Anda di halaman 1dari 18

Skenario

Reaksi Obat

Seorang laki-laki, 28 tahun datang ke UGD dengan sesak nafas, nafas berbunyi
disertai gatal-gatal ditubuhnya, kulit merah dan melepuh sejak dua hari yang lalu. Keluhan
didapatkan setelah pasien mendapatkan injeksi obat di sebuah pelayanan kesehatan primer.
Oleh dokter UGD yang memeriksa didapatkan :
KU : sedang, sens : CM
Vital sign : TD : 100/70 mmHg ; Nadi : 100 kali/menit ; RR : 30 kali/menit ; suhu : 36,5C
Pemeriksaan fisik :
THT : sesak nafas Jackson derajat II-III
Regio Thorax :
Inspeksi : simetris
Palpasi : SF kanan = kiri
Perkusi : sonor
Auskultasi : Strodor (+)
Status dermatologis :
Lokasi I : mata
Ujud kelainan : mata merah, sekret (+)
Lokasi II : kulit wajah, badan dan ekstremitas bawah
Ujud kelainan kulit : vesikel, bula berbagai ukuran, lesi target (+), erosi
Lokasi III : bibir
Ujud kelainan kulit : krusta hemorragi
Kulit tubuh hiperemis (+), Bullae (+)
Hipotesis
Sindrom Stevens-Johnson merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III terhadap obat,
yang ditandai dengan adanya gangguan pada mata, kulit, serta mukosa.
Langkah 1
Sasaran Belajar

1. Memahami dan menjelaskan laryngitis akut


1.1 Memahami dan menjelaskan definisi laryngitis akut
1.2 Memahami dan menjelaskan etiologi laryngitis akut
1.3 Memahami dan menjelaskan klasifikasi laryngitis akut
1.4 Memahami dan menjelaskan patofisiologi laryngitis akut
1.5 Memahami dan menjelaskan manifestasi klinis laryngitis akut
1.6 Memahami dan menjelaskan diagnosis dan diagnosis banding laryngitis akut
1.7 Memahami dan menjelaskan penatalaksanaan laryngitis akut
1.8 Memahami dan menjelaskan prognosis laryngitis akut
1.9 Memahami dan menjelaskan tindakan preventif laryngitis akut

2. Memahami dan menjelaskan Sindrom Stevens-Johnson (SSJ)


2.1 Memahami dan menjelaskan definisi SSJ
2.2 Memahami dan menjelaskan etiologi SSJ
2.3 Memahami dan menjelaskan epidemiologi SSJ
2.4 Memahami dan menjelaskan patofisiologi SSJ
2.5 Memahami dan menjelaskan manifestasi klinis SSJ
2.6 Memahami dan menjelaskan diagnosis dan diagnosis banding SSJ
2.7 Memahami dan menjelaskan penatalaksanaan SSJ
2.8 Memahami dan menjelaskan komplikasi SSJ
2.9 Memahami dan menjelaskan prognosis SSJ
Langkah 2
Mandiri
Langkah 3
1. Memahami dan Menjelaskan Laryngitis Akut
1.1 Definisi
Laringitis akut adalah radang akut laring yang disebabkan oleh virus dan bakteri
yang berlangsung kurang dari 3 minggu dan pada umumnya disebabkan oleh infeksi virus
influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus. Penyebab
lain adalah Haemofilus influenzae, Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae. Proses peradangan pada laring
seringkali juga melibatkan seluruh saluran nafas baik hidung, sinus, faring,trakea dan
bronkus.
1.2 Etiologi
 Laringitis akut ini dapat terjadi dari kelanjutan infeksi saluran nafas seperti influenza
atau common cold. infeksi virus influenza (tipe A dan B) parainfluenza (tipe 1,2,3),
rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae, Branhamella
catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pneumoniae.
 Penyakit ini dapat terjadi karena perubahan musim / cuaca
 Pemakaian suara yang berlebihan
 Trauma
 Bahan kimia
 Merokok dan minum-minum alkohol
 Alergi
1.3 Klasifikasi
 Laryngitis Akut : kurang dari 3 minggu
 Laryngitis Kronik : lebih dari 3 minggu
1.4 Patofisiologi
Hampir semua penyebab inflamasi ini adalah virus. Invasi bakteri mungkin
sekunder. Laringitis biasanya disertai rinitis atau nasofaringitis. Awitan infeksi mungkin
berkaitan dengan pemajanan terhadap perubahan suhu mendadak, defisiensi diet,
malnutrisi, dan tidak ada immunitas. Laringitis umum terjadi pada musim dingin dan
mudah ditularkan. Ini terjadi seiring dengan menurunnya daya tahan tubuh dari host serta
prevalensi virus yang meningkat. Laringitis ini biasanya didahului oleh faringitis dan
infeksi saluran nafas bagian atas lainnya. Hal ini akan mengakibatkan iritasi mukosa
saluran nafas atas dan merangsang kelenjar mucus untuk memproduksi mucus secara
berlebihan sehingga menyumbat saluran nafas. Kondisi tersebut akan merangsang
terjadinya batuk hebat yang bisa menyebabkan iritasi pada laring. Dan memacu terjadinya
inflamasi pada laring tersebut. Inflamasi ini akan menyebabkan nyeri akibat pengeluaran
mediator kimia darah yang jika berlebihan akan merangsang peningkatan suhu tubuh

