Anda di halaman 1dari 25

Daftar Isi

1
Lembar Pengesahan
Referat
Prinsip diagnosis dan penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe II

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat kepaniteraan klinik


bagian Ilmu Penyakit Dalam RS Kepresidenan RSPAD Gatot
Soebroto

Disusun oleh
Ryantino Irdan
1710221025

Telah disetujui dan disahkan oleh

dr. Inggrid Widyawanti Sp.PD

2
BAB I
Pendahuluan

I.1 Latar belakang


Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar glukosa
dalam darah melebihi batas normal.Hiperglikemia merupakansalah satu tanda
khas penyakit diabetes mellitus (DM), meskipun juga mungkin didapatkan pada
beberapa keadaan yang lain.1,4
Penyakit Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang
mengalami peningkatan terus menerus dari tahun ke tahun. Diabetes adalah
penyakit metabolik yang ditandai dengan kadar gula darah yang tinggi
(hiperglikemia) yang diakibatkan oleh gangguan sekresi insulin, dan resistensi
insulin atau keduanya. Hiperglikemia yang berlangsung lama (kronik) pada
Diabetes Melitus akan menyebabkan kerusakan gangguan fungsi, kegagalan
berbagai organ, terutama mata, organ, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah
lainnya.1
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global
diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366
juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia
dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada
tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada
tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi,
hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka
menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara
teratur.3
Suatu jumlah yang sangat besar dan merupakan beban yang sangat berat
untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter spesialis/subspesialis bahkan semua
tenaga kesehatan yang ada. Mengingat bahwa Diabetes Melitus akan memberikan
dampak terhadap kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan
yang cukup besar. Semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, seharusnya
ikut serta dalam usaha penanggulangan Diabetes Melitus, khususnya dalam upaya
pencegahan.

3
Penyakit diabetes melitus jika tidak dikelola dengan baik akan dapat
mengakibatkan terjadinya berbagai penyulit menahun, seperti penyakit
serebrovaskular, penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah tungkai,
gangguan pada mata, ginjal dan syaraf. Penyandang diabetes melitus mempunyai
risiko 2 kali lebih besar untuk mengalami penyakit jantung koroner dan penyakit
pembuluh darah otak, 5 kali lebih mudah menderita ulkus/gangren, 7 kali lebih
mudah mengidap gagal ginjal terminal, dan 25 kali lebih mudah mengalami
kebutaan akibat kerusakan retina daripada pasien non diabetes. Usaha untuk
menyembuhkan kembali menjadi normal sangat sulit jika sudah terjadi penyulit,
karena kerusakan yang terjadi umumnya akan menetap. Usaha pencegahan
diperlukan lebih dini untuk mengatasi penyulit tersebut dan diharapkan akan sangat
bermanfaat untuk menghindari terjadinya berbagai hal yang tidak menguntungkan

I.2. Tujuan
Tujuan penulisan laporan ini yaitu:
1. Sebagai salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik Stase Ilmu Penyakit
Dalam RS Kepresidenan RSPAD Gatot Soebroto.
2. Menambah ilmu dan wawasan tentang ilmu Penyakit Dalam khususnya
di bidang endokrin metabolik tentang prinsip diagnosis dan tatalaksana
penyakit diabetes melitus

4
BAB II
Tinjauan Pustaka

II.1. Anatomi dan Fisiologi Pankreas


Pankreas merupakan organ retroperitoneal yang terletak di bagian posterior
dari dinding lambung. Letaknya diantara duodenum dan limfa, di depan aorta
abdominalis dan arteri serta vena mesenterica superior (Gambar 1). Organ ini
konsistensinya padat, panjangnya ±11,5 cm, beratnya ±150 gram. Pankreas terdiri
bagian kepala/caput yang terletak di sebelah kanan, diikuti corpus ditengah, dan
cauda di sebelah kiri. Ada sebagian kecil dari pankreas yang berada di bagian
belakang Arteri Mesenterica Superior yang disebut dengan Processus Uncinatus.6

Gambar 1. Anatomi Pankreas7

Jaringan penyusun pancreas terdiri dari :


a. Jaringan eksokrin, berupa sel sekretorik yang berbentuk seperti anggur yang
disebut sebagai asinus/Pancreatic acini (Gambar 2), yang merupakan
jaringan yang menghasilkan enzim pencernaan ke dalam duodenum.
b. jaringan endokrin yang terdiri dari pulau-pulau Langerhans/Islet of
Langerhans (Gambar 2) yang tersebar di seluruh jaringan pankreas, yang
menghasilkan insulin dan glukagon ke dalam darah.

