Anda di halaman 1dari 16

referat

TRAUMA PELVIS

Pembimbing :

dr. Giri Marsela Sp.OT

Disusun Oleh :

Alga Montana

NPM. 1102008018

RS MOH. RIDWAN MEURAKSA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

2013
Fraktur pelvis menyebabkan kurang dari 5% pada semua cedera rangka, tetapi cedera
ini sangat penting karena tingginya insidensi cedera jaringan lunak yang menyertainya dan
resiko kehilangan darah yang hebat, syok, sepsis serta sindroma gangguan pernapasan pada
orang dewasa (ARDS). Seperti halnya cedera berat lain, cedera ini membutuhkan pendekatan
gabungan dari para ahli dari berbagai bidang.
Sekitar dua periga fraktur pelvis terjadi dalam kecelakaan lalu lintas termasuk pejalan
kaki; lebih dari 10% pasien akan mengalami cedera viseral, dan dalam verkelompok ini angka
kematian mungkin lebih dari 10% (Peltier, 1965; Eid, 1981).

Anatomi bedah

Cincin pelvis terdiri dari dua tulang inomnata dan sakrum, berartikulasi di depan
simfisis pubis (jembatan anterior atau jembatan pubis) dan bagian posterior di sendi sakro-
iliaka (jembatan posterior atau jembatan sakro-iliaka). Struktur mirip cekungan ini
memindahkan berat dari badan ke tungkai bawah dan memberikan perlindungan pada visera,
pembuluh darah dan saraf di pelvis.
Stabilitas cincin pelvis tergantung pada kekakuan tulang-tulang dan integritas ligamen
yanng kuat yang mengikat tiga segmen tulang itu bersama-sama pada simfisis pubis dan sendi
sakro-iliaka. Ligamen pengikat yang paling kuat dan palinng penting adalah ligamen sakro-
aliaka dan iliolumbal; selama ligamen-ligamen itu utuh, penahanan beban akan tidak
terganggu. Ini adalah faktor yang pentinng untuk membedakan cedera "stabil" dan yang "tak
stabil" pada cincin pelvis.
Cabang utama dari arteri iliaka komunis muncul di dalam pelvis di antara tingkat sendi
sakro-iliaka dan insisura iskiadika mayor. Bersama cabang-cabang venanya, pembuluh-
pembuluh itu mudah terkena cedera bila fraktur melalui bagian posterior cincin pelvis. Saraf
pada pleksus lumbalis dan sakralis juga menghadapi resiko cedera pelvis posterior.
Kandung kemih terletak di belakang simfisis pubis. Trigonum dipertahankan pada
posisinya dengan ligamen laterallis kandung dan pada pria, dengan prostat. Prostat
dipertahankan di bagian lateral dengan serabut medial dari levator ani, sedangkan dibagian
anterior terikat erat pada tulang pubis oleh ligamen puboprostat. Pada wanita trigonum juga
melekat pada serviks dan forniks vagina anterior. Uretra dipertahankan oleh otot dasar pelvis
serta ligamen pubouretra. Akibatnya, pada wanita uretra jauh lebih mobil dan cenderung lebih
sulit terkena cedera.

1
Pada cedera pelvis yang berat uretra membranosa dapat rusak bila prostat dipaksa ke
belakang sementara uretra tetap diam. Bila ligamen puboprostat robek, prostat dan dasr
kandung kemih dapat banyak mengalami dislokasi dari uretra membranosa.
Kolon pelvis, dengan mesenteriumnya, merupakan struktur yang mobil sehingga tidak
mudah cedera. Tetapi, rektum dan saluran anus lebih erat terlambat pada struktur urogenital
dan otot dasar pelvis sehingga mudah terkena bila terjadi fraktur pelvis.

