Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak


menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan.

Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai mekanisme


proteksi, defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibel
nyeri memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab
nyeri sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai
mekanisme defensif, memungkinkan untuk immobilsasi organ tubuh yang mengalami
inflamasi atau patah sehingga sensibel yang dirasakan akan mereda dan bisa
mempercepat penyembuhan.

Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan adanya
nyeri pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui,
misalnya, nyeri yang dirasakan oleh seorang pada daerah perut kanan bawah,
kemungkinan pasien tersebut menderita radang usus buntu. Contoh lain, misalnya
seorang ibu hamil cukup bulan, mengalami rasa nyeri di daerah perut, kemungkinan
merupakan tanda bahwa proses persalinan sudah dimulai.

Pada penderita kanker stadium lanjut, apabila penyakitnya sudah menyebar ke


berbagai jaringan tubuh seperti misalnya ke dalam tulang, nyeri yang dirasakanya
tidak lagi berperan sebagai mekanisme proteksi, defensif atau diagnostik, tetapi akan
menambah penderitaannya semakin berat.

Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang


mengakibatkan penderitaan yang sangat berat bagi pasien pada hakikatnya tidak saja
tertuju pada usaha untuk mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan

1
bermaksud menjangkau mutu kehidupan pasien, sehingga ia dapat menikmati
kehidupan yang normal dalam keluarga maupun lingkungannya.

1.2 Tujuan Penulisan


a. Menambah wawasan mengenai Manajmen Nyeri yang benar dan tepat
b. Melengkapi syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian Anastesi
RSUD Solok tahun 2018.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan pernyataan


masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana anatomi jaras nyeri?


b. Bagaimana fisiologi nyeri?
c. Apakah definisi nyeri?
d. Apa saja klasifikasi nyeri?
e. Bagaimana cara penilaian nyeri?
f. Bagaimana manajemen nyeri?

1.4 Metode Penulisan


Referat ini dibuat dengan metode tinjauan kepustkaan yang merujuk pada
berbagai literatur.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Jaras Nyeri

Penghantaran nyeri sangat rumit, karena itu amat penting untuk mengetahui
tentang neuroanatomi dan neurofisiologi nyeri. Sensibilitas terhadap rangsangan
instrinsik dan ekstrinsik bergantung dari anatomi sistem penerima rangsang yang
terdiri dari reseptor sebagai struktur yang dirancang untuk menerima rangsang.
Reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas yang tersebar luas pada tubuh.

2.1.1 Sel Saraf


Sel saraf atau neuron terdiri dari badan sel, nukleus, sitoplasma, dan tonjolan-
tonjolan yang disebut dendrit yang bertugas membawa impuls menuju badan sel
dan serabut saraf yang bertugas membawa impuls dari badan sel ke perifer.
Disebelah luar serabut saraf terdapat selubung yang disebut mielin yang
dibungkus lagi oleh neurolema. Selubung ini hanya terdapat pada sistem saraf
perifer. Serabut saraf unipolar merupakan serabut saraf sensoris yang bertugas
sebagai penerima dan penyalur rangsang dari luar tubuh ke susunan saraf pusat.
Pada sel saraf unipolar terdapat tonjolan pusat dan tonjolan perifer yang berakhir
pada kulit dan selaput lendir. Ujungnya bertugas menerima rangsang dan disebut
reseptor.
Berdasarkan lokasinya, reseptor nyeri di kelompokkan menjadi:4
a. Eksteroseptif adalah reseptor yang menerima rangsang pada permukaan luar
tubuh.
b. Enteroseptif adalah reseptor yang menerima rangsang dari organ dalam tubuh.
c. Propioseptif adalah reseptor yang menerima rangsang dari otot, tendon dan
persendian.

