Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN
27 September 2017
UNIV. AL-KHAIRAAT PALU

DELIRIUM

Disusun Oleh:
Rezki Ismi Wulandari
12 777 046

Pembimbing:
dr. Patmawaty, Sp.KJ

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN KEDOKTERAN JIWA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2017

1
BAB 1

PENDAHULUAN

Tiga kelompok gangguan mental organik yaitu delirium, demensia, dan


gangguan amnesik ditandai oleh gejala primer yang lazim pada semua gangguan
tersebut; hendaya kognisi (contohnya memori, bahasa, dan atensi). Meski DSM-
IV-TR mengakui bahwa gangguan psikiatri lain dapat menunjukkan gejala
hendaya kognisi dalam derajat tertentu, hendaya kognitif merupakan gejala
cardinal pada delirium, demensia, dan gangguan amnesik.1
Delirium adalah sindrom, bukan suatu penyakit, dan memiliki banyak kausa,
yang semuanya mengakibatkan pola gejala yang serupa berkaitan dengan tingkat
kesadaran dan gangguan kognitif pasien. Sebagian besar kausa delirium muncul
dari luar system saraf pusat, contohnya pada gagal ginjal atau hati. Delirium tetap
merupakan gangguan klinis yang kurang dikenali dan jarang didiagnosis.
Sebagian dari masalahnya adalah bahwa sindrom ini memiliki nama lain yang
bervariasi, contohnya keadaan kebingunan akut, sindrom otak akut, ensefalopati
metabolik, psikosis toksik, dan gagal otak akut.1
Dalam revisi DSM-IV-TR edisi ke-4, delirium ditandai oleh gangguan
kesadaran serta perubahan kognisi yang timbul dalam waktu singkat. Gejala
penanda delirium yang utama adalah hendaya kesadaran, biasanya terjadi pada
hendaya fungsi kognitif secara menyeluruh. Abnormalitas mood, persepsi, dan
perilaku merupakan gejala psikiatri yang lazim dijumpai yaitu tremor, asteriksis,
nistagmus, inkoordinasi, dan inkontinensia urin adalah gejala neurologis yang
umumnya ditemui. Secara klasik, delirium merupakan awitan mendadak (dalam
hitungan jam atau hari), perjalanan yang singkat dan berfluktuasi, serta perbaikan
cepat bila faktor kausatif diidentifikasi serta dieliminasi, namun tiap gambaran
khas ini dapat bervariasi secara individual.1

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

DELIRIUM

A. Definisi

Delirium adalah sindrom, bukan suatu penyakit, dan memiliki banyak kausa,
yang semuanya mengakibatkan pola gejala yang serupa berkaitan dengan tingkat
kesadaran dan gangguan kognitif pasien.1

B. Epidemiologi

Menurut DSM-IV-TR, prevalensi delirium pada satu titik waktu pada


populasi umum adalah 0,4% berusia 18 tahun ke atas dan 1,1% usia 55 tahun ke
atas. Sekitar 10-30% pasien yang sakit secara medis dan dirawat di ruamh sakit
mengalami delirium, 30% pasien bedah ICU, dan 40-50% pasien ICCU pernah
mengalami delirium.1
Prevalensi delirium pada awal rawatan rumah sakit berkisar antara 14-24%,
dan kejadian delirium yang timbul selama masa rawat di RS berkisar antara 6-
56% di antara populasi umum rumah sakit. Delirium timbul pada 15-53% pasien
geriatri pascaoperasi dan 70-87% pasien yang dirawat di ruang rawat intensif.
Delirium dijumpai pada hingga 60% pasien rumah-rawat atau kondisi perawatan
pasca-akut, dan hingga 83% pasien pada akhir hidupnya. Walaupun prevalensi
delirium secara keseluruhan pada komunitas hanya berkisar 1-2%, namun
prevalensi meningkat seiring bertambahnya umur, hingga 14% pada pasien
berusia 85 tahun atau lebih. Lebih lanjut, pada 10-30% pasien geriatri yang datang
ke departemen gawat darurat, delirium merupakan gejala yang menggambarkan
kondisi membahayakan jiwa.2
Di Indonesia, prevalensi delirium di ruang rawat akut geriatri RSCM adalah
23% (tahun 2004), sedangkan insidensnya mencapai 17% pada pasien rawat inap.
Sindrom delirium mempunyai dampak buruk, tidak saja karena meningkatkan

3
risiko kematian sampai 10 kali lipat, namun juga karena memperpanjang masa
rawat serta meningkatkan kebutuhan perawatan dari petugas kesehatan dan pelaku
rawat.3

C. Faktor resiko

Faktor resiko umum delirium4

Tidak dapat dimodifikasi Dapat dimodifikasi


1. Usia 1. Gangguan pendengaran atau
2. Jenis kelamin laki-laki penglihatan meningkatkan risiko tiga
3. Gangguan kognitif ringan, kali lipat
demensia, penyakit Parkinson 2. Malnutrisi, dehidrasi, albumin rendah
dijumpai pada >50% pasien berhubungan dengan peningkatan
4. Komorbiditas multipel meliputi: risiko dua kali lipat
- Penyakit ginjal dan hati 3. Isolasi sosial, kurang tidur,
- Riwayat CVA lingkungan baru, pergerakan
- Riwayat jatuh dan mobilitas yang di rumah sakit
buruk 4. Kateter indwelling dan jangka
- Riwayat delirium sebelumnya panjang
5. Tambahan tiga atau lebih medikasi
yang baru
• Tidak ada orientasi waktu
• Merokok