Penilaian klinik

Fraktur pelvis harus dicurigai pada setiap pasien dengan cedera perut atau tungkai
bawah yang berbahaya. Mungkin terdapat riwayat kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari
ketinggian atau cedera benturan. Pasien sering mengeluh nyeri hebat dan merasa seolah-olah
dia telah terpisah-pisah, dan mungkin terdapat pembengkakan atau memar pada pperut bawah,
paha, perineum, skrotum atau vulva. Semua daerah ini harus diperiksa dengan cepat, untuk
mencari bukti ekstravasasi urine. Tetapi prioritas utama adalah selalu menilai keadaan umum
pasien dan mencari tanda-tanda kehilangan darah. Resusitasi dapat dimulai sebelum
pemeriksaan selesai.
Perut harus dipalpasi dengan hati- hati. Tanda-tanda iritasi menunjukkan kemungkinan
perdarahan intraperitoneal. Cincin pelvis dapat ditekan dengan pelan-pelan dari sisi dan
kembali ke depan. Nyeri tekan pad daerah sakro-iliaka sangat penting dan dapat menandakan
adanya gangguan pada jembatan posterior.
Pemeriksaan rektum kemudian dilakukan pada semua kasus. Koksigis dan sakrum
dapat diraba dan diuji untuk mencari ada tidaknya nyeri tekan. Kalau prostat dapat diraba,
yang sering sukar dilakukan akibat nyeri dan pembengkakan, posisinya yang abnormal dapat
menunjukkan cedera uretra.
Tanyakan kapan pasien membuang urine terakhir kali dan cari perdarahan di meatus
eksterna. Ketidak mampuan untuk kencing dan adanya darah di meatus eksterna adalah tanda
klasik ruptur uretra. Tetapi, tiadanya darah di meatus tidak menyingkirkan cedera uretra,
karena sfingter luar mungkin mengalami spasme, sehingga menghentikan aliran darah dari
tempat cedera. Karena itu setiap pasien yang mengalami fraktur pelvis harus dianggap
menghadapi resiko cedera uretra.
Pasien dapat dianjurkan untuk kencing; kalau dia dapat melakukannya, uretra itu utuh
atau hanya terdapat sedikit kerusakan yang tidak akan diperburuk oleh aliran urine. Jangan
mencoba untuk memasukkan kateter; karena ini dapat mengubah robekan uretra sebagian
2
menjadi robekan uretra lengkap. Kalau cedera uretra dicurigai, ini dapat didiagnosis dengan
lebih tepat dan lebih aman dengan uretrografi retrograd.
Ruptur kandung kemih harus dicurigai pada pasien yang tidak dapat kencing atau pada
pasien yangkandung kemihnya tidak dapat diraba setelah diberi penggantian cairan yang
memadai. Palpasi sering sukar dilakukan karena terdapat hermatoma dinding perut. Gambaran
fisik pada awalnya dapat sedikit sekali, dengan bising usus yang normal, karena ekstravasasi
urine yang steril tak banyak menimbulkan iritasi peritoneum. Hanya sebagian kecil pasien
dengan ruptur kandung kemih yang mengalami hipotensi: jadi kalau pasien itu hipotensif,
harus dicari penyebab lainnya.
Pemeriksaan neurologik sangat diperlukan; mungkin terdapat kerusakan pada pleksus
lumbalis atau sakralis.
Kalau pasien tak sadar, prosedur rutin yang sama diikuti. Tetapi, pemeriksaan sinar-X
dini penting pada kasus ini.

Sinar-X pada pelvis

Segera keadaan pasien memungkinkan, foto polos anteroposterior pelvis harus


diambil. Pada umumnya foto ini akan memberi informasi yang cukup untuk membuat
diagnosis pendahuluan pada fraktur pelvis. Sifat cedera yang tepat dapat diperjelas dengan
radiografi secara lebih rinci bila telah dipastikan bahwa pasien dapat tahan terhadap lamanya
waktu yang diperlukan untuk penentuan posisi dan reposisi di meja sinar-X. diperlukan lima
foto: anteroposterior, pandangan inlet (kamera sefalad terhadap pelvis dan dimiringkan 30
derajat ke bawah), foto outlet (kamera kaudal terhadap pelvis dan dimiringkan 40 derajat ke
atas), foto oblik kanan dan kiri.
Kalau dicurigai adanya cedera apa saja yang berbehaya, CT scan pada tingkat yang
tepat sangat bermanfaat (beberapa ahli mengatakan harus dilakukan). Ini terutama berlaku
untuk kerusakan cincin pelvis posterior dan utnuk fraktur asetabulum yang kompleks, yang
tidak dapat dievaluasi secara tepat dengan sinar-X biasa.
Reformasi CT tiga dimensi terhadap foto pelvis memberi gambaran cedeera secara
paling tepat; ini adalah metode pilihan bila fasilitas itu tersedia (Fishman dkk, 1989).

Sinar-X pada saluran kencing

Kalau terdapat bukti cedera perut bagian atas, dan pasien mengalami hematuri,
3
dilakukan urogram intravena untuk menyingkirkan cedera ginjal. Cara ini juga akan
memperlihatkan kerusakan besar pada kandung kemih atau uretra. Pada kasus ruptur uretra,
dasar kandung kemih mungkin menumpang ke atas (dislokasi prostat) atau mungkin terdapat
deformitas tetes airmata pada kandung kemih karena penenkanan oleh darah dan urine yang
berekstravasasi (prostat in-situ).
Bila diduga terdapat cedera uretra, uretrogram harus dilakukan dengan 25-30 ml zat
kontras yang larut dalam air dengan teknik aseptik yang sesuai. Foto harus diambil selama
injeksi zat kontras untuk memastikan bahwa uretra mengembung penuh. Teknik ini akan
memastikan robekan itu lengkap atau tidak lengkap.
Pada pasien dengan kemungkinan ruptur kandung kemih (selama tidak ada bukti
cedera uretra) harus dilakukan sistogram.

