Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

ABSES PERITONSIL

Disusun Oleh
Stella Nadia Sura
112016339

Dokter Pembimbing
dr. M. Roikhan Harowi, Sp.THT-KL, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN

TELINGA HIDUNG TENGGOROK

RS PUSAT TNI AU dr. ESNAWAN ANTARIKSA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

PERIODE 28 AGUSTUS 2017 – 30 SEPTEMBER 2017


BAB I

PENDAHULUAN
A. Landasan Teori
Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada
umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun system
imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak.
Bukti menunjukkan bahwa tonsillitis kronik atau percobaan multiple penggunaan antibiotik oral
untuk tonsillitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsil.
Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun,
dipertimbangkan hamper 45.000 kasus setiap tahun.1
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala
dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa
berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pilar tonsil anteroposterior, fossa piriform
inferior, dan palatum superior. Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme
bakteri penginfeksi tenggorokan kesalahsatu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring
menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap
dalam batas otot konstriktor faring.
Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus (nanah)
yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari
suppurative tonsillitis. Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan
membuka mulut dan leher harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam.
Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat
penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga
tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang
leher dalam yang terlibat. Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus,
Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran.1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Anatomi Tonsil

Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria membentuk
cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal
dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui
udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa
kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi
atrofi pada masa pubertas.2

Gambar 1. Anatomi Tonsil


Gambar 2 : Cincin Waldeyer

Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin
waldeyer. Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar
limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring
posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlach’s). 2
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak pada
dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa dan
permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak berlubang-
lubang kecil yang berjalan ke dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-20 kripta. Pada
bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan lateral
tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla palatina, terletak
berdekatan dengan tonsilla lingualis. 2

Gambar 3. Tonsil Palatina

Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :


1. Anterior : arcus palatoglossus
2. Posterior : arcus palatopharyngeus
3. Superior : palatum mole
4. Inferior : 1/3 posterior lidah
5. Medial : ruang orofaring
6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior.
A. carotis interna terletak 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsilla.
Gambar 4. Anatomi normal Tonsil Palatina
Adenoid atau tonsila faringeal adalah jaringan limfoepitelial berbentuk triangular yang
terletak pada aspek posterior. Adenoid berbatasan dengan kavum nasi dan sinus paranasalis pada
bagian anterior, kompleks tuba eustachius- telinga tengah- kavum mastoid pada bagian lateral. 3

Terbentuk sejak bulan ketiga hingga ketujuh embriogenesis. Adenoid akan terus
bertumbuh hingga usia kurang lebih 6 tahun, setelah itu akan mengalami regresi. Adenoid telah
menjadi tempat kolonisasi kuman sejak lahir. Ukuran adenoid beragam antara anak yang satu
dengan yang lain. Umumnya ukuran maximum adenoid tercapai pada usia antara 3-7
tahun. Pembesaran yang terjadi selama usia kanak-kanak muncul sebagai respon multi antigen
seperti virus, bakteri, alergen, makanan dan iritasi lingkungan. 3

Gambar 5. Adenoid
Fossa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah
otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pada
bagian atas fossa tonsil terdapat ruangan yang disebut fossa supratonsil. Ruangan ini terjadi
karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil.3
Pada bagian permukaan lateral dari tonsil tertutup oleh suatu membran jaringan ikat,
yang disebut kapsul. Kapsul tonsil terbentuk dari fasia faringobasilar yang kemudian membentuk
septa. 3
Plika anterior dan plika posterior bersatu di atas pada palatum mole. Ke arah bawah
berpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring. Plika triangularis
atau plika retrotonsilaris atau plika transversalis terletak diantara pangkal lidah dengan bagian
anterior kutub bawah tonsil dan merupakan serabut yang berasal dari otot palatofaringeus.
Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat.
Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.2
Vaskularisasi tonsil berasal dari cabang-cabang A. karotis eksterna yaitu A. maksilaris
eksterna (A. fasialis) yang mempunyai cabang yaitu A. tonsilaris dan A. palatina asenden, A.
maksilaris interna dengan cabang A. palatina desenden, serta A. lingualis dengan cabang A.
lingualis dorsal, dan A. faringeal asenden.
Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor superior dan
memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirimkan
cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga
memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m. konstriktor superior. Arteri lingualis
dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika
posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior atau "lesser palatine artery" memberi
vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina
asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. 3