Faktor predisposisi umum delirium :4


1. Peresepan obat dan polifarmasi
2. Gejala penghentian alkohol dan benzodiazepine
3. Sepsis, syok, hipotermia
4. Gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalsium, magnesium, fosfat)
5. Defisiensi nutrien (tiamin, B12, folat)
6. Gagal jantung, hati, atau ginjal

4
7. Gangguan fungsi paru (terutama pada kondisi hipoksemia)
8. CVA (cerebrovascular accident) atau kejang
9. Pasca-operasi, terutama jantung, ortopedik, atau perawatan di ICU
10. Jatuh dan fraktur
11. Anemia atau perdarahan saluran cerna
12. Nyeri
13. Kanker atau penyakit tahap akhir

D. Etiologi

Kausa utama delirium adalah penyakit susunan saraf pusat (seperti epilepsy),
penyakit sistemik (seperti gagal jantung), serta baik intoksikasi maupun keadaan
putus obat dari zat permakologis atau toksik.1,5
Hipotesis neurotransmitter utama yang terlibat dalam delirium adalah
acetylcholine dan daerah utama neuroanatomi yang terkena adalah formation
reticularis. Beberapa laporan menyebutkan bahwa faktor penyebab terjadinya
delirium adalah karena terjadi penurunan aktivitas acetylcholine dalam otak.5
Salah satu penyebab lain timbulnya delirium adalah toksisitas penggunaan
obat dengan aktivitas antikolinergik tersebut antara lain amitryptiline, doxepin,
imipramine, thioridazine dan chlorpromazine yang merupakan obat-obat yang
sering digunakan dalam psikiatri. Neurotransmitter lain yang juga berperan adalah
serotonin dan glutamate.5
Delirium merupakan fenomena kompleks, multifaktorial, dan mempengaruhi
berbagai bagian sistem saraf pusat. Hipotesis terbaru menunjukkan defisiensi jalur
kolinergik dapat merupakan salah satu faktor penyebab delirium. Delirium yang
diakibatkan oleh penghentian substansi seperti alkohol, benzodiazepin, atau
nikotin dapat dibedakan dengan delirium karena penyebab lain. Pada delirium
akibat penghentian alkohol terjadi ketidakseimbangan mekanisme inhibisi dan
eksitasi pada system neurotransmiter. Konsumsi alkohol secara regular dapat
menyebabkan inhibisi reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate) dan aktivasi
reseptor GABA-A (gamma- aminobutyric acid-A). Disinhibisi serebra Perubahan

5
transmisi neuronal yang dijumpai pada delirium melibatkan berbagai mekanisme,
yang melibatkan tiga hipotesis utama, yaitu:6

1. Efek Langsung

Beberapa substansi memiliki efek langsung pada sistem neurotransmiter,


khususnya agen antikolinergik dan dopaminergik. Lebih lanjut, gangguan
metabolik seperti hipoglikemia, hipoksia, atau iskemia dapat langsung
mengganggu fungsi neuronal dan mengurangi pembentukan atau pelepasan
neurotransmiter. Kondisi hiperkalsemia pada wanita dengan kanker payudara
merupakan penyebab utama delirium.6

2. Stres

Faktor stres menginduksi sistem saraf simpatis untuk melepaskan lebih


banyak noradrenalin, dan aksis hipotalamuspituitari-adrenokortikal untuk
melepaskan lebih banyak glukokortikoid, yang juga dapat mengaktivasi glia dan
menyebabkan kerusakan neuron.6

3. Inflamasi

Delirium dapat terjadi akibat gangguan primer dari luar otak, seperti penyakit
inflamasi, trauma, atau prosedur bedah. Pada beberapa kasus, respons inflamasi
sistemik menyebabkan peningkatan produksi sitokin, yang dapat mengaktivasi
mikroglia untuk memproduksi reaksi inflamasi pada otak. Sejalan dengan efeknya
yang merusak neuron, sitokin juga mengganggu pembentukan dan pelepasan
neurotransmiter. Proses inflamasi berperan menyebabkan delirium pada pasien
dengan penyakit utama di otak (terutama penyakit neurodegeneratif).6

Inflamasi sistemik sering merupakan gambaran yang nyata dari beberapa


kondisi medis dan bedah yang berhubungan dengan delirium, terutama ketika
proses ini melibatkan kerusakan jaringan dan atau infeksi. Oleh karena itu,
delirium merupakan manifestasi yang paling sering dari disfungsi multiorganik.
Misalnya pada kondisi sepsis, yang merupakan gambaran klinis dari infeksi
saluran kemih atau pneumonia (khususnya pada pasien lansia yang mengalami

