Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

TOKSOPLASMOSIS ENSEFALITIS

PEMBIMBING :

dr.Teuku Rayhan,SpS

PENYUSUN :

Malisa Fitri Umar

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI

RUMAH SAKIT PERSAHABATAN

PERIODE 2 JANUARI – 2 FEBRUARI 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL


VETERAN JAKARTA

0
BAB I

PENDAHULUAN

Toksoplasmosis adalah penyebab utama kelainan fokal sistem saraf pusat pada pasien dengan
HIV-AIDS. Biasanya lesi ditemukan di otak dan efeknya mendominasi gambaran klinis.
Keputusan untuk terapi pasien dengan toksoplasmosis biasanya secara empiris. Terapi primer
diikuti dengan terapi supresi jangka panjang, yang dilanjutkan sampai terapi antiretroviral
meningkatkan CD4+ lebih dari 200 sel/uL.

Toksoplasmosis SSP disebabkan oleh infeksi parasit intraseluler Toxoplasma gondii.


Sebagian besar disebabkan oleh reaktivasi lesi SSP lama atau penyebaran hematogen infeksi
yang didapat sebelumnya. Namun, kadangkala disebabkan oleh infeksi primer. Kelainan SSP
terjadi saat infeksi HIV lanjut dimana CD4+ didapatkan kurang dari 200 sel/uL. Resiko
tertinggi didapatkan pada pasien dengan CD4+ dibawah 50 sel/uL.

1
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
No. RM : 02-34-07-95
Nama : Ahmad Hasnan Sinap
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 28
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 23 Agustus 1989
Pekerjaan : Buruh
Pendidikan : SD
Agama : Islam
Status perkawinan : lajang
Alamat : jl.kramat jaya baru blok D2

II. ANAMNESIS

Dilakukan alloanamnesis pada tanggal 12/01/18

Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUP Persahabatan dengan keluhan utama penurunan kesadaran
sebelum masuk RS. Sebelumnya pasien sempat mengalami kejang tiba-tiba dialami
sebanyak satu kali. Sebelum kejang, pasien sedang diam, dan bengong. Saat kejang,
seluruh badan tampak kaku dan matanya mendelik ke atas. Tidak tampak keluar busa
pada mulut pasien, lidah tergigit, atau mengompol. Kejang dialami kira-kira selama 2
menit. Saat kejang pasien tidak dapat diajak bicara. Setelah kejang pasien tampak
bengong dan lemas.

Sekitar 4 hari sebelumnya, pasien mengalami demam tinggi yang naik turun dan
cenderung diam, tidak bisa diajak berbicara, dan sering tertidur. Nafsu makan pasien juga
menurun. Terdapat penurunan berat badan

2
Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien memiliki riwayat TB on OAT bulan ke 3, Riwayat trauma sebelumnya disangkal.


Riwayat stroke, DM, hipertensi. Pasien memiliki riwayat diare sejak lama, sering
sariawan yang tidak sembuh-sembuh, dan batuk-batuk lama. Riwayat trauma sebelumnya
disangkal. Riwayat stroke, DM, hipertensi.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak didapatkan riwayat kejang, kejang demam, atau epilepsi pada keluarga. Tidak ada
riwayat DM, hipertensi, maupun stroke pada keluarga. Tidak ada batuk2 lama pada
keluarga pasien.

Riwayat Kebiasaan :
Pasien tidak menggunakan narkoba suntik.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum
Kesadaran : Apatis
GCS : E4M5Vsuspek afasia
Sikap : Berbaring
Koperasi : Tidak kooperatif
Keadaan Gizi : Kurang
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 112 x/menit
Suhu : 37,8oC
Pernafasan : 22 x/menit

Keadaan Lokal
Trauma Stigmata :-
Pulsasi arteri karotis : cukup, regular, equal kanan dan kiri
Perdarahan perifer : capilary refill time < 2 detik
Columna vertebralis : letak ditengah, skoliosis (-), lordosis (-)

