7 Hati 7 Cinta 7 Wanita

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 13

Apa yang terjadi dengan dunia ini?

Apa ini yang dimaksud dengan emansipasi wanita?


Atau mungkin saja emansipasi pria?
(dr. Kartini, Sp.OG, 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita)

Sekilas, 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita, mengangkat kisah hidup seorang perempuan. Berangkat
dari judul film, hal itu sudah dapat ditebak. Film yang ditulis dan disutradarai oleh Robby
Ertanto ini berhasil mendapatkan nominasi sebagai film terbaik di ajang Festifal Film Indonesia
(FFI) 2010. Penghargaan pun diraih oleh Happy Salma sebagai pemeran pendukung wanita
terbaik. Penghargaan serupa juga diperoleh Rangga Djoned sebagai pemeran pendukung baru
pria terbaik dalam Indonesia Movie Award 2011.
Berbagai pertistiwa yang digambarkan dalam film ini tidak pernah lepas dari persoalan
yang dihadapi oleh seorang perempuan. Di akhir film pun, seperti apa yang dikatakan oleh
Kartini (Jajang C Noer), juga mengisyaratkan demikian, yakni persoalan yang mempertegas
masalah yang dihadapi oleh perempuan. Ketika waktu kembali berputar tanpa berbalik, tidak ada
urutan yang harus aku lalui. Ini hidupku dengan semua warna yang aku miliki. Hal pertama yang harus
aku katakan adalah, aku seorang perempuan.
Namun, jika ditelisik lebih jauh, tidak semua apa yang diangkat dalam film tersebut
berangkat dari persoalan perempuan. Atau, dengan kata lain, tidak sepenuhnya benar bahwa
dominasi cerita pada film tersebut berkutat pada kehidupan perempuan. Hal, yang sebenarnya
kurang diperhatikan adalah masalah-masalah yang berkisar pada kehidupan laki,laki, dunia
patriaki. Artinya, baik laki-laki dan perempuan, memiliki porsi yang seimbang dalam film ini.
Dengan lain kata, film ini tidak berbicara soal perempuan, namun juga laki-laki.
Kisah pahit dan getir, tidak saja diceritakan melalui tokoh perempuan, namun juga oleh
tokoh laki-laki. Sayangnya, sebab yang terlihat secara fisik adalah soal penyiksaan,
sebagiamana yang dialami oleh Lily (Olga Lydia), seorang istri yang melayani kepuasan
seksual suaminya, Randy (Tegar Satrya), secara sadomasokis, maka penilaian terhadap laki-laki
pun menjadi negatif. Begitu pula dengan apa yang dilakukan oleh Marwan (Achmad Zaki),
dengan menduakan istrinya, Ratna (Intan Kieflie), memadunya, menjadikan citra seorang lelaki
sejati tercoreng.
Implikasi yang kemudian muncul adalah anggapan bahwa lelaki tercipta untuk menyakiti
perempuan. Sebagaimana yang diucapkan Kartini, “…buat apa cinta kalau perempuan yang selalu
menjadi korban,” atau, seperti ucapan Ratna ketika memergoki Marwan yang memiliki istri
lagi, “Dengar, aku bersedia menerima posisi yang sudah ditakdirkan untuk aku, Mas. Tapi aku bukan
barang yang tidak bernyawa. Aku hidup! Aku manusia! Manusia! Bukan anjing yang bisa ditendang
begitu saja waktu majikannya sibuk dengan lonte-lonte di luar sana!” Dianggapnya bahwa lelaki
adalah musibah terbesar bagai kaum perempuan. Pada titik inilah, penggambaran secara fisik,
jika melihat tingkah laku Marwan dan Randy, menjadikan sosok laki-laki sebagai makhluk
yang patut dibenci dan dikutuk.
Namun, benarkah demikian? Benarkah bahwa sosok laki-laki yang diwakili oleh Marwan
dan Randy layak untuk dikutuk dan dibenci? Layak untuk dicerca sedemikian rupa? Adakah
diskriminasi gender? Bagaimanakah bentuk-bentuk diskrimasi gender itu direpresentasikan?
Kemudian, bagaimanakah bahasa memerankan fungsinya dalam mencitrakan perempuan dan
laki-laki? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan masalah yang akan dibahas pada tulisan
ini.

Moral dalam Perspektif Multikultural


Larry May dalam Etika Terapan I (2001), mengemukakan dimensi etika atau moralitas
dalam ranah multikulturalisme. Multikulturalisme sendiri didefinisikan oleh May (2001: 2)
sebagai,

sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah
penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Ia meliputi sebuah penilaan
terhadap budaya-budaya orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari budaya-
budaya tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana sebuah budaya yang asli dapat
mengeskpresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.

