Anda di halaman 1dari 26

VERTIGO (Benign parosysmal positional vertigo)

Gol Penyakit SKDI : 4A


ALIVIA RIZKY NURIYANTO
0907101010003

1.1 Pengertian
Vertigo adalah perasaan seolah-olah penderita bergerak atau berputar, atau seolah-olah benda di
sekitar penderita bergerak atau berputar, yang biasanya disertai dengan mual dan kehilangan
keseimbangan. Vertigo bisa berlangsung hanya beberapa saat atau bisa berlanjut sampai beberapa jam
bahkan hari. Penderita kadang merasa lebih baik jika berbaring diam, tetapi vertigo bisa terus berlanjut
meskipun penderita tidak bergerak sama sekali (Israr, 2008)
1.2 Insidensi

Prevalensi angka kejadian vertigo perifer (BPPV) di Amerika serikat adalah 64 dari 100.000
orang dengan kecenderungan terjadi pada wanita (64%). BPPV diperkirakan sering terjadi pada usia rata-
rata 51-57,2 tahun dan jarang terjadi pada usia di bawah 35 tahun tanpa riwayat trauma kepala. Penyebab
vertigo dilaporkan dalam persentase berikut : idiopatik (49%), trauma (18%), labirinitis viral (15%), lain-
lain (sindrom Memierre (2%), paska operasi telinga (2%), paska operasi non telinga (2%), ototoksisitas
(2%), otitis sifilitika (1%)) (Dewanto et al, 2009).

1.3 Klasifikasi

Berdasarkan normalitas dibagi menjadi 2 jenis yaitu:

1. Vertigo fisiologi : Keadaan ini terjadi apabila (1) otak menghadapi ketidakseimbangan di antara
sistem sensorik, (2) sistem vestibuler dihadapkan pada kepala yang tidak lazim dan tidak pernah
diadaptasi sebelumnya seperti ketika seseorang mengalami mabuk laut, atau (3) posisi kepala atau
leher yang tidak lazim dalam intensitas tertentu seperti ekstensi berlebihan ketika seseorang
mengecat langit-langit rumah.
2. Vertigo patologi : Keadaan yang terjadi akibat lesi pada sistem visual, somatosensorik ataupun
vestibuler. Vertigo visual disebabkan oleh pemandangan yang baru atau tidak tepat atau karena
timbulnya paresis otot ekstraokuler yang tiba-tiba diplobia pada keadaan lain sistem saraf pusat
mengkompensasi dengan menetralkan vertigo secara cepat. Vertigo somatosensoris biasanya
disebabkan oleh neuropati perifer yang menurukan masukan sensoris yang perlu untuk
kompensasi sentral bila terjadi disfungsi sistem vestibuler atau visual (Isselbacher et al., 1999).
Berdasarkan letak disfungsi, dibedakan menjadi 2 jenis yaitu :

Tanda atau gejala Vertigo Perifer Vertigo Sentral


Arah nistagmus yang menyertai Satu arah, fase cepat, berlawanan Dua arah atau satu arah
arah dengan lesi
Gerakan nistagmus horizontal Tidak lazim terjadi Lazim terjadi
tanpa komponen torsional
Gerakan nitagmus vertikal atau Tidak pernah ada Mungkin ada
murni torsional
Fiksasi Visual menimbulkan Menghambat nistagmus dan Tidak ada hambatan
vertigo
Intensitas vertigo Mencolok Sering ringan
Lama terjadinya gejala Pasti (dalam waktu beberapa Mungkin kronik
menit, hari, minggu) tetapi
kekambuhan
Tinitus Sering ada Biasanya tidak ada
Abnormalitas sentral yang Tidak ada Sangat sering
menyertai
Penyebab yang sering Infeksi (labirinitis), sindroma Vaskuler, demielinisasi,
meniere, neuronitis, iskemia, neoplasma
trauma, toksin
(Isselbacher et al., 1999)

1.4 Gambaran Klinis

A. Vertigo Perifer :

1. Pandangan gelap Penglihatan ganda


2. Rasa lelah dan stamina menurun Sukar menelan
3. Jantung berdebar Kelumpuhan otot-otot wajah
4. Hilang keseimbangan Sakit kepala yang parah
5. Tidak mampu berkonsentrasi Kesadaran terganggu
6. Perasaan seperti mabuk Tidak mampu berkata-kata
7. Otot terasa sakit Hilangnya koordinasi
8. Mual dan muntah-muntah Mual dan muntah-muntah
9. Memori dan daya pikir menurun Tubuh terasa lemah
1. 10 Sensitif pada cahaya terang dan Suara
10. Berkeringat

B. Vertigo Sentral
1. Penglihatan ganda
2. Kelumpuhan otot wajah
3. Kesadaran terganggu
4. Skit kepala parah
5. Tidak mampu berkata-kata
6. Hilangnya koordinasi
7. Mual dan muntah-muntah
8. Tubuh merasa lemah (Israr, 2008)
1.5 Patofisiologi

Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh yang
mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh
susunan saraf pusat.
Ada beberapa teori yang dibahas oleh Wreksoatmojo (2004) untuk menerangkan kejadian tersebut :
1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan hiperemi kanalis
semisirkularis sehingga fungsinya terganggu; akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan
muntah.
2. Teori konflik sensorik
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari berbagai reseptor
sensorik perifer yaitu antara mata/visus, vestibulum dan proprioseptik, atau ketidak-seimbangan/asimetri
masukan sensorik dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan sensorik
di sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau
sulit berjalan (gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (yang berasal dari sensasi
kortikal).
Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan gangguan proses pengolahan
sentral sebagai penyebab.
3. Teori neural missmatch
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik; menurut teori ini otak mempunyai
memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu; sehingga jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang
aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom.
Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga
berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.
4. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebaga usaha adaptasi
gerakan/perubahan posisi; gejala klinis timbul jika sistim simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika
sistim parasimpatis mulai berperan.
5. Teori neurohumoral
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan terori serotonin (Lucat) yang
masing-masing menekankan peranan neurotransmiter tertentu dalam mem pengaruhi sistim saraf otonom
yang menyebabkan timbulnya gejala vertigo.
6. Teori sinaps
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan neurotransmisi dan
perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses adaptasi, belajar dan daya ingat.
Rangsang gerakan menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor);
peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya
mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik.
Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal
serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan
hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.

