WORKING PAPER
Masagus M. Ridhwan
Gunawan Wicaksono
Linda Nurliana
Pakasa Bary
Fenty Tri Suryani
Redianto Satyanugroho
September, 2015
Abstrak
1 Adalah Peneliti Ekonomi di Grup Riset Ekonomi (GRE), Departemen Kebijakan Ekonomi
dan Moneter (DKEM), Bank Indonesia. Pandangan dalam paper ini merupakan
pandangan penulis dan tidak merefleksikan pandangan DKEM atau Bank Indonesia.
Penulis menyampaikan penghargaan kepada Bpk. Solikin M. Juhro, Bpk. Yoga Affandi,
1
I. PENDAHULUAN
2
hubungan dagang internasional itu tentu akan sangat relevan dengan tugas Bank
Indonesia dalam rangka stabilitas makroekonomi domestik, khususnya inflasi dan
nilai tukar.
Defisit transaksi berjalan Indonesia yang telah terjadi sejak akhir tahun
2011 hingga periode berjalan sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu
faktor domestik: masalah struktural pada industri dan perdagangan, dan faktor
eksternal: shock global. Struktur ekspor Indonesia saat ini didominasi oleh
industri pengolahan berbasis sumber daya alam (SDA) yang kinerjanya bergantung
pada harga komoditas. Berakhirnya commodity super cycle dan perlambatan
ekonomi dunia menyebabkan turunnya harga komoditas yang berdampak negatif
terhadap ekspor Indonesia.
Selain itu, pangsa industri Indonesia semakin menurun pada 1–2 dekade
terakhir dan secara bersamaan rata–rata pertumbuhan ekonomi menjadi lebih
rendah jika dibandingkan dengan tahun 1980-an. Saat ini industri pengolahan
Indonesia sendiri umumnya didominasi oleh industri yang berorientasi domestik
dengan tingkat kandungan impor yang tinggi. Salah satu penyebabnya adalah
lemahnya kebijakan investasi dan kurangnya koneksi pada pasar global.
Indonesia sendiri mempunyai potensi yang jauh melebihi kinerja saat ini.
Indonesia mempunyai sumber daya alam yang melimpah, mengalami bonus
3
demografi, dan mempunyai letak geografis yang strategis. Selain itu, Indonesia
juga dapat mengoptimalkan momentum the rise of Asia untuk ikut
mengembangkan ekonominya.
4
tingkat persaingan yang tinggi sehingga negara yang memiliki daya saing tinggi di
ekspor, umumnya juga lebih unggul pada faktor domestik. Hal itu sejalan dengan
hubungan timbal balik antara perdagangan dan produktivitas. Pelaku usaha yang
produktif menjadi eksportir dan akan semakin produktif dengan adanya
permintaan dari pasar ekspor. Lebih lanjut, Reis dan Farole (2012) menyatakan
bahwa hambatan utama negara berkembang untuk bersaing dalam perdagangan
internasional umumnya bersifat behind the border, yaitu faktor internal dalam
suatu negara seperti logistik, bea cukai, pembiayaan, kondisi faktor produksi, dan
kurangnya kompetisi.
Tujuan penelitian ini adalah: (a) menganalisis daya saing industri nasional
pada era perdagangan bebas dunia (termasuk MEA, dll), dan (b) menyusun strategi
industri nasional yang berdaya saing tinggi.
5
1.4 Organisasi Penulisan
Penulisan kajian ini akan dibagi ke dalam lima bab yang dimulai dengan
Bab 1 mengenai pendahuluan dan tujuan dari penelitian ini, kemudian
dilanjutkan dengan Bab 2 yang berisi studi literatur yang pernah dilakukan. Pada
Bab 3 diuraikan metode dan data yang digunakan dalam riset ini. Hasil empiris,
analisis, dan rekomendasi kebijakan yang berupa strategi nasional yang dapat
ditempuh untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam upaya menjadikan
Indonesia sebagai basis produksi dan investasi, terutama di kawasan ASEAN, akan
diuraikan pada Bab 4. Kajian ini ditutup pada Bab 5 yang berupa simpulan dan
rekomendasi penelitian lebih lanjut.
6
II. STUDI LITERATUR
Dalam Cetak Biru MEA 2015 terdapat empat tujuan pilar utama MEA yang
ingin dicapai dan memiliki keterkaitan erat satu sama lain. Pertama, pembentukan
pasar tunggal dan basis produksi. Tujuan ini akan menciptakan terjadinya aliran
bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja, serta aliran modal yang lebih bebas
7
antarnegara di kawasan. Sebagai tahap awal disepakati dua belas sektor kerja
prioritas yang mewakili lebih dari 50% perdagangan intra-ASEAN, yaitu (1)
pengolahan agro, (2) industri berbasis karet, (3) industri berbasis kayu, (4)
penerbangan, (5) otomotif, (6) elektronik, (7) teknologi komunikasi informasi, (8)
perikanan, (9) kesehatan, (10) logistik, (11) tekstil, serta (12) pariwisata. Indonesia
menjadi negara koordinator untuk sektor otomotif dan industri berbasis kayu.
Tercapainya tujuan tersebut akan mentransformasikan berbagai keragaman
karakteristik di kawasan menjadi peluang bisnis yang dapat menjadikan ASEAN
lebih dinamis dan kuat dalam global supply chain. Terbentuknya pasar tunggal
akan memfasilitasi terbangunnya jejaring produksi di dalam kawasan dan
meningkatkan kapasitas ASEAN sebagai pusat produksi global atau bagian dari
global supply chain.Untuk mencapai tujuan tersebut, setiap negara anggota ASEAN
dituntut untuk meliberalisasi atau membuka pasar domestiknya.
8
untuk memastikan sentralitas dari ASEAN dan memperluas partisipasi ASEAN
dalam global supply chain.
9
Tabel 1. Studi Literatur
10
Tabel 1. (lanjutan)
Anas, Narjoko, dan Pemetaan daya saing dan potensi ekspor Indonesia
Aswicahyono (2015) – secara regional (daerah), khususnya sektor
“Mapping of Indonesia manufaktur, antara lain dengan Regional
Potential on Trading Comparative Productivity Advantage (RCPA). Selain
Manufacture Products: A itu, dilakukan FGD untuk mengetahui penyebab
Regional Perspective” performa ekspor dibawah potensinya.
11
III. METODOLOGI DAN DATA
Analisis daya saing yang dilakukan terdiri atas dua komponen yang
umumnya dilakukan secara berurutan, yaitu sebagai berikut.
12
dilakukan dengan pendekatan kuantitatif (analisis data sekunder) dan
kualitatif melalui survei dan wawancara (FGD), seperti wawancara dengan
perumus kebijakan, pelaku usaha, akademisi, ahli perdagangan, dan lainnya.
Hasil dari dua analisis tersebut akan dielaborasi lebih lanjut untuk
perumusan rekomendasi kebijakan dan perumusan strategi nasional. Gambar
berikut mengilustrasikan kerangka kerja dari analisis daya saing (TCD).
13
Dalam melakukan analisis kinerja perdagangan, terdapat empat faktor
utama, yaitu sebagai berikut.
1. Intensive Margin
Pertumbuhan ekspor dalam dimensi ini tercipta dengan menjual produk
yang sama pada pasar yang sama. Peningkatan intensive margin dapat tercipta
melalui spesialisasi, baik pada antarproduk (across) maupun dalam produk
(within). Dimensi ini secara umum mengevaluasi tingkat, pertumbuhan, dan
pangsa pasar ekspor yang terjadi saat ini (existing). Hasil analisis intensive
margin dapat menunjukkan posisi perdagangan Indonesia dibandingkan
dengan negara–negara peers–nya jika dilihat berdasarkan nilai atau volume
ekspornya. Ada beberapa indikator yang dianalisis seperti rasio nilai
perdagangan terhadap PDB, revealed comparative advantage (RCA) sektoral,
trade intensity index, trade complementary index.
2. Extensive Margin
Untuk negara berkembang, dimensi ini kritikal untuk mendorong ekspor
dan penciptaan lapangan kerja. Extensive margin berarti menjual produk baru
atau menjual produk yang ada saat ini (existing) ke pasar yang baru. Struktur
ekspor yang semakin terdiversifikasi akan mengurangi kerentanan akan
demand shocks dan pergerakan harga di luar negeri. Diversifikasi ekspor juga
penting sebagai indikasi arah pertumbuhan pada masa mendatang. Export
diversification melihat konsentrasi dan variasi produk dan pasar dari ekspor
suatu negara, tingkat kesesuaian portofolio ekspor suatu negara dengan
produk dan pasar dunia yang berkembang, dan evolusi pasar dari ekspor
spesifik (sukses atau tidak).
3. Quality Margin
Dimensi ini mengevaluasi produk-produk ekspor berdasarkan kualitas
dan kecanggihannya. Produk yang mengandung nilai tambah lebih tinggi dari
sisi orisinalitas (ingenuity), skill, dan teknologi akan memiliki harga yang lebih
tinggi di pasar. Dengan demikian peningkatan (upgrading) kualitas produk
menjadi sumber yang pasti bagi pertumbuhan ekspor dan ekonomi. Dimensi
ini diukur dengan menganalisis teknologi, pendapatan, factor contents dari
ekspor untuk menentukan tingkat kecanggihan dan nilai produk, serta product
space untuk mengidentifikasi sektor tempat suatu negara memiliki atau
kehilangan keunggulan.
14
4. Sustainability Margin
Agar ekspor baru dapat bertahan dan memberikan pertumbuhan jangka
panjang, diperlukan daya tahan sebagian besar perusahaan yang dapat
memanfaatkan kesempatan dan mengatasi hambatan pada tahun-tahun awal.
Sustainability margin of new exporter mengevaluasi survival rate dari barang-
barang yang diekspor, baik barang baru maupun barang yang sudah lama
diekspor. Selain itu, pada tahap ini dilihat juga pertumbuhan dan survival rate
dari hubungan ekspor, intensitas faktor ekspor, dan perbandingan tingkat
endowment nasional. Bentuk partisipasi perusahaan dan survival pada sektor
ekspor membantu mengidentifikasi faktor utama (biaya entry, faktor, teknologi,
dan efisiensi) yang menjadi hambatan utama terhadap daya saing.
Analisis kinerja perdagangan dilakukan dengan 4 tahapan, yaitu sebagai
berikut.
a. Pemilihan peer countries bertujuan sebagai benchmark dari kinerja negara yang
diukur. Umumnya peer countries meliputi kombinasi antara negara tetangga,
negara dengan ukuran, pertumbuhan ekonomi, struktur yang sama, dan
negara kompetitor.
b. Pengumpulan dan kompilasi data, baik cross section maupun time series.
c. Analisis dan interpretasi.
d. Identifikasi tantangan utama pada daya saing.
1. Akses Pasar
Akses pasar merupakan sebuah konsep yang membahas kebijakan
perdagangan yang dapat memfasilitasi atau membatasi eksportir untuk masuk
dan menjaga daya saingnya di pasar. Dalam market access dilihat faktor–faktor
yang menghambat penjualan barang ekspor, seperti hambatan tarif dan
hambatan nontarif. Gambar 5 mengilustrasikan cakupan dari analisa market
access.
15
Sumber: Reis and Farole (2012)
16
3.1.3 Forum Diskusi Terpumpun (Focus Group Discussion (FGD))
Focus group discussion merupakan bagian penting dalam analisis TCD
karena menjadi sarana yang menghubungkan hasil benchmark data/kuantitatif
yang telah dilakukan dengan kondisi faktual yang terjadi. Secara garis besar FGD
dilakukan terhadap tiga kelompok, yaitu pelaku usaha, perumus kebijakan
(pemerintah), dan ahli dengan perincian sebagaimana tertera pada lampiran (Tabel
12).