Terlihat jelas bahwa definisi multikulturalisme yang ditawarkan May tidak sekadar
berkutat pada pemahaman, penghargaan dan penilaian terhadap budaya seseorang, namun
lebih jauh dari itu, yakni keinginan untuk mengetahui latar belakang, sejarah, maupun wacana
yang membentuk sebuah budaya tertentu. Dengan kata lain, memahami kebudayaan dalam
konteks multikulturalisme harus disesuaikan dengan nilai-nilai lokal. Lokalitas memiliki peran
penting. Tidak semua yang universal kemudian menjadi hal yang mutlak untuk diterapkan
kedalam berbagai aspek pada kehidupan di ranah lokal.
Hal ini yang kemudian dicontohkan May ketika menyinggung soal abosi di Cina. Dalam
pandangan universal, hal itu tidak baik, namun dari perspektif multikultural, dengan
mempertimbangkan berbagai macam wacana yang ada pada permasalahan lokal di Cina, yakni
soal meledaknya kepadatan penduduk, maka aborsi pun menjadi hal yang lumrah dan dapat
diterima akal sehat. Penerimaan semacam ini, bukan untuk menunjukkan penerimaan terhadap
aborsi, namun lebih menekankan kepada mencari kebenaran lain yang dapat terungkap pada
kasus semacam itu. Moralitas atau etika kemudian tidak dapat dipisahkan oleh konteks-
konteks tertentu yang mengelilinya.
Upaya dalam memahami konteks itulah yang kemudian menjadi unsur penting dalam
perspektif multikulturalisme. Soal pendidikan, agama, umur, ekonomi, kondisi sosial politik,
menjadi bagaian yang tidak dapat dilepaskan dalam memahami sikap seseorang, memahami
sebuah budaya. Apa yang dilakukan oleh seseorang tidak dapat dijustifikasi sebagai sebuah
tindakan yang salah atau benar. Setiap tindakan, harus dilihat dari berbagai sudut. Dengan
demikian, penghakiman terhadap seseorang dapat dilakukan dengan lebih objektif dan
proporsional. Tanpa melihat wacana-wacana itu, maka mudah disimpulkan bahwa justifikasi
terhadap perilaku orang lain atau budaya lain dapat terkesan berat sebelah. Melalui perspektif
multikulturallah, keadilan dapat dicapai dengan lebih baik. Kebaikan yang dimaksud pun
bukan pada kebaikan universal, namun kebaikan yang disesuaikan dengan wacana-wacana
yang mengintarinya.

