Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

HIALIN MEMBRAN DISEASE

Disusun oleh:
Fauziah Paramita Bustam, S.Ked
1518012243

Perceptor :
dr. Indah Arumningsih, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RUMAH SAKIT ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Hialin Membran
Disease” tepat pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan laporan kasus ini
adalah sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul
Moeloek Bandar Lampung.

Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Indah Arumningsih, Sp. Rad. yang
telah meluangkan waktunya untuk saya dalam menyelesaikan referat ini. Saya
menyadari banyak sekali kekurangan dalam referatini, oleh karena itu saran
dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini
dapat bermanfaat bukan hanya untuk saya, tetapi juga bagi siapa pun yang
membacanya.

Bandar Lampung, Agustus 2017

Penulis

ii
1

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Membran Hialin (PMH) disebut juga Sindrom Gangguan


Pernapasan (SGP), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi
surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Penyebab
terbanyak dari angka morbiditas dan mortalitas pada bayi prematur adalah PMH.
Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat
badan lahir 501-1500 gram (Lemons et al,2001). PMH merupakan salah satu
penyebab utama kematian bayi selama periode baru lahir.1,2

Penyakit ini terjadi pada bayi kurang bulan karena pematangan parunya
yang belum sempurna. Pada PMH tingkat pematangan paru lebih berperan
terhadap timbulnya penyakit bila dibandingkan dengan masalah kurang bulan
sehingga dengan pengelolaan yang baik bayi dengan PMH dapat diselamatkan
sehingga angka kematian dapat ditekan. Keberhasilan ini dapat dicapai dengan
memperbaiki keadaan surfaktan paru yang belum sempurna dengan ventilasi
mekanik, pemberian surfaktan dari luar tubuh, asuhan antenatal yang baik serta
pemberian steroid pada ibu kehamilan kurang bulan dengan janin yang mengalami
stres pernapasan. Defisiensi surfaktan diperkenalkan pertama kali oleh Avery dan
Mead pada 1959 sebagai faktor penyebab terjadinya PMH. Penemuan surfaktan
untuk PMH termasuk salah satu kemajuan di bidang kedokteran karena
pengobatan ini dapat mengurangi kebutuhan tekanan ventilator dan mengurangi
konsentrasi oksigen yang tinggi. Surfaktan dapat diberikan sebagai pencegahan
PMH maupun sebagai terapi penyakit pernapasan pada bayi yang disebabkan
adanya defisiensi atau kerusakan surfaktan.3,4
2

Penyakit membran hialin biasanya muncul dalam beberapa menit setelah


bayi lahir yang ditandai dengan pernapasan cepat , frekuensi lebih dari 60x/menit,
pernapasan cuping hidung, retraksi interkostal, suprasternal, dan epigastrium.
Manifestasi dari PMH disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan
kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam
alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Faktor yang mempermudah
terjadinya PMH adalah persalinan kurang bulan, asfiksia intrauterin, tindakan
seksio caesaria, diabetes melitus dan ibu dengan riwayat persalinan kurang bulan
sebelumnya, kelahiran yang dipercepat setelah perdarahan antepartum, serta
riwayat sebelumnya dengan penyakit membran hialin.5
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

Penyakit Membran Hialin (PMH) adalah nama lain untuk Sindrom


Gangguan Pernafasan (SGP) atau Respiratory Distress Syndrome (RDS) dalam
bahasa Inggeris. Ini adalah diagnosis klinis pada bayi baru lahir prematur dengan
kesulitan pernapasan, termasuk takipnea (> 60 napas/menit), retraksi dada, dan
sianosis di ruangan biasa yang menetap atau berlangsung selama 48-96 jam
pertama kehidupan, dan gambaran foto rontgen dada yang karakteristik (pola
retikulogranular seragam dan bronkogram udara perifer).2

2.2 EPIDEMIOLOGI

Kejadian PMH ini berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat
lahir. Di Amerika Serikat, PMH telah diperkirakan terjadi pada 20,000-30,000
bayi baru lahir setiap tahun dan merupakan komplikasi pada sekitar 1%
kehamilan. Sekitar 50% dari neonatus yang lahir pada usia kehamilan 26-28
minggu terjadi PMH, sedangkan kurang dari 30% dari neonatus prematur lahir
pada usia kehamilan 30-31 minggu terjadi kondisi tersebut.8

Dalam satu laporan, tingkat kejadian PMH adalah 42% pada bayi dengan
berat 501-1500 g, dengan 71% dilaporkan pada bayi dengan berat 501-750 g, 54%
dilaporkan pada bayi dengan berat 751-1000 g, 36% dilaporkan pada bayi dengan
berat 1001 - 1250g, dan 22% dilaporkan pada bayi dengan berat 1251-1500g, di
antara 12 rumah sakit universitas yang berpartisipasi dalam National Institute of
4

Child Health and Human Development (NICHD) Neonatal Research Network.


PMH terjadi pada ~ 50% dari bayi dengan berat lahir antara 501 dan 1500 g
(Lemon et al, 2001).2,8

Penyakit membrane hialin kurang ditemukan di negara berkembang


dibandingkan di tempat lain, terutama karena sebagian besar bayi prematur yang
kecil untuk usia kehamilan mereka telah mengalami stres di dalam rahim karena
kekurangan gizi atau hipertensi yang diinduksi kehamilan. Selain itu, karena
sebagian besar persalinan di negara berkembang terjadi di rumah, catatan yang
akurat di wilayah ini tidak tersedia untuk menentukan frekuensi PMH. PMH telah
dilaporkan dalam semua ras, terjadi paling sering pada bayi prematur berkulit
putih.1,2,4

Resiko terjadi PMH meningkat pada ibu dengan diabetes, kelahiran


kembar, persalinan secara sectio caesar , persalinan terjal, asfiksia, stres dingin,
dan riwayat bayi prematur sebelumnya. Di sisi lain, risiko PMH berkurang pada
ibu dengan hipertensi kronis atau terkait-kehamilan dan rupture membran yang
berkepanjangan, dan profilaksis kortikosteroid antenatal. Kelangsungan hidup
telah meningkat secara signifikan, terutama setelah adanya surfaktan eksogen
(Malloy & Freeman, 2000) dan sekarang angka kelangsungan hidup menjadi >
90%. Saat ini, PMH menyumbang <6% dari semua kematian neonatus.1,2,4,7

Tabel 1. Faktor Resiko yang meningkatkan dan menurunkan PMH


5

2.3 ETIOLOGI

Defisiensi surfaktan (penurunan produksi dan sekresi) adalah penyebab


utama dari PMH. Konstituen utama surfaktan adalah dipalmitoyl fosfatidilkolin
(lesitin), phosphatidylglycerol, apoprotein (protein surfaktan SP-A,-B,-C,-D), dan
kolesterol. Dengan pertambahan usia kehamilan, jumlah fosfolipid yang disintesis
meningkat dan disimpan dalam sel alveolar tipe II. Bahan aktif-permukaan ini
akan dilepaskan ke dalam alveoli, di mana mereka akan mengurangi tegangan
permukaan dan membantu mempertahankan stabilitas alveolus dengan mencegah
runtuhnya ruang udara kecil pada akhir ekspirasi. Jumlah yang dihasilkan atau
dilepaskan mungkin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pasca kelahiran
karena immaturitas. Surfaktan yang hadir dalam konsentrasi tinggi pada paru janin
mengalami homogenasi pada usia kehamilan 20 minggu, tetapi tidak mencapai
permukaan paru-paru sampai nanti. Ia muncul dalam cairan amnion pada waktu
di antara 28 dan 32 minggu. Tingkat maturitas dari surfaktan paru biasanya terjadi
setelah 35 minggu.1

Meskipun jarang, kelainan genetik dapat berkontribusi untuk terjadinya


gangguan pernapasan. Kelainan pada gen protein surfaktan B dan C serta sebuah
gen bertanggung jawab untuk mengangkut surfaktan melintasi membran (ABC
transporter 3 [ABCA3]) berhubungan dengan penyakit pernapasan berat dan
sering mematikan yang diturunkan.

