadinya kompetisi kualitas rendah pada pasar domestik.

Sumber: WDI, diolah

Gambar 36. Internationally–Recognized Quality Certification

b. Inovasi

Industri di Indonesia perlu terus meningkatkan kualitas produk dan daya


tambah agar dapat mempertahankan daya saing dalam jangka panjang. Untuk
mencapai hal tersebut bergantung pada kapasitas inovasi dari sektor industri
masing–masing. Gambar 37 dan Gambar 38 menunjukkan kesenjangan (gap)
yang terjadi pada kapasitas inovasi Indonesia, baik pada tingkat nasional
maupun perusahaan. Alokasi anggaran untuk riset dan penelitian di Indonesia
lebih rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Kebanyakan
industri di Indonesia masih mengandalkan pembeli internasional untuk
memberikan persyaratan spesifikasi desain dan teknik sehingga hanya
memproduksi sesuai dengan spesifikasi. Hal itu membatasi kemampuan
potensial sektor industri untuk dapat menciptakan inovasi dan bergabung pada
Global Production Networks (GPN). Bahkan, proses replikasi produk pun tidak
selamanya berhasil dilakukan oleh industri di Indonesia karena persyaratan
presisi yang begitu ketat dan rendahnya toleransi yang diperbolehkan.
Kurangnya perhatian terhadap kualitas dan desain berhubungan erat dengan
rendahnya tingkat kecanggihan suatu perusahaan. Banyak perusahaan yang
telah berdiri sejak tahun 1980-an merasa telah nyaman dan tidak merasa perlu
mengambil risiko untuk mendorong inovasi desain industri. Walaupun

41
demikian, berdasarkan informasi dari pelaku usaha, hanya sedikit industri
yang mulai melakukan inovasi dengan mendesain beberapa produk untuk
pasar domestik dan juga mulai bergabung dalam Global Value Chain (GVC).

6.00
5.2 2006-2007
5.1 5.2
5.00 2014-2015
4.3 4.4 4.3
4.0 4.1
3.9
4.00 3.7 3.6
3.4
3.2 3.3
3.00

2.00

1.00
0.00
China India Indonesia Malaysia Philippines Thailand Vietnam

Sumber: WDI, diolah Sumber: World Economic Forum GCI,


diolah
Gambar 37. Pengeluaran R&D (% Gambar 38. Kualitas dari
PDB) Lembaga Riset

Pada tingkat perusahaan, investasi pada riset dan pengembangan masih


tergolong rendah. Institusi atau lembaga untuk mendukung pengembangan
keahlian teknis ataupun desain pada sektor–sektor industri masih tetap lemah.
Industri tekstil menjadi salah satu industri yang memiliki sekolah tinggi
khusus teknologi tekstil di Bandung (setara D4), selain terdapat institusi
swasta yang fokus pada pengembangan industri adibusana. Tahun 2015 ini
Kementerian Perindustrian meresmikan pendirian Akademi Komunitas Industri
Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Solo Techno Park sebagai bentuk jawaban
dari peningkatan kebutuhan tenaga kerja di sektor tersebut. Akademi
Komunitas Industri TPT ini merupakan pendidikan vokasi industri berbasis
kompetensi sehingga dilengkapi sarana dan prasarana pendidikan berupa
laboratorium, workshop, dan teaching factory. Selain itu, akademi tersebut juga
dilengkapi dengan Lembaga Sertifikasi Profesi dan Tempat Uji Kompetensi.
Harapannya akademi industri TPT ini akan mulai beroperasi pada tahun
akademik 2015.

Sementara itu, di sektor ICT (information-communication technology) baru


terdapat satu Pusat Pendidikan Khusus Elektronika dan Telematika di
Surabaya. Balai Diklat Industri (BDI) di Surabaya yang dikelola oleh
Kementerian Perindustrian juga menyediakan pendidikan dan pelatihan di
bidang elektronika dan garmen. Pada masa yang akan datang Kementerian

42
Perindustrian bekerja sama dengan universitas di Banten akan mendirikan
Akademi Komunitas Petrokimia Banten. Pendirian akademi tersebut
merupakan sebuah jawaban atas tantangan industri petrokimia terhadap
kualitas sumber daya lokal yang berbasis kompetensi sehingga akhirnya dapat
meningkatkan daya saing industri petrokimia nasional.

Masih minimnya sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan bagi


sektor industri disebabkan oleh masih kurangnya perhatian dari pemerintah
untuk inovasi dan juga masih minimnya inisiasi dari tingkat industri itu
sendiri. Namun, Pemerintah sudah terlihat mulai lebih agresif dan berinisiatif
dalam membangun pusat-pusat pelatihan dan pendidikan terlihat dari
ditandatanganinya beberapa nota kesepahaman pembangunan akademi atau
pusat inovasi di berbagai daerah.

c. Promosi Ekspor dan Investasi

Indonesia telah menginvestasikan sumber daya yang cukup besar untuk


menarik dan mengoordinasikan investasi ke Indonesia. Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) telah ditunjuk menjadi agen promosi investasi (IPA)
pada tingkat pusat sejak tahun 1970-an. BKPM merupakan institusi yang
mempunyai hubungan yang cukup kuat dengan sektor swasta dan pemerintah
karena dapat melapor langsung ke Presiden dan posisi ketua institusinya
sejajar dengan menteri. Selain itu, juga terdapat agen promosi investasi pada
tingkat regional, khususnya pada sektor dan daerah tertentu. Berdasarkan
Laporan Global Investment Promotion Benchmarking (2009) yang mengukur
kinerja pelayanan dan online marketing investasi, Malaysia memiliki kinerja
yang terbaik disusul oleh Filipina dan Thailand, sedangkan kinerja Indonesia
masih tergolong tertinggal (Tabel 8).

43
Tabel 8. IPI Performance Score

Sumber: GIPB 2009 Summary Report (World Bank)

Sama halnya dengan promosi investasi, promosi ekspor juga sudah


mendapat perhatian khusus Pemerintah, yaitu melalui Direktorat Jenderal
Pengembangan Ekspor Nasional (DJPEN) di bawah Kementerian Perdagangan.
DJPEN secara rutin menghadiri pameran perdagangan, forum–forum
internasional untuk mempromosikan sektor industri unggulan Indonesia, dan
juga berdialog dengan kementerian perdagangan negara lain. Dalam hal
pembiayaan perdagangan atau ekspor, kehadiran Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia atau Indonesia Eximbank membantu dalam penyediaan modal kerja,
jaminan, dan asuransi bagi eksportir.

Terkait FDI, penelitian menunjukkan bahwa saat ini Indonesia cenderung


lebih protektif dengan hambatan nontarif dan hambatan investasi yang lebih
tinggi dibandingkan peers (Patunru dan Rahardja, 2015). Hambatan tersebut
perlu dihilangkan, khususnya pada FDI yang berorientasi ekspor.

d. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

KEK merupakan kawasan yang dipersiapkan dan yang memiliki


keunggulan geoekonomi dan geostrategis serta berfungsi untuk menampung
kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai
ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Di dalam KEK perlu dibangun
fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja. Pada setiap KEK disediakan
lokasi untuk usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), dan koperasi, baik sebagai
pelaku usaha maupun sebagai pendukung kegiatan perusahaan yang berada
dalam KEK.

44
Jumlah KEK Indonesia relatif setara dengan negara peers meskipun jika
dibandingkan dengan luas wilayah, jumlah itu masih relatif kecil. Selain itu,
pengembangan kawasan ekonomi/industri di Indonesia masih terbatas. Hal itu
disebabkan, antara lain, oleh beberapa faktor berikut.

(1) Dukungan infrastruktur yang masih terbatas (energi, konektivitas, dll.).


Beberapa KEK yang didirikan berada jauh dari infrastruktur pendukungnya
seperti pelabuhan. Seyogianya, pendirian KEK dilakukan beserta dengan
pendirian infrastruktur pendukung.
(2) Kurangnya fungsi pemantauan (monitoring) dan pengelolaan yang efektif
akan manajemen kawasan serta relatif minimnya promosi zona ekonomi
tersebut.

Sumber: Economic Zones in The ASEAN (UNIDO)

Gambar 39. Gambaran Kawasan Ekonomi Khusus di Kawasan

4.1.3. Focus Group Discussion (FGD)

Kegiatan FGD merupakan sarana untuk mengonfirmasi hasil benchmark


data/kuantitatif (desk analysis) dengan kondisi yang terjadi sebenarnya di
lapangan. Dari hasil FGD terungkap tiga hal utama yang menjadi perhatian para
pelaku usaha, yakni terkait regulasi, kemampuan sumber daya manusia, dan
koordinasi. Berikut ini merupakan beberapa hambatan yang disarikan
berdasarkan hasil FGD.

45
a. Kejelasan aturan main dan kepastian hukum
Regulasi yang mendukung pengembangan sektor industri dan
perdagangan di Indonesia masih dirasakan kurang optimal dan cenderung
tidak jelas implementasinya. Regulasi yang ada banyak yang tumpang tindih
antara satu sektor dan sektor lainnya. Khusus terkait kebijakan mengenai tarif
tenaga listrik (TTL) dan upah tenaga kerja, pelaku usaha mengharapkan bahwa
ada penetapan mekanisme yang terencana terkait penetapan tarif dan upah
tersebut.

b. Keterbatasan jumlah free trade agreement (FTA) yang dilakukan Indonesia, baik
multilateran maupun bilateral
Pelaku usaha mengharapkan adanya penambahan jumlah trade
agreement dengan negara maju tujuan ekspor untuk mendorong perluasan
akses pasar Indonesia dan upaya tergabung dalam global supply chain. Selain
itu, dalam FGD juga terungkap bahwa trade agreement yang sudah terjadi
mengalami hambatan dalam implementasinya (menemui jalan buntu).
Keterhambatan implementasi tersebut disebabkan oleh kurang detilnya pihak
Indonesia menjelaskan poin-poin yang dibutuhkan dalam trade agreement
tersebut. Hal itu disinyalir akibat dari kurangnya koordinasi antara pihak yang
melakukan trade agreement dan perwakilan pelaku usaha dalam memetakan
kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh pelaku usaha sebagai subjek yang
melakukan proses produksi ataupun perdagangan. Selain itu, pemanfaatan
butir-butir kesepakatan dalam FTA juga masih sangat terbatas sehingga
dibutuhkan lebih banyak upaya memperkenalkan dan mempermudah
pemanfaatan butir–butir kesepakatan FTA tersebut.

c. Kemampuan sumber daya manusia (SDM)


Secara teknis kemampuan SDM Indonesia masih kurang bersaing
dengan negara lain. Keunggulan upah buruh yang murah di Indonesia pada
masa lampau sudah tidak terlalu dapat diandalkan lagi apalagi sejalan dengan
niat Indonesia untuk menyasar peningkatan ekspor pada industri med-tech dan
hi-tech. Indonesia harus melakukan peningkatan keahlian (skill) pekerjanya
sesuai dengan kebutuhan industri. Selain itu, ketentuan tenaga kerja asing
yang akan bekerja di Indonesia juga seyogianya disusun lebih selektif dengan
mempertimbangkan kebutuhan industri dan ketersediaan tenaga kerja
domestik.

46
d. Aturan perpajakan
Aturan perpajakan Indonesia merupakan salah satu hambatan yang
cukup besar perannya dalam sektor industri dan perdagangan di Indonesia.
Salah satunya adalah PPN berganda dan restitusi pajak yang memerlukan
waktu lama sebagai keluhan utama pelaku usaha di lapangan.

e. Koordinasi Pemerintah Pusat (Pempus), Pemerintah Daerah (Pemda), maupun


dengan pelaku usaha
Kendala birokrasi dan koordinasi, baik antarkementerian maupun
pempus dan pemda, terutama dengan pelaku usaha masih menjadi kendala
yang signfikan dalam mewujudkan industri yang berdaya saing tinggi. Proses
keberhasilan pengembangan sektor industri bergantung pada perencanaan dan
pengembangan sektor-sektor industri yang dicanangkan oleh pemerintah,
termasuk infrastruktur yang diarahkan untuk mendukung penanganan dan
perkembangan sektor industri tersebut.

4.1.4. Analisis Keterkaitan Nilai Tambah

Analisa keterkaitan nilai tambah6 menggunakan pengkinian data terhadap


Asian I/O 2005 dengan menggunakan data tahun 2013 untuk melihat posisi
industri Indonesia di rantai nilai global. Hal itu terkait perubahan pola
perdagangan dunia dari semula berdasarkan trade in goods menjadi trade in task.
Secara umum, hasil analisis dekomposisi perdagangan (Gambar 40) menunjukkan
bahwa tiga negara yang paling kompetitif dalam ASEAN-5, terkait rantai nilai
global, adalah Thailand, Malaysia, dan Singapura.

Ukuran kompetitif tersebut diperoleh berdasarkan analisis daya saing


internal dan eksternal. Analisis daya saing internal menunjukkan bahwa Malaysia
dan Singapura memiliki kapabilitas ekspor yang tertinggi dalam memproses foreign
value added atau memiliki produktivitas impor yang tinggi (kemampuan
mengekspor setelah mengimpor tinggi). Sementara itu, analisis daya saing
eksternal menunjukkan bahwa Malaysia, Thailand, dan Singapura tercatat sebagai
negara dengan skala ekspor terbesar. Perbandingan hasil antara tahun 2005,
2009, dan 2013 menunjukkan bahwa daya saing antarnegara tidak mengalami
perubahan yang signifikan.

6
Analisis Triangular Trade dan Rantai Nilai di Asia dengan Fokus pada Indonesia sebagai
Masukan dalam Penyusunan Strategi Nasional Indonesia di Era Masyarakat Ekonomi
ASEAN oleh Rakhman dkk. (2015).

47
Dari sisi investasi, (Tabel 10) dapat dilihat bentuk FDI yang berbeda
antarnegara ASEAN. Di Thailand FDI mendorong ekspor; di Indonesia FDI
mendorong penyerapan tenaga kerja dan memasok permintaan domestik; di
Vietnam FDI mendorong investasi modal, ekspor, dan penyerapan tenaga kerja;
dan di Malaysia FDI berdampak pada ekspor dengan penyerapan tenaga kerja yang
lebih terampil (sektor skill-intensive). Hal itu menguatkan temuan analisis kinerja
perdagangan bahwa Indonesia belum menjadi lokasi pilihan untuk menjadi
industri yang berorientasi ekspor, tetapi cenderung menjadi pasar yang ditandai
dengan daya saing internal yang lemah dan tipe investasi yang masuk yang lebih
bertujuan memasok permintaan domestik.

Sumber: Rakhman et al (2015)

Gambar 40. Daya Saing Internal dan Eksternal Negara ASEAN5

Tabel 9. Perbandingan Dampak FDI Negara ASEAN


ASEAN–5 FDI Value/Foreign Export Value/Foreign Employment/Foreign
Productivity Ratios Affiliates Affiliates Affiliates
Indonesia USD4.85 USD69.39 809.40

Vietnam USD10.80 USD107.81 896.36

Malaysia USD3.48 USD122.25 388.96

Thailand USD6.10 USD204.24 709.25


Sumber: ITC database

48
4.2 Pelajaran dari Negara Lain

“The right model for industrial policy is not that of an autonomous government
applying Pigovian taxes or subsidies (i.e. lump sum taxes or subsidies), but of
strategic collaboration between the private sector and the government with the aim
of uncovering where the most significant obstacles to restructuring lie and what type
of interventions aremost likely to remove them” (Dani Rodrik, Harvard University,
Industrial Policy in the Twenty First Century).

Dari studi yang dilakukan terhadap transformasi perekonomian beberapa


peer countries, dapat ditarik beberapa benang merah. Model pertumbuhan yang
diadopsi untuk keluar dari lower income country umumnya merupakan
pertumbuhan yang didorong industri manufaktur yang berorientasi ekspor. Untuk
melakukan hal itu, struktur endowment perlu ditingkatkan melalui akumulasi
modal dan peningkatan tenaga kerja. Strategi yang dilakukan berfokus dengan
menjadikan negaranya sebagai basis produksi industri yang efisien dan sebagai
tempat berproduksi ekspor. Pertumbuhan itu dimotori oleh perusahaan swasta
dengan peran pemerintah untuk memfasilitasi kegiatan usaha dan menyediakan
kompetisi yang efektif tanpa menciptakan birokrasi dan mengganggu pasar. Untuk
mencapai hal tersebut, reformasi yang dilakukan berpusat pada keterbukaan
terhadap perdagangan dan investasi, reformasi institusi untuk menciptakan
kondisi yang kondusif bagi investasi dan bisnis, serta reformasi industrial
upgrading bertahap sesuai dengan struktur endowment.

Sebagai gambaran, strategi industri yang telah dilakukan Tiongkok dan


beberapa negara lainnya, seperti Singapura, Korea Selatan, Thailand, Malaysia,
dan Vietnam dibahas dalam penelitian ini. Namun, dalam bab ini hanya dijelaskan
strategi industri Tiongkok sementara negara-negara lainnya dijelaskan pada
lampiran.

4.2.1 Tiongkok

Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, Tiongkok berhasil bertransformasi


dari perekonomian tertutup berbasis sumber daya alam dan agrikultur menjadi
negara dengan PDB riil terbesar di dunia pada tahun 2014 (PDB PPP) yang
berbasis manufaktur dan berorientasi ekspor. Reformasi di Tiongkok meliputi tiga
aspek, yaitu transformasi struktural, liberalisasi ekonomi, dan transisi institusi.

49
Reformasi yang dilakukan pada dasarnya bertujuan untuk mendorong partisipasi
sektor swasta (private sector-led growth).

Strategi reformasi Tiongkok berlangsung secara bertahap dimulai dari isu


sederhana yang bersifat mikro hingga ke isu kompleks yang bersifat makro.
Strategi tersebut terdiri atas (1) reformasi gradual yang berorientasi pasar, (2)
keterbukaan pada perdagangan dan investasi, dan (3) strategi industri yang
bersifat comparative advantage following (CAF). CAF adalah reformasi yang
mengikuti alur learning and innovation untuk mengeksplorasi comparative
advantage.

Gambar 41. Reformasi Tiongkok

Proses reformasi dan keterbukaan terjadi secara bersamaan, saling terkait


dan menguatkan. Strategi pengembangan industri CAF pada dasarnya
menegaskan bahwa suatu negara tidak dapat tumbuh di luar tahapan
pertumbuhannya (struktur endowment yang dimilikinya) atau melakukan ekspor
yang sektornya tidak memiliki comparative advantage.

1. Strategi Industri Tiongkok

Untuk meningkatkan industrinya, strategi Tiongkok adalah meningkatkan


endowment structure. Terdapat dua endowment yaitu modal dan tenaga kerja.
Modal (capital) harus terakumulasi lebih cepat dari pertumbuhan tenaga kerja dan
SDA. Akumulasi modal dapat diperoleh melalui investasi asing dalam bentuk FDI.

