Anda di halaman 1dari 8

Masalah Tambang Timah dan Dasar Hukum nya

Hukum Pertambangan
Limbah Akibat Tambang Timah
1. Lubang Tambang
Sebagian besar pertambangan mineral di Indonesia dilakukan dengan cara terbuka. Ketika
selesai beroperasi, perusahaan meninggalkan lubang-lubang raksasa di bekas areal
pertambangannya. Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka
panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air lubang tambang mengandung
berbagai logam berat yang dapat merembes ke sistem air tanah dan dapat mencemari air tanah
sekitar. Potensi bahaya akibat rembesan ke dalam air tanah seringkali tidak terpantau akibat
lemahnya sistem pemantauan perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut. Di pulau Bangka
dan Belitung banyak di jumpai lubang-lubang bekas galian tambang timah (kolong) yang berisi
air bersifat asam dan sangat berbahaya.

2. Air Asam Tambang

Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan dampak


lingkungan dalam jangka panjang. Ketika air asam tambang sudah terbentuk maka akan sangat
sulit untuk menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan. Sebagai
contoh, pertambangan timbal pada era kerajaan Romawi masih memproduksi air asam tambang
2000 tahun setelahnya. Air asam tambang baru terbentuk bertahun-tahun kemudian sehingga
perusahaan pertambangan yang tidak melakukan monitoring jangka panjang bisa salah
menganggap bahwa batuan limbahnya tidak menimbulkan air asam tambang. Air asam tambang
berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Sekali terkontaminasi terhadap air akan sulit
melakukan tindakan penanganannya.

3. Tailing

Tailing dihasilkan dari operasi pertambangan dalam jumlah yang sangat besar. Sekitar 97 persen
dari bijih yang diolah oleh pabrik pengolahan bijih akan berakhir sebagai tailing. Tailing
mengandung logam-logam berat dalam kadar yang cukup mengkhawatirkan, seperti tembaga,
timbal atau timah hitam, merkuri, seng, dan arsen. Ketika masuk kedalam tubuh makhluk hidup
logam-logam berat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh dan dapat menimbulkan
efek yang membahayakan kesehatan.
Akibat aktifitas liar ini, banyak program kehutanan dan pertanian tidak berjalan, karena tidak
jelasnya alokasi atau penetapan wilayah TI. Aktivitas TI juga mengakibatkan pencemaran air
permukaan dan perairan umum. Lahan menjadi tandus, kolong-kolong (lubang eks-tambang)
tidak terawat, tidak adanya upaya reklamasi/ rehabilitasi pada lahan eks-tambang, terjadi abrasi
pantai dan kerusakan cagar alam, yang untuk memulihkannya perlu waktu setidaknya 150 tahun
secara suksesi alami.
Kandungan Zat Limbah
Para peneliti dari Limnologi LIPI menyimpulkan lewat studi pada 40 kolong (danau yang
terbentuk dari bekas penambangan timah), mengatakan bahwa air dari kolong-kolong tersebut
terkontaminasi jenis logam berat antara lain Ferum (fe), Timbal (pb), dan Arsen (as) yang sudah
melebihi ambang batas normal yaitu lebih dari 4 ppm yang tanpa pengolahan terlebih dahulu
tidak direkomendasikan untuk diminum karena dapat menyebabkan sejumlah penyakit seperti
keracunan, kanker dan penyakit lainnya.

1. Timbal,Timah Hitam (Pb)


Timbal terdapat di air, tanah, tanaman, hewan dan udara. Zat ini terbentuk akibat aktifitas
manusia seperti pembakaran batu bara, sampah, penyemprotan pestisida, asap pabrik dan akibat
pembakaran bensin di kendaraan. Timbal dan senyawanya mempengaruhi sistem pusat syaraf
dengan ciri-ciri keracunan, yaitu pusing, anemia, lemah dan yang paling berbahaya adalah
pengaruhnya terhadap sel darah merah. Timbal dapat mengubah ukuran dan bentuk sel darah
merah.
2. Keasaman (pH)
Permasalahan yang masih ada pada beberapa kolong air adalah rendahnya derajat
keasaman (pH), konsentrasi logam berat yang masih cukup tinggi dan beberapa elemen kualitas
air lainnya yang masih diatas ambang batas. Dari hasil penelitian terdahulu kualitas air kolong
muda menunjukkan kuliatas air yang buruk pH berkisar 2,9 – 4.5, kandungan logam berat seperti
Fe, Al, Pb, dan Mn yang sangat tinggi, dari hal ini ternyata kandungan asam masih berhubungan
dengan timbal timah hitam (Pb)