Gambar 6. Pendarahan Tonsil


Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening.
Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening servikal profunda atau
disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya menuju ke kelenjar toraks dan
pada akhirnya ke duktus torasikus.
Innervasi tonsil bagian atas mendapat persarafan dari serabut saraf V melalui ganglion
sphenopalatina dan bagian bawah tonsil berasal dari saraf glossofaringeus (N. IX). 3

Gambar 7. Sistem Limfatik kepala dan leher


Lokasi tonsil sangat memungkinkan mendapat paparan benda asing dan patogen,
selanjutnya membawa mentranspor ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar dari tonsil
ditemukan pada usia 3 – 10 tahun. Pada usia lebih dari 60 tahun Ig-positif sel B dan sel T
berkurang banyak sekali pada semua kompartemen tonsil.
Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian yaitu respon
imun tahap I, respon imun tahap II, dan migrasi limfosit. Pada respon imun tahap I terjadi ketika
antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen tonsil
pertama sebagai barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen melalui
barier epitel tapi juga membentuk komparten mikro intraepitel spesifik yang membawa
bersamaan dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan sel
dendritik.3
Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui epitel kripte dan
mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Adapun respon imun berikutnya berupa
migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung
terus menerus dari darah ke tonsil melalui HEV( high endothelial venules) dan kembali ke
sirkulasi melalui limfe.

B. Imunologi Tonsil

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B


membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah
40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang . Limfosit B berproliferasi di pusat germinal.
Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin
berakumulasi di jaringan tonsilar Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4
area yaitu epitel sel ret ikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat
germinal pada folikel limfoid.4 Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama
yaitu:
1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif
2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensit isasi sel limfosit T dengan
antigen spesifik.

C. Definisi

Abses peritonsil adalah akumulasi pus lokal di jaringan peritonsil yang terbentuk sebagai
akibat dari tonsilitis supuratif. Abses terbentuk pada kelompok kelenjar ludah di fosa
supratonsilar, yang dikenal sebagai kelenjar Weber. Sarang akumulasi pus terletak antara kapsul
tonsil palatina dan otot-otot konstriktor faring. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius
superior, dan sinus piriformis inferior membentuk ruang potensial peritonsil. Karena terdiri dari
jaringan ikat longgar, infeksi parah pada daerah ini dapat mengakibatkan pembentukan materi
purulen. Peradangan progresif dan pus dapat secara langsung mengenai palatum, dinding faring
lateral, dan, dasar lidah.5

Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada
umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun system
immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak.
Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Angka kejadian abses
peritonsil juga tidak dipengaruhi oleh ras.

Abses peritonsil biasanya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut. Edema akibat
inflamasi dapat mengakibatkan kesulitan menelan. Dehidrasi sekunder sering terjadi akibat
pasien menghindari menelan makanan dan cairan. Perluasan abses dapat menyebabkan
peradangan ke dalam kompartemen fasia yang berdekatan dengan kepala dan leher, sehingga
berpotensi menyebabkan obstruksi jalan napas.5

Gambar 8 . Abses peritonsil

D. Etiologi

Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama
dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang
lebih tua dan dewasa muda.
Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang
bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah
Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium.
Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan
abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.5

E. Epidemiologi
Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada
umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem
immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak.
Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan
bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut
merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden
tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir
45.000 kasus setiap tahun.
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai
akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda klinik
dapat berupa nyeri dan pembengkakan. Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari
Abses leher dalam dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses
parafaring, abses submanidibula dan angina ludovici (Ludwig Angina).5

F. Patofisiologi
Abses peritonsil atau Quinsy adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah orofaring.
Abses peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir pada jaringan peritonsil yang
umumnya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut berulang atau bentuk abses dari kelenjar
Weber pada kutub atas tonsil. Infeksi yang terjadi akan menembus kapsul tonsil (umumnya pada
kutub atas tonsil) dan meluas ke dalam ruang jaringan ikat di antara kapsul dan dinding posterior
fosa tonsil. Perluasan infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Lokasi infeksi abses peritonsil terjadi di jaringan peritonsil dan dapat menembus kapsul tonsil.
Hal ini kemudian akan menyebabkan penumpukan pus atau pus meluas ke arah otot konstriktor
faring superior menuju ruang parafaring dan retrofaring terdekat. Pada fosa tonsil ditemukan
suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil yang disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-
kelenjar ini adalah mengeluarkan cairan ludah ke dalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk
menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yang terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi
dan dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada proses tersebut lalu timbul
sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar.
Jika tidak diobati secara maksimal, akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi
kronis pada kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga
menyebabkan terjadinya abses.6
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena
itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga
tampak palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di
bagian inferior. Pada stadium permulaan (Stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak
permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih
lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila
proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M.
Pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi
aspirasi ke paru.7