50
FDI tidak hanya membawa akses pasar terkait produk dan pesanan, tetapi juga
memungkinkan terjadi transfer teknologi yang mendorong peningkatan struktur
tenaga kerja. Seiring pertumbuhan struktur endowment tersebut, struktur
industri/teknologi juga akan meningkat melalui proses belajar dan akumulasi
pengetahuan. Secara khusus relokasi tenaga kerja dan pertumbuhan human
capital akan tercipta pada sektor ketika harga telah terliberalisasi dan terdapat
comparative advantage. Secara bertahap industrial upgrading Tiongkok berlangsung
seperti paparan berikut.

a. 1986: Transformasi Tiongkok dari eksportir berbasis SDA menjadi eksportir


manufaktur labor intensive yang sesuai dengan comparative advantage
Tiongkok pada waktu itu, yaitu saat ekspor TPT melampaui ekspor minyak
mentah.

b. 1995: Transformasi Tiongkok dari eksportir industri labor intensive menjadi


nontraditional labor intensive, yaitu saat ekspor mesin dan elektronik
melampaui TPT.

c. 2001: Transformasi Tiongkok menjadi eksportir produk baru yang memiliki


kecanggihan tinggi (high tech) yang didorong saat Tiongkok masuk sebagai
anggota WTO.

2. Reformasi institusi yang bertujuan untuk menyediakan kondisi ketika sektor


swasta dapat berproses dengan cepat dengan mengurangi dominasi dan
kontrol pemerintah. Hal itu dilakukan melalui manajemen mikro seperti
mengganti pertanian sifat kolektif menjadi sistem berbasis rumah tangga
(household-responsibility system), melakukan privatisasi terhadap SOE, dan
melonggarkan mekanisme alokasi sumber melalui non–state enterprises-TVE,
serta membuat kebijakan yang bersifat makro seperti merelaksasi kontrol
pemerintah dalam sistem harga komoditas dengan dual track price system,
meliberalisasi harga, dan melakukan relaksasi pada sistem nilai tukar.

3. Kebijakan investasi yang bertujuan mendorong investasi asing masuk untuk


membawa Tiongkok masuk ke pasar internasional, membangun SDM, serta
melakukan transfer ilmu pengetahuan. Strategi yang ditempuh adalah (1)
menyediakan kondisi bagi investor sehingga menjadikan Tiongkok sebagai
basis produksi ekspornya, (2) mendorong pengusaha lokal untuk melakukan
joint venture dengan investor asing dan melakukan ekspor, serta (3)
menjadikan Tiongkok sebagai bagian dari global supply chain dan pusat
manufaktur. Untuk mencapai strategi tersebut, program yang dilakukan

51
adalah (a) menyelaraskan regulasi untuk trade promotion dan preferential
treatment untuk menarik FDI, (b) memberikan otonomi dan tax assignment
system pada pemerintah daerah sehingga mendorong pemda untuk
mereformasi daerahnya agar lebih terbuka pada perdagangan dan investasi, (c)
menyediakan insentif untuk FDI, ekspansi ekspor, dan pertumbuhan sektor
swasta, serta (d) memprioritaskan investasi pada high-tech firms, managerial
know-how, dan talent.

4. Kebijakan peningkatan human capital untuk mendorong pertumbuhan


endowment melalui learning and capital accumulation. Akumulasi kapital
dilakukan dengan kebijakan investasi di atas, sedangkan pertumbuhan human
capital dilakukan dengan berinvestasi pada sektor kesehatan dan pendidikan
(training, pertukaran pelajar, work-study training program, magang/vocational
training di negara lain) serta menyediakan kondisi learning process untuk
sektor swasta dengan melakukan liberalisasi harga dan mendorong relokasi
tenaga kerja dan human capital dari sektor publik ke swasta dan ekspor.

4.3 Strategi Kebijakan Nasional

Berdasarkan hasil analisis daya saing yang dilakukan, kurang optimalnya


kinerja perdagangan Indonesia berasal dari adanya berbagai permasalahan pada
faktor enablers (antara lain, SDM dan ketenagakerjaan), akses pasar, logistik dan
infrastruktur, serta kurangnya skema insentif. Untuk menjawab berbagai
tantangan tersebut, dilakukan formulasi strategi dengan menggunakan kerangka
pikir seperti pada Gambar 42. Untuk mencapai sasaran akhir yang berupa
kesejahteraan sosial dan stabilitas makroekonomi, diperlukan peningkatan daya
saing ekonomi melalui upgrading dan deepening industri, penciptaan nilai tambah,
serta berorientasi ekspor. Industri yang dimaksud adalah seluruh industri secara
umum, baik yang berbasis SDA, padat karya, teknologi menengah ataupun
teknologi tinggi. Untuk itu, diperlukan strategi kebijakan industri nasional yang
mencakup tujuh elemen dasar, yaitu (1) institusi dan leadership; (2) skema insentif
perdagangan dan investasi; (3) SDM dan ketenagakerjaan; (4) infrastruktur; (5)
efisiensi teknis dan business services; (6) akses pembiayaan; serta (7) akses pasar.

52
Gambar 42. Kerangka Strategi Kebijakan Industri Nasional

4.3.1 Institusi dan Leadership

Aspek institusi dan leadership menjadi aspek sentral yang akan


memengaruhi efektivitas implementasi strategi secara umum karena
kemampuannya dalam memengaruhi implementasi strategi pada kategori lain.

a. Koordinasi (antarsektor, pusat-daerah)


Diperlukan penguatan fungsi koordinasi antarsektor dan antardaerah
yang mencakup kelembagaan, sinkronisasi KPI (key performance indicators)
institusi, dan organisasi yang sejalan dengan pembangunan industri berdaya
saing. Selain itu, juga diperlukan sinergi perencanaan dan pengendalian
kebijakan, regulasi, anggaran, dan pengembangan wilayah (RTRW).

b. Trust dan collective actions


Beberapa hal yang perlu dilakukan ialah (1) penyamaan visi dan persepsi
segenap elemen dalam mendukung pembangunan nasional; (2) karakter
leadership yang membangun kepercayaan publik serta mendorong kinerja
aparat yang akuntabel dan kredibel; serta(3) penegakan hukum yang adil dan
konsisten.

c. Efektivitas manajemen pemerintahan dan tata kelola


Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan efektivitas
manajemen pemerintahan dan tata kelola, antara lain (1) penyederhanaan

53
birokrasi (debirokratisasi); (2) penempatan pejabat yang lebih berdasarkan pada
kompetensi; (3) manajemen pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan
publik yang bersih dan tata kelola; (4) membangun mekanisme umpan balik
masyarakat; (5) kemitraan pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam
perumusan kebijakan publik dan kerja sama pembangunan (a.l. kerja sama
antara pemerintah dan swasta dalam pembangunan infrastruktur); serta (6)
pelayanan publik yang mendukung industri (call center, resource sharing, dan
konsultasi publik).

4.3.2 Skema Insentif Trade and Investment

a. Promosi Ekspor
Untuk memperbaiki promosi ekspor, diperlukan revitalisasi peran
Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) sebagai marketer yang dikelola secara
profesional. Selain itu, diperlukan promosi dagang yang lebih intensif dan
permanen, antara lain dengan pembukaan outlet di ruang publik.

b. Fasilitasi Investasi
Selain penguatan koordinasi institusi (BKPM dan BKPMD), peningkatan
fasilitasi investasi juga dapat dilakukan dengan integrasi pelayanan terpadu
satu pintu (PTSP) pusat dan daerah sehingga terdapat standar yang sama
dalam pelayanan perizinan.

c. Kawasan industri
Dalam pembangunan kawasan industri, terdapat dua hal yang patut
diperhatikan, yaitu (1) pembangunan kawasan industri di luar Pulau Jawa
berorientasi pada bisnis dan pemerataan (KEK); (2) penyediaan lahan oleh
pemerintah untuk pengembangan kawasan industri (Kawasan Berikat
Nusantara/KBN) yang terintegrasi dengan dukungan konektivitas dan
infrastruktur.

d. Insentif fiskal
Beberapa insentif fiskal dapat dilakukan untuk mendorong perdagangan
dan investasi, antara lain berupa (1) penerapan insentif perpajakan bagi
industri berorientasi ekspor; (2) penghilangan hambatan kebijakan perpajakan
yg memperberat industri; dan (3) penyelesaian restitusi pajak yang lebih cepat
dan efisien.

54
e. Lingkungan makroekonomi yang kondusif
Diperlukan upaya pengendalian inflasi secara lebih intensif dan
menyeluruh. Selain itu, kestabilan nilai tukar rupiah perlu dijaga dengan
bauran kebijakan.

4.3.3 SDM dan Ketenagakerjaan

Beberapa hal yang dapat direkomendasikan kepada pemerintah terkait


tenaga keraja antara lain adalah sebagai berikut.

a. Penyempurnaan sistem pendidikan nasional (link and match)


Beberapa upaya dapat dilakukan untuk meningkatkan sistem
pendidikan, antara lain ialah (i) melakukan kebjakan pro dan insentif yang
tinggi untuk menjadi tenaga terampil (tamatan nonuniversitas), misalnya
dengan gratis biaya pendidikan D1, D2, D3 di bidang teknik; (ii) membangun
paradigma positif terhadap tenaga kerja terampil; (iii) mengarahkan talent
pooling mulai dari SMA/sederajat; (iv) mendorong hubungan universitas-
industri dengan adopsi kurikulum yang aplikatif dengan kebutuhan industri,
termasuk magang; (v) menyediakan beasiswa pascasarjana untuk
pengembangan studi terkait industri strategis (prioritas); (vi) meningkatkan
kualitas pengajar dan laboratorium dan fasilitas riset sesuai dengan kebutuhan
pengembangan industri daerah; serta (vii) mempermudah izin utk pendirian
universitas asing yang berkualitas internasional, khususnya pada science,
technology, math, and health (STEM–H).
b. Ketrampilan dan produktivitas pekerja
Keterampilan dan produktivitas pekerja dapat ditingkatkan, antara lain,
melalui (1) revitalisasi balai pelatihan tenaga kerja (mencakup kurikulum,
pengajar, dan fasilitas); (2) industri dipersyaratkan untuk mengalokasikan
anggaran bagi pelatihan karyawan; (3) peningkatan peran aktif industri/swasta
dalam mempersiapkan tenaga kerja yang terampil dan siap kerja melalui
program apprentice; (4) standardisasi kompetensi kerja nasional Indonesia
untuk industri dan jasa pendukung (transportasi, logistik, dan lain-lain); serta
(5) upaya mendorong karyawan meningkatkan kemampuan bahasa Inggris
aktif.
c. Kebijakan ketenagakerjaan
Kebijakan yang dapat dilakukan, antara lain adalah (1) pemberian
insentif bagi industri yang mengalokasikan anggaran untuk peningkatan

55
keahlian tenaga kerja; (2) pendirian serikat buruh harus mendapat izin formal
dari pemerintah pusat dan daerah; dan (3) regulasi khusus yang
mempermudah pengadaan tenaga kerja asing (TKA) di bidang industri dengan
jangka waktu tertentu.

4.3.4 Infrastruktur

Tingginya biaya logistik yang diperkirakan mencapai 24% PDB (ALFI, 2015)
dan rendahnya Logistics Performance Index Indonesia di ASEAN-5 memengaruhi
lemahnya daya saing Indonesia. Dari perspektif Global Value Chain, besarnya biaya
logistik di Indonesia mengakibatkan Indonesia kurang efisien untuk dipilih sebagai
lokasi offshoring dan hub dalam produksi global. Oleh karena itu, Indonesia
cenderung dipilih hanya sebagai pasar untuk produk akhir. Hal ini perlu ditangani
melalui berbagai kebijakan mikro untuk memperbaiki kinerja logistik dan fasilitasi
perdagangan. Reformasi infrastruktur menjadi salah satu solusi untuk
memperbaiki kinerja logistik.

a. Konektivitas (jalan, logistik, pelabuhan, dan customs)


Perbaikan konektivitas dapat ditempuh, antara lain, dengan (1)
pengalihan logistik dari jalan darat ke kereta dan angkutan laut (short sea
shipping) dengan menambah jumlah stasiun dan pelabuhan; (2) peningkatan
akses jalan dari kawasan industri ke pelabuhan untuk mempercepat waktu
tempuh dan menurunkan biaya transportasi; (3) pembangunan infrastruktur
(antara lain trans Java highway, perbaikan jalan, aerocity, logistics center,
fasilitas kargo udara, pengembangan kawasan pelabuhan, dan broadband);
serta (4) sistem informasi antarpenyedia logistik yang terintegrasi.

b. Energi dan utilitas


Untuk mendukung industri, diperlukan (1) kebijakan energi yang
mendukung peningkatan daya saing industri; dan (2) dukungan utilitas yang
sustainable.

c. Kebijakan fiskal bidang logistik


Kebijakan fiskal bidang logistik mencakupi (1) insentif perpajakan bagi
penyedia jasa logistik domestik yang mendukung industri ekspor; dan (2)
peningkatan moda transportasi logistik (kereta api dan kapal laut).

d. Regulasi pendukung
Regulasi pendukung terutama meliputi (1) penguatan status hukum
transportasi dan logistik dari Perpres No. 26 Tahun 2012 tentang Sislognas

56
menjadi UU Logistik. Dengan status dan kedudukan hukum setingkat UU,
regulasi yang mengatur aktivitas logistik akan mengarah pada sinkronisasi
dan harmonisasi hukum. Dengan demikian, stakeholder terkait akan memiliki
acuan pada saat menyusun peraturan-perundangan di bawahnya, baik di
tingkat pusat maupun daerah. Pembentukan UU Logistik akan membuat
aktivitas bisnis logistik melalui berbagai kelembagaan akan lebih memperoleh
kepastian hukum; (2) koordinasi antarsektor dalam pemeriksaan barang
impor; dan (3) Penerapan cash less payment untuk pengurusan customs
clearance.

4.3.5 Efisiensi Teknis dan Business Services

a. Technological improvement
Untuk mengembangkan teknologi, hal yang perlu dilakukan ialah (1)
revitalisasi mesin yang digunakan oleh industri; (2) adopsi/modifikasi dan
penciptaan teknologi baru yang difasilitasi oleh pemerintah.

b. R&D dan inovasi


Untuk mendorong terciptanya proses research and development (RD) dan
inovasi, perlu dilakukan, antara lain (1) pendirian fasilitas RD oleh pemerintah
untuk dapat digunakan publik; (2) pemerintah (kemenristek) menyediakan
sistem informasi riset yang terintegrasi dari seluruh instansi (termasuk
universitas dan swasta); (3) insentif bagi instansi untuk pemanfaatan dan
pengembangan hasil riset oleh user (industri); (4) insentif fiskal bagi
perusahaan dengan alokasi anggaran research and development tinggi; serta (5)
dorongan bagi kalangan usaha dan industri untuk pengembangan networking
untuk inovasi dan adopsi teknologi.

c. Business services
Di sisi lain untuk peningkatan efisiensi teknis, perlu dikeluarkan
kebijakan untuk mendorong/memberikan insentif bagi peningkatan business
service provider (a.l. supply chain, marketing, dan accounting, dan lain–lain).

d. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)


Aspek terkait HAKI tidak terlepas dari pencapaian efisiensi teknis.
Untuk itu, kebijakan yang ada perlu mempermudah perolehan atas hak cipta/
paten serta dalam tatanan implementasi secara umum perlu dilakukan
penegakan hukum yang tegas atas pelanggaran HAKI.

57
4.3.6 Akses Pembiayaan

a. Akses pembiayaan dan financial inclusion

Peningkatan akses pembiayaan dapat dilakukan, antara lain, melalui (1)


penguatan lembaga pembiayaan ekspor; (2) penyediaan skema pembiayaan
khusus untuk industri yang berorientasi ekspor; dan (3) peningkatan akses
pembiayaan bagi industri daerah yang strategis.

b. Modal ventura

Terkait modal ventura, perlu dibangun awareness (social responsibility)


bagi industri besar yang sukses untuk mengembangkan industri pemula,
antara lain, melalui pembiayaan ekuitas. Selain itu, kebijakan hendaknya
mengurangi hambatan masuknya modal ventura asing untuk meningkatkan
alternatif pendanaan.

c. Sumber pembiayaan jangka panjang

Sebagai sumber pembiayaan jangka panjang, industri perlu didorong


untuk masuk ke pasar modal dan obligasi.

4.3.7 Akses Pasar

a. Keikutsertaan pada trade agreement (TA) harus dilakukan secara strategis


1) Perlunya grand strategy dan positioning Indonesia terhadap TA
Kerja sama perdagangan (TA) berguna untuk memfasilitasi
perusahaan agar lebih kompetitif di pasar yang lebih besar, menarik FDI,
7
dan mendorong industrial upgrading (Laksono dan Situmorang, 2014). TA
juga dapat menjadi sarana untuk mengeliminasi tarif dan relaksasi non-
tariff measures. Hal itu akan menyebabkan harga input lebih murah (bahan
mentah dan capital goods) dan pengembangan akses pasar untuk ekspor
Indonesia lebih mudah.
Jika dibandingkan dengan negara di kawasan ASEAN, kerja sama
perdagangan Indonesia relatif tertinggal, baik dalam regional trading
(Gambar 43) maupun bilateral trading (Tabel 10). FTA Indonesia sebagian
besar dilakukan dalam regional trading system ASEAN dengan bilateral FTA
hanya dengan Jepang dan Pakistan (berbentuk PTA). Dalam mega block

7Uni Eropa menerapkan tarif yang lebih besar untuk barang jadi dibandingkan dengan
bahan mentah yang berimplikasi mengurangi insentif untuk melakukan industrial
upgrading.

58
trading, Indonesia sedang melakukan negosiasi regional comprehensive
economic partnership (RCEP) yang juga diikuti negara ASEAN lainnya.
Tabel 10. Trade Agreement Negara ASEAN
Mitra Indonesia Filipina Thailand Malaysia Vietnam

ASEAN AFTA, ACFTA–Tiongkok, AKFTA–Korea, AJCEP– Jepang, AIFTA–


India, AANZFTA– Australia New Zeland, dan RECP (dalam proses
yang terdiri dari 10 ASEAN member states, Australia, Tiongkok,
India, Jepang, Korea, dan New Zealand)

Jepang √ √ √ √ √

Pakistan √ √

Australia Konsultasi √ √

Chile JSG** √ √ √

India Akan √
negosiasi

New √ √
Zealand

Turki JSG √

Korea Perundingan √
berhenti

Eropa Wacana √ √ √

Peru √

Tiongkok √

Tunisia, JSG
Mesir

TPP √ √ √

*) Tidak tersedia informasi **) Joint Study Group

59
Gambar 43. Kerjasama Perdagangan Mega Block Trading

2) Kolaborasi strategis antara pemerintah dan pengusaha dalam proses FTA


Agar FTA dapat memberikan manfaat yang optimal, penyusunan
FTA harus dilakukan bersama dengan pengusaha. Hasil FGD dengan
pelaku usaha mengonfirmasi bahwa dukungan akses pasar Indonesia
belum cukup memadai, terutama pada beberapa negara besar tujuan
ekspor (contoh Eropa dan Amerika Serikat) khususnya bagi sektor yg cost
sensitive seperti TPT, cocoa dan lainnya. Untuk pasar Eropa saat ini
produk tekstil Indonesia masih menikmati skema generalised scheme of
preferences (GSP 8 ) walaupun akan segera berakhir pada tahun 2017.
Tanpa GSP harga produk Indonesia akan lebih tinggi 10%–30%.