Tipe cedera

Cedera pelvis dibagi ke dalam empat kelompok: (1) fraktur yang terisolasi dengan
cincin pelvis yang utuh; (2) fraktur dengan cincin yang patah-ini dapat stabil atau tak stabil;
(3) fraktur pada asetabulum-meskipun ini adalah fraktur cincin, terlibatnya sendi akan
menimbulkan masalah khusus sehingga masalah ini perlu dibahas terpisah; dan (4) fraktur
sakrokoksigis.

Fraktur yang terisolasi

Fraktur avulsi

Sepotong tulang tertarik oleh kontraksi otot yang hebat; fraktur ini biasanya
ditemikan pada para olah ragawan dan atlet. Sartorius dapat menarik spina iliaka anterior
inferioe, adduktor longus menarik sepotong pubis, dan urat-urat menarik bagian-bagian
iskium. Semua pada pokoknya merupakan cedera otot, hanya memerlukan istirahat selama
beberapa hari dan penenteraman.
Nyeri dapat memerlukan waktu beberapa bulan agar hilang dan, karena sering tak ada
riwayat cedera, biopsi pada kalus dapat mengakibatkan kekeliruan diagnosis dan disangka
tumor. Avulasi pada aporfisis iskium oleh oto-otot lutut jarang mengakibatkan gejala
menetsp, dan dalam hal ini reduksi terbuka dan fiksasi internal diindikasikan (Wootom,
Cross dan Holt, 1990).

4
Fraktur langsung

Pukulan langsung pada pelvis, biasanya setelah jatuh dari tempat tinggi, dapat
menyebabkan fraktur isikum atau ala osis ilii. Biasanya duiperlukan istirahat di tempat tidur
hingga nyeri mereda.

Fraktur tekanan

Fraktur pada rami pubis cukup sering ditemukan (dan serinng tidak nyeri) pada pasien
osteoporosis atau osteomalasia yang berat. Yang lebih suli didignosis adalah fraktur-tekanan
di sekitar sendi sakro-iliaka; ini adalah penyebab nyeri "sakro-iliaka" yang tak lazim pada
oranng tua yang menderita osteopororsis. Fraktur tekanan yang tak jelas terbaik diperlihatkan
dengan scan radioisotop.

Fraktur pada cincin pelvis

Telah lama diperdebatkan bahwa, karena kakunya pelvis, patah di suatu tempat pada
cincin pasti disertai kerusakan pada tempat kedua; kecuali pada lantai pukulan langsung
(termasuk fraktur pada lantai asetabulum), atau fraktur cincin pada anak-anak, yang simfisis
dan sendi sakro-iliakanya masih elastis. Taetapi, patahan kedua sering tidak kelihatan-baik
karena patah ini tereduksi dengan segera atau karena sendi-sendi sakro-iliaka hanya rusak
sebagian; dalam keadaan pergeseran dan cincin bersifat stabil. Fraktur atau kerusakan sendi
yang jelas bergeser, dan semua fraktur cincin ganda yang jelas, bersifat tak stabil. Perbedaan
ini lebih bernilai praktis daripada klasifikasi ke dalam fraktur cincin tunggal dan ganda.

Mekanisme cedera

Mekanisme dasar pada cedera cincin pelvis adalah tekanan anteroposterior, tekanan
lateral, pemuntiran vertikal dan kombinasi dari semua ini.
TEKANAN ANTEROPOSTERIOR Cedera ini biasanya disebabkan oleh tabrakan
frontal antara pejalan kaki dan mobil. Rami pubis mengalami fraktur atau tulang inominata
retak terbelah dan berotasi keluar, disertai kerusakan simfisis yang disebut cedera "buku
terbuka"; di bagian posterior ligamen sakro-iliaka robek sebagian, atau mungkin terdapat
fraktur pada bagian posterior ilium.

5
TEKANAN LATERAL Tekanan dari sisi pada pelvis menyebabkan cincin
melengkung dan patah. Ini biasanya akibat efek samping kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari
ketinggian.
Dibagian anterior rami pubis pada satu atau kedua sisi mengalami fraktur, dan di
bagian posterior terdapat strain sakro-iliaka yang berat atau fraktur pada ilium, baik pada sisi
yang sama seperti fraktur rami pubis atau sakro-iliaka banyak bergeser,pelvis tak stabil.
PEMUNTIRAN VERTIKAL Tulang inominata pada satu sisi bergeser secara vertikal,
menyebabkan fraktur rami pubis dan merusak daerah sakro-iliaka pada sisi yang sama. Ini
secara khas terjadi bila seseorang jatuh dari tempat tinggi pada satu kaki. Cedera itu biasanya
berat dan tidak stabil dengan robekan jaringan lunak yang nyata dan perdarahan
retroperitoneal.
CEDERA KOMBINASI Pada cedera pelvis yang hebat mungkin terdapat kombinasi
dari cedera-cedera di atas.