G. Gejala klinis
Pasien abses peritonsil biasanya datang ke klinik dengan keluhan utama nyeri menelan
(odinofagia). Selain itu pasien juga mengeluhkan demam, lemah, lesu serta nyeri kepala. Pada
kasus yang agak berat, terdapat sulit menelan (disfagia), nyeri alih ke telinga pada sisi
terbentuknya abses peritonsil, saliva yang meningkat, serta trismus. Pembengkakan peritonsil
mengganggu artikulasi sehingga pasien sulit berbicara dan mengakibatkan suara gumam (hot
potato voice).
Inspeksi terperinci pada daerah yang membengkak mungkin sulit karena
ketidakmampuan pasien membuka mulut. Pemeriksaan mulut dengan menggunakan spatula lidah
menyebabkan pasien merasa tidak nyaman dan ada rasa ingin muntah. Diagnosis sering hampir
pasti dapat ditegakkan bila pemeriksa melihat pembengkakan peritonsil yang luas, mendorong
uvula melewati garis tengah, dengan edema dari palatum molle. Tonsil sendiri dapat terlihat
bengkak, hiperemis, dan mungkin banyak detritus. Tonsil juga dapat terdorong ke arah medial,
depan, ataupun bawah.8

H. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis abses peritonsil.
Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada tenggorokan adalah salah satu yang
mengdukung terjadinya abses peritonsil. Riwayat adanya faringitis akut dan tonsillitis
dan rasa kurang nyaman pada pharyngeal unilateral.
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tonsillitis akut dengan asimetri faring. Inspeksi
terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit karena ketidakmampuan pasien
membuka mulut. Didapatkan pembesaran dan nteri tekan pada kelenjar regional. Pada
pemeriksaan kavum oral didapatkan hiperemis. Tonsil hiperemis, eksudasi, dan banyak
detritus dan terdorong kearah tengah, depan, dan bawah. Uvula bengkak dan terdorong ke
sisi kontralateral. Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari
tonsil yang terkena di fossa supratonsiler. Mukosa dilipatan supratonsiler tamoak pucat
dan bahkan seperti berbintil-bintil kecil. Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa
melihat pembengkakan peritonsilaris yang luas, mendorong uvula melewati garis tengah,
dengan edema dari palatum mole dan penonjolan jaringan dari garis tengah.9 asimetri
palatum mole, tampak membengkak dan menonjol kedepan, serta pada palpasi palatum
mole teraba fluktuasi.
c. Pemeriksaan penunjang
Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk penderita
yang mengalami gangguan pernafasan. Gold standart pemeriksaan yaitu dengan
melakukan aspirasi jarum (needle aspration). Tempat yang akan dilakukan aspirasi di
anestesi dengan menggunakan lidokain atau epinefrin dengan menggunakan jarum
berukuran 16-18 yang biasa menempel pada syringe berukuran 10 cc. Aspirasi material
yang purulen merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibuat biakannya
sehingga dapat diketahui organisme penyebab infeksi demi kepentingan terapi
antibiotika. Pada penderita abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:

 Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte
level measurement), dan kultur darah (blood cultures).
 Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan
bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan
evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada
penderita dengan hepatomegaly.
 Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk identifikasi organisme yang
infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif,
untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.
 Plain radiographs adalah foto pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue
views) dari nasopharyng dan oropharyng dapat membantu dokter dalam menyingkirkan
diagnosis abses retropharyngeal.
Gambar 9. Foto lateral soft tissue dengan gambaran abses peritonsil 10

 Computerized tomography (CT scan) biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di


apex tonsil yang terinfeksi menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena
disamping itu juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini
dapat membantu untuk rencana operasi.
Gambar 10. CT Scan dari Abses peritonsil dextra 10

 Peripheral Rim Enhancement Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography.


