Anda di halaman 1dari 33

REAKSI OBAT

1. Mengetahui dan menjelaskan Obstruksi Laring


Obstruksi laring adalah keadaan tersumbatnya laring yang dapat disebabkan
oleh infeksi, benda asing (korpus alienum), trauma, tumor baik tumor jinak ataupun
ganas, alergi(edema angioneurotik) dan kelumpuhan nervus rekuren bilateral.2,5
Obstruksi jalan napas yang jelas di laringotrakea sangat berbeda dengan
penyakit paruobstruktif menahun.Obstruksi laringotrakea ditandai dengan
meningakatnya usaha ventilasiuntuk mempertahankan batas normal ventilasi
alveolus sampai terjadi kelelahan. Pada pasienyang lelah, kematian terjadi dalam
beberapa menit atau jam setelah usaha ventilasi maksimaltidak dapat
mempertahankan ventilasi alveolus yang normal.2,3

1. Kelainan congenital
 Laringomalasia
Tidak ditemukan gangguan patologi dasar ataupun gangguan yang bersifat
progresif pada laringomalasia. Kondisi ini lebih merupakan keadaan laring
neonatus yang terlalu lunak dan kendur jika dibandingakan normalnya. Saat bayi
menarik nafas, laring yang lunak akan saling menempel, mempersempit aditus dan
timbul stridor. Proses menelan tidak terganggu. Proses menangis mestinya normal.
Pertambahan berat dan perkembangan bayi biasanya normal. Stridor merupakan
gejala utama dan dapat berlangsung konstan atau hanya saat bayi tereksitasi.
Bersama stridor dapat timbul retraksi sternum dan dada. Biasanya bayi berusia
beberapa minggu saat mulainya laringomalasia. Prognosisnya cukup baik karena
kartilago akan menjadi kaku. 5,9

Gambar 4. Laringomalasia
Bila sumbatan laring makin hebat sebaiknya dilakukan intubasi trakea dan
jangan dilakukan trakeastomi karena biasanya juga diikuti trakeomalsia. Orang
tua pasien dinasehatkan supaya lekas datang ke dokter jika ada peradangan
saluran nafas atas misalnya pilek.6,9

1
Gambar 5. Radiogram pada trakeomalacia

 Stenosis subglotik
Pada daerah subglotik 2-3 cm dari pita suara, sering terdapat penyempitan
(stenosis). Kelainan yang dapat menyebabkan stenosis subglotis ialah : 6
1. Penebalan jaringan submukosa dengan hiperplasia kelenjar mukus dan fibrosis
2. Kelainan bentuk tulang rawan krikoid dengan lumen yang lebih kecil
3. Bentuk tulang rawan krikoid normal dengan ukuran lebih kecil
4. Pergeseran cincin trakea pertama kearah atas belakang ke dalam lumen
krikoid.

Gambar 6. Stenosis subglotik


Gejala stenosis subglotik ialah stridor, dispnoe, retraksi di suprasernal, epigastrium,
interkostal serta subklavikula. Pada stadium yang lebih berat akan ditemukan sianosis
dan apnoe sehingga mungkin terjadi gagal nafas.6

Infeksi Laring (Croup)


a. Definisi
Croup adalah suatu penyakit infeksi laring yang berkembang cepat,
menimbulkan stridor dan obstruksi jalan nafas. Walaupun dapat terjadi
pada usia berapapun, bahkan padadewasa, croup terutama menyerang
pada anak di bawah usia 6 tahun. Croup dapat dibedakanmenjadi laringitis
supraglotis (epiglotitis) akut dan laringitis subglotis akut.
Meskipunkeduanya dapat bersifat akut dan berat, namun epiglotitis
cenderung lebih hebat, seringkaliberakibat fatal dalam beberapa jam ( 6-

2
12 jam) tanpa terapi. Sedangkan perjalanan penyakitdari langiritis
subglotis akut berlangsung dalam beberapa hari (2-3 hari) hingga
beberapaminggu.4

b. Etiologi
Pada supraglotitis akut etiologinya seringkali. Sedangkan pada
langiritis subglotisakut etiologinya seringkali adalah virus.4

c. Manifestasi Klinis
Secara klinis, kedua penyakitnya tampak serupa dimana pasien
gelisah, cemas,stridor, retraksi dan sianosis namun terdapat beberapa
perbedaan ringan. Anak denganepiglotitis cenderung duduk dengan mulut
terbuka dan dagu mengarah ke depan, tidak serakdan cenderung tidak
disertai dengan batuk croupy, namun kemungkinan besar
mengalamidisfagia. Karena nyeri untuk menelan, maka anak cenderung
mengiler.Disfagia padaepiglotitis dapat merupakan pertanda kolaps.
Kolaps merupakan akibat perluasan inflamasisepanjang mulut esofagus,
dan berarti proses inflamasi telah menyebabkan pembengkakanepiglotis
yang nyata.3,4
Anak dengan laringitis subglotis akut biasanya serak dengan batuk
croupy(menggonggong) dan kering.Serangan batuk biasanya terjadi pada
malam hari.Tidak adagejala disfagia dan mengiler.Makin berat penyakit
pasien, terjadi peningkatan stridor yangdisertai dengan cekungan
supraklavikula, interkosta dan daerah epigastrium. Masa
inspirasimemanjang dan kemudian mengi pada ekspirasi akan timbul.
Anak tampak sangatmembutuhkan udara dan hipoksia, dengan wajah
cemas, gelisah, menolak makan dan minumserta berbicara. Sianosis
mungkin terjadi pada kasus yang berat.3,4

d. Diagnosis
Diagnosis biasanya dibuat berdasarkan penemuan klinis dan
riwayat perjalananpenyakit.Pada epiglotitis, foto Rontgen jaringan lunak
leher dapat memperlihatkanpembengkakan yang khas pada daerah
supraglotik memenuhi saluran nafas. Sedangkan pada laringitis subglotis
akut foto Rontgen lateral leher akan memperlihatkan penyempitan
diinfraglotik.

Gambar 4.Epiglotis normal Gambar 5. Epiglotitis

3
Apusan dan biakan dari sekret laring harus dilakukan untuk
menentukan organismepenyebab.Manfaatnya sedikit untuk perencanaan
terapi awal, tetapi berguna jika organismetersebut resisten terhadap terapi
awal itu. Pada laringitis subglotis akut, kadar serum antibodimungkin
menolong untuk mendiagnosis adanya infeksi virus, terutama bila terdapat
kenaikantiter.3

e. Penatalaksanaan
Anak-anak ini harus segera ditangani tanpa menunggu di bagian
gawat darurat atauradiologi.Pemberian cairan intravena dimulai untuk
mencegah dehidrasi dan pengeringansekret.Udara dingin dan lembab juga
perlu diberikan, sebaiknya dengan uap air berukuranpartikel
terkecil.Terapi antibiotik terhadap Haemophilus dan Staphylococcus
dimulai sambilmenunggu hasil biakan.Antibiotik seharusnya tidak boleh
ditunda, karena secara klinis sulituntuk membedakan jenis croup dan
perjalanan penyakit dapat sangat cepat. Steroid diberikandalam dosis
tinggi untuk mengurangi inflamasi.4
Pasien perlu diamati secara cermat dandipertimbangkan untuk
trakeostomi atau intubasi.Indikasi bantuan pernapasan adalahkemunduran
meskipun telah diberikan kelembaban, antibiotik dan steroid.Pemantauan
crouptermasuk denyut nadi, frekuensi pernapasan, derajat kegelisahan dan
kecemasan, penggunaanotot asesorius pada pernapasan, derajat sianosis,
derajat retraksi dan kemunduran pasiensecara menyeluruh.Jika pasien
dapat tidur, bantuan jalan napas tidak diperlukan. Sebaliknya,frekuensi
pernapasan diatas 40 kali/menit, denyut nadi diatas 160 kali/menit, dan
kegelisahanserta retraksi yang makin hebat mengindikasikan perlunya
bantuan pernapasan. Jika anakkolaps, gunakan respirator ambu bertekanan
positif untuk memaksa oksigen melalui jalannapas yang edematosa.4
 Laryngitis akut
Radang akut laring pada umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis
(common cold). Pada anak dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas dan pada
orang dewasa tidak secepat pada anak. Penyebabnya adalah bakteri yang
menyebabkan radang lokal dan virus yang menyebabkan radang sistemik. Gejala
dan tanda-tandanya berupa demam, malaise, suara parau sampai afoni, nyeri
menelan atau berbicara, batuk kering yang lama kelamaan disertai dahak kental
dan gejala sumbatan laring. 6
 Laringitis kronik
Dapat disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip
hidung atau bronkitis kronis, dan penyalahgunaan suara (vocal abuse), sinusitis,
reflux, dan polusi lingkungan. Gejalanya adalah suara parau yang menetap, rasa
tersangkut di tenggorok sehingga pasien sering mendehem tanpa mengeluarkan
sekret karena mukosa yang menebal. 6