Agen infeksi Menempel pada Pertahanan


Bakteri Dinding Mukosa Fisik
Virus Larynk & Trakea

Produk radang
Reflek Batuk
Keradangan

Dyspnea Kebengkaka
inspiratorik n
1.5 Manifestasi Klinis
o Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan pasien sebagai suara yang kasar
atau suara yang susah keluar atau suara dengan nada lebih rendah dari suara yang
biasa / normal dimana terjadi gangguan getaran serta ketegangan dalam pendekatan
kedua pita suara kiri dan kanan sehingga menimbulkan suara menjada parau bahkan
sampai tidak bersuara sama sekali (afoni).
o Sesak nafas dan stridor
o Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menalan atau berbicara.
o Gejala radang umum seperti demam, malaise
o Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental
o Gejala commmon cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demam dengan
temperatur yang tidak mengalami peningkatan dari 38 derajat celsius.
o Gejala influenza seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk, peningkatan suhu yang
sangat berarti yakni lebih dari 38 derajat celsius, dan adanya rasa lemah, lemas yang
disertai dengan nyeri diseluruh tubuh .
o Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukasa laring yang hiperemis, membengkak
terutama dibagian atas dan bawah pita suara dan juga didapatkan tanda radang akut
dihidung atau sinus paranasal atau paru
o Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem subglotis yang terjadi
dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa anak menjadi
gelisah, air hunger, sesak semakin bertambah berat, pemeriksaan fisik akan
ditemukan retraksi suprasternal dan epigastrium yang dapat menyebabkan keadaan
darurat medik yang dapat mengancam jiwa anak
Sumbatan Laryng
Sumbatan laring dapat disebabkan oleh :
1. Radang akut dan radang kronis
2. Benda asing
3. Trauma akibat kecelakaan, perkelahian, percobaan bunuh diri dengan benda tajam.
4. Trauma akibat tindakan medic.
5. Tumor laring
6. Kelumpuhan nervus rekuren bilateral.
Gejala dan tanda sumbatan laring yang tampak ialah :
- Serak (disfoni) sampai afoni
- Sesak nafas (dispnea)
- Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi
- Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium,
supraklavikula, dan interkostal. Cekungan itu terjadi sebagai upaya dari otot-otot
pernapasan untuk mendapat oksigen yang adekuat.
- Gelisah karena pasien haus udara (air hunger )
- Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.
Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium dengan tanda dan
gejala :
- Stadium 1, cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal, stridor pada waktu
inspirasi dan pasien masih tenang.
- Stadium 2, cekungan waktu inspirasi didaerah suprasternal makin dalam, ditambah
lagi dengan timbulnya cekungan didaerah epigastrium. Pasien sudah mulai gelisah.
Stridor terdengar pada waktu inspirasi.
- Stadium 3, cekungan selain didaerah suprasternal, epigastrium juga terdapat di
infraklavikula dan sela-sela iga. Pasien sangat gelisah dan dispnea. Stridor terdengar
pada waktu inspirasi dan ekspirasi.