1.6 Penegakan Diagnosis


Anamnesis
1. Apakah terdapat perubahan sikap?
2. Apakah terdapat kondisi lain selain perubahan posisi yang dapat membuat vertigo bertambah
berat?
3. Apakah terdapat disorientasi?
4. Apakah gangguan penglihatan hanya terjadi saat bergerak?
5. Apa pencetusnya?
6. Bagaimana frekuensi dan intensitas lama terjadinya?
7. Apakah terdapat tanda-tanda defisit neurologi seperti penglihatan ganda, gangguan menelan dan
kelemahan motorik? (Dewanto et al., 2009)
Pemeriksaan Fisik
Menurut Dewanto et al. (2009) terbagi menjadi :
1. Nistagmus
2. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilakukan dengan perhatian khusus pada:
Fungsi vestibuler/serebeler
a. Uji Romberg: penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan kedua mata terbuka
kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik. Harus dipastikan bahwa penderita
tidak dapat menentukan posisinya (misalnya dengan bantuan titik cahaya atau suara tertentu). Pada
kelainan vestibuler hanya pada mata tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah
kemudian kembali lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap tegak. Sedangkan pada kelainan
serebeler badan penderita akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun pada mata tertutup.
b. Tandem Gait: penderita berjalan lurus dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan pada ujung jari kaki
kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan vestibuler perjalanannya akan menyimpang, dan pada kelainan
serebeler penderita akan cenderung jatuh.
c. Uji Unterberger.
Berdiri dengan kedua lengan lurus horisontal ke depan dan jalan di tempat dengan mengangkat lutut
setinggi mungkin selama satu menit. Pada kelainan vestibuler posisi penderita akan menyimpang/berputar
ke arah lesi dengan gerakan seperti orang melempar cakram; kepala dan badan berputar ke arah lesi,
kedua lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik. Keadaan ini
disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi.
d. Past-pointing test (Uji Tunjuk Barany)
Dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus ke depan, penderita disuruh mengangkat
lengannya ke atas, kemudian diturunkan sampai menyentuh telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan
berulang-ulang dengan mata terbuka dan tertutup. Pada kelainan vestibuler akan terlihat penyimpangan
lengan penderita ke arah lesi.
e. Uji Babinsky-Weil
Pasien dengan mata tertutup berulang kali berjalan lima langkah ke depan dan lima langkah ke belakang
seama setengah menit; jika ada gangguan vestibuler unilateral, pasien akan berjalan dengan arah
berbentuk bintang.
f. Pemeriksaan Khusus Oto-Neurologis
1. Fungsi Vestibuler
a. Uji Dix Hallpike
Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaring-kan ke belakang dengan cepat, sehingga
kepalanya meng-gantung 45º di bawah garis horisontal, kemudian kepalanya dimiringkan 45º ke kanan
lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul dan hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan
apakah lesinya perifer atau sentral.
Perifer (benign positional vertigo): vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten 2-10 detik,
hilang dalam waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang atau menghilang bila tes diulang-ulang beberapa
kali (fatigue).
Sentral: tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo ber-langsung lebih dari 1 menit, bila diulang-ulang
reaksi tetap seperti semula (non-fatigue).
b. Tes Kalori
Penderita berbaring dengan kepala fleksi 30º, sehingga kanalis semisirkularis lateralis dalam posisi
vertikal. Kedua telinga diirigasi bergantian dengan air dingin (30ºC) dan air hangat (44ºC) masing-masing
selama 40 detik dan jarak setiap irigasi 5 menit. Nistagmus yang timbul dihitung lamanya sejak
permulaan irigasi sampai hilangnya nistagmus tersebut (normal 90-150 detik).
Dengan tes ini dapat ditentukan adanya canal paresis atau directional preponderance ke kiri atau ke
kanan.Canal paresis ialah jika abnormalitas ditemukan di satu telinga, baik setelah rangsang air hangat
maupun air dingin, sedangkan directional preponderance ialah jika abnormalitas ditemukan pada arah
nistagmus yang sama di masing-masing telinga.
Canal paresis menunjukkan lesi perifer di labirin atau n. VIII, sedangkan directional
preponderance menunjukkan lesi sentral.

c. Elektronistagmogram
Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit, dengan tujuan untuk merekam gerakan mata
pada nistagmus, dengan demikian nistagmus tersebut dapat dianalisis secara kuantitatif.
2. Fungsi Pendengaran
a. Tes garpu tala
Tes ini digunakan untuk membedakan tuli konduktif dan tuli perseptif, dengan tes-tes Rinne,
Weber dan Schwabach. Pada tuli konduktif tes Rinne negatif, Weber lateralisasi ke sisi yang tuli, dan
Schwabach memendek.
b. Audiometri
Ada beberapa macam pemeriksaan audiometri seperti Loudness Balance Test, SISI, Bekesy
Audiometry, Tone Decay. Pemeriksaan saraf-saraf otak lain meliputi: acies visus, kampus visus,
okulomotor, sensorik wajah, otot wajah, pendengaran, dan fungsi menelan. Juga fungsi motorik
(kelumpuhan ekstremitas), fungsi sensorik (hipestesi, parestesi) dan serebeler (tremor, gangguan cara
berjalan).

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan urin dan pemeriksaan lain sesuai indikasi.
Pemeriksaan dapat berupa pemeriksaan hitung darah lengkap, analisis elektrolit termasuk kadar
glukosa, nitrogen urea darah dan kreatinin
2. Foto Rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma akustik).
3. Neurofisiologi: Elektroensefalografi (EEG), Elektromiografi (EMG), Brainstem Auditory Evoked
Pontential (BAEP).
4. Pencitraan: CT Scan, Arteriografi, Magnetic Resonance Imaging (MRI) (Schwartz, 2005).
1.7 Diagnosis
Sebelum memulai pengobatan, harus ditentukan sifat dan penyebab dari vertigo. Gerakan mata
yang abnormal menunjukkan adanya kelainan fungsi telingan bagian dalam atau saraf yang
menghubungkannya dengan otak. Nistagmus adalah gerakan mata yang cepat dari kiri ke kanan atau dari
atas ke bawah. Arah dari gerakan tersebut bisa membantu dalam menegakkan diagnosa. Nistagmus bisa
dirangsang dengan menggerakkan kepala penderita secara tiba-tiba atau meneteskan air dingin ke dalam
telinga. Untuk menguji keseimbangan, penderita diminta berdiri dan kemudian berjalan dalam satu garis
lurus, awalnya dengan mata terbuka, kemudian dengan mata tertutup. Tes pendengaran seringkali bisa
menentukan adanya kelainan telinga yang mempengaruhi keseimbangan dan pendengaran. Pemeriksaan
lainnya adalah CT scan atau MRI kepala, yang bisa menunjukkan kelainan tulang atau tumor yang
menekan saraf. Jika di duga suatu infeksi, bisa diambil contoh cairan dari telinga atau sinus atau dari
tulang belakang. Jika di duga terdapat penurunan aliran darah ke otak, maka dilakukan pemeriksaan
angiogram, untuk melihat adanya sumbatan pada pembuluh darah yang menuju ke otak.
1.8 Diagnosis Banding
1. Pusing, gamang
2. Disekuilibrium
3. Anemia
4. Hipotensi Ortostatik
5. Sindroma Hiperventilasi (Pediatrik)
6. Sinkop (Dewanto et al., 2009).