1.1.1. Trauma Laring


a. Definisi
Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam
akibat luka sayat,luka tusuk,dan luka tembak. Trauma tumpul pada daerah
leher selain dapat merusak strukturlaring juga menyebabkan cedera pada

4
jaringan lunak seperti otot, saraf, pembuluh darah, dll.Hal ini sering
terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti leher terpukul oleh tangkai
pompaair, leher membentur dash board dalam kecelakaan mobil,
tertendang atau terpukul waktuberolah raga bela diri, berkelahi, dicekik,
atau usaha bunuh diri dengan menggantung diri(strangulasi) atau
seseorang pengendara motor terjerat tali di jalan (clothesline injury).

b. Etiologi
Ballanger membagi penyebab trauma laring atas:
1. Trauma mekanik eksternal (trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi
trakeostomiatau krikotirotomi) dan mekanik internal (akibat tindakan
endoskopi, intubasiendotrakea, atau pemasangan pipa nasogaster).
2. Trauma akibat luka bakar oleh panas (gas atau cairan yang panas) dan
kimia (cairanalkohol, amoniak, natrium hipoklorit, dan lisol) yang
terhirup.
3. Trauma akibat radiasi pada pemberian radioterapi tumor ganas leher.
4. Trauma otogen akibat pemakaian suara yang berlebihan (vokal abuse)
misalnya akibat berteriak, menjerit keras, atau bernyanyi dengan
suara keras.2

c. Patofisiologi
Trauma laring dapat menyebabkan edema dan hematoma di plika
ariepiglotika danplika ventrikularis, oleh karena jaringan submukosa di
daerah ini mudah membengkak. Selainitu mukosa faring dan laring mudah
robek, yang akan diikuti dengan terbentuknya emfisemasubkutis di daerah
leher. Infeksi sekunder melalui robekan ini dapat menyebabkan
selulitis,abses, atau fistel.2
Tulang rawan laring dan persendiannya dapat mengalami fraktur
dan dislokasi.Kerusakan pada perikondrium dapat menyebabkan
hematoma, nekrosis tulang rawan, danperikondritis yang mengakibatkan
penyempitan lumen laring dan trakea. Robekan mukosayang tidak dijahit
dengan baik, yang diikuti oleh infeksi sekunder, dapat
menimbulkanterbentuknya jaringan granulasi, fibrosis, dan akhirnya
stenosis.2

d. Manifestasi Klinis
Pasien trauma laring sebaiknya dirawat untuk observasi dalam
24 jam pertama.Timbulnya gejala stridor yang perlahan-lahan yang makin
menghebat atau timbul mendadaksesudah trauma merupakan tanda adanya
sumbatan jalan napas. Gejala-gejala berikutmenunjukkan adanya kelainan
pada struktur laring:
1) meningkatnya obstruksi jalan napasdengan adanya sesak napas
(dispnoe)
2) disfonia atau afonia
3) batuk
4) hemoptisis dan hematemesis
5) nyeri pada leher
6) disfagia dan odinofagia.

Gejala awal mungkin disertaidengan tanda-tanda klinis berikut:

5
1) deformitas leher
2) emfisema subkutis
3) nyeri tekan laring
4) krepitasi tulang.2,3
Suara serak (disfoni) atau suara hilang (afoni) timbul bila
terdapat kelainan pita suaraakibat trauma seperti edema, hematoma,
laserasi, atau parese pita suara.
Emfisema subkutisterjadi bila ada robekan mukosa laring atau
trakea, atau fraktur tulang-tulang rawan laringhingga mengakibatkan
udara pernapasan akan keluar dan masuk ke jaringan subkutis leher.
Emfisema leher dapat meluas sampai ke daerah muka, dada, dan abdomen
dan pada perabaanterasa sebagai krepitasi kulit.2
Hemoptisis dan hematemesis dapat terjadi akibat laserasi
mukosa jalan napas dan bilajumlahnya banyak dapat menyumbat jalan
napas.Perdarahan ini biasanya terjadi akibat lukatusuk, luka sayat, luka
tembak, maupun luka tumpul. Disfagia (sulit menelan) dan
odinofagia(nyeri menelan) dapat timbul akibat ikut bergeraknya laring
yang mengalami cedera pada saatmenelan.2,3
Gejala luka tertutup tergantung pada berat ringannya
trauma.Pada trauma ringangejalanya dapat berupa nyeri pada waktu
menelan, waktu batuk, dan waktu bicara.Disamping itu mungkin terdapat
disfonia, tetapi belum terdapat sesak napas.Pada trauma beratdapat terjadi
fraktur dan dislokasi tulang rawan serta laserasi mukosa laring.
Sehinggamenyebabkan gejala sumbatan jalan napas (stridor dan dispnea),
disfonia atau afonia,hemoptisis, hematemesis, disfagia, odinofagia serta
emfisema yang ditemukan di daerahleher, muka, dada, dan mediastinum.2
 Kontusio laring
Bermanifestasi sebagai hematoma internal dan terkadang sebagai dislokasi
kartilago aritenoidea. Trauma biasanya disebabkan benda tumpul. Kunci pada
terapi adalah dengan diagnosis segera. Kontusio dapat diobservasi sementara
persiapan trakeotomi tetap dilakukan. Biasanya pasien dengan kontusio cukup
kooperatif untuk dilakukan visualisasi laring. Hematoma biasanya terlihat.5
 Stenosis laring dan subglotis
Jaringan parut yang mempersempit jalan nafas merupakan sekuele dari suatu
penyakit atau cedera, dan penatalaksanaannya sering kali sangat sulit. Trauma
tumpul atau tembus, trakeotomi tinggi, penelanan zat kaustik, luka tembak, iritasi
balon tuba endotrakea merupakan penyebab stenosis laring yang paling sering
dijumpai. Biasanya pasien memerlukan intubasi trakea jangka panjang bagi mereka
yang sangat sakit walaupun ini juga dapat mneyebabkan stenosis laring lagi.5
 Trauma Intubasi
Trauma akibat intubasi bisa disebabkan karena trauma langsung saat
pemasangan atau pun karena balon yang menekan mukosa terlalu lama sehingga
menjadi nekrosis. Trauma sekunder akibat intubasi umumnya karena inflasi balon
yang berlebihan walaupun menggunakan cuff volume besar bertekanan rendah.
Trauma yang disebabkan oleh cuff ini terjadi pada kira-kira setengah dari pasien
yang mengalami trauma saat trakeostomi. Trauma intubasi paling sering
menyebabkan sikatrik kronik dengan stenosis, juga dapat menimbulkan fistula
trakeoesofageal, erosi trakea oleh pipa trakeostomi, fistula trakea-arteri inominata,
dan ruptur bronkial. 7

6
Penggunaan pipa endotrakea dengan cuff yang bertekanan tinggi merupakan
etiologi yang paling sering terjadi pada intubasi endotrakea. Penggunaan cuff
dengan volume tinggi tekanan rendah telah menurunkan insiden stenosis trakea
pada tipe trauma ini, namun trauma intubasi ini masih tetap terjadi dan menjadi
indikasi untuk reseksi trakea dan rekonstruksi. Selain faktor diatas ada beberapa
faktor resiko yang mempermudah terjadinya laserasi atau trauma intubasi. 7
Saat ini tersedia cuff plastic bertekanan rendah untuk tuba trakeostomi. Cuff
ini dirancang untuk memelihara tekanan pada trakea agar tetap di bawah 25 cmH2O
sehingga mengurangi insiden stenosis akibat cuff trakea. Tekanan cuff harus
dipantau sedikitnya 8 jam dengan menempelkan diameter tekanan genggam pada
pilot balon sedang atau melakukan teknik penggunaan volume kebocoran minimal
atau volume oklusi minimal. Secara umum dapat dikatakan bahwa intubasi
endotrakea jangan melebihi 6 hari dan untuk selanjutnya sebaiknya dilakukan
trakeostomi. 8

e. Diagnosis
Terdapatnya salah satu manifestasi klinik di atas merupakan dasar
perkiraan adanyatrauma yang berat dan merupakan indikasi untuk
melakukan pemeriksaan laringoskopi indirek, laringoskopi langsung dan
bronkoskopi untuk menentukan adanya edema,hematoma, mukosa dan
tulang rawan yang bergeser dan paralisis pita suara. Rontgen fotoleher dan
dada harus dilakukan untuk mendeteksi adanya fraktur laring dan trauma
trakea.2,3
Diagnosis luka terbuka di laring dapat ditegakkan dengan adanya
gelembung-gelembungudara pada daerah luka, oleh karena udara yang
keluar dari trakea.Berbeda dengan lukaterbuka, diagnosis luka tertutup
pada laring lebih sulit. Diagnosis ini penting untukmenentukan sikap
selanjutnya, apakah perlu dilakukan eksplorasi atau cukup
denganpengobatan konservatif dan observasi saja.2,3