5
Gambar 2. Jaringan Endokrin dan Eksokrin Pankreas7

Pulau-pulau Langerhans tersebut terdiri dari beberapa sel yaitu:


a. Sel α (sekitar 20%), menghasilkan hormon glukagon.
b. Sel ß (dengan jumlah paling banyak 70%), menghasilkan hormon insulin.
c. Sel δ (sekitar 5-10%), menghasilkan hormon Somatostatin.
d. Sel F atau PP (paling jarang), menghasilkan polipeptida pankreas.

Masuknya glukosa ke dalam sel otot dipengaruhi oleh 2 keadaan. Pertama,


ketika sel otot melakukan kerja yang lebih berat, sel otot akan lebih permeabel
terhadap glukosa. Kedua, ketika beberapa jam setelah makan, glukosa darah akan
meningkat dan pankreas akan mengeluarkan insulin yang banyak. Insulin yang
meningkat tersebut menyebabkan peningkatan transport glukosa ke dalam sel.
Insulin dihasilkan didarah dalam dengan bentuk bebas dengan waktu paruh plasma
±6 menit, bila tidak berikatan dengan reseptor pada sel target, maka akan
didegradasi oleh enzim insulinase yang dihasilkan terutama di hati dalam waktu 10-
15 menit.7
Reseptor insulin merupakan kombinasi dari empat subunit yang berikatan
dengan ikatan disulfida yaitu dua subunit-α yang berada di luar sel membran dan
dua unit sel-ß yang menembus membran (Gambar 3). Insulin akan mengikat serta

6
mengaktivasi reseptor α pada sel target, sehingga akan menyebabkan sel ß
terfosforilasi. Sel ß akan mengaktifkan tyrosine kinase yang juga akan
menyebabkan terfosforilasinya enzim intrasel lain termasuk insulin-receptors
substrates (IRS).

Gambar 3. Reseptor Insulin7

Dalam tubuh kita terdapat mekanisme reabsorbsi glukosa oleh ginjal, dalam
batas ambang tertentu. Kadar glukosa normal dalam tubuh kira-kira 100mg
glukosa/100ml plasma dengan GFR/Glomerular Filtration Rate 125ml/menit.
Glukosa akan ditemukan diurin jika telah melewati ambang ginjal untuk reabsorbsi
glukosa yaitu 375 mg/menit dengan glukosa di plasma darah 300mg/100ml. 7

II.2 Definisi Diabets Melitus


Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemi yang berlanjut hingga kronik pada
penderita DM akan menyebabkan kerusakan , disfungsi, maupun kegagalan organ
lain, khususnya mata, ginjal, jantung, dan pembuluh darah.1

7
II.3 Prevalensi
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global
diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366
juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia
dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada
tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada
tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi,
hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka
menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara
teratur.3 Data Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa proporsi diabetes di Indonesia
pada tahun 2013 meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2007.
Proporsi diabetes melitus di Indonesia sebesar 6,9 %, toleransi glukosa terganggu
(TGT) sebesar 29,9% dan glukosa darah puasa (GDP) terganggu sebesar 36,6%.
Proporsi penduduk di pedesaan yang menderita diabetes melitus hampir sama
dengan penduduk di perkotaan. Prevalensi diabetes melitus meningkat dari 1,1
persen (2007) menjadi 2,1 persen (2013).2