Intraoral ultrasonografi mempunyai sensifitas 95,2 % dan spesifitas 78,5 %.
Transcutaneous ultrasonografi mempunyai sensifitas 80% dan spesifisitas 92,8 %.
merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan dapat membantu dalam membedakan
antara selulitis dan awal dari abses. Pemeriksaan ini juga bias menentukan pilihan yang
lebih terarah sebelum melakukan operasi dan drainase secara pasti.

Gambar 11. Ultrasonografi dari abses peritonsil 10

I. Diagnosis banding
1. Abses retrofaring
2. Abses parafaring
3. Abses submandibula
4. Angina ludovici
Abses perintonsil dapat didiagnosis banding dengan penyakit-penyakit abses leher
dalam lainnya yang disebutkan diatas. Hal ini karena pada semua penyakit abses leher
dalam , nyeri tenggorokan, demam, serta terbatasnya gerakan membuka mulut
merupakan keluhan yang diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
cermat.11

J. Terapi

Meskipun fakta menunjukkan bahwa abses peritonsil merupakan komplikasi tersering


dari tonsillitis akut, penatalaksanaan dari abses peritonsil masih controversial. Penatalaksanaan
yang umum dikenal untuk abses peritonsil adalah insisi, drainase dan terapi antibiotika, diikuti
oleh tonsilektomi beberapa minggu kemudian.

Dikutip dari Badran, Herzon menyatakan bahwa aspirasi jarum saja dapat digunakan
sebagai drainase prosedur pembedahan awal karena tingkat resolusi dengan teknik ini adalah 94-
96%. Pada 54% kasus abses peritonsil, penanganannya menggunakan teknik insisi dan drainase,
32% digunakan jarum aspirasi, dan 14% dilakukan tonsilektomi. Sebelum jaman antibiotika
dikenal pada akhir 1930-an dan awal 1940-an, beberapa tipe pembedahan telah digunakan pada
sebagian besar infeksi abses peritonsil.12

a. Terapi antibiotika
Salah satu faktor yang masih merupakan kontroversi dalam penanganan abses
peritonsil adalah pemilihan terapi antibiotika sebelum dan sesudah pembedahan.
Antibiotika pada gejala awal diberikan dalam dosis tinggi disertai obat simptomatik,
kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres hangat pada leher (mengendurkan
tegangan otot).

Dengan mengutamakan pemeriksaan kultur dan sensitifitas, pemberian terapi


antibiotika ditunjukkan pada jenis bakteri mana yang lebih banyak muncul. Penisilin dan
sefalosporin (generasi pertama, kedua, atau ketiga) biasanya merupakan obat pilihan.
Penisilin dalam dosis tinggi sebagai obat pilihan diberikan dengan mempertimbangkan
kontra indikasi seperti alergi atau timbulnya kemungkinan adanya reaksi koagulasi
organisme.

Penisilin dapat digunakan pada penderita abses peritonsil yang diperkirakan


disebabkan oleh kuman Staphylococcus. Metronidazol merupakan antimikroba yang
sangat baik untuk infeksi anaerob. Tetrasiklin merupakan antibiotika alternatif yang
sangat baik bagi orang dewasa, meskipun klindamisin saat ini dipertimbangkan sebagai
antibiotik pilihan untuk menangani bakteri yang memproduksi beta laktamase. Penting
untuk dicatat bahwa memberikan antibiotika intravena pada penderita abses peritonsil
yang dirawat inap belakangan ini sudah kurang umum digunakan.12

b. Insisi dan drainase


Abses peritonsil merupakan suatu indikasi tindakan yang juga disebut intraoral
drainase. Tujuan utama tindakan ini adalah mendapatkan drainase abses yang adekuat dan
terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada pembengkakan
di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah paling berfluktuasi.

Teknik insisi, pada penderita yang memerlukan anastesi umum, posisi penderita
saat tindakan adalah kepala lebih rendah (trendelenberg) menggunakan ETT
(Endotrakeal tube). Anestesi topical dapat berupa xylocaine spray atau menggunakan
lidokain 4-5% atau tetrakain 2% untuk mencegah keterlibatan jaringan tonsil yang lain.
Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil
atau dipalpasi pada daerah yang paling fluktuatif, pada titik yang terletak dua pertiga dari
garis khayal yang dibuat antara dasar uvula dengan molar terakhir, pada pertengahan
garis horizontal antara pertengahan basis uvula dan M3 atas, pada pertemuan garis
vertikal melalui titik potong pinggir medial pilar anterior dengan lidah dengan garis
horizontal melalui basis uvula, pada pertemuan garis vertikal melalui pinggir medial M3
bawah dengan garis horizontal melalui basis uvula.