3.2 Data
Tabel 1. Data
Variabel Sumber Data
Ekspor (per komoditas HS/SITC, per negara), Impor World Integrated Trade
(per komoditas HS/SITC, per negara, revealed Solution (WITS), World
comparative advantage, konten teknologi ekspor, Bank.
product sophistication, tariff, non tariff barriers, dan
lain–lain.
Populasi, PDB, Suku bunga pinjaman riil, akses World Development
pembiayaan, bandwidth internet, konsumsi listrik, Indicators (WDI), World
logistik, dan lain–lain Bank.
Lisensi teknologi, pelatihan formal, sertifikasi kualitas Enterprise Surveys,
internasional, dan lain–lain. World Bank.
Kemudahan berusaha, doing business index, waktu Doing Business, World
untuk ekspor/impor, dan lain–lain. Bank.
Global competitiveness World Economic Forum
17
IV. HASIL DAN ANALISIS
Dari hasil analisis kinerja perdagangan (Tabel 3), kinerja ekspor Indonesia
terlihat tertinggal jika dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand dan masuk
dalam klasifikasi negara low middle income country yang cenderung bersifat
resource based dan rendah nilai tambah. Vietnam terlihat mengalami peningkatan
kinerja ekspor secara tajam dalam dua dekade terakhir. Secara umum Indonesia
memiliki permasalahan dan terlihat mengalami penurunan kinerja pada keempat
dimensi ekspornya dengan isu utama pada intensive dan quality margin.
Kelemahan ekspor Indonesia mengindikasikan bahwa industri Indonesia
cenderung semakin inward oriented yang didukung dengan temuan analisis
keterkaitan nilai tambah.
18
Tabel 2. (lanjutan)
Permasalahan Utama Ekspor Keterangan
Quality Margin ↓↓ Indonesia tertinggal pada ekspor produk high tech
dan sedikit unggul pada primary products. Selain
itu, bila dibandingkan selama 10–20 tahun
terakhir, terdapat indikasi pergeseran produk
ekspor Indonesia dari low dan hightech menjadi
medtech dan resource–based.
Sustainability Margin ↓ Durasi ekspor Indonesia hanya lebih baik dari
Filipina
Keterangan:
↓ : sedikit tertinggal dibandingkan peers
↓↓ : tertinggal dibandingkan peers
19
Sumber: WDI, WITS Worldbank, diolah
20
Pertumbuhan ekspor dapat disebabkan oleh perubahan pada harga (export
value), volume ekspor (export volume), atau keduanya. Export value index
merupakan nilai ekspor (c.i.f) yang dikonversi ke dolar AS dan dinyatakan dalam
persentase dari rata-rata tahun dasar. Export volume index merupakan rasio
antara export value index dan unit value index-nya. Indikator ini (Gambar 9)
merefleksikan indeks perdagangan berdasarkan nilai dan volume perdagangan.
Selama periode tahun 2009–2012, Tiongkok dan Vietnam menunjukkan
pertumbuhan ekspor yang cukup tinggi berdasarkan nilai dan volume ekspornya.
Meskipun berdasarkan export volume index, Indonesia berada pada posisi terakhir,
tetapi nilai barang ekspor Indonesia relatif moderat.
21
Sumber: WITS Worldbank, diolah Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 9. Export Value Index vs. Gambar 10. Trade Intensity Index to
Export Volume Index Japan
22
Sumber: WITS Worldbank, diolah Sumber: WITS Worldbank, diolah
23
lebih rendah dari pertumbuhan impor mitra dagang dari ROW. Pasar dimana
Indonesia meningkatkan pangsanya adalah Tiongkok dan India. Sementara
Vietnam (Gambar 14) justru meningkatkan pangsanya di hampir seluruh mitra
dagangnya dengan pangsa ekspor terbesar ke USA.
2Mitra dagang dihitung apabila telah terjadi ekspor minimal satu barang dengan nilai
minimum 10,000 USD dan jumlah produk dihitung apabila setidaknya dikirim ke satu
negara dengan nilai setidaknya 10,000 USD.
24
dengan Tiongkok (Lampiran-Gambar 52), yaitu produk yang mencapai lebih dari
10 pasar adalah sebanyak 4.123 (2010) dan meningkat menjadi 4.133 (2013) yaitu
sekitar 87–88% dari total 4.687 produk yang survive. Selain itu, tingkat kematian
produk Indonesia cukup tinggi dibandingkan peers (Tabel 3) dengan surviving
product bernilai tinggi adalah natural resources–based goods (Tabel 4).
25
mengukur apakah suatu negara big player pada produk yang diekspornya (pangsa
suatu negara pada produk yang diekspornya di perdagangan dunia) dan EM
mengukur seberapa penting barang yang diekspornya secara global (ekspor ragam
portofolio relatif terhadap semua ekspor dunia). Untuk Hummels-Klenov pasar, IM
mengindikasikan apakah suatu negara big player pada pasar ekspornya dan EM
mengukur seberapa penting pasar ekspornya secara global. Dalam satu dekade
(Gambar 16 dan Gambar 17) Indonesia mengalami peningkatan moderat dan
hanya lebih baik dari Filipina dalam meningkatkan pangsanya di produk dan
pasar ekspor-nya. Vietnam terlihat signifikan meningkatkan prduk dan pasar yang
bernilai secara global (EM) dan Tiongkok terlihat paling berhasil meningkatkan
perannya pada produk dan pasar ekspornya (IM).
26
4.1.1.3 Quality Margin
Quality margin mengukur kinerja ekspor dari sisi kualitas, yang antara lain
dilakukan melalui analisis komponen teknologi, tingkat kecanggihan (product
sophistication), product space, serta relative quality. Klasifikasi produk ekspor
menurut komponen teknologi dimungkinkan menggunakan SITC 3 digit
berdasarkan Hatzichronoglou (1997) dan Lall (2000). Analisis product sophistication
(EXPY)3 merujuk pada Hausmann, Hwang, and Rodrik (2007). Lebih lanjut, product
space merujuk pada Hidalgo et al. (2007) yang memetakan koneksi antarproduk
berkeunggulan komparatif pada suatu negara.
Sumber: WDI, WITS World Bank, diolah Sumber: WDI, WITS World Bank, diolah
3
EXPY diukur dari proporsi ekspor atas PRODY masing–masing produk dan PRODY
merupakan tingkat kecanggihan suatu produk yang diukur dari pendapatan per kapita
negara (pada PPP) pengekspor utama produk tersebut di dunia.
27
Sumber: WDI, WITS World Bank, diolah
Gambar 19. Tingkat Kecanggihan Produk Ekspor dan PDB Per Kapita
4Konsep product space mengacu pada Hidalgo et. al. (2007) yang dipetakan dengan product
space explorer (http://www.chidalgo.com/productspace/data.htm) dan Cytoscape
(www.cytoscape.org). Data RCA dihitung menggunakan data ekspor UN Comtrade dari
World Integrated Trade Solution, World Bank.
28
Sumber: Perhitungan peneliti dengan Cytoscape dan Product Space Explorer, sumber
data ekspor dari WITS.
5 Mengikuti Reis dan Farole (2012), relative quality diproksikan dari rasio unit price suatu
produk terhadap unit price peers pada percentile 90. Asumsinya adalah saat suplai
kompetitif, harga yang tinggi umumnya terkait dengan kualitas = diferensiasi produk yang
lebih tinggi. Kategori produk menggunakan HS 6 digit.
29
quality dari produk Indonesia yang tertinggi (dibandingkan peers) adalah crane
lorries, lifting machinery, dan tower cranes.
Lebih lanjut, pada gambar dibawah, dapat diketahui produk ekspor dengan
pangsa pasar tinggi, tetapi kualitas rendah, yaitu natural gas dan nickel. Copper
mempunyai pangsa pasar tinggi dengan kualitas tinggi. Selain itu, produk yang
mempunyai pangsa pasar rendah, tetapi kualitas tinggi adalah crane lorries dan
lifting machinery. Lebih lanjut, antara tahun 2010 ke 2013 terdapat peningkatan
pangsa pasar dan kualitas pada crane lorries, pesawat, dan natural gas. Sementara
itu, terdapat penurunan pangsa pasar pada tower crane.
Gambar 21. Posisi Pangsa Pasar dan Relative Quality Produk Ekspor
30
hubungan produk baru-pasar yang bertahan di Indonesia adalah sebesar 61,2%
dengan jumlah hubungan ekspor sebesar 326. Export duration ini hanya lebih baik
dibandingkan Filipina dan Malaysia, tetapi lebih rendah dibandingkan Vietnam,
Thailand, Tiongkok, dan India (Gambar 22).
Perubahan pada arus ekspor dapat terjadi sepanjang dua margin yang
berbeda, yaitu intensif dan ekstensif. Intensive margin meliputi perubahan pada
arus perdagangan saat ini (existing) yang dapat dibagi lagi menjadi peningkatan,
penurunan, dan kepunahan (extinction). Extensive margin meliputi penambahan
arus perdagangan baru yang mungkin terjadi karena pengenalan produk baru
(introduction of a new product), masuk ke pasar baru (entry into new market), atau
diversifikasi produk dengan mitra dagang saat ini. Indikator decomposition of export
growth along margins of trade mendekomposisi semua pertumbuhan perdagangan
menjadi salah satu dari tujuh kategori eksklusif sesuai dengan margin tersebut.
Suatu negara yang sudah mengekspor ke berbagai pasar dan telah sangat
terdiversifikasi portofolio ekspornya mungkin memiliki potensi terbatas untuk
ekspansi pada extensive margin. Bahkan, untuk negara–negara berkembang,
extensive margin umumnya menyumbang tidak lebih dari 20% pertumbuhan
ekspor (Brenton dan Newfarmer, 2009). Sementara itu, bagi eksportir yang telah
mature, pertumbuhan umumnya terjadi pada intensive margin.
31
kerugian terjadi dalam intensive margin, termasuk punahnya hubungan produk–
pasar. Dalam EM kinerja ekspor negara–negara tersebut tidak menunjukkan
pertumbuhan yang berarti, hanya sebagian kecil peningkatan pada penjualan
produk yang ada ke pasar baru. Indonesia relatif lebih baik dari Filipina dan
Malaysia dari sisi IM (IM tumbuh 108,73% dan turun 9,15%). Namun, dapat
dilihat bahwa pertumbuhan Tiongkok relatif lebih baik karena IM tumbuh
105,04% dan penurunan ekspor sebesar 4,97%. Dari dimensi EM, Vietnam
tumbuh 2,73%, lebih tinggi dibandingkan Indonesia sebesar 0,96%.
Extinction of exports of
Introduction of old
in new markets
in old markets
in old markets
in old markets
in new markets
in old markets
Creation of old products
markets
markets
markets
Introduction of old
in old markets
in old markets
markets
Indonesia Vietnam
Sumber: WITS World Bank, diolah
32
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 24. Export Relative to Endowment – Indonesia 2013
33
Tabel 6. Ringkasan Diagnostik Daya Saing
Tantangan Utama Keterangan
Ekspor Indonesia
Trade and Invesment ↓ Kendala utama dalam promosi ekspor dan investasi
Facilitation Indonesia adalah di bidang standar dan sertifikasi
yang belum memenuhi standar internasional dengan
promosi investasi dan ekspor yang tergolong lemah.
Keterangan:
↓ : Sedikit tertinggal dibandingkan peers
↓↓ : Tertinggal dibandingkan peers
34
Sumber: WITS World Bank, diolah
Rata–rata tarif bea masuk untuk barang impor yang diterapkan oleh
Indonesia berkisar antara 5%–10%. Negara–negara maju tujuan ekspor, seperti
USA dan Jepang menerapkan tarif bea masuk barang impor <5%. Amerika,
Jepang, Tiongkok, Korea, India, dan Eropa memberlakukan tarif bea masuk yang
tinggi untuk produk–produk pertanian, berkisar antara 5%–35%. Di Indonesia,
tarif bea masuk untuk produk pertanian relatif sama dengan produk–produk non-
pertanian. Beberapa negara di kawasan, seperti Thailand dan Vietnam
memberlakukan tarif bea masuk yang lebih tinggi untuk produk pertanian.