II.4 Klasifikasi
Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel 1.1

8
II.5 Patogenesis
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya
kekurangan insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi
melalui 3 jalan, yaitu ;9
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus,zat kimia,dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
Aktivitas insulin yang rendah akan menyebabkan Penurunan penyerapan
glukosa oleh sel-sel, disertai peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati melalui
proses glukoneogenesis dan glikogenolisis. Karena sebagian besar sel tubuh tidak
dapat menggunakan glukosa tanpa bantuan insulin, timbul keadaan ironis, yakni
terjadi kelebihan glukosa ekstrasel sementara terjadi defisiensi glukosa intrasel.
Kadar glukosa yang meninggi ke tingkat dimana jumlah glukosa yang difiltrasi
melebihi kapasitas sel-sel tubulus melakukan reabsorpsi akan menyebabkan
glukosa muncul pada urin, keadaan ini dinamakan glukosuria. Glukosa pada urin
menimbulkan efek osmotik yang menarik H2O bersamanya. Keadaan ini
menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai oleh poliuria (sering berkemih).
Cairan yang keluar dari tubuh secara berlebihan akan menyebabkan
dehidrasi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer
karena volume darah turun mencolok. Kegagalan sirkulasi, apabila tidak diperbaiki
dapat menyebabkan kematian karena penurunan aliran darah ke otak atau
menimbulkan gagal ginjal sekunder akibat tekanan filtrasi yang tidak adekuat.
Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi akibat
perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang hipertonik.
Akibatnya timbul polidipsia (rasa haus berlebihan) sebagai mekanisme kompensasi
untuk mengatasi dehidrasi. Defisiensi glukosa intrasel menyebabkan “sel
kelaparan” akibatnya nafsu makan (appetite) meningkat sehingga timbul polifagia
(pemasukan makanan yang berlebihan)

9
II.6 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. 1
Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat
ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada
penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan
seperti:
a. Keluhan klasik DM : poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva
pada wanita.1

Tabel 2. Kriteria diagnosis DM4

Catatan : Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi


standard NGSP, sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi
terhadap hasil pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti:
anemia, hemoglobinopati, riwayat transfuse darah 2-3 bulan
terakhir, kondisikondisi yang mempengaruhiumur eritrosit dan gangguan
fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis dan
evaluasi.1

10
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka
dapat digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT), dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
1. Glukosa darah puasa terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam <140
mg/dl
2. Toleransi glukosa terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan
berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c 5,7-6,4%.

Tabel 3. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis prediabetes dan diabetes4

Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring
dan diagnosis DM (mg/dl)4

11
II.7 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes, yang meliputi:4
a. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut
b. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.Tujuan akhir pengelolaan adalah
turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif. Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum:
1. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama:
a. Riwayat Penyakit
1. Gejala yang dialami oleh pasien.
2. Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.
3. Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,
obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan
endokrin lain).
4. Riwayat penyakit dan pengobatan.
5. Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi.
b.Pemeriksaan Fisik
1. Pengukuran tinggi dan berat badan.
2. Pengukuran tekanan darah, nadi, rongga mulut, kelenjar tiroid, paru dan
jantung
3. Pemeriksaan kaki secara komprehensif
c.Evaluasi Laboratorium
1. HbA1c diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun pada pasien yang
mencapai sasaran terapi dan yang memiliki kendali glikemik stabil. dan 4
kali dalam 1 tahun pada pasien dengan perubahan terapi atau yang tidak
mencapai sasaran terapi.
2. Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.

12
d. Penapisan Komplikasi
Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita yang baru terdiagnosis
DMT2 melalui pemeriksaan :
a. Profil lipid dan kreatinin serum.
b. Urinalisis dan albumin urin kuantitatif.
c. Elektrokardiogram.
d. Foto sinar-X dada
e. Funduskopi dilatasi dan pemeriksaan mata secara komprehensif oleh
dokter spesialis mata atau optometris.
f.
Pemeriksaan kaki secara komprehensif setiap tahun untuk mengenali
faktor risiko prediksi ulkus dan amputasi: inspeksi, denyut pembuluh
darah kaki, tes monofilamen 10 g, dan Ankle Brachial Index (ABI).4

Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus


Penatalaksanaan DM dimulai dengan pola hidup sehat, dan bila perlu
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat antihiperglikemia secara oral
dan/atau suntikan.4
1. Edukasi Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat
penting dari pengelolaan DM secara holistik.
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM) Penyandang DM perlu diberikan penekanan
mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan,
terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau
insulin.
3. Latihan Jasmani Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur
(3-5 hari seminggu selama sekitar 30-45 menit , dengan total 150 menit
perminggu, dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.
Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik
dengan intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung
dengan cara = 220-usia pasien.