Penanganan

Penanganan vertigo akut terdiri atas tirah baring dan penggunaan obat supresan vestibuler seperti
antibistamin (meklizin, dimenhidrinat, prometazin), preparat antikolinergik yang bekerja sentral
(skolopolamin) atau tranquilizer dengan efek GABA-ergik (diazepam). Jika vertigo bertahan lebih
beberapa hari, sebagian besar pakar mengajurkan ambulasi dalam upaya untuk menimbulkan mekanisme
kompensasi sentral kendati pasien mungkin mengalami frustasi jangka pendek. Vertigo kronik yang
etiologinya terletak pada labirin dapat ditangani dengn progam latihan yang sistematis untuk
mempercepat terjadinya kompensasi (Isselbacher et al., 1999)
Tindakan profilaksis untuk mencegah vertigo rekuren tidak selalu efektif. Yang biasa digunakan
adalah antihistamin. Penyakit Menierre memberikan respon terhadap diet rendah garam (1 gr/hari).
Contoh: pada BPPV yang menetap (4-6 minggu) memberikan respon yang baik terhadap program latihan
spesifik. Ada juga beberapa vertigo kronik ataupun rekuren yang dapat diatasi dengan tindakan
pembedahan yang berdasarkan indikasi tertentu (Isselbacher et al., 1999). Pemasangan pirau melalui
pembedahan untuk mengalirkan endolimfe yang berlebihan (Corwin, 2005).
Gejala vertigo dapat berkurang apabila pasien berbaring atau duduk dengan tenang dan tidak
melakukn gerakan mendadak. Apabila didapatkan gejala mual maka dapat dipergunakan anti piretik. Obat
vestibulotoksik, termasuk pemberian sistemik streptomisin atau pemberian intratimpani streptomisin dan
gentamisin dapat diberikan pada kasus yang berat (Corwin, 2005).

Komplikasi

1. Vertigo pada penyakit labirintis yang sebelumnya terdapat infeksi saluran napas ataupun infeksi
telinga tengah dapat berkembang menjadi Labirinitis kronik (Isselbacher et al, 1999)
2. Vertigo pada Penyakit Menierre dapat menyebabkan tuli saraf unilateral (Corwin, 2009)
3. Vertigo pada tumor serebelopontin dapat menyebabkan perburukan keadaan bila tidak segera
diatasi (Schwartz, 2005)

Prognosis

Sebagian besar kasus vertigo bertahan beberapa jam sampai beberapa hari. Gejala yang
disebabkan oleh labirinitis akut sembuh hampir tanpa cedera permanen. Penyebab lain vertigo dapat
menyebabkan gejala yang bervariasi. Tingkat kesembuhannya tergantung pada host dan penyakit yang
mendasari (Ginsber, 2005)
Prognosis pasien dengan vertigo sentral sangat bervariasi yang tergantung pada penyakit yang
mendasari. Namun kemajuan bedah saraf dapat memperbaiki prognosis beberapa kondisi serius.
Prognosis pasien dengan infark arteri vertebral atau basilar adalah buruk. Prognosis pasien dengan
perdarahan serebrum spontan juga buruk (Rahardja, 2011)
DEMENSIA
Gol Penyakit SKDI : 3A
ALIVIA RIZKY NURIYANTO
0907101010003

1.1 Pengertian Demensia


Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat mempengaruhi
aktifitas sehari-hari. Penderita demensia seringkali menunjukkan beberapa gangguan dan perubahan pada
tingkah laku harian (behavioral symptom) yang mengganggu (disruptive) ataupun tidak menganggu (non-
disruptive) (Volicer, L., Hurley, A.C., Mahoney, E. 1998). Demensia adalah Sindrom penyakit akibat
kelainan otak bersifat kronik / progresif serta terdapat gangguan fungsi luhur (Kortikal yang multipel)
yaitu daya ingat, daya fikir, daya orientasi, daya pemahaman, berhitung, kemampuan belajar, berbahasa,
kemampuan menilai, kesadaran tidak berkabut. Biasanya dapat disertai hendaya fungsi kognitif dan ada
kalanya diawali oleh kemerosotan (detetioration) dalam pengendalian emosi, perilaku sosial atau
motivasi. Sindrom ini terjadi pada penyakit Alzheimer, pada penyakit kardiovaskular, dan pada kondisi
lain yang secara primer atau sekunder mengenai otak (Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2001).
1.2 Insidensi
Populasi usia lanjut diatas 60 tahun adalah 7,2 % (populasi usia lanjut kurang lebih 15 juta).
Peningkatan angka kejadian kasus demensia berbanding lurus dengan meningkatnya harapan hidup suatu
populasi . Kira-kira 5 % usia lanjut 65 – 70 tahun menderita demensia dan meningkat dua kali lipat setiap
5 tahun mencapai lebih 45 % pada usia diatas 85 tahun. Pada negara industri kasus demensia 0.5 –1.0 %
dan di amerika jumlah demensia pada usia lanjut 10 – 15% atau sekitar 3 – 4 juta orang (Julianto dan
Budiono, 2008)
Demensia terbagi menjadi dua yaitu demensia alzheimer dan demensia vaskuler. Demensia
alzheimer merupakan kasus demensia terbanyak di negara maju amerika dan eropa sekitar 50-70%.
Demensia vaskuler penyebab kedua sekitar 15-20% sisanya 15- 35% disebabkan demensia lainnya. Di
Jepang dan Cina demensia vaskuler 50 – 60 % dan 30 – 40 % demensia akibat penyakit Alzheimer
(Julianto dan Budiono, 2008)

1.3 Etiologi
Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia diatas 65 tahun adalah (1)
penyakit Alzheimer, (2) demensia vaskuler, dan (3) campuran antara keduanya. Penyebab lain yang
mencapai kira-kira 10 persen diantaranya adalah demensia jisim Lewy (Lewy body dementia), penyakit
Pick, demensia frontotemporal, hidrosefalus tekanan normal, demensia alkoholik, demensia infeksiosa
(misalnya human immunodeficiency virus (HIV) atau sifilis) dan penyakit Parkinson. Banyak jenis
demensia yang melalui evaluasi dan penatalaksanaan klinis berhubungan dengan penyebab yang
reversibel seperti kelaianan metabolik (misalnya hipotiroidisme), defisiensi nutrisi (misalnya defisiensi
vitamin B12 atau defisiensi asam folat), atau sindrom demensia akibat depresi (Julianto dan Budiono,
2008)

Pada tabel 2.1 berikut ini dapat dilihat kemungkinan penyebab demensia :

Sumber : Julianto dan Budiono, 2008


1.4 Klasifikasi
1. Demensia Tipe Alzheimer

Alois Alzheimer pertama kali menggambarkan suatu kondisi yang selanjutnya diberi nama dengan

namanya dalam tahun 1907, saat ia menggambarkan seorang wanita berusia 51 tahun dengan perjalanan

demensia progresif selama 4,5 tahun. Diagnosis akhir Alzheimer didasarkan pada pemeriksaan

neuropatologi otak; meskipun demikian, demensia Alzheimer biasanya didiagnosis dalam lingkungan

klinis setelah penyebab demensia lain telah disingkirkan dari pertimbangan diagnostik (Sadock and

Sadock, 2004).