Selain dari sisi tarif, FTA juga dapat menjadi media untuk
pengurangan dan streamlining non-tariff barriers (NTB) yang dihadapi
produk ekspor Indonesia. Produk ekspor Indonesia, baik dalam pertanian
maupun manufaktur menghadapi NTB yg “berat” di pasar. Laksono dan
Situmorang (2014) menyebutkan bahwa NTB yang dihadapi bersifat ketat,
inkonsisten, tidak transparan, dan cenderung tidak terstandardisasi.
Contoh NTB di pasar Eropa adalah pada rotan (legalitas), palm oil

8Dengan Amerika Serikat, Indonesia memiliki GSP untuk beberapa produk manufaktur,
perhiasan, karpet, produk pertanian, kimia, dan produk plastik serta karet.

60
(standardisasi, lingkungan hidup), dan tembakau. Sektor makanan dan
minuman juga menghadapi tantangan terkait metode higienis dan sanitasi
dalam menembus pasar ekspor global serta standardisasi di pasar ASEAN
(GAPMMI, 2015). FTA dapat menjadi salah satu media untuk mencapai
kesepakatan dengan pasar terkait standar, sertifikasi, testing, dan
transparansi informasi, selain peningkatan kapasitas industri Indonesia.

3) Melakukan diseminasi manfaat FTA terhadap pengusaha

Pemanfaatan fasilitas FTA oleh pengusaha juga masih rendah.


Sesuai dengan kajian DInt (2015), meskipun tarif ATIGA sudah rendah
(terutama utk ASEAN6), utilisasinya masih rendah. Hal itu dapat
disebabkan oleh rendahnya pemahaman atas FTA dan rendahnya margin
preference dan prosedur utilisasi tarif ATIGA yang kompleks (costly).

b. Sertifikasi/Standardisasi
Penetapan standar nasional yang sesuai dengan standar internasional
serta penguatan infrastruktur standardisasi Indonesia, antara lain, berupa
laboratorium uji berstandar internasional.

c. Sistem informasi/repository
Pembangunan dan updating sistem informasi mengenai FTA yang
lengkap, transparan, dan dapat diakses dengan mudah.

d. Perluasan pasar dan sistem


Perluasan pasar ekspor nonkonvensional serta mendorong eksportir
untuk mengoptimalisasi sistem pengiriman barang dari free on board (FOB) ke
cost, insurance, and freight (CIF).

Sementara itu, terkait strategi substitusi impor dan bagaimana paket


kebijakan industri saat ini terkait strategi di atas karena tidak terlalu terkait
dengan pembahasan dalam riset ini, secara khusus dapat dilihat pada lampiran.

Menurut jangka waktu (timing) penerapan, strategi nasional dapat dibagi


menjadi jangka pendek, jangka menengah, serta jangka panjang. Detil atas hal ini
dijelaskan lebih lanjut pada Gambar 44.

61
JANGKA PENDEK

Faktor Institusi dan Leadership

Debirokratisasi, Penempatan sesuai kompetensi, Manajemen pemerintahan serta


mekanisme umpan balik

SDM dan ketenagakerjaan

Gratis pendidikan D1/D2/D3 (teknik), talent pool–ing mulai dari SMA, Insentif training
untuk industri, Merger serikat buruh, Regulasi khusus TKA

Skema insentif trade & investment

Revitalisasi peran ITPC (Indonesia Trade Promotion Center), insentif perpajakan untuk
industri ekspor, Menghilangkan hambatan perpajakan, restitusi pajak yang efisien

JANGKA MENENGAH
Faktor Institusi dan Leadership
Penyamaan visi/persepsi, leadership, Penegakan hukum, Sinergi (antar sektor, antar
daerah, perencanaan–pengendalian, Kemitraan dengan swasta & masyarakat
SDM dan ketenagakerjaan
Kurikulum beasiswa, pengajar & fasilitas riset–sains aplikatif untuk industri, izin utk
universitas asing, Alokasi anggaran training, Standarisasi kompetensi kerja
Skema insentif trade & investment
Promosi dagang intensif dan permanen, Integrasi institusi (BKPM–BKPMD, PTSP Pusat–
daerah, lahan yg terintegrasi dengan infrastruktur, Integrasi daerah hulu–hilir, Bauran
kebijakan untuk stabilitas makro
Infrastruktur
Akses jalan kawasan industri, Sistem informasi logistik, utilitas yang sustainable,
Koordinasi dalam barang impor
Technical efficiency
Revitalisasi mesin, fasilitas R&D untuk publik, sistem informasi riset, Insentif fiskal
untuk R&D, pengembangan networking, insentif pendirian business service provider,
Mempermudah hak cipta /paten, Penegakan hukum
Akses pembiayaan
Social responsibility bagi industri besar untuk industri pemula, industri untuk masuk
ke pasar modal dan obligasi
Akses pasar
Grand strategy FTA, Kolaborasi pemerintah–pengusaha, standar nasional=internasional,
infrastruktur standarisasi

JANGKA PANJANG
Infrastruktur
Pengalihan logistik ke kereta dan angkutan laut, Pembangunan infrastruktur,
Peningkatan moda transportasi logistik
Akses pasar
Perluasan pasar ekspor, Optimalisasi eksportir untuk CIF (cost, insurance & freight)

Gambar 44. Timeline Penerapan Strategi Nasional

62
V. SIMPULAN

Adapun kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Hasil analisis kinerja perdagangan menunjukkan bahwa ekspor Indonesia


memiliki permasalahan dalam keempat dimensinya (extensive, intensive, quality
dan sustanaibility). Ekspor Indonesia cenderung mengalami kemunduran dari
seluruh aspek, terutama dari sisi kualitas yang saat ini berbasis pada resource
based dengan nilai tambah yang rendah serta intensitasyang semakin menurun.
Jika dibandingkan dengan negara kawasan, kinerja ekspor Indonesia tertinggal
dari Malaysia dan Thailand. Sementara itu, Vietnam mencapai peningkatan
kinerja yang signifikan dalam satu dekade terakhir.

2. Diagnostik daya saing mengidentifikasi permasalahan melemahnya daya saing


Indonesia yang terutama bersumber dari tenaga kerja (skill set), tidak
kondusifnya lingkungan bisnis, dan rumitnya birokrasi terkait kebijakan dan
institusi domestik, biaya produksi dan logistik yang tinggi, serta lemahnya
market access (nonitariff measures dan FTA).

3. Hasil FGD mengonfirmasikan temuan dari Competitiveness Diagnostics yang


menjadi perhatian utama dunia usaha adalah regulasi dan kebijakan
pemerintah, kemampuan SDM, infrastruktur dan logistik, serta koordinasi dan
aksi kolektif.

4. Berdasarkan permasalahan pada kinerja ekspor Indonesia, diindikasikan


industri Indonesia yang cenderung bersifat domestik (inward looking). Hal itu
sejalan dengan temuan analisis triangular trade (analisis keterkaitan nilai
tambah/value added linkages). Tiga negara yang paling kompetitif di antara
ASEAN-5 dalam rantai nilai global adalah Thailand, Malaysia, dan Singapura.
Malaysia dan Singapura memiliki kapabilitas ekspor yang tertinggi dalam
memproses foreign value added (FVA), atau memiliki produktivitas impor yang
tinggi (kemampuan mengekspor setelah mengimpor tinggi). Kemampuan
Indonesia terlibat dalam salah satu aktvitas di rantai nilai global akan lebih
banyak ditentukan oleh kemampuan daya saing Indonesia untuk menjadi
location of choice pada berbagai tahapan produksi. Analisis FDI menunjukkan
bahwa FDI di Indonesia bersifat mendorong penyerapan tenaga kerja dan
memasok permintaan domestik.

63
5. Studi terhadap strategi negara lain dalam mengembangkan industrinya
menunjukkan model pertumbuhan yang diadopsi saat bertransformasi dari
lower income country ke middle income country umumnya menggunakan strategi
pertumbuhan dengan tulang punggungnya adalah industri manufaktur
berorientasi ekspor. Kebijakan industri yang dilakukan adalah kebijakan yang
meningkatkan struktur endowment melalui akumulasi modal via investasi asing,
dan peningkatan human capital. Strategi yang ditempuh difokuskan pada
menjadikan negaranya sebagai basis produksi industri yang efisien yang
berorientasi ekspor. Pertumbuhan ekonomi dimotori oleh perusahaan swasta
dengan peran pemerintah sebagai fasilitator bagi kegiatan usaha dan
penyediaan kompetisi yang efektif tanpa menciptakan birokrasi berlebih dan
seminimal mungkin mengganggu mekanisme pasar. Untuk mencapai hal
tersebut, strategi yang ditempuh pada umumnya adalah melalui keterbukaan
terhadap perdagangan dan investasi, reformasi institusi untuk menciptakan
kondisi yang kondusif bagi investasi dan bisnis serta melakukan industrial
upgrading bertahap sesuai dengan endowment structure yang dimilikinya.

Berdasarkan hasil studi tersebut dapat direkomendasikan untuk agenda


penelitian terkait ke depan, yaitu sebagai berikut.

1. Penelitian analisis daya saing dan ketersediaan services pendukung


manufaktur (antara lain: jasa logistik, ICT services, dll).

2. Dengan lingkungan geografis kepulauan dan perbedaan gap pertumbuhan


antar daerah yang relatif tinggi, diperlukan penelitian terkait kebijakan industri
yang juga melihat aspek spasial dan local competitive advantage yang dimiliki
berbagai daerah di Indonesia.

3. Dengan mayoritas pola kehidupan masyarakatnya adalah agraris, diperlukan


penelitian terkait kebijakan pengembangan industri yang dikaitkan dengan
upaya mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan bagi beberapa komoditas
strategis tertentu. Membangun linkages industri bagi komoditas–komoditas
srategis tersebut akan membuka peluang yang lebih besar bagi tumbuhnya
agroindustri yang memanfaatkan komoditas dimaksud.

64
DAFTAR PUSTAKA

Anggara, Sondang, 2014. ASEAN Economic Community 2015: Kesiapan Nasional


dalam Liberalisasi Perdagangan Barang dan Jasa dalam AEC 2015.
Anglingkusumo, R., Anugrah, D. F., Fridayanti, Y. dan Hendharto, H. S. (2014).
Perubahan Struktural dalam Perekonomian Global dan Dampaknya pada
Perekonomian Indonesia melalui Jalur Perdagangan. Working Paper No.
LHP/4/DKEM/2014, Bank Indonesia.
Bank Indonesia, 2014. Progress, Challenges, And Opportunities of the AEC 2015:
Indonesia’s Perspective. Presented on Indonesian Scholars International
Convention 2014 , Oxford, 25–26 October 2014.
Bosch, Peter et al, 2012. The Future of Manufacturing Opportunities to drive
economic growth A World Economic Forum Report in collaboration with
Deloitte Touche Tohmatsu Limited.
Cahyadi, G., Kursten, B., Weiss, M., Yang, G., “Singapore’s Economic
Transformation”, Global Urban Development Singapore Metropolitan
Economic Strategy Report, June 2004.
Chin, Vincent, Michael Meyer, Evelyn Tan, and Bernd Waltermann, 2014. Winning
in ASEAN How Companies Are Preparing for Economic Integration. Part of the
Winning with Growth series #bcgGrowth.
Civil Service College (CSS), “Trade Facilitation & Internationalisation”, March 2015,
Singapore.
Das, Sanchita Basu et al, 2013. The ASEAN Economic Community a Work in
Progress: Asian Development Bank.
Deloitte, 2014. The ABC of AEC to 2015 and beyond. Deloitte.
Departemen Perdagangan, 2011. Menuju ASEAN Economic Community 2015.
Farole, T. And Winkler, D., “Export Competitiveness in Indonesia’s Manufacturing
Sector”, The World Economic Forum, 2012.
Goh, A.L., “Towards an Innovation–Driven Economy through Industrial Policy–
Making: An Evolutionary Analysis of Singapore”, The Innovation Journal: The
Public Sector Innovation Journal, Volume 10(3), article 34, 2011.
Hatzichronoglou, T. (1997), “Revision of the High Technology Sector and Product
Classification”, OECD Science, Technology and Industry Working Papers,
1997/02, OECD Publishing.
Hausmann, R., J. Hwang, and D. Rodrik. 2007. “What You Export Matters.”
Journal of Economic Growth, Vol. 12, No. 1, pp. 1–25.
Hidalgo, C. A., Klinger, B., Barabasi, A. L., dan Hausmann, R. (2007). “The Product
Space Conditions the Development of Nations”, Science, Vol. 317 no.
5837 pp. 482–487.

65
Hosono, Akio (2013), “Industrial Strategy and Economic Transformation: Lessons of
Five Outstanding Cases”, Working paper prepared for JICA/IPD Africa Task
Force Meeting
Jin, N.K., “Singapore as a Financial Center: New Developments, Challenges, and
Prospect” in Financial Deregulation and Integration in East Asia, NBER–EASE,
Ed. by Ito, T. And Krueger, A.O., University of Chicago Press, January 1996,
http://www.nber.org/chapters/c8569
JWT, 2013. ASEAN Consumer Report.
Keliat, Makmur et. Al, 2013. Pemetaan Pekerja Terampil Indonesia dan Liberalisasi
Jasa ASEAN. ASEAN Study Center UI dan Kementerian Luar Negeri RI.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2015. Dampak ASEAN Economic
Community (AEC) terhadap Perekonomian & Perumusan Strategi Nasional
dalam Persiapan Menghadapi AEC.
Kohpaiboon, A. and N. Yamashita (2011), ‘FTAs and the Supply Chain in the Thai
Automotive Industry’, in Findlay, C. (ed.), ASEAN+1 FTAs and Global Value
Chains in East Asia. ERIA Research Project Report 2010–29, Jakarta: ERIA.
pp.321–362.
Lall, Sanjaya (2000), “The Technological Structure and Performance of Developing
Country Manufactured Exports, 1985–1998”. QEH Working Paper Series,
QEHWPS44.
Laksono, Riandy dan Rosa Situmorang, 2014. In Facing the Indonesia–European
Union Comprehensive Economic Partnership Agreement: Perspective from
Indonesia’s Business Sector. APINDO Policy Series Vol. P.001/DPN–EUKAJ–
I/2014.
Lin, Justin Yifu and Yan Wang, 2008. Tiongkok’s Integration with the World
Development as a Process of Learning and Industrial Upgrading. The World
Bank WPS4799.
Lin, J.Y. and Treichel, V., “Making Industrial Policy Work for Development” in
Transforming Economies: Making Industrial Policy Work for Growth, Jobs and
Development, edited by Xirinachs, J.M, Nubler, I. and Wright R.K.,
International Labour Organization, Mei 2014.
Menon, S.V., “Governance, Leadership and Economic Growth in Singapore”, MPRA,
ICFAI Business School, Ahmedabad, August 2007.
Milberg, W., Jiang, X. And Gereffi, G., “Industrial Policy in the Era of Vertically
Specialized Industrialization” in Transforming Economies: Making Industrial
Policy Work for Growth, Jobs and Development, edited by Xirinachs, J.M,
Nubler, I. and Wright R.K., International Labour Organization, Mei 2014.
National Economic Advisory Council, 2010. New Economic Model for Malaysia.
Neng, W.W., “Pursuing Prosperity, Making a Living: Singapore’s Economic
Institutions and the Pursuit of Economic Development”, Civil Service College,
2015.

66
Nubler, I., “A Theory of Capabilities for Productive Transformation: Learning to
Catch Up”, in Transforming Economies: Making Industrial Policy Work for
Growth, Jobs and Development, edited by Xirinachs, J.M, Nubler, I. and
Wright R.K., International Labour Organization, Mei 2014.
Nugroho, M. Noor dan Yanfitri, 2011. Potensi Dampak Pembentukan Pasar Tunggal
ASEAN terhadap Perekonomian Indonesia: OP
OECD, 2013. OECD Investment Policy Reviews: Malaysia 2013.
Patunru, Arianto A. dan Sjamsu Rahardja (2015), Trade protectionism in
Indonesia: Bad times and bad policy. Lowy Institute for International Policy.
Rakhman, R. N., R. Khasananda, H. Werdaningtyas, G. Wicaksono, R.
Anglingkusumo (2015), Analisa Triangular Trade dan Rantai Nilai di Asia
dengan Fokus pada Indonesia sebagai Masukan dalam Penyusunan Strategi
Nasional Indonesia di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Bank Indonesia.
Reis, José Guilherme dan Thomas Farole (2012), Trade competitiveness diagnostic
toolkit. Washington D.C.: The World Bank.
Robinson, J.A., “Industrial Policy and Development”, Harvard University,
Department of Government and IQSS, May 2009.
Rodrik, D., “Growth Strategies”, Harvard University, John F. Kennedy School of
Government, August 2004.
Warr, Peter (2011), Thailand’s Development Strategy and Growth Performance.
Working Paper No. 2011/02, UNU–WIDER.
World Economic Forum Report, “The Future of Manufacturing: Opportunities to
Drive Economic Growth”, in collaboration with Deloitte Touche Thmatsu Ltd.,
2012.
World Investment Report, 2012. Global Value Chains: Investment and Trade for
Development.
Yue, C.S., “Singapore Model of Industrial Policy – Past and Present”, Second LAEBA
Annual Meeting, Buenos Aires, Argentina, November 28–29, 2005.
Zhu, T., “Rethinking Import–substituting Industrialization: Development Strategies
and Institutions in Taiwan and Tiongkok”, Research Paper No.2006/76, UNU–
WIDER, July 2006.

67
Box 1. Summary Paket Kebijakan Ekonomi Tahun 2015

Serangkaian paket kebijakan (I s.d. VIII) dikeluarkan sejak awal September


2015 dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan
daya saing industri nasional dan perbaikan iklim investasi di dalam negeri. Paket–
paket kebijakan itu secara ringkas disajikan sebagai berikut.

1. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid I dikeluarkan untuk mendorong kemudahan


investasi, efisiensi industri, kelancaran perdagangan dan logistik, serta
kepastian bahan baku dalam negeri
2. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid II dimaksudkan untuk meningkatkan investasi
berupa deregulasi dan debirokratisasi peraturan untuk mempermudah
investasi, baik PMDN maupun PMA. Langkah–langkah yang ditempuh lebih
konkrit agar dapat langsung diimplementasikan, antara lain layanan investasi
3 jam, pengurusan yang lebih cepat terhadap tax allowance dan tax holiday,
penghapusan PPN transportasi, insentif di kawasan pusat logistik berikat,
pengurangan pajak deposito, dan perampingan izin kehutanan.
3. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid III ditujukan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi melalui penurunan harga bahan bakar untuk
peningkatan daya beli, penurunan harga bahan bakar industri untuk
peningkatan daya saing, perluasan wirausaha penerima KUR, serta
penyederhanaan izin pertanahan.
4. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid IV dimaksudkan untuk menjaga daya beli
masyarakat melalui formulasi upah buruh untuk peningkatan kesejahteraan
pekerja dan pemberian kredit modal kerja untuk UKM dalam rangka
mendorong ekspor serta perluasan kebijakan KUR.
5. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid V dimaksudkan untuk lebih mendorong
pertumbuhan ekonomi melalui pemberian insentif pajak untuk revaluasi aset,
penghapusan pajak berganda untuk real estate, properti dan infrastruktur,
dan deregulasi perbankan syariah.
6. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VI dilakukan melalui pemberian insentif berupa
tax allowance dan tax holiday untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK),
kepastian izin bagi investor di bidang pengelolaan sumber daya air, serta
penyederhanaan izin obat dan bahan bakunya.
7. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VII yang memberikan keringanan untuk
industri padat karya, termasuk di dalamnya keringanan pengenaan PPh Pasal
68
21 bagi karyawan perusahaan s.d. penghasilan 50 juta rupiah per tahun yang
lebih 50% produknya dieskpor.
8. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VIII yang pada saat penulisan laporan ini masih
baru berupa rencana yang akan diarahkan bagi peningkatan kualitas produk
menghadapi daya saing pada Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Secara umum apabila semua paket kebijakan itu dapat terlaksana dengan
baik segera dan sesuai dengan harapan, paket kebijakan tersebut akan sangat
bermanfaat dalam meningkatkan daya saing Indonesia dan memicu pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan. Namun, konteks paket kebijakan
lebih bersifat jangka pendek dan hulu (dalam rangkaian proses membuka usaha)
sehingga masih perlu dilengkapi dengan kebijakan lainnya yang bersifat jangka
panjang dan lebih bersifat hilir.

Paket kebijakan tersebut berpotensi untuk meningkatkan konsumsi,


memperbaiki iklim investasi, dan mendorong pengadaan infrastruktur.
Peningkatan konsumsi dapat tercapai melalui penurunan harga bahan bakar dan
kebijakan peningkatan kesejahteraan pekerja (penentuan upah minimum dan
harga rumah/rusunami untuk buruh). Peningkatan investasi dapat terjadi melalui
prosedur investasi yang semakin cepat, kepastian bahan baku industri,
kemudahan perizinan, insentif penempatan dana di dalam negeri, penurunan
bunga KUR, insentif revaluasi aset, insentif KEK, dan penyederhanaan impor
bahan baku obat. Infrastruktur sendiri dapat didorong melalui penghapusan PPN
alat transportasi, penghilangan pajak berganda dana investasi real estate, properti
dan infrastruktur, serta jaminan hukum bagi investor pengelola sumber daya air.
Selain itu, pembangunan kawasan logistik berikat diharapkan dapat
mempermudah proses distribusi barang, baik dari sisi input maupun output-nya.
Namun, semua kebijakan dimaksud tidak akan efektif apabila tidak dapat
dilaksanakan secara efektif dan efisien. Untuk itu, dibutuhkan perangkat
pelaksana yang tidak saja trampil, tetapi juga punya integritas, bertanggung jawab
dan berkinerja tinggi. Pengelolaan SDM untuk memenuhi hal tersebut menjadi
suatu keharusan di samping prinsip-prinsip leadership yang berintegritas dan
bertanggungjawab yang sangat diperlukan pada semua lapisan birokrasi
pemerintah.

69
Gambar 45. Ringkasan Analisis Daya Saing Industri Indonesia

Gambar 45 menjelaskan secara ringkas Analsis Daya Saing Industri


Indonesia dalam riset ini. Berdasarkan hal itu, dapat dilihat bahwa paket
kebijakan telah menyentuh beberapa aspek yang memengaruhi daya saing
(misalnya dari sisi infrastruktur, insentif investasi pada industri yang padat modal
dan bernilai tambah, serta kebijakan pengupahan). Namun, masih banyak yang
dapat dilakukan khususnya untuk perspektif jangka panjang, seperti
pengembangan SDM dan yang bersifat hilir seperti masalah lahan untuk industri.
Secara ringkas beberapa usulan rekomendasi kebijakan antara lain adalah sebagai
berikut.

1. Pengembangan human capital,


2. Promosi ekspor/investasi, baik di dalam maupun di luar negeri.
3. Integrated KEK dengan infrastruktur pendukung seperti sumber energi dan
sarana dan prasarana transportasi dengan berbagai moda transportasi.
4. Regulasi ketenagakerjaan yang juga memungkinkan free entry dan free exit
yang lebih mudah.
5. Regulasi terkait tenaga kerja asing (TKA) dalam rangka investasi dan
peningkatan nilai tambah industri yang disesuaikan dengan kebutuhan dan
kondisi TK domestik.

70
6. Faktor leadership yang nyata dan bertanggung jawab serta memberikan contoh
yang mulia, jauh dari nilai-nilai tercela seperti korupsi, penggelapan, dan
ketidakefisienan.
7. Penentuan strategi dalam rangka free trade agreement (FTA) yang akan
menguntungkan secara agregat bagi Indonesia dan berdampak positif bagi
daya saing Indonesia di pasar ekspor.
8. Sistem informasi yang lengkap dan mudah diakses baik oleh pengusaha,
birokrat, akademisi maupun masyarakat umum yang memuat informasi dan
persyaratan yang dibutuhkan untuk ekspor produk tertentu. Kenyataan
bahwa sebagian besar kesepakatan perdagangan intra-ASEAN dan FTA lainnya
masih belum banyak dimanfaatkan pengusaha Indonesia memberikan sinyal
bahwa informasi dan birokrasi bagi pemenuhan ketentuan ekspor itu masih
rumit dan memakan biaya. Selain sistem informasi harus terdapat
kelembagaan yang dapat memberikan bantuan, terutama bagi pengusaha kecil
dan menengah yang berusaha memanfaatkan peluang pasar akibat
kesepakatan perdagangan yang telah dibuat.
9. Terlepas dari semua itu, pelaksanaan semua insentif dan paket kebijakan
tersebut haruslah konsisten dan bukan hanya sebatas retorika sehingga akan
terdapat hasil nyata dari segala kemudahan yang semestinya diberikan melalui
berbagai paket kebijakan itu.

71
Box 2. Retrospeksi Kebijakan Industri Substitusi Impor

Kebijakan substitusi impor (SI) adalah kebijakan perdagangan dan ekonomi


yang didasarkan pada premis bahwa negara berkembang harus berusaha untuk
menggantikan produk impor dengan produksi dalam negeri. Kebijakan ini memiliki
tiga prinsip utama, yaitu (1) kebijakan industri yang aktif untuk mempromosikan
industri dalam negeri untuk memproduksi produk pengganti yang strategis, yang
sering melibatkan investasi pemerintah pada infrastruktur dan sektor strategis,
serta pembentukan bank pembangunan untuk mendukung kegiatan tersebut; (2)
trade barriers yang bersifat protektif (yaitu, tarif dan kuota untuk melindungi
industri baru/infant industry) dan mengubah terms of trade dari pola ekspor utama
tradisional; dan (3) kebijakan moneter terkait nilai tukar dengan sistem multiple
exchange rate untuk mendukung import nonkompetitif terhadap barang antara
dan modal. Umumnya, tahap pertama SI bersifat "mudah" karena industri yang
diproteksi adalah non-durable goods dan kemudian ke tahapan "dewasa", yaitu
memperdalam SI, yaitu industri memproduksi nondurable consumer goods serta
barang antara dan modal.

Kebijakan SI telah dianalisis dalam sejumlah studi oleh OECD, World Bank
dan NBER (Reinert and Rajan, 2010). Analisis tersebut menunjukkan bahwa ada
biaya makroekonomi terkait kebijakan SI. Pertama, SI menyebabkan inefisiensi
dalam alokasi sumber daya. Kebijakan nilai tukar yang overvalued menyebabkan
bias terhadap ekspor dan mendukung sektor padat modal domestik sehingga
mengarah pada underutilized capital, penurunan produktivitas modal, dan
kegagalan investasi yang secara signifikan berpengaruh terhadap penurunan
pengangguran. Kedua, SI umumnya menyebabkan impor naik lebih cepat dari
yang diharapkan karena permintaan barang modal dan barang antara untuk
mendukung industri baru; sebagai akibatnya, masalah neraca pembayaran justru
makin mendalam sehingga daripada mengurangi ketergantungan pada input impor
(energi dan teknologi), strategi SI justru semakin meningkatkan impor secara
signifikan. Ketiga, SI dinilai mendorong aktivitas mencari laba yang tidak produktif
(directly unproductive profit seeking) yang mengalihkan sumber daya dari kegiatan
produktif menjadi tidak produktif, tetapi menguntungkan. Yang selanjutnya akan
mengurangi investasi dan pertumbuhan produktivitas serta pertumbuhan jangka
panjang. Keempat, di negara–negara tempat pasar domestik relatif kecil, SI
menciptakan pasar yang kurang kompetitif, yang dalam beberapa kasus
menyebabkan menurunnya efisiensi, pertumbuhan produktivitas, dan inovasi.

72
Pada era 1990-an dampak SI pada kinerja ekonomi dipertimbangkan
kembali, khususnya dalam konteks perekonomian Asia Timur yang bertumbuh
pesat. Pandangan ini berargumen bahwa SI akan mendahului kegiatan ekspor dan
merupakan prasyarat untuk export led growth. Argumen pandangan ini adalah
tidak mungkin suatu negara dapat mengekspor tanpa mengakumulasi
kemampuan teknologi pada fase SI yang mendahuluinya. Perbedaannya adalah
pada tahap “matang” dari kebijakan SI tersebut. Pada tahap ini negara Latin
Amerika melakukan pendalaman SI yang dibarengi dengan kebijakan moneter dan
fiskal. Sementara itu, negara Asia Timur, pada tahap “matang” karena tetap
melakukan SI dengan penekanan pada promosi ekspor serta mengaitkan insentif
dengan kinerja ekspor. Model campuran SI ini dinilai lebih berhasil jika
dibandingkan dengan pendalaman SI karena pemerintah (1) dapat melakukan
disiplin terhadap sektor swasta berdasarkan kinerja standar (target ekspor)
sebagai ganti dari subsidi terhadap sektor swasta; (2) menghindari
ketidakseimbangan eksternal dengan promosi ekspor dan menjaga nilai tukar yang
kompetitif; dan (3) berhasil melakukan desain proteksi dan promosi ekspor yang
mendorong proses pembelajaran teknologi dan akumulasi pengetahuan.

Sebagaimana sejumlah negara berkembang lain di Asia, Indonesia juga


menempuh jalur kebijakan industrialisasi dalam bentuk substitusi impor pada
tahap awal proses industrialisasinya. Namun, berbeda dengan Korea, kebijakan SI
di Indonesia tidak berhasil menciptakan struktur industri yang kompetitif.
Perbedaannya adalah kebijakan SI Korea--yang diterapkan secara selektif pada
industri tertentu--terintegrasi dengan kebijakan lainnya seperti perdagangan,
sumber daya manusia, dan teknologi. Sementara itu, kebijakan selektif di
Indonesia tersebut tidak dibarengi dengan kebijakan komplementer dalam
perdagangan, SDM, dan teknologi (Kim, 2004).

Kebijakan SI diterapkan pemerintah pada tahun 70-an, terutama setelah oil


boom. Pada masa itu pemerintah menerapkan kebijakan industri SI yang dibiayai
dari devisa berlimpah dari minyak. Tujuan kebijakan tersebut adalah
memproduksi sendiri produk yang selama ini harus diimpor sehingga bisa
menghemat devisa. Dalam perspektif industri kebijakan tersebut bertujuan untuk
membangun kapasitas industri berat nasional berbasiskan proyek besar SDA.
Kebijakan industri itu diwarnai dengan proteksi yang tinggi serta pembangunan
industri berat yang justru bertentangan dengan keunggulan komparatif Indonesia,
yaitu industri berbasiskan tenaga kerja murah (Basri, 2001 sebagaimana

73
Damayanthi, 2008). Beberapa industri yang didorong pada masa itu adalah baja,
gas alam, kilang minyak, dan aluminium melalui kredit lunak dari bank–bank
BUMN.

Jatuhnya harga minyak di pasar dunia pada tahun 1982 dan 1986 serta
ambruknya nilai tukar dollar AS pasca–Plaza Accord menyebabkan pemerintah
harus mencari sumber pembiayaan dalam negeri yang lain (Kim, 2004).
Pemerintah kembali ke kebijakan pintu terbuka melalui liberalisasi perdagangan
dan investasi asing. Untuk memenuhi kebutuhan devisa, kebijakan industri yang
ditempuh adalah industrialisasi berorientasi ekspor. Fase ini ditandai dengan
diluncurkannya berbagai paket kebijakan deregulasi dalam rangka liberalisasi
pasar, termasuk di dalamnya deregulasi perizinan investasi dan deregulasi sektor
perbankan dan keuangan yang didukung oleh kebijakan devaluasi berkala nilai
tukar rupiah untuk menjaga daya saing.

Industri manufaktur padat karya Indonesia mengalami masa keemasan di


era ini dengan terjadinya relokasi industri dan investasi di sektor industri padat
karya, seperti pakaian jadi dan sepatu dari Korsel, Taiwan, Hongkong, dan
Singapura. Ekspor manufaktur yang menyumbang hingga 53 persen dari total
ekspor (1993) nasional mencatat pertumbuhan riel hampir 30 persen per tahun
pada kurun 1980–1993. Pertumbuhan GNP di periode tersebut tercatat berkisar
pada tingkat 7%, tidak terlalu jauh dari negara Asia timur lainnya.

Menurut Basri (2001), perubahan orientasi kebijakan ke arah pasar pada


masa itu terjadi karena pilihan yang pragmatis–rasional dan bukan karena alasan
yang bersifat ideologis.

Dalam era ‘70-an, ketika dana minyak tersedia dan peran kelompok
nasionalis menguat, pilihan kebijakan yang non–pasar dan proteksionis … memiliki
harga yang relatif ‘murah’ dibandingkan kebijakan pro–pasar … karena untuk
memperoleh dukungan politik, pemerintah akan mengakomodasi tekanan kelompok
kepentingan yang kuat pada waktu itu, sedangkan pada pertengahan 1980-an,
ketika harga minyak jatuh, … pilihan kebijakan yang non-pasar menjadi relatif lebih
‘mahal’….

Liberalisasi yang terjadi waktu itu bersifat parsial dan gradual. Masih
banyak proteksi industri dalam bentuk nontariff barriers dan beberapa sektor
industri tetap tertutup bagi asing dan diproteksi ketat. Kebijakan industrialisasi
pada fase itu berorientasi untuk melakukan lompatan teknologi. Pemerintah

74
menetapkan sepuluh industri sebagai industri strategis yang harus diproteksi
yaitu industri pesawat terbang, industri maritim, industri pembuatan kapal, sektor
transportasi darat, industri telekomunikasi, sektor energi, industri rekayasa,
industri mesin pertanian, industri pertahanan, dan industri pendukung yang
terkait.

Argumen waktu itu adalah Indonesia tidak bisa selamanya


menggantungkan diri pada industri padat karya untuk menopang pertumbuhan
ekonomi tinggi dalam jangka panjang. Untuk mempertahankan kesinambungan
pertumbuhan, diperlukan investasi pada teknologi canggih dan industri-industri
bernilai tambah tinggi. Sumber penerimaan negara dalam jumlah besar diarahkan
pada industri-industri yang mendapat proteksi dari pemerintah ini. Kebijakan
proteksi dan subsidi terhadap kelompok industri strategis itu tetap dipertahankan
pada masa 1985-1997, demikian pula kebijakan substitusi impor untuk industri–
industri berat.

Proteksi ini dinilai tidak berhasil karena industri–industri yang diproteksi


secara ketat itu tidak menyumbang banyak pada pertumbuhan ekspor dan
pertumbuhan industri nasional. Hal itu berbeda dengan di Korea, industri berat di
Korea mampu menjadi sektor generatif yang ikut melahirkan berbagai industri lain
yang terkait dan menjadi motor bagi pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu, industri padat karya yang banyak menyerap lapangan kerja,
yang justru tidak atau relatif tidak diproteksi justru menjadi penyumbang terbesar
pertumbuhan industri dan ekspor hingga awal 1990-an, seperti tekstil dan
pakaian jadi, sepatu, dan elektronik. Namun, karena problem struktural,
munculnya pesaing baru, dan kurangnya dukungan pemerintah, industri padat
karya yang berorientasi ekspor itu tidak mampu tumbuh secara optimal. Problem
struktural yang melingkupi industri padat karya nasional itu, antara lain, adalah
sempitnya basis produk dan basis pasar ekspor, tingginya kandungan impor, tidak
adanya pendalaman teknologi, lemahnya UKM sebagai industri pendukung, serta
rendahnya produktivitas (Kim, 2004).

Kim (2004) melihat problem struktural industri Indonesia sangat kompleks,


lintas sektor dan kait-mengait; melibatkan pula kebijakan perdagangan, teknologi,
sumber daya manusia, dan persaingan. Kesan yang ada selama ini, kebijakan
pada tiap–tiap sektor berjalan sendiri-sendiri. Padahal, untuk menyukseskan
suatu proses industrialisasi, perlu kebijakan lintas sektoral yang saling
mendukung, konsisten, dan koheren.

75
Kelemahan struktural industri Indonesia adalah hasil dari kegagalan
kebijakan pada masa lalu yang dapat dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu
sebagai berikut.

1) Tidak adanya kebijakan industrialisasi yang konsisten dan terintegrasi dengan


kebijakan sektor lain (perdagangan, SDM, dan teknologi). Contohnya
pembangungan berbasis teknologi yang ambisius tidak didukung oleh kebijakan
teknologi pada tingkat industri yang harus dimotori oleh sektor swasta. Di Korea
setiap kebijakan industri selalu disertai dengan kebijakan SDM dan
pengembangan teknologi jangka panjang yang dikoordinasikan dalam
framework pembangunan berjangka 5 tahun.