6
dementia) atau merupakan komplikasi dari pembedahan mayor. Infeksi perifer
mengaktivasi kaskade inflamasi yang diikuti pengenalan komponen spesifik dari
mikroorganisme, misalnya lipopolisakarida (LPS) daribakteri gram negatif, oleh
fagosit dalam sirkulasi. Banyak sekali faktor-faktor, misalnya kerusakan jaringan,
kehilangan darah, nyeri dan anestesi dapat mempengaruhi fungsi dari sel
imunokompeten dan menghasilkan mediator inflamasi. Bahkan pada kondisi yang
steril, inflamasi dapat dipicu oleh kerusakan jaringan dengan pelepasan ligan
endogen, termasuk heat shock protein, hialuronan, ß-defensin dan kristal asam
urat. Sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh makrofag dan monosit, termasuk
tumor necrosis alpha (TNF-a) dan IL-1 akan merangsang ekspresi dari beberapa
mediator yang berfungsi untuk menghasilkan sel inflamasi lainnya yang akan
merusak jaringan. Oleh karena itu, pada awalnya terjadi respon imun lokal
kemudian akan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga respon sistemik akan
meningkatkan kadar sitokin dalam sirkulasi. Pada pembedahan jantung,
cardiopulmonal bypass tampaknya merupakan faktor risiko utama yang
mengaktivasi komplemen dan mensekresikan sitokin proinflamasi yang
berkontribusi terhadap disfungsi multiorgan postoperasi. Peningkatan kadar
mediator inflamasi juga berhubungan dengan disfungsi organ postoperasi pada
pembedahan nonkardiak. Pada banyak kondisi medis dan bedah, dimana delirium
paling banyak terjadi, pelepasan dan produksi mediator proinflamasi ke dalam
sirkulasi merupakan bagian dari proses patofisiologi. Bukti nyata yang secara
langsung membuktikan keterlibatan inflamasi sistemik dalam hal terjadinya
delirium berasal dari beberapa penelitian yang menyatakan bahwa kadar CRP, IL-
6, IL-8 dan TNF-a tinggi pada pasien yang mengalami delirium postoperasi
dibandingkan dengan yang tidak mengalami delirium.
Saat ini sudah terbukti bahwa sel SSP bereaksi terhadap adanya sinyal imun
perifer, yang menyebabkan terjadinya produksi dari sitokin dan mediator
inflamasi lainnya di otak, kemudian terjadi proliferasi sel dan aktivasi
hypothalamus-pituitary-adrenal axis melalui interaksi sistem yang kompleks.
Respon imun alamiah ini merupakan mekasime adaptasi yang penting karena

7
mengatur respon sentral untuk melawan infeksi akut. Beberapa mekanisme yang
terlibat dalam respon ini adalah:
1) Pengenalan langsung terhadap sinyal patogen atau mediator inflamasi pada
daerah-daerah dimana sawar darah otak terganggu atau tidak ada.
2) Sistem transport sitokin pada sawar darah otak yang bergantung pada
energi (energy-dependent) atau diproduksinya second messenger aktif di
dalam sawar darah otak.
3) Pengenalan aktivasi respon umun perifer oleh sel saraf sensoris yang
membawa informasi ke otak melalui sistem saraf otonom.

Hasil akhir dari inflamasi sistemik tidak hanya berhubungan dengan delirium
tetapi juga dengan banyak gejala neuropsikiatri. Pada manusia yang sehat, studi
eksperimental dengan menggunakan endotoksin bakteri ternyata berefek terhadap
fungsi kognisi, status emosional dan pola tidur. Sitokin dalam sirkulasi mengalami
peningkatan setelah pemberian dosis sangat rendah dari LPS (0.2 ng/KgBB) dan
perubahan ini mempunyai pengaruh negatif terhadap memori. Yang terbaru
adalah sebuah penelitian menggunakan magneting resonance imaging (MRI) yang
mendokumentasikan tentang injeksi LPS pada manusia sehat ternyata
menyebabkan reaksi inflamasi sistemik yang menetap dan retardasi psikomotor.
Hal ini berhubungan dengan peningkatan aktivitas substansia nigra (SN) kiri.
Perubahan fungsi kognitif yang terjadi setalah inflamasi sistemik yang akut
diperkirakan sebagai akibat dari interaksi selular dan molekular yang sinergis
pada bagian-bagian otak yang berbeda dan terutama pada hipokampus. Sitokin
proinflamatory IL-1 telah lama dikenal sebagai perusak hipokampus dan
mempunyai peranan penting pada proses neurofisiologis dari konsolidasi memori,
dan modulasi plastisitas sinaptik. IL-6 juga mempengaruhi disfungsi hipokampus.
Sebaliknya, IL-10 tampaknya mengimbangi efek IL-1 dan IL-6, dengan cara
menghambat pengaruh inflamasi sistemik terhadap perubahan kognisi dan
perilaku. Demikian juga, penurunan ekspresi hipokampal brain-derived growth
factor (BDNF) dan peningkatan stres oksidatif karena disfungsi mitokondria juga
berpengaruh pada defisit kemampuan belajar dan memori yang berhubungan