Sebagian sintesis surfaktan bergantung pada pH normal, suhu, dan perfusi.


Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia paru, khususnya terkait dengan hipovolemia,
hipotensi, dan stres dingin, dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel paru-
paru juga dapat terluka oleh konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek dari
manajemen respirator, sehingga mengakibatkan pengurangan surfaktan yang
lebih lanjut.1,8
6

2.4 PATOFISIOLOGI

Kegagalan untuk mencapai kapasitas residu fungsional (Fungsional


Residual Capacity [FRC]) yang memadai dan kecenderungan paru-paru yang
terkena untuk menjadi atelektatik berkorelasi dengan tegangan permukaan yang
tinggi dan tidak adanya surfaktan paru. Atelektasis alveolar, pembentukan
membran hialin, dan edema interstisial membuat paru-paru kurang komplians,
sehingga tekanan lebih besar diperlukan untuk mengembangkan alveoli dan
saluran-saluran napas yang kecil. Pada bayi yang sudah terkena PMH, bagian
bawah dinding dada ditarik ke dalam apabila diafragma menurun, dan tekanan
intratoraks menjadi negatif, sehingga membatasi jumlah tekanan intratoraks yang
dapat diproduksi, hasilnya akan terjadi atelektasis. Dinding dada yang sangat
komplians pada bayi prematur memberikan ketahanan lebih rendah dari bayi yang
matur dengan kecenderungan paru-paru untuk kolaps. Dengan demikian, pada
akhir ekspirasi, volume toraks dan paru-paru cenderung untuk mendekati volume
residu, dan atelektasis dapat terjadi.1,2,4,8

Kekurangan sintesis atau pelepasan surfaktan, bersama-sama dengan unit


pernapasan kecil dan dinding dada yang komplians, menghasilkan atelektasis dan
menghasilkan alveoli yang diperfusi tetapi tidak berventilasi, yang menyebabkan
hipoksia. Penurunan komplians paru-paru, volume tidal yang kecil, peningkatan
ruang mati fisiologis, peningkatan kerja pernapasan, dan ventilasi alveolar yang
tidak memadai pada akhirnya menyebabkan hiperkapnia. Kombinasi hiperkapnia,
hipoksia, dan asidosis mengakibatkan vasokonstriksi arteri pulmonari dengan
peningkatan shunting kanan-ke-kiri melalui foramen ovale dan duktus arteriosus
dan dalam paru-paru itu sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan cedera iskemik
pada sel-sel yang memproduksi surfaktan dan pembuluh darah yang akan
mengakibatkan terjadi efusi bahan protein ke dalam ruang alveolar dan terjadi
pembentukan membran hialin (Gambar 1).1,2,4,8
7

Gambar 1. Patogenesis Penyakit Membran Hialin.

Hipoksia, asidosis, hipotermia, dan hipotensi dapat mengganggu produksi


dan/atau sekresi surfaktan. Pada sebagian neonatus, toksisitas oksigen dengan
barotrauma dan volutrauma pada paru-paru mereka yang belum matang secara
struktural menyebabkan influks sel inflamasi, yang memperburuk cedera vaskular,
menyebabkan displasia bronkopulmonal (Bronchopulmonary Dysplasia [BPD]).
Kekurangan antioksidan dan cedera radikal bebas memperburuk kecederaan.
Pada evaluasi makroskopik, paru-paru bayi baru lahir yang terkena tampak
pengap dan kemerahan (yaitu, seperti hepar). Oleh karena itu, paru-paru
memerlukan peningkatan tekanan pembukaan yang penting untuk mengembang.
Atelektasis difus rongga udara distal bersama dengan distensi saluran napas distal
dan daerah perilimfatik dapat diamati secara mikroskopis. Atelektasis progresif,
barotrauma atau volutrauma, dan toksisitas oksigen merusak sel-sel endotel dan
epitel pada lapisan saluran udara distal ini, mengakibatkan eksudasi matriks fibrin
yang berasal dari darah.
8

Membran hialin yang melapisi alveoli (lihat gambar di bawah) dapat


membentuk dalam waktu setengah jam setelah kelahiran. Pada bayi prematur
lebih besar, epitel mulai menyembuh dalam waktu 36-72 jam setelah lahir, dan
sintesis surfaktan endogen dimulai. Fase pemulihan ditandai dengan regenerasi
sel-sel alveolar, termasuk sel tipe II, dengan peningkatan dalam aktivitas
surfaktan. Proses penyembuhan ini adalah kompleks.

Sebuah proses kronis sering terjadi kemudian pada bayi yang sangat
immatur dan sakit berat dan pada bayi lahir dari ibu dengan korioamnionitis,
sehingga menyebabkan BPD. Pada bayi yang sangat prematur, penghentian dalam
pengembangan paru-paru sering terjadi selama tahap sakular, mengakibatkan
penyakit paru-paru kronis yang disebut BPD “baru”. 8

2.5 MANIFESTASI KLINIS

Temuan fisik konsisten dengan maturitas bayi yang dinilai dengan


menggunakan pemeriksaan Dubowitz atau modifikasi dengan Ballard. Tanda-
tanda gangguan pernafasan progresif dicatat segera setelah lahir dan termasuk
yang berikut8:
 Takipnea
 Ekspirasi merintih (dari penutupan sebagian glotis)
 Retraksi subcostal dan interkostal
 Sianosis
 Napas cuping hidung
 Pada neonatus yang sangat immatur dapat terjadi apnea dan/atau
hipotermia.

Tanda-tanda PMH biasanya muncul dalam beberapa menit selepas lahir,


meskipun mereka mungkin tidak disadari untuk beberapa jam pada bayi prematur
lebih besar sampai pernapasan yang cepat dan dangkal telah meningkat menjadi
60 kali/menit atau lebih. Sebuah onset terlambat dari takipnea harus menunjukkan
kondisi lain. Beberapa pasien membutuhkan resusitasi pada saat lahir karena
9

asfiksia intrapartum atau gangguan pernapasan yang parah terdahulu(terutama


dengan berat lahir 1.000 g <). Secara karakteristik, takipnea, menonjol (sering
terdengar) merintih, retraksi interkostalis dan subcostal, napas cuping hidung, dan
kepucatan dicatat. Sianosis meningkat dan relatif sering tidak responsif terhadap
pemberian oksigen. Bunyi nafas mungkin normal atau berkurang dengan kualitas
tubular yang keras dan, pada inspirasi dalam, ronki halus dapat didengar, terutama
pada bagian posterior basal paru-paru.1

Perjalanan alami PMH yang tidak diobati ditandai dengan memburuknya


sianosis secara progresif dan dyspnea. Jika kondisi ini tidak diobati, tekanan darah
bisa turun, kelelahan, sianosis, dan kepucatan meningkat, dan rintihan berkurang
atau hilang seiring dengan kondisi yang memburuk. Apnea dan respirasi tidak
teratur terjadi karena bayi kelelahan dan merupakan tanda buruk yang
memerlukan intervensi segera. Pasien juga mungkin memiliki asidosis metabolik-
respiratorik campuran, edema, ileus, dan oliguria. Kegagalan pernapasan dapat
terjadi pada bayi dengan perkembangan penyakit yang cepat. Dalam kebanyakan
kasus, gejala dan tanda-tanda mencapai puncaknya dalam waktu 3 hari, setelah itu
membaik secara bertahap. Perbaikan sering dikatakan oleh diuresis spontan dan
kemampuan untuk mengoksigenisasi bayi pada kadar oksigen inspirasi yang
rendah atau ventilator dengan tekanan rendah. Kematian jarang pada hari pertama
penyakit, biasanya terjadi antara hari ke 2 dan 7, dan berhubungan dengan
kebocoran udara alveolar (emfisema interstisial, pneumotoraks), perdarahan paru,
atau intraventricular hemorrhage (IVH). Kematian mungkin tertunda beberapa
minggu atau bulan jika BPD berkembang pada bayi dengan PMH yang parah
yang dipasang ventilasi mekanik.1

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium2:
1. Pengambilan sampel gas darah penting dalam pengelolaan PMH. Biasanya,
pengambilan sampel arteri secara intermiten dilakukan. Meskipun tidak ada
konsensus, sebagian besar ahli neonatologi setuju bahwa tekanan oksigen
10

arteri 50-70 mm Hg dan tekanan karbon dioksida arteri 45-60 mm Hg dapat


diterima. Sebagian besar akan mempertahankan pH pada atau di atas 7,25 dan
saturasi oksigen arteri pada 88 - 95%. Selain itu, oksigen transkutaneus secara
kontinu dan pemantauan karbon dioksida atau pemantauan saturasi oksigen,
atau keduanya, yang membuktikan sangat membantu dalam pemantauan
menit-ke-menit bayi-bayi ini.