f. Penatalaksanaan
Sebagai terapi awal pada trauma laring akut ialah dengan
mempertahankan aliranudara adekuat, mungkin diperlukan tindakan
trakeostomi. Kemudian dilanjutkan denganpenilaian terhadap trauma dan
menentukan apakah terapi definitif harus dilakukan dengansegera atau
perlu ditunda, yang tergantung pada keadaan klinisnya.2
Luka terbuka dapat disebabkan oleh trauma tajam pada leher
setinggi laring, misalnyaoleh pisau, celurit, dan peluru.Kadang-kadang
pasien dengan luka terbuka pada laringmeninggal sebelum mendapat
pertolongan, oleh karena perdarahan atau terjadinya
asfiksia.Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada
perbaikan saluran napasdan mencegah aspirasi darah ke paru.Tindakan
yang segera harus dilakukan ialahtrakeostomi dengan menggunakan kanul
trakea yang memakai balon, sehingga tidak terjadiaspirasi darah.Tindakan
intubasi endotrakea tidak dianjurkan karena dapat menyebabkankerusakan
struktur laring yang lebih parah. Setelah trakeostomi barulah dilakukan
eksplorasiuntuk mencari dan mengikat pembuluh darah yang cedera serta
memperbaiki struktur laringdengan menjahit mukosa dan tulang rawan

7
yang robek.Untuk mencegah infeksi dan tetanusdapat diberikan
antibiotika dan serum anti tetanus.2

g. Komplikasi
Komplikasi trauma laring dapat terjadi apabila penatalaksanaanya
kurang tepat dan cepat.Komplikasi yang dapat timbul antara lain:
1. Terbentuknya jaringan parut dan terjadinya stenosis laring
2. Paralisis nervus rekuren
3. Infeksi luka dengan akibat terjadinya perikondritis, jaringan parut, dan
stenosis laringdan trakea.2

1.1.2. Tumor Laring

a. Jenis
Tumor jinak laring dapat berupa papiloma laring, adenoma,
kondroma, mioblastoma sel granuler, hemangioma, lipoma dan
neurofibroma.Papilomalaring merupakan tumor jinak laring yang paling
banyak frekuensinya.Papiloma pada orang dewasa merupakan lanjutan dari
papilomatosis infantil atau tumbuh pada usiapertengahan. Kedua keadaan ini
dapat berubah jadi karsinoma selskuamosa. Perubahan ke arah keganasan
terjadi khusus pada penderita yang sebelumnyapernah mendapat radioterapi.2

b. Manifestasi Klinis
Gejala khasnya berupadisfonia dan apabila papiloma telah menutup
rima glotis maka timbul sesak nafas denganstridor yang dapat bertambah
hebat sampai terjadi sumbatan total jalan napas.2,5
Tumor ini terlihat pada pita suara bagian anterior atau daerah
subglotik.Dapatpula di plika ventrikularis atau aritenoid.Secara makroskopik
bentuknya seperti buahmurbei, berwarna putih kelabu dan kadang-kadang
kemerahan.Jaringan tumor ini sangatrapuh dan kalau dipotong tidak
menyebabkan perdarahan. Sifat yang menonjol dari tumor iniialah sering
tumbuh lagi setelah diangkat, sehingga operasi pengangkatan harus
dilakukanberulang-ulang.2

c. Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan laring langsung,
biopsi sertapemeriksaan patologi-anatomik.2

Gambar 6.Papiloma Laring

8
Gambar 7.Karsinoma sel skuamosa pada laring

d. Penatalaksanaan
Ekstirpasi papiloma dengan bedah mikro atau juga dengan sinar
laser.Oleh karenasering tumbuh lagi, maka tindakan ini diulangi berkali-
kali.Kadang-kadang dalam seminggusudah tampak papiloma tumbuh
lagi.Terapi terhadap penyebabnya belum memuaskan,karena sampai
sekarang etiologinya belum diketahui dengan pasti.Tidak
dianjurkanmemberikan radioterapi, oleh karena papiloma dapat berubah
menjadi ganas.2
Pada tumor ganas laring setelah diagnosis dan stadium tumor
ditegakkan, makaditentukan tindakan yang akan diambil sebagai
penanggulangannya. Ada 3 carapenanggulangan yang lazim dilakukan, yakni
pembedahan, radiasi, obat sitostatika ataupunkombinasinya tergantung pada
stadium penyakit dan keadaan umum pasien. Sebagai patokandapat dikatakan
stadium 1 dikirim untuk mendapatkan radiasi, stadium 2 dan 3 dikirim
untukdilakukan operasi, stadium 4 dilakukan operasi dengan rekonstruksi,
bila masihmemungkinkan atau dikirim untuk mendapatkan radiasi. Jenis
pembedahan adalahlaringektomi totalis ataupun parsial, tergantung lokasi
dan penjalaran tumor, yang seringdilakukan adalah laringektomi totalis
karena beberapa pertimbangan, sedangkan laringektomiparsial jarang
dilakukan, karena teknik sulit untuk mentukan batas tumor.Selain
itudilakukan juga diseksi leher radikal bila terdapat penjalaran ke kelenjar
limfaleher.Pemakaian sitostatika belum memuaskan, biasanya jadwal
pemberian sitostatika tidaksampai selesai karena keadaan umum memburuk,
disamping harga obat ini yang relatifmahal, sehingga tidak terjangkau oleh
pasien.2
Para ahli berpendapat, bahwa tumor laring ini mempunyai prognosis
yang paling baikdi antara tumor-tumor daerah traktur aero-digestivus, bila
dikelola dengan tepat, cepat danradikal.2
Laringektomi yang dikerjakan untuk mengobati karsinoma laring
menyebabkan cacatpada pasien. Dengan dilakukannya pengangkatan laring
beserta pita suara yang ada didalamnya, maka pasien akan menjadi afonia
dan bernapas melalui stoma permanen di leher.Untuk itu diperlukan
rehabilitasi terhadap pasien, baik yang bersifat umum, yakni agar pasien
dapat memasyarakat dan mandiri kembali, maupun rehabilitasi khusus yakni
rehabilitasisuara agar pasien dapat berbicara, sehingga berkomunikasi verbal.

9
Rehabilitasi suara dapatdilakukan dengan pertolongan alat bantu suara, yakni
semacam vibrator yang ditempelkan di daerah sub mandibula, ataupun
dengan suara yang dihasilkan dari esofagus (esophageal speech) melalui
proses belajar. Ada 2 faktor utama yang mempengaruhi suksesnyarehabilitasi
suara ini, yakni faktor fisik dan faktor psiko-sosial.2

1.1.3. Corpus Alienum


a. Definisi
Benda asing di dalam suatu organ ialah benda yang berasal dari luar
tubuh atau daridalam tubuh, yang dalam keadaan normal tidak ada.Benda
asing yang berasal dari luar tubuh,disebut benda asing eksogen, biasanya
masuk melalui hidung atau mulut. Sedangkan yangberasal dari dalam tubuh,
disebut benda asing endogen.2
Benda asing eksogen terdiri dari benda padat, cair atau gas.Benda
asing eksogenpadat terdiri dari zat organik, seperti kacang-kacangan (yang
berasal dari tumbuh- tumbuhan),tulang (yang berasal dari kerangka binatang)
dan zat anorganik seperti paku, jarum, peniti, batudan lain-lain. Benda asing
eksogen cair dibagi dalam benda cair yang bersifat iritatif, seperti zatkimia,
dan benda cair non-iritatif, yaitu cairan dengan pH 7,4.2
Benda asing endogen dapat berupa sekret kental, darah atau bekuan
darah, nanah,krusta, perkijuan, membran difteri, bronkolit, cairan amnion,
mekonium dapat masuk kedalam napas saluran bayi pada saat proses
persalinan.2

b. Etiologi dan Faktor Predisposisi


Faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing kedalam
saluran napasantara lain, faktor personal (umur, jenis kelamin, pekerjaan,
kondisi sosial, tempat tinggal),kegagalan mekanisme proteksi yang normal,
(antara lain keadaan tidur, kesadaran menurun,alkoholisme), proses menelan
yang belum sempurna pada anak, ukuran dan bentuk serta sifatbenda asing.
Faktor kecorobohan, (antara lain meletakan benda asing dimulut, makan
atauminum tergesa-gesa, makan sambil bermain (pada anak), memberikan
kacang atau permenpada anak yang gigi molarnya belum lengkap.2

c. Manifestasi Klinis
Gejala sumbatan benda asing didalam saluran napas tergantung pada
lokasi bendaasing, derajat sumbatan (total atau sebagian), sifat, bentuk dan
ukuran benda asing. Bilaseorang pasien, terutama anak, diketahui mengalami
rasa tercekik atau manisfestasi lainnya,rasa tersumbat ditenggorok, batuk-
batuk sedang makan, maka keadaan ini haruslah dianggapsebagai gejala
aspirasi benda asing.2
Benda asing di laring dapat menutup laring, tersangkut diantara pita
suara atau beradadi subglotis.Gejala sumbatan laring tergantung pada besar,
bentuk dan letak (posisi) bendaasing. Sumbatan total di laring akan
menimbulkan keadaan yang gawat biasanya kematianmendadak karena
terjadi asfiksia dalam waktu singkat. Hal ini disebabkan oleh
timbulnyaspasme laring dengan gejala antara lain disfonia sampai afonia,
apne dan sianosis.2
Sumbatan tidak total di laring dapat menyebabkan gejala suara parau,
disfonia sampai afonia,batuk yang disertai sesak (croupy cough), odinofagia,