2) Kegagalan strategi industri yang dimotori perusahaan pemerintah. Kelemahan


perusahaan pemerintah adalah adanya inefisien, korupsi, perilaku rent–seeking
yang selanjutnya menyebabkan proteksi industri dalam jangka panjang dan
merusak perkembangan sektor swasta.

3) Kegagalan dalam mendorong pengembangan sumber daya manusia (SDM),


kegiatan riset dan pengembangan (R&D) swasta. Mengingat kebijakan industri
pemerintah ditujukan pada 10 industri strategis, dukungan dana untuk
perusahaan pemerintah dan swasta di sektor lain lebih terbatas sehingga
menyebabkan menurunnya pembiayaan bagi pusat riset dan laboratorium
pengujian pendukung sektor swasta. Selain itu, tidak ada insentif fiskal untuk
mendorong kegiatan inovatif pada perusahaan swasta.

4) Kegagalan dalam mendorong pembangunan usaha kecil dan menengah (UKM).


Ekonomi pasar hanya dapat berkembang jika disertai dengan pertumbuhan
UMKM yang sehat. UMKM tidak hanya merupakan sumber penyedia lapangan
pekerjaan, tetapi juga sumber penting untuk inovasi dan kompetisi. UMKM di
Korea terhubung dengan industri manufaktur dalam sistem subkontrak yang
menandakan hubungan antar industri yang erat. Sementara itu, di Indonesia
sistem subkontrak antara UMKM dan industri besar belum berkembang. UMKM
umumnya hanya menyediakan permintaan konsumen akhir dan bukan
menyediakan input untuk perusahaan besar. Sebagai hasilnya, hubungan
antarindustri sangat lemah sehingga menghambat pertumbuhan industri supply
yang cost effective.

Sumber:
Kim, Chuk Kyo (2004). Industrial Development Strategy for Indonesia: Lessons
from Korean Experience. Policy Recommendation Paper for Korea

76
Development Institute (KDI) and Korea International Cooperation Agency
(KOICA).
Reinert, Kenneth A. and Ramkishen S. Rajan, eds., 2010. The in Princeton
Encyclopedia of the World Economy. Princeton and Oxford: Princeton
University Press.
Damayanthi, Vivin Retno, 2008. Proses Industrialisasi Di Indonesia Dalam
Prespektif Ekonomi Politik. Journal of Indonesian Applied Economics Vol. 2
No.1 pp. 68–89.

77
Box 3. Studi Kasus Strategi Kebijakan Sektoral

1. Industri TPT
Pakaian merupakan salah satu industri ekspor tertua dan terbesar serta
yang paling lazim. Industri tersebut merupakan batu loncatan untuk
pembangunan nasional dan sering kali berperan sebagai industri pemula bagi
negara yang terlibat dalam industrialiasi yang berorientasi ekspor karena biaya
tetap yang rendah dan penekanan pada manufaktur padat karya. Secara historis,
ekspansi global industri pakaian didorong oleh kebijakan perdagangan. Industri
pakaian merupakan salah satu industri yang paling dilindungi dari semua
industri, mulai dari subsidi pertanian pada bahan input (kapas, wol, dan rayon)
serta sejarah panjang kuota berdasarkan general agreement on tariff and trade
dalam MFA dan perjanjian penerusnya di bawah WTO, The Agreement on Textiles
and Clothing (ATC).

Struktur dari rantai nilai pakaian (apparel value chain) dapat digambarkan
seperti smile curve yaitu aktivitas yang bernilai tambah tertinggi berada di tahap
praproduksi (R&D dan desain) dan pascaproduksi (pemasaran merk, logistik, dan
jasa) dari proses produksi. Produksi aktual dari pakaian, yaitu penciptaan
pekerjaan banyak terjadi, telah menjadi sangat kompetitif, terkonsentrasi, dan
selalu terpapar tekanan beban biaya. Tahap-tahap utama dari peningkatan
ekonomi (economic upgrading) dalam rantai nilai pakaian adalah sebagai berikut.

1. Assembly/Cut, Make and Trim (CMT)


Produsen pakaian memotong dan menjahit kain tenunan atau rajutan atau
merajut pakaian langsung dari benang.
2. Original Equipment Manufacturing (OEM)/Full Package/Free on Board (FOB)
Produsen pakaian bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan produksi
termasuk CMT dan finishing. Perusahaan harus memiliki kemampuan logistik
hulu, termasuk pengadaan (sourcing dan pembiayaan) bahan baku yang
diperlukan, barang, dan trim yang diperlukan untuk produksi.
3. Original Design Manufacturing (ODM)/Full Package With Design
Model bisnis yang berfokus pada penambahan kemampuan desain untuk
produksi pakaian.
4. Original Brand Manufacturing (OBM)
Model bisnis yang berfokus pada merk dan penjualan produk merk sendiri.
Negara berkembang masuk ke segmen yang paling rendah dari rantai nilai
karena berbagai keuntungan, termasuk perjanjian perdagangan yang

78
menguntungkan, buruh kerja upah murah, dan faktor kedekatan dengan pasar.
Untuk masuk ke tingkatan segmen rantai nilai yang lebih tinggi, berbagai faktor
lainnya perlu dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut di antaranya keberadaan
industri tekstil domestik atau regional; produsen tekstil dan pakaian yang besar di
suatu negara; komitmen yang kuat terhadap pertumbuhan industri dari
pemerintah dan sektor swasta dibutuhkan dalam hal peningkatan desain dan
merk agar dapat mengembangkan bakat yang dibutuhkan dan mendirikan merk
nasional.

Meskipun industri pakaian global telah berkembang secara cepat sejak awal
tahun 1970-an dan telah disediakan lapangan kerja bagi puluhan juta pekerja di
beberapa negara kurang berkembang di dunia, industri tersebut telah mengalami
dua krisis besar dalam lima tahun terakhir. Krisis pertama adalah peraturan The
Multi Fibre Arrangement (MFA) yang menetapkan bahwa kuota dan tarif preferensial
pada pakaian dan barang tekstil yang diimpor oleh Amerika Serikat, Kanada, dan
banyak negara Eropa sejak awal tahun 1970-an dihapus oleh World Trade
Organization (WTO) dan digantikan dengan perjanjian WTO tentang tekstil dan
pakaian, yakni ATC (berlaku tahun 1995–2005). MFA/ATC membatasi ekspor ke
pasar konsumen utama dengan memberlakukan batasan per negara (kuota) akan
volume produk impor tertentu. Sistem itu dirancang untuk melindungi industri
domestik Amerika Serikat dan Uni Eropa dengan membatasi impor dari pemasok
kompetitif seperti Tiongkok. Kekhawatiran negara berkembang kecil dan miskin
yang bergantung pada ekspor pakaian bahwa mereka akan terdorong keluar dari
sistem perdagangan global oleh persaingan kompetitor yang lebih besar seperti
Tiongkok, India, dan Bangladesh. Krisis yang kedua adalah ekonomi. Resesi global
yang terjadi baru-baru ini, yang dipicu oleh krisis perbankan di Amerika Serikat
pada tahun 2008, dan yang menyebar cepat ke sebagian besar negara industri dan
berkembang membawa dunia ke ambang krisis ekonomi yang paling parah sejak
The Great Depression tahun 1930-an. Penutupan pabrik dan PHK pekerja di
negara-negara industri berujung pada menurunnya permintaan konsumen yang
mengakibatkan berkurangnya order dan menyusutnya pasar untuk ekonomi
berorientasi ekspor di negara berkembang. Resesi tersebut berdampak cukup
besar pada industri pakaian dan menyebabkan penutupan pabrik, peningkatan
tajam pada angka pengangguran, serta tumbuhnya kekhawatiran akan munculnya
kerusuhan sosial akibat terlantarnya pekerja mencari pekerjaan baru.

79
Penghapusan kuota pada 1 Januari 2005 menandai akhir dari terbatasnya
akses ke pasar Eropa dan Amerika Utara. Pengecer dan pembeli lain bebas
mengakses ke sumber tekstil dan pakaian dengan jumlah tak terbatas dari negara
mana saja, hanya tunduk pada sistem tarif dan transitional safeguards yang akan
berakhir pada akhir tahun 2008. Peluang itu dimanfaatkan dengan baik oleh
produsen pakaian biaya terendah terbesar, yakni Tiongkok, India, Bangladesh, dan
Vietnam. Hal tersebut terlihat dari meningkatnya pangsa impor pakaian dari
negara-negara tersebut di negara konsumen pakaian terbesar, yakni Amerika
Serikat, Uni Eropa, dan Jepang. Sementara itu, pangsa ekspor pakaian Indonesia
hanya terlihat meningkat di pasar Amerika Serikat. Namun, saat ini Tiongkok
menghadapi tantangan baru, yakni upah buruhnya yang semakin meningkat
hingga 20% per tahun sehingga dapat berdampak pada daya saing produk yang
dihasilkannya. Hal itu dilakukan melalui dua tren secara simultan, yaitu
pergeseran produksi CMT ke negara Asia yang biaya produksinya lebih rendah,
dan meningkatkan tekanan kompetitif pada industri Tiongkok agar peningkatan
mutu terjadi secara cepat untuk menjaga daya saing. Kondisi pergeseran produksi
dari Tiongkok ini merupakan peluang dan dapat dimanfaatkan oleh Indonesia
untuk mencoba meningkatkan pangsa pasarnya. Berbagai langkah dan strategi
dapat ditempuh, yakni dengan cara sebagai berikut.

1. Tingkatkan investasi pada pendidikan dan pelatihan (training)


Kesempatan untuk menjalani pendidikan dan training dapat membantu
mengatasi skill deficit yang dapat menghambat economic upgrading. Pendidikan
sebaiknya mencakup keahlian teknis maupun soft skills dalam area, seperti
manajemen, pengembangan produk, desain, dan riset pasar.
2. Menciptakan fungsi pemasaran (marketing) dan jejaring
Perusahaan dan pemerintah sebaiknya bekerja sama menciptakan organisasi
untuk memasarkan negara/kawasan dan menyelaraskan perusahaan dengan
organisasi internasional yang berhubungan dengan pengembangan standar,
industry advocacy, riset dan pengembangan, serta praktik terbaik.
3. Mempromosikan investasi langsung (FDI) atau joint ventures untuk
mengembangkan kemampuan vertikal (vertical capabilities)
Strategi ini sangat bagus, terutama bagi kawasan yang masih didominasi
model produksi perakitan atau CMT (cut, make, dan trim). Hal itu akan
membantu menciptakan backward linkages dan mengembangkan keahlian
bukan di dalam negara. Otoritas ekonomi harus menyediakan layanan satu

80
pintu bagi investor atau pemasok yang merencanakan untuk mendirikan
perusahaan baru.
4. Investasi pada teknologi dan sistem produksi fleksibel
Investasi diperlukan untuk meningkatkan kapasitas mesin produksi, logistik,
dan teknologi informasi yang memungkinkan pemasok menjadi lebih
terintegrasi pada jaringan pembeli.
5. Mengembangkan full package capabilities
Perusahaan harus bisa atau mempunyai aliansi dengan perusahaan yang
dapat menyediakan produk akhir dan jasa tambahan berkaitan dengan
pengembangan produk, desain, logistik, dan pengendalian kualitas.
6. Mengembangkan standar agar dapat memenuhi sertifikasi standar regional
dan internasional
7. Melakukan praktik produksi yang berkelanjutan
Perusahaan yang dapat bertahan adalah perusahaan yang memilih untuk
bersaing pada kredensial lingkungan mereka di samping biaya, kualitas, dan
faktor tradisional lainnya.
8. Mendiversifikasi pembeli, produk, dan pasar akhir
Perusahaan harus melakukan diversifikasi menjadi berbagai lini produk, pasar
pengguna akhir, dan pasar geografis yang berbeda.

2. Industri Otomotif
Industri otomotif di Indonesia saat ini pada umumnya masih terkonsentrasi
pada kegiatan perakitan (assembly). Padahal, nilai tambah tertinggi tidak berasal
dari aktivitas itu. Sesuai dengan keniscayaan pada Global Value Chain (GVC),
yaitu bahwa suatu negara akan mengupayakan efisien dalam suatu aktivitas
dalam rantai produksi yang bernilai tambah tinggi. Sesuai dengan smile curve,
aktivitas yang bernilai tambah tinggi pada GVC adalah desain, research and
development, serta aktivitas penjualan yang berorientasi ekspor. Namun, Indonesia
masih terkendala pada aspek human capital dalam melakukan aktivitas tersebut.
Saat dunia sudah memiliki negara desainer otomotif yang efisien seperti Jepang
dan Korea, Indonesia sangat berat untuk mengembangkan merek dan desain
otomotif sendiri. Terkait dengan itu, langkah selanjutnya yang mungkin dilakukan
Indonesia adalah meningkatkan keunggulan komparatif pada parts dan
components otomotif sehingga secara keseluruhan produk otomotif, nilai tambah
yang dihasilkan di Indonesia akan menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan semula.
Berdasarkan pendapat Kohpaiboon dan Yamashita (2011), penentuan lokasi

81
produksi dari komponen otomotif terutama hanya didasarkan atas daya saing dari
sisi biaya.

Terkait dengan hal tersebut, Indonesia dapat mencontoh Thailand untuk


mengembangkan industri ini. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya, beberapa hal krusial yang dilakukan oleh Thailand adalah (1) tidak
takut dalam memiliki tingkat integrasi yang tinggi dalam hal investasi dan
perdagangan; (2) mengembangkan infrastruktur secara terpusat, yang sangat
memberikan kenyamanan bagi investor, baik dari sisi regulasi, logistik, maupun
industri pendukung; (3) memastikan proses knowledge transfer dan learning by
doing berjalan secara maksimal; dan (4) memanfaatkan peran teknokrat dalam
pembangunan kawasan industri yang independen dari proses politik.

Sebagai tambahan yang perlu dikoreksi dari Thailand adalah aspek human
capital. Secara jangka pendek, diperlukan pembebasan tenaga kerja untuk skill
tertentu yang dibutuhkan sesuai dengan preferensi investor. Namun, investasi
untuk human capital dalam negeri harus segera dimulai. Beberapa hal yang dapat
mendukung, antara lain, adalah (1) diskusi intensif antara kementerian tenaga
kerja, investor, serta kementerian yang menaungi pendidikan menengah atas dan
tinggi untuk mengetahui jenis skill yang dibutuhkan dan upaya memfasilitasinya
dalam kurikulum; (2) memberikan kebebasan bagi universitas luar negeri
membuka cabangnya di Indonesia, khususnya untuk jurusan penting yang masih
belum mampu dipenuhi oleh universitas dalam negeri; dan (3) melonggarkan
peraturan pembatasan tenaga kerja asing untuk mekanisme pertukaran tenaga
kerja temporer. Hal itu untuk mendukung lancarnya proses learning tenaga kerja
Indonesia, khususnya untuk skill yang hanya dapat diperoleh di head office.

3. Industri Information and Communication Technology


Industri ICT di Indonesia memiliki potensi yang besar, Business monitoring
International (2015) memperkirakan industri ICT di Indonesia akan tumbuh rata-
rata 12,5% per tahunnya dengan kapitalisasi pasar mencapai 275 trilliun rupiah
pada 2019. Untuk penjualan perangkat lunak diperkirakan akan mencapai lebih
dari 50 trilliun rupiah, sedangkan pada 2019 penjualan perangkat keras berupa
komputer pribadi dan jasa layanan IT masing-masing akan mencapai 100 trilliun
rupiah dan 80 trilliun rupiah. Jika dibandingkan dengan negara–negara tetangga,
seperti Malaysia dan Singapura, porsi belanja IT per PDB Indonesia masih sangat

82
rendah, yaitu hanya sekitar 1,6%, sedangkan Malaysia dan Singapura masing-
masing sebesar 6,42% dan 6,37%.

Saat ini, Indonesia memiliki koneksi internet yang paling rendah jika
dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia–Pasifik. Permasalahan lain
yang dihadapi adalah kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan sehingga
biaya pembangunan infrastruktur menjadi sangat mahal. Oleh karena itu,
pemerintah berusaha untuk menggenjot pertumbuhan industri ICT dengan
meningkatkan infrastruktur layanan internet dengan program Indonesia
Broadband Plan 2014–2019. Pemerintah menargetkan seluruh penduduk di kota
besar memiliki akses ke internet, sedangkan untuk wilayah perdesaan ditargetkan
52% penduduknya terjamah dengan layanan internet.

Bagi para pelaku usaha di industri ICT, permasalahan yang kerap mereka
temui adalah permasalahan sumber daya manusia, perpajakan, dan persaingan
usaha. Menurut para pelaku usaha, sumber daya manusia Indonesia tidak
memiliki kesiapan kerja, khususnya para tenaga kerja dengan latar belakang
pendidikan sarjana. Meskipun demikian, para tenaga kerja dengan latar belakang
pendidikan SMK dirasa lebih cepat beradaptasi dengan dunia kerja sehingga
pelaku usaha membutuhkan waktu yang relatif singkat dan biaya investasi yang
lebih sedikit dalam mempersiapkan tenaga kerja tersebut untuk terjun langsung
ke dalam dunia kerja. Selain itu, permasalah double tax juga masih menjadi
hambatan bagi pelaku usaha industri ICT untuk berkembang. Pengeluaran mereka
menjadi bertambah seiring dengan pajak yang dikenakan dua kali. Iklim usaha
industri ICT di Indonesia saat ini juga dirasa sangat kompetitif mengingat banyak
perusahaan asing yang ikut bersaing dalam memperebutkan tender. Oleh karena
itu, diperlukan kebijakan yang mendukung pertumbuhan industri ICT. Pertama,
kegiatan magang bagi mahasiswa perlu lebih digalakkan sehingga pengalaman
kerja mereka dapat meningkat dan mempermudah mereka dalam beradaptasi
dengan dunia kerja. Selain itu, kebijakan perpajakan perlu dikaji kembali guna
menghindari double tax. Untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang lebih
baik, diperlukan kebijakan yang memprioritaskan perusahaan lokal dalam
mengikuti tender yang dilakukan oleh perusahaan BUMN.

83
Box 4. Pelajaran Kebijakan Singapura, Korea Selatan, Thailand,
Malaysia, dan Vietnam

1. Singapura
Sejak mencapai pemerintahan sendiri pada 1959, Singapura menghadapi
berbagai ketidakpastian ekonomi dan gejolak perekonomian. Singapura
memandang penyediaan tenaga kerja dan perumahan yang layak merupakan dua
masalah pokok yang perlu segera dibenahi. Terkait penyediaan tenaga kerja,
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan sustainable merupakan satu-satunya
jawaban. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, beberapa tujuan kebijakan
yang lain akan dapat dipenuhi dengan lebih mudah. Pada tahun 1960 GDP/capita
hanya SGD1,310 sementara saat ini 2014 SGD71,318, meningkat lebih dari lima
puluh kali lipat. Penghasilan pekerja dengan 44 jam kerja/seminggu pada 1960
sebesar SGD120, sedangkan pada tahun 2014 meningkat menjadi SGD3,770.

