Kiki - Delirium 2017
Kiki - Delirium 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN
27 September 2017
UNIV. AL-KHAIRAAT PALU
DELIRIUM
Disusun Oleh:
Rezki Ismi Wulandari
12 777 046
Pembimbing:
dr. Patmawaty, Sp.KJ
1
BAB 1
PENDAHULUAN
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
DELIRIUM
A. Definisi
Delirium adalah sindrom, bukan suatu penyakit, dan memiliki banyak kausa,
yang semuanya mengakibatkan pola gejala yang serupa berkaitan dengan tingkat
kesadaran dan gangguan kognitif pasien.1
B. Epidemiologi
3
risiko kematian sampai 10 kali lipat, namun juga karena memperpanjang masa
rawat serta meningkatkan kebutuhan perawatan dari petugas kesehatan dan pelaku
rawat.3
C. Faktor resiko
4
7. Gangguan fungsi paru (terutama pada kondisi hipoksemia)
8. CVA (cerebrovascular accident) atau kejang
9. Pasca-operasi, terutama jantung, ortopedik, atau perawatan di ICU
10. Jatuh dan fraktur
11. Anemia atau perdarahan saluran cerna
12. Nyeri
13. Kanker atau penyakit tahap akhir
D. Etiologi
Kausa utama delirium adalah penyakit susunan saraf pusat (seperti epilepsy),
penyakit sistemik (seperti gagal jantung), serta baik intoksikasi maupun keadaan
putus obat dari zat permakologis atau toksik.1,5
Hipotesis neurotransmitter utama yang terlibat dalam delirium adalah
acetylcholine dan daerah utama neuroanatomi yang terkena adalah formation
reticularis. Beberapa laporan menyebutkan bahwa faktor penyebab terjadinya
delirium adalah karena terjadi penurunan aktivitas acetylcholine dalam otak.5
Salah satu penyebab lain timbulnya delirium adalah toksisitas penggunaan
obat dengan aktivitas antikolinergik tersebut antara lain amitryptiline, doxepin,
imipramine, thioridazine dan chlorpromazine yang merupakan obat-obat yang
sering digunakan dalam psikiatri. Neurotransmitter lain yang juga berperan adalah
serotonin dan glutamate.5
Delirium merupakan fenomena kompleks, multifaktorial, dan mempengaruhi
berbagai bagian sistem saraf pusat. Hipotesis terbaru menunjukkan defisiensi jalur
kolinergik dapat merupakan salah satu faktor penyebab delirium. Delirium yang
diakibatkan oleh penghentian substansi seperti alkohol, benzodiazepin, atau
nikotin dapat dibedakan dengan delirium karena penyebab lain. Pada delirium
akibat penghentian alkohol terjadi ketidakseimbangan mekanisme inhibisi dan
eksitasi pada system neurotransmiter. Konsumsi alkohol secara regular dapat
menyebabkan inhibisi reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate) dan aktivasi
reseptor GABA-A (gamma- aminobutyric acid-A). Disinhibisi serebra Perubahan
5
transmisi neuronal yang dijumpai pada delirium melibatkan berbagai mekanisme,
yang melibatkan tiga hipotesis utama, yaitu:6
1. Efek Langsung
2. Stres
3. Inflamasi
Delirium dapat terjadi akibat gangguan primer dari luar otak, seperti penyakit
inflamasi, trauma, atau prosedur bedah. Pada beberapa kasus, respons inflamasi
sistemik menyebabkan peningkatan produksi sitokin, yang dapat mengaktivasi
mikroglia untuk memproduksi reaksi inflamasi pada otak. Sejalan dengan efeknya
yang merusak neuron, sitokin juga mengganggu pembentukan dan pelepasan
neurotransmiter. Proses inflamasi berperan menyebabkan delirium pada pasien
dengan penyakit utama di otak (terutama penyakit neurodegeneratif).6
6
dementia) atau merupakan komplikasi dari pembedahan mayor. Infeksi perifer
mengaktivasi kaskade inflamasi yang diikuti pengenalan komponen spesifik dari
mikroorganisme, misalnya lipopolisakarida (LPS) daribakteri gram negatif, oleh
fagosit dalam sirkulasi. Banyak sekali faktor-faktor, misalnya kerusakan jaringan,
kehilangan darah, nyeri dan anestesi dapat mempengaruhi fungsi dari sel