3
2.1.2 Reseptor Nyeri
Pada dasarnya ada lima macam reseptor sensori di dalam tubuh yaitu:
a. Mekanoseptor yaitu reseptor yang mendeteksi perubahan bentuk reseptor atau
sel di dekat reseptor tersebut.
b. Termoreseptor yaitu reseptor yang mendeteksi perubahan suhu
c. Nosiseptor yaitu reseptor yang mendeteksi kerusakan di dalam jaringan baik
kerusakan fisik maupun kimia
d. Reseptor elektromagnet yaitu reseptor yang mendeteksi cahaya pada retina
mata
e. Kemoreseptor yaitu reseptor yang mendeteksi pengecapan di dalam mulut,
bau di dalam hidung, kadar O2 di dalam darah arteri, osmolitas cairan tubuh,
kadar CO2 dan bahan kimia tubuh lainnya.
Reseptor nyeri disebut nosiseptor yang umumnya diartikan sebagai ujung
saraf bebas pada serabut saraf bermielin dan tidak bemielin. Persepsi nyeri
diperantai oleh reseptor kimia spesifik yang timbul bila terjadi kerusakan
jaringan. Substansi tersebut adalah asetil kolin, histamin serotonim, prostaglandin
dan bradikinin.

2.1.3 Perjalanan Nyeri


Untuk lebih mudah memahami proses terjadinya nyeri, dibutuhkan
pengetahuan yang baik tentang anatomi fisiologi sistem persarafan. Rangkaian
proses terjadinya nyeri diawali dengan tahap transduksi. Hal ini terjadi ketika
nosiseptor yang terletak pada bagian perifer tubuh, distimulasi oleh berbagai
stimulus seperti faktor biologis, mekanis, listrik thermal, radiasi dan lain-lain.
Serabut saraf tertentu bereaksi atas stimulus tertentu, sebagaimana disebutkan
dalam klasifikasi. Klasifikasi serabut saraf dapat dilihat dalam Tabel 1. Dapat
dilihat bahwa informasi nosiseptif dapat diteruskan oleh serabut A-delta dan
serabut C, tetapi kedua jenis serabut tersebut juga menyampaikan informasi dari

4
termoreseptor, mekanoreseptor ambang rendah, dan masing-masing serabut
otonom preganglionik dan postganglionik.

Tabel 1. Klasifikasi serabut saraf1


Tipe serabut Diameter Penghantara Reseptor Efektor
(μm) n (m/detik) Afferen Eferen
A-α 12-21 70-120 Otot spindle- α-akson
aferen motoneuron
primerOrgan ke otot rangka
tendon golgi
A-β 6-12 35-70 Otot spindle-aferen sekunder,
Mekanoreseptor ambang
rendah
A-γ 2-8 12-48 γ -akson motoneuron ke otot
spindle
A-δ 1-6 2.5-35 Ambang rendah
Mekanoreseptor
Termoreseptor
Nosiseptor
Β 1-3 2.5-15 Preganglionik
Serabut-serabut otonom
C 0.4-1.2 0.7-1.5 Ambang Postganglioni
rendah k
Mekanoresept Serabut-
or serabut
Termoresepto otonom
r
Nosiseptor

5
Fast pain dicetuskan oleh reseptor tipe mekanis atau thermal (yaitu serabut saraf
A-Delta) sedangkan slow pain ( nyeri lambat) biasanya dicetuskan oleh serabut saraf
C.Serabut saraf A-Delta mempunyai karakteristik menghantarkan nyeri dengan cepat
serta bermielinasi dan serabut saraf C yang tidak bermielinasi, berukuran sangat kecil
dan bersifat lambat dalam menghantarkan nyeri.Serabut A mengirim sensasi yang
tajam, terlokalisasi, dan jelas dalam melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi
intensitas nyeri. Serabut C menyampaikan impuls yang tidak terlokalisasi (bersifat
difusi) visceral dan terus menerus.

Tabel 2. Perbedaan serabut saraf A-delta dan C9


Serabut A-delta Serabut C
Bermielinasi Tidak Bermielinasi
Diameter 2-5 mikrometer Diameter 0.4-12.2mikrometer
Kecepatan hantar 12-30 m/dt Kecepatan hantar 0.5-2 m/dt
Menyalurkan impuls nyeri yang bersifat Menyalurkan impuls nyeri yang bersifat
tajam , menusuk, terlokalisasi dan jelas tidak terlokalisasi, visceral dan terus-
menerus
Sebagai contoh mekanisme kerja serabut A-delta dan serabut C dalam suatu
trauma adalah ketika sesorang menginjak paku, sesaat setelah kejadian orang tersebut
dalam waktu kurang 1 detik akan merasakan nyeri yang terlokalisasi dan tajam, yang
merupakan transmisi dari serabut A. Dalam beberapa detik selanjutnya nyeri
menyebar sampai seluruh kaki terasa sakit karena persarafan serabut C.