Bilateral trade arrangement antara Indonesia dan beberapa negara tujuan ekspor
menyebabkan produk–produk Indonesia bisa mendapatkan tarif bea masuk yang
lebih rendah. Jika dibandingkan dengan negara–negara kawasan, tarif bea masuk
yang berlaku di Indonesia dan Filipina tergolong paling rendah, terutama untuk
produk–produk impor dari negara–negara Asia Tenggara. Eropa memberlakukan
non-tariff measures yang cukup tinggi, terutama dalam bentuk TBT dan SPS. Oleh
karena itu, respon yang krusial adalah membentuk trade agreement dengan Eropa
untuk mengeliminasi non-tariff measures tersebut.
35
Tabel 7. Daftar Non–Tariff Measures di Beberapa Negara
Incentive framework merupakan salah satu determinan daya saing dari sisi
suplai, yaitu kerangka insentif yang dihadapi pelaku usaha. Terdapat dua hal yang
dikupas, yaitu kebijakan perdagangan dan investasi serta kebijakan dan institusi
domestik. Dari sisi kebijakan perdagangan dan investasi, kebijakan FDI Indonesia
paling rendah dibandingkan peers (Gambar 27) karena hanya sektor
pertambangan, minyak dan gas, serta listrik dan perbankan yang keterbukaan
36
terhadap investasi asing lebih tinggi daripada rata–rata. Sementara itu, dari sisi
kebijakan dan institusi domestik, kemudahan berusaha Indonesia terendah di
ASEAN dan jika dibandingkan dengan peers-nya menurun dalam 10 tahun
terakhir (Gambar 28) meskipun terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2014
(peringkat 120). Beberapa aspek jauh lebih rendah dari peers seperti starting a
business, registering property, enforcing contracts, dan paying taxes (Gambar 29).
37
4.1.2.3 Factor Conditions
Kondisi tenaga kerja, logistik, serta beberapa faktor lain yang kurang baik
menjadi hambatan keunggulan Indonesia dibandingkan dengan negara peers
lainnya.
Untuk kondisi tenaga kerja, terdapat biaya yang tinggi. Upah minimum
terlalu tinggi (apabila mempertimbangkan produktivitas), jika dibandingkan
dengan kondisi negara maju. Upah minimum yang terlalu tinggi menyebabkan
PHK serta pemindahan pabrik ke provinsi dengan UMR lebih rendah. Biaya
pemecatan juga sangat tinggi dibandingkan peers, yaitu sekitar 50 kali gaji
mingguan. Selain itu, terdapat beberapa implicit cost seperti banyaknya labor union
yang menyulitkan proses negosiasi, banyaknya demonstrasi, serta meningkatnya
risiko operasional.
Dari sisi skill, terdapat permasalahan yang lebih serius. World Bank (2014)
menyatakan bahwa (1) terdapat skill mismatch, 50% lulusan SMA/setara dan 15%
lulusan universitas bekerja di unskilled position; (2) 70% pengusaha manufaktur
mengatakan ‘sangat sulit’ untuk mengisi skilled positions; (3) hanya 5% pekerja
yang memperoleh on-the-job training formal. Lebih lanjut, hasil FGD
mengindikasikan bahwa Indonesia membutuhkan medium dan high skilled workers
pada tahun 2020. MEA menyebabkan Indonesia akan mengalami shortage skilled
labor.
38
Kondisi logistik memprihatinkan dan sangat menghambat perkembangan
daya saing. Walaupun data WDI menunjukkan bahwa Logistic Performance Index
dan kondisi infrastruktur Indonesia sedikit meningkat, kondisinya masih lebih
rendah dibandingkan peers. Skor international shipments turun dan menempati
peringkat terbawah. Lebih lanjut, waktu yang dibutuhkan untuk ekspor-impor
relatif lama dibandingkan negara peers, yang antara lain karena adanya hambatan
akses di darat dan proses bongkar muat di pelabuhan.
39
4.1.2.4 Trade Promotion Infrastructure
40
ditambah dengan kurangnya monitoring dan penegakan peraturan
berkontribusi pada terjadinya kompetisi kualitas rendah pada pasar domestik.
b. Inovasi
41
demikian, berdasarkan informasi dari pelaku usaha, hanya sedikit industri
yang mulai melakukan inovasi dengan mendesain beberapa produk untuk
pasar domestik dan juga mulai bergabung dalam Global Value Chain (GVC).
6.00
5.2 2006-2007
5.1 5.2
5.00 2014-2015
4.3 4.4 4.3
4.0 4.1
3.9
4.00 3.7 3.6
3.4
3.2 3.3
3.00
2.00
1.00
0.00
China India Indonesia Malaysia Philippines Thailand Vietnam
42
Perindustrian bekerja sama dengan universitas di Banten akan mendirikan
Akademi Komunitas Petrokimia Banten. Pendirian akademi tersebut
merupakan sebuah jawaban atas tantangan industri petrokimia terhadap
kualitas sumber daya lokal yang berbasis kompetensi sehingga akhirnya dapat
meningkatkan daya saing industri petrokimia nasional.
43
Tabel 8. IPI Performance Score
44
Jumlah KEK Indonesia relatif setara dengan negara peers meskipun jika
dibandingkan dengan luas wilayah, jumlah itu masih relatif kecil. Selain itu,
pengembangan kawasan ekonomi/industri di Indonesia masih terbatas. Hal itu
disebabkan, antara lain, oleh beberapa faktor berikut.
45
a. Kejelasan aturan main dan kepastian hukum
Regulasi yang mendukung pengembangan sektor industri dan
perdagangan di Indonesia masih dirasakan kurang optimal dan cenderung
tidak jelas implementasinya. Regulasi yang ada banyak yang tumpang tindih
antara satu sektor dan sektor lainnya. Khusus terkait kebijakan mengenai tarif
tenaga listrik (TTL) dan upah tenaga kerja, pelaku usaha mengharapkan bahwa
ada penetapan mekanisme yang terencana terkait penetapan tarif dan upah
tersebut.
b. Keterbatasan jumlah free trade agreement (FTA) yang dilakukan Indonesia, baik
multilateran maupun bilateral
Pelaku usaha mengharapkan adanya penambahan jumlah trade
agreement dengan negara maju tujuan ekspor untuk mendorong perluasan
akses pasar Indonesia dan upaya tergabung dalam global supply chain. Selain
itu, dalam FGD juga terungkap bahwa trade agreement yang sudah terjadi
mengalami hambatan dalam implementasinya (menemui jalan buntu).
Keterhambatan implementasi tersebut disebabkan oleh kurang detilnya pihak
Indonesia menjelaskan poin-poin yang dibutuhkan dalam trade agreement
tersebut. Hal itu disinyalir akibat dari kurangnya koordinasi antara pihak yang
melakukan trade agreement dan perwakilan pelaku usaha dalam memetakan
kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh pelaku usaha sebagai subjek yang
melakukan proses produksi ataupun perdagangan. Selain itu, pemanfaatan
butir-butir kesepakatan dalam FTA juga masih sangat terbatas sehingga
dibutuhkan lebih banyak upaya memperkenalkan dan mempermudah
pemanfaatan butir–butir kesepakatan FTA tersebut.
46
d. Aturan perpajakan
Aturan perpajakan Indonesia merupakan salah satu hambatan yang
cukup besar perannya dalam sektor industri dan perdagangan di Indonesia.
Salah satunya adalah PPN berganda dan restitusi pajak yang memerlukan
waktu lama sebagai keluhan utama pelaku usaha di lapangan.
6
Analisis Triangular Trade dan Rantai Nilai di Asia dengan Fokus pada Indonesia sebagai
Masukan dalam Penyusunan Strategi Nasional Indonesia di Era Masyarakat Ekonomi
ASEAN oleh Rakhman dkk. (2015).
47
Dari sisi investasi, (Tabel 10) dapat dilihat bentuk FDI yang berbeda
antarnegara ASEAN. Di Thailand FDI mendorong ekspor; di Indonesia FDI
mendorong penyerapan tenaga kerja dan memasok permintaan domestik; di
Vietnam FDI mendorong investasi modal, ekspor, dan penyerapan tenaga kerja;
dan di Malaysia FDI berdampak pada ekspor dengan penyerapan tenaga kerja yang
lebih terampil (sektor skill-intensive). Hal itu menguatkan temuan analisis kinerja
perdagangan bahwa Indonesia belum menjadi lokasi pilihan untuk menjadi
industri yang berorientasi ekspor, tetapi cenderung menjadi pasar yang ditandai
dengan daya saing internal yang lemah dan tipe investasi yang masuk yang lebih
bertujuan memasok permintaan domestik.
48
4.2 Pelajaran dari Negara Lain
“The right model for industrial policy is not that of an autonomous government
applying Pigovian taxes or subsidies (i.e. lump sum taxes or subsidies), but of
strategic collaboration between the private sector and the government with the aim
of uncovering where the most significant obstacles to restructuring lie and what type
of interventions aremost likely to remove them” (Dani Rodrik, Harvard University,
Industrial Policy in the Twenty First Century).
4.2.1 Tiongkok
49
Reformasi yang dilakukan pada dasarnya bertujuan untuk mendorong partisipasi
sektor swasta (private sector-led growth).
50
FDI tidak hanya membawa akses pasar terkait produk dan pesanan, tetapi juga
memungkinkan terjadi transfer teknologi yang mendorong peningkatan struktur
tenaga kerja. Seiring pertumbuhan struktur endowment tersebut, struktur
industri/teknologi juga akan meningkat melalui proses belajar dan akumulasi
pengetahuan. Secara khusus relokasi tenaga kerja dan pertumbuhan human
capital akan tercipta pada sektor ketika harga telah terliberalisasi dan terdapat
comparative advantage. Secara bertahap industrial upgrading Tiongkok berlangsung
seperti paparan berikut.
51
adalah (a) menyelaraskan regulasi untuk trade promotion dan preferential
treatment untuk menarik FDI, (b) memberikan otonomi dan tax assignment
system pada pemerintah daerah sehingga mendorong pemda untuk
mereformasi daerahnya agar lebih terbuka pada perdagangan dan investasi, (c)
menyediakan insentif untuk FDI, ekspansi ekspor, dan pertumbuhan sektor
swasta, serta (d) memprioritaskan investasi pada high-tech firms, managerial
know-how, dan talent.
52
Gambar 42. Kerangka Strategi Kebijakan Industri Nasional
53
birokrasi (debirokratisasi); (2) penempatan pejabat yang lebih berdasarkan pada
kompetensi; (3) manajemen pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan
publik yang bersih dan tata kelola; (4) membangun mekanisme umpan balik
masyarakat; (5) kemitraan pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam
perumusan kebijakan publik dan kerja sama pembangunan (a.l. kerja sama
antara pemerintah dan swasta dalam pembangunan infrastruktur); serta (6)
pelayanan publik yang mendukung industri (call center, resource sharing, dan
konsultasi publik).
a. Promosi Ekspor
Untuk memperbaiki promosi ekspor, diperlukan revitalisasi peran
Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) sebagai marketer yang dikelola secara
profesional. Selain itu, diperlukan promosi dagang yang lebih intensif dan
permanen, antara lain dengan pembukaan outlet di ruang publik.
b. Fasilitasi Investasi
Selain penguatan koordinasi institusi (BKPM dan BKPMD), peningkatan
fasilitasi investasi juga dapat dilakukan dengan integrasi pelayanan terpadu
satu pintu (PTSP) pusat dan daerah sehingga terdapat standar yang sama
dalam pelayanan perizinan.
c. Kawasan industri
Dalam pembangunan kawasan industri, terdapat dua hal yang patut
diperhatikan, yaitu (1) pembangunan kawasan industri di luar Pulau Jawa
berorientasi pada bisnis dan pemerataan (KEK); (2) penyediaan lahan oleh
pemerintah untuk pengembangan kawasan industri (Kawasan Berikat
Nusantara/KBN) yang terintegrasi dengan dukungan konektivitas dan
infrastruktur.
d. Insentif fiskal
Beberapa insentif fiskal dapat dilakukan untuk mendorong perdagangan
dan investasi, antara lain berupa (1) penerapan insentif perpajakan bagi
industri berorientasi ekspor; (2) penghilangan hambatan kebijakan perpajakan
yg memperberat industri; dan (3) penyelesaian restitusi pajak yang lebih cepat
dan efisien.