imunokompeten dan menghasilkan mediator inflamasi. Bahkan pada kondisi yang
steril, inflamasi dapat dipicu oleh kerusakan jaringan dengan pelepasan ligan
endogen, termasuk heat shock protein, hialuronan, ß-defensin dan kristal asam
urat. Sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh makrofag dan monosit, termasuk
tumor necrosis alpha (TNF-a) dan IL-1 akan merangsang ekspresi dari beberapa
mediator yang berfungsi untuk menghasilkan sel inflamasi lainnya yang akan
merusak jaringan. Oleh karena itu, pada awalnya terjadi respon imun lokal
kemudian akan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga respon sistemik akan
meningkatkan kadar sitokin dalam sirkulasi. Pada pembedahan jantung,
cardiopulmonal bypass tampaknya merupakan faktor risiko utama yang
mengaktivasi komplemen dan mensekresikan sitokin proinflamasi yang
berkontribusi terhadap disfungsi multiorgan postoperasi. Peningkatan kadar
mediator inflamasi juga berhubungan dengan disfungsi organ postoperasi pada
pembedahan nonkardiak. Pada banyak kondisi medis dan bedah, dimana delirium
paling banyak terjadi, pelepasan dan produksi mediator proinflamasi ke dalam
sirkulasi merupakan bagian dari proses patofisiologi. Bukti nyata yang secara
langsung membuktikan keterlibatan inflamasi sistemik dalam hal terjadinya
delirium berasal dari beberapa penelitian yang menyatakan bahwa kadar CRP, IL-
6, IL-8 dan TNF-a tinggi pada pasien yang mengalami delirium postoperasi
dibandingkan dengan yang tidak mengalami delirium.
Saat ini sudah terbukti bahwa sel SSP bereaksi terhadap adanya sinyal imun
perifer, yang menyebabkan terjadinya produksi dari sitokin dan mediator
inflamasi lainnya di otak, kemudian terjadi proliferasi sel dan aktivasi
hypothalamus-pituitary-adrenal axis melalui interaksi sistem yang kompleks.
Respon imun alamiah ini merupakan mekasime adaptasi yang penting karena
7
mengatur respon sentral untuk melawan infeksi akut. Beberapa mekanisme yang
terlibat dalam respon ini adalah:
1) Pengenalan langsung terhadap sinyal patogen atau mediator inflamasi pada
daerah-daerah dimana sawar darah otak terganggu atau tidak ada.
2) Sistem transport sitokin pada sawar darah otak yang bergantung pada
energi (energy-dependent) atau diproduksinya second messenger aktif di
dalam sawar darah otak.
3) Pengenalan aktivasi respon umun perifer oleh sel saraf sensoris yang
membawa informasi ke otak melalui sistem saraf otonom.
Hasil akhir dari inflamasi sistemik tidak hanya berhubungan dengan delirium
tetapi juga dengan banyak gejala neuropsikiatri. Pada manusia yang sehat, studi
eksperimental dengan menggunakan endotoksin bakteri ternyata berefek terhadap
fungsi kognisi, status emosional dan pola tidur. Sitokin dalam sirkulasi mengalami
peningkatan setelah pemberian dosis sangat rendah dari LPS (0.2 ng/KgBB) dan
perubahan ini mempunyai pengaruh negatif terhadap memori. Yang terbaru
adalah sebuah penelitian menggunakan magneting resonance imaging (MRI) yang
mendokumentasikan tentang injeksi LPS pada manusia sehat ternyata
menyebabkan reaksi inflamasi sistemik yang menetap dan retardasi psikomotor.
Hal ini berhubungan dengan peningkatan aktivitas substansia nigra (SN) kiri.
Perubahan fungsi kognitif yang terjadi setalah inflamasi sistemik yang akut
diperkirakan sebagai akibat dari interaksi selular dan molekular yang sinergis
pada bagian-bagian otak yang berbeda dan terutama pada hipokampus. Sitokin
proinflamatory IL-1 telah lama dikenal sebagai perusak hipokampus dan
mempunyai peranan penting pada proses neurofisiologis dari konsolidasi memori,
dan modulasi plastisitas sinaptik. IL-6 juga mempengaruhi disfungsi hipokampus.