13
4. Intervensi Farmakologis Terapi farmakologis diberikan bersama dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis
terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
a. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:
1) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea dan Glinid
1. Sulfonilurea Obat golongan ini mempunyai efek utama memacu sekresi
insulin oleh sel beta pankreas.
2. Glinid Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase
pertama. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
2) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan Tiazolidindion (TZD)
1. Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DM tipe 2.
2. Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti termasuk di sel
otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Obat ini dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC IIIIV) karena dapat
memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan
bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk
dalam golongan ini adalah Pioglitazone.
3) Penghambat Absorpsi Glukosa: Penghambat Glukosidase Alfa.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan bila GFR ≤30ml/min/1,73 m2,
gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome.
4) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV) Obat golongan penghambat
DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like
Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas

14
GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon
bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent).
5) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2) Obat golongan
penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang
menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat
transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain:
Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.

Tabel 5. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di indonesia5

15
b.obat antihiperglikemia suntik.5
tabel 6. Farmakokinetik insulin eksogen berdasarkan waktu kerja

16
6). Agonis GLP-1/Incretin Mimetic Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1
merupakan pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat
bekerja sebagai perangsang pengelepasan insulin yang tidak menimbulkan
hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin
menurunkan berat badan. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini
antara lain rasa sebah dan muntah.
c.Terapi Kombinasi
Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik secara terpisah
ataupun fixed dose combination dalam bentuk tablet tunggal, harus menggunakan
dua macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu
dapat terjadi sasaran kadar glukosa darah yang belum tercapai, sehingga perlu
diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral dari kelompok yang berbeda
atau kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin.
Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga obat antihiperglikemia
oral dapat menjadi pilihan. Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang
banyak dipergunakan adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin
basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang), yang diberikan pada
malam hari menjelang tidur. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil.

17
Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar
jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar
glukosa darah puasa keesokan harinya. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal,
maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian
obat antihiperglikemia oral dihentikan.

Penjelasan untuk algoritma Pengelolaan DM Tipe-2


1. Daftar obat dalam algoritmen bukan menunjukkan urutan pilihan. Pilihan obat
tetap harus mempertimbangkan tentang keamanan, efektifitas, penerimaan
pasien, ketersediaan dan harga dengan demikian pemilihan harus didasarkan
padan kebutuhan/kepentingan penyandang DM secara perseorangan
(individualisasi).

18
2. Untuk penderita DM Tipe -2 dengan HbA1C <7.5% maka pengobatan non
farmakologis dengan modifikasi gaya hidup sehat dengan evaluasi HbA1C 3
bulan, bila HbA1C tidak mencapa target < 7% maka dilanjutkan dengan
monoterapi oral.
3. Untuk penderita DM Tipe-2 dengan HbA1C 7.5%-<9.0% diberikan modifikasi
gaya hidup sehat ditambah monoterapi oral. Dalam memilih obat perlu
dipertimbangkan keamanan (hipoglikemi, pengaruh terhadap jantung),
efektivitas, , ketersediaan, toleransi pasien dan harga. Dalam algoritme
disebutkan obat monoterapi dikelompokkan menjadi
a. Obat dengan efek samping minimal atau keuntungan lebih banyak:
1) Metformin
2) Alfa glukosidase inhibitor
3) Dipeptidil Peptidase 4- inhibitor
4) Agonis Glucagon Like Peptide-1
b. Obat yang harus digunakan dengan hati-hati
1) Sulfonilurea
2) Glinid
3) Tiazolidinedione
4) Sodium Glucose coTransporter 2 inhibitors (SGLT-2i)
4. Bila obat monoterapi tidak bisa mencapai target HbA1C<7% dalam waktu 3
bulan maka terapi ditingkatkan menjadi kombinasi 2 macam obat, yang terdiri
dari obat yang diberikan pada lini pertama di tambah dengan obat lain yang
mempunyai mekanisme kerja yang berbeda.
5. Bila HbA1C sejak awal ≥ 9% maka bisa langsung diberikan kombinasi 2
macam obat seperti tersebut diatas.
6. Bila dengan kombinasi 2 macam obat tidak mencapai target kendali, maka
diberikan kombinasi 3 macam obat dengan pilihan sebagai berikut :
a. Metformin + SU
(+ TZD atau + DPP-4 i atau + SGLT-2 i atau + GLP-1 RA atau + Insulin basal)
b. Metformin + TZD
(+ SU + DPP-4 i atau + SGLT-2 i atau + GLP-1 RA atau + Insulin basal )