6
Gambar 2. Perjalanan impuls nyeri
Tahap selanjutnya adalah transmisi, dimana impuls nyeri kemudian
ditransmisikan serat afferen (A-delta dan C) ke medulla spinalis melalui dorsal horn,
dimana disini impuls akan bersipnasis di substansia gelatinosa ( lamina II dan III)
impuls kemudian menyebrang keatas melewati traktus spinothalamus anterior dan
lateral diteruskan langsung ke thalamus tanpa singgah di formatio retikularis
membawa impuls fast pain. Di bagian thalamus dan korteks selebri inilah individu
kemudian dapat mempersepsikan, mengambarkan, melokalisasi, menginterpretasikan
dan mulai berespon terhadap nyeri.Beberapa impuls nyeri ditransmisikan melalui
traktus paleospinothalamus pada bagain tengah medulla spinalis. Impuls ini
memasuki formatio retikularis dan sistem limbik yang mengatur perilaku emosi dan
kognitif, serta integritas dari sistem saraf otonom. Slow pain yang terjadi akan
membangkitkan marah, cemas, tekanan darah meningkat, keluar keringat dingin dan
jantung berdebar-debar (Gambar 3).

7
2.2 Fisiologi Nyeri

Mekanisme nyeri berlangsung melalui reseptor nyeri, serabut saraf sensori


periferal, sumsum tulang belakang, medula oblongata, formasi retikuler, mesenfalon,
talamus, dan korteks serebri.4 Nyeri berdasarkan mekanismenya melibatkan persepsi
dan respon terhadap nyeri tersebut. Mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat
proses, yaitu tranduksi/transduction, transmisi/transmission, modulasi/modulation,
dan persepsi/ perception. Keempat proses tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Transduksi/Transduction
Transduksi adalah adalah proses dari stimulasi nyeri dikonfersi kebentuk yang
dapat diakses oleh otak. Proses transduksi dimulai ketika nosiseptor yaitu reseptor
yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor ini
(nosiseptor) merupakan sebagai bentuk respon terhadap stimulus yang datang
seperti kerusakan jaringan.
b. Transmisi/Transmission
Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang membawa
impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi melibatkan saraf
aferen yang terbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke sedang serta yang
berdiameter besar. Saraf aferen akan berakson pada dorsal horn di spinalis.
Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan melalui sistem contralateral spinalthalamic
melalui ventral lateral dar thalamus menuju korteks serebral.

c. Modulasi/Modulation
Proses modulasi mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya mengontrol
jalur transmisi nosiseptor tersebut. Proses modulasi melibatkan sistem neural
yang komplek. Ketika impuls nyeri sampai di pusat saraf, transmisi impuls nyeri
ini akan dikontrol oleh sistem saraf pusat dan mentransmisikan impuls nyeri ini
kebagian lain dari sistem saraf seperti bagian korteks. Selanjutnya impuls nyeri

8
ini akan ditransmisikan melalui saraf-saraf descend ke tulang belakang untuk
memodulasi efektor.

d. Persepsi/Perception
Persepsi adalah proses yang subjektif. Proses persepsi ini tidak hanya
berkaitan dengan proses fisiologis atau proses anatomis. Oleh karena itu, faktor
psikologis, emosional, dan behavioral (perilaku) juga muncul sebagai respon
dalam mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut. Proses persepsi ini jugalah
yang menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena yang melibatkan
multidimensional.
2.3 Definisi Nyeri

Nyeri (Pain) adalah kondisi perasaan yang tidak menyenagkan. Sifatnya sangat
subjektif karna perasaan nyeri berbeda pada setiap orang baik dalam hal skala
ataupun tingkatannya dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan dan
mengefakuasi rasa nyeri yang dialaminya.

Internasional Association for Study of Pain (IASP), mendefenisikan nyeri sebagai


suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenagkan yang
berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat akut yang dirasakan dalam
kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan.