Fraktur stabil dan tak stabil

Tile (1998) telah menggolongkan fraktur pelvis ke dalam cedera yang stabil, cedera
yang secara rotasi tak stabil dan cedera yang secara rotasi dan vertikal tak stabil.
Type A – stabil: ini termasuk avulasi (lihat diatas) dan fraktur pada cincin pelvis dengan
sedikit atau tanpa pergeseran.
Type B – secara rotasi tak stabil, secara vertikal stabil: daya rotasi luar yang mengena pada
satu sisi pelvis dapat merusak dan membuka simfisis (cedera buku terbuka); atau daya
rotasi internal – yaitu tekanan lateral – dapat menyebabkan fraktur pada rami
iskopubik pada salah satu atau kedua sisi, juga disertai ceera posterior, tetapi tidak ada
pembukaan simfisis (cedera buku tertutup).
Type C – secara rotasi dan vertikal tak stabil: terdpat kerusakan pada ligamen posterior yang
keras dengan cedera pada salah satu atau kedua sisi dan pergeseran vertikal pada satu
sisi pelvis; mungkin juga terdapat fraktur asetabulum.

Gambaran klinik

Pada cedera tipe A pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila
berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan lokal tetapi jarang terdapat kerusakan pada visera
pelvis. Sinar-X polos dapat memperlihatkan fraktur.
6
Pada tipe cedera B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tak dapat
berdiri; dia mungkin juga tak dapat kencing. Mungkin terdapat darah di meatus eksternus.
Nyeri tekan dapat bersifat lokal tetapi sering meluas, dan usaha menggerakkan satu atau kedua
ala osis ilii akan sangat nyeri. Salah satu kaki mungkin mengalami anastetik sebagian karena
cedera saraf skiatika dan penarikan atau pendorongan dapat mengungkapkan ketidakstabilan
vertikal (meskipun ini mungkin terlalu nyeri). Cedera ini sangat hebat, sehingga membawa
resiko tinggi terjadinya kerusakan viseral, perdarahan di dalam perut dan retroperitoneal, syok,
sepsisi dan ARDS; angka kematiannya cukup tinggi (Dalal dkk, 1989).

SINAR-X
Sinar-X dapat memperlihatkan fraktur pada rami pubis, fraktur ipsilateral atau
kontralateral pada elemen posterior, pemisahan simfisis, kerusakan pada sendi sakro-iliaka
atau kombinasi dari cedera-cedera itu. Foto sering sulit dimengerti dan CT scan merupkaan
cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat cedera terutama kalau tersedia CT tiga dimensi.

Penanganan
PENANGANAN DINI Terapi tidak boleh menunggu diagnosis yang lengkap dan
rinci. Prioritas perlu ditentukan dan bertindak berdasarkan setiap informasi yang sudah
tersedia sementara beralih ke pemeriksaan diagnostik berikutnya. "Tata laksana dalam konteks
ini adalah kombinasi penilaian dan terapi".

Enam pertanyaan harus ditanyakan dan jawabannya ditangani satu demi satu:
1. Apakah saluran napsa bersih?
2. Apakah paru-paru cukup mendapat ventilasi?
3. Apakah pasien kehilangan darah?
4. Apakah terdapat cedera di dalam perut?
5. Apakah terdapat cedera kandung kemih atau uretra?
6. Stabil atau tidakkah fraktur pelvis ini?

Pada setiap pasien mengalami cedera berat, langkah yang pertama adalah memastikan
bahwa saluran napas bersih dan ventilasi tak terhalang. Resusitasi harus dimulai segera dan
perdarahan aktif dikendalikan. Pasien dengan cepat diperiksa untuk mencari ada tidaknya
cedera ganda dan,kalau perlu, fraktur yang nyeri dibebat. Satu foto sinar-X anteroposterior
pada pelvis harus diambil.
7
Kemudian dilakukan pemeriksaan yanglebih cermat, dengan memperhatikan pelvis,
perut, perineum dan rektum. Liang meatus uretra diperiksa untuk mencari tanda-tanda
perdarahan. Tungkai bawah juga diperiksa untuk mencari tanda-tanda cedera saraf.
Kalau keadaan umum pasien stabil, pemeriksaan dengan sinar-X selanjutnya dapat
dilakukan. Kalau dicurigai adanya robekan uretra, dapat dilakukan uretrogram secara pelan-
pelan. Hasil penemuan sampai tahap ini dapat menetukan perlu tidaknya urogram intravena.
Sampai tahap ini dokter yang memeriksa sudah mendapat gambaran yang baik
mengenai keadaan umum pasien, tingkat cedera pelvis, ada tidaknya cedera viseral dan
kemungkinan berlanjutnya prdarahan di dalam perut atau retroperitoneal. Idealnya, tim ahli
masing-masing menangani tiap masalah atau melakukan penyelidikan lebih jauh.