Pencegahan kerusakan lingkungan SDA


Peraturan Pemerintah No. 29/1986, Peraturan AMDAL No 51/1993 mengharuskan perusahaan
pertambangan memasukkan aspek pelestarian lingkungan di dalam rencana penambangannya.
Hukum Pertambangan (Pasal 11/1967) mengharuskan perusahaan pertambangan menerapkan
ambang batas rehabilitasi lingkungan di wilayah penambangannya. PT Timah (Persero) Tbk
setuju untuk mengikuti Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL). Aktivitas pemantauan berdasarkan RPL meliputi bidang:

BAB V
SOLUSI PENANGANAN LIMBAH

A. Jenis Kegiatan Yang Menimbulkan Limbah


Menemukan bijih timah di sebuah lokasi susah-susah gampang. Ada yang beruntung, langsung
mendapatkannya, tapi banyak juga yang sial. Jika dalam beberapa meter galian tanah tidak juga
menunjukkan adanya bijih timah, biasanya mereka akan mencari lokasi baru. Hal seperti inilah
yang dapat menimbulkan kerusakan pada tatanan alam di Pulau Belitung, karena tidak ada
reklamasi pada bekas tambang yang ditinggalkan tersebut.
Data – data kerusakan lingkungan akibat limbah di kawasan PT. Timah (persero):
Aktivitas penambangan timah di wilayah Provinsi Bangka Belitung sekarang ini semakin
merembet ke dasar laut. Penambangan di laut lepas banyak dilakukan beberapa kilometer dari
pantai sekitar daerah Sungailiat dan Belinyu, Kabupaten Bangka. Sebagian penambangan
menggunakan kapal keruk dengan muatan besar dan sebagian lagi dilakukan secara kecil-kecilan
di bibir pantai hingga masuk ke laut.
Ratusan hektar tanah galian timah inkonvensional, menganga tanpa adanya reklamasi. Bekas-
bekas penambangan TI umumnya dibiarkan saja tanpa ada upaya reklamasi. Akibatnya, di
kepulauan itu kini banyak ditemui lubang-lubang seluas dua sampai lima hektare yang tersebar
mulai dari daratan sampai pantai. Dari 887 kolong (cekungan bekas penambangan timah) yang
terbengkalai, ternyata juga hanya sebagian kecil yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat
setempat untuk menambang kembali secara tradisional. Satu hal yang juga menarik perhatian
adalah sampai sekarang dari ribuan tambang inkonvensional (TI) yang beroperasi di sana
merusak lingkungan dan menyebabkan pencemaran limbah galian timah, dan belum satu pun
ditindak oleh bupati/wali kota. Dalam jangka panjang hal ini sangat membahayakan dan
memperparah kondisi lingkungan di Bangka Belitung;
Pengelolaan lingkungan masih dianggap tidak penting. Kegiatan pertambangan telah merusak
hutan dan lahan. Tanggungjawab perusahaan setelah pertambangan selesai cenderung tidak ada
dan ini merupakan potensi risiko bencana. Permasalahan pokok adalah: kesadaran masyarakat
terhadap pencegahan kerusakan dan pelestarian lingkungan hidup masih lemah; pengendalian
dan pencegahan kerusakan lingkungan hanya dilakukan ecara parsial; serta penegakan hukum
tidak berjalan sebagaimana mestinya;
Perusakan lingkungan jelas beresiko bencana. Ada 4 perusak lingkungan di Bangka: PT Timah,
Kobatin, tambang rakyat/ tambang ilegal (TI) dan proses pemurnian;
Reklamasi PT Timah tidak dapat berjalan dengan baik karena lokasi bekas tambang menjadi
lahan pertambangan rakyat dan
Pemda juga tidak memiliki cukup dana untuk mereklamasi bekas galian tambang.
Dampak :
Pertambangan dipahami merupakan potensi bencana dengan bahaya ikutannya: perubahan
bentang alam, erosi dan sedimentasi, gangguan stabilitas lereng, hilangnya habitat flora-fauna,
abrasi pantai, perubahan peruntukan lahan, penurunan kualitas air, dan kerusuhan sosial.