3
Kulit : warna sawo matang, sianosis (-), ikterik (-), hiperpigmentasi (+)
Kepala : normosefali, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut,
jejas (-), nyeri tekan perikranial (-)
Mata : konjungtiva anemis -/-, ptosis -/-, lagoftalmus -/-, pupil bulat isokor,
diameter 3mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak
langsung +/+
Telinga : normotia +/+, perdarahan -/-
Hidung : deviasi septum -/-, perdarahan -/-
Mulut : bibir sianosis(-), lidah kotor (-),
Tenggorok : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
Leher : bentuk simetris, trakea lurus di tengah, tidak teraba pembesaran KGB
dan tiroid
Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V 2 jari medial linea midklavikula
sinistra
Perkusi : pinggang jantung ICS III linea parasternalis sinistra, batas
kanan ICS IV linea parasternalis dextra, batas kiri ICS V 2 jari
medial linea midklavikularis sinistra
Auskultasi : S1 dan S2 normal reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Pemeriksaan Paru
Inspeksi : pergerakkan dada simetris pada statis dan dinamis
Palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : datar, tidak tampak buncit
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba membesar
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : deformitas (-), gibus (-)

4
Pemeriksaan Ekstremitas
Atas : akral hangat + / +, edema - / -
Bawah : akral hangat + / +, edema - / -

IV. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS


GCS : E4M5Vsuspek afasia
Rangsang Selaput Otak :
Kaku kuduk :+
Laseque : <700 / <700
Kerniq : <1350 / < 1350
Brudzinsky I :-
Brudzinsky II :-/-

Nervus Kranialis
N. I (Olfaktorius)
Normosmia : tidak valid dinilai
N. II (Optikus)
Acies visus : tidak valid dinilai
Visus campus : tidak valid dinilai
Lihat warna : tidak valid dinilai
Funduskopi : tidak dilakukan
N. III, IV, VI (Occulomotorius, Trochlearis, Abducens)
Kedudukkan bola mata : ortoposisi + / +
Pergerakkan bola mata : baik ke segala arah
Exopthalmus :-/-
Nystagmus :-/-
Pupil
Bentuk : bulat, isokor, diameter 3mm/3mm
Reflek cahaya langsung : +/+

5
Reflek cahaya tidak langsung : +/+
Reflek akomodasi : tidak valid dinilai
Reflek konvergensi : tidak valid dinilai
N. V (Trigeminus)
Cabang Motorik
Gerakan rahang : tidak valid dinilai
Menggigit : tidak valid dinilai
Cabang sensorik
Ophtalmicus : tidak valid dinilai
Maksilaris : tidak valid dinilai
Mandibularis : tidak valid dinilai
N. VII (Fascialis)
Motorik
Orbitofrontalis : tidak valid dinilai
Orbikularis okuli : tidak valid dinilai
Orbikularis oris : plica nasolabialis sinistra datar
Sensorik
Pengecapan lidah 2/3 depan : tidak valid dinilai
N. VIII (Vestibulocochlearis)
Vestibular : tidak valid dinilai
Koklearis : tidak valid dinilai
N. IX, X (Glossopharyngeus, Vagus)
Motorik : tidak valid dinilai
Sensorik : tidak valid dinilai
N. XI (Accesorius)
Mengangkat bahu : tidak valid dinilai
Menoleh : tidak valid dinilai
N.XII (Hypoglossus)
Pergerakkan lidah : tidak valid dinilai

6
Atrofi :-
Fasikulasi :-
Tremor :-

Sistem Motorik
Trofi : eutrofi
Tonus : normotonus
Kekuatan otot : kesan hemiparese dextra
Ekstremitas atas : 0000 5555

Ekstremitas bawah : 1111 5555


Gerakkan involunter :
Tremor :-/-
Chorea :-/-
Atetose :-/-
Miokloni :-/-
Tics :-/-

Sistem Sensorik
Propioseptif : tidak valid dinilai
Eksteroseptif : tidak valid dinilai

