Anda di halaman 1dari 36

PRESENTASI KASUS

SKIZOFRENIA

Disusun Oleh :
Jelita Rachmania Permata Dani
20120310261

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017

HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan, presentasi kasus dengan judul
SKIZOFRENIA

Disusun Oleh :
Jelita Rachmania Permata Dani
20120310261

Telah dipresentasikan
Hari/tanggal:
Mei 2017
BAB I
KASUS PSIKIATRI

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 66 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Status pernikahan : Menikah
Pendidikan : SMP
Alamat : Tangkilan RT 4, Bambanglipuro
Tanggal Home Visit : 23 Mei 2017

II. IDENTITAS KELUARGA


Nama : Ny. I
Umur : 25 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Tangkilan RT 4, Bambanglipuro
Pendidikan terakhir : SMA
Hubungan dengan pasien: Menantu

III. ANAMNESIS
 Keluhan Utama
Pasien mengatakan telinga sebelah kiri kurang bisa mendengar dengan jelas
 Riwayat Penyakit Sekarang
(Autoanamnesis dan alloanamnesis) :
 Autoanamnesis:
Pasien saat dilakukan anamnesis mengeluh telingan kiri seperti dimasuki
sesuatu yang tidak kunjung hilang sehingga pasien kurang bias mendengar
dibagian telinga kiri. Keluhan ini sudah dirasakan beberapa hari. Pasien juga
sering merasakan ada yang membisiki dirinya. Bisikan itu menyuruh pasien
untuk tidak bersalaman dengan orang-orang dan juga tidak duduk dikursi.
Menurut pasien, jika dia bersalamaan dengan orang-orang dan duduk dikursi
merupakan pelanggaran karena sebenarnya itu hal yang tidak boleh dilakukan.
Pasien percaya hal demikian karena perintah dari Nyi Loro Kidul yang sering
pasien temui di pantai. Pasien mengatakan sering bertemu Nyi Loro Kidul di
depan rumahnya atau di pantai selatan. Pasien biasanya menemui Nyi Loro
Kidul menggunakan sepeda atau berjalan kaki untuk pergi ke pantai. Jika tidak
menemui Nyi Loro Kidul pasien hanya dirumah saja atau pergi ke sawah di
siang hari untuk melihat sawahnya. Sebelumnya pasien bekerja sebagai tukang
bangunan namun setelah merasa ada yang sering membisikinya, pasien lebih
sering berada di rumah. Selain itu pasien juga sering merasa curiga pada orang
lain atau hal-hal yang sekiranya akan mencelakakan dia. Pasien mengatakan
tidak suka bergaul dengan tetangga sekitar karena merasa tetangganya hanya
mengganggu dia.
Saat ini pasien tinggal bersama istri, anak, menantu dan cucu dalam 1
rumah. Pasien merasa keadaannya sehat tidak merasa sakit, dia dating ke
puskesmas tempo hari hanya karena merasa telinganya dimasuki sesuatu
hingga sedikit tidak bias mendengar. Pasien juga sungkan untuk memakan
obat karena menurut dia, obat itu telah dimasuki sesuatu yang bias
membahayakan dirinya jadi lebih baik dia buang. Pasien berharap bias
melakukan aktivitas seperti biasa tanpa diganggu oleh orang-orang.

 Alloanamnesis (Dengan Menantu)


Alloanamnesis dilakukan dengan Ny. I menantu pasien yang sudah tinggal
bersama dengan pasien sejak tahun 2012. Dalam 1 rumah dihuni oleh pasien, istri
pasien, anak pasien, Ny. I (menantu) dan 1 cucu. Ny. I mengatakan pasien sudah
bersikap aneh sejak gempa tahun 2006, dari cerita ibu mertua Ny. I (istri pasien)
awalnya pasien bekerja sebagai tukang bangunan lalu sering belajar ilmu-ilmu
kejawen hingga akhirnya membuat pasien menjadi sering marah-marah tidak kenal
waktu, bingung, berbicara tidak nyambung dan sering merasa curiga pada orang
lain. Sampai saat ini pasien masih suka bertingkah aneh seperti tidak mau
berpakaian batik, pakaian yang dipilih yang polos-polos, baju dan celana yang
dikenakan selalu dilipat, tidak mau bersalaman dengan orang lain, tidak mau duduk
dikursi, suka membolak-balik perkataan sesuka hati pasien dan membenahi radio
padahal radio itu tidak rusak. Pasien hanya dirawat seadanya oleh keluarga karena
pasien sangat sulit dibawa ke puskesmas atau rumah sakit. Pernah beberapa kali
pasien dibawa ke puskesmas lalu diberi obat, sesampainya dirumah obat tsb
dibuang oleh pasien karena merasa sehat sehingga tidak perlu meminum obat.
Selain itu juga pasien merasa curiga dengan obat tersebut karena bias saja
didalamnya sebuah racun. Sekali waktu pernah pasien akan diajak ke rumah sakit
jiwa tapi tidak mau lalu berteriak-teriak sehingga dari pihak keluarga tidak
memeriksakannya lagi ke rumah sakit. Sampai sekarang pun belum ada tindakan
dari keluarga untuk memeriksakan kembali pasien karena tidak ingin pasien
berteriak dan marah-marah.
Menurut Ny. I selama tinggal bersama pasien, sikap pasien sekarang lebih baik
dibanding beberapa tahun sebelumnya karena pasien sudah jarang berteriak-teriak
namun gejala-gejala yang lain masih sering muncul. Pasien juga bias beraktivitas
sendiri walaupun kadang pasien hanya berjalan-jalan di lingkungan desanya
sendiri. Aktivitas seperti makan, minum dan mandi bisa dilakukan mandiri oleh
pasien. Hubungan pasien dengan keluarga kurang komunikasi apalagi dengan
kedua adik perempuannya. Pasien merupakan anak pertama dari 3 bersaudara
dengan 2 adik perempuan. Komunikasi antara adik dan kakak ini memang kurang
karena sang adik mengurangi obrolan guna menjauhi debat-debat dengan pasien
karena adik-adik pasien menyadari bahwa pasien tidak normal. Hubungan dengan
tetangga sangat kurang dan cenderung penuh curiga karena pernah di suatu hari
tetangga duduk di kursi milik pasien yang diletakkan didepan rumah pasien, oleh
pasien tetangga-tetanggnya diusir dengan membohongi jika ada ular lalu setelah
mereka pergi, pasien menghancurkan kursi tsb karena merasa itu hak miliknya jadi
tidak ada yang boleh menyentuhnya.

 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak mempunyai riwayat rawat inap di RS maupun RSJ. Riwayat penyakit
fisik seperti Diabetes Mellitus (-), hipertensi (-), jantung (-) dan asma (-).