Gambaran Penyakit Alzheimer sebagai berikut:

Gambar Tampak secara jelas plak senilis disebelah kiri. Beberapa serabut neuron tampak kusut disebelah
kanan. Menjadi catatan tentang adanya kekacauan hantaran listrik pada sistem kortikal

Gambar Sel otak pada Penyakit Alzheimer dibandingkan dengan sel otak normal

2. Demensia vaskuler
Penyebabnya adalah penyakit vaskuler serebral yang multipel yang menimbulkan gejala berpola

demensia. Ditemukan umumnya pada laki-laki, khususnya dengan riwayat hipertensi dan faktor resiko

kardiovaskuler lainnya. Gangguan terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil dan

sedang yang mengalami infark dan menghasilkan lesi parenkhim multiple yang menyebar luas pada otak
(gambar 2.2). Penyebab infark berupa oklusi pembuluh darah oleh plaq arteriosklerotik atau

tromboemboli dari tempat lain( misalnya katup jantung). Pada pemeriksaan akan ditemukan bruit karotis,

hasil funduskopi yang tidak normal atau pembesaran jantung (gambar 2.3) (Sadock and Sadock, 2004).

Gambar. Makroskopis korteks serebral pada potongan koronal dari suatu kasus demensia vascular. Infark
lakunar bilateral multipel mengenai thalamus, kapsula interna dan globus palidus.2

Gambar Pasien dengan demensia kronik biasanya memerlukan perawatan custodial. Pasien biasanya
mengalami kemunduran perilaku, seperti menghisap jari,khas pada jenis ini (Sadock and Sadock, 2004)

1.5 Gambaran Klinis


1. Perubahan Psikiatrik dan Neurologis
Kepribadian
Perubahan kepribadian pada seseorang yang menderita demensia biasanya akan mengganggu bagi

keluarganya. Ciri kepribadiaan sebelum sakit mungkin dapat menonjol selama perkembangan demensia.

Pasien dengan demensia juga menjadi tertutup serta menjadi kurang perhatian dibandingkan sebelumnya.

Seseorang dengan demensia yang memiliki waham paranoid umumnya lebih cenderung memusuhi
anggota keluarganya dan pengasuhnya. Pasien yang mengalami kelainan pada lobus fraontalis dan

temporalis biasanya mengalami perubahan kepribadian dan mungkin lebih iritabel dan eksplosif (Sadock

and Sadock, 2004).

2. Halusinasi dan Waham

Diperkirakan sekitar 20 hingga 30 persen dengan demensia (terutama pasien dengan demensia

tipe Alzheimer) memiliki halusinasi, dan 30 hingga 40 persen memiliki waham, terutama waham

paranoid yang bersifat tidak sistematis, meskipun waham yang sistematis juga dilaporkan pada pasien

tersebut. Agresi fisik dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya lazim ditemukan pada pasien dengan

demensia yang juga memiliki gejala-gejala psikotik (Sadock and Sadock, 2004).

3. Mood

Pada pasien dengan gejala psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan kecemasan

merupakan gejala utama yang ditemukan pada 40 hingga 50 persen pasien dengan demensia, meskipun

sindrom depresif secara utuh hanya tampak pada 10 hingga 20 persen pasien. Pasien dengan demensia

juga dapat menujukkan perubahan emosi yang ekstrem tanpa provokasi yang nyata (misalnya tertawa dan

menangis yang patologis) (Sadock and Sadock, 2004).

4. Perubahan Kognitif

Pada pasien demensia yang disertai afasia lazim ditemukan adanya apraksia dan agnosia dimana

gejala-gejala tersebut masuk dalam kriteria DSM IV. Tanda-tanda neurologis lainnya yang dikaitkan

dengan demensia adalah bangkitan yaitu ditemukan kira-kira pada 10 persen pasien dengan demensia tipe

Alzheimer serta 20 persen pada pasien dengan demensia vaskuler. Refleks primitif seperti refleks

menggenggam, refleks moncong (snout), refleks mengisap, reflex tonus kaki serta refleks palmomental

dapat ditemukan melalui pemeriksaan neurologis pada 5 hingga 10 persen pasien (Sadock and Sadock,

2004).

Untuk menilai fugsi kognitif pada pasien demensia dapat digunakan The Mini Mental State Exam

(MMSE).7
Gambar.2.10. Test menggambar jam pada salah penilaian MMSE.

5. Reaksi Katastrofik

Pasien dengan demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan yang oleh Kurt Goldstein
disebut “perilaku abstrak”. Pasien mengalami kesulitan untuk memahami suatu konsep dan menjelaskan
perbedaan konsep-konsep tersebut. Lebih jauh lagi, kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah,
berpikir logis, dan kemampuan menilai suara juga terganggu. Goldstein juga menggambarkan reaksi
katastrofik berupa agitasi terhadap kesadaran subyektif dari defisit intelektual dalam kondisi yang penuh
tekanan. Pasien biasanya mengkompensasi defek yang dialami dengan cara menghindari kegagalan dalam
kemampuan intelektualnya, misalnya dengan cara bercanda atau dengan mengalihkan pembicaraannya
dengan pemeriksa. Buruknya penilaian dan kemampuan mengendalikan impuls adalah lazim, biasanya
ditemukan pada demensia yang secara primer mengenai daerah lobus frontalis. Contoh dari kelainan ini
adalah penggunaan kata-kata yang kasar, bercanda dengan tidak wajar, ketidakpedulian terhadap
penampilan dan kebersihan diri, serta sikap acuh tak acuh dalam hubungan sosialnya (Sadock and
Sadock, 2004).
1.6 Patofisiologi
Neurotransmiter
Neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi dari demensia Alzheimer adalah
asetilkolin dan norepinefrin. Keduanya dihipotesis menjadi hipoaktif pada penyakit Alzheimer. Beberapa
penelitian melaporkan pada penyakit Alzheimer ditemukannya suatu degenerasi spesifik pada neuron
kolinergik pada nukleus basalis meynert. Data lain yang mendukung adanya defisit kolinergik pada
Alzheimer adalah ditemukan konsentrasi asetilkolin dan asetilkolintransferase menurun (Sadock and
Sadock, 2004).
Penyebab potensial lainnya
Teori kausatif lainnya telah diajukan untuk menjelaskan perkembangan penyakit Alzheimer. Satu teori
adalah bahwa kelainan dalam pengaturan metabolisme fosfolipid membran menyebabkan membran yang
kurang cairan yaitu, lebih kaku dibandingkan dengan membran yang normal. Penelitian melalui
spektroskopik resonansi molekular (Molecular Resonance Spectroscopic; MRS) mendapatkan kadar
alumunium yang tinggi dalam beberapa otak pasien dengan penyakit Alzheimer (Sadock and Sadock,
2004).
Familial Multipel System Taupathy dengan presenile demensia
Baru-baru ini ditemukan demensia tipe baru yaitu Familial Multipel System Taupathy, biasanya
ditemukan bersamaan dengan kelainan otak yang lain ditemukan pada orang dengan penyakit Alzheimer.
Gen bawaan yang menjadi pencetus adalah kromosom 17. Gejala penyakit berupa gangguan pada memori
jangka pendek dan kesulitan mempertahankan keseimbangan dan pada saat berjalan. Onset penyakit ini
biasanya sekitar 40 – 50 detik, dan orang dengan penyakit ini hidup rata-rata 11 tahun setelah terjadinya
gejala.2 Seorang pasien dengan penyakit Alzheimer memiliki protein pada sel neuron dan glial seperti
pada Familial Multipel System Taupathy dimana protein ini membunuh sel-sel otak. Kelainan ini tidak
berhubungan dengan plaq senile pada pasien dengan penyakit Alzheimer (Sadock and Sadock, 2004).