Fungsi Serebelar
Ataxia : tidak valid dinilai
Tes Romberg : tidak valid dinilai
Disdiadokokinesia : tidak valid dinilai
Jari-jari : tidak valid dinilai
Jari-hidung : tidak valid dinilai
Tumit-lutut : tidak valid dinilai
Rebound phenomenon : tidak valid dinilai

7
Hipotoni : -/-

Fungsi Luhur
Astereognosia : tidak valid dinilai
Apraxia : tidak valid dinilai
Afasia : tidak valid dinilai

Fungsi Otonom
Miksi : baik
Defekasi : baik
Sekresi keringat : baik

Refleks Fisiologis
Kornea :+/+
Biceps : +2/+3
Triceps : +2/+3
Dinding perut : +
Patella : +2/+3
Achilles : +2/+3

Refleks Patologis
Hoffman Tromer :-/-
Babinsky :-/+
Chaddok :-/+
Gordon :-/+
Schaefer :-/+
Klonus patella :-/-
Klonus achilles :-/-

8
Keadaan Psikis
Intelegensia : tidak valid dinilai
Tanda regresi : tidak valid dinilai
Demensia : tidak valid dinilai

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Hb 10 13,2 – 17,3 g/dL
Hematokrit 39 33-45 %
Leukosit 7,1 5,0-10,0 ribu/uL
Trombosit 175 150-440 ribu/uL
Eritrosit 5,10 4,40-5,90 ribu/uL
Fungsi Hati
SGOT 33 0-34 U/I
SGPT 34 0-40 U/I
Fungsi Ginjal
Ureum darah 62 20-40 mg/dL
Kreatinin darah 1,0 0,6-1,5 mg/dL
Diabetes
Gula Darah Sewaktu 120 70-140 mg/dL
Elektrolit Darah
Natrium 138 135-147 mmol/L
Kalium 4,10 3,10-5,10 mmol/L
Klorida 101 95-108 mmol/L
Sero-imunologi
Golongan darah O/Rh (+)
AGD
pH 7,463 7,370 – 7,440

9
pCO2 34,30 35-45
pO2 178,50 83-108
HCO3 22,00 21-28
O2 Saturasi 99,80 95-99
Anti HIV
Rapid SD Reaktif Non-reaktif
Rapid one step (InTec) Reaktif Non-reaktif
Total CO2 rapid oncoprobe Reaktif Non-reaktif
CD4 17 500-1500

Foto-thoraks
Kesan : suspek TB paru, cor dalam batas normal

CT Scan dengan kontras


Kesan : Nodul Multiple supratentorial dengan tanda ensefalitis dan edema serebral
Dd/ Toxo, ensefalitis TB

VI. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUP Persahabatan dengan keluhan penurunan kesadaran sebelum
masuk RS. Sekitar 4 hari sebelumnya, pasien mengalami demam tinggi yang naik turun
dan cenderung diam, tidak bisa diajak berbicara, dan sering tertidur.

Pasien memiliki riwayat TB paru on OAT selama 3 bulan. Tidak ada riwayat kejang
sebelumnya. Riwayat trauma sebelumnya disangkal. Riwayat stroke, DM, hipertensi

Pasien memiliki riwayat diare sejak lama, sering sariawan yang tidak sembuh-sembuh,
dan batuk-batuk lama.

Pasien tidak ada riwayat menggunakan narkoba suntik.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan :

Kesadaran : Apatis
GCS : E4M5Vsuspek afasia
Koperasi : Tidak kooperatif

10
Keadaan Gizi : Kurang
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 112 x/menit
Suhu : 37,8oC
Pernafasan : 22 x/menit
Status generalis : dalam batas normal
Pemeriksaan neurologis didapatkan :
Rangsang Selaput Otak :
Kaku kuduk :+
Laseque : <700 / <700
Kerniq : <1350 / < 1350
Nervus kranialis : kesan parese N. VII sinistra sentral
Motorik : kesan hemiparese sinistra
Refleks Fisiologis :
Biceps : +2/+3
Triceps : +2/+3
Patella : +2/+3
Achilles : +2/+3
Refleks Patologis :
Babinsky :-/+
Chaddok :-/+
Gordon :-/+
Schaefer :-/+
Pemeriksaan penunjang didapatkan :