Sejak awal berdirinya, Singapura memiliki visi untuk menjadi bagian dari
first world economics dalam waktu 3–40 tahun. Kunci untuk mencapai itu
disesuaikan dengan keberadaan Singapura sebagai kota perdagangan tanpa
sumber daya alam, tetapi memanfaatkan economic dynamism, menawarkan high
quality of life, serta memiliki a strong national identity dan suatu konfigurasi kota
global (global city).

Beberapa strategi utama yang dilakukan adalah (1) meningkatkan sumber


daya manusia; (2) mempromosikan kerja sama tim nasional (promoting national
teamwork); (3) berorientasi internasional; (4) menciptakan iklim kondusif untuk
inovasi; (5) mengembangkan klaster manufaktur dan jasa; (6) spearheading
economic redevelopment; (7) mempertahankan keunggulan daya saing
internasional; dan (8) mengurangi vulnerabilitas.

Pertumbuhan ekonomi Singapura tidak terlepas dari peran aktif EDB


(economic development board) yang bertugas mempersiapkan perkembangan
ekonomi untuk medium dan long term, yaitu menerapkan prinsip realignment,
redirecting, dan reorientation dilakukan secara fleksibel sesuai dengan
perkembangan zaman.

Tiga tahapan utama perkembangan ekonomi Singapura (CSS, 2015):

(1) 1950s–1970s: membangun ekonomi nasional;

(2) 1980s–1990s: refining strategies: deepening and diversifying engines of growth

84
(3) 1998–2000s: globalization and the challenges of sustainable, inclusive growth

Mendiang Perdana Menteri Lee pada 2012 (Neng, 2015) mengungkapkan


“Without growth, we have no chance of improving our collective being… Slow growth
will mean that new investments will be fewer, good jobs will be scarcer, and
unemployment will be higher. Enterprising and talented Singaporeans will be lured
away by the opportunities and the incomes they can earn in other leading cities. Low–
income workers will be hardest hit, just as they were each time our economy slowed
down in the last decade. Over time, our confidence will be dented. Thoughtful
Americans have told me that a major challenge for the US after years of slow growth
has been a profound loss of optimism. The same is true for Japan, and will be true of
Singapore too if ever our economy stagnates.” Hal utama yang perlu dibenahi bagi
Lee adalah menciptakan economic viability yang ditopang oleh struktur
administratif yang bersih dan efisien untuk melaksanakan kebijakan ekonomi
(Menon, 2007).

Strategi Industri Singapura dapat dijelaskan dalam prinsip sebagai berikut


(CSS, 2015).

(1) Melihat dengan keterbatasan yang ada, yaitu negara kecil tanpa sumber daya
alam, tetapi memiliki lokasi geografi yang strategis. Oleh karena itu, filosofi
pengembangan ekonominya harus berdasarkan free market system dan outward
orientation didukung oleh pemerintahan yang menyediakan kerangka legislatif,
lingkungan yang stabil dan kondusif untuk bisnis, corporate governance yang
baik, kebijakan yang memfasilitasi bisnis, investasi dalam infrastruktur dan
tenaga kerja, serta kebijakan bagi pengembangan pemerataan kesempatan
hidup layak.
(2) Strategi industri meliputi bebarapa fase (Cahyadi dll., 2004; Yue, 2005, Neng,
2015)
a. 1965–1978: proses industrialisasi melalui strategi berorientasi ekspor
dengan menarik investor asing dan mengembangkan industri manufaktur
dan sektor keuangan. Perbaikan iklim tenaga kerja dan investasi serta
menasionalisasi perusahaan karena sektor swasta tidak mampu
menyediakan kapital yang cukup dan keahlian yang cukup, seperti
Singapore Airlines, Nepture Orient Lines, Development Bank of Singapore,
dan Sembawang Shipyard.
b. 1979–1985: memperbarui penekanan pada penngembangan tenaga kerja
melalui pendidkan dan pelatihan. Mendorong otomatisasi industri,

85
mekanisasi, dan komputerisasi. Memberi insentif untuk beralih ke teknologi
dengan nilai tambah yang lebih besar dan kebijakan yang mendorong
penanaman modal dalam industri padat modal dan keahlian.
c. 1986–2000: memperdalam basis teknologi industri, mengembangkan klaster
industri, serta mempromosikan industri manufaktur dan jasa sebaai twin
pillars dari perekonomian Singapura. Regionalisasi atau mendorong
perusahaan-perusahaan di Singapura untuk melebarkan sayapnya ke
wilayah di sekitar Singapura, di antaranya memanfaatkan gold triangle: Riau–
Johor–Singapura.
d. 2000–sekarang: mengalihkan perhatian pada inovasi, pengetahuan, serta
riset dan pengembangan. Penelitian dan pengembangan menjadi bagian
penting dari pengembangan perekonomian Singapura pada masa yang akan
datang (Goh, 2005). Untuk itu, pelindungan hak properti intelektual
diterapkan dan didukung penerapannya dengan law enforcement yang kuat.
Oleh karena itu, fokus pada teknologi informasi harus dilakukan termasuk
web–based commercial strategies dan e–government initiatives. Agar
kemampuan entrepreneurship berkembang, kemampuan ini terus didorong
dan termasuk dalam bagian penting dalam penelitian dan pengembangan.
Terakhir, potensi manusia semakin dikembangkan, termasuk di dalamnya
change management agar performa perusahaan semakin baik.
(3) Pada tahun 2010 ada tiga prioritas utama yang ingin dicapai, yaitu sebagai
berikut.
a. Mendorong keahlian dalam setiap pekerjaan agar tingkat upah yang lebih
tinggi dapat dipertahankan. Perusahaan didorong agar berinovasi,
memperbaiki efisiensi dan membuat pekerjaan lebih baik, serta
meningkatkan keahlian pekerja pada semua tingkat. Sedapat mungkin
dihindari ketergantungan kepada tenaga kerja asing.
b. Memperdalam kemampuan perusahaan untuk menangkap peluang di Asia.
Perusahaan perlu menumbuhkan ekosistem bisnis yang beragam, tetapi
kuat menahan goncangan, mengomersialisasi R&D sebagai sumber
competitiveness, dan mengembangkan fasilitas berdasarkan pasar untuk
melebarkan pembiayaan internasional bank.
c. Membuat Singapura sebagai suatu distinctive global city and endearing
home. Hal itu dicapai melalui pendalaman keahlian dalam berbagai bidang,
menarik sumber daya manusia berpotensi tinggi dari luar negeri, dan
membuat Singapura sebagai a distinctive global city.

86
(4) Strategi utama dalam satu dekade ke depan untuk mencapai tiga prioritas
utama tersebut adalah sebagai berikut.
a. Tumbuh melalui keahlian dan inovasi
b. Menjadi Global–Asia Hub untuk industri manufaktur dan jasa
c. Ekosistem perusahaan yang beragam
d. Inovasi yang tajam
e. Smart energy economy
f. Meningkatkan produktivitas tanah
g. Global city, endearing home
Pada prinsipnya Singapura telah menerapkan apa yang diperlukan bagi
suatu transformasi produktif yang berhasil (Nubler, 2014), yang ditopang oleh
kebijakan industri yang baik (Lin and Treichel, 2014) dan dengan memanfaatkan
keberadaan GVC yang semakin besar dalam ekonomi global saat ini (Milberg, Jiang
dan Gereffi, 2014).

2. Korea Selatan
Hanya dalam jangka waktu kurang lebih 60 tahun, Korea Selatan (Korsel)
berhasil melakukan transisi dari perekonomian tidak berkembang, bahkan
merupakan salah satu negara termiskin pada 1960an, menjadi negara maju.
Keberhasilan tersebut dikenal dengan sebutan “The Korean Miracle” dan
merupakan perkembangan ekonomi yang paling berhasil selama abad ke-20. Gross
National Income (GNI) per kapita meningkat dari 85 dolar AS pada tahun 1961
menjadi lebih dari 20.000 dolar AS pada tahun 2006. Korsel menjadi negara
dengan perekonomian terbesar ke-13 pada tahun 2014. Perkembangan ekonomi
Korsel patut diperhatikan karena merupakan pembangunan dengan ekuitas,
pengentasan kemiskinan yang tergolong cepat, dan tanpa peningkatan
kesenjangan (inequality) selama proses transisi. Elemen-elemen yang menjadikan
Korsel pemain utama dalam ekonomi global adalah bantuan dari komunitas
internasional, pengabdian masyarakat Korsel untuk bekerja, usaha konsisten dari
Pemerintah untuk membuka perekonomiannya, dan upaya perusahaan untuk
berinovasi dan meningkatkan daya saing di pasar internasional.

87
1960s 1970s 1980s 1990s 2000s
Development
Factor-Driven Investment-Driven Innovation-Driven
Stage
Sources of
cheap labor
manufacturing capability innovative capability
Competition

Strategy CATCH - UP INNOVATION


Support Export Promote high-technology
Promote Heavy & Expand technology- Transition to Knowledge-
Industrial Development intensive industries
innovation Based Economy
Expand export-orient light
Chemical Industries Provide Information
Policy (HCI)
Shift from Industry Targetting
Infrastructure and R&D
Promote New Engines of
industries to R&D Support Growth and Upgrade R&D
Support
Scientific Leading Role in <New Challenges>
Infrastructure Setting R&D and Private Strategic Area § Universities’
Scientific Institution § Government Research Lab § Informatization Leading Role
Building Research Institutes Promotion § E-Government § Efficient National
Science & § MOST/KIST (GRI)
§ National R&D Plan § GRI Restructuring Innovation
§ Technical and
Technology § S&T Promotion Act Vocation Schools (NRDP) § U-I-G Linkages Systems (NIS)
(S&T) Policy § Five-Year § Private Sector § Enhancing univ- § Regional
§ R&D Promotion Act
Economic Plan § Daedeok Science Initiatives in R&D research capability Innovations
incl.S&T Town § Promotion of § Promoting co-op System (RIS) and
§ KAIST:highly Industrial R&D research Innovation
qualified personnel § Policy coordination Clusters

Gambar 46. Transformasi Perekonomian Korea Selatan

Investasi pendidikan telah memainkan peran penting terhadap


pertumbuhan Korsel yang cepat dan berkelanjutan. Strategi pembangunan
berfokus pada pencapaian pertumbuhan produktivitas berkelanjutan dengan
secara konsisten meningkatkan nilai tambah dari output. Untuk mencapai hal itu,
tenaga kerja yang berpendidikan tinggi sangatlah diperlukan. Sejak berakhirnya
perang Korea sampai dengan tahun 1960-an, Korsel mengadaptasikan kebijakan
substitusi impor untuk pembangunan ekonominya. Tujuan utama perekonomian
pada periode itu adalah meningkatkan lapangan pekerjaan dan memperbaiki
neraca pembayaran. Korsel mulai mempromosikan industri substitusi ekspor dan
impor dimulai dengan subsistensi pertanian (beras) dan padat karya, sektor
manufaktur ringan (tekstil dan sepeda). Perekonomian Korsel kala itu banyak
bergantung pada bantuan dana asing, salah satunya bantuan dari Amerika Serikat
yang menyediakan bahan baku untuk industri three white pada tahun 1950 di
Korea berupa gula, benang katun, dan tepung gandum. Akumulasi modal dan
investasi dalam pendidikan dasar selama periode itu memungkinkan pergeseran
bertahap ke atas rantai nilai tambah menuju komoditas yang lebih canggih. Kunci
pergeseran itu adalah penggunaan teknologi yang diperoleh melalui lisensi asing
dan diadaptasi untuk produksi dalam negeri.

Pada awal tahun 1960-an, perekonomian Korea Selatan masih terjebak


dalam lingkaran kemiskinan. Untuk membebaskan diri dari jeratan kemiskinan,
Pemerintah Korsel mencanangkan Five–Year Economic Development Plan pada

88
tahun 1962. Pada tahap awal pembangunan ekonomi, Pemerintah membantu
perkembangan industri impor subsitusi yang memproduksi barang antara dasar,
seperti semen dan pupuk. Setelah itu, Pemerintah mempromosikan industri
ekspor padat karya seperti tekstil dan plywood yang memiliki daya saing
internasional akibat dari biaya tenaga kerja murah dan mampu menyerap
pengangguran maupun pengangguran terselubung. Dalam rangka mendukung
industri ekspor, langkah-langkah mempromosikan ekspor secara luas diambil.
Pinjaman dengan kebijakan suku bunga rendah diberikan untuk membantu
perusahaan-perusahaan ekspor yang mengalami kesulitan keuangan. Berbagai
bentuk perlakuan pajak diferensial diberlakukan kepada industri ekspor, seperti
pembebasan pajak dan rabat tarif pajak. Pemerintah juga fokus pada mobilisasi
yang efisien dan alokasi sumber daya investasi. Beberapa bank khusus didirikan
untuk membiayai sektor–sektor strategis terbelakang seperti UMKM dan
konstruksi perumahan. Bersamaan dengan hal tersebut, untuk mendorong
masuknya arus modal asing, The Foreign Capital Inducement Act disahkan pada
tahun 1966 dan bank asing diperbolehkan untuk membuka cabang sejak tahun
1967. Proses industrialisasi ekonomi Korsel yang cepat dibawah bimbingan
Pemerintah selama tahun 1960-an menunjukkan kinerja yang mengesankan.
Selama proses industrialisasi berorientasi pada pertumbuhan, sejumlah besar
modal asing perlu didorong karena dana simpanan domestik tidak mencukupi
untuk membiayai permintaan investasi yang sangat besar. Oleh karena itu, jumlah
uang beredar meningkat dengan cepat untuk membiayai berbagai proyek
pemerintah.

Pertengahan tahun 1970-an implementasi kebijakan industri yang tepat


guna oleh Pemerintah berdampak pada pergeseran ke pengembangan industri
berat (contoh bahan kimia, besi dan baja, otomotif, serta pembangunan kapal).
Seiring dengan industrial targeting, berbagai kebijakan diberlakukan untuk lebih
meningkatkan kemampuan teknologi bersamaan dengan memperbaiki akses ke
dan kualitas dari pelatihan teknis dan kejuruan. Tujuan mendorong HCI adalah
untuk mendorong industri pertahanan, mengejar Jepang dalam industri HCI,
merespons peningkatan proteksionisme dalam industri ringan, serta mencapai
impor subsitusi pada barang kapital. Investasi dalam sektor–sektor baru didukung
oleh insentif pajak dan keuangan serta pemberian bantuan pada grup perusahaan
besar (Chaebol). Suksesnya transformasi industri berat dan kimia ke sektor ekspor
baru mengakibatkan Korsel mampu mempertahankan laju pertumbuhan yang
kuat sepanjang tahun 1970. Namun, dalam melaksanakan rencana pembangunan

89
ekonomi yang ambisius dengan dana tabungan domestik yang tidak mencukupi,
perekonomian diwarnai dengan kekurangan dana yang cukup besar. Kesenjangan
investasi-tabungan ini dijembatani dengan mendorong masuknya dana asing atau
dengan meningkatkan pasokan uang. Sebagai konsekuensinya, utang luar negeri
terus menumpuk dan inflasi kronis tetap terjadi. Efek samping hal tersebut
menyebabkan pergeseran stance kebijakan pemerintah menuju strategi
pertumbuhan berorientasi stabilitas.

Awal tahun 1980-an, efek samping dari manajemen ekonomi berorientasi


pertumbuhan makin mencolok. Krisis minyak yang kedua dan kekacauan politik
dalam negeri memberikan dampak yang cukup berarti. Akibatnya, perekonomian
Korsel mengalami berbagai kesulitan selama tahun 1980 dan mencatat
pertumbuhan negatif pertama sejak Development Plan pertama kali dicanangkan
dan defisit transaksi neraca berjalan yang besar. Untuk mengatasi kesulitan itu,
Pemerintah melakukan langkah–langkah penyesuaian struktural untuk
meningkatkan efisiensi ekonomi. Pertama, Pemerintah menggeser prioritas
kebijakan ekonomi dari pertumbuhan ke stabilitas dan secara aktif mendorong
penyesuaian investasi berganda dan likuidasi perusahaan-perusahaan
bermasalah. Bersamaan dengan kebijakan itu, pergeseran ke ekonomi yang lebih
terbuka dan deregulasi dilakukan secara bertahap, sebagai bagian dari langkah
menuju private–initiative pada manajemen ekonomi. Sayangnya, upaya tersebut
tidak begitu membuahkan hasil karena situasi ekonomi politik yang rentan.
Meskipun demikian, kebijakan moneter dan fiskal yang ketat serta kestabilan baru
harga minyak internasional, berkontribusi pada pembangunan dasar
perekonomian Korsel yang stabil. Namun, pertumbuhan ekonomi yang terus tinggi
menyebabkan ketidakstabilan harga baru. Selain peningkatan inflasi, upah juga
mengalami peningkatan.

Korsel terus menekuni manufaktur bernilai tambah tinggi pada tahun 1990-
an dengan mempromosikan inovasi teknologi tinggi. Kenaikan upah buruh
domestik dan apresiasi mata uang Won telah mengakibatkan defisit neraca
transaksi berjalan yang cukup besar, yang memicu serangkaian reformasi,
termasuk reformasi pasar keuangan. Bersamaan dengan pendirian infrastruktur
informasi yang modern dan lebih mudah diakses, ekspansi kemampuan
pengembangan riset tetap dilakukan di industri Korsel, yang pada akhirnya
menarik minat tenaga kerja terampil yang dihasilkan dari ekspansi pemerintah
akan sistem pendidikan tinggi. Pasca-terjadinya krisis keuangan pada pertengahan

90
tahun 1990-an, upaya kebijakan dilakukan untuk mentransformasi perekonomian
Korsel menjadi ekonomi berbasis pengetahuan yang memunculkan berbagai
inovasi serta meningkatkan produktivitas secara keseluruhansehingga dapat
mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Banyak faktor yang berperan dalam
perubahan ekonomi Korsel yang cepat. Salah satu faktornya adalah pembangunan
infrastruktur informasi dan memanfaatkan potensi dari ilmu pengetahuan dan
teknologi.

3. Thailand

Thailand berhasil menjadi “Detroit of Asia” dengan keunggulannya menjadi


pusat industri otomotif di ASEAN. Hal tersebut dicapai dari skill, teknologi,
industri pendukung, dan klaster melalui learning dan akumulasi kemampuan.
Analisis product space menunjukkan bahwa pada tahun 2013 yang dibandingkan
dengan tahun 2010, jumlah produk berkeunggulan komparatif untuk garmen di
Thailand berkurang.