Diskriminasi Lelaki
Resepsi dari 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita banyak menyangkut diskriminasi laki-laki. Banyak
diungkapkan berbagai kemuakan, kebencian, cacian, cercaan dan kutukan kepada Marwan dan
Randy. Kedua tokoh laki-laki itu menjadi sosok yang banyak diperbincangkan ‘moralitas
kebinatangannya’. Perilaku yang tidak memanusiakan sosok perempuan tercermin pada kedua
tokoh tersebut.
Namun, dalam kacamata multikultural, tidak dapat dijustifikasi begitu saja bahwa Marwan
dan Randy memiliki moral binatang. Tanpa melihat berbagai kemungkinan tindakan yang
dilakukan oleh kedua lelaki itu, maka tidak akan bisa menilai keduanya secara objektif.
Mungkin, apa yang dilakukan keduanya adalah salah, tapi menyalahkan sepenuhnya terhadap
keduanya pun, juga tidak benar adanya. Dengan kata lain, sebagaimana yang dikatakan
Rohana, “Tidak semua perempuan adalah korban, Dok. Saya sama seperti dokter, tapi saya selalu
menjaga jarak untuk bisa menilai tanpa langsung menghakimi satu gender.” Hal ini mengisyaratkan
bagaimana persoalan diskriminasi gender tidak hanya saja terjadi pada perempuan, melainkan
juga terhadap laki-laki.
Hal utama yang perlu diperhatikan dalam mengamati perilaku Marwan dan Randy,
melalui kacamata multikultural, adalah melihat bagaimana latar belakang yang ada pada kedua
tokoh. Pada Marwan misalnya, yang digambarkan sebagai sosok lelaki yang alim dan taat
agama, yang dapat dilihat dari habitus (perlengkapan dan kebiasaan) yang melekat pada
dirinya (pakaian koko, peci, bacaan agama), ternyata tidak sesuai dengan tampilannya.
Marwan malah menikahi perempuan yang dia kenal dari jejaring sosial, facebook. Sebuah
gambaran yang sangat dekat dengan dunia realita. Begitu banyak lelaki yang memiliki istri
simpanan tanpa sepengetahuan istrinya yang sah. Terlebih, penggambaran sebagai sosok yang
alim dan taat agama itu, mejadikan karakter Marwan sebagai sebuah otokritik terhadap
kehidupan sosial keagamaan di masyarakat kita.
Perspektif multikultural dapat menerima sikap Marwan yang demikian. Mengapa? Banyak
sisi yang dapat dijadikan argumentasi. Satu di antaranya adalah menyangkut kesetian cinta
Marwan kepada Ratna. Mungkin, banyak yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan
Marwan itu adalah bukti pengkhianatan cinta lelaki kepada perempuan. Kejahatan suami
kepada istri. Perilaku yang menyayat hati perempuan. Namun, nanti dulu, apakah itu benar?
Seorang bijak pernah mengatakan, “Aku berbohong kepadamu sebab aku sangat
mencintaimu. Aku berbohong sebab tidak ingin kehilangan cintamu.” Memang, apa yang
terucap seperti kalimat itu akan terlihat naif. Mungkin, akan dianggap sebagai sebuah sikap
yang benar namun cara yang salah. Akan tetapi, benarkah sebuah cara itu salah. Sebenarnya,
bukan persoalan cara yang perlu diperdebatkan, namun soal perspektif. Soal sudut pandang
kita dalam melihat persoalan secara jernih. Secara menyeluruh. Tidak spasial, melainkan
parsial.
Andaikan benar bahwa Marwan tidak setia cintanya kepada Ratna, maka tentu saja
Marwan akan meninggalkan Ratna. Dan itu, akan membawa Marwan ke dalam sebuah
perilaku yang bisa jadi melebihi sifat iblis. Namun, kenyataannya, Marwan masih saja setia
kepada Ratna. Persoalan ketika Marwan digambarkan sedang meminjam uang kepada Ratna;
tidak bisa mengantar Ratna ke rumah sakit untuk periksa kehamilan; serta penggambaran
pelayanan Ratna kepada Marwan ketika ia pulang kerja; bukan menjadi variable keseluruhan.
Bisa jadi itu hanya peristiwa sesaat. Di sinilah sebenarnya sudah mulai muncul diskriminasi
gender. Pengucilan kebaikan suami atau laki-laki.
Marwan, ketika diperlihatkan dari sisi penceritaan Ratna, tentu saja menjadi tidak adil.
Marwan sebagai laki-laki, sebagai suami akan disudutkan oleh penceritaan demikian. Namun,
jika suaut pandang dilihat dari kacamata istri keduanya, tentu saja penilain kepada Marwan
sangat berbeda. Dari sisi ini, Marwan menjadi sosok suami yang bertanggung jawab, sosok laki-
laki jantan. Mengapa? Sebab Marwan masih bisa membiayai istri keduanya dan anaknya.
Kejantanan Marwan pun terlihat dari anak yang terlahir dari istri kedua. Namun, sebab sudut
pandang selalu dilihat dari Ratna, maka Marwan pun didiskriminasikan sebagai seorang yang
bajingan, bejat, dan munafik. Padahal, dari kacamata lain, dari sudut pandang lain, Marwan
adalah sosok lelaki yang bertanggung jawab, jantan dan berani. Berani, sebab Marwan mau
mengambil tindakan menikahi istri keduanya itu. Hal itu merupakan sebuah keputusan yang
tentu saja, dapat dikatakan berani.
Kasus diskriminasi laki-laki ini pun juga terlihat dari Randy yang suka melakukan
hubungan seksual dengan cara sadomasokis, cara kekerasan. Dengan demikian, sebab
mengandung makna kekerasan, maka selalu saja diasosiasikan kepada sifat-sifat yang
ahumanis. Akan tetapi, memandang Randy, sebagaimana melihat Marwan, sudah seharusnya
perlu dilihat dari berbagai sudut atau sisi, dari kemungkinan-kemungkinan perspektif yang
ada. Tanpa itu semua, sosok laki-laki atau suami akan terlihat sebagai sosok iblis yang
menjelma ke dalam diri manusia.
Perilaku bejat yang dialamatkan kepada Randy, sebenarnya berangkat dari kacamata Acin
(Albert Halim) adik Liliy sekaligus kekasih Rara (Tamara Tyasmara), dan dari kacamata
Kartini. Dianggapnya oleh mereka bahwa perilaku sadomasokis merupakan sebuah