Laboratorium

Anti-HIV : +

Foto-thoraks

Kesan : suspek TB paru, cor dalam batas normal

11
CT Scan dengan kontras
Kesan : Nodul Multiple supratentorial dengan tanda ensefalitis dan edema serebral
Dd/ Toxo, ensefalitis TB

VII. DIAGNOSIS KERJA

Diagnosis klinis : demam, penurunan kesadaran, riwayat diare lama, riwayat


sariawan yang tidak sembuh, riwayat batuk-batuk lama, tanda rangsang meningeal (+),
kesan parese N. VII sinistra sentral, kesan hemiparese sinistra, hiperrefleksia lengan dan
tungkai sinistra, refleks patologis -/+

Diagnosis etiologis :- Toksoplasmosis ensefalitis

- TB on OAT kategori II bulan ke 3


- SIDA blm ARV

VIII. PENATALAKSANAAN

IVFD NaCl 0,9% 500 cc/8jam

R450/H300 (fase lanjutan)+ S750 mg IM

Paracetamol 3 x 1 gr iv

Pirimetamin loading 3x25 mg PO

Asam folat 2 x 10 mg PO

IX. PROGNOSIS

Ad vitam : Malam

Ad functionam : Malam

Ad sanationam : Malam

12
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Toxoensefalitis disebut juga toksoplasmosis otak, muncul pada kurang lebih 10%
pasien AIDS yang tidak diobati. Hal ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang
dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang
tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang. Begitu
parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di sana, tetapi sistem kekebalan
pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga mencegah penyakit. Gejala
termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yangtidak menanggapi pengobatan, lemah
pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan,kebingungan yang meningkat, masalah penglihatan,
pusing, masalah berbicara danberjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua
pasien menunjukkan tanda infeksi.1

B. EPIDEMIOLOGI
Ensefalitis toksoplasma, merupakan penyebab tersering lesi otak fokal infeksi
oportunistik tersering pada pasien AIDS. Di Amerika angka kejadiannya mencapai 15%-
29,2%, sedangkan di Eropa mencapai rata-rata 90%. Sekitar 10-20% dari pasien yang
terinfeksi HIV di Amerika Serikat pada akhirnya akan terkena ensefalitis toksoplasma. 1
Diagnosis presumtif ensefalitis toksoplasma dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan penunjang serologis dan pencitraan, baik dengan tomografi komputer (CT
Scan) atau Magnetic Resonance Imaging(MRI). Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan
baku emasnya dengan pemeriksaan histopatologi dari biopsi dan ditemukannya takizoit
dan bradizoit. Lesi toksoplasma ensefalitis (TE) sulit dibedakan dengan lesi lainnya,
meskipun demikian gambaran yang dianggap khas yaitu lesi otak fokal tunggal atau
multipel yang nyata bagian tepi menyerupai cincin, dengan lokasi tersering pada basal
ganglia 75%, thalamus, periventrikular dan corticomedullary junction (subkotikal)
disertai edema perifokal dan berdiameter 1 sampai 3 cm.2
Di Indonesia sendiri, menurut Menkes RI, jumlah penderita terinfeksi HIV tahun2002
diestimasikan sebanyak 90.000-130.000 orang. Sebagian besar tersangka HIV ini
merupakan pengguna obat narkotika suntik (Intravenous drug users).Lebih dari 50 %
penderita yang terinfeksi HIV akan berkembang menjadi kelainan neurologis.3

13
Kelainan neurologis yang sering terjadi pada penderita yang terinfeksi HIV adalah
ensefalitis toxoplasma, limfoma SSP, meningitis kriptococcal , CMV ensefalitis dan
progressive multifocal leukoencephalopathy. Infeksi oportunistik SSP yang paling sering
pada penderita HIV adalah ensefalitis toxoplasma.4