Pencanangan untuk menjadi negara dengan keunggulan pada industri


otomotif sudah dilakukan sekurangnya sejak 3 dekade lalu. Pertumbuhan ekonomi
Thailand pada tahun 1980 hingga awal tahun 1990-an sangat tinggi. Hal itu
didorong oleh tingkat investasi yang sangat tinggi dengan 20% pertumbuhan
jangka panjang dikontribusikan oleh stok modal fisik (Warr, 2011). Terkait dengan
hal itu, Warr (2011) menjelaskan bahwa Thailand sejak beberapa dekade lalu tidak
takut untuk memiliki tingkat integrasi yang dalam pada sisi investasi dan
perdagangan dengan seluruh dunia.

Sumber: Perhitungan peneliti dengan Cytoscape dan Product Space


Explorer. Data ekspor dari WITS.

Gambar 47. Product Space Thailand tahun 2000 dan 2013

91
Sumber: Hosono (2013)

Gambar 48. Perkembangan Industri Otomotif di Thailand

Secara khusus pengembangan infrastruktur The Eastern Seaboard berperan


besar dalam perkembangan industri otomotif (Hosono, 2013). Infrastruktur
tersebut berperan sebagai export hub dan pusat industri padat teknologi.
Infrastruktur tersebut menjadi tempat bagi 14 lahan industri, yang menyerap
360.000 tenaga kerja, serta 1.300 pabrik, dimana yang 516 di antaranya terkait
dengan produksi otomotif. Industri parts dan components tumbuh karena adanya
mekanisme learning dengan memanfaatkan investasi yang sangat tinggi.

Menurut JICA/JIBC (2008) beberapa hal yang menjadi kunci kesuksesan


pembangunan industri otomotif di Thailand adalah(1) peran serta teknokrat yang
berkemampuan tinggi dan independen dari politik; (2) mekanisme check and
balance serta proses politik yang transparan; dan (3) orientasi pembangunan yang
terpusat di sentral sehingga efisien jika ditinjau dari aspek spasial.

Namun, terdapat risiko dari desain pembangunan industri seperti di


Thailand. Walaupun kesuksesan mengalihkan keunggulan komparatif secara
langsung pada machinery sesuai dengan profil keunggulan komparatif pada high–
income country, terdapat risiko pada tenaga kerja, khususnya jika terdapat bonus
demografi. Terkait dengan itu, ERIA (2013) menyatakan bahwa salah satu problem
di Thailand adalah adanya human capital bottleneck pada sektor manufaktur.

92
4. Malaysia
Malaysia menerapkan strategi export–led development yang berhasil
membawanya bertransisi ke upper middle income country (GDP per kapita saat ini
USD10.800). Visi Malaysia pada tahun 2020 adalah menjadi high income countries
(GDP USD15.000/kapita) yang akan dicapai dengan menggerakkan perekonomian
naik ke high value chain dengan mempromosikan investasi di sektor high value
added dan jasa.

Strategi menjadi HIC dilakukan melalui program pemerintah yang disebut


Economic Transformation Programme dan berciri sebagai berikut.

a. Model pertumbuhan dimotori sektor swasta. Pemerintah memfasilitasi


lingkungan yang kondusif untuk tercapainya pertumbuhan sosial dan ekonomi
yang lebih kuat.

b. Pertumbuhan didorong dengan strategi dan reformasi yang market–friendly,


berpusat pada inovasi dan peningkatan nilai tambah, berfokus pada
peningkatan kualitas, standar dan produktivitas pada sektor keunggulan yang
dimiliki Malaysia.

c. Kebijakan utama berpusat pada liberalisasi pasar, meningkatkan kompetisi,


memberikan insentif untuk investasi, menghapuskan hambatan, dan
membiarkan sektor swasta “memimpin”.

Program yang dicanangkan Malaysia berpusat pada hal berikut.

1. Strategi industri dilakukan dengan menetapkan 12 National Key Economic

Areas (NKEAs) yang akan berkontribusi signifikan terhadap GNI 9 . Secara


umum strategi industri berpusat menjadikan industri berskala besar dan naik
ke rantai nilai yang lebih tinggi dengan menjadikan Malaysia sebagai hub
produksi atau jasa. Beberapa contoh strategi sektor tersebut adalah
sebagaimana tampak pada tabel di bawah.

9 i) minyak, gas, dan energi, ii) pendidikan, iii) pariwisata, iv) wholesale and retail, v)
electronics and electrical, vi) layanan kesehatan, vii) kelapa sawit, viii) communications
content infrastructure, ix) agrikultur, x) business services, xi) greater Kuala Lumpur/Klang
Valley dan xi) jasa keuangan.

93
Tabel 11. Strategi Industri Malaysia
No. Sektor Strategi

1. Electronics Bertujuan untuk 1) merevitalisasi industri, 2) mempercepat


and pertumbuhan pendapatan dan 3) mempersiapkan industri
electrical dalam merespon shock eksternal seperti global demand.
Terdiri dari 5 cluster yaitu1) jasa/desain manufaktur, 2)
advanced assembly, 3) industrial/integrated electronics, 4)
advanced materials, dan 5) wafer technology. Tujuan dari
cluster adalah menggiring industri menuju aktivitas yang
bernilai tambah tinggi seperti desain, rakitan, packaging dan
penyediaan total solusi

2. Minyak, Bertujuan untuk mentransfromasi Malaysia menjadi pusat


gas, dan perdagangan dan penyimpanan minyak di regional serta
energi memastikan ketahanan energi untuk pasar domestik.
Beberapa project adalah 1) mendukung investasi di industri
Oil & Gas Services and Equipment, 2) mendukung
perusahaan lokal untuk mengekspor jasa dan produknya, 3)
mengurangi ketergantungan pada proyek lokal, dan 4)
menarik MnCs untuk mendirikan operasinya di Malaysia
dengan bermitra dengan perusahan lokal.

3. Kelapa Strategi yang dilakukan adalah mendorong industri untuk


sawit dan bergerak di rantai nilai dengan memproduksi produk
karet makanan dan kesehatan yang bersifat high end dan
mendorong produktivitas lahan untuk mencapai supply chain
kelapa sawit yang lebih efisien.

4. Pendidikan Bertujuan untuk membangun pendidikan di Malaysia dan


memanfaatkan posisi dan akses Malaysia untuk menjadi
regional education hub. Tujuan ini dicapai dengan
meningkatkan partisipasi swasta, menarik universitas luar
negeri yang berkualitas untuk membuka cabang di Malaysia
dan membangun cluster pendidikan baru.

94
Tabel 11. (lanjutan)
No. Sektor Strategi

5. Pertanian Bertujuan untuk mentransformasi pertanian yang berskala


kecil menjadi industri agribisnis yang berskala besar.
Strateginya adalah kapitalisasi, berfokus pada pasar
premium, menyelaraskan tujuan ketahanan pangan dengan
peningkatan GNI dan berpartisipasi di rantai regional value
chain.

6. Health Strategi pengembangan sektor dengan mengundang investasi


Care swasta dalam industri produk farmasi, peralatan kesehatan,
riset klinis, jasa perawatan lansia serta mendorong
kolaborasi penyedia jasa kesehatan pemerintah dan swasta.

7. Financial Tujuan untuk mengembangkan industri keuangan dimana


Services hambatan utama adalah kurangnya skala dalam beberapa
segmen di industri perbankan, keterbatasan investor, produk
dan mata uang di pasar modal.

2. Peningkatan Human Capital, khususnya di high skill labor dilakukan dengan


meningkatkan kapasitas TK domestik melalui pelatihan, pendidikan kejuruan,
program universitas atau menarik talent dari luar negeri dengan menyediakan
insentif dan mempermudah fasilitas dan ketentuan imigrasi.

3. Pembangunan infrastruktur secara forward looking melalui pembangunan


broadband untuk mendukung sektor komunikasi, elektronik, keuangan, retail,
bisnis dan edukasi serta mendukung peningkatan infrastruktur, seperti jalan,
pelabuhan, dan airport untuk mendukung bisnis dan pergerakan orang dan
barang.

4. Perbaikan iklim usaha untuk mendukung program promote investment dengan


mendirikan lembaga PEMUDAH (unit khusus untuk memfasilitasi dunia
usaha) dan melakukan deregulasi untuk mengurangi biaya dan kerumitan
serta meningkatkan efisiensi kegiatan pemerintah untuk mendorong sektor
swasta.

95
5. Vietnam
Pada tahun 1986 Vietnam menerapkan kebijakan Doi Moi (renovation) yang
bertujuan untuk mereformasi sistem ekonomi Vietnam yang sebelumya berbentuk
centrally–planned economy menjadi socialist–oriented market economy. Reformasi
tersebut dilakukan untuk mengintegrasikan Vietnam ke dalam perekonomian
global. Untuk mencapai visi tersebut, Vietnam memiliki strategi pembangunan per
sepuluh tahun (10-year socio-economic development strategy) yang kemudian
dipecah menjadi strategi pembangunan per lima tahun.

Vietnam memiliki visi untuk mempercepat proses industrialisasi dan


modernisasi serta membangun fondasi untuk menjadikan Vietnam sebagai negara
industri pada tahun 2020, sedangkan pada tahun 2025, Vietnam memiliki visi
yang jelas sehingga struktur sektor industri Vietnam telah terbentuk dengan baik.
Sektor industri akan menjadi sektor yang kompetitif, memiliki teknologi yang
maju, dan berpartisipasi dalam nilai rantai global serta secara fundamental
memenuhi persyaratan ekspor. Tenaga kerja Vietnam akan memiliki kualifikasi
yang memenuhi kebutuhan sistem produksi modern. Rasio ekspor industri
terhadap total ekspor mencapai 85%–88% dan nilai produk industri hi-tech
mencapai 45% dari PDB.

Visi Vietnam pada 2035 adalah sektor industri Vietnam akan terbangun
dengan didominasi oleh industri spesialis yang berteknologi tinggi dan produknya
memenuhi standar internasional, berpartisipasi secara mendalam di rantai nilai
global, dan berkompetisi secara adil dalam integrasi internasional. Tenaga
kerjanya profesional, disiplin, berproduktivitas tinggi, serta aktif dalam riset,
desain, dan manufaktur. Rasio ekspor industri terhadap total ekspor mencapai
90% dan nilai produk industri hi–tech mencapai 50% dari PDB.

Kebijakan Doi Moi yang diambil oleh Vietnam memberikan citra positif bagi
Vietnam dalam hubungan perdagangan internasional. Pada tahun 1994 Amerika
Serikat mencabut embargonya terhadap Vietnam. Selain itu, pada tahun 2001
terbentuk perjanjian perdagangan bilateral antara Vietnam dan Amerika Serikat.
Vietnam terus membuka diri ke pasar perdagangan internasional dengan
bergabung menjadi anggota WTO pada tahun 2007. Vietnam juga telah menjadi
anggota perjanjian perdagangan negara-negara Asia Pasifik (TPP) pada tahun 2013.
Penetrasi Vietnam ke pasar internasional semakin dalam dengan rencana Vietnam
untuk membentuk free trade agreement antara Eropa dan Vietnam.

96
Perjanjian-perjanjian perdagangan yang dilakukan oleh Vietnam dengan
negara-negara lain memberikan banyak keuntungan bagi Vietnam, bukan hanya
meningkatkan daya saing produk Vietnam dengan menurunnya tarif, melainkan
juga meningkatkan daya tarik Vietnam bagi investor asing, khususnya investor-
investor dalam rantai nilai global (GVC). Chaponniere and Cling (2009)
menyatakan bahwa foreign direct investment merupakan kunci keberhasilan dalam
export–led growth strategy Vietnam. Selain itu, Cushman and Wakefield (2015) juga
menyatakan bahwa pada tahun 2014 Vietnam menempati urutan pertama sebagai
negara yang paling cocok untuk berinvestasi dalam sektor manufaktur.

Dalam 25 tahun terakhir industri Vietnam terus bertransformasi. Pada


tahun 1990-1995 pemerintah Vietnam fokus dalam menggenjot pertumbuhan
industri berat, seperti industri semen dan baja untuk memenuhi kebutuhan
domestik dalam pembangunan usai perang. Selain itu, Vietnam juga fokus dalam
membangun industri manufaktur untuk memenuhi kebutuhan domestik,
khususnya industri makanan dan minuman. Vietnam juga mengedepankan
industri-industri yang berbasis pada sumber daya alam, seperti industri
pertambangan dan industri migas. Pada periode tahun 1996 hingga tahun 2000
Vietnam mulai bertransformasi ke industri manufaktur yang berorientasi ekspor,
seperti industri tekstil, apparel, alas kaki, dan kertas. Setelah tahun 2001 Vietnam
mulai fokus dalam menggenjot sektor industri hi-tech.

Untuk menggenjot masuknya foreign direct investment, pemerintah Vietnam


menerapkan beberapa insentif bagi investor, antara lain adalah sebagai berikut.

1. Pajak penghasilan perusahaan yang rendah selama periode waktu tertentu.


2. Pengurangan atau penghapusan pajak penghasilan perusahaan.
3. Pengurangan atau penghapusan pajak impor untuk barang-barang impor
yang berupa aset tetap, bahan mentah, suplai, dan suku cadang.
4. Pengurangan atau penghapusan biaya sewa lahan.

97
LAMPIRAN

1. Intensive Margin

1. Trade openness

Trade openness mengindikasikan seberapa penting ekspor dan impor


barang dan jasa dalam sebuah perekonomian. Hal tersebut menunjukkan
ketergantungan produsen domestik terhadap permintaan luar negeri serta
konsumen domestik terhadap suplai dari luar negeri. Trade openness
diukur sebagai rasio perdagangan terhadap PDB dengan persamaan sbb.

��!" + ��!"
𝑌!"

Keterangan: 𝑋 merupakan total ekspor, 𝑀 merupakan total impor, dan 𝑌


merupakan PDB; subscript 𝑖 dan 𝑡 masing-masing merepresentasikan
negara dan waktu.

2. Trend in trade growth

Beberapa indikator yang digunakan dalam menganalisis trend in trade


growth, antara lain adalah (i) volume ekspor, (ii) pertumbuhan ekspor, dan
(iii) rasio perdagangan terhadap PDB. Sumber data: WDI.
𝑀𝑇!"
��ℎ𝑎𝑟𝑒 𝑜��𝑀������ℎ𝑎𝑛𝑑����𝑒 𝑇𝑟����𝑒 = ×100
𝐺��𝑃!"

��!
𝐴��������𝑙 𝑔𝑟������ℎ 𝑟𝑎��𝑒 𝑜��𝑡��𝑡��𝑙 𝑒𝑥��𝑜𝑟��𝑠 = 100× ( − 1)
��!!!
Keterangan: 𝑀��merupakan
ekspor; subscript total merchandise
𝑖 dan 𝑡 masing-masing trade dan 𝑋 merupakan
merepresentasikan negara total
dan
waktu.

3. Komposisi ekspor, RCA dan integrasi perdagangan


!
𝑥!"#!! !! !!!
𝐶��𝐺 ��!"# = 100× −1
𝑥!"#!!

Keterangan: 𝑥!"#$ merupakan nilai ekspor produk 𝑘 dari negara 𝑖 ke negara 𝑗


pada waktu 𝑡 ; ��! mengindikasikan start year dan ��! mengindikasikan end
year.

98
Revealed comparative advantage (RCA) mengukur tingkat relative
advantage atau disadvantage pada suatu industri.

𝑥!"#
��!"
𝑅����!"# = 𝑥!"#
��!"
Keterangan: 𝑅����!"# merupakan RCA untuk produk 𝑘 yang diekspor dari
negara 𝑖 ke negara ��; 𝑥!"# merupakan nilai ekspor produk 𝑘 dari negara 𝑖 ke
negara ��; ��!" merupakan total ekspor negara 𝑖 ke negara ��; 𝑥!"# merupakan
nilai
eksporekspor
duniadunia
(��) ke (��) ke negara
negara ��. 𝑗 untuk produk ��; dan ��!" merupakan total

Nilai indeks RCA antara 0 dan 1 menunjukkan adanya comparative


disadvantage.
sektor ��. Jika indeks RCA > 1, negara 𝑖 memiliki keunggulan dalam
4. Trade intensity index

Trade intensity index menunjukkan tingkat intensitas ekspor dari


suatu negara ke negara mitra dagangnya. Indeks ini digunakan untuk
melihat apakah sebuah negara mengekspor lebih banyak ke mitra
dagangnya jika dibandingkan dengan ekspor dunia ke negara tsb. Trade
intensity index menggunakan logika yang sama dengan RCA, tetapi untuk
pasar bukan produk.
𝑥!"# 𝑥!"#
𝑇𝑟����𝑒 𝑖����������𝑖��𝑦 𝑖������𝑥 = 100×
��!" ��!"

Keterangan: 𝑥!"# merupakan nilai ekspor produk 𝑘 dari negara 𝑖 ke negara ��;
��!" merupakan total ekspor produk 𝑘 dari negara 𝑖 ; 𝑥!"# merupakan nilai
ekspor produk 𝑘 dari dunia (��) ke negara ��; dan ��!" merupakan total ekspor
dunia (��) untuk produk ��.

Trade intensity index > 100 mengindikasikan hubungan dagang


antara
dunia (�negara 𝑖 dengan
�) dengan negara𝑗 yang
��. lebih intensif dibandingkan dengan rata–rata
5. Trade complementarity index

Trade complementarity index digunakan untuk melihat apakah profil


ekspor suatu negara sesuai dengan profil impor mitra dagangnya atau

99
justru bersifat komplementer. Nilai indeks yang tinggi mengindikasikan
kedua negara mendapatkan keuntungan dari hubungan perdagangannya.
��!" 𝑥!"
𝑇𝑟����𝑒 𝑐𝑜������������������𝑟����𝑦 𝑖������𝑥 = 100× 1 − Σ! −
𝑀! ��!
Keterangan: 𝑥 merupakan nilai ekspor produk 𝑘 dari negara 𝑖 ; ��!
merupakan total!" ekspor negara ��; �� merupakan nilai impor produk 𝑘 dari
negara ��; dan 𝑀! merupakan total impor
!" negara ��.
Trade complementarity index = 100 mengindikasikan mitra dagang
yang ideal; sedangkan trade complementarity index = 0 mengindikasikan
bahwa kedua negara tsb. adalah perfect competitors.

6. Pertumbuhan nilai vs volume

Export value index dan export volume index digunakan untuk melihat
pertumbuhan ekspor yang mungkin dapat disebabkan dari perubahan pada
harga, volume ekspor, ataupun keduanya. Export value index adalah nilai
ekspor (c.i.f) yang dikonversi ke USD dan dinyatakan dalam persentase dari
rata-rata tahun dasar. Export volume index adalah rasio antara export value
index dengan unit value index–nya.
��!
𝐸𝑥������𝑡 𝑣𝑎��𝑢�� 𝑖������𝑥 = 100×
��!!!"""