 Riwayat Penyakit Keluarga


Adanya riwayat anggota keluarga yang mempunyai keluhan serupa disangkal.
 Riwayat Pribadi
i. Pranatal dan perinatal
Pasien merupakan anak ke-1 dari 3 bersaudara. Riwayat ibu ketika hamil
mengkonsumsi alkohol (-) dan merokok (-). Lama kehamilan 9 bulan dan
merupakan anak yang diharapkan oleh kedua orang tua. Pasien mendapatkan
ASI eksklusif serta lahir dalam keadaan normal.

ii. Masa kanak-kanak awal (sampai usia 3 tahun)


Pasien sejak kecil diasuh oleh kedua orang tuanya. Sudah mampu
mengungkapkan emosi seperti menangis, tersenyum dan tertawa. Tidak ada
masalah perilaku dan perkembangan awal.

iii. Masa kanak-kanak pertengahan (usia 3-11 tahun)


Sudah mampu berteman dan bersosialisasi dengan sebaya. Masalah dalam
mengikuti pembelajaran sekolah disangkal. Sikap terhadap saudara dan teman
bermain disangkal adanya masalah. Identifikasi gendernya pasien mengerti
bahwa ia laki-laki.

iv. Masa kanak-kanak akhir (pubertas hingga remaja)


Mampu bergaul dengan anak-anak seusianya. Masalah-masalah yang timbul
bias diatasi oleh dirinya sendiri.

v. Masa dewasa
a. Riwayat pekerjaan
Riwayat pernah bekerja sebagai buruh bangunan disekitar Bantul.
b. Riwayat hubungan dan perkawinan
Pasien sudah menikah. Pasien memiliki 1 istri dan 1 anak laki-laki.
Anak dan istri tinggal bersama dengan pasien. Pekerjaan istri adalah
petani sedangkan anak dari pasien bekerja sebagai karyawan yang
sudah berumahtangga dan mempunyai 1 anak perempuan.
c. Riwayat militer
Riwayat pernah menjalani pendidikan militer disangkal.
d. Riwayat pendidikan
Pasien mempunyai riwayat pendidikan terakhir SMP.
e. Agama
Pasien beragama islam, pasien jarang melakukan sholat serta jarang
mengikuti kegiatan keagamaan lainnya.
f. Aktivitas sosial
Dalam kegiatan yang diadakan di kampung pasien tidak pernah ikut
berpartisipasi.
g. Situasi kehidupan terkini
Pasien merupakan anak ke 1 dari 3 bersaudara. Pasien tinggal bersama
istri, anak, menantu dan cucunya. Pasien sehari-hari bekerja sebagai
petani.
h. Riwayat pelanggaran hukum
Adanya riwayat tindak kekerasan atau kejahatan disangkal. Riwayat
berurusan dengan hukum maupun polisi disangkal.
i. Riwayat seksual
Riwayat adanya pelecehan seksual disangkal. Hubungan seks di luar
nikah disangkal.
j. Mimpi dan fantasi
Pasien mengaku tidak ingin melakukan apa-apa.
IV. GENOGRAM
Keluarga Tn. S tahun 2017

Keterangan :

: Laki-laki

: Perempuan

: Pasien

: Garis pernikahan

: Keturunan

: Tinggal serumah dengan pasien

: Meninggal

Pasien merupakan anak ke-1 dari 3 bersaudara. Pasien sudah menikah memiliki
putra 1 yang sudah menikah. Pasien tinggal bersama istri, anak, menantu dan
cucu.
V. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL
Pemeriksaan status mental dilakukan pada saat home visite.
 Deskripsi Umum
1. Penampilan : seorang laki-laki berusia 66 tahunan, cara berpakaian
cukup rapi, tampak sehat, kesan gizi cukup, cukup tenang, tampak
sesuai usia, perawatan diri cukup baik.
2. Perilaku dan aktivitas psikomotor : normoaktif, cukup tenang,
kontak mata (+) adekuat
3. Sikap terhadap pemeriksa : kooperative
 Mood dan afek
1. Mood : Labil
2. Afek : Serasi
3. Keserasian afek: Inappropriate
 Pembicaraan
1. Kualitas : menjawab semua pertanyaan dengan lancar, jawaban
relevan dengan pertanyaan, diam jika tidak ditanya, volume suara
terdengar jelas, artikulasi jelas.
2. Kuantitas : koheren dan relevan, logorhoe (-), remming (-), blocking
(-), mutisme (-)
3. Kecepatan produksi : spontan
 Persepsi
1. Halusinasi auditorik (+) visual (+)
2. Ilusi (-)
3. Depersonalisasi (-)
4. Derealisasi (-)
 Pikiran
1. Bentuk pikir: non realistik
2. Isi pikir: adekuat
- Waham bersalah (-) waham pesimistik (-) waham nihilistik
(–), waham curiga (+), waham bizzare (-), waham somatik (-
), waham kebesaran (-), waham cemburu (-), waham kejar (-
)
- Pikiran obsesi (-) kompulsi (-)
3. Arus pikir: koheren (+), thought blocking (-), flight of ideas (-),
asosiasi longgar (-), neologisme (-)

 Sensorium dan kognisi


1. Kesadaran : compos mentis
2. Orientasi :
a. Waktu : baik, pasien dapat mengetahui home visit dilakukan
siang hari
b. Tempat : baik, pasien menegtahui home visit dilakukan
dirumahnya.
c. Orang : baik, pasien dapat menyebutkan siapa saja yang tinggal
dirumah
d. Situasi ; baik, pasien mengetahui bahwa ia sedang
diwawancarai
2.1. Memori :
1. Jangka pendek : baik.
2. Jangka panjang : baik
3. Konsentrasi dan perhatian :
a. Konsentrasi : konsentrasi baik, pasien dapat melakukan
perhitungan 10 dikurang 2 terus menerus.
b. Perhatian : perhatian baik, dapat mengeja nama dari depan
kebelakang atau dibalik.
4. Pikiran abstrak : baik, dinilai dengan meminta pasien menyebutkan
kesamaan antara pulpen dan pensil
5. Informasi dan intelegensia
- Taraf pendidikan: pendidikan terakhir SMP
- Pengetahuan umum: baik

 Pengendalian Impuls
Pengendalian impuls pasien baik, selama home visite pasien tampak tenang
namun sesekali tampak waspada.
 Daya Nilai
a. Daya nilai sosial : Penilaian pasien tentang norma – noma sosial
saat ini kurang baik (terhadap keluarga dan lingkungan sekitar rumah)
b. Uji daya nilai realitas: Tidak dapat membuat kesimpulan.
 Tilikan
Pasien tidak mengakui dirinya sakit
 Taraf Dapat di Percaya
Kemampuan pasien untuk dapat dipercaya baik, karena jawaban pasien
sama ketika pertanyaan diulang.