10
mengi, sianosis, hemoptisis, dan rasasubjektif dari benda asing (pasien akan
menunjuk lehernya sesuai dengan letak benda asingitu tersangkut) dan dispne
dengan derajat bervariasi. Gejala dan tanda ini jelas bila bendaasing masih
tersangkut di laring, dapat juga benda asing sudah turun ke trakea, tetapi
masihmeninggalkan reaksi laring oleh karena edema laring.2

d. Diagnosis
Diagnosis klinis benda asing disaluran napas ditegakan berdasarkan
anamnesisadanya riwayat tersedak sesuatu, tiba-tiba timbul rasa tercekik
(choking), gejala, tanda,pemeriksaan fisik dengan auskultasi, palpasi dan
pemeriksaan radiologik sebagaipemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti
benda asing disaluran napas ditegakan setelahdilakukan tindakan endoskopi
atas indikasi diagnostik dan terapi.2
Anamnesis yang cermat perlu ditegakan karena kasus aspirasi benda
asing sering tidaksegera dibawa kedokter pada saat kejadian. Perlu diketahui
macam benda atau bahan yangteraspirasi dan telah berapa lama tersedak
benda asing itu.2
Pada kasus benda asing disaluran napas dapat dilakukan pemeriksaan
radiologik danlaboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis. Benda
asing yang bersifat radioopak dapatdibuat Röentgen foto segera setelah
kejadian, sedangkan benda asing radiolusen (seperti kacangkacangan)dibuat
Röentgen foto setelah 24 jam kejadian, karena sebelum 24 jam kejadian
belummenunjukan gambaran radiologis yang berarti.Pemeriksaan radiologik
leher dalam posisi tegak untuk penilaian jaringan lunak leherdan
pemeriksaan toraks postero anterior dan lateral sangat penting pada aspirasi
benda asing.Pemeriksaan toraks lateral dilakukan dengan lengan di belakang
punggung, leher dalam fleksidan kepala ekstensi untuk melihat keseluruhan
jalan napas dari mulut sampai karina. Karenabenda asing dibronkus utama
atau lobus, pemeriksaan paru sangat membantu diagnosis.2
Video Fluoroskopi merupakan cara terbaik untuk melihat saluran
napas secarakeseluruhan, dapat mengevaluasi pada saat ekspirasi dan
inspirasi dan adanya obstruksiparsial. Emfisema obstruktif merupakan bukti
radiologik pada benda asing di saluran napassetelah 24 jam benda teraspirasi.
Gambaran emfisema tampak sebagai pergeseranmediastinum ke sisi paru
yang sehat pada saat ekspirasi (mediastinal shift) dan pelebaraninterkostal.2
Bronkogram berguna untuk benda asing radiolusen yang berada
diperifer padapandangan endoskopi, serta perlu untuk menilai bronkiektasis
akibat benda asing yang lamaberada di bronkus.2
Pemeriksaan laboratorium darah diperlukan untuk mengetahui adanya
gangguankeseimbangan asam basa serta tanda infeksi traktus trakeobronkial.2

e. Penatalaksanaan
Pasien dengan benda asing di laring harus diberi pertolongan dengan
segera, karenaasfiksia dapat terjadi dalam waktu hanya dalam beberapa
menit. Pada anak dengan sumbatantotal pada laring, dapat dicoba dengan
menolongnya dengan memegang anak dengan posisiterbalik, kepala ke
bawah, kemudian daerah punggung/tengkuk dipukul, sehingga
diharapkanbenda asing dapatdibatukkan ke luar.2

11
Gambar 8.Cara pengeluaranbenda asing Gambar 9.Cara pengeluaranbenda asing
pada anak < 1 tahun pada anak >1 tahun

Cara lain untuk mengeluarkan benda asing yang menyumbat laring


secara total ialahdengan cara perasat dari Heimlich (Heimlich maneuver),
dapat dilakukan pada anak maupunorang dewasa. Menurut teori Heimlich,
benda asing masuk ke dalam laring ialah pada waktuinspirasi. Dengan
demikian paru penuh oleh udara, diibaratkan sebagai botol plastik
yangtertutup, dengan menekan botol itu, maka sumbatnya akan terlempar ke
luar.
Pada sumbatan benda asing tidak total di laring, perasat Heimlich
tidak dapatdigunakan. Dalam hal ini pasien masih dapat dibawa ke rumah
sakit terdekat untuk diberipertolongan dengan menggunakan laringoskop
atau bronkoskop, atau kalau alat-alat itu tidakada, dilakukan trakeostomi
sebelum merujuk.Pada waktu tindakan trakeostomi, pasien tidurdengan
posisi Trandelenburg, kepala lebih rendah dari badan, supaya benda asing
tidak turunke trakea.Kemudian pasien dapat dirujuk ke rumah sakit yang
mempunyai fasilitaslaringoskopi dan bronkoskopi untuk mengeluarkan benda
asing itu dengan cunam. Tindakanini dapat dilakukan dengan anastesi
(umum) dan analgesia (lokal).2

1.1.4. Alergi: Edema Angioneurotik


a. Definisi
Edema angioneurotik mukosa laring adalah salah satu penyebab
obstruksi laring yangbiasanya disebabkan oleh alergi.Edema laring
angioneurotik akut dapat mengobstruksisaluran pernapasan setelah respon
imun humoral akut terhadap berbagai antigen sepertisengatan lebah,
suntikan antibiotika dan makanan.5

b. Manifestasi klinis
Gejalanya berupa suara parau yangprogresif setelah kontak
dengan, mengirup atau menelan alergen, tanpa tanda infeksi.5

c. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis terdapatnya riwayat
atopi pada pasien maupun keluarganya dan terjadi setelah paparan alergen,

12
serta dari pemeriksaan fisik.Kadang-kadang kerentanan individu dapat
dibuktikan dengan mendeteksi C1 esterase didalam darah.5

d. Penatalaksanaan
Diindikasikan suntikan epinefrin, oksigen dan selanjutnya
penyelidikan alergi tindak lanjut.Pada keadaan parah, diperlukan
krikotiroidotomi maupun trakeostomi untuk menyelamatkan jiwa.5

1.1.5. Kelumpuhan nervus rekuren bilateral


a. Etiologi
Paralisis ini kebanyakan disebabkan oleh proses pembedahan
tiroid,terutama totaltiroidektomi. Penyebab lainnya yang jarang adalah karena
pertumbuhan tumor tiroid yangmalignan.5

b. Manifestasi klinis
Paralisis bilateral n. Laringeus rekurens menyebabkan sesak nafas
sebab celah suaracukup sempit karena kedua pita suara tidak dapat abduksi
pada inspirasi sehingga menetappada posisi paramedian. Kadang pita suara
cenderung bertaut pada inspirasi sehingga keselamatan penderita terancam.5

c. Penatalaksanaan
Bila pita suara bertaut pada saat inspirasi, penderita harus diselamatkan
dengan intubasi dan trakeostomi. Beberapa kondisi memiliki indikasi
operasifiksasi pita suara di posisi abduksi pada paralisis n. Laringeus rekurens
bilateral.5

1.2. Manifestasi Klinis


Gejala dan tanda sumbatan laring adalah :
1. Suara serak (disfoni sampai afoni)
2. Sesak napas (dispnea)
3. Stridor (napas berbunyi) yang terdengan pada waktu inspiras.
4. Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium,
supraklavikula dan interkostal. Cekungan itu terjadi sebagai upaya dari otot-otot
pernapasan untuk mendapatkan oksigen yang adekuat.
5. Gelisah karena pasien haus udara (air hunger)
6. Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia

Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium dengan


tanda dangejala:
Stadium 1.Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal, stridor pada
waktuinspirasi dan pasien masih tenang.
Stadium 2.Cekungan pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin dalam,
ditambahlagi dengan timbulnya cekungan di daerah epigastrium.Pasien sudah
mulaigelisah.Stridor terdengar pada waktu inspirasi.
Stadium 3.Cekungan selain di daerah suprasternal, epigastrium juga terdapat
diinfraklavikuladan sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan dispnea.Stridorterdengar
pada waktu inspirasi dan ekspirasi.
Stadium 4. Cekungan-cekungan diatas bertambah jelas, pasien sangat gelisah,
tampak

13
sangat ketakutan dan sianosis. Jika keadaan ini berlangsung terus maka pasienmaka
akan kehabisan tenaga, pusat pernapasan paralitik karena hiperkapnea.Pasien lemah
dan tertidur, akhirnya meninggal karena asfiksia.