pelanggaran atau kejahatan. Inilah yang kemudian menggiring penonton untuk mengutuki
Randy tanpa lebih dahulu melihat dari perspektif yang lain. Persepektif multikultural.
Dilihat dari sisi Lily, apa yang dilakukan oleh suaminya itu sebenarnya bukan hal yang
dianggap sebagai kejahatan. Itulah sebabnya mengapa ketika Acin dan Kartini meminta dirinya
untuk ‘melawan’ Randy, Lily hanya menjawab dengan ucapan “tahu apa kamu?” kepada Acin,
dan ucapan “tidak sengaja” kepada Kartini. Apa yang diucapkan Lily itu bukan sebuah
ketakutan untuk kehilangan atau semakin disakiti oleh Randy, namun lebih ke sikap
penerimaan perilaku sadomasokis Randy, suaminya. Dengan demikian, sebab bagai Lily apa
yang dilakukan suaminya itu bukan sebuah kejahatan, mengapa pada akhirnya Randy
dianggap sebagai orang jahat? Analoginya, dapat pula digambarkan, ketika kita sedang
memeluk agama dengan berbagai macam aturan dan ibadahnya, kemudian ada anggapan
bahwa agama yang kita anut itu buruk, apakah hal itu kemudian menjadikan agama yang kita
anut itu menjadi buruk pula? Apakah omongan orang lain menjadi justifikasi pembenaran?
Tentu tidak, bukan? Dan itulah yang sebenarnya terjadi pada Randy. Randy dinilai dari
kacamata orang luar.Hal lain yang perlu dicermati, dalam kacamata multkultural.
Lily merupakan seorang gadis Tionghoa yang taat. Mengapa Tionghoa dan mengapa taat?
Itu dapat dilihat dari nama dan ketika dia digambarkan sedang beribadah. Sebagai seorang
perempuan Tionghoa, melayani suami adalah sebuah kewajiban yang tak dapat di bantah. Hal
ini, mungkin sama halnya dengan agama-agama yang lain. Boleh jadi, bahwa kesediaan Lily
untuk diperlakukan secara sadomasokis, bukan sebuah sikap memperbudak diri kepada laki-
laki, kepada suami, namun lebih ke arah menjalankan adat leluhur secara patuh. Dengan kata
lain, Lily sebenarnya tidak tunduk kepada suami, namun ia patuh kepada tradisi. Kemudian,
apakah salah jika Lily ingin tunduk patuh dan taat kepada tradisi? Bukankah tradisi dalam
kacamata budaya orang Tionghoa merupakan persoalan yang harus dipegang penuh. Di sinilah
kemudian terlihat dengan jelas bagaimaan Randy didiskriminasikan sebagai sosok lelaki yang
bejat.
Kalau pun Randy dianggap tidak mencintai Lily, yang tercermin dari perlaku bejatnya,
mengapa begitu dia mengharap agar dokter dapat menyelamatkan Lily? Itu semua tidak
terlepas dari kesetian cintanya kepada Lily. Randy sangat sayang dan cinta kepada Lily.
Sayangnya, sikap sayangnya itu tidak diterima oleh kebanyakan orang. Perilaku sadomasokis
dianggap sebagai kejahatan. Padahal, apakah layak untuk menghakimi sikap seseorang dari
kacamata orang luar? Apakah adil menilai sebuah kearifan budaya dari kearifan budaya lain?
Tentu saja sangat tidak adil. Maka, melihat Randy, seharunya dilihat pula dari kacamata atau
sudut pandang Liliy.
Apa yang kemudian ditangkap dari analisis ini, tidak terlepas dari apa yang diucapkan
oleh Rohana, “Tetapi tidak sepenuhnya laka-laki yang harus kita persalahkan kan Dok? Artinya
perempuan pun masih kita pertanyakan di sini.” Hal ini mengisyaratkan bahwa perilaku tokoh laki-
laki, yang dianggap ahumanis, tidak selamanya dapat dipersalahkan. Bila itu disalahkan, maka
boleh jadi diskriminasi kepada laki-laki, besar kemungkinan hal itu terjadi. Artinya pula,
bahwa kesalahan terbesar pun bisa pula dilekatkan kepada Ratna dan Lily. Mengapa Ratna,
ketika lama tidak hamil, membuka wacana atau percakapan menyangkut poligamai, misalnya.
Atau, mencoba memahami perilaku poligami Marwan dengan lebih sabar, tidak mencaci maki
dan menghujat? Mengapa misalnya, sebagai perempuan berjilbab, yang identik dengan taat
beragama, dikala susah, malah banyak menghujat dan mencaci daripada meminta ampun
kepada Tuhan? Mengucapkan perkataan-perkataan yang berbau religiusitas? Mengapa itu
tidak dilakukan oleh Ratna? Apakah itu tidak berarti malah menjadikan Ratna sebagai sosok
yang tidak bermoral? Munafik?
Pada Lily, mengapa dia tidak pernah mau mengkomunikasikan tingkat kekerasan yang
harus dia terima ketika melakukan hubungan seksual. Tidakkah seharusnya Lily
mengkomunikasikan hal itu kepada Randy? Bukankah komunikasi merupakan hal yang sangat
dianjurkan dalam melakukan dan mencari kenikmatan seksual? Mengapa Lily tidak
mengingatkan hal itu kepada Randy sehingga dia pun menjadi rugi sendiri. Menyimpan sakit
sendiri. Padahal, jika komunikasi itu terjadi, boleh jadi Lily akan selamat dari rengkuhan maut.
Bentuk Diskriminasi
Penekanan cerita dalam 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita berkutat pada penderitaan wanita. Yanti
dengan kanker rahimnya; Rara dengan kebebasan pergaulannya hingga hamil; Lily dengan
perilaku sadomasokis suaminya; Ratna, Lastri (Tizza Radia), dan Ningsih (Patty Sandya)
dengan kasus poligaminya; menjadikan film ini berkutat pada perempuan yang selalu
menderita. Hal inilah yang sebenarnya menjadi cermin ketidakadilan. Seolah-olah, hanya
wanita yang mengalami penderitaan oleh laki-laki, sementara laki-laki seolah-olah tanpa
memiliki masalah. Seolah-olah, laki-laki, tanpa mendapat derita dari perempuan. Padahal, jika
diperhatikan dengan lebih jelas, laki-laki pun mendapatkan derita dari perempuan.
Hal itu misalnya dapat dilihat bagaimana Bambang (Rangga Djarot) kemudian
mencurahkan isi hatinya kepada Yanti.