19
c. Metformin + DPP-4 i
(+ SU + TZD atau + SGLT-2 i atau + Insulin basal )
d. Metformin + SGLT-2 i
(+ SU + TZD atau + DPP-4 i atau + Insulin basal)
e.Metformin + GLP-1 RA
(+ SU atau + TZD atau + Insulin basal)
f.Metformin + Insulin basal
(+ TZD atau + DPP-4 i atau + SGLT-2 i atau + GLP-1 RA )
7. Bila dengan kombinasi 3 macam obat masih belum mencapai target maka
langkah berikutnya adalah pengobatan Insulin basal plus/bolus atau premix
8. Bila penderita datang dalam keadaan awal HbA1C ≥10.0% atau Glukosa darah
sewaktu ≥ 300 mg/dl dengan gejala metabolik, maka pengobatan langsung
dengan :
a. metformin + insulin basal ± insulin prandial atau
b. metformin + insulin basal + GLP-1 RA

II.8 Monitoring
Pada praktek sehari-hari, hasil pengobatan DMT2 harus dipantau secara terencana
dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:1
a. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
1) Mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
2) Melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi
Waktu pelaksanaan pemeriksaan glukosa darah:
1) Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa
2) Glukosa 2 jam setelah makan, atau
3) Glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala sesuai dengan
kebutuhan.
b.Pemeriksaan HbA1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau
hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai HbA1C), merupakan cara yang

20
digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Untuk
melihathasil terapi dan rencana perubahan terapi, HbA1c diperiksa setiap 3 bulan,
atau tiap bulan pada keadaan HbA1c yang sangat tinggi (> 10%). Pada pasien yang
telah mencapai sasran terapi disertai kendali glikemik yang stabil HbA1C diperiksa
paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun. HbA1C tidak dapat dipergunakan sebagai alat
untuk evaluasi pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat
transfusi darah 2-3 bulan terakhir, keadaan lain yang mempengaruhi umur eritrosit
dan gangguan fungsi ginjal
c. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan dengan menggunakan darah
kapiler. Saat ini banyak didapatkan alat pengukur kadar glukosa darah dengan
menggunakan reagen kering yang sederhana dan mudah dipakai.1

II.9 Kriteria Pengendalian DM


Kriteria pengendalian didasarkan pada hasil pemeriksaan kadar glukosa,
kadar HbA1C, dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik adalah apabila
kadar glukosa darah, kadar lipid, dan HbA1c mencapai kadar yang diharapkan,
serta status gizi maupun tekanan darah sesuai target yang ditentukan.1
Kriteria keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat pada Tabel 7
Tabel 7.Sasaran Pengendalian DM5

21
II.10 Komplikasi
Komplikasi dari diabetes sendiri ada bermacam macam. Komplikasi dari DM
sendiri dapat di golongkan menjadi komplikasi akut dan komlikasi kronik.
Beberapa contoh dari komplikasi akut adalah : 8
1) Ketoasidosis diabetik
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif
dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan
hormon pertumbuhan).
2) Koma Hiperosmolar Non Ketotik
Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih besar dari 600 mg%
tanpa ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350 mosm. Keadaan ini
jarang mengenai anak anak, usia muda atau diabetes tipe non insulin dependen
karena pada keadaan ini pasien akan jatuh kedalam kondisi KAD, sedangkan pada
DM tipe 2 dimana kadar insulin darah nya masih cukup untuk mencegah lipolisis
tetapi tidak dapat mencegah keadaan hiperglikemia sehingga tidak timbul
hiperketonemia.
3) Hipoglikemia
Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala klinis
atau GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium parasimpatik: lapar,
mual, tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan : lemah lesu, sulit bicara
gangguan kognitif sementara. Stadium simpatik, gejala adrenergik yaitu keringat
dingin pada muka, bibir dan gemetar dada berdebar-debar. Stadium gangguan otak
berat, gejala neuroglikopenik : pusing, gelisah, penurunan kesadaran dengan atau
tanpa kejang.
Komplikasi kronik dari diabetes melitus sendiri dapat dibagi menjadi 2 :
komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler. Komlplikasi mikrovaskuler terdiri
dari:
1) Retinopati diabetik
Pada retinopati diabetik prolIferatif terjadi iskemia retina yang progresif yang
merangsang neovaskularisasi yang menyebabkan kebocoran protein-protein serum
dalam jumlah besar. Neovaskularisasi yang rapuh ini berproliferasi ke bagian dalam