- Stadium 4, ccekungan-cekungan diatas bertambah jelas, pasien sangat gelisah, tampak
sangat ketakutan dan sianosis. Jika keadaan ini berlangsung terus maka pasien akan
kehabisan tenaga, pusat pernapasan paralitik karena hiperkapnea. Pasien lemah dan
tertidur akhirnya meninggal karena asfiksia.
Jackson membagi sumbatan bronkus dalam 4 tingkat :
1. Sumbatan sebagian dari bronkus (by-pass valve obstruksi = katup bebas). Pada
sumbatan ini inspirasi dan ekspirasi masih dapat terlaksana, akan tetapi saluranya
sempit, sehingga terdengar bunyi napas (mengi), seperti pada pasien asma bronchial.
Penyebab : benda asing didalam bronkus, penekanan bronkus dari luar, edema dinding
bronkus, serta tumor didalam lumen bronkus.
2. Sumbatan seperti pentil. Ekspirasi terhambat atau katup satu arah ( expiratory check
valve obstruksi = katup penghambat ekspirasi). Pada waktu inspirasi udara napas
masih dapat lewat, akan tetapi pada ekspirasi terhambat, karena kontraksi otot
bronkus. Bentuk sumbatan ini menahan udara dibagian distal sumbatan dan proses
yang berulang pada tiap pernafasan mengakibatkan terjadinya emfisema paru
obstruktif. Penyebab : benda asing di bronkus, edema dinding bronkus pada
bronchitis.
3. Sumbatan seperti pentil yang lain, ialah inpirasi yang terhambat (inspiratory check
valve obstruktif = katup penghambat inspirasi). Pada keadaan ini inspirasi terhambat,
sedangkan ekspirasi masih dapat terlaksana. Udara yang terdapat dibagian distal
sumbatan akan diabsorbsi, sehingga terjadi atelektasis paru. Penyebab : benda asing
didalam lumen bronkus, gumpalan ingus, tumor yang bertangkai.
4. Sumbatan total (stop valve obstruction = katup tertutup), sehingga inspirasi dan
ekspirasi tidak dapat terlaksana. Akibat keadaan ini adalah atelektasis paru.
Penyebab : benda asing yang menyumbat lumen bronkus, trauma dinding bronkus dan
peradangan berat bronkus.
1.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding
 Foto rontgen leher AP : bisa tampak pembengkakan jaringan subglotis (Steeple sign).
Tanda ini ditemukan pada 50% kasus.
 Pemeriksaan laboratorium : gambaran darah dapat normal. Jika disertai infeksi
sekunder, leukosit dapat meningkat.
 Pada pemeriksaan laringoskopi indirek akan ditemukan mukosa laring yang sangat
sembab, hiperemis dan tanpa membran serta tampak pembengkakan subglotis yaitu
pembengkakan jaringan ikat pada konus elastikus yang akan tampak dibawah pita
suara.
 Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik danpemeriksaan
penunjang.
Diagnosis Banding
1. Benda asing pada laring
2. Faringitis
3. Bronkiolitis
4. Bronkitis
5. Pnemonia
1.7 Penatalaksanaan
Umumnya penderita penyakit ini tidak perlu masuk rumah sakit, namun ada indikasi
masuk rumah sakit apabila :
 Usia penderita dibawah 3 tahun
 Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau axhausted
 Diagnosis penderita masih belum jelas
 Perawatan dirumah kurang memadai
Terapi
 Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari
 Jika pasien sesak dapat diberikan O2.
 Istirahat