54
e. Lingkungan makroekonomi yang kondusif
Diperlukan upaya pengendalian inflasi secara lebih intensif dan
menyeluruh. Selain itu, kestabilan nilai tukar rupiah perlu dijaga dengan
bauran kebijakan.
55
keahlian tenaga kerja; (2) pendirian serikat buruh harus mendapat izin formal
dari pemerintah pusat dan daerah; dan (3) regulasi khusus yang
mempermudah pengadaan tenaga kerja asing (TKA) di bidang industri dengan
jangka waktu tertentu.
4.3.4 Infrastruktur
Tingginya biaya logistik yang diperkirakan mencapai 24% PDB (ALFI, 2015)
dan rendahnya Logistics Performance Index Indonesia di ASEAN-5 memengaruhi
lemahnya daya saing Indonesia. Dari perspektif Global Value Chain, besarnya biaya
logistik di Indonesia mengakibatkan Indonesia kurang efisien untuk dipilih sebagai
lokasi offshoring dan hub dalam produksi global. Oleh karena itu, Indonesia
cenderung dipilih hanya sebagai pasar untuk produk akhir. Hal ini perlu ditangani
melalui berbagai kebijakan mikro untuk memperbaiki kinerja logistik dan fasilitasi
perdagangan. Reformasi infrastruktur menjadi salah satu solusi untuk
memperbaiki kinerja logistik.
d. Regulasi pendukung
Regulasi pendukung terutama meliputi (1) penguatan status hukum
transportasi dan logistik dari Perpres No. 26 Tahun 2012 tentang Sislognas
56
menjadi UU Logistik. Dengan status dan kedudukan hukum setingkat UU,
regulasi yang mengatur aktivitas logistik akan mengarah pada sinkronisasi
dan harmonisasi hukum. Dengan demikian, stakeholder terkait akan memiliki
acuan pada saat menyusun peraturan-perundangan di bawahnya, baik di
tingkat pusat maupun daerah. Pembentukan UU Logistik akan membuat
aktivitas bisnis logistik melalui berbagai kelembagaan akan lebih memperoleh
kepastian hukum; (2) koordinasi antarsektor dalam pemeriksaan barang
impor; dan (3) Penerapan cash less payment untuk pengurusan customs
clearance.
a. Technological improvement
Untuk mengembangkan teknologi, hal yang perlu dilakukan ialah (1)
revitalisasi mesin yang digunakan oleh industri; (2) adopsi/modifikasi dan
penciptaan teknologi baru yang difasilitasi oleh pemerintah.
c. Business services
Di sisi lain untuk peningkatan efisiensi teknis, perlu dikeluarkan
kebijakan untuk mendorong/memberikan insentif bagi peningkatan business
service provider (a.l. supply chain, marketing, dan accounting, dan lain–lain).
57
4.3.6 Akses Pembiayaan
b. Modal ventura
7Uni Eropa menerapkan tarif yang lebih besar untuk barang jadi dibandingkan dengan
bahan mentah yang berimplikasi mengurangi insentif untuk melakukan industrial
upgrading.
58
trading, Indonesia sedang melakukan negosiasi regional comprehensive
economic partnership (RCEP) yang juga diikuti negara ASEAN lainnya.
Tabel 10. Trade Agreement Negara ASEAN
Mitra Indonesia Filipina Thailand Malaysia Vietnam
Jepang √ √ √ √ √
Pakistan √ √
Australia Konsultasi √ √
Chile JSG** √ √ √
India Akan √
negosiasi
New √ √
Zealand
Turki JSG √
Korea Perundingan √
berhenti
Eropa Wacana √ √ √
Peru √
Tiongkok √
Tunisia, JSG
Mesir
TPP √ √ √
59
Gambar 43. Kerjasama Perdagangan Mega Block Trading
Selain dari sisi tarif, FTA juga dapat menjadi media untuk
pengurangan dan streamlining non-tariff barriers (NTB) yang dihadapi
produk ekspor Indonesia. Produk ekspor Indonesia, baik dalam pertanian
maupun manufaktur menghadapi NTB yg “berat” di pasar. Laksono dan
Situmorang (2014) menyebutkan bahwa NTB yang dihadapi bersifat ketat,
inkonsisten, tidak transparan, dan cenderung tidak terstandardisasi.
Contoh NTB di pasar Eropa adalah pada rotan (legalitas), palm oil
8Dengan Amerika Serikat, Indonesia memiliki GSP untuk beberapa produk manufaktur,
perhiasan, karpet, produk pertanian, kimia, dan produk plastik serta karet.
60
(standardisasi, lingkungan hidup), dan tembakau. Sektor makanan dan
minuman juga menghadapi tantangan terkait metode higienis dan sanitasi
dalam menembus pasar ekspor global serta standardisasi di pasar ASEAN
(GAPMMI, 2015). FTA dapat menjadi salah satu media untuk mencapai
kesepakatan dengan pasar terkait standar, sertifikasi, testing, dan
transparansi informasi, selain peningkatan kapasitas industri Indonesia.
b. Sertifikasi/Standardisasi
Penetapan standar nasional yang sesuai dengan standar internasional
serta penguatan infrastruktur standardisasi Indonesia, antara lain, berupa
laboratorium uji berstandar internasional.
c. Sistem informasi/repository
Pembangunan dan updating sistem informasi mengenai FTA yang
lengkap, transparan, dan dapat diakses dengan mudah.
61
JANGKA PENDEK
Gratis pendidikan D1/D2/D3 (teknik), talent pool–ing mulai dari SMA, Insentif training
untuk industri, Merger serikat buruh, Regulasi khusus TKA
Revitalisasi peran ITPC (Indonesia Trade Promotion Center), insentif perpajakan untuk
industri ekspor, Menghilangkan hambatan perpajakan, restitusi pajak yang efisien
JANGKA MENENGAH
Faktor Institusi dan Leadership
Penyamaan visi/persepsi, leadership, Penegakan hukum, Sinergi (antar sektor, antar
daerah, perencanaan–pengendalian, Kemitraan dengan swasta & masyarakat
SDM dan ketenagakerjaan
Kurikulum beasiswa, pengajar & fasilitas riset–sains aplikatif untuk industri, izin utk
universitas asing, Alokasi anggaran training, Standarisasi kompetensi kerja
Skema insentif trade & investment
Promosi dagang intensif dan permanen, Integrasi institusi (BKPM–BKPMD, PTSP Pusat–
daerah, lahan yg terintegrasi dengan infrastruktur, Integrasi daerah hulu–hilir, Bauran
kebijakan untuk stabilitas makro
Infrastruktur
Akses jalan kawasan industri, Sistem informasi logistik, utilitas yang sustainable,
Koordinasi dalam barang impor
Technical efficiency
Revitalisasi mesin, fasilitas R&D untuk publik, sistem informasi riset, Insentif fiskal
untuk R&D, pengembangan networking, insentif pendirian business service provider,
Mempermudah hak cipta /paten, Penegakan hukum
Akses pembiayaan
Social responsibility bagi industri besar untuk industri pemula, industri untuk masuk
ke pasar modal dan obligasi
Akses pasar
Grand strategy FTA, Kolaborasi pemerintah–pengusaha, standar nasional=internasional,
infrastruktur standarisasi
JANGKA PANJANG
Infrastruktur
Pengalihan logistik ke kereta dan angkutan laut, Pembangunan infrastruktur,
Peningkatan moda transportasi logistik
Akses pasar
Perluasan pasar ekspor, Optimalisasi eksportir untuk CIF (cost, insurance & freight)
62
V. SIMPULAN
63
5. Studi terhadap strategi negara lain dalam mengembangkan industrinya
menunjukkan model pertumbuhan yang diadopsi saat bertransformasi dari
lower income country ke middle income country umumnya menggunakan strategi
pertumbuhan dengan tulang punggungnya adalah industri manufaktur
berorientasi ekspor. Kebijakan industri yang dilakukan adalah kebijakan yang
meningkatkan struktur endowment melalui akumulasi modal via investasi asing,
dan peningkatan human capital. Strategi yang ditempuh difokuskan pada
menjadikan negaranya sebagai basis produksi industri yang efisien yang
berorientasi ekspor. Pertumbuhan ekonomi dimotori oleh perusahaan swasta
dengan peran pemerintah sebagai fasilitator bagi kegiatan usaha dan
penyediaan kompetisi yang efektif tanpa menciptakan birokrasi berlebih dan
seminimal mungkin mengganggu mekanisme pasar. Untuk mencapai hal
tersebut, strategi yang ditempuh pada umumnya adalah melalui keterbukaan
terhadap perdagangan dan investasi, reformasi institusi untuk menciptakan
kondisi yang kondusif bagi investasi dan bisnis serta melakukan industrial
upgrading bertahap sesuai dengan endowment structure yang dimilikinya.
64
DAFTAR PUSTAKA
65
Hosono, Akio (2013), “Industrial Strategy and Economic Transformation: Lessons of
Five Outstanding Cases”, Working paper prepared for JICA/IPD Africa Task
Force Meeting
Jin, N.K., “Singapore as a Financial Center: New Developments, Challenges, and
Prospect” in Financial Deregulation and Integration in East Asia, NBER–EASE,
Ed. by Ito, T. And Krueger, A.O., University of Chicago Press, January 1996,
http://www.nber.org/chapters/c8569
JWT, 2013. ASEAN Consumer Report.
Keliat, Makmur et. Al, 2013. Pemetaan Pekerja Terampil Indonesia dan Liberalisasi
Jasa ASEAN. ASEAN Study Center UI dan Kementerian Luar Negeri RI.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2015. Dampak ASEAN Economic
Community (AEC) terhadap Perekonomian & Perumusan Strategi Nasional
dalam Persiapan Menghadapi AEC.
Kohpaiboon, A. and N. Yamashita (2011), ‘FTAs and the Supply Chain in the Thai
Automotive Industry’, in Findlay, C. (ed.), ASEAN+1 FTAs and Global Value
Chains in East Asia. ERIA Research Project Report 2010–29, Jakarta: ERIA.
pp.321–362.
Lall, Sanjaya (2000), “The Technological Structure and Performance of Developing
Country Manufactured Exports, 1985–1998”. QEH Working Paper Series,
QEHWPS44.
Laksono, Riandy dan Rosa Situmorang, 2014. In Facing the Indonesia–European
Union Comprehensive Economic Partnership Agreement: Perspective from
Indonesia’s Business Sector. APINDO Policy Series Vol. P.001/DPN–EUKAJ–
I/2014.
Lin, Justin Yifu and Yan Wang, 2008. Tiongkok’s Integration with the World
Development as a Process of Learning and Industrial Upgrading. The World
Bank WPS4799.
Lin, J.Y. and Treichel, V., “Making Industrial Policy Work for Development” in
Transforming Economies: Making Industrial Policy Work for Growth, Jobs and
Development, edited by Xirinachs, J.M, Nubler, I. and Wright R.K.,
International Labour Organization, Mei 2014.
Menon, S.V., “Governance, Leadership and Economic Growth in Singapore”, MPRA,
ICFAI Business School, Ahmedabad, August 2007.
Milberg, W., Jiang, X. And Gereffi, G., “Industrial Policy in the Era of Vertically
Specialized Industrialization” in Transforming Economies: Making Industrial
Policy Work for Growth, Jobs and Development, edited by Xirinachs, J.M,
Nubler, I. and Wright R.K., International Labour Organization, Mei 2014.