Bambang : Makanya jangan suka bilang gue pengen banget jadi suami loe. Hatiku sering jerit dengar loe
ngomong kayak gitu. Karena mang, gue pengen banget jadi suami loe. Cuma gue tahu dirilah,
nggak mungkin lah. Nggak mungkin orang kayak gue bisa jadi suami cewek cakep kayak loe.
Apalagi gue seorang Anjelo.

Apa yang diucapkan Bambang, merupakan bukti bagaimana seorang laki-laki juga
diperlakukan tidak sebagaimana mestinya. Diperlakukan dengan tidak baik dan tidak sopan.
Terdapat nuansa pelecehan yang dilakukan perempuan kepada laki-laki. Lebih-lebih, ketika
Bambang harus menggikuti apa yang diinginkan oleh Yanti. Bambang menerima begitu saja
apa yang diperintahkan Yanti kepadanya. Termasuk ketika dia harus mengiyakan sebagai
Anjelo (antar jemput lonte) di depan Rara dan lastri ketika sedang menunggu giliran periksa ke
Dokter Kartini.
Hal tersebut dapat pula tergambar dari Hadi (Verdi Solaiman), suami Ningsih. Perhatikan
bagaimana Ningsih memaki-maki suaminya, dan Hardi tidak berkutik dibuatnya. Mungkin
sebab inilah Hardi kemudian mengalihkan cinta dan kasih sayangnya kepada perempuan lain,
Lastri. Sebagaimana sebuah ungkapan umum: lelaki tidak betah di rumah sebab perempuanlah
penyebabnya. Sebab istri yang tidak pandai memasak atau pandai bergaul di atas kasur.
Selain itu, benarlah sebuah ungkapan bahwa tajamnya lidah sampai ke ulu hati. Tajamnya
lidah melebihi tajamnya pisau belati. Maka, tidak mengherankan, dan bukan lagi sebuah
kesalahan, jika pada akhirnya, Hadi menjadi seorang ‘aktor’. Itu tidak terlepas dari betapa
tertusuknya Hadi yang diombar keburukannya kesemua orang oleh Ningsih. Lihatlah
bagaimana Ningsih mempermalukan suaminya di depan Kartini. Bahkan, ketika kali pertama
akan dikenalkan pun, Ningsih sudah mengatakan, “Ayo, masuk, kayak banci!” kepada Hadi.
Dan di hadapan Kartini, Hadi pun dijelek-jelekkan oleh Ningsih, istrinya.

Ningsih : Kalau bukan laki-laki saya tidak mau. Saya mau ada pengganti suami saya.
Kartini : Memang, suami Ibu ada dimana?
Ningsih : Ada, tapi, suami saya tu… nggak berkarakter, Dokter, nggak jelas sama sekali…, tidak punya
ambisi…, culun, pemalu. Saya mau didik anak saya ini supaya tidak jadi seperti dia.

Kartini : Ada baiknya kalau periksa kembali, ajak ya suami Ibu?
Ningsih : Mungkin, tapi…, saya tidak tahu apa ada gunanya?

Ningsih : Makanya saya bilang kan dok, nggak ada gunanya saya bawa dia ke sini. Semua keputusan
rumah tangga kami, saya yang urus. Saya yang ngatur semuanya. Dia? Dia Cuma bisa diam aja
dok. Enak ya hidup kamu. Iya kan Mas hadi, Iya nggak?

Perhatikan lagi bagaimana Hadi, diperlakukan sebagai orang yang tiada berguna di
rumahnya. Diperlakukan dengan cara dibentak-bentak dan dicaci-caci. Itu semua
mencerminkan bagaimana diskriminasi, pelecehan perasaan dan kedudukan seorang laki-laki,
suami, oleh perempuan, oleh seorang istri.

Ningsih : Haahh.. kamu tu nggak pernah bisa ngurus diri kamu sendiri. Harus aku semuanya. Bisa
nganter aku ke londry nggak?
Hadi : Iya, bisa. Tapi besok aku ngantor kan pagi?
Ningsih : Ngantor telat dikit nggak papa. Makanya kalau bangun jangan kesiangan. Tadi saja aku yang
bangunin kamu. Mau anterin aku ke londry ya?
Hadi : Iya…

Ningsih : Listrik kamu belum bayar tau…. Kamu tu ngapain aja sih selama ini? Nonton TV melulu sih.
Hadi : Aku kan bayak lembur…. Kemarin kan harus keluar kota.
Ningsih : Banyak lembur juga duitnya nggak ada. Apaan sih perusahaankamu itu? Nggak jelas! Besok
liat saja ya, kalau anak kita laki-laki, saya bakalan didik agar tidak menjadi seperti kamu.

Persoalan semacam ini, yakni pelecehan yang dilakukan perempuan kepada laki-laki, tidak
terlalu banyak diperlihatkan dalam film ini. Meskipun diperlihatkan sebagaimana Bambang
dan Hadi, namun masih cenderung ditutupi oleh perilaku Marwan dan Randy. Akhirnya,
pelecehan perasaan terhadap laki-laki oleh perempuan pun tampak terlewatkan begitu saja.
Seakan menjadi angin lalu yang tidak dapat ditangkap dengan baik pesannya. Yang ada masih
berselimut pada pelecehan perempuan. Di sinilah kemudian bentuk diskriminasi itu muncul,
yakni tentang kesetiaan laki-laki kepada perempuan.
Menyangkut kesetian laki-laki, tergambarkan pula melalui karakter tokoh Darmawan (Bom
Bom Gumbira), ayah Dokter Rohana.