1.7 Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis difokuskan pada hal-hal berikut ini:
 Pembedaan antara delirium dan demensia
 Bagian otak yang terkena
 Penyebab yang potensial reversibel
 Perlu pembedaan dengan depresi (ini bisa diobati relatif mudah)
 Pemeriksaan untuk mengingat 3 benda yg disebut
 Mengelompokkan benda, hewan dan alat dengan susah payah
 Pemeriksaan laboratonium, pemeriksaan EEC
 Pencitraan otak amat penting CT atau MRI (Sadock and Sadock, 2004).
1.8 Diagnosis Banding
 Gangguan depresi
 Delirium
 Sindroma amnestik organik
 Penyakit Pick
 Penyakit Huntington
 Demensia sekunder akibat toksik, penyakit fisik
 Retardasi mental
 Transient Ischemis Attack (Scootish Intercollegiate Guidelines Network, 2006).
1.9 Diagnosis

Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan beberapa tanda yang samar yang mungkin
diabaikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh orang-orang yang paling dekat dengan pasien. Awitan
yang bertahap biasanya merupakan gejala-gejala yang paling sering dikaitkan dengan demensia tipe
Alzheimer, demensia vaskuler, endokrinopati, tumor otak, dan gangguan metabolisme. Sebaliknya,
awitan pada demensia akibat trauma, serangan jantung dengan hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat
terjadi secara mendadak. Meskipun gejala-gejala pada fase awal tidak jelas, akan tetapi dalam
perkembangannya dapat menjadi nyata dan keluarga pasien biasanya akan membawa pasien untuk pergi
berobat. Individu dengan demensia dapat menjadi sensitif terhadap penggunaan benzodiazepin atau
alkohol, dimana penggunaan zat-zat tersebut dapat memicu agitasi, sifat agresif, atau perilaku psikotik.
Pada stadium terminal dari demensia pasien dapat menjadi ibarat “cangkang kosong” dalam diri mereka
sendiri, pasien mengalami disorientasi, inkoheren, amnestik dan inkontinensia urin (Scootish
Intercollegiate Guidelines Network, 2006).
1.10 Penanganan

Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan, antidepresi untuk
depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan tetapi dokter juga harus
mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada pasien usia lanjut (misalnya kegembiraan
paradoksikal, kebingungan, dan peningkatan efek sedasi). Secara umum, obatobatan dengan aktivitas
antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan (Sadock and Sadock, 2004).
Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase yang digunakan
untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga sedang pada penyakit Alzheimer. Obat-obat tersebut
menurunkan inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin sehingga meningkatkan potensi neurotransmitter
kolinergik yang pada gilirannya menimbulkan perbaikan memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat
untuk seseorang dengan kehilangan memori ringan hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal
yang masih baik melalui penguatan neurotransmisi kolinergik (Sadock and Sadock, 2004).
Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang digunakan karena
potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang tersedia mengenai rivastigmin dan
galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan efek samping neuropsikiatrik
yang lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan tersebut dapat mencegah degenerasi
neuron progresif (Sadock and Sadock, 2004).
Menurut Julianti dan Budiono (2008) terapi farmakologi pada pasien demensia berupa1:
 Antipsikotika tipik: Haldol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg
 Antipsikotika atipik:
o Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
o Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75
o Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg
o Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
o Abilify 1 x 10 - 15 mg
 Anxiolitika
o Clobazam 1 x 10 mg
o Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg
o Bromazepam 1,5 mg - 6 mg
o Buspirone HCI 10 - 30 mg
o Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg
o Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)
 Antidepresiva
o Amitriptyline 25 - 50 mg
o Tofranil 25 - 30 mg
o Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)
o SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1 x 10 - 20
mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
o Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2)
 Mood stabilizers
o Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
o Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg
o Topamate 1 x 50 mg
o Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
o Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg
o Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
o Priadel 2 - 3 x 400 mg
Obat anti-demensia
Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak berguna lagi,
namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD (Behavioural and Psychological
Symptoms of Dementia)::
 Nootropika:
o Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg
o Piracetam(Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg
o Sabeluzole (Reminyl)
 Ca-antagonist:
o Nimodipine (Nimotop 1 - 3 x 30 mg)
o Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v / i.m.
o Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg
o Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infuse
o Pantoyl-GABA
 Acetylcholinesterase inhibitors
o Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg. Hepatotoxik
o Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor, 5 mg 1x/hari
o Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg
o Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg
o Memantine 2 x 5 - 10 mg.
1.11 Komplikasi
1. Kematian
2. Penurunan fungsi kognitif yang tajam
3. Kehilangan kemampuan bicara
4. Perubahan perilaku (Sadock and Sadock, 2004)

1.12 Prognosis

Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang dimulai pada usia 50
atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun, yang sering berakhir dengan
kematian. Usia awitan dan kecepatan perburukan bervariasi diantara jenis-jenis demensia dan kategori
diagnostik masing-masing individu. Usia harapan hidup pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer
adalah sekitar 8 tahun, dengan rentang 1 hingga 20 tahun. Data penelitian menunjukkan bahwa penderita
demensia dengan awitan yang dini atau dengan riwayat keluarga menderita demensia memiliki
kemungkinan perjalanan penyakit yang lebih cepat. Dari suatu penelitian terbaru terhadap 821 penderita
penyakit Alzheimer, rata-rata angka harapan hidup adalah 3,5 tahun. Sekali demensia didiagnosis, pasien
harus menjalani pemeriksaan medis dan neurologis lengkap, karena 10 hingga 15 persen pasien dengan
demensia potensial mengalami perbaikan (reversible) jika terapi yang diberikan telah dimulai sebelum
kerusakan otak yang permanen terjadi (Julianti dan Budiono, 2008)
Demensia vaskular umumnya memperpendek umur harapan hidup mencapai 50% dari normal 4
tahun setelah serangan pertama. Biasanya pada penderita yang memiliki pendidikan tinggi akan
melakukan tes neuropsikologi yang lengkap dan baik, prognosisnya juga akan lebih baik (Mardjono,
2006).