National Economic Advisory Council, 2010. New Economic Model for Malaysia.
Neng, W.W., “Pursuing Prosperity, Making a Living: Singapore’s Economic
Institutions and the Pursuit of Economic Development”, Civil Service College,
2015.
66
Nubler, I., “A Theory of Capabilities for Productive Transformation: Learning to
Catch Up”, in Transforming Economies: Making Industrial Policy Work for
Growth, Jobs and Development, edited by Xirinachs, J.M, Nubler, I. and
Wright R.K., International Labour Organization, Mei 2014.
Nugroho, M. Noor dan Yanfitri, 2011. Potensi Dampak Pembentukan Pasar Tunggal
ASEAN terhadap Perekonomian Indonesia: OP
OECD, 2013. OECD Investment Policy Reviews: Malaysia 2013.
Patunru, Arianto A. dan Sjamsu Rahardja (2015), Trade protectionism in
Indonesia: Bad times and bad policy. Lowy Institute for International Policy.
Rakhman, R. N., R. Khasananda, H. Werdaningtyas, G. Wicaksono, R.
Anglingkusumo (2015), Analisa Triangular Trade dan Rantai Nilai di Asia
dengan Fokus pada Indonesia sebagai Masukan dalam Penyusunan Strategi
Nasional Indonesia di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Bank Indonesia.
Reis, José Guilherme dan Thomas Farole (2012), Trade competitiveness diagnostic
toolkit. Washington D.C.: The World Bank.
Robinson, J.A., “Industrial Policy and Development”, Harvard University,
Department of Government and IQSS, May 2009.
Rodrik, D., “Growth Strategies”, Harvard University, John F. Kennedy School of
Government, August 2004.
Warr, Peter (2011), Thailand’s Development Strategy and Growth Performance.
Working Paper No. 2011/02, UNU–WIDER.
World Economic Forum Report, “The Future of Manufacturing: Opportunities to
Drive Economic Growth”, in collaboration with Deloitte Touche Thmatsu Ltd.,
2012.
World Investment Report, 2012. Global Value Chains: Investment and Trade for
Development.
Yue, C.S., “Singapore Model of Industrial Policy – Past and Present”, Second LAEBA
Annual Meeting, Buenos Aires, Argentina, November 28–29, 2005.
Zhu, T., “Rethinking Import–substituting Industrialization: Development Strategies
and Institutions in Taiwan and Tiongkok”, Research Paper No.2006/76, UNU–
WIDER, July 2006.
67
Box 1. Summary Paket Kebijakan Ekonomi Tahun 2015
69
Gambar 45. Ringkasan Analisis Daya Saing Industri Indonesia
70
6. Faktor leadership yang nyata dan bertanggung jawab serta memberikan contoh
yang mulia, jauh dari nilai-nilai tercela seperti korupsi, penggelapan, dan
ketidakefisienan.
7. Penentuan strategi dalam rangka free trade agreement (FTA) yang akan
menguntungkan secara agregat bagi Indonesia dan berdampak positif bagi
daya saing Indonesia di pasar ekspor.
8. Sistem informasi yang lengkap dan mudah diakses baik oleh pengusaha,
birokrat, akademisi maupun masyarakat umum yang memuat informasi dan
persyaratan yang dibutuhkan untuk ekspor produk tertentu. Kenyataan
bahwa sebagian besar kesepakatan perdagangan intra-ASEAN dan FTA lainnya
masih belum banyak dimanfaatkan pengusaha Indonesia memberikan sinyal
bahwa informasi dan birokrasi bagi pemenuhan ketentuan ekspor itu masih
rumit dan memakan biaya. Selain sistem informasi harus terdapat
kelembagaan yang dapat memberikan bantuan, terutama bagi pengusaha kecil
dan menengah yang berusaha memanfaatkan peluang pasar akibat
kesepakatan perdagangan yang telah dibuat.
9. Terlepas dari semua itu, pelaksanaan semua insentif dan paket kebijakan
tersebut haruslah konsisten dan bukan hanya sebatas retorika sehingga akan
terdapat hasil nyata dari segala kemudahan yang semestinya diberikan melalui
berbagai paket kebijakan itu.
71
Box 2. Retrospeksi Kebijakan Industri Substitusi Impor
Kebijakan SI telah dianalisis dalam sejumlah studi oleh OECD, World Bank
dan NBER (Reinert and Rajan, 2010). Analisis tersebut menunjukkan bahwa ada
biaya makroekonomi terkait kebijakan SI. Pertama, SI menyebabkan inefisiensi
dalam alokasi sumber daya. Kebijakan nilai tukar yang overvalued menyebabkan
bias terhadap ekspor dan mendukung sektor padat modal domestik sehingga
mengarah pada underutilized capital, penurunan produktivitas modal, dan
kegagalan investasi yang secara signifikan berpengaruh terhadap penurunan
pengangguran. Kedua, SI umumnya menyebabkan impor naik lebih cepat dari
yang diharapkan karena permintaan barang modal dan barang antara untuk
mendukung industri baru; sebagai akibatnya, masalah neraca pembayaran justru
makin mendalam sehingga daripada mengurangi ketergantungan pada input impor
(energi dan teknologi), strategi SI justru semakin meningkatkan impor secara
signifikan. Ketiga, SI dinilai mendorong aktivitas mencari laba yang tidak produktif
(directly unproductive profit seeking) yang mengalihkan sumber daya dari kegiatan
produktif menjadi tidak produktif, tetapi menguntungkan. Yang selanjutnya akan
mengurangi investasi dan pertumbuhan produktivitas serta pertumbuhan jangka
panjang. Keempat, di negara–negara tempat pasar domestik relatif kecil, SI
menciptakan pasar yang kurang kompetitif, yang dalam beberapa kasus
menyebabkan menurunnya efisiensi, pertumbuhan produktivitas, dan inovasi.
72
Pada era 1990-an dampak SI pada kinerja ekonomi dipertimbangkan
kembali, khususnya dalam konteks perekonomian Asia Timur yang bertumbuh
pesat. Pandangan ini berargumen bahwa SI akan mendahului kegiatan ekspor dan
merupakan prasyarat untuk export led growth. Argumen pandangan ini adalah
tidak mungkin suatu negara dapat mengekspor tanpa mengakumulasi
kemampuan teknologi pada fase SI yang mendahuluinya. Perbedaannya adalah
pada tahap “matang” dari kebijakan SI tersebut. Pada tahap ini negara Latin
Amerika melakukan pendalaman SI yang dibarengi dengan kebijakan moneter dan
fiskal. Sementara itu, negara Asia Timur, pada tahap “matang” karena tetap
melakukan SI dengan penekanan pada promosi ekspor serta mengaitkan insentif
dengan kinerja ekspor. Model campuran SI ini dinilai lebih berhasil jika
dibandingkan dengan pendalaman SI karena pemerintah (1) dapat melakukan
disiplin terhadap sektor swasta berdasarkan kinerja standar (target ekspor)
sebagai ganti dari subsidi terhadap sektor swasta; (2) menghindari
ketidakseimbangan eksternal dengan promosi ekspor dan menjaga nilai tukar yang
kompetitif; dan (3) berhasil melakukan desain proteksi dan promosi ekspor yang
mendorong proses pembelajaran teknologi dan akumulasi pengetahuan.
73
Damayanthi, 2008). Beberapa industri yang didorong pada masa itu adalah baja,
gas alam, kilang minyak, dan aluminium melalui kredit lunak dari bank–bank
BUMN.
Jatuhnya harga minyak di pasar dunia pada tahun 1982 dan 1986 serta
ambruknya nilai tukar dollar AS pasca–Plaza Accord menyebabkan pemerintah
harus mencari sumber pembiayaan dalam negeri yang lain (Kim, 2004).
Pemerintah kembali ke kebijakan pintu terbuka melalui liberalisasi perdagangan
dan investasi asing. Untuk memenuhi kebutuhan devisa, kebijakan industri yang
ditempuh adalah industrialisasi berorientasi ekspor. Fase ini ditandai dengan
diluncurkannya berbagai paket kebijakan deregulasi dalam rangka liberalisasi
pasar, termasuk di dalamnya deregulasi perizinan investasi dan deregulasi sektor
perbankan dan keuangan yang didukung oleh kebijakan devaluasi berkala nilai
tukar rupiah untuk menjaga daya saing.
Dalam era ‘70-an, ketika dana minyak tersedia dan peran kelompok
nasionalis menguat, pilihan kebijakan yang non–pasar dan proteksionis … memiliki
harga yang relatif ‘murah’ dibandingkan kebijakan pro–pasar … karena untuk
memperoleh dukungan politik, pemerintah akan mengakomodasi tekanan kelompok
kepentingan yang kuat pada waktu itu, sedangkan pada pertengahan 1980-an,
ketika harga minyak jatuh, … pilihan kebijakan yang non-pasar menjadi relatif lebih
‘mahal’….
Liberalisasi yang terjadi waktu itu bersifat parsial dan gradual. Masih
banyak proteksi industri dalam bentuk nontariff barriers dan beberapa sektor
industri tetap tertutup bagi asing dan diproteksi ketat. Kebijakan industrialisasi
pada fase itu berorientasi untuk melakukan lompatan teknologi. Pemerintah
74
menetapkan sepuluh industri sebagai industri strategis yang harus diproteksi
yaitu industri pesawat terbang, industri maritim, industri pembuatan kapal, sektor
transportasi darat, industri telekomunikasi, sektor energi, industri rekayasa,
industri mesin pertanian, industri pertahanan, dan industri pendukung yang
terkait.
Sementara itu, industri padat karya yang banyak menyerap lapangan kerja,
yang justru tidak atau relatif tidak diproteksi justru menjadi penyumbang terbesar
pertumbuhan industri dan ekspor hingga awal 1990-an, seperti tekstil dan
pakaian jadi, sepatu, dan elektronik. Namun, karena problem struktural,
munculnya pesaing baru, dan kurangnya dukungan pemerintah, industri padat
karya yang berorientasi ekspor itu tidak mampu tumbuh secara optimal. Problem
struktural yang melingkupi industri padat karya nasional itu, antara lain, adalah
sempitnya basis produk dan basis pasar ekspor, tingginya kandungan impor, tidak
adanya pendalaman teknologi, lemahnya UKM sebagai industri pendukung, serta
rendahnya produktivitas (Kim, 2004).
75
Kelemahan struktural industri Indonesia adalah hasil dari kegagalan
kebijakan pada masa lalu yang dapat dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu
sebagai berikut.
Sumber:
Kim, Chuk Kyo (2004). Industrial Development Strategy for Indonesia: Lessons
from Korean Experience. Policy Recommendation Paper for Korea
76
Development Institute (KDI) and Korea International Cooperation Agency
(KOICA).
Reinert, Kenneth A. and Ramkishen S. Rajan, eds., 2010. The in Princeton
Encyclopedia of the World Economy. Princeton and Oxford: Princeton
University Press.
Damayanthi, Vivin Retno, 2008. Proses Industrialisasi Di Indonesia Dalam
Prespektif Ekonomi Politik. Journal of Indonesian Applied Economics Vol. 2
No.1 pp. 68–89.
77
Box 3. Studi Kasus Strategi Kebijakan Sektoral
1. Industri TPT
Pakaian merupakan salah satu industri ekspor tertua dan terbesar serta
yang paling lazim. Industri tersebut merupakan batu loncatan untuk
pembangunan nasional dan sering kali berperan sebagai industri pemula bagi
negara yang terlibat dalam industrialiasi yang berorientasi ekspor karena biaya
tetap yang rendah dan penekanan pada manufaktur padat karya. Secara historis,
ekspansi global industri pakaian didorong oleh kebijakan perdagangan. Industri
pakaian merupakan salah satu industri yang paling dilindungi dari semua
industri, mulai dari subsidi pertanian pada bahan input (kapas, wol, dan rayon)
serta sejarah panjang kuota berdasarkan general agreement on tariff and trade
dalam MFA dan perjanjian penerusnya di bawah WTO, The Agreement on Textiles
and Clothing (ATC).