𝑉������𝑒 𝑖������𝑥!
𝐸𝑥������𝑡 𝑣𝑜��𝑢��𝑒 𝑖������𝑥 =
𝑈����𝑡 𝑉������𝑒 𝐼������𝑥!

Keterangan: ��! merupakan nilai ekspor pada waktu 𝑡 dan ��!!!"""


merupakan nilai ekspor pada tahun 2000.

7. Orientasi Pertumbuhan (Produk dan Pasar)

Terdapat dua indikator growth orientation (GO) yaitu GO product dan


GO market, yaitu sbb.
a. GO product mengevaluasi potensi pertumbuhan ekspor dengan
membandingkan CAGR dari produk ekspor utama suatu negara
terhadap pertumbuhan perdagangan dunia untuk produk tersebut.
Negara dengan pertumbuhan ekspor lebih tinggi daripada pertumbuhan
dunia berarti negara tersebut mengalami peningkatan pangsa di pasar
dunia. Negara yang ekspor utamanya adalah sektor yang memiliki
pertumbuhan tinggi memiliki posisi yang baik untuk pertumbuhan ke

100
depan. Pertumbuhan di bawah pertumbuhan dunia mengindikasikan
adanya barrier yang menghambat pertumbuhan.
!
𝑥!"#!! !! !!!
𝐶������!"# = 100 ∗ −1
𝑥!"#!!
Keterangan:
negara 𝑖 ��𝑖𝑗𝑘 merupakan nilai ekspor produk k dari negara 𝑗 ke

GO market mengevaluasi potensi pertumbuhan pasar ekspor suatu


negara dengan membandingkan CAGR dari ekspor ke suatu pasar relatif
terhadap pertumbuhan impor pasar tersebut dari ROW.

2. Extensive Margin

1. Jumlah Produk dan Pasar

Indikator ini menghitung jumlah mitra dagang dan produk yang


diekspor suatu negara, yang dihitung pada 6-digit HS level. Partner dagang
dihitung apabila telah terjadi ekspor minimal satu barang dengan nilai min
10,000 USD dan jumlah produk dihitung apabila setidaknya dikirim ke
satu negara dengan nilai setidaknya 10,000 USD. Semakin besar jumlah
produk dan pasar, semakin terdiversifikasi ekspor suatu negara. Selama 1
dekade Indonesia mengalami peningkatan moderat dalam jumlah
produknya. Vietnam terlihat berhasil secara signifikan meningkatkan
variasi produknya.
2. Pangsa Ekspor

Pangsa 3 atau 5 barang/tujuan ekspor tertinggi terhadap total ekspor


dihitung dari HS-4 digit level. Semakin kecil persentase semakin kecil
market concentration,dan semakin terdiversifikasi ekspor.
3. Orientasi Pertumbuhan (Produk dan Pasar)

Terdapat dua indikator growth orientation (GO) yaitu GO product dan


GO market yaitu sbb.
a. GO product mengevaluasi potensi pertumbuhan ekspor dengan
membandingkan CAGR dari produk ekspor utama suatu negara
terhadap pertumbuhan perdagangan dunia untuk produk tersebut.
Negara dengan pertumbuhan ekspor lebih tinggi daripada pertumbuhan

101
dunia berarti negara tersebut mengalami peningkatan pangsa di pasar
dunia. Negara yang ekspor utamanya adalah sektor yang memiliki
pertumbuhan tinggi memiliki posisi yang baik untuk pertumbuhan ke
depan. Pertumbuhan di bawah pertumbuhan dunia mengindikasikan
adanya barrier yang menghambat pertumbuhan.
!
𝑥!"#!! !! !!!
𝐶������!"# = 100 ∗ −1
𝑥!"#!!
Keterangan:
negara 𝑖 ��𝑖𝑗𝑘 merupakan nilai eksport produk k dari negara 𝑗 ke
b. GO market mengevaluasi potensi pertumbuhan pasar ekspor suatu
negara dengan membandingkan CAGR dari ekspor ke suatu pasar relatif
terhadap pertumbuhan impor pasar tersebut dari ROW.
4. Nilai Ekspor (Value of Reach Export)

Pertumbuhan ekonomi umumnya disertai dengan adanya produk


baru. Kemampuan negara untuk memelihara hubungan dagang umumnya
merupakan tanda kematangan ekonomi. Indikator itu menginformasikan
kelahiran, survival, dan kematian produk serta nilai dan jumlah pasarnya.
Tingkat kematian yang tinggi dalam beragam sektor mengindikasikan
volatilitas ekonomi; sementara jika terkonsentrasi di beberapa industri,
diindikasikan terjadi evolusi produksi domestik.

5. Hummels Klenov Product dan Market

Indikator ini mengukur margin intensif dan ekstensif untuk produk


dan pasar. Konsep ini menangkap diversifikasi (seberapa jauh suatu negara
menambah produk dan pasar dalam portofolionya) dan survival (memilah
pertumbuhan ekspor dalam pertumbuhan produk lama di pasar lama
versus lainnya). Dengan menghitung IM dan EM dimungkinkan untuk
disimpulkan hal-hal berikut, yaitu (1) apakah suatu negara big player pada
produk yang diekspornya (IM) dan (2) seberapa penting barang yang
diekspornya ke dunia (EM).
!
!! !,!
!
!! !,!
𝐼��! = 𝐸��! =
!
!! !,! !! !!,!

Keterangan: 𝐾 ! merupakan set produk yang diekspor negara i ;


!
��! merupakan nilai ekspor negara i untuk produk k ke rest of the world;
��! ! merupakan nilai ekspor dunia untuk produk k; 𝐼��! menghitung pangsa

102
negara dalam ekspor produknya; dan 𝐸��! menghitung cakupan ekspornya
terhadap ekspor dunia.

3. Quality Margin

1. Muatan teknologi

Indikator ini mengukur muatan teknologi pada ekspor suatu negara


melalui jenis produk ekspornya. Klasifikasi teknologi menggunakan SITC 3
digit berdasarkan Hatzichronoglou (1997) dan Lall (2000). Produk dibagi
menurut lima klasifikasi, yaitu primary, resource-based, low techonology,
medium technology, serta high technology. Sumber data diperoleh dari World
Bank.
2. Kualitas

Kualitas produk didekati dengan unit values dari tiap-tiap produk


ekspor. Hal itu didasari atas asumsi bahwa saat suplai kompetitif, harga
yang tinggi umumnya terkait dengan kualitas yang diferensiasi produk
yang lebih tinggi. Perbandingan unit value antarnegara dilakukan
berdasarkan SITC 5 digit atau HS 6 digitdengan perhitungan relative quality
sebagai berikut.
𝑢𝑣 !"#
𝑅 !"# =
𝑢��!"!"

Keterangan: 𝑢��!"# adalah unit value komoditi i di waktu t pada negara c,


dan 𝑢��!" !" adalah percentile 90 unit value komoditi i di waktu t
dibandingkan peers.
3. Kecanggihan (Sophistication)

Kecanggihan ekspor suatu negara diukur dengan EXPY yang


diperoleh dari tingkat kecanggihan tiap-tiap produk (PRODY). Perhitungan
EXPY menggunakan formula sebagai berikut.

𝑥!"
𝐸����𝑌 ! = 𝑃𝑅𝑂��𝑌 !
��!
!

PRODY diukur dengan asumsi bahwa suatu produk yang umumnya


diproduksi negara dengan pendapatan per kapita yang tinggi akan
mempunyai tingkat kecanggihan yang lebih tinggi.

103
��!"
𝑋!
𝑃𝑅𝑂��𝑌 ! = ��!" 𝑌!
! ! 𝑋
!

Keterangan: 𝑌! merupakan income per capita negara j, ��!" merupakan


ekspor komoditi k negara j, dan 𝑋! merupakan total ekspor negara j.
4. Revealed factor intensity

Revealed factor intensity mengukur tingkat intensitas penggunaan


capital (RPCI) serta intensitas penggunaan human capital (RHCI).
!!" !!"

!! !! !!

𝑅𝑃��𝐼 ! = ! !!"
!!
𝑅𝐻����! = ! !!" 𝐻!
!! !!
! !

!!
Keterangan: !!
merupakan per capita capital stock, 𝐻! merupakan average

years of schooling, ��!" merupakan ekspor komoditi k negara j, dan 𝑋!


merupakan total ekspor negara j.

5. Product space

Konsep product space mengacu pada Hidalgo et. al. (2007). Product
space menjelaskan posisi keunggulan komparatif suatu negara, keterkaitan
antar produk, dan mengindikasikan apakah keunggulan existing dapat
menopang pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pemetaan dilakukan
menggunakan data kategori produk pada SITC 4 digit.

Gambar 49. Product Space per Jenis Produk

104
Jika product space menunjukkan adanya keunggulan komparatif
pada denser forest, hal tersebut mengindikasikan kesempatan untuk
diversifikasi dan peningkatan teknologi. Oleh karena itu, negara yang
beralih ke denser forest akan mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih
tinggi.

4. Sustainability Margin

a. Export Duration

Indikator ini menunjukkan jumlah hubungan antara produk baru-


partner dagang dengan nilai perdagangan setidaknya USD 10.000 pada
tahun awal dan jumlah serta prosentase hubungan tersebut yang bertahan
sampai dengan tahun akhir yang ditentukan. Indikator durasi ekspor
dihitung berdasarkan grup standar produk pada HS kode 2002.
��𝒊𝒋𝒕
𝒔𝒉��𝒓����𝒕 = *100
𝒏 𝒊𝒋𝒕𝒔𝒕𝒂𝒓𝒕

Keterangan: n merupakan jumlah produk yang diekspor dari negara i ke


partner dagang j pada tahun t; tstart merupakan tahun awal yang
ditentukan
b. Decomposition of Export Growth Along Trade Margins

Pertumbuhan ekspor dapat dibagi menjadi perluasan arus


perdagangan saat ini (intensive margin) dan penambahan produk baru dan
pasar (extensive margin). Indikator tersebut mengelompokkan semua
pertumbuhan dan kontraksi dari suatu produk ke salah satu dari tujuh
kategori intensive dan extensive margin. Perincian kategorikal tersebut
digambarkan dengan menggunakan diagram batang vertikal. Tiap kategori
dicantumkan pada axis horisontal, sedangkan porsi kategori tersebut pada
total pertumbuhan ekspor dicantumkan pada axis vertikal. Nilai porsi
tersebut bisa positif atau negatif tergantung pada apakah produk yang
diekspor di grup tersebut tumbuh atau kontraksi. Indikator ini dihitung
berdasarkan grup standar produk pada HS kode 2002.
��𝒊𝒋𝒌𝒕
𝒔𝒉��𝒓��𝒃𝒊𝒏 = 𝟏𝟎��∗ ∀ 𝒃𝒊𝒏 𝝐 {𝟏 … ��}
��𝒊𝒋𝒕
������𝒃𝒊𝒏

X merupakan total nilai dari seluruh ekspor dari pelapor i ke partner


j, dan x merupakan nilai ekspor produk k pada tahun t. Tahun awal dan

105
akhir dinyatakan sbg ��! dan ��! . ��𝒃𝒊𝒏 mewakili group produk dengan
keseluruhan produk dibagi menjadi 7 kelompok pada intensive dan
extensive margin. Produk dikelompokkan berdasarkan karakteristik sebagai
berikut.

𝑩��𝒏 𝟏 ��𝒊𝒋𝒌𝒕 > 0 𝑢𝑛𝑡𝑢�� 𝑡 = ��𝟏 , ��𝟐 𝒅𝒂����𝒊𝒋𝒌��𝟐 − ��𝒊𝒋𝒌��𝟏 > 0

𝑩��𝒏 𝟐 ��𝒊𝒋𝒌𝒕 > 0 𝑢𝑛𝑡𝑢�� 𝑡 = ��𝟏 , ��𝟐 𝒅𝒂����𝒊𝒋𝒌��𝟐 − ��𝒊𝒋𝒌��𝟏 < 0


𝑩��𝒏 𝟑 ��𝒊𝒋𝒌��𝟏 > 0 dan ��𝒊𝒋𝒌��𝟐 = 𝟎

𝑩��𝒏 𝟒 ��𝒊𝒋𝒌��𝟏 = ��, ��𝒊𝒋𝒕𝟏 = ��, 𝒅𝒂����𝒊𝒋𝒌��𝟐 > 0


𝒋

𝑩��𝒏 𝟓 ��𝒊𝒋𝒌��𝟏 = ��, ��𝒊𝒋𝒕𝟏 > 0, 𝑑𝑎����𝒊𝒋𝒌��𝟐 > 0


𝒋

𝑩��𝒏 𝟔 ��𝒊𝒋𝒌��𝟏 > 0, ��𝒊𝒋𝒕𝟏 = ��, 𝒅𝒂����𝒊𝒋𝒌��𝟐 > 0


𝒋

𝑩��𝒏 𝟕 ��𝒊𝒋𝒌��𝟏 > 0, ��𝒊𝒋𝒕𝟏 > 0, ��𝒊𝒋𝒌��𝟏 = ��, 𝒅𝒂����𝒊𝒋𝒌��𝟐 > 0


𝒋

Intensive Margin
(1) Increase of existing products in established markets,

(2) Decrease of existing products in established markets,

(3) Extinction of exports of products in established markets,

Extensive Margin
(4) Introduction of new products in new markets,
(5) Introduction of new products in established markets,
(6) Introduction of existing products in new markets,
(7) Product diversification in established markets.
c. Export Suspension and Factor Endowments

Indikator ini mengindentifikasi arus perdagangan yang bernilai


minimal USD 10.000 yang menghilang sejak tahun awal terpilih dan
membandingkan faktor intensitas produk tersebut dengan faktor
pendukung (endowments) negara terpilih. Faktor intensitas diukur sebagai
rata–rata tertimbang dari faktor pendukung (endowments) seluruh negara
pengekspor suatu produk. Dengan demikian, invers dari euclidean distance
antara faktor pendukung dan faktor intensitas suatu produk dijadikan
suatu ukuran keunggulan komparatif.

Indikator ini digunakan untuk menjelaskan mengapa ekspor suatu


negara tidak dapat dipertahankan. Salah satu area yang dapat diinvestigasi

106
adalah apakah ekspor yang mati mewakili usaha untuk memproduksi
barang yang memerlukan berbagai variasi faktor pendukung dari yang
didukung oleh ekonomi.
��𝒊𝒋𝒌
𝒔𝒉��𝒓��𝒊 = ��𝒊𝒋
∗ 𝟏𝟎𝟎

Keterangan: X merupakan total nilai seluruh ekspor dari pelapor ekspor i


ke mitra dagang j dan x merupakan nilai ekspor dari produk k

Tabel 12. Target Grup FGD


Target Grup No. Rincian

Pelaku usaha 1 APINDO

2 HIPMI Jaya

3 Asosiasi Pertekstilan Indonesia

4 Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia

5 Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman

6 American Chamber

7 Adis Dimension Footwear (Sepatu)

8 Pan Brothers (Garment)

9 Anabatic (IT)

10 Matari Advertising

11 Baba Rafi (UMKM Makanan)

12 Perbankan (Mandiri, OCBC NISP, DBS)

13 PT. Berlian Laju Tanker

14 Bank Ekspor Impor Indonesia

15 PT. Bukit Muria Jaya

16 WIKA (liaison)

Pemerintah 1 Kementerian Perdagangan

2 Kementerian Perekonomian

3 Kementerian Perindustrian

4 BKPM

5 Bappenas

Lembaga Peneliti 1 CSIS

Lembaga Internasional 1 IMF

2 AIPEG

107
Sumber: WITS World Bank, diolah Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 50. Jumlah Produk dan Gambar 51. Pangsa Ekspor ke


Pasar Negara Maju (2013)

Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 52. Jangkauan Ekspor Tiongkok 2010–2013

108
-10
10
30
50
50
70

-10

80
70
10
30

-70
-20
30
130
180
90
110
90
110

Creation of old products Creation of old products Creation of old products

0.01

0.02
in old markets in old markets in old markets

Margin
Margin

Extensive
Extensive
Introduction of old Introduction of old Introduction of old
0

0
products in new markets products in new markets products in new markets

1.02
0.96

5.23
Increase of new products Increase of new products Increase of new products
0.96

1.01

5.21
in old markets in old markets in old markets

Increase of new products Increase of new products Increase of new products

0
0

0
in new markets in new markets in new markets

Filipina
Thailand
Indonesia
Extinction of exports of Extinction of exports of Extinction of exports of
old products in old old products in old old products in old

-0.64
-0.53

-12.87
markets markets markets

Margin
Margin

Intensive
Intensive
Fall of old products in old Fall of old products in old Fall of old products in old

-9.48
-9.15

-69.04
markets markets markets

94.76
98.98
99.05

Increase of old products Increase of old products Increase of old products


109.1

in old markets in old markets in old markets


108.73

176.67

30
80
10
30
50
70
90
50
70
90

10
30

-70
-20
-10
-10

130
180
110
110

-30
-10

-10
10
30
30
50
70
90
10
30
50
70
130

50
70
90
110
90
110

-10
10

Creation of old products Creation of old products Creation of old products

0
0
0

in old markets in old markets in old markets


Margin

Margin
Extensive

Extensive
Introduction of old Introduction of old Introduction of old

0
0

products in new markets products in new markets products in new markets

Sumber: WITS World Bank, diolah


0.01
2.73
0.17

Increase of new products Increase of new products Increase of new products

0.01
0.17

2.73

in old markets in old markets in old markets

Increase of new products Increase of new products Increase of new products


0

0
0

in new markets in new markets in new markets


Vietnam
Malaysia

Tiongkok
Extinction of exports of Extinction of exports of Extinction of exports of
old products in old old products in old old products in old
-0.3

-0.09

-0.08

markets markets markets


Margin

Margin

Margin
Intensive

Intensive

Intensive

Fall of old products in old Fall of old products in old Fall of old products in old
-0.47

-4.97
-20.01

markets markets markets


97.27
99.83

99.99

Gambar 53. Dekomposisi Pertumbuhan Ekspor tahun 2003–2013


Increase of old products Increase of old products Increase of old products
97.83

in old markets in old markets in old markets


105.04
120.14

30
50
70
90
10
30
50
70

10
30
50
70
90
90

-10
-30
-10

109
-10
130

110
110

10
Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 54. Export Relative to Endowment – Malaysia 2013

Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 55. Export Relative to Endowment – Philippines 2013

Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 56. Export Relative to Endowment – Vietnam 2013

110
Sumber: WITS World Bank, diolah

Gambar 57. Export Relative to Endowment – Tiongkok 2013

111

Anda mungkin juga menyukai