2. Pemeriksaan Sepsis. Sebuah pemeriksaan sepsis parsial, termasuk hitung sel


darah lengkap dan kultur darah, harus dipertimbangkan untuk setiap bayi
dengan diagnosis PMH, karena sepsis yang berlangsung awal (Misalnya,
infeksi streptokokus grup B atau Haemophilus influenzae) sudah dapat
dibedakan dari PMH atas dasar klinis saja.

3. Kadar glukosa serum dapat menjadi tinggi atau rendah pada awalnya dan
harus dipantau secara ketat untuk menilai kecukupan infus dekstrosa.
Hipoglikemia saja dapat menyebabkan takipnea dan gangguan pernapasan.

4. Kadar elektrolit serum termasuk kalsium harus dipantau setiap 12-24 jam
untuk pengelolaan cairan parenteral. Hipokalsemia dapat berkontribusi lebih
banyak pada gejala pernafasan dan sering pada bayi sakit, asupan gizi kurang,
bayi prematur, atau bayi yang asfiksia.

Pemeriksaan Radiologi 2,8


Sebuah foto rontgen dada AP harus diperoleh untuk semua bayi dengan
gangguan pernapasan dengan durasi apa pun. Temuan radiografi khas pada PMH
adalah pola retikulogranular yang seragam, disebut sebagai gambaran ground-
glass, disertai dengan bronkogram udara perifer. Selama perjalanan klinis
penyakit, gambaran foto dada sekuensial dapat mengungkapkan kebocoran udara
sekunder yang disebabkan intervensi ventilasi mekanik serta timbulnya perubahan
yang sesuai dengan BPD. Dalam PMH, temuan radiografi dada klasik terdiri dari
hypoaerasi yang jelas, opasitas reticulogranular yang menyebar secara bilateral
pada parenkim paru, dan bronkogram udara yang meluas ke perifer.
11

Retikulogranularitas ini terjadi karena superimposisi beberapa nodul asinar yang


disebabkan oleh alveoli yang atelektatik. Perkembangan bronkogram udara
tergantung pada koalesensi daerah atelektasis asinar sekitar bronkus dan
bronkiolus yang teraerasi. Pada bayi yang tidak diintubasi, didapatkan kubah
sefalika dari diafragma dan hypoekspansi. Fitur radiografi klasik PMH terlihat
pada gambar 2.

Gambar 2. Klasik penyakit membran hialin (PMH). Dada berbentuk lonceng


adalah karena kurang aerasi umum. Volume paru-paru berkurang, parenkim paru-
paru memiliki pola retikulogranular menyebar, dan terdapat bronkogram udara
perifer memperluas.

Gambar 3.Penyakit membran hialin (PMH) sedang-berat. Pola retikulogranular


lebih menonjol dan distribusinya lebih seragam dari biasanya. Paru-paru
hipoaerasi. Air bronchogram yang meningkat diamati.
12

Gambar 4. Penyakit membran hialin (PMH) berat. Kekeruhan reticulogranular


didapatkan sepanjang kedua lapang paru-paru, dengan air bronchogram menonjol
dan mengaburkan bayang jantung secara total. Daerah kistik di paru-paru kanan
dapat mewakili alveoli yang melebar atau emfisema paru interstisial (PIE) awal.

Spektrum radiologis dari PMH berkisar dari ringan sampai berat (seperti
terlihat pada gambar 3 dan gambar 4) dan biasanya berkorelasi dengan keparahan
dari temuan klinis. Pada tahap awal penyakit ini, bronkogram udara kurang
menonjol, karena bronkus utama terletak pada bagian yang lebih anterior dari
paru-paru dan karena atelektasis alveolus cenderung untuk melibatkan daerah
paru-paru yang dependen, di mana merupakan bagian posterior pada bayi yang
terlentang. Namun, gambaran gelembung, yang mewakili distensi berlebihan dari
bronkiolus dan saluran alveolar dapat diamati.

Sewaktu PMH berlangsung, pola retikulogranular menjadi menonjol


karena koalesensi daerah atelektatik yang kecil. Koalesensi ini mengarah kepada
peningkatan opasitas daerah paru-paru yang lebih besar. Sewaktu bagian anterior
dari paru-paru terjadi microatelectasis, distribusi granularitas menjadi merata, dan
bronkogram udara dapat dilihat. Dengan peningkatan keparahan penyakit,
opasifikasi yang progresif dari bagian anterior paru-paru menyebabkan bayang-
bayang jantung tidak kelihatan dan pembentukan bronkogram udara menjadi lebih
menonjol. Pada penyakit yang lebih berat, paru-paru muncul opak dan
bronkograms udara menjadi jelas, dengan bayang-bayang cardiomediastinal tidak
kelihatan sama sekali.
13

Pada bayi dengan PMH ringan sampai sedang, hipoaerasi dan opasitas
retikulogranular menetap selama 3-5 hari. Penurunan opasitas terjadi dari perifer
ke daerah medial dan dari lobus superior ke lobus inferior dimulai pada akhir
minggu pertama. Bayi dengan PMH berat tmengalami hipoaerasi progresif dan
opasitas bilateral yang difus. Perdarahan parenkim yang jelas juga didapatkan.
Jenis PMH yang parah dan progresif sering menyebabkan kematian, biasanya
dalam waktu 72 jam. Temuan radiografi dari PMH tergantung waktu pemberian
surfaktan. Jika awal, meskipun pencegahan dengan surfaktan, paru-paru sudah
mengalami hipoaerasi dan memiliki pola retikulogranular karena cairan interstitial
dan alveoli yang atelectatik. Administrasi surfaktan biasanya menghasilkan sedikit
perbaikan, yang mungkin simetris atau asimetris; yang asimetri biasanya
menghilang dalam 2-5 hari.

Bayi yang sedang diberikan ventilasi dengan tekanan positif intermiten


dengan tekanan akhir-ekspirasi positif mungkin memiliki paru-paru yang
mempunyai aerasi baik tanpa bronkogram udara. Bayi dengan penyakit yang berat
mungkin tidak dapatmengembangkan paru-paru mereka, mereka memiliki
radiograf yang opak total. Pada akhir perjalanan penyakit, edema paru, kebocoran
udara, atau perdarahan paru dapat mempengaruhi gambaran radiografik. Dengan
ventilasi tekanan-positif, opasitas paru-paru menurun, dan timbul perbaik secara
radiografik. Namun, tekanan positif diperlukan untuk mengaerasi paru-paru dapat
mengganggu epitelium, menghasilkan edema interstisial dan alveolar. Hal ini juga
dapat menyebabkan diseksi udara ke septae interlobar dan saluran limfatik,
menghasilkan emfisema interstisial opasitas (pulmonary interstitial emphysema
[PIE]), yang memiliki gambaran berliku-liku, 1 - untuk 4-mm linier lusen yang
berukuran relatif seragam. Ini memancar keluar dari daerah hilus.Setelah
mendapat dukungan ventilasi selama berhari-hari, fibrosis interstisial terjadi
akibat dari efek kumulatif dari beban terapeutik pada parenkim paru. Fibrosis ini
sering disertai dengan nekrosis eksudatif dan gambaran sarang lebah dari paru-
paru pada radiografi dada. Kondisi ini disebut sebagai displasia bronkopulmonalis
(bronchopulmonary dysplasia [BPD]). Penampilan sarang lebah menunjukkan
14

kelompok alveolar yang mengalami distensi secara fokal pada paru-paru terluka
dan immatur.