Struktur dari rantai nilai pakaian (apparel value chain) dapat digambarkan
seperti smile curve yaitu aktivitas yang bernilai tambah tertinggi berada di tahap
praproduksi (R&D dan desain) dan pascaproduksi (pemasaran merk, logistik, dan
jasa) dari proses produksi. Produksi aktual dari pakaian, yaitu penciptaan
pekerjaan banyak terjadi, telah menjadi sangat kompetitif, terkonsentrasi, dan
selalu terpapar tekanan beban biaya. Tahap-tahap utama dari peningkatan
ekonomi (economic upgrading) dalam rantai nilai pakaian adalah sebagai berikut.
78
menguntungkan, buruh kerja upah murah, dan faktor kedekatan dengan pasar.
Untuk masuk ke tingkatan segmen rantai nilai yang lebih tinggi, berbagai faktor
lainnya perlu dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut di antaranya keberadaan
industri tekstil domestik atau regional; produsen tekstil dan pakaian yang besar di
suatu negara; komitmen yang kuat terhadap pertumbuhan industri dari
pemerintah dan sektor swasta dibutuhkan dalam hal peningkatan desain dan
merk agar dapat mengembangkan bakat yang dibutuhkan dan mendirikan merk
nasional.
Meskipun industri pakaian global telah berkembang secara cepat sejak awal
tahun 1970-an dan telah disediakan lapangan kerja bagi puluhan juta pekerja di
beberapa negara kurang berkembang di dunia, industri tersebut telah mengalami
dua krisis besar dalam lima tahun terakhir. Krisis pertama adalah peraturan The
Multi Fibre Arrangement (MFA) yang menetapkan bahwa kuota dan tarif preferensial
pada pakaian dan barang tekstil yang diimpor oleh Amerika Serikat, Kanada, dan
banyak negara Eropa sejak awal tahun 1970-an dihapus oleh World Trade
Organization (WTO) dan digantikan dengan perjanjian WTO tentang tekstil dan
pakaian, yakni ATC (berlaku tahun 1995–2005). MFA/ATC membatasi ekspor ke
pasar konsumen utama dengan memberlakukan batasan per negara (kuota) akan
volume produk impor tertentu. Sistem itu dirancang untuk melindungi industri
domestik Amerika Serikat dan Uni Eropa dengan membatasi impor dari pemasok
kompetitif seperti Tiongkok. Kekhawatiran negara berkembang kecil dan miskin
yang bergantung pada ekspor pakaian bahwa mereka akan terdorong keluar dari
sistem perdagangan global oleh persaingan kompetitor yang lebih besar seperti
Tiongkok, India, dan Bangladesh. Krisis yang kedua adalah ekonomi. Resesi global
yang terjadi baru-baru ini, yang dipicu oleh krisis perbankan di Amerika Serikat
pada tahun 2008, dan yang menyebar cepat ke sebagian besar negara industri dan
berkembang membawa dunia ke ambang krisis ekonomi yang paling parah sejak
The Great Depression tahun 1930-an. Penutupan pabrik dan PHK pekerja di
negara-negara industri berujung pada menurunnya permintaan konsumen yang
mengakibatkan berkurangnya order dan menyusutnya pasar untuk ekonomi
berorientasi ekspor di negara berkembang. Resesi tersebut berdampak cukup
besar pada industri pakaian dan menyebabkan penutupan pabrik, peningkatan
tajam pada angka pengangguran, serta tumbuhnya kekhawatiran akan munculnya
kerusuhan sosial akibat terlantarnya pekerja mencari pekerjaan baru.
79
Penghapusan kuota pada 1 Januari 2005 menandai akhir dari terbatasnya
akses ke pasar Eropa dan Amerika Utara. Pengecer dan pembeli lain bebas
mengakses ke sumber tekstil dan pakaian dengan jumlah tak terbatas dari negara
mana saja, hanya tunduk pada sistem tarif dan transitional safeguards yang akan
berakhir pada akhir tahun 2008. Peluang itu dimanfaatkan dengan baik oleh
produsen pakaian biaya terendah terbesar, yakni Tiongkok, India, Bangladesh, dan
Vietnam. Hal tersebut terlihat dari meningkatnya pangsa impor pakaian dari
negara-negara tersebut di negara konsumen pakaian terbesar, yakni Amerika
Serikat, Uni Eropa, dan Jepang. Sementara itu, pangsa ekspor pakaian Indonesia
hanya terlihat meningkat di pasar Amerika Serikat. Namun, saat ini Tiongkok
menghadapi tantangan baru, yakni upah buruhnya yang semakin meningkat
hingga 20% per tahun sehingga dapat berdampak pada daya saing produk yang
dihasilkannya. Hal itu dilakukan melalui dua tren secara simultan, yaitu
pergeseran produksi CMT ke negara Asia yang biaya produksinya lebih rendah,
dan meningkatkan tekanan kompetitif pada industri Tiongkok agar peningkatan
mutu terjadi secara cepat untuk menjaga daya saing. Kondisi pergeseran produksi
dari Tiongkok ini merupakan peluang dan dapat dimanfaatkan oleh Indonesia
untuk mencoba meningkatkan pangsa pasarnya. Berbagai langkah dan strategi
dapat ditempuh, yakni dengan cara sebagai berikut.
80
pintu bagi investor atau pemasok yang merencanakan untuk mendirikan
perusahaan baru.
4. Investasi pada teknologi dan sistem produksi fleksibel
Investasi diperlukan untuk meningkatkan kapasitas mesin produksi, logistik,
dan teknologi informasi yang memungkinkan pemasok menjadi lebih
terintegrasi pada jaringan pembeli.
5. Mengembangkan full package capabilities
Perusahaan harus bisa atau mempunyai aliansi dengan perusahaan yang
dapat menyediakan produk akhir dan jasa tambahan berkaitan dengan
pengembangan produk, desain, logistik, dan pengendalian kualitas.
6. Mengembangkan standar agar dapat memenuhi sertifikasi standar regional
dan internasional
7. Melakukan praktik produksi yang berkelanjutan
Perusahaan yang dapat bertahan adalah perusahaan yang memilih untuk
bersaing pada kredensial lingkungan mereka di samping biaya, kualitas, dan
faktor tradisional lainnya.
8. Mendiversifikasi pembeli, produk, dan pasar akhir
Perusahaan harus melakukan diversifikasi menjadi berbagai lini produk, pasar
pengguna akhir, dan pasar geografis yang berbeda.
2. Industri Otomotif
Industri otomotif di Indonesia saat ini pada umumnya masih terkonsentrasi
pada kegiatan perakitan (assembly). Padahal, nilai tambah tertinggi tidak berasal
dari aktivitas itu. Sesuai dengan keniscayaan pada Global Value Chain (GVC),
yaitu bahwa suatu negara akan mengupayakan efisien dalam suatu aktivitas
dalam rantai produksi yang bernilai tambah tinggi. Sesuai dengan smile curve,
aktivitas yang bernilai tambah tinggi pada GVC adalah desain, research and
development, serta aktivitas penjualan yang berorientasi ekspor. Namun, Indonesia
masih terkendala pada aspek human capital dalam melakukan aktivitas tersebut.
Saat dunia sudah memiliki negara desainer otomotif yang efisien seperti Jepang
dan Korea, Indonesia sangat berat untuk mengembangkan merek dan desain
otomotif sendiri. Terkait dengan itu, langkah selanjutnya yang mungkin dilakukan
Indonesia adalah meningkatkan keunggulan komparatif pada parts dan
components otomotif sehingga secara keseluruhan produk otomotif, nilai tambah
yang dihasilkan di Indonesia akan menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan semula.
Berdasarkan pendapat Kohpaiboon dan Yamashita (2011), penentuan lokasi
81
produksi dari komponen otomotif terutama hanya didasarkan atas daya saing dari
sisi biaya.
Sebagai tambahan yang perlu dikoreksi dari Thailand adalah aspek human
capital. Secara jangka pendek, diperlukan pembebasan tenaga kerja untuk skill
tertentu yang dibutuhkan sesuai dengan preferensi investor. Namun, investasi
untuk human capital dalam negeri harus segera dimulai. Beberapa hal yang dapat
mendukung, antara lain, adalah (1) diskusi intensif antara kementerian tenaga
kerja, investor, serta kementerian yang menaungi pendidikan menengah atas dan
tinggi untuk mengetahui jenis skill yang dibutuhkan dan upaya memfasilitasinya
dalam kurikulum; (2) memberikan kebebasan bagi universitas luar negeri
membuka cabangnya di Indonesia, khususnya untuk jurusan penting yang masih
belum mampu dipenuhi oleh universitas dalam negeri; dan (3) melonggarkan
peraturan pembatasan tenaga kerja asing untuk mekanisme pertukaran tenaga
kerja temporer. Hal itu untuk mendukung lancarnya proses learning tenaga kerja
Indonesia, khususnya untuk skill yang hanya dapat diperoleh di head office.
82
rendah, yaitu hanya sekitar 1,6%, sedangkan Malaysia dan Singapura masing-
masing sebesar 6,42% dan 6,37%.
Saat ini, Indonesia memiliki koneksi internet yang paling rendah jika
dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia–Pasifik. Permasalahan lain
yang dihadapi adalah kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan sehingga
biaya pembangunan infrastruktur menjadi sangat mahal. Oleh karena itu,
pemerintah berusaha untuk menggenjot pertumbuhan industri ICT dengan
meningkatkan infrastruktur layanan internet dengan program Indonesia
Broadband Plan 2014–2019. Pemerintah menargetkan seluruh penduduk di kota
besar memiliki akses ke internet, sedangkan untuk wilayah perdesaan ditargetkan
52% penduduknya terjamah dengan layanan internet.
Bagi para pelaku usaha di industri ICT, permasalahan yang kerap mereka
temui adalah permasalahan sumber daya manusia, perpajakan, dan persaingan
usaha. Menurut para pelaku usaha, sumber daya manusia Indonesia tidak
memiliki kesiapan kerja, khususnya para tenaga kerja dengan latar belakang
pendidikan sarjana. Meskipun demikian, para tenaga kerja dengan latar belakang
pendidikan SMK dirasa lebih cepat beradaptasi dengan dunia kerja sehingga
pelaku usaha membutuhkan waktu yang relatif singkat dan biaya investasi yang
lebih sedikit dalam mempersiapkan tenaga kerja tersebut untuk terjun langsung
ke dalam dunia kerja. Selain itu, permasalah double tax juga masih menjadi
hambatan bagi pelaku usaha industri ICT untuk berkembang. Pengeluaran mereka
menjadi bertambah seiring dengan pajak yang dikenakan dua kali. Iklim usaha
industri ICT di Indonesia saat ini juga dirasa sangat kompetitif mengingat banyak
perusahaan asing yang ikut bersaing dalam memperebutkan tender. Oleh karena
itu, diperlukan kebijakan yang mendukung pertumbuhan industri ICT. Pertama,
kegiatan magang bagi mahasiswa perlu lebih digalakkan sehingga pengalaman
kerja mereka dapat meningkat dan mempermudah mereka dalam beradaptasi
dengan dunia kerja. Selain itu, kebijakan perpajakan perlu dikaji kembali guna
menghindari double tax. Untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang lebih
baik, diperlukan kebijakan yang memprioritaskan perusahaan lokal dalam
mengikuti tender yang dilakukan oleh perusahaan BUMN.