VI. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


Telah diperiksa pasien seorang laki-laki berinisial Tn. S usia 66 tahun.
Pasien saat dilakukan anamnesis mengeluh telingan kiri seperti dimasuki
sesuatu yang tidak kunjung hilang sehingga pasien kurang bias mendengar
dibagian telinga kiri. Keluhan ini sudah dirasakan beberapa hari. Pasien juga
sering merasakan ada yang membisiki dirinya. Bisikan itu menyuruh pasien
untuk tidak bersalaman dengan orang-orang dan juga tidak duduk dikursi.
Menurut pasien, jika dia bersalamaan dengan orang-orang dan duduk dikursi
merupakan pelanggaran karena sebenarnya itu hal yang tidak boleh dilakukan.
Pasien percaya hal demikian karena perintah dari Nyi Loro Kidul yang sering
pasien temui di pantai. Pasien mengatakan sering bertemu Nyi Loro Kidul di
depan rumahnya atau di pantai selatan. Pasien biasanya menemui Nyi Loro
Kidul menggunakan sepeda atau berjalan kaki untuk pergi ke pantai.
Dari Alloanamnesis dengan menantunya didapatkan pasien sudah bersikap
aneh sejak tahun 2006, dari cerita ibu mertuanya (istri pasien) awalnya pasien
bekerja sebagai tukang bangunan lalu sering belajar ilmu-ilmu kejawen hingga
akhirnya membuat pasien menjadi sering marah-marah tidak kenal waktu,
bingung, berbicara tidak nyambung dan sering merasa curiga pada orang lain.
Pasien hanya dirawat seadanya oleh keluarga karena pasien sangat sulit
dibawa ke puskesmas atau rumah sakit. Pernah beberapa kali pasien dibawa ke
puskesmas lalu diberi obat, sesampainya dirumah obat tsb dibuang oleh pasien
karena merasa sehat sehingga tidak perlu meminum obat. Selain itu juga
pasien merasa curiga dengan obat tersebut karena bias saja didalamnya sebuah
racun. Sekali waktu pernah pasien akan diajak ke rumah sakit jiwa tapi tidak
mau lalu berteriak-teriak sehingga dari pihak keluarga tidak memeriksakannya
lagi ke rumah sakit. Sampai sekarang pun belum ada tindakan dari keluarga
untuk memeriksakan kembali pasien karena tidak ingin pasien berteriak dan
marah-marah.
Pasien merupakan anak ke 1 dari 3 bersaudara. Pasien sudah menikah, kini
tinggal bersama istri, anak, menantu dan cucu. Aktivitas saat ini lebih sering
berada dirumah dan disawah.
Pada pemeriksaan yang dilakukan, keluhan dan gejala pasien merujuk pada
kriteria diagnosis Skizofrenia karena pasien mengalami halusi auditorik,
halusinasi visual, waham curiga, serta penariksan diri dari pergaulan social
sejak tahun 2006. Merujuk tentang jenis Skizofrenia, pasien dapat
dikategorikan dalam Skizofrenia Tak Terinci karena memenuhi kriteria untuk
diagnosis skizofrenia namun tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis
skizofrenia paranoid, hebefrenik atau katatonik serta tidak memenuhi kriteria
untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia.

DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
- Axis I : F20.3 Skizofrenia Tak Terinci
- Axis II : Gangguan kepribadian anankastik (F60.5)
- Axis III : Penyakit telinga & proses mastoid
- Axis IV : Tidak didapatkan diagnosis Axis IV
- Axis V : GAF Scale 60-51= Gejala sedang, disabilitas sedang

VII. TERAPI
1. Farmakoterapi
 Haloperidol 1 x 5mg
 Trihexyphenidyl 2 x 2mg
2. Psikoterapi
- Edukasi pasien tentang penyakit dan pengobatan yang sedang dijalankan.
- Terapi berorientasi keluarga: menyarankan kepada keluarga untuk selalu
memberikan dukungan kepada pasien, ajak pasien untuk melakukan aktivitas
positif yang disukai pasien, kurangi hal-hal yang dapat menimbulkan perasaan
marah.
- Psikoterapi supportif: bertujuan untuk memperkuat mekanisme defens pasien
terhadap tekanan/stressor, meningkatkan kepercayaan diri untuk bergaul
dengan sekitar.
- Psikoterapi rekonstruktif: bertujuan untuk membangun kembali kepercayaan
diri pasien dan kepercayaan pada hal-hal yang realitis serta mengurangi
kecurigaan pasien terhadap lingkungan sekitar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein” yang berarti “terpisah” atau
“pecah” dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau
ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Secara umum, symptom
skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu symptom positif, symptom
negative dan gangguan dalam hubungan interpersonal. Skizofrenia merupakan suatu
deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak yang belum diketahui) dan
perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas serta
sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik dan sosial
budaya. Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,
pikiran, afek dan perilaku seseorang.Kesadaran yang jernih dan kemampuan
intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian (Sadock, 2003).

B. EPIDEMIOLOGI
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa skizofrenia mempunyai
prevalensi sebesar 1% dari populasi di dunia (rata-rata 0,85%) yaitu sekitar 7 dari
1000 orang di dunia menderita skizofrenia, saat ini jumlah penderita skizofrenia
mencapai 24.000.000 orang di seluruh dunia. Hasil Riskesdas (2007) prevalensi
gangguan jiwa berat di Indonesia adalah sebesar 4,6%. Tiga per empat dari jumlah
pasien skizofrenia umumnya dimulai pada usia 16-25 tahun pada laki-laki. Pada kaum
perempuan, skizofrenia biasanya mulai diderita pada usia 25-30 tahun. Penyakit yang
satu ini cenderung menyebar di antara anggota keluarga sedarah (Setiawati, 2015)

C. GEJALA KLINIS
1. Gejala positif, antara lain:
(a) Delusi/waham adalah keyakinan yang tidak masuk akal. Misalnya berpikir
bahwa dia selalu diawasi, berkeyakinan bahwa dia orang terkenal,
memiliki keyakinan agama yang berlebihan, berkeyakinan bahwa radio
atau televisi memberi pesan-pesan tertentu.
(b) Halusinasi bisa berupa mendengar, melihat, merasakan, mencium sesuatu
yang sebenarnya tidak ada.
(c) Pikiran paranoid adalah kecurigaan yang berlebihan. Misalnya merasa ada
seseorang yang berkomplot melawan, mencoba mencelakai atau
mengikuti, percaya ada makhluk asing yang mengikuti dan yakin dirinya
diculik.
2. Gejala negatif, antara lain:
(a) Motivasi rendah (low motivation). Penderita akan kehilangan ketertarikan
pada semua aspek kehidupan. Energinya terkuras seehingga mengalami
kesulitan melakukan hal-hal biasa dilakukan.
(b) Menarik diri dari masyarakat (social withdrawal). Penderita akan
kehilangan ketertarikan untuk berteman, lebih suka menghabiskan waktu
sendirian dan merasa terisolasi.
3. Gejala kognitif, antara lain:
(a) Mengalami masalah dengan perhatian dan ingatan. Pikiran mudah kacau
sehingga tidak bisa mendengarkan musik/menonton televisi lebih dari
beberapa menit, sulit mengingat sesuatu.
(b) Tidak dapat berkonsentrasi, sehingga sulit membaca, sulit mengingat/
mempelajari sesuatu yang baru.
(c) Miskin pembendaharaan kata dan proses pikir yang lambat. Misalnya saat
mengatakan sesuatu dan lupa apa yang telah diucapkan, perlu usaha keras
untuk melakukannya.