 Menghirup uap hangat dan dapat ditetesi minyak atsiri / minyak mint bila ada muncul
sumbatan dihidung atau penggunaan larutan garam fisiologis (saline 0,9 %) yang
dikemas dalam bentuk semprotan hidung atau nasal spray
 Medikamentosa : Parasetamol atau ibuprofen / antipiretik jika pasien ada demam, bila
ada gejala pain killer dapat diberikan obat anti nyeri / analgetik, hidung tersumbat
dapat diberikan dekongestan nasal seperti fenilpropanolamin (PPA), efedrin,
pseudoefedrin, napasolin dapat diberikan dalam bentuk oral ataupun spray.Pemberian
antibiotika yang adekuat yakni : ampisilin 100 mg/kgBB/hari, intravena, terbagi 4
dosis atau kloramfenikol : 50 mg/kgBB/hari, intra vena, terbagi dalam 4 dosis atau
sefalosporin generasi 3 (cefotaksim atau ceftriakson) lalu dapat diberikan
kortikosteroid intravena berupa deksametason dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari terbagi
dalam 3 dosis, diberikan selama 1-2 hari.
 Pengisapan lendir dari tenggorok atau laring, bila penatalaksanaan ini tidak berhasil
maka dapat dilakukan endotrakeal atau trakeostomi bila sudah terjadi obstruksi jalan
nafas.
Perawatan Khusus
Terapi Medikamentosa
 Antibiotika golongan penisilin Anak 50 mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis. Dewasa
3x500 mg/hari Bila alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin atau bactrim
 Kortikosteroid dapat diberikan untuk mengatasi edem laring
Terapi Bedah
Tergantung pada stadium sumbatan laring. Pada anak bila terjadi gejala sumbatan
jalan nafas menurut klasifikasi Jackson, dilakukan terapi sebagai berikut:
 Stadium I : Rawat, observasi, pemberian oksigen dan terapi adekuat
 Stadium II-III : Trakheostomi
 Stadium IV : Intubasi dan oksigenasi, kemudian dilanjutkan dengan
trakeostomi
Pada laringitis kronis penatalaksanaan yaitu menghindari dan mengobati faktor-
faktor penyebab dengan:
 Istirahat bersuara (vocal rest), tidak banyak bicara atau bersuara keras
 Antibiotika, bila terdapat tanda infeksi
 Ekspektoran
Dapat pula dilakukan pengangkatan jaringan yang menebal dan polipoid serta
pemeriksaan patologi anatomik untuk menyingkirkan kemungkinan proses spesifik dan
keganasan.
1.8 Prognosis
Prognosis untuk penderita laringitis akut ini umumnya baik dan pemulihannya
selama satu minggu. Namun pada anak khususnya pada usia 1-3 tahun penyakit ini dapat
menyebabkan udem laring dan udem subglotis sehingga dapat menimbulkan obstruksi
jalan nafas dan bila hal ini terjadi dapat dilakukan pemasangan endotrakeal atau
trakeostomik.
1.9 Preventif
Jangan merokok, hindari asap rokok karena rokok akan membuat tenggorokan
kering dan mengakibatkan iritasi pada pita suara, minum banyak air karena cairan akan
membantu menjaga agar lendir yang terdapat pada tenggorokan tidak terlalu banyak dan
mudah untuk dibersihkan, batasi penggunaan alkohol dan kafein untuk mencegah
tenggorokan kering. jangan berdehem untuk membersihkan tenggorokan karena
berdehem akan menyebabkan terjadinya vibrasi abnormal pada pita suara, meningkatkan
pembengkakan dan berdehem juga akan menyebabkan tenggorokan memproduksi lebih
banyak lendir