83
Box 4. Pelajaran Kebijakan Singapura, Korea Selatan, Thailand,
Malaysia, dan Vietnam
1. Singapura
Sejak mencapai pemerintahan sendiri pada 1959, Singapura menghadapi
berbagai ketidakpastian ekonomi dan gejolak perekonomian. Singapura
memandang penyediaan tenaga kerja dan perumahan yang layak merupakan dua
masalah pokok yang perlu segera dibenahi. Terkait penyediaan tenaga kerja,
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan sustainable merupakan satu-satunya
jawaban. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, beberapa tujuan kebijakan
yang lain akan dapat dipenuhi dengan lebih mudah. Pada tahun 1960 GDP/capita
hanya SGD1,310 sementara saat ini 2014 SGD71,318, meningkat lebih dari lima
puluh kali lipat. Penghasilan pekerja dengan 44 jam kerja/seminggu pada 1960
sebesar SGD120, sedangkan pada tahun 2014 meningkat menjadi SGD3,770.
Sejak awal berdirinya, Singapura memiliki visi untuk menjadi bagian dari
first world economics dalam waktu 3–40 tahun. Kunci untuk mencapai itu
disesuaikan dengan keberadaan Singapura sebagai kota perdagangan tanpa
sumber daya alam, tetapi memanfaatkan economic dynamism, menawarkan high
quality of life, serta memiliki a strong national identity dan suatu konfigurasi kota
global (global city).
84
(3) 1998–2000s: globalization and the challenges of sustainable, inclusive growth
(1) Melihat dengan keterbatasan yang ada, yaitu negara kecil tanpa sumber daya
alam, tetapi memiliki lokasi geografi yang strategis. Oleh karena itu, filosofi
pengembangan ekonominya harus berdasarkan free market system dan outward
orientation didukung oleh pemerintahan yang menyediakan kerangka legislatif,
lingkungan yang stabil dan kondusif untuk bisnis, corporate governance yang
baik, kebijakan yang memfasilitasi bisnis, investasi dalam infrastruktur dan
tenaga kerja, serta kebijakan bagi pengembangan pemerataan kesempatan
hidup layak.
(2) Strategi industri meliputi bebarapa fase (Cahyadi dll., 2004; Yue, 2005, Neng,
2015)
a. 1965–1978: proses industrialisasi melalui strategi berorientasi ekspor
dengan menarik investor asing dan mengembangkan industri manufaktur
dan sektor keuangan. Perbaikan iklim tenaga kerja dan investasi serta
menasionalisasi perusahaan karena sektor swasta tidak mampu
menyediakan kapital yang cukup dan keahlian yang cukup, seperti
Singapore Airlines, Nepture Orient Lines, Development Bank of Singapore,
dan Sembawang Shipyard.
b. 1979–1985: memperbarui penekanan pada penngembangan tenaga kerja
melalui pendidkan dan pelatihan. Mendorong otomatisasi industri,
85
mekanisasi, dan komputerisasi. Memberi insentif untuk beralih ke teknologi
dengan nilai tambah yang lebih besar dan kebijakan yang mendorong
penanaman modal dalam industri padat modal dan keahlian.
c. 1986–2000: memperdalam basis teknologi industri, mengembangkan klaster
industri, serta mempromosikan industri manufaktur dan jasa sebaai twin
pillars dari perekonomian Singapura. Regionalisasi atau mendorong
perusahaan-perusahaan di Singapura untuk melebarkan sayapnya ke
wilayah di sekitar Singapura, di antaranya memanfaatkan gold triangle: Riau–
Johor–Singapura.
d. 2000–sekarang: mengalihkan perhatian pada inovasi, pengetahuan, serta
riset dan pengembangan. Penelitian dan pengembangan menjadi bagian
penting dari pengembangan perekonomian Singapura pada masa yang akan
datang (Goh, 2005). Untuk itu, pelindungan hak properti intelektual
diterapkan dan didukung penerapannya dengan law enforcement yang kuat.
Oleh karena itu, fokus pada teknologi informasi harus dilakukan termasuk
web–based commercial strategies dan e–government initiatives. Agar
kemampuan entrepreneurship berkembang, kemampuan ini terus didorong
dan termasuk dalam bagian penting dalam penelitian dan pengembangan.
Terakhir, potensi manusia semakin dikembangkan, termasuk di dalamnya
change management agar performa perusahaan semakin baik.
(3) Pada tahun 2010 ada tiga prioritas utama yang ingin dicapai, yaitu sebagai
berikut.
a. Mendorong keahlian dalam setiap pekerjaan agar tingkat upah yang lebih
tinggi dapat dipertahankan. Perusahaan didorong agar berinovasi,
memperbaiki efisiensi dan membuat pekerjaan lebih baik, serta
meningkatkan keahlian pekerja pada semua tingkat. Sedapat mungkin
dihindari ketergantungan kepada tenaga kerja asing.
b. Memperdalam kemampuan perusahaan untuk menangkap peluang di Asia.
Perusahaan perlu menumbuhkan ekosistem bisnis yang beragam, tetapi
kuat menahan goncangan, mengomersialisasi R&D sebagai sumber
competitiveness, dan mengembangkan fasilitas berdasarkan pasar untuk
melebarkan pembiayaan internasional bank.
c. Membuat Singapura sebagai suatu distinctive global city and endearing
home. Hal itu dicapai melalui pendalaman keahlian dalam berbagai bidang,
menarik sumber daya manusia berpotensi tinggi dari luar negeri, dan
membuat Singapura sebagai a distinctive global city.
86
(4) Strategi utama dalam satu dekade ke depan untuk mencapai tiga prioritas
utama tersebut adalah sebagai berikut.
a. Tumbuh melalui keahlian dan inovasi
b. Menjadi Global–Asia Hub untuk industri manufaktur dan jasa
c. Ekosistem perusahaan yang beragam
d. Inovasi yang tajam
e. Smart energy economy
f. Meningkatkan produktivitas tanah
g. Global city, endearing home
Pada prinsipnya Singapura telah menerapkan apa yang diperlukan bagi
suatu transformasi produktif yang berhasil (Nubler, 2014), yang ditopang oleh
kebijakan industri yang baik (Lin and Treichel, 2014) dan dengan memanfaatkan
keberadaan GVC yang semakin besar dalam ekonomi global saat ini (Milberg, Jiang
dan Gereffi, 2014).
2. Korea Selatan
Hanya dalam jangka waktu kurang lebih 60 tahun, Korea Selatan (Korsel)
berhasil melakukan transisi dari perekonomian tidak berkembang, bahkan
merupakan salah satu negara termiskin pada 1960an, menjadi negara maju.
Keberhasilan tersebut dikenal dengan sebutan “The Korean Miracle” dan
merupakan perkembangan ekonomi yang paling berhasil selama abad ke-20. Gross
National Income (GNI) per kapita meningkat dari 85 dolar AS pada tahun 1961
menjadi lebih dari 20.000 dolar AS pada tahun 2006. Korsel menjadi negara
dengan perekonomian terbesar ke-13 pada tahun 2014. Perkembangan ekonomi
Korsel patut diperhatikan karena merupakan pembangunan dengan ekuitas,
pengentasan kemiskinan yang tergolong cepat, dan tanpa peningkatan
kesenjangan (inequality) selama proses transisi. Elemen-elemen yang menjadikan
Korsel pemain utama dalam ekonomi global adalah bantuan dari komunitas
internasional, pengabdian masyarakat Korsel untuk bekerja, usaha konsisten dari
Pemerintah untuk membuka perekonomiannya, dan upaya perusahaan untuk
berinovasi dan meningkatkan daya saing di pasar internasional.
87
1960s 1970s 1980s 1990s 2000s
Development
Factor-Driven Investment-Driven Innovation-Driven
Stage
Sources of
cheap labor
manufacturing capability innovative capability
Competition
88
tahun 1962. Pada tahap awal pembangunan ekonomi, Pemerintah membantu
perkembangan industri impor subsitusi yang memproduksi barang antara dasar,
seperti semen dan pupuk. Setelah itu, Pemerintah mempromosikan industri
ekspor padat karya seperti tekstil dan plywood yang memiliki daya saing
internasional akibat dari biaya tenaga kerja murah dan mampu menyerap
pengangguran maupun pengangguran terselubung. Dalam rangka mendukung
industri ekspor, langkah-langkah mempromosikan ekspor secara luas diambil.
Pinjaman dengan kebijakan suku bunga rendah diberikan untuk membantu
perusahaan-perusahaan ekspor yang mengalami kesulitan keuangan. Berbagai
bentuk perlakuan pajak diferensial diberlakukan kepada industri ekspor, seperti
pembebasan pajak dan rabat tarif pajak. Pemerintah juga fokus pada mobilisasi
yang efisien dan alokasi sumber daya investasi. Beberapa bank khusus didirikan
untuk membiayai sektor–sektor strategis terbelakang seperti UMKM dan
konstruksi perumahan. Bersamaan dengan hal tersebut, untuk mendorong
masuknya arus modal asing, The Foreign Capital Inducement Act disahkan pada
tahun 1966 dan bank asing diperbolehkan untuk membuka cabang sejak tahun
1967. Proses industrialisasi ekonomi Korsel yang cepat dibawah bimbingan
Pemerintah selama tahun 1960-an menunjukkan kinerja yang mengesankan.
Selama proses industrialisasi berorientasi pada pertumbuhan, sejumlah besar
modal asing perlu didorong karena dana simpanan domestik tidak mencukupi
untuk membiayai permintaan investasi yang sangat besar. Oleh karena itu, jumlah
uang beredar meningkat dengan cepat untuk membiayai berbagai proyek
pemerintah.
89
ekonomi yang ambisius dengan dana tabungan domestik yang tidak mencukupi,
perekonomian diwarnai dengan kekurangan dana yang cukup besar. Kesenjangan
investasi-tabungan ini dijembatani dengan mendorong masuknya dana asing atau
dengan meningkatkan pasokan uang. Sebagai konsekuensinya, utang luar negeri
terus menumpuk dan inflasi kronis tetap terjadi. Efek samping hal tersebut
menyebabkan pergeseran stance kebijakan pemerintah menuju strategi
pertumbuhan berorientasi stabilitas.
Korsel terus menekuni manufaktur bernilai tambah tinggi pada tahun 1990-
an dengan mempromosikan inovasi teknologi tinggi. Kenaikan upah buruh
domestik dan apresiasi mata uang Won telah mengakibatkan defisit neraca
transaksi berjalan yang cukup besar, yang memicu serangkaian reformasi,
termasuk reformasi pasar keuangan. Bersamaan dengan pendirian infrastruktur
informasi yang modern dan lebih mudah diakses, ekspansi kemampuan
pengembangan riset tetap dilakukan di industri Korsel, yang pada akhirnya
menarik minat tenaga kerja terampil yang dihasilkan dari ekspansi pemerintah
akan sistem pendidikan tinggi. Pasca-terjadinya krisis keuangan pada pertengahan
90
tahun 1990-an, upaya kebijakan dilakukan untuk mentransformasi perekonomian
Korsel menjadi ekonomi berbasis pengetahuan yang memunculkan berbagai
inovasi serta meningkatkan produktivitas secara keseluruhansehingga dapat
mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Banyak faktor yang berperan dalam
perubahan ekonomi Korsel yang cepat. Salah satu faktornya adalah pembangunan
infrastruktur informasi dan memanfaatkan potensi dari ilmu pengetahuan dan
teknologi.
3. Thailand
91
Sumber: Hosono (2013)
92
4. Malaysia
Malaysia menerapkan strategi export–led development yang berhasil
membawanya bertransisi ke upper middle income country (GDP per kapita saat ini
USD10.800). Visi Malaysia pada tahun 2020 adalah menjadi high income countries
(GDP USD15.000/kapita) yang akan dicapai dengan menggerakkan perekonomian
naik ke high value chain dengan mempromosikan investasi di sektor high value
added dan jasa.
9 i) minyak, gas, dan energi, ii) pendidikan, iii) pariwisata, iv) wholesale and retail, v)
electronics and electrical, vi) layanan kesehatan, vii) kelapa sawit, viii) communications
content infrastructure, ix) agrikultur, x) business services, xi) greater Kuala Lumpur/Klang
Valley dan xi) jasa keuangan.