D. ETIOLOGI
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa
penyebabskizofrenia, antara lain:
1) Faktor Genetik
Terdapat kontribusi genetik bagi sebagian atau mungkin semua orang pada
skizofrenia dan proporsi yang tinggi dari varians cenderung untuk menjadi
skizofrenia karena adanya pengaruh genetik tambahan.Skizofrenia melibatkan
lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci.
Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh beberapa
gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini
juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-
orang yang mengalami gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa
risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya
jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini. Kecenderungan orang
yang mengalami skizofrenia berkaitan dengan eratnya hubungan terhadap
keluarga yang terkena misalnya: keluarga tingkat pertama atau kedua yang
dapat dilihat pada tabel (Sadock, 2010).

Populasi Prevalensi

Populasi umum 1%

Saudara kandung menderita skizofrenia 8%

Anak dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia 12 %

Kembar dizigotik menderita skizofrenia 12 %

Anak dengan kedua orang tua menderita skizofrenia 40 %

Kembar monozigot menderita skizofrenia 47 %

Tabel 1.Prevalensi skizofrenia di dalam populasi spesifik

2) Faktor Biologis
Faktor biologis akan terkait dengan adanya neuropatologi dan ketidak
seimbangan dari neurotransmiter misalnya dopamin, serotonin, norepineprin,
dan lainnya. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perubahan dari fungsi otak
sebagai pusat pengatur perilaku manusia. Dampak yang dapat dinilai sebagai
manifestasi adanya gangguan pada prilaku maladaptif pasien.
a) Hipotesis Dopamin
Formulasi sederhana dari hipotesis dopamin menyatakan bahwa
skizofrenia dihasilkan dari terlalu banyaknya aktifitas dopaminergik.
Teori ini berasal dari dua pengamatan. Pertama efikasi dan potensi dari
kebanyakkan obat antipsikotik berhubungan dengan kemampuan
bertindak sebagai antagonis reseptor dopamin D2. Kedua, obat-obatan
yang meningkatkan aktifitas dopaminergik seperti ampetamin yang
merupakan suatu psikotomimetik. Teori dasar tidak memperinci
apakah hiperaktif dopaminergik adalah karena terlalu banyaknya
pelepasan dopamin, terlalu banyaknya reseptor dopamin, atau
kombinasi mekanisme tersebut (Sadock, 2010).
b) Hipotesis Norepineprin
Meningkatnya level norepinefrin pada penderita skizofrenia
menunjukkan meningkatnya kepekaan untuk masukan sensorik
(Sadock, 2001).
c) Hipotesis Gamma aminobutyric acid (GABA)
Neurotransmiter asam amino inhibitory gamma-aminobutiryc acid
(GABA) dikaitkan dengan patofisiologi skizofrenia didasarkan pada
penemuan bahwa beberapa pasien skizofrenia mempunyai kehilangan
neuron-neuron GABA-ergic di hipokampus.GABA memiliki efek
regulatory pada aktivitas dopamin dan kehilangan neuron inhibitory
GABA-ergic dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron-neuron
dopaminergik (Sadock, 2010).
d) Hipotesis Serotonin
Hipotesis ini menyatakan serotonin yang berlebihan sebagai penyebab
gejala positif dan negatif pada skizofrenia (Sadock, 2010).
e) Hipotesis Glutamat
Glutamat dianggap terlibat karena penggunaan fensiklidin, suatu
antagonis glutamat menghasilkan suatu sindroma akut yang serupa
dengan skizofrenia (Sadock, 2010).
f) Teori Neurodevelopmental
Dibuktikan dengan adanya migrasi neuronal yang abnormal pada
trimester kedua pada masa perkembangan janin. Hal ini mungkin
mengarah ke simtom-simtom skizofrenia yang akan muncul pada masa
remaja (Sadock, 2001).
3) Neuropatologik
Pada akhir abad ke 20, para peneliti telah membuat kemajuan yang signifikan
yang memperhatikan suatu dasar neuropatologis potensial untuk skizofrenia,
terutama pada sistem limbik dan ganglia basalis, termasukneuropatologi atau
abnormalitas neurokimia pada korteks serebri, talamus, dan batang otak
(Sadock, 2010).
4) Faktor Psikososial
Menurut Sadock dan Kaplan (2010), faktor psikososial meliputi 3 teori, yaitu:
a) Teori Psikoanalitik
Sigmund freud mendalilkan bahwa skizofrenia disebabkan oleh fiksasi
(ketidakmampuan mengendalikan rasa takut) dalam perkembangan
yang terjadi lebih awal dari yang menyebabkan neurosis
(ketidakseimbangan mental yang menyebabkan stres) dan juga bahwa
adanya efek ego berperan dalam gejala skizofrenia (Sadock, 2010).
b) Teori Belajar
Pada teori ini, skizofrenia berkembang oleh karena hubungan
interpersonal yang buruk karena mengikuti contoh atau model yang
buruk selama masa kanak-kanak (Sadock, 2010).
c) Dinamika Keluarga
Penelitian di Inggris pada anak berusia 4 tahun yang memiliki
hubungan yang buruk dengan ibunya, ternyata berpeluang 6 kali lipat
berkembang menjadi skizofrenia. Akan tetapi tidak ada bukti yang kuat
bahwa pola dalam keluarga berperan penting sebagai penyebab
terjadinya skizofrenia (Sadock, 2010).

E. PATOFISIOLOGI
Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmiter juga diidentifikasi sebagai
penyebab skizofrenia. Ketidakseimbangan terjadi antara lain pada dopamin yang
mengalami peningkatan dalam aktivitasnya. Selain itu, terjadi juga penurunan pada
serotonin, norepinefrin, dan asam amio gamma-aminobutyric acid (GABA) yang
pada akhirnya juga mengakibatkan peningkatkan dopaminergik. Neuroanatomi dari
jalur neuronal dopamin pada otak dapat menjelaskan gejala-gejala skizofrenia.
Gambar 1.Terdapat 4 (empat) jalur dopamin pada otak.