8
dengan neuroinflamasi. Hal ini memberi kesan bahwa reaksi kombinasi otak
untuk menghasilkan ROS, sitokin proinflamasi, metaloproteinase, Nitrit Oksida
(NO) dan kemokin menyebabkan perubahan fungsional pada sel saraf, kemudian
mempengaruhi beberapa proses misalnya: plastisitas sinaptik, potensiasi jangka
panjang, dan dapatmengganggu memori dan proses belajar.
Ada bukti bahwa aktivasi mikroglia dan astrosit oleh sistem imun perifer
dapat mengakibatkan ketidak seimbangan Bax/Bcl-2 dan mempengaruhi sel
intraparenkim otak. Pada kasus yang fatal, misalnya syok sepsis, Sharsat dkk
melaporkan bahwa terjadi apoptosis sel glial dan sel saraf dalam pusat otonomik
di otak manusia. Lee dkk menduga bahwa aktivasi amyloidegenesis berhubungan
dengan neuroinflamasi, dimana hal ini merupakan mekanisme utama yang
mengakibatkan apoptosis dan kematian sel saraf serta disfungsi neurokognisi.
Rangkaian proses ini terjadi dalam sistem saraf pusat setelah adanya stimulasi
sistem imun perifer. Oleh karena itu, sekali terjadi paparan LPS atau TNF-a dapat
menimbulkan kehilangan saraf dopaminergik yang signifikan dalam SN, sekitar
27% dalam tujuh bulan pertama dan bertambah berat (47%) dalam sepuluh bulan
setelah paparan pertama. Secara keseluruhan, data-data ini menunjukkan bahwa
paparan akut terhadap inflamasi sistemik menyebabkan sindrom klinis
neurokognisi yang dapat disamakan dengan delirium. Hal ini disebabkan oleh
reaksi neuroinflamasi yang mempengaruhi fungsi sel saraf dan sinaptik. Sintesis
asetilkolin sangat sensitif terhadap perubahan homeostasis otak, dimana proses
neuroinflamasi menimbulkan defisit kolinergik yang berkaitan dengan
ketidakseimbangan neurotransmiter lainnya, misalnya dopamin, serotonin dan
norephineprin. Ilmu pengetahuan saat ini tidak dapat menjelaskan secara lengkap
mekanisme yang pasti tentang apakah perubahan struktural, fungsional dan
neurokimiawi menimbulkan gejala kognisi, perilaku dan emosional. Data dari
bagian anestesi menggambarkan bahwa beberapa gejala utama delirium
melibatkan perubahan aspek dinamik dari aktivitas sel saraf, kemudian
mempengaruhi kemampuan otak untuk mengintegrasikan informasi melalui
diskoneksi fungsional dari struktur-struktur anatomi yang berbeda. Demikian
juga, perbedaan gambaran klinis mungkin timbul karena gangguan pada bagian

9
otak yang berbeda, yang dikenal sebagai pusat kesadaran, perhatian dan
kewaspadaan.

E. Gambaran Klinis

Gambaran inti delirium meliputi terganggunya kesadaran, seperti penurunan


tingkat kesadaran, terganggunya atensi, yang dapat mencakup berkurangnya
kemampuan memfokuskan, mempertahankan, atau mengalihkan atensi; hendaya
dalam bidang kognitif lain, yang dapat bermanifestasi sebagai disorientasi
(khususnya terhadap waktu dan tempat) dan penurunan memori; awitan yang
relative cepat (biasanya dalam hitungan jam atau hari); durasi singkat (biasanya
selama beberapa hari atau minggu); dan seringkali fluktuasi keparahan serta
manifestasi klinis lain yang nyata dan tidak dapat diramalkan terjadi sepanjang
hari, kadang memburuk di malam hari (senja), dengan kisaran dari periode yang
jelas hingga hendaya kognitif serta disorganisasi yang cukup parah.
Gambaran klinis terkait sering muncul dan dapat menjadi promien. Gambaran
tersebut meliputi disorganisasi proses pikir (berkisar dari tangensialiitas ringan
hingga inkoherensi nyata), gangguan persepsi seperti ilusi dan halusinasi,
hiperaktivitas dan hipoaktivitas psikomotor, gangguan siklus tidur (manifestasi
yang sering berupa tidur yang terfragmentasi di malam hari, dengan atau tanpa
rasa kantuk di siang hari), perubahan mood (dari iritabiltas halus sampai disforia,
ansietas, atau bahkan euphoria yang nyata), serta manifestasi lain dari fungsi
neurologis yang terganggu (hiperaktivitas atau instabilitas otonom, hentakan
mioklonik, dan disartria). Elektroensefakogram (EEG) biasanya menunjukkan
perlambatan difus aktivitas latar, meski pasien dengan delirium akibat putus
alkohol atau hipnotik-sedatif memiliki aktivitas voltase-rendah yang cepat.

10
F. Diagnosis

1. Kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk delirium akibat kondisi medis


umum:1
a) Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesiagaan terhadap
lingkungan) disertai penurunan kemampuan memfokuskan, mempertahankan,
atau mengalihkan atensi.
b) Perubahan kognisi (seperti deficit memori, disorientasi, gangguan berbahasa)
atau timbulnya gangguan persepsi yang tidak disebabkan oleh dementia yang
telah ada sebelumnya, atau sedang berkembang.
c) Gangguan tersebut muncul dalam jangka waktu singkat (biasanya dalam
hitungan jam atau hari) dan cenderung berfluktuasi sepanjang hari.
d) Terdapat bukti berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratorium bahwa gangguan tersebut disebaabkan oleh konsekuensi
fisiologis langsung dari kondisi medis umum.
Catatan pengkoden: jika delirium terjadi bersamaan pada demensia vascular
yang telah ada sebelumnya, nyatakan delirium dengan kode demensia vascular,
dengan delirium.
Catatan pengkodean: sertakan nama kondisi medis umum pada aksis 1, cth,.
Delirium akibat enselopati hepatic, juga kode kondisi medis umum pada Aksis III.

2. Kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk delirium pada intoksikasi zat: 1


a) Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesiagaan terhadap
lingkungan) disertai penurunan kemampuan.
b) Perubahan kognisi (seperti deficit memori, disorientasi, gangguan berbahasa)
atau timbulnya gangguan persepsi yang tidak disebabkan oleh demensia yang
telah ada sebelumnya, atau sedang berkembang.
c) Gangguan tersebut muncul dalam jangka waktu singkat (biasanya dalam
hitungan jam atau hari) dan cenderung berfluktuasi sepanjang hari.
d) Terdapat bukti berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratorium adanya poin (1) dan (2):
(1) Gejala pada kriteria A dan B timbul saat intoksikasi zat

11
(2) Penggunaan obat secara etiologis berkaitan dengan gangguan*
Catatan: Diagnosis ini sebaiknya dibuat untuk menggantikan diagnosis
intoksikasi zat hanya bila gejala kognitif melebihi yang biasa disebabkan oleh
sindrom intoksikasi dan bila gejala cukup parah hingga memerlukan perhatian
klinis tersendiri.
*catatan: diagnosis sebaiknya dicatat sebagai delirium terinduksi zat bila berkaitan
dengan penggunaan obat.
Kode delirium pada intoksikasi (zat spesifik):
(Alkohol; Amfetamin [atau zat yang menyerupai amfetamin]; Kanabis; Kokain;
Halusinogen; Inhalan; Opioid; Fensiklidin]; Sedativa, hipnotik, atau ansiolitik; Zat
lain [atau yang tidak diketahui] [cth., simetidin, digitalis, benzotopin])

3. Kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk delirium pada keadaan putus zat:


1

a) Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesiagaan terhadap


lingkungan) disertai penurunan kemampuan.
b) Perubahan kognisi (seperti deficit memori, disorientasi, gangguan berbahasa)
atau timbulnya gangguan persepsi yang tidak disebabkan oleh demensia yang
telah ada sebelumnya, atau sedang berkembang.
c) Gangguan tersebut muncul dalam jangka waktu singkat (biasanya dalam
hitungan jam atau hari) dan cenderung berfluktuasi sepanjang hari.
d) Terdapat bukti berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan temuan
laboratorium bahwa gejala pada kriteria A dan B timbul selama, atau segera
setelah suatu sindrom putus zat
Catatan: diagnosis ini sebaiknya dibuat sebagai ganti diagnosis keadaan putus zat
hanya bila gejala kognitif melebihi yang biasa disebabkan oleh sindrom putus zat
dan bila gejala cukup parah hingga memerlukan perhatian klinis tersendiri.
Kode delirium pada intoksikasi (zat spesifik): (Alkohol; sedative, hipnotik, atau
ansiolitik; zat lain atau yang tidak diketahui).

12
4. Kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk delirium akibat etiologi multipel:
1

a) Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesiagaan terhadap


lingkungan) disertai penurunan kemampuan.
b) Perubahan kognisi (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa)
atau timbulnya gangguan persepsi yang tidak disebabkan oleh demensia yang
telah ada sebelumnya, atau sedang berkembang.
c) Gangguan tersebut muncul dalam jangka waktu singkat (biasanya dalam
hitungan jam atau hari) dan cenderung berfluktuasi sepanjang hari.
d) Terdapat bukti berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan temuan
laboratorium bahwa delirium tersebut memiliki lebih dari satu etiologi (lebih
dari satu kondisi medis umum sebagai etiologi, satu kondisi medis umum plus
intoksikasi zat atau efek simpang obat).
Catatan pengkodean: gunakan kode multipel yang mencerminkan delirium
spesifik dan etiologi spesifik, cth., delirium akibat ensefalitis viral; delirium pada
keadaan putus alkohol.

5. Kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk delirium yang tak tergolongkan: 1


Kategori ini sebaiknya digunakan untuk mendiagnosis delirium yang tidak
memenuhi kriteria untuk salah satu dari delirium tipe spesifik yang telah
dijelaskan di bagian ini, contohnya meliputi:
a) Tampilan klinis delirium yang dicurigai diakibatkan oleh suatu kondisi medis
umum atau penggunaan zat namun belum ada cukup bukti untuk menetapkan
etiologi yang spesifik.
b) Delirium akibat kausa yang tidak terdaftar di bagian ini (cth., deprivasi
sensorik)

6. Pedoman diagnostik delirium bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif


lainnya. berdasarkan PPDGJ-III, yaitu :7
a) Gangguan kesadaran dan perhatian :