Pada bayi dengan PMH biasanya mengalami hipoksia karena duktus


arteriosus mungkin masih tetap paten. Pada peringkat awal penyakit, shunting
adalah dari kanan ke kiri. Pada akhir minggu pertama, shunting menjadi kiri ke
kanan disebabkan tekanan arteri pulmonalis yang menurun karena peningkatan
komplians dari paru-paru sedang dalam fase penyembuhan. Edema paru
interstisial dapat berkembang. Karena itu, ketika pola granular dari penyakit
membran hialin berubah ke gambaran opak yang homogen, edema paru terjadi
akibat duktus arteriosus yang paten (patent ductus arteriosus [PDA]) atau awal
dari perubahan paru kronis harus dicurigai. Jika foto dada pada bayi prematur
menunjukkan opasitas retikulogranular, PMH boleh didiagnosa dengan keyakinan
sehingga 90%.

Ultrasonografi8
Opaksifikasi yang homogen pada paru-paru adalah karena konsolidasi
lobus inferior yang boleh dilihat pada ultrasonografi abdominal bagian atas. Selain
itu, ultrasonografi sangat berguna dalam mendiagnosa atau menyingkirkan efusi
pleura yang timbul bersamaan atau sebagai komplikasi.

Ekokardiografi2
Merupakan alat diagnostik yang berharga dalam evaluasi bayi dengan
hipoksemia
dan gangguan pernapasan. Hal ini digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis
PDA serta merekod respon terhadap terapi. Penyakit jantung kongenital yang
signifikan dapat disingkirkan dengan teknik ini juga.

2.7 DIAGNOSIS1,4,6
Diagnosis gangguan napas dapat ditegakkan secara klinis maupun dengan
analisa gas darah (blood gas analysis). Perhitungan indeks oksigenisasi akan
menggambarkan beratnya hipoksemia. Bila mengevaluasi bayi dengan gangguan
15

napas harus hati-hati atau waspada karena dapat terjadi bayi dengan gejala
pernapasan yang menonjol, tetapi tidak menderita gangguan napas (misalnya
asidosis metabolic, DKA = diabetic ketoasidosis) dan sebaliknya gangguan napas
berat dapat juga terjadi pada bayi tanpa gejala distress respirasi (hipoventilasi
sentral akibat intoksikasi obat atau infeksi). Penilaian yang hati-hati berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik yang lengkap dan pemeriksaan penunjang dapat
menjelaskan tentang diagnosis. Penilaian secara serial tentang kesadaran, gejala
respirasi, Analisis Gas Darah dan respons terhadap terapi merupakan kunci berarti
untuk menentukan perlunya intervensi selanjutnya.

1. Langkah awal untuk mencari penyebab:


a. Anamnesis yang teliti
b. Pemeriksaan fisik yang tepat
c. Menilai tingkat maturitas dengan Ballard atau Dubowitz (bila keadaan
bayi masih labil pemeriksaan ini ditunda dulu)

2. Pemeriksaan penunjang:
a. Pemeriksaan radiologik dada
b. Analisa gas darah
c. Septic work up dan mencari kemungkinan penyebab karena pneumonia:
minimal kultur darah dan jumlah sel.
d. Status metabolik: dilakukan pemeriksaan analisa gas darah, skrining kadar
glukosa darah.

Anamnesis
Anamnesis tentang riwayat keluarga, maternal, prenatal dan intrapartum sangat
diperlukan, antara lain tentang hal:
 Prematuritas, sindrom gangguan napas. sindrom aspirasi mekonium,
infeksi: pneumonia,dysplasia pulmoner, trauma persalinan sungsang,
kongesti nasal, depresi susunan saraf pusat, perdarahan susunan saraf
pusat, paralisi nervus frenikus, takikardia atau bradikardia pada janin,
16

depresi neonatal, tali pusat menumbung, bayi lebih bulan, demam atau
suhu yang tidak stabil (pada pneumonia).
 Gangguan SSP: tangis melngking, hipertoni, flasiditas, atonia, trauma,
miastenia.
 Kelainan congenital: arteri umbilikaslis tunggal, anomali congenital lain:
anomali kardiopulmonal, abdomen cekung pada hernia diafragmatika,
paralisis erb (paralisi nervus frenikus, atresia khoanae, kongesti nasal
obstruktif, meningkatnya diameter anterior posterior paru, hipoplasia paru,
trakeoesofageal fistula).
 Diabetes pada ibu, perdarahan antepartum pada persalinan kurang bulan,
partus lama, kulit ketuban pecah dini, oligohidramnion, penggunaan obat
berlebihan.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai gejala klinik gangguan napas seperti:
 Merintih atau grunting tetapi warna kulit masih kemerahan, merupakan
gejala menonjol.
 Sianosis
 Retraksi
 Tanda obstruksi saluran napas mulai dari hidung: atresia koana, ditandai
kesulitan memasukkan pipa nasogastrik melalui hidung.
 Air ketuban bercampur mekonium atau pewarnaan hijau-kekuningan pada
tali pusat.
 Abdomen mengempis (scaphoid abdomen).

Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Analisis gas darah (AGD):
 Dilakukan untuk untuk menentukan adanya gagal napas akut yang
ditandai dengan: PaCO2 > 50 mmHg, PaO2 < 60mmHg, atau saturasi
oksigen arterial < 90%.
17

 Dilakukan pada BBL yang memerlukan suplementasi oksigen lebih


dari 20 menit. darah arterial lebih dianjurkan.
 Diambil berdasarkan indikasi klinis dengan mengambil sampel darah
dari arteri umbilikalis atau pungsi arteri.
 Menggambarkan gambaran asidosis metabolic atau asidosi respiratorik
dan keadaan hipoksia.
 Asidosis respiratorik terjadi karena atelektasis alveolar dan/atau
overdistensi saluran napas bawah.
 Asidosis metabolik, biasanya diakibatkan asidosis laktat primer, yang
merupakan hasil dari perfusi jaringan yang buruk dan metabolisme
anaerobic.hipoksi terjadi akibat pirau dari kanan ke kiri melalui
pembuluh darah pulmonal, PDA dan/atau persisten foramen ovale.
 Pulse oxymeter digunakan sebagai cara non invasif untuk memantau
saturasi oksigen yang dipertahankan pada 90-95%.
b. Elektrolit:
 Kenaikan kadar serum bikarbonat mungkin karena kompensasi
metabolic untuk hiperkapnea kronik.
 Kadar glukosa darah untuk menentukan adanya keadaan hipoglikemia.
 Kelainan elektrolit ini dapat juga diakibatkan oleh karena kondisi
kelemahan tubuh; hipokalemia dan hipofosfatemia dapat
mengakibatkan gangguan kontraksi otot.
c. Pemeriksaan jumlah sel darah: polisitemia mungkin karena hipoksemia
kronik.

