Di samping shalat gerhana bulan, banyak amalan-amalan lain yang dianjurkan ketika terjadinya
peristiwa ini. Hal ini disebutkan oleh Imam An-Nawawi (676 H) berikut ini:
هللا رحمه المصنف قال: (ت لما الصالة بعد لها يخطب أن والسنة َُّ ّللا رضيَّ عائش
َّْ ة رو َُّ
ن فرغَّ وسلم عليه هللا صلى النبيَّ أنَّ" ع ْنها َّْ فحمدَّ الناسَّ فخطبَّ فقامَّ صالتهَّ م
ْ
َّوقالَّ عل ْيهَّ وأثنى هللا: مسْ ن آيتانَّ والقم َُّر الش
َّْ خسفانَّ لَّ وجلَّ عزَّ هللاَّ آياتَّ م ْ َّلم ْوتَّ ي
َّ"وتصدقوا فصلوا ذلك رأيتم فإذا لحياتهَّ ولَّ أحد
Artinya, “(Abu Ishaq As-Syairazi berkata, disunahkan khutbah setelah shalat gerhana
sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah RA, ‘Sungguh setelah selesai shalat gerhana, Nabi SAW
berdiri dan khutbah di hadapan manusia, kemudian ia memanjatkan puji kepada Allah,
dilanjutkan dengan bersabda, ‘Matahari dan bulan adalah ayat (tanda kebesaran Allah) dari
sekian ayat-ayat Allah Azza wa Jalla. Keduanya tidak akan gerhana karena kematian atau
kelahiran seseorang. Apabila kalian menyaksikannya, maka shalat dan sedekahlah,’” (Lihat
Imam An-Nawawi, Majmu’ Syarh Muhadzzab, Beirut, Darul Fikr, juz IV, halaman 53).
Dari keterangan hadits yang Imam As-Syairazi sebutkan di atas, terdapat dua amalan yang
dianjurkan bagi kita, yaitu shalat sunah gerhana dan bersedekah.
Selain salat sunah gerhana, sedekah pada peristiwa ini juga disunahkan sebagaimana yang
disebutkan Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Nihayatuz Zain berikut ini:
ُ شرهَّ في سيما لَّ رمضانَّ في الصدقةَّ منَّ اإل ْكثا َُّر و ُيس
َّن ْ وع ْندَّ الحاجاتَّ وأمامَّ األواخرَّ ع
َّسوف ُ
ُ شرَّ فاضلةَّ وأ ْمكنةَّ أ ْزمنةَّ وفي وجهادَّ وحجَّ ومرضَّ كْ الع ْيدَّ وأيامَّ ْالحجةَّ ذي كع
َّمعة ُ محتاج ْينَّ و ْال
ْ ج ُ وال
Artinya, “Disunahkan memperbanyak sedekah pada bulan Ramadhan, terutama pada sepuluh
hari terakhir di bulan itu, dan ketika mempunyai kebutuhan, ketika terjadi gerhana, sakit, haji,
jihad dan pada beberapa waktu dan tempat yang memiliki keutamaan seperti tanggal 10
Dzulhijjah, hari raya, hari Jumat. Disunahkan juga sedekah kepada orang-orang yang
membutuhkan,” (Lihat Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zain Syarah Qurratu ‘Ain, Beirut, Darul
Fikr, juz I, halaman 183).
Selain dua amalan di atas, ada juga amalan lain yang dapat kita lakukan di saat gerhana. Hal ini
disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muhadzzab sebagai berikut:
Dari keterangan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa ada beberapa amalan yang dapat
dilakukan saat gerhana sebagai berikut:
1. Shalat gerhana.
2. Bersedekah.
3. Tobat dari maksiat.
4. Mengerjakan kebaikan.
5. Bersedekah.
6. Membebaskan budak (zaman sekarang tidak ada budak).
7. Kehati-hatian jangan sampai lalai.
8. Memperbanyak doa.
9. Memperbanyak istighfar.
10.Memperbanyak zikir.
Sumber : https://www.nu.or.id/post/read/85712/ini-10-amalan-saat-terjadi-gerhana
Secara umum pelaksanaan shalat gerhana matahari dan shalat gerhana bulan diawali dengan
shalat sunah dua rakaat dan setelah itu disusul dengan dua khutbah seperti shalat Idul Fitri atau
shalat Idul Adha di masjid jami. Hanya saja bedanya, setiap rakaat shalat gerhana bulan
dilakukan dua kali rukuk. Sedangkan dua khutbah setelah shalat gerhana matahari atau bulan
tidak dianjurkan takbir sebagaimana khutbah dua shalat Id.
Jamaah shalat gerhana bulan adalah semua umat Islam secara umum sebagai jamaah shalat Id.
Sedangkan imamnya dianjurkan adalah pemerintah atau naib dari pemerintah setempat.
Sebelum shalat ada baiknya imam atau jamaah melafalkan niat terlebih dahulu sebagai berikut:
Artinya, “Saya shalat sunah gerhana bulan dua rakaat sebagai imam/makmum karena Allah
SWT.”