13
1. Dari taraf kesadaran berkabut sampai dengan koma;
2. Menurunnya kemampuan untuk mengarahkan, memusatkan,
mempertahankan, dan mengalihkan perhatian.
b) Gangguan kognitif secara umum :
1. Distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi-seringkali visual;
2. Hendaya daya pikir dan pengertian abstrak, dengan atau tanpa waham
yang bersifat sementara, tetapi sangat khas terdapat inkoherensi yang
ringan;
3. Hendaya daya ingat segera dan jangka pendek, namun daya ingat jangka
panjang relatif masih utuh.
4. Disorientasi waktu, pada kasus yang berat, terdapat juga disorientasi
tempat dan orang.
c) Gangguan psikomotor :
1. Hipo atau hiperaktivitas dan pengalihan aktivitas yang tidak terduga dari
satu ke yang lain;
2. Waktu bereaksi yang lebih panjang;
3. Arus pembicaraan yang bertambah atau berkurang;
4. Reaksi terperanjat meningkat;
d) Gangguan siklus tidur-bangun :
1. Insomnia atau pada kasus berat, tidak dapat tidur sama sekali atau
terbaliknya siklus tidur-bangun; mengantuk pada siang hari;
2. Gejala yang memburuk pada malam hari;
3. Mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk, yang dapat berlanjut
menjadi halusinasi setelah bangun tidur;
e) Gangguan emosional :
Misalnya depresi, anxietas atau takut, lekas marah, euphoria, apatis, atau rasa
kehilangan akal.
f) Onset biasanya cepat, perjalanan penyakitnya hilang-timbul sepanjang hari,
dan keadaan itu berlangsung kurang dari 6 bulan.
Diagnosis banding :
- Sindrom organic lainnya, demensia (F00 – F03)

14
- Gangguan psikotik akut dan sementara (F23)
- Skizofrenia dalam keadaan akut (F20)
- Gangguan afektif + “confusional features” (F30-F39)
- Delirium akibat alcohol / zat psikoaktif lain (F1x.03)

7. Delirium, tak bertumpang-tindih dengan demensia. berdasarkan


PPDGJ-III, yaitu :7
Delirium yang tidak bertumpang tindih dengan demensia yang sudah ada
sebelumnya.

8. Delirium, bertumpang-tindih dengan demensia. berdasarkan PPDGJ-III,


yaitu :7
Kondisi yang memenuhi criteria delirium diatas tetapi terjadinya pada saat
sudah ada demensia.

G. Pemeriksaan fisik dan laboratorium :


Temuan bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik, atau laboratorium yang
mengindikasikan gangguan terjadi akibat konsekuensi fisiologik langsung suatu
kondisi medik umum, intoksikasi atau penghentian substansi (seperti
penyalahgunaan obat atau pengobatan), pemaparan terhadap toksin, atau karena
etiologi multipel.
Identifikasi penyebab dasar penting untuk diagnosis delirium. Karena itu,
pemeriksaan fisik dan neurologis sangat penting, membantu menyingkirkan
penyakit infeksi, metabolik, endokrin, kardiovaskuler, dan penyakit
serebrovaskuler. Pemeriksaan fisik harus mencakup evaluasi tanda vital dengan
saturasi oksigen. Pemeriksaan umum harus difokuskan pada fungsi jantung dan
paru. Di luar itu, pemeriksaan neurologis harus memasukkan status mental dan
temuan fokal. Pendekatan diagnostik harus mencakup tes berikut seperti darah
lengkap, kadar ureum darah, kreatinin serum, elektrolit, gula darah, C-reactive
protein (CRP), fungsi hati, dan fungsi tiroid. Penting pula untuk mengidentifikasi

15
penggunaan obat dan senyawa lain misalnya alkohol atau benzodiazepin, yang
dapat berkontribusi pada penyakit ini.
Pemeriksaan EEG secara karakteristik menunjukkan perlambatan aktivitas
secara umum dan dapat berguna untuk membedakan delirium dengan depresi atau
psikosis. EEG pasien delirium kadang-kadang menunjukkan area hiperaktivitas
fokal.
Suatu algoritma dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sindrom
delirium yang dikenal dengan Confusion Assessment Method (CAM). Algoritma
tersebut telah divalidasi, sehingga dapat digunakan untuk penegakan diagnosis.
CAM ditambah uji status mental lain dapat dipakai sebagai baku emas diagnosis.
Algoritma CAM memiliki sensitivitas 94-100% dan spesifi sitas 90-95%, dan
tingkat reliabilitas inter-observer tinggi apabila digunakan oleh tenaga terlatih. Uji
status mental lain yang sudah lazim dikenal antara lain Mini-mental Status
Examination (MMSE), Delirium Rating Scale, Delirium Symptom Interview.
Kombinasi pemeriksaan tersebut dapat dikerjakan dalam waktu sekitar 15 menit
oleh tenaga kesehatan terlatih, cukup andal, spesifik, serta sensitif.