TOKSOPLASMOSIS

1.1. Pengertian

Toksoplasmosis, suatu penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii, merupakan penyakit
parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Parasit ini merupakan golongan Protozoa yang
bersifat parasit obligat intraseseluler. Menurut Wiknjosastro (2007), toksoplasmosis menjadi sangat
penting karena infeksi yang terjadi pada saat kehamilan dapat menyebabkan abortus spontan atau
kelahiran anak yang dalam kondisi abnormal atau disebut sebagai kelainan kongenital seperti
hidrosefalus, mikrosefalus, iridosiklisis dan retardasi mental.
Toxoplasma gondii adalah suatu protozoa koksidia yang tersebar luas di dunia dan menimbulkan
infeksi protozoa sistemik pada manusia. Organisme ini dapat bertahan hidup sampai pada waktu yang
lama dalam bentuk kista. Sebagai Host perantaranya adalah manusia dan binatang termasuk hewan
herbivora, karnivora dan omnivora, tetapi yang menjadi tuan rumah akhir (Hospes definitif) adalah
kucing dan anggota lain dari famili Felidae. Stadium seksual Toxoplasma gondii membentuk ookista ini
hanya terdapat dalam tubuh tuan rumah definitif (Rasmaliah, 2003)
1.2. Insidensi
Prevalensi tergantung kepada tempat, reaksi serologi positif meningkat sesuai dengan usia, tidak
ada perbedaan antara pria dan wanita. Di dataran tinggi prevalensi lebih rendah, sedangkan didaerah
tropik prevalensi lebih tinggi. Di Amerika kira-kira 5-30 % penduduk berusia 10-1.9 tahun dan 1-67 %
berusia di atas 50 tahun mempunyai bukti serologi akan infeksi ini. Umumnya infeksi ini jarang terjadi
didaerah dingin, panas dan gersang serta tempat yang tinggi. Di lndonesia prevalensi zat anti T.gondii
yang positif pada manusia berkisar antara 2 % dan 63 %. Sedangkan pada orang Eskimo prevalensinya
1% dan di El Savador, Amerika Tengah 90%. Prevalensi zat anti T.gondii pada binatang di Indonesia
adalah pada kucing 35-73 %, pada babi 11-36 % pada kambing 11-61 %, pada anjing 75 % dan pada
ternak lain kurang dari 10 %. Prevalensi toxoplasmosis kongenital di beberapa negara diperkirakan
sebagai berikut: Netherland 6,5 dari 1000 kelahiran hidup, New York 1,3 %, Paris 3 % dan Vienna 6-7%.
Keadaan Toxoplasmosis di suatu daerah dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu
adalah:
1. Kebiasaan makan daging kurang matang.
2. Adanya kucing yang terutama dipelihara sebagai binatang kesayangan.
3. Adanya tikus dan burung sebagai hospes perantara yang merupakan binatang buruan kucing.
4. Adanya Sejumlah vektor seperti lipas atau lalat yang dapat memindahkan ookista dari tinja
kucing ke makanan (Rasmaliah, 2003)
Walaupun makan daging kurang matang merupakan cara transmisi yang penting untuk T.gondii,
transmisi melalaui ookista tidak dapat diabaikan. Seekor kucing dapat mengeluarkan sampai 10 juta butir
ookista sehari selama 2 minggu. Ookista menjadi 19 dalam waktu 1-5 hari dan dapat hidup lebih dari
setahun ditanah yang panas dan lembab. Ookista akan mati pada suhu 45-550 C, juga mati bila
dikeringkan atau bila bercampur formalin, amonia atau larutan iodium. Transmisi melalui bentuk ookista
menunjukkan infeksi T.gondii pada orang yang tidak senang makan daging atau terjadi binatang
herbivora (Rasmaliah, 2003).
1.3. Gambaran Klinis

Gejala klinis yang khas dikenal dengan istilah Triad Klasik yang meliputi hidrosefalus,
retinikoroiditis dan kalsifikasi intrakranial dan jika disertai dengan kelainan psikomotorik disebut Tetrade
Sabin. Toksoplasmosis yang didapat lebih ringan meskipun infeksinya sendiri banyak terjadi. Gejala kinis
berupa kelinan mata uveitis dan koroidorenitis, atau kelainan sistem limpatik (limpadenopati). Pada
infeksi akut di retina ditemukan reaksi peradangan fokal dengan edema dan infiltrasi leukosit yang dapat
menyebabkan kerusakan total dan proses penyembuhan menjadi parut (sikatriks) dengan atrofi retina dan
koroid disertai pigmentasi. Gejala susunan saraf pusat sering meninggalkan gejala sisa seperti retardasi
mental dan motorik. Pada anak yang lahir prematur, gejala klinis biasanya lebih berat daripada yang lahir
cukup bulan, yaitu disertai adanya hepato splenomegali, ikterus, limfadenopati, kelianan susunan saraf
pusat dan lesi mare. Sekitar 60 % bayi yang terinfeksi in-utero ternyata asimptomatik pada kelahiran
seperti yang didapatkan pada penelitian prospektif yang dilakukan oleh Desmonts dan Couvreur di Paris.
Selebihnya yaitu 40 % mengalami abortus, lahir mati, simtomatik dan banyak yang lahir prematur
(Budijanto, 1994).
Toksoplasmosis akuista yang terjadi pada orang dewasa biasanya tidak diketahui karena jarang
sekali menimbulkan gejala, kecuali pada penderita defisiensi kekebalan (imunosupressed) seperti pada
penderita karsinoma, leukemia atau penyakit lain yang diberi pengobatan kortikosteroid dosis tinggi atau
radiasi. Pada keadaan ini gejala klinis dapat menjadi gejala secara dramatis karena adanya defisiensi
kekebalan (Rasmaliah, 2003)