Terdapat empat jalur dopamin dalam otak, yaitu:


a. Jalur Mesolimbik: berproyeksi dari area midbrain ventral tegmental ke batang
otak menuju nucleus akumbens di ventral striatum. Jalur ini memiliki fungsi
berhubungan dengan memori, indera pembau, efek viseral automatis, dan perilaku
emosional. Hiperaktivitas pada jalur mesolimbic akan menyebabkan gangguan
berupa gejala positif seperti waham dan halusinasi.
b. Jalur Mesokortikal: berproyeksi dari daerah tegmental ventral ke korteks
prefrontal. Berfungsi pada insight, penilaian, kesadaran sosial, menahan diri, dan
aktifitas kognisi. Hipofungsi pada jalur mesokortikal akan menyebabkan gangguan
berupa gejala negatif dan kognitif pada skizofrenia.
c. Jalur Nigrostriatal: sistem nigrostriatal mengandung sekitar 80% dari dopamin
otak. Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra ke basal gangliaatau striatum
(kauda dan putamen). Jalur ini berfungsi menginervasi sistem motorik dan
ekstrapiramidal. Dopamin pada jalur nigrostriatal berhubungan dengan efek
neurologis (Ekstrapiramidal / EPS) yang disebabkan oleh obat-obatan antipsikotik
tipikal / APG-I (Dopamin D2 antagonis).
d. Jalur Tuberoinfundibular: dari hipotalamus keanterior glandula pituitari. Fungsi
dopamin disini mengambil andil dalam fungsi endokrin, menimbulkan rasa lapar,
haus, fungsi metabolisme, kontrol temperatur, pencernaan, gairah seksual, dan
ritme sirkardian. Obat- obat antipsikotik mempunyai efek samping pada fungsi ini
dimana terdapat gangguan endokrin.

Rumusan yang paling sederhana untuk mengungkapkan patofisiologi dari


skizofrenia adalah hipotesa dopamin. Hipotesa ini secara sederhana menyatakan
bahwa skizofrenia disebabkan karena terlalu banyaknya aktivitas
dopaminergik.Hipotesis ini disokong dari hasil observasi pada beberapa obat
antipsikotik yang digunakan untuk mengobati skizofrenia dimana berhubungan
dengan kemampuannya menghambat dopamin (D2) reseptor.

F. PERJALANAN SKIZOFRENIA
Skizofrenia dapat dilihat sebagai suatu gangguan yang berkembang melalui fase-
fase:
1) Fase Premorbid
Pada fase ini, fungsi-fungsi individu masih dalam keadaan normatif.
2) Fase Prodormal
Adanya perubahan dari fungsi-fungsi pada fase premorbid menuju saat
muncul simtom psikotik yang nyata. Fase ini dapat berlangsung dalam
beberapa minggu atau bulan, akan tetapi lamanya fase prodromal ini
rerataantara 2 sampai 5 tahun. Pada fase ini, individu mengalami kemunduran
dalam fungsi-fungsi yang mendasar (pekerjaan sosial dan rekreasi) dan
muncul simtom yang nonspesifik, misal gangguan tidur, ansietas, iritabilitas,
mood depresi, konsentrasi berkurang, mudah lelah, dan adanya defisit perilaku
misalnya kemunduran fungsi peran dan penarikan sosial. Simtom positif
seperti curiga mulai berkembang di akhir fase prodromal dan berarti sudah
mendekati mulai menjadi psikosis.
3) Fase Psikotik
Berlangsung mulai dengan fase akut, lalu adanya perbaikan memasuki fase
stabilisasi dan kemudian fase stabil.
a) Pada fase akut dijumpai gambaran psikotik yang jelas, misalnya
dijumpai adanya waham, halusinasi, gangguan proses pikir, dan
pikiran yang kacau. Simtom negatif sering menjadi lebih parah dan
individu biasanya tidak mampu untuk mengurus dirinya sendiri secara
pantas.
b) Fase stabilisasi berlangsung selama 6 - 18 bulan, setelah dilakukan
acute treatment.
c) Pada fase stabil terlihat simtom negatif dan residual dari simtom
positif. Di mana simtom positif bisa masih ada, dan biasanya sudah
kurang parah dibandingkan pada fase akut. Pada beberapa individu
bisa dijumpai asimtomatis, sedangkan individu lain mengalami simtom
nonpsikotik misalnya, merasa tegang (tension), ansietas, depresi, atau
insomnia (Setiawati, 2015).

G. DIAGNOSA
Kriteria diagnosa menurut PPDGJ III adalah sebagai berikut:
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas:
1) “Thought echo” : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda; atau
- “Thought insertion or withdrawal” : isi pikiran yang asing dari luar masuk ke
dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu
dari luar dirinya (withdrawal); dan
- “Thought broadcasting” : isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya.
2) “Delusion of control” : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar, atau
- “Delusion of passivity” : waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar
- “Delusion perception” : pengalaman indrawi yang tak wajar, yang bermakna
sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
3) Halusinasi audiotorik
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien.
- Suara halusinasi yang mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri
(diantara berbagai suara yang berbicara)
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
4) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan
makhluk asing dari dunia lain)

 Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas

1. Halusinasi yang menetap dari panca indra apa saja apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide yang berlebihan (over volued
ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-
minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
2. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpalation), yang berakibat inkoherensi atau pembiaraan yang tidak
relevan atau neologisme.
3. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativism, mutisme dan stupor.
4. Gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang dan
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan menurunnya kinerja
sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika.

 Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun


waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal).

 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude) dan
penarikan diri secara sosial.