2. Pemeriksaan radiologik
 Pemeriksaan radiologi toraks pada bayi dengan PMH, menunjukkan
gambaran retikulogranular yang difus bilateral atau gambaran
bronkogram udara (air bronchogram) dan paru tidak berkembang.
 Gambaran air bronchogram yang menonjol menunjukkan bronkious
yang menutup latar belakang alveoli yang kolaps.
 Gambaran jantung yang samar mungkin normal atau membesar.
18

 Kardiomegali mungkin merupakan akibat asfiksia prenatal, maternal


diabetes, PDA, berhubungan dengan kelainan jantung bawaan atau
pengambangan paru yang buruk. Gambaran ini mungkin akan berubah
dengan pemberian terapi surfaktan secara dini atau terapi indometasin
dengan ventilator mekanik.
 Gambaran radiologik PMH ini kadang tidak dapat dibedakan secara nyata
dengan pneumonia.
 Pemeriksaan transiluminasi toraks dilakukan dengan cara memberi
iluminasi atau sinar yang terang menembus dinding dada untuk
mendeteksi adanya penumpukan abnormal misalnya pneumotoraks.
Pemeriksaan radiologik toraks ini berguna untuk membantu konfirmasi
ada tidaknya pneumotoraks dan gangguan parenkimal seperti pneumonia
atau PMH.
 Di samping itu pemeriksaan radiologi toraks juga berguna untuk:
 Evaluasi adanya kelainan yang memerlukan tindakan segera
misalnya: malposisi pipa endotrakeal, adanya pneumotoraks.
 Mengetahui adanya hal-hal yang berhubungan dengan gangguan atau
gagl napas seperti berikut:
 Penyakit fokal atau difus (misal: pneumonia, acute respiratory
distress syndrome (ARDS), hiperinflasi bilateral, pengambangan
paru asimetris. Efusi pleura, kardiomegali)
 Bila terjadi hipoksemia tetapi pemeriksaan foto toraks normal,
maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit jantung bawaaan
tipe sianotik, hipertensi pulmonal atau emboli paru.

Derajat Berat/ringan Temuan pada pemeriksan radiologik toraks


I Ringan Kadang normal atau gambaran granuler, homogen,
tidak ada air bronchogram
II Ringan-Sedang Seperti tersebut di atas ditambah gambaran air
bronchogram
III Sedang-Berat Seperti di atas ditambah batas jantung menjadi
19

tidak jelas
IV Berat “white lung” : paru putih menyeluruh
Tabel 2. Gambaran pemeriksaan radiologik toraks pada PMH menurut kriteria
Bomsel terdiri dari 4 stadium.

Gambar 5. Gambaran pemeriksaan radiologik toraks pada PMH menurut kriteria


Bomsel.

2.8 DIAGNOSIS BANDING8

2.6 Diagnosis Banding

Tabel 2. Perbedaan sindrom gawat nafas3


Penyakit Gejala Radiologi
Ateletaksis, air
Sianosis, apnea, pernafasan
HMD broncogram, infitrat
cuping hidung
granular
Transient Hiperekspansi perihiler
Takipnea segera setelah lahir,
Tachypnoea of the pulmonal, peningkatan
retraksi, merintih
Newborn (TTN) corakan vaskuler
20

pulmonal, infitrat sudut


costofrenikus tumpul
Takipnea, nafas cuping
Infitrat kasar bilateral,
Aspirasi Mekonium hidung, retraksi, sianosis,
hiperinflasi paru
mekonium stained skin

1. Transient Tachypnoea of the newborn (TTN)


Peningkatan kadar epinefrin pada fetus pada saat partus umumnya
mengurangi produksi cairan paru dan mengaktivasi channel natrium yang
menimbulkan terjadinya reabsorbsi. Gagalnya untuk membersihkan paru dari
cairan paru ini menyebabkan terjadinya TTN. Faktor risiko terjadi TTN termasuk
kelahiran preterm, kelahiran dengan sectio caesaria, dan bayi dengan jenis
kelamin laki-laki.
TTN juga dihubungkan dengan maternal asma. Pada gejala awal, TTN
sulit untuk dibedakan dengan penyakit membran hialin. Diagnosis TTN hanya
dapat ditegakkan dengan foto rontgen paru yaitu adanya opasitas paru yang
berbentuk “streaky”, ditemukannya cairan pada fisura transversalis, dan biasanya
disertai dengan kardiomegali. TTN terjadi pada 5 dari 1000 bayi cukup bulan.
Gejala TTN ialah adanya takipnea yang parah (frekuensi nafas >60x/menit) dan
terjadinya hiperinflasi, tetapi jarang disertai dengan grunting. TTN merupakan
diagnosis eksklusi, dimana diagnosis sindrom gawat nafas, sepsis dan gagal
jantung sudah disingkirkan.13

Gambar 6. Transient tachypnoea of the newborn dengan gambaran cairan


pada fisura transversalis dan hiperekspansi paru.
21

2. Meconium aspiration syndrome


Aspirasi mekonium jarang terjadi pada bayi kurang bulan. Sindrom
aspirasi mekonium terjadi apabila janin mengeluarkan mekonium ke dalam cairan
amnion ketika masih berada dalam kandungan, dan cairan amnion yang
terkontaminasi mekonium teraspirasi oleh bayi. Aspirasi mekonium menyebakan
obstruksi mekanis pada paru sehingga menyebabkan terperangkapnya udara dan
mengakibatkan atelektasis dan ketidakseimbangan perfusi-ventilasi. Secara klinis,
bayi tampak berwarna kuning kehijauan atau lebih dikenali sebagai meconium-
stained skin.
Penegakkan diagnosis aspirasi mekoneum dapat dilakukan dengan
kombinasi foto rontgen dengan gambaran bercak-bercak konsolidasi atau
atelektasis, infiltrat kasar di kedua lapangan paru, dan hiperinflasi karena
terperangkapnya udara.

Gambar 7. Foto thoraks sindrom aspirasi mekonium


3. Pneumotoraks
Kekurangan surfaktan yang relatif pada bayi yang lahir dengan usia gestasi
32-34 minggu menghasilkan paru-paru yang kurang compliance sehingga
meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks dan pneumomediastinum.
Pneumotoraks kecil umumnya dapat sembuh secara spontan. Selama ini, oksigen
100% digunakan sebagai penanganan pneumotoraks kecil, akan tetapi
efektivitasnya belum terbukti dan dengan risiko terjadinya toksisitas oksigen,
maka penanganan ini sudah tidak lagi dilakukan.
22

Penanganan yang sedang berkembang ialah penggunaan kateterisasi


pigtail yang dimasukan dengan teknik Seldinger. Keuntungan tindakan ini ialah
tindakannya yang cepat dan mudah, serta sedikitnya skar yang ditimbulkan
dibandingkan dengan traditional chest tubes.

Gambar 8. Pneumotoraks pada paru sisi kanan

Gambar 9. Penggunaan kateter pigtail13

2.9 KOMPLIKASI

Komplikasi akut dari penyakit membran hialin termasuk sebagai berikut:


 Ruptur alveolar
23

 Infeksi
 Perdarahan intrakranial dan leukomalasia periventrikular
 Patent ductus arteriosus (PDA) dengan meningkatnya pirau kiri-ke-kanan
 Perdarahan paru-paru
 Necrotizing enterocolitis (NEC) dan / atau perforasi gastrointestinal (GI)
 Apnea pada bayi prematur

Komplikasi kronis penyakit membran hialin meliputi:


 Bronchopulmonary dysplasia (BPD)
 Retinopati pada bayi prematur (RBP)
 Gangguan neurologis

Ruptur alveolar
Diduga terjadi kebocoran udara (misalnya, pneumomediastinum,
pneumopericardium, emfisema interstisial, pneumotoraks) ketika bayi dengan
penyakit membrane hialin tiba-tiba memburuk dengan hipotensi, apnea, atau
bradikardia atau ketika asidosis metabolik menjadi persisten.