1.4. Cara Penularan


Manusia dapat terinfeksi oleh T. gondii dengan berbagai cara. Pada toksoplasmosis kongenital,
transmisi toksoplasma kepada janin terjadi melalui plasenta bila ibunya mendapat infeksi primer waktu
hamil. Pada toksoplasmosis akuista, infeksi dapat terjadi bila makan daging mentah atau kurang matang
ketika daging tersebut mengandung kista atau trofozoit T. gondii. Tercemarnya alat-alat untuk masak dan
tangan oleh bentuk infektif parasit ini pada waktu pengolahan makanan merupakan sumber lain untuk
penyebaran T. gondii (Hiswani, 2005).
Pada orang yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila ookista yang dikeluarkan
dengan tinja kucing tertelan. Kontak yang sering terjadi dengan hewan terkontaminasi atau dagingnya,
dapat dihubungkan dengan adanya prevalensi yang lebih tinggi di antara dokter hewan, mahasiswa
kedokteran hewan, pekerja di rumah potong hewan dan orang yang menangani daging mentah seperti juru
masak. Juga mungkin terinfeksi melalui transplantasi organ tubuh dari donor penderita toksoplasmosis
laten kepada resipien yang belum pernah terinfeksi T. gondii. Infeksi juga dapat terjadi di laboratorium
pada orang yang bekerja dengan binatang percobaan yang diinfeksi dengan T. gondii yang hidup. Infeksi
dengan T. gondii juga dapat terjadi waktu mengerjakan autopsi.
Berikut merupakan gambar daur hidup toksoplasma gondii (Hiswani, 2005).

Sumber :Oka, 2010

1.5. Patofisiologi
Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan terjadi proses yang terdiri dari tiga tahap
yaitu parasitemia, di mana parasit menyerang organ dan jaringan serta memperbanyak diri dan
menghancurkan sel-sel inang. Perbanyakan diri ini paling nyata terjadi pada jaringan retikuloendotelial
dan otak, di mana parasit mempunyai afinitas paling besar. Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua
setelah terjadinya infeksi. Tahap ketiga rnerupakan fase kronik, terbentuk kista-kista yang menyebar di
jaringan otot dan saraf, yang sifatnya menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal (Rasmaliah, 2003).
Infeksi primer pada janin diawali dengan masuknya darah ibu yang mengandung parasit tersebut
ke dalam plasenta, sehingga terjadi keadaan plasentitis yang terbukti dengan adanya gambaran plasenta
dengan reaksi inflamasi menahun pada desidua kapsularis dan fokal reaksi pada vili. Inflamasi pada tali
pusat jarang dijumpai.Kemudian parasit ini akan menimbulkan keadaan patologik yang manifestasinya
sangat tergantung pada usia kehamilan (Rasmaliah, 2003).

1.6. Pemeriksaan

1. Pemeriksaan sediaan mikroskopis, untuk menemukan ookista yang di dalam tinja kucing (1), atau
takizoit didalam eksudat peritoneal atau biakan jaringan, Toxoplasma dapat ditemukan didalam
usapan dari irisan jaringan atau eksudat yang diwarnai . Uji warna masih paling memuaskan sampai
saat ini
2. Uji Serologi : menggunakan Complement Fixation Test (CFT), Uji Hemagglutinasi (HA), Uji Kulit,
Uji Hemagglutinasi Latex, Fluorescent Antibody Technic (FAT), ELISA, Imunoreaksi Tinta India
(India Ink Immunoreaction (IIIR)
3. Metoda yang paling pasti ialah dengan mengisoalsi protozoanya dengan cara menginokulasikan pada
hewan percobaaan yaitu : mencit, bajing tanah (ground squirrels), tikus multimammate, hamster atau
marmot (2), tetapi sebelumnya perlu dilakukan metoda digesti (Hiswani, 2005).

1.7. Diagnosis

Diagnosis infeksi protozoa ini dilakukan dengan mendapatkan antibodi IgM dan IgG anti T.
gondii dalam tes serologi (Hiswani, 2005). Untuk memastikan diagnosis toksoplasmosis kongenital pada
neonatus perlu ditemukan zat anti IgM. Tetapi zat anti IgM tidak selalu dapat ditemukan. Zat anti IgM
cepat menghilang dari darah, walaupun kadang-kadang dapat ditemukan selama beberapa bulan. Bila
tidak dapat ditemukan zat anti IgM, maka bayi yang tersangka menderita toksoplasmosis kongenital harus
di follow up. Zat anti IgG pada neonatus yang secara pasif didapatkan dari ibunya melalui plasenta,
berangsur-angsur berkurang dan menghilang pada bayi yang tidak terinfeksi T. gondii. Pada bayi yang
terinfeksi T. gondii, zat anti IgG mulai dibentuk sendiri pada umur 4-6 bulan, dan pada waktu ini titer zat
anti IgG naik.
Untuk memastikan diagnosis toksoplasmosis akuista, tidak cukup bila hanya sekali menemukan
titer zat anti IgG T. gondii yang tinggi, karena titer zat anti T. gondii yang ditemukan dengan tes-tes
tersebut diatas dapat ditemukan bertahun-tahun dalam tubuh seseorang. Diagnosis toksoplasmosis akut
dapat dibuat, bila titer meninggi pada pemeriksaan kedua kali dengan jangka waktu 3 minggu atau lebih
atau bila ada konversi dari negatif ke positif. Diagnosis juga dapat dipastikan bila ditemukan zat anti IgM,
disamping adanya titer tes warna atau tes IFA yang tinggi.

1.8. Penanganan

Obat-obatan yang dipakai sampai saat ini hanya membunuh bentuk trofozoit T.gondii dan tidak
membasmi bentuk kistanya. Pirimetamin dan sulfonamid bekerja secara sinergistik. Walaupun secara
klinis tidak boleh perbaikan atau kesembuhan dengan pemberian dua macam obat ini, parasit dalam kista
masih tetap ada, dan menyebabkan infeksi aktif kembali. Pengobatan pada toxoplasmosis akut yang tidak
menujukkan gejala klinis tidak diperlukan, tetapi bila ada gejala klinis atau retinokoroiditis akut atau bila
ada defisiensi kekebalan, pengobatan harus diberikan (Rasmaliah, 2003).
Pirimetamin mempunyai efek teratogenik, sebaiknya tidak diberikan pada orang hamil.
Spiramisin adalah antibiotik "macrolide" yang kurang toksik dibandingkan dengan pirimetamin dan
sulfonamid. Obat ini tidak dapat melalui plasenta. Klindamisin adalah obat baru yang efektif, tetapi dapat
menimbulkan efek samping seperti kolitis pseudomembranosa (Rasmaliah, 2003).
Pengobatan, belum diketahui obat yang berhasil memuaskan , tetapi hasil terbaik diperoleh
dengan pemberian secara simultan pirimetamin 1 mg/kg dengan sulfonamid 60 – 120 mg/kg / hari dibagi
2 – 3 kali pemberian selama 1-2 minggu (bekerja secara sinergik) (Oka, 2010).