2. Memahami dan Menjelaskan Sindrom Stevens-Johnson


2.1 Definisi
Sindrom Stevens-Johnson (SJS) (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom
mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor, eritema
bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel atau bula, dapat
disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan
umum bervariasi dari baik sampai buruk. (Hamzah, 2002)
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS, adalah reaksi buruk
yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama
selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai
nekrolisis epidermis toksik (Toxik Epidermal Necrolysis atau TEN). Ada juga versi yang
lebih ringan, disebut sebagai eritema multiforme (EM). (Adithan, 2006)
2.2 Etiologi
Hampir semua kasus SJS dan TEN disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat,
terutama antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat
nyeri, termasuk yang dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). Terkait HIV, alasan SJS yang
paling umum adalah nevirapine (hingga 1,5 persen penggunanya) dan kotrimoksazol
(jarang). Reaksi ini dialami segera setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu
(Adithan, 2006; Siregar, 2004).
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor,
walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa
faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat
(salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan
(coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen,
keganasan, kehamilan) (Mansjoer, 2002; Siregar, 2004).

Faktor Predisposisi
Diduga gen memiliki peran besar dalam peningkatan insiden Sindrom Stevens-
Johnson. Berikut ini merupakan gen-gen yang berperan besar dalam peningkatan insiden
Sindrom Stevens-Johnson.
 HLA-B 1502, banyak terdapat di wilayah ASEAN
 HLA-B 5801, akan tercetus apabila mengonsumsi allopurinol
 HLA-B 44, banyak terdapat pada ras kaukasia
 HLA-A29, HLA-B12, HLA-DR7, akan tercetus apabila mengonsumsi sulfonamid
 HLA-A2, HLA-B12, akan tercetus apabila mengonsumsi NSAID (Non Steroid
Anti Inflamasi Drug)
 HLA-A 0206, HLA-DQB1 0601, manifestasi klinis dominan pada mata dan berat
(C.Stephen Foster et.al, 2011)
2.3 Epidemiologi
Insiden di Michigan 7,1 per 1 juta penduduk per tahun. Insiden di Minnesoto 2,6
per 1 juta penduduk per tahun. Insiden di Florida 6,8 per 1 juta penduduk per tahun.
Sedangkan di wilayah Eropa sendiri (Jerman), relatif lebih rendah dibandingkan dengan
di Amerika Serikat, yaitu sekitar 1,1 per 1 juta penduduk per tahun.
Konsumsi Allopurinol dapat meningkatkan insiden SSJ di kawasan ASEAN
(Malaysia, Singapura, Taiwan, Hongkong).
Insiden SSJ pada ras putih (kaukasoid) lebih tinggi dibandingkan dengan ras-ras
yang lain. Hal ini tidak hanya berlaku pada manusia saja, tetapi juga pada hewan.
(C.Stephen Foster et.al, 2011)
2.4 Patofisiologi
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks
soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi
hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi
yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka
terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi (Carroll, 2001) :
1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan
2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan
glukosuriat
3. Kegagalan termoregulasi
4. Kegagalan fungsi imun
5. Infeksi

(Stephen C.Foster et.al, 2011)


Walaupun begitu, dewasa ini di beberapa literatur disebutkan bahwa SSJ
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe II. Yang mana gejala klinis atau gejala reaksinya
bergantung kepada sel sasaran (target cell). Sasaran utama SSJ ialah pada kulit berupa
destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan CD8,
IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin lain. CD4 terutama terdapat di dermis, CD8 di
epidermis. Keratinosit epidermis mengekspresikan ICAM-1, ICAM-2 dan MHC-II. Sel
langerhans tidak ada atau sedikit. TNF alfa meningkat di epidermis. (Mochtar Hamzah,
2009)
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat
berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala
bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata,
genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis, konjuntivitis, dan uretritis). Gejala
prodormal tidak spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat
menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata
permanen. Kelainan pada selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas
ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada
bibir sering dijumpai krusta hemoragik. (Ilyas, 2004)

2.5 Manifestasi Klinis


Mengenal gejala awal SJS dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk
mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang
mengalaminya. Gejala awal termasuk (Mansjoer, 2002) :
 Ruam
 Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
 Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh
tubuh.
 Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna
merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada
membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan
meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran
utama.
 Bengkak di kelopak mata, atau mata merah.
 Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam
kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis,
iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat
terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera
mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular
cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang
menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya
ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31
tahun.
Bila kita mengalami dua atau lebih gejala ini, terutama bila kita baru mulai
memakai obat baru, segera periksa ke dokter.