PENANGANAN PERDARAHAN YANG HEBAT Terapi syok diuraikan pada Bab


10. upaya lain yang dapat diperlukan untuk menangani perdarahan masif mencakup
penggunaan pakaian antisyok pneumatik dan pemasangan segera siksator luar (Evers, Cryer
dan Miller, 1989).
Diagnosis perdarahan yang terus berlanjut sering sukar dilakukan, dan sekalipun
tampak jelas bahwa mudah untuk menentukan sumber perdarahan itu. Pasien ddengan tanda-
tanda abdomen yang mencurigakan harus diselidiki lebih jauh dengan aspirasi peritoneum
atau pembilasan. Kalau terdapat aspirasi diagnostik positif, perut harus dieksplorasi untuk
menemukan dan menangani sumber perdarahan. Tetapi, kalau terdapat hematoma
retroperitoneal yanng besar, ini tidak boleh dievakuasi karena hal ini dapat melepaskan efek
tamponade danmengakibatkan perdarahan yanng tak terkendali.

PENANGANAN URETRA DAN KANDUNG KEMIH Cedera urologi terjadi pada sekitar
10% pasien dengan fraktur cincin pelvis. Karena pasien sering sakit berat akibat cedera
yanglain, mungkin dibutuhkan kateter urine untuk memantau keluaran urine, sehingga ahli
urologi terpaksa membuat diagnosis kerusakan uretra dengan cepat.
Tidak boleh memasukkan kateter diagnostik karena kemungkinan besar ini akan
mengubah robekan sebagian menjdai robekan lengkap. Untuk robekan yang tak lengkap,
pemasukan kateter suprapublik sebagai prosedur resmi saja yang dibutuhkan. Sekitar setengah
dari semua robekan tak lengkap akan sembuh dan tak banyak membutuhkan penanganan
jangka panjang.

8
Terapi robekan uretra lengkap masih kontroversial. Penjajaran tulang (realignment )
primer pada uretra dapat dicapai dengan melakukan sistostomi suprapublik, mengevaluasi
hematoma pelvis dan kemudian memasukkan kateter melewati cedera untuk mendrainase
kandung kemih. Kalau kandung kemih mengambang tinggi, ini harus direposisi dan diikat
dengan penjahitan melalui bagian anterior bawah kapsul prostat, melalui parineum pada kedua
sisi uretra bulbar dan difiksasi pada paha dengan plesterealistis. Suatu pendekatan alternatif

– yang jauh lebih sederhana- adalah melakukan sistostomi secepat mungkin, tidak berusaha
mendrainase pelvis atau membedah uretra, dan menangani striktur yang diakibatkan 4-6 bulan
kamudian. Metode yang belakangan ini dikontraindikasikan kalau terdapat dislokasi prostat
yang hebat atau robekan hebat pada rektum atau leher kandung kemih. Pada kedua metode itu
terdapat cukup banyak insidensi ppembentukan striktur, inkontinensia dan impotensi di
belakangan hari.

TERAPI FRAKTUR Untuk pasien dengan cedera yang sangat berat, fiksasi luar dini adalah
salah satu cara yang paling efektif untuk mengurangi perdarahan danmelawan syok (Enners,
Cryer dan Miller, 1989). Kalau tidak ada komplikasi yang membahayakan jiwa, terapi
pastinya adalah sebagai berikut.

Fraktur tipe A fraktur yang sedikit sekali bergeser dan fraktur pelvis yang trisolasi hanya
membutuhkan istirahat di tempat tidur, barang kali dikombinasikan dengan traksi tungkai
bawah. Dalam 4-6 minggu pasien biasanya nyaman sehingga dapat diperbolehkan
menggunakan penopang.

Fraktur tipe B Asalkan dapat dipastikan bahwa pergeseran posterior tidak terjadi, cedera buku
terbuka dengan celah kurang dari 2,5 cm biasanya dapat diterapi secara memuaskan dengan
beristirahat di tempat tidur,; kain gendongan posterior atau korset elastis bermanfaat untuk
"menutup buku". Celah yang lebih dari 2,5 cm sring dapat ditutup dengan membaringkan
pasien secara miring dan menekan ala osis ilii. Cara yang paling efisien untuk
mempertahankan reduksi adalah fiksasi luar dengan pen pada kedua ala osis ilii yang
dihubungkan oleh batang anterior; "penutupan buku" juga dapat mengurangi jumlah
perdarahan. Penempatan pen lebih mudah dilakukan kalau dua pen sementara mula- mula
dimasukkan sehingga merengkuh permukaan medial dan lateral tiap ala osis ilii dan kemudian