C. ETIOLOGI
Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing, burung dan
hewan lainyang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang
pada daging mentah ataukurang matang. Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan,
ia menetap di sana, tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit
tersebut hingga tuntas, mencegah penyakit. Transmisi pada manusia terutama terjadi bila
memakan daging babi atau domba yang mentahyang mengandung oocyst (bentuk infektif
dari T.gondii). Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan
feses kucing. Selain itu dpat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan
transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang immunokompeten biasanya
asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi
dari infeksi laten. Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan
predileksi di otak.5,6

D. DAUR HIDUP
Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk : thachyzoite, tissue cyst (yang
mengandung bradyzoites) dan oocyst ( yang mengandung sporozoites). Bentuk akhir dari
parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing. Kucing merupakan
pejamu definitif dari T gondii. Siklus hidup aseksual terjadi pada pejamu perantara,
(termasuk manusia). Dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst diikuti oleh
terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites secara berturut-turut.
Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites ,organisme ini menyebar ke seluruh tubuh
lewat peredaran darah atau limfatik.Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu
mencapai jaringan perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan
berpredileksi untuk menetap pada otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina.
Tissue cyst ada dalam daging, tapi dapat dirusak dengan pemanasan sampai 67 oC,
didinginkan sampai -20oC atau oleh iradiasi gamma. Siklus seksual entero-
epithelial dengan bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan menjadi infeksius setelah
tertelan daging yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir selama 7-20 hari

14
dan jarang berulang. Oocyst menjadi infeksius setelah diekskresikan dan terjadi sporulasi.
Lamanya proses ini tergantung dari kondisi lingkungan, tapi biasanya 2-3 hari setelah
diekskresi. Oocysts menjadi infeksius di lingkungan selama lebih dari 1 tahun.7,8
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau domba yang
mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak
langsung dengan Feces kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental,
transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang imunokompeten
biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi
reaktivasi dari infeksi laten. yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik
dengan predileksi di otak.
Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini
akan menghancurkan seldan menyebabkan focus nekrosis.7,8,9
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor
kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 < 200 sel/mL
kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi. Oportunistik infeksi yang
mungkin terjadi pada penderita dengan CD4 < 200 sel/mL adalah pneumocystiscarinii ,
CD4 <100 sel/mL adalah toxoplasma gondii , dan CD4 < 50 adalah M. aviumComplex ,
sehingga diindikasikan untuk pemberian profilaksis primer. M. tuberculosis dan candida
species dapat menyebabkan infeksi oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL.

15
E. PATOFISIOLOGI
HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas kekebalan
tubuh. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor
CD4. Beberapa sel lain yang juga mempunyai reseptor CD4 adalah : sel monosit, sel
makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sel langerhans. Infeksi
limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus kepermukaan sel reseptor CD4,
yang menyebabkan kematian sel dengan meningkatkan tingkat apoptosis pada sel yang
terinfeksi. Selain menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada
sistem saraf dan dapat mengakibatkan kelainan pada saraf. Infeksi oportunistik dapat
terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut
dapat menyerang sistem saraf yang membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf.
Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti toxoplasmosis
sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4, kegagalan produksi IL-2, IL-12,
dan IFN-gamma, kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang
terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara in vitro
dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap T gondii. Hal ini
memainkan peranan yang penting dari perkembangan toxoplasmosis dihubungkan dengan

16
infeksi HIV. Ensefalitis toxolasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus
HIV dengan CD4 T sel < 100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset yang
subakut. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%), nyeri
kepala (55%), bingung / kacau (52%), dan kejang (29%)9. Pada suatu studi didapatkan
adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan status mental pada 75% kasus, adanya
defisit neurologis pada 70% kasus, Nyeri kepala pada 50 % kasus, demam pada 45 %
kasus dan kejang pada 30 % kasus.4
Defisit neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan gangguan
bicara. Bisa juga terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan, gangguan
sensorik, disfungsi serebelum, meningismus, movement disorders dan menifestasi
neuropsikiatri.8
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor
untuk validasi kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4<
200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi.