Confusion Assesment Method merupakan instrumen skrining delirium yang


banyak digunakan berdasarkan kriteria DSM-III-R. CAM dapat digunakan dengan

16
mudah pada kondisi klinis rutin oleh staf medis nonpsikiatrik atau staf perawat
dengan latihan sebelumnya. Versi singkatnya meliputi algoritme diagnostik,
berdasarkan empat ciri kardinal delirium yakni (1) onset akut dan perjalanan
fluktuatif; (2) penurunan perhatian; (3) pikiran tak terorganisir; dan (4) perubahan
tingkat kesadaran. Diagnosis delirium berdasarkan CAM membutuhkan ciri 1, 2,
disertai 3 atau 4. Pada ruang rawat kritis (Intensive Care Unit, ICU) atau ruang
pemulihan pasca bedah, terutama pada pasien yang tidak dapat berkomunikasi
secara verbal, CAM-ICU (adaptasi dari CAM) harus digunakan. Studi review
terbaru menguatkan rekomendasi ini untuk mendukung penggunaan CAM sebagai
instrumen diagnostik

Memorial Delirium Assesment Scale (MDAS) merupakan instrumen yang


dipakai oleh dokter untuk menilai tingkat keparahan delirium pada pasien-pasien
yang menderita penyakit medis. MDAS terdiri dari sepuluh item, dimana masing-
masing item memiliki nilai nol sampai tiga berdasarkan interaksi dengan pasien
atau perilaku pasien atau kejadian beberapa jam yang lalu. Sepuluh item pada
MDAS menggambarkan kriteria diagnostik delirium pada DSM IV. Setiap item
menilai gangguan kesadaran dan tingkat kesadaran, seperti pada beberapa area
dari fungsi kognisi (memori, perhatian, orientasi, dan gangguan berpikir) dan
aktivitas psikomotor. Item-item ini dihubungkan dengan gambaran severitas atau
intensitas dari gejala, dan telah ditinjau oleh dokter yang berpengalaman untuk
memastikan kemudahan pelaksanaan dan ketepatan penilaian. MDAS hanya
membutuhkan waktu ± 10 menit untuk dilakukan, observasi perilaku dan tes
pengenalan obyek. Ketika salah satu item tidak bisa dikerjakan, skor tetap bisa
dibagi rata dari item-item yaang bisa dikerjakan. MDAS dibuat dengan maksud
bahwa MDAS dapat dikerjakan beberapa kali pada hari yang sama, untuk menilai
secara objektif perubahan severitas delirium sebagai respon terhadap intervensi
klinis. Total skor MDAS secara signifikan dapat membedakan pasien delirium
dengan pasien-pasien yang mengalami gangguan kognisi lainnya atau mereka
yang tidak mengalami gangguan kognisi. MDAS dapat dipakai juga untuk
mengdiagnosis delirium dimana cutoff skornya adalah 13. Validasi MDAS telah

17
dilakukan oleh dua penelitian terpisah , dimana kedua penelitian ini dikerjakan di
Memorial Sloan King-Kettering Cancer Center antara tahun 1992 sampai dengan
tahun 1995. Penelitian yang pertama meneliti tentang reliabilitass dan validasi
diskriman dari MDAS dan penelitian kedua menilai . validitas dari MDAS.
MDAS memiliki nilai interreliabilitas (0,92) dan konsistensi internal yang tinggi
(koefisien a = 0,91). MDAS juga menunjukkan korelasi yang kuat dengan DRS (r
= 0,88, p < 0,0001), MMSE (r = 0,91, P < 0,0001) dan Clinian’s Global Ratings
of Delirium Severity (r = 0,89, P < 0,0001)

H. Pengobatan
1. Nonfarmakologis
Memberikan dukungan fisik, sensorik, dan lingkungan. Dukungan fisik
dibutuhkan agar pasien delirium tidak terjebak dalam situasi yang mencelakai
dirinya sendiri. Pasien delirium sebaiknya tidak mengalami deprivasi sensorik
maupun dirangsang secara berlebihan oleh lingkungan. Mereka biasanya akan
terbantu dengan adanya teman atau saudara di ruangan yang sama atau orang yang
biasa dekat dengannya. Lukisan dan dekorasi yang familiar, adanya jam dinding
atau kalender, dan orientasi yang teratur terhadap orang, tempat, waktu, dapat
membantu membuat pasien delirium merasa nyaman.1

2. Farmakologis
Tujuan terapi untuk delirium adalah mengatasi penyebab yang mendasari. Bila
penyebabnya adalah keracunan antikolinergik, dapat diindikasikan penggunaan
fisostigmin salisilat (antilirium) 1-2 mg intravena atau intramuscular, dengan
dosis berulang 15-30 menit.
Dua gejala utama delirium yang memerlukan pengobatan farmakologis adalah
psikosis dan insomnia.
Obat pilihan psikosis yaitu:
1. Haloperidol (haldol), yaitu obat antipsikotik golongan butirofenon.
Bergantung pada usia, berat badan, dan kondisi fisik pasien. Dosis awal dapat
berkisar dari 2 sampai 10 mg yang diberikan secara intramuscular, diulang

18
dalam 1 jam bila pasien masih teragitasi. Segera setelah pasien tenang,
pengobatan oral dalam bentuk konsentrat cair atau tablet harus dimulai. Dua
dosis oral perhari biasanya mencukupi, dengan dua pertiga dosis diberikan
sebelum tidur. Untuk mencapai efek terapeutik yang sama, dosis oral
sebaiknya sekitar 1,5 kali lebih tinggi dibanding dosis parenteral. Total dosis
harian haloperidol yang efektif dapat berkisar dari 5-50 mg untuk sebagian
besar pasien delirium.
2. Droperidol (inasapine) adalah butirofenon yang tersedia sebagai alternatif
bentuk intravena, meski diperlukan pemantauan elektroensefalogram ketat
pada pengobatan jenis ini
3. Pemberian golongan fenotiazin sebaiknya dihindari karena dihubungkan
dengan aktivitas antikolinergik yang bermakna