9
mengarahkan pen-pen pengikat itu diantara keduanya. Fiksasi internal dengan pemasangan
plat pada simfisis harus dilakukan: (1) selama beberapa hari pertama setelah cedera, hanya
jika pasien memerlukan laparotomi dan (2) dibelakang hari jika celah itu dapat ditutup dengan
metode yang tidak begitu radikal.
Pada cedera buku tertutup penggunaan kain gendongan atau korset tidak tepat.
Beristirahat di tempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa fiksasi apapun biasanya memadai,
tetapi, kalau perbedaan panjang kaki melebihi 1,5 cm atau terdpat deformitas pelvis yang
nyata, rediuksi dengan pen pada satu krista iliaka dapat dicoba dan, kalau berhail,
dipertahankan dengan menghubungkan pen-pen itu dengan pen pada sisi yang lain sehingga
membentuk fiksator luar. Kerangka fiksasi biasanya diperlukan selama 6-8 minggu tetapi pada
stadium yang belakangan, kalau telah nyaman pasien diperbolehkan bangun dan berjalan.

Fraktur tipe C Cedera ini adalah yang palinng berbahaya dan paling sulit diterapi.
Kemungkinan beberapa atau semua pergeseran vertikal dapat direduksi dengan traksi
kerangka yanng dikombinasikan dengan fiksator luar; meskipun demikian, pasien perlu
tinggal di tempat tidur sekurang-kurangnya 10 minggu. Kalau reduksi belum tercapai, fraktur-
dislokasi dapat direduksi secara terbuka dan mengikatnya dengan satu plat secara kompresi
dinamis atau lebih. Operasi berbahaya bila dilakukan (bahayanya mencakup perdarahan masif
dan infeksi) dan harus dilakukan hanya oleh ahli bedah yang berpengalaman dalam bidang ini
(Matta dan Sancedo, 1989; Leung dkk, 1992). Pemakaian traksi kerangka dan fiksasi luar
mungkin lebih aman, meskipun malposisi mungkin akan meninggalkan nyeri di bagian
posterior. Perlu ditekankan bahwa lebih dari 60% fraktur pelvis tidak memerlukan fiksasi.

Fraktur pelvis terbuka ditangani dengan fiksasi luar. Kolostomi diversi mungkin diperlukan.

Komplikasi di kemudian hari

Nyeri sakro-iliaka menetap cukup sring ditemukan setelah fraktur pelvis yang tak stabil
dan kadang-kadang mengharuskan dilakukannya artrodesis pada sendi sakro-iliaka. Cedera
saraf skiatika biasanya sembuh tetapi kadang-kadang ternyata memerlukan eksplorasi. Cedera
uretra yang berat dapat mengakibatkan striktur uretra, inkontinesia atau impotensi.

Fraktur asetabulum

10
Fraktur asetabulum terjadi bila kaput femoris terdorong ke dalam pelvis. Ini disebabkan
oleh pukulan pada sisi tersebut (seperti jatuh dari ketinggian) atau disebabkan oleh pukulan
pada bagaian depan lutut, biasanya pada cedera dashboad dimana fermur mungkin juga
mengalami fraktur.

Fraktur asetabulum menggabungkan kerumitan fraktur pelvis (terutama seringnya


cedera jaringan lunak yang menyertai) dengan kerusakan sendi (yaitu, kerusakan kartilago
artikular, pembebanan tak sesuai dan osteoprorsis sekunder).

Buku klasik tentang masalah ini adalah karya tulis Judet bersaudara dan Letournel
(1964).

Pola fraktur

Terdapat empat tipe utama fraktur asetabulum; meskipun fraktur itu dibedakan
berdasarkan dasar anatomis, penting untuk diketahui bahwa tipe-tipe itu juga berbeda dalam
kemudahanreduksinya, stabilitasnya setelah reduksi dan prognosis jangka panjangnya.

FRAKTUR KOLUMNA ANTERIOR Fraktur berjalan melalui bagian anterior asetabulum


yang tipis yang memisahkan segmen diantara spina iliaka anterior inferior dan foramen
obturatorius. Ini jarang ditemukan, tidak melibatkan daerah penahanan beban dan
prognosisinya baik.

FRAKTUR KOLUMNA POSTERIOR Fraktur ini berjalan ke atas dari foramen


obturatorious ke dalam insisura iskiadika, memisahkan kolum tulang iskiopublik posterior
dan memecahkan bagian disertai dengan dislokasi posterior pinggul dan dapat mencederai
saraf skiatika. Terapi lebih mendesak dan biasanya melibatkan fiksasi internal untuk
memperoleh kestabilan sendi.