Rohana : Mungkin dokter Kartini perlu tahu bahwa ibu saya meninggal lima tahun yang lalu. Dan
sampai detik ini, ayah saya tidak pernah berhenti meratapi foto ibu saya. Dari situ saya belajar
banyak sekali soal laki-laki. Kalau begitu, apa iya laki-laki yang mau dipersalahkan?
Terlihat jelas dari penggambaran Rohana mengenai Darmawan sebagai sosok lelaki yang
setia. Namun sayang, kesetian itu masih terus ditutupi dengan banyaknya kisah yang
menggiring penonton kepada hal yang menyudutkan laki-laki. Namun, bagaimana pun, kisah
dalam film ini tetap melihatkan bagaimana masih ada lelaki yang setia. Tidak selamanaya lelaki
itu selalu menyakiti hati perempuan. Namun sebaliknya, ternyata ada juga perempuan yang
menyakiti hati laki-laki. Maka, jika dikatakan bahwa film ini berkutat pada persoalan
perempuan, penindasan perempuan, hal itu tidak benar adanya. Sebab, dalam film ini juga
dimunculkan bagaimana persoalan yang dialami oleh laki-laki, termasuk di dalamnya
menyangkut penindasan perempuan terhadap laki-laki.
Kesetian tidak hanya dilihat dari Ratna yang dengan ikhlas bekerja siang malam dan
melayani suami dengan sepenuh hati, tapi juga terlihat dari Bambang yang bersedia membantu
Yanti, meskipun dengan sadar Bambang mengatakan, “Saya tidak pantas jadi pacaranya apalagi
suami, jadi saya tahu itu nggak mungkin terjadi.” Namun, meskipun demikian, Bambang tetap
setia dan berusaha membantu Yanti. Dan inilah yang dinamakan kesetian cinta sebenarnya:
mau menerima kekurangan pasangan. Sebuah hal yang selama ini sangat jarang ditemukan.
Sebab, pada umumnya pasangan hanya melihat dan menerima kelebihan pasangannya. Apa
yang dikatakan dengan menerima kekurangan, kerap hanya sebagai slogan belaka. Sebuah
omong kosong yang tak berarti apa-apa. Berbeda dengan laki-laki yang dapat mewujdukan
slogan itu tanpa omong kosong, melainkan melalui tindakan nyata seperti yang dilakukan
Bambang kepada Yanti.

Eufimisme yang Berpihak


Eufimisme merupakan gaya bahasa untuk memperhalus nilai rasa. Dalam 7 Hati 7 Cinta 7
Wanita, ungkapan ini ditunjukkan oleh Kartini ketika sedang menjelaskan soal keadaan Yanti.

Kartini : Dia seharusnya berhenti menjadi…, jadi…. Maksud saya…, maksud saya, berganti-ganti
pasangan itulah yang menyebabkan dia tertular virus HPV.

Mudah ditebak apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh Kartini, yakni agar Yanti tidak
lagi menjajakan dirinya sebagai pelacur. Asosiasi pelacur dapat ditegaskan oleh sebuah situasi,
yakni ketika Kartini mengucapkan bahwa “pelacur bukan berarti melacur”.
Pelacur, yang dalam artian umum sebagai seorang yang menjual dirinya (kehormatannya)
demi suatu hal, dianggap sebagai bahasa yang negatif, mengandung nilai rasa buruk. Itulah
sebabnya kemudian Kartini lebih memilih menggunakan diksi ‘berganti-ganti pasangan’
daripada ‘pelacur’. Namun demikian, eufimisme yang digunakan oleh Kartini tidak saja pada
persoalan kehalusan makna kata, namun telah lebih jauh ke arah yang lebih esensial, yakni
persoalan moral.
Pelacur, di mata Kartini, tidak sama dengan orang yang melacur. Pelacur, adalah pelaku
lacur. Melacur adalah kegiatan yang dilakukan oleh pelaku. Lacur sendiri mengandung makna
laku buruk; celaka; malang; sial.
Bagi Kartini, seorang pelaku lacur, tidak dapat serta merta dikatakan sebagai sebuah
tindakan melacur. Sebab, sebagaimana Yanti, seorang pelacur belum tentu merasa nyaman
dengan pekerjaannya itu. Seorang pelacur belum tentu sebuah pilihan hidup. Sementara
melacur, sudah tentu sebuah pilihan hidup. Hal yang perlu ditekankan, seorang yang melacur
belum tentu berprofesi sebagai pelacur. Melacur adalah kata kerja. Sementara pelacur adalah
kata benda. Lacur sendiri merupakan kata sifat. Pada perkembangannya, pelacur bukan
sekadar pada ranah-ranah menjual tubuh (diri), namun, kini sudah mulai merambah kepada
persoalan yang lebih luas, misalnya, pelacur intektual. Fenomena kasus jual beli karya tulis
ilmiah (skripsi, tesis dan disertai) merupakan salah satu contohnya.
Eufimisme yang dikenakan kepada perempuan, yang digunakan oleh Kartini sebagai
narator dan tokoh sentral dalam film ini, sangat berbeda dengan eufimisme yang dikenakan
kepada laki-laki. Perhatikan narator Kartini ketika berbicara mengenai Hadi.

Kartini : Saya tidak tahu bagaimana menilai suaminya, mungkin saja dia aktor yang sangat berbakat.

Kartini : Akhirnya terjawab, si aktor tidak pandai mengatur strategi. Seperti jarum jam, yang hanya bisa
berdiri di antara pilihannya. Padahal dia terluka dan tersakiti. Namun kejujuran adalah cinta.