22
korpus vitreum yang bila tekanan meninggi saat berkontraksi maka bisa terjadi
perdarahan masif yang berakibat penurunan penglihatan mendadak. Hal tersebut
pada penderita DM bisa menyebabkan kebutaan.
2) Neuropati diabetik
Neuropati diabetik perifer merupakan penyakit neuropati yang paling sering terjadi.
Gejala dapat berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus
kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar
sendiri dan lebih terasa sakit di malam hari
3) Nefropati diabetik
Ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau > 200 mg/menit pada
minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut menjadi proteinuria
akibat hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat glomerulus. Akibat
glikasi nonenzimatik dan AGE, advanced glication product yang ireversible dan
menyebabkan hipertrofi sel dan kemoatraktan mononuklear serta inhibisi sintesis
nitric oxide sebagai vasadilator, terjadi peningkatan tekanan intraglomerulus dan
bila terjadi terus menerus dan inflamasi kronik, nefritis yang reversible akan
berubah menjadi nefropati dimana terjadi keruakan menetap dan berkembang
menjadi chronic kidney disease
Komplikasi makrovaskular yang sering terjadi biasanya merupakan
makroangiopati. Penyakit yang termasuk dalam komplikasi makrovaskular
adalah:10
1) Penyakit pembuluh darah jantung atau otak
2) Penyakit pembuluh darah tepi
Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes, biasanya terjadi
dengan gejala tipikal intermiten atau klaudikasio, meskipun sering anpa gejala.
Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul

23
BAB III
Kesimpulan

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu sindrom gangguan metabolisme dan


ditandai dengan hiperglikemia yang disebabkan oleh defisiensi absolut atau relatif
dari sekresi insulin atau gangguan kerja insulin. Upaya diagnosis dini dan
penatalaksanaan yang efisien serta tepat sangat dibutuhkan pada pasien dengan
sindrom gangguan metabolisme yang ditandai dengan adanya hiperglikemia
(Diabetes Melitus), Penyandang diabetes melitus mempunyai risiko 2 kali lebih
besar untuk mengalami penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh darah
otak, 5 kali lebih mudah menderita ulkus/gangren, 7 kali lebih mudah mengidap
gagal ginjal terminal, dan 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan akibat
kerusakan retina daripada pasien non diabetes. kejadian komplikasi mikrovaskular
dan makrovaskular akan memperberat prognosis pasien dengan diabetes melitus
akan menjadi lebih buruk dan menurunkan kualitas hidup pasien untuk menjalani
kehidupannya dimasa yang akan datang. Untuk itu diagnosis yang tepat dan
penatalaksanaan yang efisien dibutuhkan untuk mencegah terjadinya komplikasi
mikrovaskular dan makrovaskular

24
DAFTAR PUSTAKA

1. American Diabetes Association. Classification and Diagnosis of Diabetes. Diabetes


Care; Vol 38(Suppl. 1): S8-16.2015
2. Riset Kesehatan Dasar.: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jakarta 2013.
3. Soegondo S. & Sukardji K. Hidup Secara Mandiri dengan Diabetes Mellitus
Kencing Manis Sakit Gula. Jakarta: FKUI.2008
4. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan
Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, PB. PERKENI. Jakarta. 2015
5. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Petunjuk Praktis: Terapi Insulin Pada
Pasien Diabetes Melitus, PB. PERKENI. Jakarta. 2015
6. Paulsen F. & J. Waschke.Sobotta Atlas Anatomi Manusia : Anatomi Umum dan
Muskuloskeletal. Penerjemah : Brahm U. Penerbit. Jakarta : EGC. 2013
7. Ganong W F. Fungsi Endokrin Pankreas dan Pengaturan Metabolisme Karbohidrat.
Dalam: H M Djauhari, editor: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta:
EGC. Hal 320,322-323.2002
8. Boedisantoso, A. Komplikasi Akut Diabetes Mellitus. Fakultas Kedokteran UI.
Jakarta.2005
9. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-
6. Jakarta: EGC; 2006.
10. Soewondo, P., Soegondo, S., Suastika, K., Pranoto, A., Soeatmaji, D.W.,
Tjokroprawiro, A. The diabcare asia 2008 study –outcomes on control and
complications of type 2 diabetic patients in indonesia, Med J Indonesia,19,. 4,
November 2010.

25

Anda mungkin juga menyukai