H. KLASIFIKASI SKIZOFRENIA
Ada beberapa sub-tipe skizofrenia menurut PPDGJ-III, yaitu sebagai berikut:
a) Skizofrenia Paranoid (F 20.0)
Ditandai dengan menjolnya waham dan halusinasi.Termasuk sub-tipe yang
paling sedikit mengalami gangguan fungsi sehingga paling gampang
pulih(Tirto Jiwo, 2012).
b) Skizofrenia Hebefrenik/ Dizorganized (F 20.1)
Permulaanya subakut dan sering timbul pada masa remaja antara 15-25 tahun.
Gejala yang mencolok ialah gangguan proses fikir, gangguan kemauan dan
adanya depersonalisasi atau double personalitty. Gangguan psikomotor seperti
mannerism, neologisem atau perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada
hebefrenia, waham dan halusinasi banyak sekali. Seseorang yang menderita
skizofrenia hebefrenik, disebut juga “disorganized type”(Tirto Jiwo, 2012).
c) Skizofrenia Katatonik (F 20.2)
Jenis ini jarang berinteraksi dengan orang lain, melakukan kegiatan tanpa arah
yang jelas, atau berdiri atau duduk dalam posisi aneh selama berjam-jam(Tirto
Jiwo, 2012).
d) Skizofrenia Tak Terinci/Undifferentiated (F 20.3)
Adanya gambaran simtom fase aktif.Dimana gejalanya merupakan campuran
dari beberapa subtipe, merupakan jenis yang paling banyak(Tirto Jiwo, 2012).
e) Depresi Pasca Skizofrenia (F 20.4)
Kondisi munculnya gejala depresi pada penderita skizofrenia. seorang dengan
kondisi depresi pasca skizofrenia akan menunjukan gejala-gejala depresi yang
menonjol sementara gejala skizofrenianya sendiri sudah tidak lagi menonjol.
Gejala tersebut muncul setelah atau pada masa berlangsungnya suatu episode
skizofrenia yangjelas sebelumnya (Tirto Jiwo, 2012).
f) Skizofrenia Residual (F 20.5)
Jenis ini mempunyai gejala positif yang tidak muncul dalam waktu lama,
namun gejala lain tetap ada(Tirto Jiwo, 2012).
g) Skizofrenia Simpleks (F 20.6)
Gangguan jiwa jenis ini timbul pertama kali pada masa pubertas dengan gejala
utama kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan . Diagnosis skizofrenia
simpleks sulit secara meyakinkan karena tergantung kepada pemantapan
perkembangan yang berjalan perlahan-lahan dan progresif dari gejala negatif
yang khas dari skizofrenia, tanpa didahului oleh riwayat halusinasi, waham,
atau manifestasi lain dari episode psikotik. Disertai dengan perubahan-
perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan
minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup dan penarikan
diri secara sosial (Tirto Jiwo, 2012).
h) Skizofrenia Tipe Lainnya (F 20.8)
i) Skizofrenia Yang Tak Tergolongkan (F 20.9)

I. TATALAKSANA
Tujuan pengobatan pada episode pertama:
i. Meminimalkan stres pada pasien dan memberikan dukungan untuk
meminimalkan kemungkinan kambuh.
ii. Meningkatkan adaptasi pasien terhadap kehidupan di masyarakat.
iii. Mengurangi gejala, peningkatan remisi, dan membantu proses pemulihan.
Terdapat 2 terapi yang digunakan, yaitu:
I. Terapi Psikososial
a) Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan
ketrampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial,
kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi
interpersonal. Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau
hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak
istimewa dan pas jalan di rumah sakit. Dengan demikian, frekuensi
perilaku maladaptif ataumenyimpang seperti berbicara lantang,
berbicara sendirian di masyarakat, dan postur tubuhaneh dapat
diturunkan (M. Irwan, dkk. 2008).
b) Terapi berorientasi keluarga
Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga
adalah efektif dalam menurunkan relaps. Didalam penelitian
terkontrol, penurunan angka relaps adalah dramatik. Angka relaps
tahunan tanpa terapi keluarga sebesar 25-50 % dan 5 - 10 %
dengan terapi keluarga. Terapi ini sangat berguna karena pasien
skizofrenia seringkali dipulangkan dalam keadaan remisi parsial,
kelurga dimana pasien skizofrenia kembali seringkali mendapatkan
manfaat dari terapi keluarga yang singkat namun intensif (setiap
hari). Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang
dibahas didalam terapi keluarga adalah proses pemulihan,
khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga,
didalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang
terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat.
Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan
tentang sifat skizofreniadan dari penyangkalan tentang keparahan
penyakitnya (M. Irwan, dkk. 2008).

c) Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata.
Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara
psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif
dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan,
dan meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia (M. Irwan,
dkk. 2008).
d) Psikoterapi individual
Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual dalam
pengobatan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi
membantu dan menambah efek terapi farmakologis (M. Irwan, dkk.
2008).
e) ECT (Electro Convulsion Therapy)
Terapi ini dilakukan dengan menempatkan 2 buah elektroda di bagian
temporal kepala dan mengalirinya dengan listrik. Terapi ini digunakan
jika pasien tidak respon dengan obat antipsikotik (Selta Rosani dan
Hervita Diatri, 2014)
II. Medikamentosa
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut antipsikotik.
Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir
yang terjadi pada Skizofrenia. Pasien mungkin dapat mencoba beberapa
jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat atau kombinasi obat
antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien. Indikasi pemberian obat
antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk mengendalikan gejala aktif dan
mencegah kekambuhan. Obat antipsikotik mencakup dua kelas utama: antagonis
reseptor dopamin, dan antagonis serotonin-dopamin.
a) Antipsikotik Tipikal (Antagonis Reseptor Dopamin)/ FGA
Antagonis reseptor dopamin efektif dalam penanganan skizofrenia,
terutama terhadap gejala positif. Obat-obatan ini memiliki dua
kekurangan utama. Pertama, hanya presentase kecil pasien yang cukup
terbantu untuk dapat memulihkan fungsi mental normal secara
bermakna. Kedua, antagonis reseptor dopamin dikaitkan dengan efek
samping yang mengganggu dan serius. Efek yang paling sering
mengganggu adalah akatisia dan gejala lir-parkinsonian berupa
rigiditas dan tremor. Efek potensial serius mencakup diskinesia tarda
dan sindrom neuroleptik maligna.
b) Antipsikotik Atipikal (Antagonis Serotonin-Dopamin)/SGA
SDA menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang minimal atau tidak
ada, berinteraksi dengan subtipe reseptor dopamin yang berbeda
dibanding antipsikotik standar, dan mempengaruhi baik reseptor
serotonin maupun glutamat. Obat ini juga menghasilkan efek samping
neurologis dan endokrinologis yang lebih sedikit serta lebih efektif
dalam menangani gejala negatif skizofrenia. Obat yang juga disebut
sebagai obat antipsikotik atipikal ini tampaknya efektif untuk pasien
skizofrenia dalam kisaran yang lebih luas dibanding agen antipsikotik
antagonis reseptor dopamin yang tipikal. Golongan ini setidaknya
sama efektifnya dengan haloperidol untuk gejala positif skizofrenia,
secara unik efektif untuk gejala negatif, dan lebih sedikit, bila ada,
menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Beberapa SDA yang telah
disetujui di antaranya adalah klozapin, risperidon, olanzapin, sertindol,
kuetiapin, dan ziprasidon. Obat-obat ini tampaknya akan menggantikan
antagonis reseptor dopamin, sebagai obat lini pertama untuk
penanganan skizofrenia.
Pada kasus sukar disembuhkan, klozapin digunakan sebagai agen
antipsikotik, pada subtipe manik, kombinasi untuk menstabilkan mood
ditambah penggunaan antipsikotik. Pada banyak pengobatan,
kombinasi ini digunakan mengobati keadaan skizofrenia (Setiawati,
2015).