Nyeri adalah pengalaman sensori nyeri dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial yang tidak
menyenagkan yang terlokalisasi pada suatu bagian tubuh ataupun sering disebut
dengan istilah distruktif dimana jaringan rasanya seperti di tusuk-tusuk, panas
terbakar, melilit, seperti emosi, perasaan takut dan mual.

9
2.4 Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Durasi
a. Nyeri Akut

Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau
intervensi bedah dan memiliki proses yang cepat dengan intensitas yang
bervariasi (ringan sampai berat), dan berlangsung untuk waktu yang singkat.

Nyeri akut berdurasi singkat (kurang lebih 6 bulan) dan akan menghilang
tanpa pengobatan setalh area yang rusak pulih kembali (Prasetyo, 2010).

b. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan yang intermiten yang menetap sepanjang
suatu priode waktu, Nyeri ini berlangsung lama dengan intensitas yang bervariasi
dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan.

Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Asal


a. Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh aktivitas atau
sensivitas nosiseptor perifer yang merupakan respetor khusus yang mengantarkan
stimulus naxious. Nyeri nosiseptor ini dapat terjadi karna adanya adanya stimulus
yang mengenai kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dan lain-lain.

b. Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik merupakan hasil suatu cedera atau abnormalitas yang di
dapat pada struktur saraf perifer maupun sentral , nyeri ini lebih sulit diobati.

10
Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi
a. Supervicial atau kutaneus
Nyeri supervisial adalah nyeri yang disebabkan stimulus kulit. Karakteristik
dari nyeri berlangsung sebentar dan berlokalisasi. Nyeri biasanya terasa sebagai
sensasi yang tajam. Contohnya tertusuk jarum suntik dan luka potong kecil atau
laserasi.
b. Viseral Dalam
Nyeri viseral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi organ-organ internal.
Nyeri ini bersifat difusi dan dapat menyebar kebeberapa arah. Nyeri ini
menimbulkan rasa tidak menyenangkan dan berkaitan dengan mual dan gejala-
gejala otonom. Contohnya sensasi pukul (crushing) seperti angina pectoris dan
sensasi terbakar seperti pada ulkus lambung.

c. Nyeri Alih (Referred pain)


Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral karna banyak
organ tidak memiliki reseptor nyeri. Karakteristik nyeri dapat terasa di bagian
tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai
karakteristik. Contohnya nyeri yang terjadi pada infark miokard, yang
menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri, batu empedu, yang mengalihkan
nyeri ke selangkangan.

d. Radiasi
Nyeri radiasi merupakan sensi nyeri yang meluas dari tempat awal cedera ke
bagian tubuh yang lain (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013).
Karakteristik nyeri terasa seakan menyebar ke bagian tubuh bawah atau sepanjang
kebagian tubuh. Contoh nyeri punggung bagian bawah akibat diskusi
interavertebral yang ruptur disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai dari
iritasi saraf skiatik.

11
2.5 Penilaian Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu. Pengukuran intensitas nyeri bersifat sangat sabjektif dan nyeri dalam
intensitas yang sama dirasakan berbeda oleh dua orang yang berbeda.

Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mugkin adalah


menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri, namun pengukuran
dengan pendekatan objektif juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang
nyeri itu sendiri.

Beberapa skala intensitas nyeri :


a. Skala Intensitas Nyeri Deskriftif Sederhana

(Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri, Jogjakarta: Ar-Ruzz)


Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor scale, VDS) merupakan alat
pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objekti. Pendeskripsian VDS
diranking dari ” tidak nyeri” sampai ”nyeri yang tidak tertahankan”(Andarmoyo,
2013). Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih
intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Alat ini memungkinkan klien memilih
sebuah ketegori untuk mendeskripsikan nyeri (Andarmoyo, 2013).

2.6 Manajemen Nyeri

Sebelum dilakukanya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus


memahami tata laksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di dalam pengelolaan
nyeri ini terdapat prinsip-prinsip umum yaitu :

1. Mengawali pemeriksaan dengan seksama


2. Menentukan penyebab dan derajat/stadium penyakit dengan tepat
3. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga
4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan
5. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi

12
6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan
7. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multidisiplin

Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesar-


besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua metode
umum untuk terapi nyeri yaitu pendekatan farmakologik dan non farmakologik.

