MULTIPEL SKLEROSIS
I. Konsep Penyakit
1.1 Definisi
Multipel sklerosis (MS) penyakit autoimun kronik yang menyerang
mielin otak dan medula spinalis. Penyakit ini menyebabkan
kerusakan mielin dan juga akson yang mengakibatkan gangguan
transmisi konduksi saraf (Tsang, 2011).
1.2 Etiologi
Multiple sclerosis muncul dari interaksi yang kompleks dari
lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan yang
mempengaruhi antara lain tempat tinggal, usia pra dewasa, paparan
virus Epstein-Barr, dan merokok. Insiden lebih tinggi terjadi pada
penderita usia lanjut yang terkena infeksi virus Epstein-Barr.
Sedangkan untuk faktor genetik berkaitan dengan predisposisi
terjadinya disfungsi imun (Tsang, 2011; Luzio, 2014). Sejumlah
virus dikatakan menjadi agen penyebab yang mungkin pada MS,
beberapa peneliti menduga virus campak (rubela). Berbagai
antibodi campak telah ditemukan dalam serum dan cairan
serebrospinalis pasien MS, dan bukti yang ada mengesankan
antibodi ini dihasilkan dalam otak. Bila virus campak terlibat,
kemungkinan virus itu menyerang dalam awal kehidupan, tidak
aktif (dorman) selama beberapa tahun, dan kemudian merangsang
respons autoimun. Virus yang lambat memiliki masa inkubasi yang
lama dan hanya mungkin berkembang dengan keadaan defisiensi
atau imun yang abnormal. Antigen histokompatibilitas tertentu
(HLA-A3, HLA-A7) telah ditemukan lebih sering pada pasien MS
(Price dan Wilson, 2012).
1.3 Tanda dan Gejala
Serangan atau eksaserbasi dari multiple sclerosis (MS) yang
ditandai dengan gejala gejala yang mencerminkan keterlibatan SSP.
Inti gejala episode MS "dipisahkan dalam ruang dan waktu" yaitu,
episode terjadi bulan atau tahun terpisah dan mempengaruhi lokasi
anatomi yang berbeda. Sebagai contoh, pasien mungkin datang
dengan parestesia dari tangan yang kemudian mereda, diikuti
beberapa bulan kemudian oleh kelemahan pada kaki atau gangguan
Penglihatan (misalnya, diplopia). Selain itu, durasi serangan harus
lebih dari 24 jam.Tampilan klinis MS sering bervariasi antara
pasien. Beberapa pasien memiliki dominasi perubahan kognitif,
sementara yang lain hadir dengan ataksia menonjol, hemiparesis
atau paraparesis, depresi, atau gejala visual. Selain itu, penting
untuk mengenali bahwa perkembangan cacat fisik dan kognitif pada
MS mungkin terjadi tanpa adanya eksaserbasi klinis (Luzzio, 2014).
1.4 Patofisiologi
Satu hipotesis menunjukkan bahwa beberapa bentuk infeksi
sistemik dapat menyebabkan up-regulasi molekul adhesi pada
endotelium dari otak dan sumsum tulang belakang, yang
memungkinkan leukosit melintasi dinding pembuluh untuk
memasuki sistem saraf pusat. Jika limfosit diprogram untuk
mengenali antigen mielin ada dalam infiltrat sel, mereka dapat
memicu kaskade kejadian inflamasi akut, lesi demielinasi. Lesi ini
biasanya berkembang dalam white matter atau substansia alba,
dimana target utamanya adalah selubung myelin. Ada bukti
substansial juga untuk mendukung hipotesis bahwa genetika
memiliki peran penting dalam kerentanan seseorang untuk multiple
sclerosis, mungkin dalam hubungannya dengan faktor-faktor
lingkungan. Meskipun beberapa peneliti berpendapat hubungan
langsung sebab akibat antara berbagai agen infeksi dan gangguan
ini. Agen infeksi mungkin juga memiliki peran dalam mekanisme
sentral yang berpuncak pada interaksi antara sel-sel T dan
serebrovaskular endotelium dengan mengatur molekul adhesi yang
penting untuk perekrutan-sel kekebalan ke dalam sistem saraf pusat
(Frohman et al., 2010).