Mengatakan ‘pria selingkuh’ tentu saja memiliki makna kata yang sangat buruk. Sebab
itulah kemudian dipilih diksi ‘aktor yang sangat berbakat’, sebagai eufismisme, penghalusan
makna kata. Namun di situasi lain, meskipun diksi ‘aktor ‘tetap dipertahankan sebagai sebuah
penghalusan untuk menyebut ‘tukang (selingkuh)’, namun diksi ‘sangat berbakat’ berubah
menjadi ‘tidak pandai mengatur strategi’. Di sini, mulai ada kesan diskriminasi kepada laki-
laki. Mengapa?
Perhatikanlah ketika Kartini ingin menyebut ‘pelacur’ yang menunjuk kepada Yanti.
Kartini, tidak menyebutkan diksi itu, namun lebih memilih ‘berganti-ganti pasangan’.
Perhatikan pula ketika Kartini terpaksa menyebut diksi ‘pelacur’, terdapat upaya pembelaan
kepada pelacur, yakni dengan mengatakan bahwa “pelacur bukan berarti melacur.” Artinya,
bukan persoalan diksi ‘pelacur’ yang sebenarnya dikenakan, namun sebab pembelaan kepada
perempuan. Sebab, pada umumnya pelacur selalu ditujukan kepada perempuan.
Sementara, jika memperhatikan bagaimana Kartini mengungkapkan eufimisme kepada
laki-laki, tampak begitu diperlakukan setengah hati. ‘Tukang selingkuh’ yang kemudian
berubah menjadi ‘aktor’ merupakan penghalusan yang berarti. Apalagi dengan ucapan ‘aktor
yang sangat berbakat’. Kata itu merupakan sebuah sindiran, namun memiliki makna yang lebih
halus daripada dengan mengucapkan ‘pandai berselingkuh’. Akan tetapi, ‘aktor yang sangat
berbakat’ kemudian berubah menjadi ‘tidak pandai mengatur strategi’. Itu mengisyaratkan
adanya penurunan makna, nilai rasa. Dari nilai rasa yang lebih nyaman terdengar, menjadi
nilai rasa yang sangat menyakitkan, kurang nyaman dirasa dan didengar.
Di sinilah diskriminasi gender terjadi. Pada gender perempuan, bahasa kerap diarahkan
kepada sosok perempuan yang tampak tidak sepenuhnya salah: sebab meskipun pelacur belum
tentu mereka melacur. Sementara, bahasa yang diarahkan kepada laki-laki, meskipun halus,
namun merendahkan. Dengan kata lain, bahasa dalam 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita tidak berlaku
sama, namun tergantung gender. Jika ditujukan kepada perempuan, cenderung halus dan
membela perempuan. Sementara, jika ditujukan kepada laki-laki, bahasa yang digunakan
cenderung halus namun merendahkan. Sama-sama halus, mengandung eufimisme, namun
berbeda penekanannya. Eufimisme pada perempuan cenderung lebih baik daripada kepada
laki-laki. Di sini, laki-laki benar-benar mendapatkan diskriminasi oleh penggunaan bahasa.
Eufimisme, lebih berpihak kepada perempuan, tidak pada laki-laki.

Perspektif Perempuan
Diskriminasi yang terjadi, pada dasarnya tidak terlepas dari persoalan perspektif. Laki-laki
terdiskriminasi sebab dicitrakan dari perspektif perempuan. Perhatikan ucapan Kartini di akhir
cerita dengan mengatakan, “Hal pertama yang harus aku katakan adalah, aku seorang perempuan.”
Atau, perhatikan ucapan Anton (Hengkey Solaiman), “Itu perasan kamu saja, Dek
Kartini.” Artinya, segala bentuk usaha dalam mendiskreditkan laki-laki, tidak lepas dari cara
pandang dan pikir dari seorang perempuan.
Persoalannya menjadi sangat kompleks ketika cara pandangnya diarahkan ke laki-laki,
sebagiamana dalam perspektif multikultural, yakni mencari kebenaran-kebenaran lain dari
sudut yang berlainan pula. Satu di antaranya, sebagaimana yang dilakukan dalam tulisan ini,
ialah melihat persoalan kehidupan dalam 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita dari sisi laki-laki. Hal yang
kemudian dapat disimpulkan adalah adanya diskriminasi terhadap laki-laki oleh perempuan.
Menyikapi hal demikian, tentu saja masih banyak menimbulkan pertanyaan dan
argumenasi , baik yang membela maupun menyanggah. Namun, masih, dalam memahami
perempuan, dari perspektif laki-laki, tetap, laki-laki selalu serba salah dan terdiskriminasikan.
Sebab itu, perhatikan Bukti Wanita Susah Ditebak yang diunduh
dihttp://terselubung.blogspot.com/2011/01/bukti-wanita-susah-ditebak.htm berikut ini,
sebagai bukti, bahwa laki-laki di hadapan perempuan, kerap tidak mendapatkan kebenaran.

Jika kau memujinya, ia akan mengira kau ngegombal.