Penanganan nyeri paska pembedahan yang efektif harus mengetahui patofisiologi


dan pain pathway sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara
farmakoterapi (multimodal analgesia), pembedahan, serta juga terlibat didalamnya
perawatan yang baik dan teknik non-farmakologi (fisioterapi, psikoterapi).

2.6.1 Manajemen Farmakologik


Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic
Ladder. Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan nyeri itu
terdiri dari :
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik non
opiat.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu ditambahkan
obat opioid lemah misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah
ketiga, disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.
Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk
nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu :
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1

13
Pada setiap langkah, apabila perlu dapat ditambahkan adjuvan atau obat
pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvant) dapat bermanfaat dalam masing-
masing taraf penaggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan efektivitas
analgesik, memberantas gejala-gejala yang menyertai, dan kemampuan untuk
bertindak sebagai obat tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri tertentu.
Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang paling sering digunakan.
Terdapat tiga kelompok obat nyeri yaitu analgesik non opioid, analgesik opioid dan
antagonis dan agonis-antagonis opioid. Kelompok keempat obat disebut adjuvan atau
koanalgesik. Penatalaksanaan farmakologik dengan obat-obat analgesik harus
digunakan dengan menerapkan pendekatan bertahap. Ada pula mengatasi nyeri secara
terpadu yaitu bila pada proses transduksi diberikan NSAID, bila pada proses
transmisi diberikan anestesi lokal, dan bila pada proses modulasi diberikan narkotik.
1. Analgesik non-opioid (obat anti inflamasi non steroid/OAINS)
Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan
sampai sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen
(tylenol) dan OAINS. Tersedia bermacam-macam OAINS dengan efek
antipiretik, analgesik, dan anti inflamasi (kecuali asetaminofen). OAINS yang
sering digunakan adalah asam asetil salisilat (aspirin) dan ibuprofen (advil).
OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit
meradang yang kronik seperti artritis, dan nyeri akibat kanker ringan.

14
Pembagian Obat Anti Inflamasi Non Steroid

OAINS mengahasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera melalui


inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat. Prostaglandin
mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara sinergis dengan produk inflamatorik lain
di tempat cedera, misalnya bradikinin dan histamin, untuk menimbulkan hiperalgesia.
Dengan demikian, OAINS mengganggu mekanisme transduksi di nosiseptor dengan
menghambat sintesis prostaglandin.
Berbeda dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan ketergantungan atau
toleransi fisik. Semua memiliki ceiling effect yaitu peningkatan dosis melebihi kadar
tertentu tidak menambah efek analgesik. Penyulit yang tersering berkaitan dengan
pemberian OAINS adalah gangguan saluran cerna, meningkatnya waktu pendarahan,
pengelihatan kabur, perubahan minor uji fungsi hati, dan berkurangnya fungsi hati,
dan berkurangnya fungsi ginjal.

15
2. Analgesik opioid
Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan digunakan dalam
pengobatan nyeri sedang sampai berat. Obat-obat ini merupakan patokan dalam
pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri terkait kanker. Morfin adalah suatu
alkaloid yang berasal dari getah tumbuhan opium poppy yang telah dikeringkan dan
telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu karena efek analgesik, sedatif dan
euforiknya. Morfin adalah salah satu obat yang paling luas digunakan untuk
mengobati nyeri berat dan masih standar pembanding untuk menilai obat analgesik
lain.
Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan efek
analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid telah semakin jelas sejak
penemuan resptor-reseptor opioid endogen di sistem limbik, talamus, PAG,
substansia gelatinosa, kornu dorsalis dan usus. Opioid endogen seperti morfin
menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid dengan cara serupa dengan
opioid endogen (endorfin-enkefalin); yaitu morfin memiliki efek agonis
(meningkatkan kerja reseptor). Dengan mengikat reseptor opioid di nukleus
modulasi-nyeri di batang otak, morfin menimbulkan efek pada sistem-sistem
desenden yang menghambat nyeri.
Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip
termasuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu, semua
opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan dan ketagihan (adiksi).
Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis yang lebih tinggi untuk
mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi terhadap opioid tersebut diberikan
dalam jangka panjang, misalnya pada terapi kanker. Walaupun terdapat toleransi
silang yang cukup luas diantara obat-obat opioid, hal tersebut tidaklah komplete.
Misalnya codein, tramadol, morfin solutio.