Sebaliknya, IL-10 tampaknya mengimbangi efek IL-1 dan IL-6, dengan cara
menghambat pengaruh inflamasi sistemik terhadap perubahan kognisi dan
perilaku. Demikian juga, penurunan ekspresi hipokampal brain-derived growth
factor (BDNF) dan peningkatan stres oksidatif karena disfungsi mitokondria juga
berpengaruh pada defisit kemampuan belajar dan memori yang berhubungan
8
dengan neuroinflamasi. Hal ini memberi kesan bahwa reaksi kombinasi otak
untuk menghasilkan ROS, sitokin proinflamasi, metaloproteinase, Nitrit Oksida
(NO) dan kemokin menyebabkan perubahan fungsional pada sel saraf, kemudian
mempengaruhi beberapa proses misalnya: plastisitas sinaptik, potensiasi jangka
panjang, dan dapatmengganggu memori dan proses belajar.
Ada bukti bahwa aktivasi mikroglia dan astrosit oleh sistem imun perifer
dapat mengakibatkan ketidak seimbangan Bax/Bcl-2 dan mempengaruhi sel
intraparenkim otak. Pada kasus yang fatal, misalnya syok sepsis, Sharsat dkk
melaporkan bahwa terjadi apoptosis sel glial dan sel saraf dalam pusat otonomik
di otak manusia. Lee dkk menduga bahwa aktivasi amyloidegenesis berhubungan
dengan neuroinflamasi, dimana hal ini merupakan mekanisme utama yang
mengakibatkan apoptosis dan kematian sel saraf serta disfungsi neurokognisi.
Rangkaian proses ini terjadi dalam sistem saraf pusat setelah adanya stimulasi
sistem imun perifer. Oleh karena itu, sekali terjadi paparan LPS atau TNF-a dapat
menimbulkan kehilangan saraf dopaminergik yang signifikan dalam SN, sekitar
27% dalam tujuh bulan pertama dan bertambah berat (47%) dalam sepuluh bulan
setelah paparan pertama. Secara keseluruhan, data-data ini menunjukkan bahwa
paparan akut terhadap inflamasi sistemik menyebabkan sindrom klinis
neurokognisi yang dapat disamakan dengan delirium. Hal ini disebabkan oleh
reaksi neuroinflamasi yang mempengaruhi fungsi sel saraf dan sinaptik. Sintesis
asetilkolin sangat sensitif terhadap perubahan homeostasis otak, dimana proses
neuroinflamasi menimbulkan defisit kolinergik yang berkaitan dengan
ketidakseimbangan neurotransmiter lainnya, misalnya dopamin, serotonin dan
norephineprin. Ilmu pengetahuan saat ini tidak dapat menjelaskan secara lengkap
mekanisme yang pasti tentang apakah perubahan struktural, fungsional dan
neurokimiawi menimbulkan gejala kognisi, perilaku dan emosional. Data dari
bagian anestesi menggambarkan bahwa beberapa gejala utama delirium
melibatkan perubahan aspek dinamik dari aktivitas sel saraf, kemudian
mempengaruhi kemampuan otak untuk mengintegrasikan informasi melalui
diskoneksi fungsional dari struktur-struktur anatomi yang berbeda. Demikian
juga, perbedaan gambaran klinis mungkin timbul karena gangguan pada bagian
9
otak yang berbeda, yang dikenal sebagai pusat kesadaran, perhatian dan
kewaspadaan.
E. Gambaran Klinis
10
F. Diagnosis
11
(2) Penggunaan obat secara etiologis berkaitan dengan gangguan*
Catatan: Diagnosis ini sebaiknya dibuat untuk menggantikan diagnosis
intoksikasi zat hanya bila gejala kognitif melebihi yang biasa disebabkan oleh
sindrom intoksikasi dan bila gejala cukup parah hingga memerlukan perhatian
klinis tersendiri.
*catatan: diagnosis sebaiknya dicatat sebagai delirium terinduksi zat bila berkaitan
dengan penggunaan obat.
Kode delirium pada intoksikasi (zat spesifik):
(Alkohol; Amfetamin [atau zat yang menyerupai amfetamin]; Kanabis; Kokain;
Halusinogen; Inhalan; Opioid; Fensiklidin]; Sedativa, hipnotik, atau ansiolitik; Zat
lain [atau yang tidak diketahui] [cth., simetidin, digitalis, benzotopin])
12
4. Kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk delirium akibat etiologi multipel:
1
13
1. Dari taraf kesadaran berkabut sampai dengan koma;
2. Menurunnya kemampuan untuk mengarahkan, memusatkan,
mempertahankan, dan mengalihkan perhatian.
b) Gangguan kognitif secara umum :
1. Distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi-seringkali visual;
2. Hendaya daya pikir dan pengertian abstrak, dengan atau tanpa waham
yang bersifat sementara, tetapi sangat khas terdapat inkoherensi yang
ringan;
3. Hendaya daya ingat segera dan jangka pendek, namun daya ingat jangka
panjang relatif masih utuh.