Jika kau tidak memujinya, kau adalah lelaki tak berguna.
Jika kau bercinta dengannya, kau dicurigai “sudah ahli”.
Jika kau tidak bercinta dengannya, kau bukan lelaki.
Jika kau kunjungi dia sering-sering, dia pikir kau membosankan.
Jika tidak kau kunjungi sering-sering, dia menuduhmu main sama orang lain.
Jika kau berpakaian rapi, dia bilang kau menarik perhatian wanita lain.
Jika kau tidak berpakaian rapi, dia bilang kau berantakan.
Jika kau cemburu, dia bilang kau jahat.
Jika kau tidak cemburu, dia bilang kau tidak cinta padanya.
Jika kau ingin bercinta, dia kata kau tidak menghormatinya.
Jika kau tidak ingin bercinta, dia pikir kau tidak suka padanya.
Jika kau telat satu menit, dia akan marah-marah.
Jika dia telat satu jam, dia bilang itu memang seharusnya seorang wanita.
Jika kau mengunjungi wanita lain, dia akan menuduh kau punya wanita lain.
Jika dia dikunjungi lelaki lain, “Oh! Sudah biasa, kami wanita!”

Jika kau menciumnya sebentar, dia tuduh kau orangnya dingin.


Jika kau menciumnya lama, dia teriak bahwa kau kurang ajar.
Jika kau gagal membantu dia menyeberang jalan, kau kurang etika.
Jika kau berhasil membantunya menyeberang jalan, dia anggap itu taktik lelaki.
Jika kau menatap wanita lain, dia tuduh kau buaya.
Jika dia ditatap lelaki lain, dia berkata bahwa mereka mengaguminya.
Jika kau membiayai hidupnya, dia pikir kau meremehkannya.
Jika kau tidak membiayai hidupnya, dia pikir kau pelit.
Jika kau bercinta dengan wanita lain, dia minta putus.
Jika dia bercinta dengan lelaki lain, “Bukan salahku! Dia yang memaksa!
Jika kau berhasrat bercinta dengannya, dia anggap hanya itu yang kau inginkan.
Jika kau tidak berhasrat bercinta dengannya, dia anggap kau jual mahal.
Jika kau bicara, dia ingin kau sendiri mendengar yang kau bicarakan.
Jika kau mendengar, dia ingin kau yang bicara.
Jika saat bercinta dia diam saja,dia minta dicumbu.
Jika saat bercinta kau diam saja, dia juga diam saja.
Jika dia menangis, kau salah telah membuatnya menangis.
Jika kau menangis, dia pergi darimu karena kau bukan lelaki sejati.

Pada akhirnya, emansipasi yang dikemukakan oleh Kartini, bukan berada pada makna
penyetaraan gender, namun lebih kepenindasan gender. “Apa ini mungkin saja emansipasi
pria?”sebagaimana yang dikatakan Kartini, ternyata benar adanya. Namun, sekali lagi, hal itu
benar, jika makna emansipasi yang dimaksud adalah berupa penindasan gender. Emansipasi,
pada akhirnya pula hanya sebuah eufimisme untuk menghaluskan makna. Sebagai sebuah
diksi yang mengecoh. Padahal, sebenarnya, apa yang ditampilkan dalam 7 Cinta 7 Hati 7
Wanita,adalah sebuah gambaran dari bentuk-bentuk diskriminasi oleh perempuan kepada laki-
laki.
SINOPSIS FILM / PLOT CERITA

7 HATI 7 CINTA 7 WANITA mengisahkan tentang 6 orang wanita

dengan latar belakang masalah kehidupan dan percintaan yang

berbeda. Mereka semua bertemu dengan Kartini (Jajang C.Noer)

yang berprofesi sebagai dokter genikolog, yang juga memiliki

pengalaman pahit dengan laki -laki. Beberapa di antara perempuan

itu adalah Lili, Yanti, dan Ratna.

Lili (Olga Lidya) adalah pasien yang hamil dengan suami yang

merupakan tipe sadistic atau menyukai hubungan seksual yang

diwarnai dengan tindakan kekerasan. Setiap Lili berkonsultasi

dengan Kartini, luka -luka pada tubuh Lili juga bertambah. Kartini

kadang merasa kesal karena selalu pasrah atas perlakuan

suaminya.

Yanti (Happy Salma) adalah perempuan yang memiliki nafsu yang

besar, yang ia salurkan pada Bambang (Rangga Jonet). Yanti

harus berjuang mengalahkan rasa takut terhadap kanker serviks

yang menghantuinya. Yanti yang suka berganti -ganti pasangan

membuat penyakit kanker serviks itu semakin cepat berkembang.

Yanti harus menghadapi resiko kehilangan rahimnya.


Ratna (Intan Kieflie) adalah perempuan yang sangat sabar

menunggu kehadiran buah hati. Selama lima tahun, Ratna belum

memiliki anak, dan akhirnya memiliki anak di tahun ke -5. Hal ini

membuat Ratna harus berjuang menab ung untuk biaya kelahiran

anaknya. Sayangnya, suaminya malah memanfaatkan hal ini untuk

berselingkuh.

Ketika Kartini terlarut dalam permasalahan -permasalahan

pasiennya, datanglah Rihan (Marcella Zalianty), seorang dokter

muda yang memberikan pandangan baru pada Kartini, dan

membuat Kartini sadar untuk lebih memperhatikan permasalahan

yang selama ini menggelayut dalam dirinya. Ternyata Kartini juga

memiliki kenangan yang buruk.

Anda mungkin juga menyukai