17
F. GEJALA KLINIS
Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon terhadap
pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang meningkat,
masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan perubahan
kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi. Nyeri kepala dan rasa
bingung dapat menunjukkan adanya perkembangan ensefalitis fokal dan terbentuknya
abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Keadaan ini hampir selalu
merupakan suatu kekambuhan akibat hilangnya kekebalan pada penderita-penderita yang
semasa mudanya telah berhubungan dengan parasit ini. Gejala-gejala fokalnya cepat
sekali berkembang dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan penurunan
kesadaran.10

G. DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan Serologi
Didapatkan seropositif dari anti-T.gondii IgG dan IgM. Deteksi juga dapat
dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah
terinfeksi kemudian bertahan seumur hidup.

18
2. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan elevasi
protein.

3. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)


Digunakan Mendeteksi DNA Toxoplasmosis gondii. PCR untuk T.gondii dapat
juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor dari
penderita toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada
jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama
berada di otak setelah infeksi akut.11

4. CT scan
Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple disertai dan
biasanya ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai
edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul
dengan lesi tunggal atau tanpa lesi.

5. Biopsi otak
Untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak

19
H. PENATALAKSANAAN
a. Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua
obat ini dapat melalui sawar-darah otak.
b. Toxoplasma Gondii,membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin menghambat
pemerolehan vitamin B oleh tokso. Sulfadiazin menghambat penggunaannya.
c. Kombinasi pirimetamin 50-100 mg perhari yang dikombinasikan dengan sulfadiazin
1-2 g tiap 6 jam.
d. Pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50-100 mg
perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.
e. Pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah depresi sumsum tulang.
f. Pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat diganti dengan Azitromycin 1200
mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau atovaquone 750 mg tiap 6 jam.
Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3 minggu setelah perbaikan gejala klinis.
g. Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi HIV
dengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau limfosit total kurang
dari 1200. Pada pasien ini, CD4 42, sehingga diberikan ARV.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Jayawardena Suriya, MD. Cerebral Toxoplasmosis in Adult Patients with HIV Infection
Availabel from URL : http://www.turner-white.com/memberfile.php?PubCode=hp_jul08
_toxoplasmosis.pdf. Accessed July, 2008.
2. George Sara Mathew, MD. Cerebral Toxoplasmosis in an HIV Positive Patient: A Case
Report and Review of Pathogenesis and Laboratory Diagnosis. Availabel from URL :
http://www.bahrainmedicalbulletin.com/june_2009/Toxoplasmosis.pdf. Accessed Juny,
2009.
3. Patric Davey. Infeksi HIV dan AIDS. At a Glance Medicine. Jakarta: EMS. 2006.
4. Gilroy J. Basic Neurology. Mc Graw-Hill. 3rd edition. New York. 2000 : 482-90.
5. Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.
6. Sylvia Price dan Lorraine Wilson. Human Immunodeficiency
(HIV)/AcquiredImmunodeficiencySindrome). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Volume 1.Edisi 6. Jakarta: EGC,2006.
7. Profesor.dr.H. Jusf Misbach, dkk. HIV-AIDS Susunan Saraf Pusat. Neurologi. Jakarta :
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia 2006.
8. Harrington Robert. Opportunistic Infection in HIV Disease. Best Practice Medicine.
Januari 2003.
9. Howard L. Weiner, dkk. AIDS dan system saraf. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC.
2001.
10. Belman Anita L,Maletic-Savatic Mirjana. Human Immunodeficiency Virus and Acquired
Immunodeficiency Syndrome. In Textbook Clinical Neurology. Goetz. 2003:955 -89.
11. Lamoril J. Detection by PCR of Toxoplasma gondii in blood in the diagnosis of cerebral
toxoplasmosis in patients with AIDS. Availabel from URL :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1023168/. Accessed July, 1996

21
22

Anda mungkin juga menyukai