Insisi diperdalam dengan klem dan pus yang keluar langsung dihisap dengan
menggunakan alat penghisap. Tindakan ini (menghisap pus) penting dilakukan untuk
mencegah aspirasi yang dapat mengakibatkan timbulnya pneumonitis. Biasanya bila
insisi yang dibuat tidak cukup dalam, harus lebih dibuka lagi dan diperbesar. Setelah
cukup banyak pus yang keluar dan lubang insisi yang cukup besar, penderita kemudian
disuruh berkumur dengan antiseptic dan diberi terapi antibiotika.12
Gambar 12. Teknik insisi

Drainase dengan aspirasi jarum, model terapi abses peritonsil yang digunakan
sampai saat ini, pertama insisi dan drainase serta yang kedua tonsilektomi. Saat ini ada
beberapa penelitian yang mendiskusikan tentang aspirasi menggunakan jarum sebagai
salah satu terapi bedah pada abses peritonsil. Beberapa keuntungan dari evaluasi
penatalaksanaan aspirasi jarum dibanding insisi dan drainase adalah:

 Mudah untuk dilakukan, sederhana, aman, dan murah


 Dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis dengan trauma minimal (yang
biasanya dapat dilakukan sebelum insisi dan drainase)
 Dapat ditoleransi (ditahan) oleh penderita/ tidak menakutkan
 Tidak/ kurang mencederai struktur jaringan sekitar
 Lebih memudahkan untuk mengumpulkan spesimen/ pus guna pemeriksaan
mikroskopis dan tes kultur/ sensitifitas
 Memberikan penyembuhan segera, mengurangi kesakitan
 Mencegah prosedur bedah dan anestesi umum
 Merupakan prosedur yang dapat dipercaya untuk abses peritonsil
Kerugian terapi dengan drainase dengan aspirasi jarum adalah:

 Bila pus terkumpul kembali dapat menyebabkan infeksi yang berulang


 Tidak dapat melakukan pembersihan kantung pus secara maksimal
 Pus yang tersisa tidak maksimal keluar sehingga dapat menyebabkan proses
penyembuhan lama.12

Gambar 13. Tindakan aspirasi abses peritonsil

c. Tonsilektomi
Tindakan pembedahan pada abses peritonsil merupakan topik yang kontroversial
sejak beberapa abad. Filosofi dari tindakan tonsilektomi pada abses peritonsil adalah
karena berdasarkan pemikiran bahwa kekambuhan pada penderita abses peritonsil terjadi
cukup banyak sehingga tindakan pengangkatan kedua tonsil ini dilakukan untuk
memastikan tidak terjadinya kekambuhan.

Waktu pelaksanaan tonsilektomi sebagai terapi abses peritonsil, bervariasi:

 Tonsilektomi a chaud: dilakukan segera/ bersamaan dengan drainase abses


 Tonsilektomi a tiede: dilakukan 3-4 hari setelah insisi dan drainase
 Tonsilektomi a froid: dilakukan 4-6 minggu setelah drainase
Tonsilektomi merupakan penanganan yang terbaik untuk mencegah rekurensi
abses peritonsil. Pada masa lalu, orang berpendapat operasi harus dilakukan 2-3 minggu
setelah infeksi akut berkurang. Tetapi setalah 2-3 minggu, menimbulkan bekas luka yang
terdapat pada kapsul tonsil, sehingga tindakan operasi sulit dan menimbulkan perdarahan
serta sisa tonsil.
Saat ini tampaknya dibenarkan bahwa tonsilektomi pada abses peritonsil
dilakukan dalam anestesi umum, melalui tonsilektomi secara diseksi dan dalam
perlindungan terapi antibiotika adalah suatu operasi yang memberikan resiko yang sama
dengan tonsilektomi abses pada fase tenang (cold tonsillectomy).