4. Disorientasi waktu, pada kasus yang berat, terdapat juga disorientasi
tempat dan orang.
c) Gangguan psikomotor :
1. Hipo atau hiperaktivitas dan pengalihan aktivitas yang tidak terduga dari
satu ke yang lain;
2. Waktu bereaksi yang lebih panjang;
3. Arus pembicaraan yang bertambah atau berkurang;
4. Reaksi terperanjat meningkat;
d) Gangguan siklus tidur-bangun :
1. Insomnia atau pada kasus berat, tidak dapat tidur sama sekali atau
terbaliknya siklus tidur-bangun; mengantuk pada siang hari;
2. Gejala yang memburuk pada malam hari;
3. Mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk, yang dapat berlanjut
menjadi halusinasi setelah bangun tidur;
e) Gangguan emosional :
Misalnya depresi, anxietas atau takut, lekas marah, euphoria, apatis, atau rasa
kehilangan akal.
f) Onset biasanya cepat, perjalanan penyakitnya hilang-timbul sepanjang hari,
dan keadaan itu berlangsung kurang dari 6 bulan.
Diagnosis banding :
- Sindrom organic lainnya, demensia (F00 – F03)
14
- Gangguan psikotik akut dan sementara (F23)
- Skizofrenia dalam keadaan akut (F20)
- Gangguan afektif + “confusional features” (F30-F39)
- Delirium akibat alcohol / zat psikoaktif lain (F1x.03)
15
penggunaan obat dan senyawa lain misalnya alkohol atau benzodiazepin, yang
dapat berkontribusi pada penyakit ini.
Pemeriksaan EEG secara karakteristik menunjukkan perlambatan aktivitas
secara umum dan dapat berguna untuk membedakan delirium dengan depresi atau
psikosis. EEG pasien delirium kadang-kadang menunjukkan area hiperaktivitas
fokal.
Suatu algoritma dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sindrom
delirium yang dikenal dengan Confusion Assessment Method (CAM). Algoritma
tersebut telah divalidasi, sehingga dapat digunakan untuk penegakan diagnosis.
CAM ditambah uji status mental lain dapat dipakai sebagai baku emas diagnosis.
Algoritma CAM memiliki sensitivitas 94-100% dan spesifi sitas 90-95%, dan
tingkat reliabilitas inter-observer tinggi apabila digunakan oleh tenaga terlatih. Uji
status mental lain yang sudah lazim dikenal antara lain Mini-mental Status
Examination (MMSE), Delirium Rating Scale, Delirium Symptom Interview.
Kombinasi pemeriksaan tersebut dapat dikerjakan dalam waktu sekitar 15 menit
oleh tenaga kesehatan terlatih, cukup andal, spesifik, serta sensitif.
16
mudah pada kondisi klinis rutin oleh staf medis nonpsikiatrik atau staf perawat
dengan latihan sebelumnya. Versi singkatnya meliputi algoritme diagnostik,
berdasarkan empat ciri kardinal delirium yakni (1) onset akut dan perjalanan
fluktuatif; (2) penurunan perhatian; (3) pikiran tak terorganisir; dan (4) perubahan
tingkat kesadaran. Diagnosis delirium berdasarkan CAM membutuhkan ciri 1, 2,
disertai 3 atau 4. Pada ruang rawat kritis (Intensive Care Unit, ICU) atau ruang
pemulihan pasca bedah, terutama pada pasien yang tidak dapat berkomunikasi
secara verbal, CAM-ICU (adaptasi dari CAM) harus digunakan. Studi review
terbaru menguatkan rekomendasi ini untuk mendukung penggunaan CAM sebagai
instrumen diagnostik
17
dilakukan oleh dua penelitian terpisah , dimana kedua penelitian ini dikerjakan di
Memorial Sloan King-Kettering Cancer Center antara tahun 1992 sampai dengan
tahun 1995. Penelitian yang pertama meneliti tentang reliabilitass dan validasi
diskriman dari MDAS dan penelitian kedua menilai . validitas dari MDAS.