Infeksi
Infeksi dapat mempersulit penatalaksanaan penyakit membrane hialin dan dapat
bermanifestasi dalam berbagai cara, termasuk kegagalan untuk memperbaiki,
pemburukan secara tiba-tiba, atau perubahan jumlah sel darah putih atau
trombositopenia. Juga, prosedur invasif (misalnya, venipuncture, insersi kateter,
penggunaan peralatan pernapasan) dan penggunaan steroid pasca kelahiran
memberi akses untuk organisme menyerang hos dengan kekebalan tubuh yang
sudah terkompromi.Dengan munculnya terapi surfaktan, bayi kecil dan sakit dapat
bertahan, dengan peningkatan insiden terjadi septikemia sekunder bagi
staphylococcal epidermidis dan / atau infeksi candida. Ketika septicaemia
dicurigai, dapatkan kultur darah dari 2 lokasi dan mulakan pemberian antibiotik
yang tepat sampai hasil kultur diperoleh.
24

Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular


Perdarahan intraventricular diamati pada 20-40% bayi prematur, dengan frekuensi
yang lebih besar pada bayi dengan penyakit membrane hialin yang membutuhkan
ventilasi mekanik. Ultrasonografi kranial dilakukan pada minggu pertama dan
selanjutnya seperti yang diindikasikan pada neonatus prematur yang lebih muda
dari usia kehamilan 32 minggu. Profilaksis terapi indometasin dan steroid
antenatal telah menurunkan frekuensi perdarahan intrakranial pada pasien dengan
PMH. Hypokarbia dan korioamnionitis dikaitkan dengan peningkatan
leukomalacia periventrikular.

Patent ductus arteriosus dengan meningkatnya pirau kiri-ke-kanan


Pirau ini dapat mempersulit perjalanan penyakit membrane hialin, terutama pada
bayi yang disapih cepat setelah terapi surfaktan. Bayi diduga mempunyai patent
ductus arteriosus (PDA) pada setiap bayi yang mengalami perburukan setelah
perbaikan awal atau mempunyai sekret trakeal yang berdarah. Meskipun
membantu dalam diagnosis PDA, murmur jantung dan tekanan nadi yang lebar
tidak selalu jelas pada bayi yang kritis. Ekokardiogram memungkinkan dokter
untuk mengkonfirmasikan diagnosis. Tatalaksana PDA dengan ibuprofen atau
indometasin, yang dapat diulang selama 2 minggu pertama jika PDA membuka
kembali. Dalam insiden penyakit membrane hialin yang refraktori atau pada bayi
yang memiliki kontraindikasi terapi medis, dilakukan operasi penutupan PDA.

Perdarahan paru
Kejadian perdarahan paru meningkat pada bayi prematur kecil, terutama setelah
terapi surfaktan. Tingkatkan tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) pada ventilator
dan berikan epinefrin intratrakeal untuk mengelola perdarahan paru. Pada
beberapa pasien, perdarahan paru mungkin terkait dengan PDA; perdarahan paru
pada individu tersebut harus segera mengobati.

Necrotizing enterocolitis dan / atau perforasi GI


Pada setiap bayi dengan temuan abdominal abnormal pada pemeriksaan fisik
dicurigai menderita NEC dan / atau perforasi gastrointestinal. Radiografi perut
25

membantu dalam mengkonfirmasikan adanya penyakit tersebut. Perforasi spontan


(tidak harus sebagai bagian dari NEC) kadang terjadi pada bayi prematur yang
sakit kritis dan telah dikaitkan dengan penggunaan steroid dan / atau indometasin.

Apnea prematuritas
Apnea prematuritas adalah umum pada bayi belum matang, dan insiden telah
meningkat dengan terapi surfaktan, mungkin karena ekstubasi dini. Tatalaksana
apnea prematuritas dengan metilxantin (kafein) dan / atau tekanan aliran udara
yang positif melalui nasal (CPAP) atau dengan ventilasi yang dibantu pada
insiden yang refraktori. Septikemia, kejang, refluks gastroesophageal, dan
penyebab metabolik dan lainnya harus disingkirkan pada bayi prematur dengan
apnea.

Bronkopulmonary displasia
BPD adalah penyakit paru-paru kronis yang didefinisikan sebagai kebutuhan
oksigen pada usia kehamilan 36 minggu yang sudah dikoreksi. BPD terkait
langsung dengan volume tinggi dan / atau tekanan yang digunakan untuk ventilasi
mekanis atau untuk mengelola infeksi, peradangan, dan kekurangan vitamin A.
Insiden BPD meningkat pada usia kehamilan yang semakin rendah. Penggunaan
terapi surfaktan postnatal, ventilasi yang tidak berlebihan, vitamin A, steroid dosis
rendah, dan inhalasi oksida nitrat dapat mengurangi keparahan BPD.

Retinopati pada bayi prematur (RBP)


Bayi dengan penyakit membran hialin yang memiliki nilai tekanan parsial oksigen
(PaO2) lebih dari 100mm Hg mempunyai resiko tinggi untuk menderita RBP.
Oleh karena itu, harus dipantau ketat PaO2 dan dijaga agar nilai PaO2 tetap pada
50-70mm Hg. Meskipun oksimetri nadi digunakan pada semua bayi prematur, ia
tidak membantu dalam mencegah RBP.

Gangguan neurologis
Gangguan neurologis terjadi pada sekitar 10-70% dari bayi dan berhubungan
dengan usia kehamilan bayi, tingkat dan jenis patologi intrakranial, dan apa
26

adanya hipoksia dan infeksi. Cacat pendengaran dan penglihatan dapat


menganggu perkembangan pada bayi yang menderita penyakit tersebut. Pasien
dapat mengembangkan ketidakmampuan belajar yang spesifik dan perilaku yang
menyimpang. Oleh karena itu, bayi ini harus ditindaklanjuti secara berkala untuk
mendeteksi bayi yang mempunyai gangguan neurologis, dan dapat dilakukan
intervensi yang tepat.

2.10 TATA LAKSANA2,5

Pencegahan
1. Kortikosteroid antenatal. National Institutes of Health Consensus
Development Conference pada tahun 1994 tentang efek kortikosteroid untuk
pematangan janin pada hasil perinatal menyimpulkan bahwa kortikosteroid
antenatal mengurangi risiko kematian, PMH, dan intraventricular hemorrhage
(IVH). Penggunaan betametason antenatal untuk meningkatkan kematangan
paru janin sekarang telah dilaksanakan dan umumnya dianggap sebagai
standar perawatan. Regimen glukokortikoid yang direkomendasikan terdiri
dari pemberian dua dosis betametason 12 mg yang diberikan intramuskuler 24
jam secara terpisah kepada ibu. Deksametason tidak lagi dianjurkan karena
peningkatan risiko leukomalacia periventrikular kistik pada bayi yang sangat
prematur yang mengalami efek obat sebelum lahir (Baud et al, 1999).

2. Beberapa tindakan pencegahan dapat meningkatkan kelangsungan hidup bayi


beresiko untuk PMH dan termasuk ultrasonografi antenatal untuk penilaian
lebih akurat usia kehamilan dan kesejahteraan janin, pemantauan janin secara
berterusan untuk mendokumen kesejahteraan janin selama persalinan atau
tanda-tanda perlunya intervensi saat gawat janin ditemukan, agen tokolitik
yang mencegah dan mengobati persalinan prematur, dan penilaian kematangan
paru janin sebelum persalinan (rasio lesitin-sphingomyelin [LS] dan
phosphatidylglycerol) untuk mencegah prematuritas iatrogenik.

Terapi Pengganti Surfaktan


27

Terapi pengganti surfaktan sekarang dianggap sebagai standar perawatan


pada pengobatan bayi diintubasi dengan PMH. Sejak akhir 1980-an, lebih dari 30
percobaan klinis telah dilakukan secara acak yang melibatkan >6000 bayi telah
dilakukan. Tinjauan sistematis terhadap uji coba ini (Soll & Andruscavage, 1999)
menunjukkan surfaktan ini, apakah digunakan secara profilaksis dalam ruang
persalinan untuk mencegah PMH atau dalam pengobatan penyakit yang telah
terjadi, menyebabkan penurunan yang signifikan dalam risiko pneumotoraks dan
risiko kematian. Manfaat ini diamati baik di uji coba surfaktan ekstrak alami atau
surfaktan sintetik. Surfaktan pengganti, meskipun terbukti segera efektif dalam
mengurangi keparahan PMH, tiada bukti jelas ia dapat menurunkan kebutuhan
oksigen jangka panjang atau perkembangan perubahan kronis paru-paru.