Insomnia paling baik diobati dengan golongan benzodiazepine yang memiliki


waktu paruh pendek. Benzodiazepine dengan waktu paruh jangka panjang dan
berbiturat sebaiknya dihindari kecuali bila digunakan sebagai bahan pengobatan
penyakit yang mendasarinya (contohnya keadaan putus alkohol).
Jika delirium disebabkan oleh nyeri hebat dan dispnea, sebaiknya tidak
menunda pemberian opioid baik untuk efek analgesic maupun sedatifnya.1

I. Diagnosis Banding

1. Delirium versus demensia


Sejumlah gambaran klinis dapat membantu membedakan delirium dengan
demensia. Bertentangan dengan awitan delirium yang mendadak, awitan demensia
biasanya perlahan. Meski kedua kondisi tersebut mencakup hendaya kognitif,
perubahan pada demensia lebih stabil dengan berjalnnya waktu dan contohnya
tidak berfluktuasi sepanjang hari. Seorang pasien demensia biasanya waspada;
seorang pasien delirium mengalami episode penurunan kesadaran. Kadang-
kadang delirium dapat terjadi pada pasien demensia, suatu kondisi yang dikenal
sebagai demensia berkabut. Diagnosis delirium dapat ditegakkan bila terdapat
riwayat pasti demensia yang telah ada sebelumnya.1

19
2. Delirium versus skizofrenia atau depresi
Delirium juga harus dibedakan dengan skizofrenia dan gangguan depresif. Pasien
dengan gangguan yang dibuat-buat dapat mencoba meniru gejala delirium namun
biasanya akan menampakkan sifat gejala yang hanya buatan berupa inkonsistensi
pemeriksaan status mental dan EEG dapat dengan mudah membedakan kedua
diagnosis tersebut. Beberapa pasien gangguan psikotik, biasanya skizofrenia atau
episode manic, mungkin mengalami episode perilaku sangat kacau yang sulit
dibedakan dari delirium. Namun, umumnya halusinasi dan waham pada pasien
skizofrenia lebih konstan dan lebih teratur dibandingkan pada pasien delirium.
Pasien delirium dengan gejala hipoaktif mungkin akan tampak serupa dengan
pasien depresi berat namun dapat dibedakan berdasarkan EEG.1,5
Diagnosis psikiatri lain yang patut dipertimbangkan sebagai diagnosis banding
delirium adalah gangguan psikotik singkat, gangguan skizofreniform, dan
gangguan disosiatif.1

J. Prognosis

Awitan delirium biasanya mendadak, gejala prodromal (seperti kegelisahan


dan rasa takut) dapat terjadi berhari-hari sebelum awitan gejala yang utuh. Gejala
delirium biasanya berlangsung selama faktor kausatif yang relevan tetap ada
meski delirium umumnya berlangsung kurang dari seminggu. Setelah identifikasi
dilakukan dan faktor kausatif dihilangkan, gejala delirium biasanya akan surut
dalam periode 3 sampai 7 hari meski beberapa gejala mungkin akan memakan
waktu hingga 2 minggu sebelum benar-benar menghilang. Semakin tua pasien dan
semakin lama pasien mengalami delirium, semakin lama waktu yang dibutuhkan
delirium mereda. Mengingat kembali apa yang terjadi saat delirium, saat sudah
reda, biasanya sulit; seorang pasien akan menyebut episode tersebut sebagai
mimpi buruk atau mimpi buruk yang hanya dapat diingat secara samar-samar.
Terjadinya delirium dikaitkan dengan tingkat kematian yang tinggi pada tahun

20
berikutnya, terutama karena sifat serius kondisi medis terkait yang menyebabkan
delirium.1
Berkembangnya delirium menjadi demensia belum dapat dibutikan pada studi
yang sangat terkontrol meski banyak klinisi yang yakin bahwa mereka pernah
menyaksikan progresi semacam itu. Namun, sebuah pengamatan klinis yang telah
disahkan oleh beberapa studi, menunjukkan bahwa periode delirium terkadang
diikuti oleh depresi atau gangguan stress pascatrauma.1

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Ed.2.

Jakarta: EGC; 2014

2. Nouye SK. Delirium in older persons. N Engl J Med. 2006; 354: 1157-65.

3. Soejono CH. Sindrom delirium. In: Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I,

Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. ed.

Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 907-12.

4. Wass S, Webster PJ, Nair BR. Delirium in the elderly: A review. Oman Med

J. 2008; 23(3): 150-7.

5. Budiman, R. Delirium. In: Elvira DS, Hadisukanto G (ed). Buku ajar

psikiatri. Edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit Universitas Indonesia; 2013.

6. Lorenzi S, Fusgen I, Noachtar S. Acute confusional states in the elderly-

diagnosis and treatment. Dtsch Arztebl Int. 2012; 109(21): 391-400.

7. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari

PPDGJ-III. Jakarta: FK Unika Atma Jaya; 2001

22

Anda mungkin juga menyukai