1.3. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan klinis dan laringoskopi.
Pada orang dewasa dilakukan laringoskopi indirek, dan pada anak laringoskopi
direk.2

1.4. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan/ penanggulangan sumbatan laring ialah
menghilangkan penyebab sumbatandengan cepat atau membuat jalan napas baru
yang dapat menjamin ventilasi.Dalam penanggulangan sumbatan laring pada
prinsipnya diusahakan supaya jalan jalan napaslancar kembali.Tindakan konservatif
dengan pemberian antiinflamasi, antialergi, antibiotika,serta pemberian oksigen
intermitten dilakukan pada sumbatan laring stadium 1 yangdisebabkan peradangan.
Tindakan operatif atau resusitasi untuk membebaskan saluran napasini dapat dengan
cara memasukan pipa endotrakea melalui mulut (intubasi orotrakea) ataumelalui
hidung (intubasi nasotrakea), membuat trakeostomi atau melakukan krikotirotomi.
Intubasi endotrakea dan trakeostomi dilakukan pada pasien dengan sumbatan
laringstadium 2 dan 3, sedangkan krikotirotomi dilakukan pada sumbatan laring
stadium 4.
Tindakan operatif atau resusitasi dapat dilakukan berdasarkan analisis gas
darah(pemeriksaan Astrup). Bila fasilitas tersedia, maka intubasi endotrakea
merupakan pilihanpertama, sedangkan jika ruangan perawatan intensif tidak tersedia
sebaiknya dilakukantrakeostomi.2

14
1.4.1. Perasat Heimlich
Dengan perasat Heimlich, dilakukan pada penekanan paru.Caranya ialah,
bila pasienmasih dapat berdiri, maka penolong dapat berdiri di belakang
pasien, kepalan tanganpenolong diletakkan di atas prossesus xifoid, sedangkan
tangan kirinya diletakkan diatasnya.Kemudian dilakukan penekanan ke
belakang dan keatas ke arah paru pasien beberapa kali,sehingga benda asing
akan terlempar ke luar mulut.
Bila pasien sudah berbaring karena pingsan, maka penolong bersetumpu
padalututnya di kedua sisi pasien, kepalan diletakkan di bawah prosesus
xifoid, kemudiandilakukan penekanan ke bawah dan ke arah paru pasien
beberapa kali, sehingga benda asingakan terdorong melalui mulut. Pada
tindakan abdominal thrust ini posisi muka pasien harus lurus, leher
janganditekuk ke samping, supaya jalan napas merupakan garis lurus.
Komplikasi perasat Heimich ialah kemungkinan terjadinya ruptur
lambung atau hatidan fraktur iga. Oleh karena itu pada anak sebaiknya cara
menolongnya tidak denganmenggunakan kepalan tangan, tetapi cukup dengan
menggunakan dua buah jari kiri dankanan.2

Gambar 10.Heimlich maneuverpada pasien tidak sadar

Gambar 11. Abdominal thrust pada pasien sadar

15
1.4.2. Intubasi Endotrakea
a. Indikasi intubasi endotrakea
1) untuk mengatasi sumbatan saluran napas bagian atas,
2)membantu ventilasi
3) memudahkan mengisap sekret dari tarktus trakeo-bronkial
4)mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau yang berasal
dari lambung. Intubasiendotrakea merupakan cara yang paling cepat untuk
memperbaik jalan napas. Dapatdilakukan secara transnasal atau
transoral.2,3
Pipa endotrakea yang dibuat dari bahan polyvinilchloride dengan
balon (cuff) padaujungnya yang dapat diisi dengan udara, diperkenalkan
oleh Magill pertama kali tahun 1964,dan sampai sekarang sering dipakai
untuk intubasi. Ukuran pipa endotrakea ini harus sesuaidengan ukuran
trakea pasien dan umumnya untuk orang dewasa dipakai yang
diameterdalamnya 7-8,5 mm. Pipa endotrakea yang dimasukkan melalui
hidung dapat dipertahankanuntuk beberapa hari. Secara umum dapat
dikatakan bahwa intubasi endotrakea janganmelebihi 6 hari dan untuk
selanjutnya sebaiknya dilakukan trakeostomi.2
b. Teknik Intubasi Endotrakea
Intubasi endotrakea merupakan tindakan penyelamat dan dapat
dilakukan tanpa ataudengan analgesia topikal dengan xylocain 10%.Posisi
pasien tidur terlentang, leher fleksisedikit dan kepala ekstensi.Laringoskop
dengan spatel bengkok dipegang dengan tangan kiri,dimasukkan melalui
mulut sebelah kanan, sehingga lidah terdorong ke kiri.Spatel
diarahkanmenelusuri pangkal lidah ke valekula, lalu laringoskop diangkat
ke atas, sehingga pita suaradapat terlihat.Dengan tangan kanan pipa
endotrakea dimasukkan melalui mulut terus melaluicelah antara kedua pita
suara ke dalam trakea.Pipa endotrakea dapat juga dimasukkanmelalui
salah satu lubang hidung sampai rongga mulut dan dengan cunam Magill
ujung pipaendotrakea dimasukan ke dalam celah anatara kedua pita suara
sampai ke trakea.
Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi
dengan baik.Apabilamenggunakan spatel laringoskop yang lurus maka
pasien yang tidur terlentang itu, pundaknyaharus diganjal dengan bantal
pasir, sehingga kepala mudah diekstensikan maksimal.
Laringoskop dengan spatel yang lurus dipegang dengan tangan
kiri dan dimasukkanmengikuti dinding faring posterior dan epiglotis
diangkat horizontal ke atas bersama-samasehingga laring jelas
terlihat.Pipa endotrakea dipegang dengan tangan kanan dan
dimasukanmelalui celah pita suara sampai di trakea. Kemudia balon diisi
udara dan pipa endotrakeadifiksasi dengan plester.2
c. Komplikasi
Pipa yang terpasang di laring untuk waktu lama dapat
menimbulkan ulserasi mukosa,pembentukan jaringan granulasi, edem
subglotis, dan akhirnya stenosis laring dan trakea.Komplikasi ini lebih
sering pada pasien sadar atau hiperaktif dengan refleks menelan
yangaktif.4

16
1.4.3. Trakeostomi
Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding
depan/anterior trakeauntuk bernapas.Menurut letak stoma, trakeostomi
dibedakan menjadi:
1) trakeostomi letak tinggi,yaitu di cincin trakea 2-3
2) trakeostomi letak rendah, setinggi cincin trakea 4-5.
Berdasarkan letak tinggi dan rendah kira-kira setinggi ismus kelenjar
tiroid, bila melakukan trakeostomisebaiknya letak tinggi karena:
1) letak trakea lebih superfisial
2) dekat dengan bangunan pedoman yaitu kartilago tiroid atau krikoid
3) kanul tidak mudah lepas dan bila lepas mudah dikembalikan
4) ismus atau timus pada anak tidak terganggu
5) aman, karena jauh dari pembuluh darah besar.
Sedangkan menurut waktu dilakukan tindakan maka trakeostomi dibagi
dalam:
1) trakeostomidarurat dan segera dengan persiapan sarana yang kurang
2) trakeostomi berencana(persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan secara
baik (lege artis).2

a. Indikasi Trakeostomi
1. Mengatasi obstruksi laring
2. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas
seperti daerahrongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya
stoma maka seluruh oksigenyang dihirupnya akan masuk ke dalam
paru, tidak ada yang tertinggal di ruang rugiitu. Hal ini berguna pada
pasien dengan kerusakan paru, yang kapasitas vitalnyaberkurang.
3. Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak
dapatmengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pada pasien
dalam koma.
4. Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan)
5. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai
fasilitasbronkoskopi. 2

b. Alat-alat trakeostomi
Alat yang perlu dipersiapkan untuk melakukan trakeostomi ialah
semprit dengan obatanlagesia (novokain), pisau (skalpel), pinset anatomi,
gunting panjang yang tumpul, sepasangpengait tumpul, klem arteri, gunting
kecil yang tajam serta kanul trakea yang ukurannyacocok untuk pasien. 2