Saat ini, penelitian tindak lanjut jangka panjang tidak menunjukkan


perbedaan yang signifikan antara pasien yang diobati surfaktan dan kelompok
kontrol yang tidak diobati sehubungan dengan PDA, IVH, RBP, NEC, dan BPD.
Ada bukti menunjukkan bahwa lamanya penggunaan ventilasi mekanik dan
ventilator total telah berkurang dengan penggunaan surfaktan pada semua tingkat
usia kehamilan, walaupun dengan peningkatan bayi berat badan lahir sangat
rendah. Sebuah kejatuhan dramatis pada kematian akibat PMH dimulai pada tahun
1991. Ini mungkin mencerminkan pengenalan terapi surfaktan pengganti di
negara-negara tentang. Dalam tindak lanjut studi jangka panjang, tidak ada efek
samping disebabkan terapi surfaktan telah diidentifikasi.

Dukungan Pernapasan
1. Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik adalah terapi andalan untuk bayi
dengan PMH yang mengalami antaranya apnea atau hipoksemia dengan
asidosis respiratorik yang berkembang. Ventilasi mekanis biasanya dimulai
dengan kadar 30-60 napas/menit dan rasio inspirasi-ekspirasi 1:2. Sebuah PIP
awal 18-30 cm H2O digunakan, tergantung pada ukuran bayi dan keparahan
penyakit. Sebuah PEEP dengan 4-5 cm H2O menunjukkan hasil oksigenasi
yang meningkat, mungkin karena membantu dalam pemeliharaan dari FRC
yang efektif. Tekanan terendah yang memungkinkan dan konsentrasi oksigen
28

inspirasi diselenggarakan dalam upaya untuk meminimalkan kerusakan pada


jaringan parenkim. Ventilator dengan kapasitas untuk menyinkronkan upaya
pernafasan dapat mengurangi barotrauma. Penggunaan awal HFOV telah
menjadi semakin populer dan merupakan modus ventilator yang sering
digunakan untuk bayi berat badan lahir rendah (Gerstmann et al, 1996; Plavka
et al, 1999).

2. CPAP dan nasal synchronized intermittent mandatory ventilation (SIMV).


Nasal CPAP (NCPAP) atau nasopharyngeal CPAP (NPCPAP) dapat
digunakan dini untuk menunda atau mencegah kebutuhan untuk intubasi
endotrakeal. Untuk meminimalkan cedera paru-paru berhubungan dengan
intubasi dan ventilasi mekanis, telah ada minat baru dalam menggunakan
CPAP sebagai strategi pengobatan awal untuk mengobati PMH bahkan pada
bayi berat badan lahir sangat rendah. Di beberapa pusat, praktik ini telah telah
digunakan dengan sukses dan menghasilkan penurunan insiden BPD (Aly,
2001; De Klerk & De Klerk, 2001; Van Marter et al, 2000). Selain itu,
pengobatan dini dengan surfaktan, yang dikelola selama periode singkat
intubasi diikuti oleh ekstubasi dan penerapan NCPAP semakin sedang
digunakan di Eropa. Pendekatan ini telah digunakan pada bayi prematur usia
kehamilan <30 minggu kehamilan dan secara signifikan mengurangi
kebutuhan ventilasi mekanik selanjutnya (Kamper, 1999; Verder et al, 1999).
NCPAP dan NPCPAP dapat digunakan pada ekstubasi dan dapat mengurangi
kemungkinan diintubasi lagi.

Dukungan cairan dan nutrisi


Pada bayi yang sangat sakit, sekarang memungkinkan untuk mempertahankan
dukungan gizi dengan nutrisi parenteral untuk periode yang diperpanjang.
Kebutuhan spesifik prematur dan bayi cukup bulan telah dipahami dengan baik,
dan persiapan nutrisi yang tersedia mencerminkan pemahaman ini.

Terapi antibiotik
29

Antibiotik yang mencakup infeksi neonatal yang paling sering biasanya


dimulai secara awal. Dosis interval aminoglikosida ditingkatkan untuk bayi
prematur.

Sedasi
Sedasi umumnya digunakan untuk mengontrol ventilasi pada bayi yang sakit.
Fenobarbital sering digunakan untuk menurunkan tingkat aktivitas bayi. Morfin,
fentanil, atau lorazepam dapat digunakan untuk analgesik serta obat penenang.
Kelumpuhan otot dengan pankuronium untuk bayi dengan PMH tetap menjadi
kontroversial. Sedasi mungkin diindikasikan untuk bayi yang "melawan"
ventilator dan menghembuskan napas selama inspirasi siklus ventilasi mekanis.
Pola pernapasan dapat meningkat kemungkinan karena komplikasi seperti
kebocoran udara dan seharus dihindari. Sedasi bayi dengan fluktuasi kecepatan
aliran darah otak secara teoritis menurunkn resiko IVH.

2.11 PROGNOSIS 1,2,4


Persediaan awal mulai dari pengamatan intensif dan perawatan bayi baru
lahir yang berisiko tinggi secara signifikan dapat mengurangi morbiditas dan
mortalitas yang terkait dengan PMH dan penyakit neonatal akut yang lain. Steroid
antenatal, penggunaan surfaktan postnatal, peningkatan modus ventilasi, dan
perawatan sesuai perkembangan penyakit telah menurunkan mortalitas dari PMH
(≈ 10%). Hasil yang optimal tergantung pada ketersediaan personil yang
berpengalaman dan terampil, unit rumah sakit daerah khusus dirancang dan
diselenggarakan, peralatan yang tepat, dan kurangnya komplikasi seperti asfiksia
berat, perdarahan intrakranial, atau malformasi kongenital.

Terapi surfaktan telah mengurangi angka kematian dari PMH sekitar 40%;
kejadian BPD yang mempengaruhi belum terukur. Prognosis untuk bertahan
hidup dengan atau tanpa gejala sisa neurologis pernapasan dan sangat tergantung
pada berat badan lahir dan usia kehamilan. Kematian meningkat dengan
menurunnya usia kehamilan. Meskipun 85-90% dari semua bayi dengan PMH
yang masih hidup setelah membutuhkan dukungan ventilasi dengan respirator
30

adalah normal, prognosis jauh lebih baik bagi mereka dengan berat lebih dari
1.500 g. Prognosis jangka panjang untuk fungsi paru yang normal pada bayi yang
masih hidup dengan PMH sangat baik. Korban kegagalan pernafasan neonatal
yang parah mungkin memiliki gangguan paru-paru dan perkembangan saraf yang
signifikan. Morbiditas utama (BPD, NEC, dan IVH berat) dan pertumbuhan
postnatal yang kurang tetap tinggi untuk bayi yang terkecil.