93
Tabel 11. Strategi Industri Malaysia
No. Sektor Strategi
94
Tabel 11. (lanjutan)
No. Sektor Strategi
95
5. Vietnam
Pada tahun 1986 Vietnam menerapkan kebijakan Doi Moi (renovation) yang
bertujuan untuk mereformasi sistem ekonomi Vietnam yang sebelumya berbentuk
centrally–planned economy menjadi socialist–oriented market economy. Reformasi
tersebut dilakukan untuk mengintegrasikan Vietnam ke dalam perekonomian
global. Untuk mencapai visi tersebut, Vietnam memiliki strategi pembangunan per
sepuluh tahun (10-year socio-economic development strategy) yang kemudian
dipecah menjadi strategi pembangunan per lima tahun.
Visi Vietnam pada 2035 adalah sektor industri Vietnam akan terbangun
dengan didominasi oleh industri spesialis yang berteknologi tinggi dan produknya
memenuhi standar internasional, berpartisipasi secara mendalam di rantai nilai
global, dan berkompetisi secara adil dalam integrasi internasional. Tenaga
kerjanya profesional, disiplin, berproduktivitas tinggi, serta aktif dalam riset,
desain, dan manufaktur. Rasio ekspor industri terhadap total ekspor mencapai
90% dan nilai produk industri hi–tech mencapai 50% dari PDB.
Kebijakan Doi Moi yang diambil oleh Vietnam memberikan citra positif bagi
Vietnam dalam hubungan perdagangan internasional. Pada tahun 1994 Amerika
Serikat mencabut embargonya terhadap Vietnam. Selain itu, pada tahun 2001
terbentuk perjanjian perdagangan bilateral antara Vietnam dan Amerika Serikat.
Vietnam terus membuka diri ke pasar perdagangan internasional dengan
bergabung menjadi anggota WTO pada tahun 2007. Vietnam juga telah menjadi
anggota perjanjian perdagangan negara-negara Asia Pasifik (TPP) pada tahun 2013.
Penetrasi Vietnam ke pasar internasional semakin dalam dengan rencana Vietnam
untuk membentuk free trade agreement antara Eropa dan Vietnam.
96
Perjanjian-perjanjian perdagangan yang dilakukan oleh Vietnam dengan
negara-negara lain memberikan banyak keuntungan bagi Vietnam, bukan hanya
meningkatkan daya saing produk Vietnam dengan menurunnya tarif, melainkan
juga meningkatkan daya tarik Vietnam bagi investor asing, khususnya investor-
investor dalam rantai nilai global (GVC). Chaponniere and Cling (2009)
menyatakan bahwa foreign direct investment merupakan kunci keberhasilan dalam
export–led growth strategy Vietnam. Selain itu, Cushman and Wakefield (2015) juga
menyatakan bahwa pada tahun 2014 Vietnam menempati urutan pertama sebagai
negara yang paling cocok untuk berinvestasi dalam sektor manufaktur.
97
LAMPIRAN
1. Intensive Margin
1. Trade openness
��!" + ��!"
𝑌!"
��!
𝐴��������𝑙 𝑔𝑟������ℎ 𝑟𝑎��𝑒 𝑜��𝑡��𝑡��𝑙 𝑒𝑥��𝑜𝑟��𝑠 = 100× ( − 1)
��!!!
Keterangan: 𝑀��merupakan
ekspor; subscript total merchandise
𝑖 dan 𝑡 masing-masing trade dan 𝑋 merupakan
merepresentasikan negara total
dan
waktu.
98
Revealed comparative advantage (RCA) mengukur tingkat relative
advantage atau disadvantage pada suatu industri.
𝑥!"#
��!"
𝑅����!"# = 𝑥!"#
��!"
Keterangan: 𝑅����!"# merupakan RCA untuk produk 𝑘 yang diekspor dari
negara 𝑖 ke negara ��; 𝑥!"# merupakan nilai ekspor produk 𝑘 dari negara 𝑖 ke
negara ��; ��!" merupakan total ekspor negara 𝑖 ke negara ��; 𝑥!"# merupakan
nilai
eksporekspor
duniadunia
(��) ke (��) ke negara
negara ��. 𝑗 untuk produk ��; dan ��!" merupakan total
Keterangan: 𝑥!"# merupakan nilai ekspor produk 𝑘 dari negara 𝑖 ke negara ��;
��!" merupakan total ekspor produk 𝑘 dari negara 𝑖 ; 𝑥!"# merupakan nilai
ekspor produk 𝑘 dari dunia (��) ke negara ��; dan ��!" merupakan total ekspor
dunia (��) untuk produk ��.
99
justru bersifat komplementer. Nilai indeks yang tinggi mengindikasikan
kedua negara mendapatkan keuntungan dari hubungan perdagangannya.
��!" 𝑥!"
𝑇𝑟����𝑒 𝑐𝑜������������������𝑟����𝑦 𝑖������𝑥 = 100× 1 − Σ! −
𝑀! ��!
Keterangan: 𝑥 merupakan nilai ekspor produk 𝑘 dari negara 𝑖 ; ��!
merupakan total!" ekspor negara ��; �� merupakan nilai impor produk 𝑘 dari
negara ��; dan 𝑀! merupakan total impor
!" negara ��.
Trade complementarity index = 100 mengindikasikan mitra dagang
yang ideal; sedangkan trade complementarity index = 0 mengindikasikan
bahwa kedua negara tsb. adalah perfect competitors.
Export value index dan export volume index digunakan untuk melihat
pertumbuhan ekspor yang mungkin dapat disebabkan dari perubahan pada
harga, volume ekspor, ataupun keduanya. Export value index adalah nilai
ekspor (c.i.f) yang dikonversi ke USD dan dinyatakan dalam persentase dari
rata-rata tahun dasar. Export volume index adalah rasio antara export value
index dengan unit value index–nya.
��!
𝐸𝑥������𝑡 𝑣𝑎��𝑢�� 𝑖������𝑥 = 100×
��!!!"""
𝑉������𝑒 𝑖������𝑥!
𝐸𝑥������𝑡 𝑣𝑜��𝑢��𝑒 𝑖������𝑥 =
𝑈����𝑡 𝑉������𝑒 𝐼������𝑥!
100
depan. Pertumbuhan di bawah pertumbuhan dunia mengindikasikan
adanya barrier yang menghambat pertumbuhan.
!
𝑥!"#!! !! !!!
𝐶������!"# = 100 ∗ −1
𝑥!"#!!
Keterangan:
negara 𝑖 ��𝑖𝑗𝑘 merupakan nilai ekspor produk k dari negara 𝑗 ke
2. Extensive Margin
101
dunia berarti negara tersebut mengalami peningkatan pangsa di pasar
dunia. Negara yang ekspor utamanya adalah sektor yang memiliki
pertumbuhan tinggi memiliki posisi yang baik untuk pertumbuhan ke
depan. Pertumbuhan di bawah pertumbuhan dunia mengindikasikan
adanya barrier yang menghambat pertumbuhan.
!
𝑥!"#!! !! !!!
𝐶������!"# = 100 ∗ −1
𝑥!"#!!
Keterangan:
negara 𝑖 ��𝑖𝑗𝑘 merupakan nilai eksport produk k dari negara 𝑗 ke
b. GO market mengevaluasi potensi pertumbuhan pasar ekspor suatu
negara dengan membandingkan CAGR dari ekspor ke suatu pasar relatif
terhadap pertumbuhan impor pasar tersebut dari ROW.
4. Nilai Ekspor (Value of Reach Export)
102
negara dalam ekspor produknya; dan 𝐸��! menghitung cakupan ekspornya
terhadap ekspor dunia.
3. Quality Margin
1. Muatan teknologi
𝑥!"
𝐸����𝑌 ! = 𝑃𝑅𝑂��𝑌 !
��!
!
103
��!"
𝑋!
𝑃𝑅𝑂��𝑌 ! = ��!" 𝑌!
! ! 𝑋
!
!! !! !!
𝑅𝑃��𝐼 ! = ! !!"
!!
𝑅𝐻����! = ! !!" 𝐻!
!! !!
! !
!!
Keterangan: !!
merupakan per capita capital stock, 𝐻! merupakan average
5. Product space
Konsep product space mengacu pada Hidalgo et. al. (2007). Product
space menjelaskan posisi keunggulan komparatif suatu negara, keterkaitan
antar produk, dan mengindikasikan apakah keunggulan existing dapat
menopang pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pemetaan dilakukan
menggunakan data kategori produk pada SITC 4 digit.
104
Jika product space menunjukkan adanya keunggulan komparatif
pada denser forest, hal tersebut mengindikasikan kesempatan untuk
diversifikasi dan peningkatan teknologi. Oleh karena itu, negara yang
beralih ke denser forest akan mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih
tinggi.
4. Sustainability Margin
a. Export Duration
105
akhir dinyatakan sbg ��! dan ��! . ��𝒃𝒊𝒏 mewakili group produk dengan
keseluruhan produk dibagi menjadi 7 kelompok pada intensive dan
extensive margin. Produk dikelompokkan berdasarkan karakteristik sebagai
berikut.
Intensive Margin
(1) Increase of existing products in established markets,
Extensive Margin
(4) Introduction of new products in new markets,
(5) Introduction of new products in established markets,
(6) Introduction of existing products in new markets,
(7) Product diversification in established markets.
c. Export Suspension and Factor Endowments
106
adalah apakah ekspor yang mati mewakili usaha untuk memproduksi
barang yang memerlukan berbagai variasi faktor pendukung dari yang
didukung oleh ekonomi.
��𝒊𝒋𝒌
𝒔𝒉��𝒓��𝒊 = ��𝒊𝒋
∗ 𝟏𝟎𝟎
2 HIPMI Jaya
6 American Chamber
9 Anabatic (IT)
10 Matari Advertising
16 WIKA (liaison)
2 Kementerian Perekonomian
3 Kementerian Perindustrian
4 BKPM
5 Bappenas
2 AIPEG
107
Sumber: WITS World Bank, diolah Sumber: WITS World Bank, diolah
108
-10
10
30
50
50
70
-10
80
70
10
30
-70
-20
30
130
180
90
110
90
110
0.01
0.02
in old markets in old markets in old markets
Margin
Margin
Extensive
Extensive
Introduction of old Introduction of old Introduction of old
0
0
products in new markets products in new markets products in new markets
1.02
0.96
5.23
Increase of new products Increase of new products Increase of new products
0.96
1.01
5.21
in old markets in old markets in old markets
0
0
0
in new markets in new markets in new markets
Filipina
Thailand
Indonesia
Extinction of exports of Extinction of exports of Extinction of exports of
old products in old old products in old old products in old
-0.64
-0.53
-12.87
markets markets markets
Margin
Margin
Intensive
Intensive
Fall of old products in old Fall of old products in old Fall of old products in old
-9.48
-9.15
-69.04
markets markets markets
94.76
98.98
99.05
176.67
30
80
10
30
50
70
90
50
70
90
10
30
-70
-20
-10
-10
130
180
110
110
-30
-10
-10
10
30
30
50
70
90
10
30
50
70
130
50
70
90
110
90
110
-10
10
0
0
0
Margin
Extensive
Extensive
Introduction of old Introduction of old Introduction of old
0
0
0.01
0.17
2.73
0
0
Tiongkok
Extinction of exports of Extinction of exports of Extinction of exports of
old products in old old products in old old products in old
-0.3
-0.09
-0.08
Margin
Margin
Intensive
Intensive
Intensive
Fall of old products in old Fall of old products in old Fall of old products in old
-0.47
-4.97
-20.01
99.99
30
50
70
90
10
30
50
70
10
30
50
70
90
90
-10
-30
-10
109
-10
130
110
110
10
Sumber: WITS World Bank, diolah
110
Sumber: WITS World Bank, diolah
111