Gambar 12.Kanul silikon Gambar 13.Kanul metal

17
Gambar 14.Alat –alat trakeostomi

c. Teknik Trakeostomi
Pasien tidur terlentang, bahu diganjal dengan bantalan kecil sehingga
memudahkankepala untuk diekstensikan pada persendian atlanto oksipital.
Dengan posisi seperti ini leher akan lurus dan trakea akan terletak di garis
median dekat permukaan leher. Kulit daerah leherdibersihkan secara asepsis
dan antisepsis dan ditutup dengan kasa steril.Obat anastetikum (novokain)
disuntikkan di pertengahan krikoid dengan fosasuprasternal secara
infiltrasi.Sayatan kulit dapat vertikal di garis tengah leher mulai
dibawahkrikoid sampai fosa suprasternal atau jika membuat sayatan
horizontal dilakukan padapertengahan jarak antara kartilago krikoid dengan
fosa suprasternal atau kira-kira 2 jaridibawah krikoid orang dewasa.Sayatan
jangan terlalu sempit, dibuat kira-kira 5 cm.
Dengan gunting panjang yang tumpul kulit serta jaringan dibawahnya
dipisahkanlapis demi lapis dan ditarik ke lateral dengan pengait tumpul,
sampai tampak trakea yangberupa pipa dengan susunan cincin-cincin tulang
rawan yang berwarna putih. Pembuluhdarah vena jugularis anterior yang
tampak ditarik ke lateral.Ismus tiroid diklem pada duatempat dan dipotong
ditengahnya.Sebelum klem ini dilepaskan ismus tiroid diikat keduatepinya
dan disihkan ke lateral.Perdarahan dihentikan dan jika perlu diikat. Lakukan
aspirasidengan cara menusukkan jarum pada membran antara cincin trakea
dan akan terasa ringanwaktu ditarik. Buat stoma dengan memotong cincin
trakea ke tiga dengan gunting yangtajam.Kemudian dipasang kanul trakea
dengan ukuran yang sesuai.Kanul difiksasi dengantali pada leher pasien
dengan luka operasi ditutup dengan kasa.
Hal-hal yang perlu diperhatikan, sebelum membuat lubang trakea,
perlu dibuktikandulu yang akan dipotong itu benar-benar trakea dengan
cara aspirasi dengan semprit yangberisi novokain. Bila yang ditusuk itu
trakea maka pada waktu dilakukan aspirasi terasaringan dan udara yang
terisap akan menimbulkan gelembung udara. Untuk mengurangirefleks
batuk dapat disuntikan novokain sebanyak 1 cc ke dalam trakea.
Untuk menghindari terjadinya komplikasi perlu diperhatiakan insisi
kulit janganterlalu pendek agar tidak sukar mencari trakea dan mencegah
terjadinya emfisema kulit.Ukuran kanul harus sesuai dengan diameter
lumen trakea. Bila kanul terlalu kecil, akanmenyebabkan kanul bergerak-

18
gerak sehingga terjadi rangsangan pada mukosa trakea danmudah terlepas
ke luar.
Bila kanul terlalu besar, sulit untuk memasukkannya ke dalam lumen
dan ujung kanulakan menekan mukosa trakea dan menyebabkan nekrosis
dinding trakea. Panjang kanul harussesuai pula. Bila terlalu pendek akan
mudah keluar dari lumen trakea dan masuk ke dalamjaringan subkutis
sehingga timbul emfisema kulit dan lumen kanul akan tertutup
sehinggamenimbulkan asfiksia. Bila kanul terlalu panjang maka mukosa
trakea akan teriritasi danmudah timbul jaringan granulasi. 2

Gambar 15.Teknik trakeostomi


d. Perawatan pasca trakeostomi
Perawatan pasca trakeostomi sangatlah penting, karena sekret dapat
menyumbat,sehingga akan terjadi asfiksia. Oleh karena itu sekret di trakea
dan kanul harus sering diisapke luar, dan kanul dalam dicuci sekurang-
kurangnya 2 kali sehari, lalu segera dimasukan lagike dalam kanul
luar.Pasien dapat dirawat di ruang perawatan biasa dan
perawatantrakeostomi sangatlah penting.Bila kanul harus dipasang untuk
jangka waktu lama, makakanul luar harus dibersihkan 2 minggu sekali.Kain
kasa di bawah kanul harus diganti setiapbasah, untuk menghindari
terjadinya dermatitis.2

19
Gambar 16.Memasang kanul

1.4.4. Krikotirotomi
Krikotirotomi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam
keadaan gawatnapas. Dengan cara membelah membran krikotiroid. Tindakan
ini harus dikerjakan cepatwalaupun persiapannya darurat.2
a. Indikasi Krikotirotomi:
1. Perlengkapan dan alat-alat intubasi endotrakea atau trakeostomi tidak
memadai untuk
mengatasi obstruksi jalan napas yang berat.
2. Kebutuhan untuk mempertahankan jalan napas dilakukan oleh tenaga
yang tidak
terlatih medis.
3. Keperluan untuk mempertahankan jalan napas pada obstruksi laring
karena tumor,
sehingga seluruh bagian krikotiroid akan ikut dikeluarkan pada saat
operasi definitif. 3

b. Teknik Krikotirotomi
Pasien tidur telentang dengan kepala ekstensi pada artikulasi atlanto
oksipitalis.Puncak tulang rawan (Adam’s apple) mudah diidentifikasi
difiksasi dengan jari tangan kiri.Dengan telunjuk jari tangan kanan tulang
rawan tiroid diraba ke bawah sampai ditemukankartilago
krikoid.Membran krikotiroid terletak di antara kedua tulang rawan
ini.Daerah inidiinfiltrasi dengan anastetikum kemudian dibuat sayatan
horizontal pada kulit.Jaringan dibawah sayatan dipisahkan tepat pada garis
tengah.Setelah tepi bawah kartilago tiroidterlihat, tusukkan pisau dengan
arah ke bawah.Kemudian, masukkan kanul bila tersedia.Jikatidak, dapat
dipakai pipa plastik untuk sementara.2

20
Gambar 17.Krikotirotomi

c. Komplikasi
Kerugian teknik ini banyak, sehingga terbatas
penggunaannya.Ruang krikotiroidrelatif sempit dan sering tidak cukup
untuk memasukkan pipa trakeostomi dengan ukuranadekuat tanpa
merusak kartilago krikoid.Tiap luka pada krikoid dapat diikuti
denganperikondritis dan stenosis laring.Arteri krikotiroid masuk ke dalam
ruang krikotiroid dekatgaris tengah yang mungkin menjadi sumber
perdarahan yang cukup banyak selamamelakukan teknik ini.3
Stenosis subglotik akan timbul bila kanul dibiarkan terlalu
lama. Makin lama pipaterpasang pada membran krikotiroid, makin besar
kemungkinan terjadi perinkondritis, karenakanul yang letaknya tinggi
akan mengiritasi jaringan-jaringan di sekitar subglotik, sehinggaterbentuk
jaringan granulasi, dan akhirnya stenosis laring. Sehingga sebaiknya
segera digantidengan trakeostomi dalam waktu 48 jam.2,3
Krikotirotomi merupakan kontraindikasi pada anak di bawah 12
tahun, demikian jugapada tumor laring yang sudah meluas ke subglotik
dan terdapat laringitis.2

d. Perawatan Pasca Bedah


Kanul trakeostomi harus segera dimasukkan melalui krikotirotomi
segera setelah alattersebut tersedia.Krikotirotomi harus diganti dengan
trakeostomi melalui insisi terpisah yanglebih rendah segera setelah
keadaan pasien stabil. Bila mungkin dilakukan dalam 24 jam ataupaling
lama 48 jam setelah krikotirotomi.2,3

21
2. 2. Mengetahui dan menjelaskan steven Johnson syndrome
DEFINISI
Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu kumpulan gejala klinis
erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa,
mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain :
sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema
poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dan lain-
lain.(Adithan,2006).
Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) bersama Steven-Johnson Syndrome (SJS)
merupakan reaksi mukokutaneus membahayakan dengan karakteristik nekrosis
ekstensif dan pelepasan epidermis. TEN dan SJS adalah gangguan langka dengan
angka insidensi 1 – 6 kasus per 1 juta orang per tahun (Valeyrie-Alanore, 2008).
Insidensi TEN dilaporkan adalah 0,4 – 1,2 kejadian tiap 1 juta orang/tahun, dengan
kasus tersering terjadi pada usia > 40 tahun (Wolff, 2008).
Kesamaan gambaran klinis, histopatologis, etiologi akibat obat, dan
mekanisme, membuat SJS dan TEN dikelompokkan menjadi satu kelompok penyakit
epidermal necrolysis. Karakteristik epidermal necrolysis (EN) adalah apoptosis
keratinosit dan pengelupasan epidermis sehingga area dermis terpapar lingkungan
luar, serupa dengan luka bakar. TEN dan SJS dibedakan berdasarkan luas perlukaan
tubuh yang terlibat. Karakteristik SJS adalah pengelupasan kulit kurang dari 10%
total body surface area (TBSA), sedangkan lebih dari 30% TBSA terlibat pada TEN
(Widgerow, 2011). Nekrolisis yang melibatkan 10% - 30% TBSA didefinisikan
sebagai SJS-TEN overlaping (Harr, 2010). Etiologi dan patofisiologi EN belum
diketahui secara jelas, namun faktor genetik yang berpengaruh terhadap
hipersensitivitas terhadap obat merupakan faktor yang paling banyak diteliti (Harr,
2010).