MDAS memiliki nilai interreliabilitas (0,92) dan konsistensi internal yang tinggi
(koefisien a = 0,91). MDAS juga menunjukkan korelasi yang kuat dengan DRS (r
= 0,88, p < 0,0001), MMSE (r = 0,91, P < 0,0001) dan Clinian’s Global Ratings
of Delirium Severity (r = 0,89, P < 0,0001)
H. Pengobatan
1. Nonfarmakologis
Memberikan dukungan fisik, sensorik, dan lingkungan. Dukungan fisik
dibutuhkan agar pasien delirium tidak terjebak dalam situasi yang mencelakai
dirinya sendiri. Pasien delirium sebaiknya tidak mengalami deprivasi sensorik
maupun dirangsang secara berlebihan oleh lingkungan. Mereka biasanya akan
terbantu dengan adanya teman atau saudara di ruangan yang sama atau orang yang
biasa dekat dengannya. Lukisan dan dekorasi yang familiar, adanya jam dinding
atau kalender, dan orientasi yang teratur terhadap orang, tempat, waktu, dapat
membantu membuat pasien delirium merasa nyaman.1
2. Farmakologis
Tujuan terapi untuk delirium adalah mengatasi penyebab yang mendasari. Bila
penyebabnya adalah keracunan antikolinergik, dapat diindikasikan penggunaan
fisostigmin salisilat (antilirium) 1-2 mg intravena atau intramuscular, dengan
dosis berulang 15-30 menit.
Dua gejala utama delirium yang memerlukan pengobatan farmakologis adalah
psikosis dan insomnia.
Obat pilihan psikosis yaitu:
1. Haloperidol (haldol), yaitu obat antipsikotik golongan butirofenon.
Bergantung pada usia, berat badan, dan kondisi fisik pasien. Dosis awal dapat
berkisar dari 2 sampai 10 mg yang diberikan secara intramuscular, diulang
18
dalam 1 jam bila pasien masih teragitasi. Segera setelah pasien tenang,
pengobatan oral dalam bentuk konsentrat cair atau tablet harus dimulai. Dua
dosis oral perhari biasanya mencukupi, dengan dua pertiga dosis diberikan
sebelum tidur. Untuk mencapai efek terapeutik yang sama, dosis oral
sebaiknya sekitar 1,5 kali lebih tinggi dibanding dosis parenteral. Total dosis
harian haloperidol yang efektif dapat berkisar dari 5-50 mg untuk sebagian
besar pasien delirium.
2. Droperidol (inasapine) adalah butirofenon yang tersedia sebagai alternatif
bentuk intravena, meski diperlukan pemantauan elektroensefalogram ketat
pada pengobatan jenis ini
3. Pemberian golongan fenotiazin sebaiknya dihindari karena dihubungkan
dengan aktivitas antikolinergik yang bermakna
I. Diagnosis Banding
19
2. Delirium versus skizofrenia atau depresi
Delirium juga harus dibedakan dengan skizofrenia dan gangguan depresif. Pasien
dengan gangguan yang dibuat-buat dapat mencoba meniru gejala delirium namun
biasanya akan menampakkan sifat gejala yang hanya buatan berupa inkonsistensi
pemeriksaan status mental dan EEG dapat dengan mudah membedakan kedua
diagnosis tersebut. Beberapa pasien gangguan psikotik, biasanya skizofrenia atau
episode manic, mungkin mengalami episode perilaku sangat kacau yang sulit
dibedakan dari delirium. Namun, umumnya halusinasi dan waham pada pasien
skizofrenia lebih konstan dan lebih teratur dibandingkan pada pasien delirium.
Pasien delirium dengan gejala hipoaktif mungkin akan tampak serupa dengan
pasien depresi berat namun dapat dibedakan berdasarkan EEG.1,5
Diagnosis psikiatri lain yang patut dipertimbangkan sebagai diagnosis banding
delirium adalah gangguan psikotik singkat, gangguan skizofreniform, dan
gangguan disosiatif.1
J. Prognosis
20
berikutnya, terutama karena sifat serius kondisi medis terkait yang menyebabkan
delirium.1
Berkembangnya delirium menjadi demensia belum dapat dibutikan pada studi
yang sangat terkontrol meski banyak klinisi yang yakin bahwa mereka pernah
menyaksikan progresi semacam itu. Namun, sebuah pengamatan klinis yang telah
disahkan oleh beberapa studi, menunjukkan bahwa periode delirium terkadang
diikuti oleh depresi atau gangguan stress pascatrauma.1
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Ed.2.
2. Nouye SK. Delirium in older persons. N Engl J Med. 2006; 354: 1157-65.
Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. ed.
4. Wass S, Webster PJ, Nair BR. Delirium in the elderly: A review. Oman Med
22