Beberapa keuntungan dari tonsilektomi segera pada abses peritonsil adalah:

 Penanganan penderita dilakukan dalam satu tahap pada saat sakit


 Memberikan drainase pus yang lengkap
 Mengurangi kesulitan tonsilektomi selang waktu yang kadang-kadang timbul
 Mengurangi waktu perawatan (bila penderita dirawat inap di rumah sakit)
 Mengurangi rasa sakit dengan segera dan menghilangkan perasaan tidak enak
mengalami prosedur yang lain (insisi dan drainase)
Beberapa kerugian tindakan tonsilektomi segera pada abses peritonsi adalah:

 Dapat terjadinya perdarahan pada saat tindakan tonsilektomi


 Dapat terjadi thrombosis, sinus kavernosus, aspirasi paru, dan meningitis
Indikasi tonsilektomi segera, yaitu:

 Abses peritonsil yang tidak dapat diinsisi dan drainase karena trismus atau
abses yang berlokasi di kutub bawah
 Abses peritonsil yang meluas dari hipofaring ke daerah parafaring, dengan
resiko meluas ke daerah leher dalam
 Penderita dengan DM yang memerlukan toleransi terhadap terapi berbagai
antibiotika
 Penderita diatas 50 tahun dengan tonsil-tonsil yang melekat karena abses akan
sangat mudah meluas ke daerah leher dalam.12
Gambar 14. Tonsilektomi

2.9 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah :
1. Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.
2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Pada
penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus
kavernosus, meningitis, dan abses otak.
4. Kematian walaupun jarang dapat terjadi akibat perdarahan atau nekrosis septik ke
selubung karotis atau carotid sheat.
5. Peritonsilitis kronis dengan aliran pus yang berjeda.
6. Akibat tindakan insisi pada abses, terjadi perdarahan pada arteri supratonsilar.
Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis abses peritonsil diabaikan.
Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progresi penyakit. Untuk itulah
diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.
K. Prognosis

Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian kecuali jika
terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan aspirasi ke paru. Selain itu
komplikasi ke intracranial juga dapat membahayakan nyawa pasien. Abses peritonsil hampir
selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi, maka perlu dilakukan tonsilektomi pada
pasien abses peritonsil. Tonsilektomi sebaiknya dilakukan pada saat peradangan telah mereda,
biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi.13
BAB III

KESIMPULAN

Abses peritonsil merupakan kumpulan atau timbunan nanah (pus) yang terlokalisir/
terbatas pada jaringan peritonsilar yang terbentuk sebagai hasil dari supuratif tonsilitis.
Gejala klinis meliputi odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga
dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau, banyak ludah (hipersalivasi),
suara sengau, dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), Abses peritonsil hampir
selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring sampai
dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada
pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, asimetri palatum mole, eksudasi tonsil, dan pergeseran
uvula kontralateral.
Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah pemberian antibiotika dosis tinggi
dan obat simptomatik, pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral, insisi, dan tonsilektomi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adrianto, Petrus. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Dalam: Adrianto, Petrus.
Buku ajar penyakit telinga, hidung, dan tenggorok. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC;2003.h.296-302.
2. Efiaty, Soepardi. Anantomi Tonsil. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher, Edisi 5, FKUI, Jakarta.2001.
3. Ballenger JJ.Anatomi Telinga, Hidung,Tenggorok, Kepala, dan Leher. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Edisi 5, FKUI,Jakarta.2001.
4. Mansjoer, Arif.. Anantomi Tonsil. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. FKUI.
Jakarta.2008.
5. Adrianto, Petrus. Penyakit telinga, hidung dan tenggorokan. Jakarta: EGC; 2003
6. Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams GL, Boeis LR,
Hilger PA, ed. Buku ajar penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2003.h.333-40.
7. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti
RD, ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ke-
6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;2011.h.226-30.
8. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga,
hidung, tenggorok, dan kepala. Jakarta: FKUI; 2007.
9. Budapest Student. The Waldeyer’s Ring. Available at: http://www.tulip.ccny.cuny.edu .
Accessed on September 11th, 2017.
10. Staff. Palatine Tonsil. Available at: http://www.webmd.com . Accessed on September
11th, 2017.
11. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
12. Braude DA, Shalit M. A novel approach to enchance visualization during drainage of
peritonsillar abscess. The Journal of Emergency Medicine; 2007

13. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga,
hidung, tenggorok, dan kepala. Jakarta: FKUI; 2007

Anda mungkin juga menyukai