Adapun secara teknis, shalat sunah gerhana bulan adalah sebagai berikut:
Apakah boleh dibuat dalam versi ringkas? Dalam artian seseorang membaca Surat Al-
Fatihah saja sebanyak empat kali pada dua rakaat tersebut tanpa surat panjang seperti yang
dianjurkan? Atau bolehkah mengganti surat panjang itu dengan surat pendek setiap kali
selesai membaca Surat Al-Fatihah? Boleh saja. Ini lebih ringkas seperti keterangan Syekh
Ibnu Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam I’anatut Thalibin berikut ini.
أجزأه قيام كل في الفاتحة على اقتصر ولو، بأس فال قصار سور على اقتصر ولو.
النجالء إلى الصالة دوام التطويل ومقصود
Artinya, “Kalau seseorang membatasi diri pada bacaan Surat Al-Fatihah saja, maka itu sudah
memadai. Tetapi kalau seseorang membatasi diri pada bacaan surat-surat pendek setelah baca
Surat Al-Fatihah, maka itu tidak masalah. Tujuan mencari bacaan panjang adalah
mempertahankan shalat dalam kondisi gerhana hingga durasi gerhana bulan selesai,” (Lihat
Syekh Ibnu Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, Beirut, Darul Fikr, 2005
M/1425-1426 H, juz I, halaman 303).
Selagi gerhana bulan berlangsung, maka kesunahan shalat dua rakaat gerhana tetap berlaku.
Sedangkan dua khutbah shalat gerhana bulan boleh tetap berlangsung atau boleh dimulai meski
gerhana bulan sudah usai. Demikian tata cara shalat gerhana bulan berdasarkan keterangan
para ulama
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/85621/tata-cara-shalat-gerhana-bulan
Shalat sunah gerhana bulan cukup dikerjakan sendiri di rumah masing-masing. Pendapat ini
dipegang oleh Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki. Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Sayyid
Alwi bin Abbas Al-Maliki menyebutkan tata cara shalat gerhana bulan menurut Madzhab Hanafi
dan Madzhab Maliki dalam Ibanatul Ahkam, Syarah Bulughul Maram sebagai berikut:
فرادى وتصلى النوافل كبقية واحد بركوع ركعتان الخسوف صالة الحنفية وقالت، ألنه
وحده كل فيتضرع لها الناس جمع أنه ينقل ولم الرسول عهد في مرارا القمر خسف،
المالكية وقالت: فرادى كالنوافل واحد وركوع بقيام جهرا ركعتان القمر لخسوف ندب
في إيقاعها وكره الفجر يطلع أو يغيب أو القمر ينجلي حتى الصالة وتكرر المنازل في
وفرادى جماعة المساجد
Artinya, “Kalangan Hanafi mengatakan, shalat gerhana bulan itu berjumlah dua rakaat dengan
satu rukuk pada setiap rakaatnya sebagai shalat sunah lain pada lazimnya, dan dikerjakan
secara sendiri-sendiri. Pasalnya, gerhana bulan terjadi berkali-kali di masa Rasulullah SAW
tetapi tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasul mengumpulkan orang banyak, tetapi
beribadah sendiri. Kalangan Maliki menganjurkan shalat sunah dua rakaat karena fenomena
gerhana bulan dengan bacaan jahar (lantang) dengan sekali rukuk pada setiap kali rakaat
seperti shalat sunah pada lazimnya, dikerjakan sendiri-sendiri di rumah. Shalat itu dilakukan
secara berulang-ulang sampai gerhana bulan selesai, lenyap, atau terbit fajar. Kalangan Maliki
menyatakan makruh shalat gerhana bulan di masjid baik berjamaah maupun secara sendiri-
sendiri,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam
Syarah Bulughul Maram, Beirut, Darul Fikr, cetakan pertama, 1996 M/1416 H, juz I, halaman
114).
Sebelum shalat ada baiknya seseorang melafalkan niat terlebih dahulu sebagai berikut:
Artinya, “Saya shalat sunah gerhana bulan dua rakaat karena Allah SWT.”
Adapun secara teknis, shalat sunah gerhana bulan sendirian adalah sebagai berikut:
Shalat sunah gerhana bulan juga dapat dikerjakan dengan ringkas. Seseorang membaca Surat
Al-Fatihah saja pada setiap rakaat tanpa surat pendek atau dengan surat pendek. Ini lebih
ringkas seperti keterangan Syekh Ibnu Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam I’anatut
Thalibin berikut ini:
أجزأه قيام كل في الفاتحة على اقتصر ولو، بأس فال قصار سور على اقتصر ولو
Artinya, “Kalau seseorang membatasi diri pada bacaan Surat Al-Fatihah saja, maka itu sudah
memadai. Tetapi kalau seseorang membatasi diri pada bacaan surat-surat pendek setelah baca
Surat Al-Fatihah, maka itu tidak masalah,” (Lihat Syekh Ibnu Sayyid Muhammad Syatha Ad-
Dimyathi, I’anatut Thalibin, Beirut, Darul Fikr, 2005 M/1425-1426 H, juz I, halaman 303).
Selagi gerhana bulan berlangsung, maka kesunahan shalat sunah gerhana bulan tetap berlaku.
Tidak ada batasan jumlah rakaat shalat gerhana bulan menurut Madzhab Maliki. Hanya saja
shalat sunah gerhana bulan ini dikerjakan per dua rakaat. Demikian tata cara shalat gerhana
bulan berdasarkan Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki.
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/85686/tata-cara-shalat-gerhana-bulan-sendirian