ETIOLOGI
Golongan obat yang dapat penyebabkan EN, terbagi menurut resikonya dan
tersaji dalam tabel berikut:

Gambar 1. Tabel Resiko Epidermal Necrolysis pada Berbagai Obat

22
Sumber: Valeyrie-Allanore, L & Roujeau, Jean Claude. 2008. Epidermal Necrolysis
(Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis) dalam: Fizpatrick’s
Dermatology in General Medicine. The McGraw-Hill Companies. p. 350.

PATOFISIOLOGI
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks
soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi
hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi
yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka
terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi (Carroll, 2001) :
1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan
2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan
glukosuriat
3. Kegagalan termoregulasi
4. Kegagalan fungsi imun
5. Infeksi

(Stephen C.Foster et.al, 2011)


Walaupun begitu, dewasa ini di beberapa literatur disebutkan bahwa SSJ
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe II. Yang mana gejala klinis atau gejala reaksinya
bergantung kepada sel sasaran (target cell). Sasaran utama SSJ ialah pada kulit berupa
destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan
CD8, IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin lain. CD4 terutama terdapat di dermis, CD8 di
epidermis. Keratinosit epidermis mengekspresikan ICAM-1, ICAM-2 dan MHC-II. Sel
langerhans tidak ada atau sedikit. TNF alfa meningkat di epidermis. (Mochtar Hamzah,
2009)
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat
berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala
bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata,
genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis, konjuntivitis, dan uretritis). Gejala
prodormal tidak spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat
menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata
permanen. Kelainan pada selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas

23
ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada
bibir sering dijumpai krusta hemoragik. (Ilyas, 2004)

Manifestasi Klinis
SJS dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14
hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal
otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala
tersebut. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan
batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak
rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya.
Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok. Secara khas, proses
penyakit dimulai dengan infeksi nonspesifik saluran napas atas.
Lesi mukokutaneus berkembang cepat. Kelompok lesi yang berkembang akan
bertahan dari 2-4 minggu. Lesi tersebut bersifat nonpruritik. Riwayat demam atau
perburukan lokal harus dipikirkan ke arah superinfeksi, demam dilaporkan terjadi
sampai 85% dari seluruh kasus.
Gejala pada membran mukosa oral dapat cukup berat sehingga pasien tidak
dapat makan dan minum. Pasien dengan gejala genitourinari dapat memberi keluhan
disuria. Riwayat penyakit SJS atau eritema multiforme dapat ditemukan. Rekurensi
dapat terjadi apabila agen yang menyebabkan tidak tereliminasi atau pasien
mengalami pajanan kembali.
Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan
halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah kulit
yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin
dan demam. Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok (Adithan, 2006).
Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-
sama berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat
merembes dari daerah kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap
infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN.

24
Mengenal gejala awal SJS dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik
untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang
mengalaminya. Gejala awal termasuk (Mansjoer, 2002) :
a) Ruam
b) Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
c) Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir
seluruh tubuh.
d) Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta
berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal,
muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah
vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis
merupakan gambaran utama.
e) Bengkak di kelopak mata, atau mata merah.
f) Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan
dalam kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis ,
blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema
dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang
dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor
pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid,
merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan
kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular
cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.

Epidermal Necrolysis merupakan suatu kelompok penyakit yang terdiri atas


Stevens-Johnson Syndrome, dan Toxic Epidermal Necrolysis. Penyakit dalam
kelompok EN dibedakan berdasarkan luas area tubuh yang terlibat. Suatu EN disebut
sebagai SJS bila luas permukaan tubuh yang terkena <10%, disebut sebagai TEN bila
luas permukaan tubuh yang terkena >30%, dan disebut SJS-TEN overlap pada
keadaan luas permukaan tubuh yang terlibat
antara 10 – 30%. Perkiraan luas permukaan
tubuh yang terlibat diilustrasikan pada gambar
berikut:
Gambar 2. Diagnosis Penyakit dalam
Kelompok Epidermal Necrolysis berdasarkan
luas permukaan tubuh yang terlibat.
Sumber: Harr Thomas & French Lars E. 2010.
‘Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-
Johnson Syndrome’ Orphanet Journal of Rare
Disease 5:39, p. 3.

Luas permukaan tubuh yang terlibat pada pasien dapat dihitung menggunakan
rumus perhitungan luas luka bakar. Pada orang dewasa terdapat beberapa cara untuk
menghitung luas permukaan tubuh yang terlibat dalam luka bakar. Role of 9
merupakan cara yang paling sering digunakan, dengan tambahan ‘age-adjusted burn
chart/diagram’ untuk perhitungan luas permukaan tubuh dengan lebih detail. Cara-

25
cara menghitung luas permukaan tubuh dalam penanganan luka bakar tersaji dalam
tiga gambar berikut ini:

Gambar 3. Diagram ‘role of 9’


Sumber: Irwin Richard S., & Rippe James M. 2008. Burn Management, dalam: Irwin
and Rippe’s Intensive Care Medicine, 6th Edition. Lippincott Williams and Wilkins.
p. – (e-book).

Gambar 4. Berkow Chart for The Estimation of Burn Size

26
Sumber: Irwin Richard S., & Rippe James M. 2008. Burn Management, dalam: Irwin
and Rippe’s Intensive Care Medicine, 6th Edition. Lippincott Williams and Wilkins.
p. – (e-book).

Gambar 5. Aged Adjusted Burn Diagram.


Sumber: Fritz, David A. 2008. Burn and Smoke Inhalation, dalam: Current Diagnosis
and Treatment Emergency Medicine, 6th Edition. Lange Medical Book – Mcgraw-
Hill Companies. p. – (e-book).

Luas area tubuh yang terlibat pada EN bukan hanya dihitung berdasarkan luas
denuded area, yaitu dermis yang terkelupas, namun juga luas denudable area yang
ditandai dengan Nikolsky sign (+).

27
DIAGNOSIS DAN DIGNOSIS BANDING
Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit,
mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi
berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik,
biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan
histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan,
leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar
IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat
dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak
ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik (Siregar, 2004;
Adithan, 2006).

28
Pemeriksaan Fisik
Trias Kelainan Pada Sindrom Stevens Johnson
1. Kelainan Pada Kulit
 Kemerahan pada kulit bermula sebagai makula yang berkembang menjadi papula,
vesikel, bula, plak urtikaria atau eritema konfluen.
 Pusat dari lesi ini mungkin berupa vesikular, purpura atau nekrotik.
 Lesi dapat menjadi bula dan kemudian pecah, menyebabkan erosi dan ekskoriasi
pada kulit. Kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.
 Lesi urtikaria biasanya tidak bersifat pruritik.
 Infeksi merupakan penyebab scar yang berhubungan dengan morbiditas.
 Walaupun lesi dapat terjadi dimana saja tetapi telapak tangan, dorsal dari tangan
dan permukaan ekstensor merupakan tempat yang paling umum.
 Kemerahan dapat terjadi di bagian manapun dari tubuh tetapi yang paling umum di
batang tubuh.
2. Kelainan Pada Selaput Lendir di Orifisium
 Kelainan sering terjadi pada mukosa mulut (100%), 50% pada lubang alat genitalia,
jarang pada lubang hidung dan anus (masing-masing 8% dan 4%).
 Gejala pada mukosa mulut berupa eritema, edema, vesikel / bula yang gampang
pecah sehingga timbul erosi, ekskoriasi dan krusta kehitaman, terutama pada bibir.
Juga dapat timbul pseudomembran. Lesi terdapat pada traktus respiratorius bagian
atas, faring dan esofagus.
 Stomatitis pada mulut dapat menyebabkan pasien sulit menelan
 Pseudomembran pada faring menyebabkan pasien sukar bernapas.
 Walaupun beberapa ahli menyarankan adanya kemungkinan SSJ tanpa lesi pada
kulit tetapi sebagian besar percaya bahwa lesi mukosa saja tidak cukup untuk
menegakkan diagnosis. Beberapa ahli menyebut kasus yang tanpa lesi kulit sebagai
atipikal atau inkomplit.
3. Kelainan Mata
Yang paling sering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa
konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis.
4. Tanda-tanda yang mungkin ditemukan selama pemeriksaan:
 Demam
 Ortostasis
 Takikardia
 Hipotensi
 Penurunan kesadaran
 Epistaksis
 Konjungtivitis
 Ulkus kornea
 Vulvovaginitis erosiva atau balanitis
 Kejang, koma
Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium selain biopsi yang dapat menegakkan
diagnosis SSJ.
a) Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan jumlah leukosit yang normal atau
leukositosis yang nonspesifik. Leukositosis yang nyata mengindikasikan
kemungkinan infeksi bakteri berat.
b) Kultur jaringan kulit dan darah telah disetujui karena insidensi infeksi bakteri yang
serius pada aliran darah dan sepsis yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan
mortalitas.