16
Mekanisme kerja obat untuk nyeri

3. Antagonis dan agonis-antagonis opioid


Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan mengikat
reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu antagonis opioid
murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid. Nalokson digunakan
untuk melawan efek kelebihan dosis narkotik, yaitu yang paling serius adalah depresi
nafas dan sedasi.
Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan anatagonis, seperti pentazosin
(talwin) dan butorfanol (stadol). Apabila diberikan kepada pasien yang bergantung
pada narkotik, maka obat-obat ini dapat memicu gejala-gejala putus obat. Agonis-
antagonis opioid adalah analgetik efektif apabila diberikan tersendiri dan lebih kecil
kemungkinannya menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan (misalnya
depresi pernafasan) dibandingkan dengan antagonis opioid murni.

4. Adjuvan atau koanalgesik


Obat adjuvan atau koanalgetik adalah obat yang semula dikembangkan untuk
tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memilki sifat
analgetik atau efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri.

17
Sebagian dari obat ini sangat efektif dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang
mungkin tidak berespon terhadap opioid.
Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah terbukti efektif
untuk mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf. Anti kejang
ini efektif untuk nyeri neuropatik karena obat golongan ini menstabilkan membran sel
saraf dan menekan respon akhir di saraf.
Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah analgetik yang
sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit lain yang menimbulkan
nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk neuralgia pasca herpes, invasi
struktur saraf karena karsinoma, nyeri pasca bedah, dan artritis reumatoid. Pada
pengobatan untuk nyeri, antidepresan trisiklik tampaknya memiliki efek analgetik
yang independen dari aktivitas antidepresan.
Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah hidroksizin
(vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit dan efek aditif
apabila diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya diazepam (valium), yang
digunakan untuk mengobati kejang otot yang berkaitan dengan nyeri; dan steroid
misalnya dexametason, yang telah digunakan untuk mengendalikan gejala yang
berkaitan dengan kompresi medula spinalis atau metastasis tulang pada pasien
kanker.
Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa (misalnya,
agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal bersama dengan
opioid atau anestetik lokal; obat ini juga memiliki efek analgetik apabila diberikan
secara sistemis karena memulihkan respons adrenergik simpatis yang berlebihan di
reseptor sentral dan perifer. Antagonis alfa-1, prazosin, juga pernah digunakan dalam
penatalaksanaan nyeri yang disebabkan oleh sistem simpatis. Efek samping utama
dari obat-obat ini adalah hipotensi dan potensial depresi pernafasan yang diinduksi
oleh opioid.

18
2.6.2 Manajemen Nonfarmakologik
Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak pasien
dan dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri yang tidak
terkait keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah metode
nonfarmakologik untuk mengatasi nyeri. Metode nonfarmakologik untuk
mengendalikan nyeri dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu terapi dan modalitas
fisik serta strategi kognitif-perilaku. Sebagian dari modalitas ini mungkin berguna
walaupun digunakan secara tersendiri atau digunakan sebagai adjuvan dalam
penatalaksanaan nyeri.
1. Terapi dan Modalitas Fisik
Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi
kulit (pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupuntur, aplikasi panas
atau dingin, olahraga). Stimulasi kulit akan merangsang serat-serat non-nosiseptif
yang berdiameter besar untuk “menutup gerbang” bagi serat-serat berdiameter
kecil yang menghantarkan nyeri sehingga nyeri dapat dikurangi. Dihipotesiskan
bahwa stimulasi kulit juga dapat menyebabkan tubuh mengeluarkan endorfin
dan neurotransmiter lainnya yang menghambat nyeri.
Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering digunakan adalah
pemijatan atau penggosokan. Pijat dapat dilakukan dengan jumlah tekanan dan
stimulasi yang bervariasi terhadap berbagai titik diseluruh tubuh. Pijat akan
melemaskan ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi lokal. Pijat punggung
memiliki efek relaksasi yang kuat dan apabila dilakukan oleh individu yang
penuh perhatian maka akan menghasilkan efek emosional yang positif.
Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS atau TNS) terdiri dari
suatu alat yang digerakkan oleh batere yang mengirim impuls listrik lemah
melalui elektroda yang diletakkan di tubuh. Elektroda pada umumnya diletakkan
diatas atau dekat dengan bagian yang nyeri. TENS digunakan untuk
penatalaksanaan nyeri akut dan kronik; nyeri pascaoperasi, nyeri punggung
bawah, phantom limb pain, neuralgia perifer dan artritis rematoid.