1.9. Pencegahan

Peranan kucing sebagai hospes definitif merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
timbulnya toksoplasmosis, karena kucing mengeluarkan berjuta juta ookista dalam tinjanya, yang dapat
bertahan sampai satu tahun di dalam tanah yang teduh dan lembab. Untuk mencegah hal ini, maka dapat
di jaga terjadinya infeksi pada kucing yaitu dengan memberi makanan yang matang sehingga kucing tidak
berburu tikus atau burung (Hiswani, 2005)
Lalat dan lipas dapat menjadi vektor mekanik yang dapat memindahkan ookista dari tanah atau
lantai ke makanan (Gandahusada, 2003). Untuk mencegah terjadinya infeksi dengan ookista yang berada
di dalam tanah, dapat diusahakan mematikan ookista dengan bahan kimia seperti formalin, amonia dan
iodin dalam bentuk larutan serta air panas 70oC yang disiramkan pada tinja kucing (Gandahusada, 2003).
Anak balita yang bermain di tanah atau ibu-ibu yang gemar berkebun, juga petani sebaiknya mencuci
tangan yang bersih dengan sabun sebelum makan. Di Indonesia, tanah yang mengandung ookista T.
gondii belum diselidiki. Sayur-mayur yang dimakan sebagai lalapan harus dicuci bersih, karena ada
kemungkinan ookista melekat pada sayuran, makanan yang matang harus di tutup rapat supaya tidak
dihinggapi lalat atau kecoa yang dapat memindahkan ookista dari tinja kucing ke makanan tersebut (Oka,
2010).
Kista jaringan dalam hospes perantara (kambing, sapi, babi dan ayam) sebagai sumber infeksi
dapat dimusnahkan dengan memasaknya sampai 66 0C. Daging dapat menjadi hangat pada semua bagian
dengan suhu 650C selama empat sampai lima menit atau lebih, maka secara keseluruhan daging tidak
mengandung kista aktif, demikian juga hasil daging siap konsumsi yang diolah dengan garam dan nitrat.
Setelah memegang daging mentah (tukang potong, penjual daging, tukang masak) sebaiknya cuci tangan
dengan sabun sampai bersih (Rasmaliah, 2003)
Yang paling penting dicegah adalah terjadinya toksoplasmosis congenital yaitu anak yang lahir
cacat dengan retardasi mental dan gangguan motorik, merupakan beban masyarakat. Pencegahan dengan
tindakan abortus artefisial yang dilakukan selambatnya sampai kehamilan 21-24 minggu, mengurangi
kejadian toksoplasmosis kongenital kurang dari 50 %, karena lebih dari 50 % toksoplasmosis kongenital
diakibatkan infeksi primer pada trimester terakhir kehamilan. Pencegahan dengan obat-obatan, terutama
pada ibu hamil yang diduga menderita infeksi primer dengan Toxoplasma gondii, dapat dilakukan dengan
spiramisin. Vaksin untuk mencegah infeksi toksoplasmosis pada manusia belum tersedia sampai saat ini
(Hiswani, 2005)
1.10. Komplikasi
1. Dapat menyebar ke seluruh organ tubuh seperti otak, paru, jantung, hati (Oka, 2010)
2. Pada bayi yang terinfeksi dari ibu penderita toksoplasmosis dapat tidak memberikan gejala
(asimptomatis), retardasi mental, cacat, retinokoroiditis, ataupun kematian bayi dalam kandungan
ataupun setelah lahir (Hiswani, 2005).

1.12. Prognosis
Pada orang yang sistem imunnya rendah maka prognosisnya buruk karena penyebaran T.Gondii
dalam tubuh memiliki perkembangan yang sangat cepat. Kualitas hidup yang menurun akibat
terserangnya beberapa organ akan menjadi manifestasi yang ditimbulkan dari infeksi ini. Setelah
terserang infeksi ini maka sistem imun tubuh yang tidak mampu menghadapinya akan lebih mudah
terserang banyak penyakit lainnya (Hiswani, 2005).
DAFTAR PUSTAKA

Budijanto, S.K. 1994. Toksoplasmosis Suatu Masalah Kesehatan Masyarakat yang Potensial. Majalah
Kesehatan Masyarakat Indonesia. XXII. (10).

Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran (EGC). Jakarta.

Dewanto, G., Suwono, W.J., Riyanto, B., et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana
Penyakit Saraf. Penerbit Buku Kedokteran (EGC). Jakarta.

Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2001. Pedoman Penggolongan
dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik. Jakarta.

Gandahusada, S. 1982. Prevalensi Zat Anti Toksoplasma Gondii pada Kucing dan Anjing. Penelitian.
Jakarta.

Ginsber, L. 2005. Lecture Notes Neurology. Edisi 8. Erlangga Medical Series. Jakarta

Hiswani. 2005. Toksoplasma Penyakit Zoonosis yang Perlu Diwaspadai Ibu Hamil. Artikel. Fakultas
Universitas Sumatera Utara. Medan.

Israr, Y.A.2008. Vertigo. Artikel. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Riau

Isselbacher, K.J., Braunwald, E., Wilson, J.D., et al. 1999. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Volume 1. Penerbit Buku Kedokteran (EGC). Jakarta.

Julianto, R., Budiono A. 2008. Dementia. Artikel. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Riau

Mardjono, M.S.P. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Penerbit Buku
Kedokteran (EGC. Jakarta

Oka, I. 2010. Ilmu Penyakit Parasitik. http://staff.unud.ac.id/~moka/wp-


content/uploads/2010/06/penyakit-protozoa.doc (diakses pada tanggal 13 April 2013).

Rahardja, F.B. 2011. Referat Ilmu Penyakit Saraf: Vertigo Sentral. Referat. Fakultas Kedokteran
Universitas Pelita Harapan. Tangerang.

Rasmaliah, 2003. Toksoplasma dan Upaya Pencegahannya. Artikel. Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Universitas Sumatera Utara. Medan

Sadock, B.J., Sadock, V.A. 2005. Delirium, Dementia, Amnestic And Cognitive Disorders. Kaplan &
Sadock's Synopsis Of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia.

Schwartz, M.W.. Pedoman Klinis Pediatri. Penerbiit Buku Kedokteran (EGC). Jakarta.
Scootish Intercollegiate Guidelines Network. 2006. Management of Patient Dementia. National Health
Service. United Kingdom.

Volicer, L., Hurley, A.c., Mahoney, E., 1998. Behaviour Symptom of Dementia In Volicer L, Hurley
A: Hospice Care for Patient With Advance Progressive Dementia. Springer Publishing
Company. New York.

Wiknjosastro, et al., 2005. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta

Wreksoatmojo, B.R. 2004. Vertigo : Aspek Neurologi. Artikel. Rumah Sakit Marzuki Mahdi. Bogo

Anda mungkin juga menyukai