29
c) mengevaluasi fungsi renal dan evaluasi urin untuk melihat adanya hematuria.
d) Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan
panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.
e) Elektrolit dan kimia lainnya mungkin diperlukan untuk membantu menangani
masalah lainnya.
f) Kultur darah, urin dan jaringan pada luka diindikasikan ketika dicurigai adanya
infeksi.
g) Bronkoskopi, esofagogastroduodenoskopi dan kolonoskopi dapat dilakukan.
Pemeriksaan Radiologi
Foto rontgen thorak dapat menunjukkan adanya pneumonitis ketika dicurigai
secara klinis. Akan tetapi foto rontgen rutin biasa tidak diindikasikan.
Pemeriksaan Histopatologi
Biopsi kulit merupakan pemeriksaan definitif tetapi pemeriksaan ini bukan
merupakan prosedur ruang gawat darurat.
a) Spesimen biopsi kulit memperlihatkan bahwa bula terletak subepidermal.
b) Nekrosis sel epidermal dapat dilihat.
c) Area perivaskular diinfiltrasi oleh limfosit.

TATALAKSANA
Terapi pada pasien TEN/SJS terbagi menjadi terapi simtomatis atau suportif dan
terapi spesifik. Terapi suportif bertujuan menjaga keseimbangan hemodinamik dan
mencegah komplikasi berbahaya. Nekrosis dan pengelupasan epidermis menyebabkan
hilangnya cairan tubuh secara signifikan. Wolff et al (2007) menyarankan terapi
cairan pada TEN sesuai dengan terapi cairan pada luka bakar derajat tiga, sedangkan
Valeyrie-Allanore et al (2008) menyebutkan bahwa akibat tidak adanya edema
interstisial pada TEN seperti yang terjadi pada luka bakar, maka terapi cairan yang
dibutuhkan biasanya lebih sedikit dari terapi cairan yang dibutuhkan pasien luka
bakar dengan derajat yang sama.
Tujuan untuk mencapai keseimbangan hemodinamik dicapai dengan mengatur
jumlah cairan yang diberikan kepada pasien untuk menghasilkan jumlah urine normal
(di atas 1 ml/kgBB/jam pada penderita luka bakar). Perhitungan untuk menentukan
jumlah cairan yang diperlukan pada penderita luka bakar dapat dihitung dengan
rumus Evans atau Baxter
Evans : 1. Luas luka (%) x BB (kg) = ml NaCl/24jam
2. Luas luka (%) x BB (kg) = ml plasma/24jam
3. 2000 ml Glukosa 5%/24jam
Separuh jumlah cairan 1+2+3 diberukan dalam 8 jam pertama, sisanya 16
jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan jumlah cairan setengah dari
jumlah awal, dan pada hari ke tiga diberikan setengah dari jumlah hari
kedua. Bila pada hari ketiga pasien sudah bisa minum dengan baik dan
diuresis memuaskan, infus dapat dikurangi bahkan dihentikan.
Baxter: Luas luka (%) x BB (kg) x 4 ml
Separuh jumlah cairan ini diberikan pada 8 jam pertama, sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari pertama diberikan RL

30
sebagai pengganti cairan sekaligus elektrolit. Hari kedua diberikan
setengah jumlah cairan pada hari pertama.
Terapi cairan disebut berhasil bila diuresis pada penderita sekurang-kurangnya 1
ml/kgBB/jam. Bila penderita sudah mampu minum dan peristaltis baik, maka minum
dapat diberikan dengan aturan sebanyak 25 ml/kgBB/hari sampai diuresis sekurang-
kurangnya mencapai 30 ml/jam. Sesuai pernyataan Valeyrie-Allanore et al (2008)
bahwa terapi cairan pada TEN/SJS tidak sebanyak terapi cairan pada luka bakar
dengan derajat yang sama akibat tidak terbentuknya edema interstisial, maka jumlah
cairan maintenance yang digunakan kurang dari angka di atas. Hanya perlu
dipertahankan urine output sebesar 1000 sampai 1500 ml/24 jam.
Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversial tetapi mungkin
berguna jika diberikan dalam dosis tinggi pada fase awal penyakit. Morbiditas dan
mortalitas dapat meningkat berhubungan dengan penggunaan kortikosteroid.
Imunoglobulin IV telah dijabarkan sebagai terapi dan profilaksis.
Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga
terapi yang diberikan biasanya adalah :
 Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
 Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji
resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
 Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus,
kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid
sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan
steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat
dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap
steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
 Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin
hidrogen maleat dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5
mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari.
Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun
: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan
kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
 Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
 Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
 Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
 Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan
alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat
nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena,
diberikan 2 kali/hari.
 Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada
hari 1, 2, 3, 4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan
menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang
dimediasi FAS (Adithan, 2006).
Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan :
 Pemberian obat tetes mata baik antibiotik, kortikosteroid maupun yang
bersifat garam fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi
sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola mata.

31
 Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah
terjadinya perlekatan konjungtiva.

PROGNOSIS
Kematian pasien ini merupakan gabungan dari beberapa faktor. Sejak awal,
pasien telah datang dengan prognosis mortalitas buruk, dengan SCORTEN skor 4 atau
mortalitas yang diperkirakan akan terjadi sebesar 62,2% (tidak termasuk pemeriksaan
bikarbonat yang seharusnya juga digunakan untuk menentukan prognosis). Indikator
dan perkiraan mortalitas disajukan dalam gambar berikut:

Gambar 6. SCORTEN scoring system


Sumber: Abood Gerard J., Nickoloff Brian J., Gamelli Richard L. 2008. ‘Treatment
Strategies in Toxic Epidermal Necrolysis Syndrome: Where Are We At?’ Journal of
Burn Care and Research Volume 29, Number1, January/February 2008, American
Burn Association. p.272.

Gambar 7. Perkiraan mortalitas berdasarkan skor total SCORTEN


Sumber: Abood Gerard J., Nickoloff Brian J., Gamelli Richard L. 2008. ‘Treatment
Strategies in Toxic Epidermal Necrolysis Syndrome: Where Are We At?’ Journal of
Burn Care and Research Volume 29, Number1, January/February 2008, American
Burn Association. p.272.

KOMPLIKASI
Steven Johnson Syndrome sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai
berikut:

32
 Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan
 Gastroenterologi - Esophageal strictures
 Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring,
stenosis vagina
 Pulmonari – pneumonia
 Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen,
infeksi kulit sekunder
 Infeksi sitemik, sepsis
 Kehilangan cairan tubuh, shock.
Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam sampai hari,
dengan ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua mata. Akibat
adanya perlukaan di konjungtiva dapat menyebabkan pseudomembran atau
konjungtivitis membranosa, yang dapat mengakibatkan sikatrik konjungtivitis. Pada
komplilasi yang lebih lanjut dapat menimbulkan perlukaan pada palpebra yang
mendorong terjadinya ektropion, entropion, trikriasis dan lagoftalmus. Penyembuhan
konjungtiva meninggalkan perlukaan yang dapat berakibat simblefaron dan
ankyloblefaron. Defisiensi air mata sering menyebabkan masalah dan hal tersebut
sebagai tanda menuju ke fase komplikasi yang terakhir. Yang mana komplikasi
tersebut beralih dari komplikasi pada konjungtiva ke komplikasi pada kornea dengan
kelainan pada permukaan bola mata. Fase terakhir pada komplikasi kornea meningkat
dari hanya berupa pemaparan kornea sampai terjadinya keratitis epitelial pungtata,
defek epitelial yang rekuren, hingga timbulnya pembuluh darah baru
(neovaskularisasi pada kornea) yang dapat berujung pada kebutaan. Akhirnya bila
daya tahan tubuh penderita menurun ditambah dengan adanya kelainan akibat
komplikasi-komplikasi di atas akan menimbulkan komplikasi yang lebih serius seperti
peradangan pada kornea dan sklera. Peradangan atau infeksi yang tak terkontrol akan
mengakibatkan terjadinya perforasi kornea, endoftalmitis dan panoftalmitis yang pada
akhirnya harus dilakukan eviserasi dan enukleasi bola mata.

33

Anda mungkin juga menyukai