Bayi dengan PMH, 80 sampai 90% bertahan hidup, dan sebagian besar
korban memiliki paru-paru normal pada usia 1 bulan. Beberapa terjadi gangguan
pernapasan yang menetap, bagaimanapun mungkin memerlukan konsentrasi
oksigen inspirasi tinggi selama berminggu-minggu. Mereka dengan perjalanan
penyakit yang berkepanjangan memiliki insiden tinggi untuk memiliki penyakit
pernafasan dengan mengi pada tahun-tahun pertama kehidupan. Meskipun
sebagian bayi fungsi paru-paru menjadi normal, mereka cenderung mengalami
laju aliran ekspirasi yang berkurang dan di masa kanak-kanak akhir sering
memiliki bronkospasme yang diinduksi aktifitas atau metakolin.
31

BAB III
KESIMPULAN

HMD atau respiratory distress syndrome (RDS) adalah gangguan respirasi yang
ditemukan pada bayi prematur akibat kurangnya surfaktan sehingga
mengakibatkan kolapsnya alveoli. HMD merupakan penyebab kematian utama
pada bayi premature, di Amerika Serikat sekitar 12% bayi lahir prematur, sekitar
10% bayi prematur menderita HMD setiap tahunnya. Insiden meningkat pada
negara berkembang. Insiden HMD tertinggi terjadi pada bayi prematur, ras
caucasian, laki-laki, riwayat saudara sebelumnya yang menderita RDS, lahir
melalui sectio secaria, asfiksia dan ibu diabetes melitus. Berdasarkan penelitian di
Rumah sakit Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2001, dari 41 bayi yang lahir
preterm, 14 bayi mengalami sindrom gawat nafas, dan 7 bayi didiagnosa HMD.
Semuanya lahir dari kehamilan kecil dari 32 minggu. Hal itu menunjukan
prevalensi HMD pada bayi preterm sebesar 17%.
Faktor Predisposisi dari HMD diantaranya: prematuritas, jenis kelamin,
ras, sectio secaria, APGAR skor, ibu dengan diabetes mellitus, hipotiroid. Bayi
dengan HMD biasanya disertai dengan riwayat asfiksia pada waktu lahir atau
tanda gawat bayi pada akhir kehamilan. Tanda gangguan pernafasan mulai tampak
6 - 8 jam pertama setelah kelahiran dan gejala yang karakteristik mulai terlihat
pada umur 24 - 72 jam. Bila keadaan membaik, gejala akan menghilang pada
akhir minggu pertama. Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh
atelektasis dan perfusi paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan
gambaran klinis seperti dispnu atau hiperpnu, sianosis karena saturasi O 2 yang
menurun, retraksi suprasternal, retraksi interkostal dan ‘expiratory grunting’.
Selain tanda gangguan pernafasan, ditemukan gejala lain misalnya bradikardia
(sering ditemukan pada penderita PMH berat), hipotensi, kardiomegali, ‘pitting
edema’ terutama di daerah dorsal tangan atau kaki, hipotermia, tonus otot yang
menurun, gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi. Scoring system yang
sering digunakan pada bayi preterm dengan HMD adalah Silverman - Anderson
score atau downes score.
32

Pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk mendiagnosis HMD ini


adalah: pemeriksaan radiologi, pemeriksaan biokimia (rasio lesitin dan
sfingomielin), shake test, fungsi respirasi dan fungsi kardiovaskuler. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
yang telah dijelaskan sebelumnya.
Prinsip tatalaksana dari HMD meliputi perawatan antenatal, pemberian
kortikosteroid pada ibu hamil yang berisiko melahirkan bayi prematur, stabilisasi
kamar bersalin, penatalaksanaan umum (lingkungan yang optimal, cairan dan
nutrisi, oksigen), ventilator (non-invasif, invasif), serta pemberian terapi surfactan.
33

DAFTAR PUSTAKA

1. Monintja, H.E, Rulina Suradi, Asril Aminullah. Sindrom Gawat Nafas


Pada Neonatus, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IKA XXIII, FKUI,
Jakarta, 1991, hal. 1-7. 55. 65-66.
2. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, Bagian I, Edisi 12, Alih Bahasa : Siregar,
M.R, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1988, hal. 591-599.
3. Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1991, hal. 303-306.
4. Schraufnagel D E Breathing in America: Diseases, Progress, and Hope.
American Thoracic Society. 2010. Chapter 19, 197-205.
5. Smith J H. Neonatal Respiratory Care Handbook. Jones and Bartlett
Publishers. 2009. Chapter 2, 37-52
6. Gommela. T.L, Cunningham.M.D, Eyal. F.G, Neonatology management,
procedur, on-call problems, disease, and drugs.Edisi 6. Lange. chapter 89
: Hyalin membran disease. 2004. 477-481.
7. Dzulfikar DLH, Ali Usman, Melinda D Nataprawira and ArisPrimaldi.
The prevalence of hyaline membrane disease and the value of shake test
and lamellar body concentration in preterm infants. Paediatrica
Indonesiana. 2003. Volume 43 No. 5-6:77-81
8. Rennie. J, Roberton. N, Textbook of neonatology. Edisi 3.Part 2: Acute
Respiratory Disease In The Newborn. UK. 1999. hal. 481-514
9. Numan Nafie Hameed ,Muhi K. Al-Janabi, Yasser Ibrahim AL-
Reda.Respiratory distress in full term newborns.The Iraqi Postgraduate
medical journal. Vol.6, No. 3, 2007
10. A.L.Baert, M. Knauth, K.Sarter.Radiological imaging of the neonatal
chest. 2007. Chapter 4: Hyalin membran disease and complication of its
treatment. 67-79.
11. Christian P. Speer. Neonatal Respiratory Distress Syndrome: An
Inflammatory Disease. Neonatology 2011;99;316-319
34

12. Zimmerman L. J.I, Janssen D.J.M.T, Tibboel D.,Hamvas A., Carnielli V.P.
Surfactant metabolism in the neonate. 2005. Biology of the neonate
2005;87:296-307
13. Latief Abdul, Napitupulu Partogi, Pudjiadi Antonius, Ghazali Vinci
Muhammad, Putra Tulus Sukman. Penyakit membran hialin. Buku Ilmu
Kesehatan Anak jilid 3 FKUI. 1083-1087
14. Sandra Lee Gardner , Brian S. Carter , Mary I Enzman-Hines RN PhD
AHN-BC , Jacinto A. Hernandez . Merenstein & Gardner's Handbook of
Neonatal Intensive Care. The Regents of the University of California.
2004. 79-80.

15. Surg Cdr SS Mathai, Col. U Raju, Col M. Kanitkar. Management of


respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63 : 269-272

16. Arun K Pramanik, MD, MBBS; Chief Editor: Ted Rosenkrantz. Repiratory distress
syndrome. Di tinjau tanggal 25 Juli 2013. Dapat di tinjau di :
http://emedicine.medscape.com/article/976034-overview

17. Miall.L, Waillis. S, The management of respiratory distress in the


moderately preterm newborn infant. 2011. Neonatal intensive care unit,
Leeds teaching hospital NHS trust, Leeds, UK. Publis
18. Nur. A, Risa Etika, Sylviati M. Damanik, Fatimah Indarso, Agus Harianto.
Pemberian surfaktan pada bayi prematur dengan respiratory distress
syndrome, SMF Ilmu Kesehatan Anak FK.UNAIR/RSUD Dr. Soetomo.
2006

19. Pudjiadi antonius. Hegar badriul. Handriastuti S. Idris Salamia.


Gandaputra E. Harmoniati E. “penyakit membran hyalin”, buku pedoman
pelayanan medis IDAI jilid 1.238-242.

20. Sweet DG, Cernielli V, Greisen G, Hallman M, Ozek E, Plavka R, et al.


European Consensus Guidelines on the Management of Neonatal
Respiratory Distress Syndrome in Preterm Infants-2010 Updates.
Neonatalogy 2010, 97:402-417
35

21. Liu J, Shi Y, Dong J, Zheng T, Li J, Lu L, Liu J, Liang J, Zhang H and


Feng Z. Clinical characteristics, diagnosis and management of respiratory
distress syndrome in full-term neonates. Chin Med J 2010;123(19):2640-
2644
22. William Benitz. Mechanical Ventilation.2004. Part 3-B-Respiratory 127-
135
23. Steven M Donn and Sunil K Sinha. Respiratory Care : Invasive and
Noninvasive Neonatal Mechanical Ventilation. 2003. Volume 48 Chapter
4, 426-441

24. Cartwright.D, Beaumont.T. Management of neonatal respiratory distress


incorporating the administration of continuous positive airway pressure
(CPAP).Queensland Maternity and Neonatal Clinical
Guidelines.September 2009
25. Atul Kr Gupta. The child and the newborn.Neonatolgy: Surfactant
replacement therapy Vol.16, No.1 & 2, January - June 2012.17-20

Anda mungkin juga menyukai