1.6 Komplikasi
Pada pasien dengan MS, trauma fatigue merupakan komplikasi
yang paling sering. Selain itu dapat juga terjadi komplikasi
sekunder lain seperti pemendekan otot, permanent contracture,
nyeri, konstipasi, osteoporosis, obesitas, pneumonia aspirasi, gejala
paroksimal, disfungsi bladder, disfungsi bowel dan disfungsi
seksual (Kapucu, Akkus, Akdemir, 2011; NICE, 2014)
1.7 Penatalaksanaan
Tujuan terapi dengan disease-modifying agents pada pasien dengan
MS termasuk memperpendek durasi eksaserbasi akut, penurunan
frekuensi, dan meringankan gejala. Perawatan gejala ditujukan
untuk menjaga fungsi dan meningkatkan kualitas kehidupan. Dalam
praktek umum biasanya mengobati eksaserbasi akut MS dengan
kejadian singkat (biasanya 3 sampai 5 hari) dengan kortikosteroid
yang memiliki onset aksi cepat, seperti intravena(IV)
methylprednisolone atau dexamethasone. Penggunaan
kortikosteroid (misalnya, prednison oral 60 hingga 100 mg sekali
sehari, selanjutnya dosisnya diturunkan perlahan selama 2 sampai 3
minggu, atau IV methylprednisolone 500-1.000 mg sekali sehari
selama 3 sampai 5 hari) juga digunakan untuk mengobati
eksaserbasi akut dan memperpendek durasi serangan MS (Brunton,
2010; Hauser & Goodwin, 2012). Meskipun tidakada obat untuk
MS, terdapat 8 agen terapi yang disetujui FDA yang dapat
mengurangi aktivitas penyakit dan perkembangan pada pasien
dengan bentuk relaps dari MS, termasuk pasien dengan secondary
progressive MS yang terus mengalami relaps.
1.8 Pathway
II. Rencana asuhan klien dengan gangguan multipel sklerosis
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
2.1.1.1 Keluhan utama
2.1.1.2 Riwayat penyakit sekarang
2.1.1.3 Riwayat penyakit dahulu
2.1.1.4 Riwayat penyakit keluarga
2.1.2 Pemeriksaan fisik: data fokus
2.1.2.1 Keadaan umum
B1 (Breathing) : Inspeksi, Palpasi, Perkusi,
Auskultasi.
2.1.2.2 B2 (Blood)
2.1.2.3 B3 (Brain) : Pengkajian fungsi serebral, Pengkajian
saraf kranial, Pengkajian sistem motorik, Pengkajian
Refleks, Pengkajian sistem sensorik.
2.1.2.4 B4 (Bladder)
2.1.2.5 B5 (Bowel)
2.1.2.6 B6 (Bone)
2.3 Perencanaan
Diagnosa 1: Nyeri
2.3.1 Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria) : berdasarkan
NOC
2.3.1.1 Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria)
a. Memperlihatkan pengendalian nyeri, yang
dibuktikan oleh indicator sebagai berikut
(sebutkan 1-5: tidak pernah, jarang, kadang-
kadang, sering atau selalu)
b. Mengenali awitan nyeri
c. Melaporkan nyeri dapat dikendalikan
Diagnosa 3: Konstipasi
2.3.1 Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria) : berdasarkan
NOC
2.3.1.1 Tujuan dan kriteria hasil (outcomes criteria)
a. Konstipasi menurun, yang dibuktikan oleh
defekasi (1-5 : gangguan ekstrem, berat, sedang,
ringan, atau tidak mengalami gangguan.
1. Pola eliminasi (dalam rentang yang
diharapkan)
2. Feses lunak dan berbentuk
3. Mengeluarkan feses tanpa bantuan
4. Konstipasi menurun, yang dibuktikan oleh
defekasi (1-5 : gangguan sangat berat ekstrem,
berat, sedang, ringan, atau tidak ada.
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional : berdasarkan NIC
2.3.2.1 Manajemen defekasi : Membentuk dan
mempertahankan pola eliminasi defekasi yang teratur.
2.3.2.2 Manajemen konstipasi/impaksi: Mencegah dan
mengatasi konstipasi/impaksi
2.3.2.3 Manajemen cairan : Meningkatkan keseimbangan
cairan dan mencegah komplikasi akibat kadar cairan
yang tidak normal atau tidak dinginkan.
2.3.2.4 Manajemen cairan/elektrolit : mengatur dan
mencegah komplikasi akibat perubahan kadar cairan
dan/ atau elektrolit
Diagnosa 4: Gangguan persepsi sensori (penglihatan)
2.3.1 Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria) : berdasarkan
NOC
2.3.1.1 Tujuan dan kriteria hasil (outcomes criteria)
a. Distorsi Kendali Pikir diri : Pembatasan-diri
terhadap gangguan persepsi proses pikir, dan isi
pikir
b. Status neurologis: fungsi motorik sensorik/kranial:
kemampuan saraf kranial untuk mengenali impuls
sensorik dan motorik
c. Fungsi sensorik : Kutaneus : tingkat stimulasi
terhadap kulir dirasakan dengan tepat
d. Perilaku kompensasi penglihatan : tindakan
pribadi untuk mengompensasi gangguan
penglihatan.