Gambar 6.Algoritma Farmakoterapi Untuk Skizofrenia


Kategori obat antipsikotik, memperbaiki psikosis dan kelakuan agresif:

Nama Obat

Haloperidol Untuk manajemen psikosis. Juga untuk saraf motor dan suara

(Haldol) pada anak dan orang dewasa. Mekanisme tidak secara jelas

ditentukan, tetapi diseleksi oleh competively blocking

postsynaptic dopamine (D2) reseptor dalam sistem mesolimbic

dopaminergic; meningkatnya dopamine turnover untuk efek

tranquilizing. Dengan terapi subkronik, depolarization dan D2

postsynaptic dapat memblokir aksi antipsikotik.

Risperidone Monoaminergic selective mengikat lawan reseptor D2

(Risperdal) dopamine selama 20 menit, lebih rendah afinitasnya

dibandingkan reseptor 5-HT2. Juga mengikat reseptor alpha1-

adrenergic dengan afinitas lebih rendah dari H1-histaminergic

dan reseptor alpha2-adrenergic. Memperbaiki gejala negatif

pada psikosis dan menurunkan kejadian pada efek

ekstrpiramidal.

Olanzapine Antipsikotik atipikal dengan profil farmakologis yang

(Zyprexa) melintasi sistem reseptor (seperti serotonin, dopamine,

kolinergik, muskarinik, alpha adrenergik, histamine). Efek

antipsikotik dari perlawanan dopamine dan reseptor serotonin

tipe-2. Diindikasikan untuk pengobatan psikosis dan gangguan

bipolar.
Clozapine Reseptor D2 dan reseptor D1 memblokir aktifitas, tetapi

(Clozaril) nonadrenolitik, antikolinergik, antihistamin, dan reaksi arousal

menghambat efek signifikan. Tepatnya antiserotonin. Resiko

terbatasnya penggunaan agranulositosis pada pasien

nonresponsive atau agen neuroleptik klasik tidak bertoleransi.

Quetiapine Antipsikotik terbaru untuk penyembuhan jangka panjang.

(Seroquel) Mampu melawan efek dopamine dan serotonin. Perbaikan

lebih awal antipsikotik termasuk efek antikolinergik dan

kurangnya distonia, parkinsonism, dan tardive diskinesia.

Aripiprazole Memperbaiki gejala positif dan negatif skizofrenia.

(Abilify) Mekanisme kerjanya belum diketahui, tetapi hipotesisnya

berbeda dari antipsikotik lainnya. Aripiprazole menimbulkan

partial dopamine (D2) dan serotonin (5HT1A) agonis, dan

antagonis serotonin (5HT2A).

Kategori sediaan dan dosis anjuran yang dipakai untuk skizofrenia:

Nama Obat Sediaan Dosis Anjuran

Haloperidol (Haldol) Tab. 2 – 5 mg 5 – 15 mg/hari

Risperidone
Tab. 1 – 2 – 3mg 2 – 6 mg/hari
(Risperdal)

Olanzapine
Tab. 5 – 10 mg 10 – 20 mg/hari
(Zyprexa)
Clozapine (Clozaril)
Tab. 25 – 100mg 25 – 100 mg/hari

Quetiapine Tab. 25 – 100mg


(Seroquel) 50 – 400 mg/hari
200 mg

Aripiprazole
Tab. 10 – 15 mg 10 – 15 mg/hari
(Abilify)

Antipsikotik umumnya memiliki mekanisme kerja masing-masing dalam


pengobatan skizofrenia akut. Pemilihan obat antipsikotik harus sesuai dengan gejala
respon dan efek samping yang dialami pasien, rute pemberian, preferensi pasien untuk
obat tertentu, adanya kondisi medis penyerta, dan potensi interaksi dengan obat lain
yang diresepkan. Dosis yang diberikan harus sesuai dengan dosis terapi target sambil
memantau efek samping dan status klinis pasien. Pengobatan dengan memberikan
pasien dosis tinggi di atas kisaran dosis lazim terbukti tidak lebih baik daripada
memberikan dukungan kepada pasien, ini justru dapat meningkatkan efek samping
obat (Setiawati, 2015).

I.1Profil Efek Samping


Efek samping obat anti-psikosis dapat berupa:
- Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan
berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun).
- Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik: mulut
kering, kesulitan miksi&defekasi, hidung tersumbat, mata kabur,
tekanan intraokuler meninggi, gangguan irama jantung).
- Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut,akathisia, sindrom parkinson:
tremor, bradikinesia, rigiditas).
- Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik (jaundice),
hematologik (agranulocytosis), biasanya pada pemakaian panjang.
Efek samping ini ada yang dapat di tolerir pasien, ada yang lambat, ada yang
sampai membutuhkan obat simptomatik untuk meringankan penderitaan
pasien.
Efek samping dapat juga irreversible : Tardive dyskinesia (gerakan
berulang involunter pada: lidah, wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak,
dimana pada waktu tidur gejala tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada
pemakaian jangka panjang (terapi pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut.
Efek samping ini tidak berkaitan dengan dosis obat anti-psikosis.
Pada penggunaan obat anti-psikosis jangka panjang, secara periodik harus
dilakukan pemeriksaan laboratorium: darah rutin, urin lengkap, fungsi hati,
fungsi ginjal, untuk deteksi dini perubahan akibat efek samping obat.Obat
anti-psikosis hampir tidak pernah menimbulkan kematian sebagai akibat
overdosis atau untuk bunuh diri. Namun demikian untuk menghindari akibat
yang kurang menguntungkan sebaiknya dilakukan “lacage lambung” bila
obat belum lama dimakan (Safitri, 2006).