19
Akupuntur adalah teknik kuno dari cina berupa insersi jarum halus ke
dalam berbagai titik akupuntur di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri. Metode
noninvasif lain untuk merangsang titik-titik pemicu adalah memberi tekanan
dengan ibu jari, suatu teknik yang disebut akupresur.
Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat
digunakan untuk melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah nyeri
yang berkaitan dengan kekakuan dan imobilitas.
Aplikasi panas adalah tindakan sederhana yang telah lama dikeketahui
sebagai metode yang efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang otot. Panas
dapat disalurkan melalui konduksi (botol air panas, bantalan pemanas listrik,
lampu, kompres basah panas), konveksi (whirpool, sitz bath, berendam air
panas), konversi (ultrasonografi, diatermi). Nyeri akibat memar, spasme otot, dan
artritis berespon baik terhadap panas. Karena melebarkan pembuluh darah dan
meningkatkan aliran darah lokal, panas jangan digunakan setelah cidera
traumatik saat masih ada edema dan peradangan. Karena meningkatkan aliran
darah, panas mungkin meredekan nyeri dengan menyingkirkan produk-produk
inflamasi seperti bradikinin, histamin, dan prostaglandin yang menimbulkan
nyeri lokal.
Berbeda dengan terapi panas, yang efektif untuk nyeri kronik, aplikasi
dingin efektif untuk nyeri akut (misalnya trauma akibat luka bakar, tersayat,
terkilir). Dingin dapat disalurkan dlam bentuk berendam atau komponen air
dingin, kantung es, aquamatic K pads, dan pijat es. Aplikasi dingin mengurangi
aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi edema serta perdarahan.
Diperkirakan bahwa terapi dingin menimbulkan efek analgetik dengan
memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai
otak lebih sedikit. Mekanisme lain yang mungkin bekerja bahwa persepsi dingin
menjadi dominan dan mengurangi persepsi nyeri.

20
2. Strategi kognitif-perilaku
Strategi kognitif-perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien
terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien perasaan yang
lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi-strategi ini mencakup
relaksasi, penciptaan khayalan (imagery), hipnosis, dan biofeedback. Walaupun
sebagian besar metode kognitif-perilaku menekankan salah satu relaksasi atau
pengelihatan, pada praktik keduanya tidak dapat dipisahkan.
Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah dengan olahraga dan
bernafas dalam, meditasi dan mendengarkan musik-musik yang menenangkan.
Teknik-teknik relaksasi akan mengurangi rasa cemas, ketegangan otot, dan stress
emosi sehingga memutuskan siklus nyeri-stress-nyeri, saat nyeri dan stress saling
memperkuat.
Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan memfokuskan
perhatian pasien pada stimulus lain dan menjauhi nyeri. Menonton televisi,
membaca buku, mendengar musik, dan melakukan percakapan.
Penciptaan khayalan dengan tuntutan adalah suatu bentuk pengalihan
fasilator yang mendorong pasien untuk mevisualisasikan atau memikirkan
pemandangan atau sensasi yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatian
menjauhi nyeri. Tehnik ini sering dikombinasikan dengan relaksasi.

Hipnosis adalah suatu metode kognitif yang bergantung pada bagaimana


memfokuskan perhatian pasien menjauhi nyeri; metode ini juga bergantung pada
kemampuan ahli terapi untuk menuntun perhatian pasien ke bayangan-bayangan
yang paling konstruktif.
Umpan-balik hayati adalah suatu teknik yang bergantung pada kemampuan
untuk memberikan ukuran-ukuran terhadap parameter fisiologik tertentu kepada
pasien sehingga pasien dapat belajar mengendalikan parameter tersebut termasuk
suhu kulit, ketegangan otot, kecepatan denyut jantung, tekanan darah dan
gelombang otak.

21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

22
DAFTAR PUSTAKA

23

Anda mungkin juga menyukai