FRAKTUR MELINTANG Ini adalah fraktur yang tak kominutif yang berjalan melintang
melalui asetabulum dan memisahkan bagian ilium di atasnya dari pubis dan bagian isikium di
bawahnya. Fraktur ini biasanya cukup mudah direduksi dan dipertahankan tereduksi.
11
FRAKTUR KOMPLEKS Sebagian besar fraktur asetabulum merupakan cedera kompleks
yang merusak segmen anterior atau posterior (atau keduanya) disamping atap atau dinding
asetabulum. Tidak ada manfaatnya bila membagi fraktur kompleks ini ke dalam subbagian-
bagian, karena pembedahan antara berbagai tipe ini tidak begitu pening dibandingkan
kesamaannya. Semuanya mempunyai tanda-tanda berikut (1) cedera bersifat lebih berat (2)
permukaan sendi rusak (3) fraktur ini biasanya membutuhkan reduksi lewat operasi dan fiksasi
internal dan (4) hasil akhirnya mungkin kurang sempurna.

Gambaran klinik

Biasanya sudah terdapat cedera berat-baik akibat kecelakaan lalu-lintas atau jatuh dari
ketinggian. Fraktur lain sering menyertai dan, mungkin karena cedera-cedera itu lebih jelas,
dapat mengalihkan perhatian dari cedera pelvis yang lebih mendesak. Bila femur mengalami
fraktur cedera lutut yang berat atau fraktur kalkaneus didiagnosis, pinggul juga harus difoto
dengan sinar-X.

Pasien mungkin mengalami syok berat, dan komplikasi yang diakibatkan oleh semua
fraktur pelvis harus dicari. Pemeriksaan rektum perlu dilakukan. Mungkin terdapat memar di
sekitar pinggul dan tungkai dapat bearada berada dalam rotasi internal (kalau pinggul
berdislokasi). Upaya menggerakkan pinggul tak boleh dilakukan.pmeriksaan neurologik yang
cermat sangat diperlukan, untuk menguji fungsi saraf skiatika, femoris, obturatorius dan saraf
pudendal.

Sekurang-kurangnya empat foto harus diambil pada semua kasus: foto anteroposterior
standar, foto inlet pelvis dan foto oblik dua derajat (untuk memperlihatkan kalumna anterior
dan posetorior secara terpisah). Tipe fraktur, tingkat kominusi dan jumlah pergeseran dicatat.
CT scan dan reformasi tiga dimensi dapat memperjelas diagnosis.

Terapi

TERAPI DARURAT hanya terdiri dari pemberantasan syok dan reduksi dislokasi. Traksi
kemudain dipasang pada tungkai (10 kg sudah cukup) dan selama 3-4 hari berikutnya keadaan
12
umum pasien diobservasi. Terapi pasti terhadap fraktur ditunda hingga pasien sehat dan
fasilitas operasi tersedia secara optimal tetapi penundaan tidak boleh melebihi 7 hari.

TERAPI NON-OPERATIF Ditahun-tahun belakangan pendapat ahli telah beralih lebih


menyukai terapi lewat operasi untuk fraktur asetabulum yanng bergeser (Matta dan Merrit,
1988). Tetapi, terapi konservatif masih lebih baik dalam situasi tertentu: (1) fraktur
asetabulum dengan pergeseran minimal; (2) fraktur dengan pergeserran yang tidak melibatkan
segmen penahan beban superomedial pada asetabulum (3) fraktur pada pasien manula,
dimana reduksi tertutup tampaknya dapat dilaksanakan; (4) pasien dengan kontraindikasi
"media" terhadap terapi operasi (termasuk sepsis lokal). Kominusi terapi operasi, asalkan
fasilitasnya memadai dan tersedia tenaga ahli.

Matta dan Merrit (1988) telah membuat daftar kriteria tertentu yang harus dipenuhi
kalau ingin berhasil dalam terapi konservatif: (1) bila traksi dilepaskan, pinggul terapi harus
tetap konguen; (2) bagian penahan beban pada atap asetabulum harus utuh; dan (3) fraktur
dinding posterior yang menyertai harus disingkirkan dengan CT. terapi non operasi lebih
cocok untuk pasien yang berumur lebih dari 50 tahun daripada untuk remaja dan orang
dewasa muda.

Kalau terdpat kontraindikasi medis terhadap terapi operasi, diusahakan melakukan


reduksi tertutup di bawah anestesi umum. Pada semua pasien yang diterapi secara konservatif,
traksi laterallongitudinal, kalau perlu ditambah dengan traksi lateral, dipertahankan selama 6-
8 minggu; ini akan membantu mencegah pergeseran fraktur lebih jauh. Selama masa ini,
dianjurkan melakukan gerakan pinggul dan latihan. Pasien kemudian diperbolehkan bangun,
menggunakan penopang dengan pembebanan yang minimal selama 6 minggu lagi.