I.2 Interaksi Obat


- Antipsikosis + antidepresan trisiklik = efek samping antikolinergik meningkat
(hati-hati pada pasien dengan hipertrofi prostat, glaukoma, ileus, penyakit
jantung).
- Antipsikosis + antianxietas = efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk kasus
dengan gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat.
- Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan
serangan kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih
besar. Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah antipsikosis
Haloperidol.
- Antipsikosis + antasida = efektivitas obat antipsikosis menurn disebabkan
gangguan absorpsi (Safitri. 2006)
I.3 Fase Pengobatan
Fase pengobatan skizofrenia terbagi tiga yaitu: fase akut, fase stabilisasi, dan fase
stabil/pemeliharaan:
a) Fase akut
Tujuan pengobatan selama fase akut adalah untuk mengontrol perilaku
terganggu, mengurangi keparahan psikosis ,dan gejala tambahan
(misalnya: agitasi, agresi, gejala negatif, dan gejala afektif), serta
mengatasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya episode akut Akut
biasanya berlangsung 4 – 8 minggu, dosis efektif harian sebesar 4 - 6 mg
sehari.
b) Fase stabilisasi
Tujuan pengobatan fase ini adalah pengurangan gejala yang ada di fase
akut serta mencegah relaps. Fase stabilisasi dimana peningkatan
kesembuhan selalu lambat namun harus tetap digunakan selama 6 - 12
minggu. Selama 2 - 3 minggu pertama pengobatan, seharusnya terapi ini
dapat meningkatkan sosialisasi, meningkatkan kebiasaan merawat diri,
dan mood (Dipiro, dkk., 2008). Pengobatan ini harus dipertahankan
selama minimal 6 bulan dengan jenis obat yang sama pada fase akut,
setelah 6 bulan dosis obat dapat diturunkan perlahan-lahan sampai
ditemukan dosis efektif terendah (dosis pemeliharaan)
c) Fase pemeliharaan
Dalam fase pemeliharaan, terapi obat untuk mencegah kekambuhan,
mengoptimalkan peran fungsional, dan kualitas hidup pasien. Rata-rata
kekambuhan setelah 1 tahun 18% sampai 32% pada obat aktif(termasuk
pasien yang tidak patuh) dibandingkan dengan plasebo 60 - 80%.
Setelah pengobatan episode pertama psikotik pada pasien skizofrenia,
pengobatan seharusnya dilanjutkan paling tidak 12 bulan setelah remisi.
Beberapa pasien skizofrenia yang terampil dalam pengobatannya menjadi
sehat sedikitnya setelah 5 tahun. Pasien kronik, pengobatan perlu
dilanjutkan atau dikonsumsi seumur hidup untuk mencegah kekambuhan
(Setiawati, 2015).
J. PROGNOSIS
Sejumlah studi menunjukkan bahwa selama periode 5-10 tahun setelah rawat inap
psikiatrik yang pertama untuk skizofrenia, hanya sekitar 10-20% yang dapat
dideskripsikan memiliki hasil yang baik .lebih dari 50% pasien dapat digambarkan
memiliki hasil akhir yang buruk, dengan rawat inap berulang, eksaserbasi gejala,
episode gangguan mood mayor dan percobaan bunuh diri. Namun, skizofrenia tidak
selalu memiliki perjalanan penyakit yang memburuk dan sejumlah faktor dikaitkan
dengan prognosis yang baik. Angka pemulihan yang dilaporkan berkisar dari 10-60%
dan taksiran yang masuk akal adalah bahwa 20-30% pasien terus mengalami gejala
sedang dan 40-60% pasien tetap mengalami hendaya secara signifikan akibat
gangguan tersebut selama hidup mereka (Kaplan dan Sadock, 2010).

K. PENCEGAHAN
Mengingat belum bisa diketahui penyebab pastinya, jadi skizofrenia tidak bisa
dicegah. Lantaran pencegahannya sulit, maka deteksi dan pengendalian dini penting,
terutama bila sudah ditemukan adanya gejala. Dengan pengobatan dini, bila telah
didiagnosis dapat membuat penderita normal kembali, serta mencegah terjadinya
gejala skizofrenia berkelanjutan (Maramis, 2009).
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan gangguan mental


dengan karakter abnormalitas dalam persepsi atau gangguan mengenai realitas.
Adapun beberapa faktor etiologi yang mendasari terjadinya skizofrenia, antara lain
genetik, metabolisme, neurokimia. Pada Skizofrenia terdapat gejala positif dan gejala
negatif. Gejala positif mencakup waham dan halusinasi. Gejala negatif meliputi afek
mendatar atu menumpul, miskin bicara (alogia) atau isi bicara, bloking, kurang
merawat diri, kurang motivasi, anhedonia, dan penarikan diri secara sosial. Indikasi
pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk mengendalikan gejala aktif
dan mencegah kekambuhan. Obat antipsikotik mencakup dua kelas utama: antagonis
reseptor dopamin, dan antagonis serotonin-dopamin.
Pada pasien ini saat ini terdapat Gejala positive dan negative dari skizofrenia
yang menonjol. Adanya gejala-gejala khas tsb berlangsung selama kurun waktu lebih
dari 1 bulan lalu tidak memenuhi kriteria diagnosis dari skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau katatonik serta skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia bias
dikategorikan pada Skizofrenia Tak Terinci.

Kondisi pasien ini sekarang masih aktif dan gejala positivenya menonjol sehingga
perlu pengawasan dalam hal pengobatan dan dukungan dari keluarga serta merubah
pikiran negative menjadi positif.
Mengingat belum bisa diketahui penyebab pastinya, jadi skizofrenia tidak bisa
dicegah. Lantaran pencegahannya sulit, maka deteksi dan pengendalian dini sangatlah
penting, terutama bila sudah ditemukan adanya gejala. Dengan pengobatan dini, bila
telah didiagnosis dapat membuat penderita normal kembali, serta mencegah terjadinya
gejala skizofrenia berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA

Irwan, M; Fajriansyah, Angga; Sinuhadji, Besly dan Indrayana, M Tegar. 2008.


Penatalaksanaan Skizofrenia. Pekanbaru: Fakultas Kedokteran Universitas Riau-RSJ
Tampan, pp: 1-12

Jiwo, Tirto. 2012. Mengenal Schizophrenia. Medan: Departement Ilmu Kedokteran Jiwa,
Universitas Sumatera Utara, pp: 1-9

Kaplan dan Sadock. 2010. Skizofrenia. In: I Made Wiguna. Sinopsis Psikiatri. Jilid I. Jakarta:
Bina Rupa Aksara, pp: 699-743

Maramis WF. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi ke-2. Surabaya: Airlangga
University Press, pp: 195-277

Maslim, R. 2013. Skizofrenia, Gangguan Skizotipal dan Gangguan Waham.Pedoman


Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia. Ed III.Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya. Jakarta: PT Nuh Jaya, pp: 46-51

R, Setiawati. 2015. Skizofrenia. Medan: Universitas Sumatera Utara. Bab II: Tinjauan
Pustaka, pp: 7-28

Rosani, Selti dan Diatri, Hervita. 2014. Skizofrenia (F2). Kapita Selekta Kedokteran. Vol II.
Ed IV. Jakarta: Media Aesculapius, pp: 910-913

Safitri A. 2006. Obat Antipsikosis. In: Neal MJ. Medical Pharmacology At AGlance. Jakarta:
Penerbit Erlangga, pp: 60-1

Sobell JL, Mikesell MJ, Mcmurray CT. 2005. Genetics and Etiopathophysiology of
Schizophrenia. Mayo Clin Proc Oct 2005;77:1068-82

Anda mungkin juga menyukai