B. Solusi dan Penanganan Kerusakan Lingkungan Akibat Limbah.


Adapun beberapa solusi yang dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk mengatasi
kerusakan lingkungan yang diakibatkan banyaknya bekas-bekas tambang timah di propinsi
Bangka Belitung, antara lain:
Segera menghentikan berbagai kegiatan pertambangan yang tidak sesuai dan menimbulkan
kerusakan lingkungan hidup. Sebab kalau tidak, kerusakan yang akan timbul semakin parah dan
menanggulanginya akan semakin sulit dan memerlukan biaya yang besar;
Melarang penggunaan alat berat bagi tambang berskala kecil, apalagi tambang dan alat berat
tersebut tidak memiliki izin. Penggunaan alat berat seperti buldoser dan sejenisnya pada
Tambang Ilegal (TI) tidak dibenarkan beroperasi pada daerah terlarang, seperti pada kawasan
hutan lindung, daerah aliran sungai, alur pantai dan pegunungan. Tidak berlebihan tindakan dan
larangan keras ini diberlakukan jika nanti ditemukan alat berat yang tidak memiliki izin, maka
alat berat tersebut akan disita dan dikenakan sanksi hukum;
Segera dilakukan usaha reklamasi pada lubang-lubang bekas galian timah, agar lahan bekas
penambangan tersebut dapat kembali dimanfaatkan sebagai lahan pertanian;
Pengusaha wajib menggunakan jenis bahan baku dan bahan penolong industri yang akrab
lingkungan, serta teknologi yang bersih dan bebas pencemaran;
Pengusaha wajib menyusun analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan lainnya, sesuai
dengan bidang usaha atau jenis industri serta komoditas yang dihasilkan.
Mewajibkan pengusaha untuk menugaskan tenaga kerja yang khusus menangani dan
bertanggung jawab terhadap pengendalian dan pencegahan pencemaran.
Diberlakukannya enam program pokok pengelolaan lingkungan hidup, yaitu inventarisasi dan
evaluasi sumber daya alam; pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup; penyelamatan hutan,
tanah, dan air; rehabilitasi pencemaran lingkungan hidup; pengendalian pencemaran lingkungan
hidup; dan pembinaan daerah pantai; dan
Adanya penertiban terhadap penambang ilegal serta adanya koordinasi yang baik antara
pemerintah daerah setempat dengan pengusaha dan masyarakat sekitarnya.

Cara penyelesaian
Sejauh ini pemanfaatan kolong timah di Pulau Bangka belum optimal. Sebagian besar hanya
dibiarkan, secara ekologis kolong tersebut berfungsi sebagai kolam retensi dan water catchment
area untuk menampung hujan yang mengalir melalui aliran permukaan. Secara ekonomi, potensi
kolong untuk dimanfaatkan sebagai sumber air baku, budidaya perairan, atau tempat rekreasi air
Belum banyak dilakukan, baik oleh perusahaan penambang maupun pemerintah. Demikian juga
pemanfaatan lahan tailing yang semakin luas sampai saat ini hanya sebatas di”hijau”kan dengan
tanaman-tanaman serbaguna (multipurpose tree species, MPTS), terutama akasia.
Dasar Hukum
UUD 1945 Pasal 28 H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Undang-Undang No 32 tahun 2009


TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 63
(1) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah
bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan nasional;
b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH
nasional;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS;
e. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKLUPL;
f. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan
emisi gas rumah kaca;
g. mengembangkan standar kerja sama;
h. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
i. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya
alam hayati dan nonhayati, keanekaragaman hayati, sumber daya
genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa genetik;
j. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian
dampak perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon;
k. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah,
serta limbah B3;
l. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan
lingkungan laut;
m. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara;
n. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
kebijakan nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala
daerah;
o. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan
lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
p. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
23
q. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan
penyelesaian perselisihan antardaerah serta penyelesaian
sengketa;
r. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan
pengaduan masyarakat;
s. menetapkan standar pelayanan minimal;
t. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak
masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
u. mengelola informasi lingkungan hidup nasional;
v. mengoordinasikan, mengembangkan, dan menyosialisasikan
pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup;
w. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan
penghargaan;
x. mengembangkan sarana dan standar laboratorium lingkungan
hidup;
y. menerbitkan izin lingkungan;
z. menetapkan wilayah ekoregion; dan
aa. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup.
(2) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah
provinsi bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan tingkat provinsi;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH
provinsi;

Anda mungkin juga menyukai