TERAPI OPERASI Pasien dengan fraktur dinding posterior yanng terisolasi dan
dislokasi pada pinggul dapat membutuhkan reduksi terbuka dan stabilisasi dengan segera.
Pada kasus yang lain operasi biasanya ditunda selama 4 atau 5 hari.
Matta dan Merrit telah menunjukkan hal yanng penting bahawa reduksi terbuka
merupakan operasi pada pelvis dan tidak hanya pada mangkuk asetabulum. Pembukaan yang
memadai sangat diperlukan, kalau mungkin melalui suatu pendekatan tunggal yang dipilih
menurut tipe fraktur. Teknik yang paling bermanfaat diuraikan dalam tulisan yang dibuat oleh
13
Matta dan Merrit. Pernapasan posterolateral dipermudah dengan menggunakan distraktor
femur AO dan dengan melakukan osteotomi pada trokanter mayor (Bray, Esser dan
Fulkerson, 1991). Hal ini berguna untuk memantau evoked potential somatosensorik selama
operasi, untuk menghindari perusakan saraf skiatik (elektroda yang terpisah dibutuhkan untuk
cabang popliteal medial dan lateral).

Antibiotika profilaksis digunakan, dan setelah operasi secepat mungkin dimulai


gerakan pinggul. Pasien diperbolehkan bangun, dengan pembebanan sebagian dengan kruk
penopang, setelah 7 hari. Latihan dilanjutkan selama 3-6 bulan; sedangkan untuk memulihkan
fungsi secara penuh diperlukan waktu setahun atau lebih.

Komplikasi

Trombosis vena iliofemoralis cukup sering terjadi dan secara potensial berbahaya. Tetapi
diragukan apakah antikoagulasi profilaksasi rutin diperlukan.

Cedera saraf skiatika dapat terjadi pada saat fraktur atau selama operasi berikutnya. Tidak
perlu ada keaguan menganai prognosis, kecuali kalau saraf ditemukan tanpa cedera selama
operasi. Pemantauan somatosensorik intraoperatif dianjurkan sebagai cara untuk mencegah
kerusakan saraf yang berbahaya. Bila telah terjadi lesi, sebaiknya menunggu selama 6 minggu
untuk mengetahui apakah terdapat tanda penyembuhan. Kalau tidak ada, saraf harus
dieksplorasi untuk menetapkan diagnosis dan memastikan bahwa saraf tidak mengalami
tekanan. Pembentukan tulang heterotropik sering ditemui setelah cedera jaringan lunak yang
hebat dan diseksi pembedahan yang luas. Pada kasus-kasus yang diduga akan mengalami ini,
indometasin profilaksasi akan bermanfaat.
Nekrosis avaskular pada kaput femoris dapat terjadi sekalipun pinggul tidak berdislokasi
sepenuhnya. Keadaanyya mungkin terlewat dari diagnosis karena penafsiran yang keliru pada
gambar sinar-X setelah fraktur terimpaksi marginal pada asetabulum (Gruen, Mears dan
Tauxe, 1988).

Hilangnya gerakan sendi dan osteoartritis sekunder merupakan sekuele yang sering
ditemukan setelah fraktur pergeseran pada asetabulum yang melibatkan bagian sendi yang
menahan beban. Keadaan ini, pada akhirnya, dapat membutuhkan penggantian sendi. Tetapi,
14
operasi harus ditunda hingga fraktur itu telah berkonsolidasi; implan asetabulum cenderung
akan melonggar jika terdapat gerakan segmen inominata.

Cedera pada sakrum dan koksigis


Pukulan dari belakang, atau jatuh pada tulang ekor dapat mematahkan sakrum atau koksigis,
atau menyebabkan keseleo pada sendi antara keduanya. Wanita tampaknya lebih sering
terkena daripada pria.

Terjadi memar yanng luas dan nyeri tekan muncul bila sakrum atau koksigis dipalpasi
dari belakang atau melalui rektum. Sensai dapat hilang pada distribusi saraf sakratis.
Sinar- X memperlihatkan: (1) fraktur melintang pada sakrum yang meski jarang sekali,
dapat disertai fragmen bawah terdorong ke depan; (2) fraktur kosigis kadang-kadang disertai
fragmen bagian bawah yang menyudut ke depan; atau (3) suatu penampilan normal kalau
cedera hanya berupa sprain pada sendi sakrokoksigeal.
Kalau fraktur bergeser, sebaiknya dicoba untuk melakukan reduksi. Fragmen bagian
bawah dapat terdesak ke belakang lewat rektum. Reduksi bersifat stabil, suatu keadaan yang
menguntungkan. Pasien dibiarkan untuk melanjutkan aktivitas normal, tetapi dianjurkan untuk
menggunakan suatu cincin karet atau bantalan Scorbo bila duduk. Kadang-kadang, fraktur
sakral disertai dengan masalah kencing, sehingga memerlukan laminektomi sakral.

Nyeri yang menetap, terutama saat duduk, sering ditemukan setelah cedera koksigis.
Kalau nyeri tidak berkurang dengan penggunaan bantalan Sorbo atau oleh injeksi anestetik
lokal ke dalam daerah yang nyeri, eksisi koksigis dapat dipertimbangkan.

15

Anda mungkin juga menyukai