2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit,
mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi
berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik,
biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan
histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan,
leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar
IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat
dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak
ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik (Siregar, 2004;
Adithan, 2006).
Pemeriksaan Fisik
Trias Kelainan Pada Sindrom Stevens Johnson
1. Kelainan Pada Kulit
 Kemerahan pada kulit bermula sebagai makula yang berkembang menjadi papula,
vesikel, bula, plak urtikaria atau eritema konfluen.
 Pusat dari lesi ini mungkin berupa vesikular, purpura atau nekrotik.
 Lesi dapat menjadi bula dan kemudian pecah, menyebabkan erosi dan ekskoriasi
pada kulit. Kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.
 Lesi urtikaria biasanya tidak bersifat pruritik.
 Infeksi merupakan penyebab scar yang berhubungan dengan morbiditas.
 Walaupun lesi dapat terjadi dimana saja tetapi telapak tangan, dorsal dari tangan
dan permukaan ekstensor merupakan tempat yang paling umum.
 Kemerahan dapat terjadi di bagian manapun dari tubuh tetapi yang paling umum di
batang tubuh.
2. Kelainan Pada Selaput Lendir di Orifisium
 Kelainan sering terjadi pada mukosa mulut (100%), 50% pada lubang alat genitalia,
jarang pada lubang hidung dan anus (masing-masing 8% dan 4%).
 Gejala pada mukosa mulut berupa eritema, edema, vesikel / bula yang gampang
pecah sehingga timbul erosi, ekskoriasi dan krusta kehitaman, terutama pada bibir.
Juga dapat timbul pseudomembran. Lesi terdapat pada traktus respiratorius bagian
atas, faring dan esofagus.
 Stomatitis pada mulut dapat menyebabkan pasien sulit menelan
 Pseudomembran pada faring menyebabkan pasien sukar bernapas.
 Walaupun beberapa ahli menyarankan adanya kemungkinan SSJ tanpa lesi pada
kulit tetapi sebagian besar percaya bahwa lesi mukosa saja tidak cukup untuk
menegakkan diagnosis. Beberapa ahli menyebut kasus yang tanpa lesi kulit sebagai
atipikal atau inkomplit.
3. Kelainan Mata
Yang paling sering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa
konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis.
4. Tanda-tanda yang mungkin ditemukan selama pemeriksaan:
 Demam
 Ortostasis
 Takikardia
 Hipotensi
 Penurunan kesadaran
 Epistaksis
 Konjungtivitis
 Ulkus kornea
 Vulvovaginitis erosiva atau balanitis
 Kejang, koma
Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium selain biopsi yang dapat menegakkan
diagnosis SSJ.
a) Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan jumlah leukosit yang normal atau
leukositosis yang nonspesifik. Leukositosis yang nyata mengindikasikan
kemungkinan infeksi bakteri berat.
b) Kultur jaringan kulit dan darah telah disetujui karena insidensi infeksi bakteri yang
serius pada aliran darah dan sepsis yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan
mortalitas.
c) mengevaluasi fungsi renal dan evaluasi urin untuk melihat adanya hematuria.
d) Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan
panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.
e) Elektrolit dan kimia lainnya mungkin diperlukan untuk membantu menangani
masalah lainnya.
f) Kultur darah, urin dan jaringan pada luka diindikasikan ketika dicurigai adanya
infeksi.
g) Bronkoskopi, esofagogastroduodenoskopi dan kolonoskopi dapat dilakukan.
Pemeriksaan Radiologi
Foto rontgen thorak dapat menunjukkan adanya pneumonitis ketika dicurigai
secara klinis. Akan tetapi foto rontgen rutin biasa tidak diindikasikan.
Pemeriksaan Histopatologi
Biopsi kulit merupakan pemeriksaan definitif tetapi pemeriksaan ini bukan
merupakan prosedur ruang gawat darurat.
a) Spesimen biopsi kulit memperlihatkan bahwa bula terletak subepidermal.
b) Nekrosis sel epidermal dapat dilihat.
c) Area perivaskular diinfiltrasi oleh limfosit.
Diagnosis Banding
1. Toxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat dekat dengan
TEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.
2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulit
ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa terkena
(Siregar, 2004).
3. Konjungtivitis membranosa, ditandai dengan adanya massa putih atau kekuningan
yang menutupi konjungtiva palpebra bahkan sampai konjungtiva bulbi dan bila
diangkat timbul perdarahan (Wijana, 1993).
2.7 Penatalaksanaan
Sebelum sampai ke rumah sakit, paramedis harus mengenali adanya kehilangan
cairan yang banyak dan menangani pasien dengan SSJ sama dengan pasien yang
mengalami luka bakar luas. Kebanyakan pasien memperlihatkan gejala awal yang
mengarah kepada gangguan hemodinamik. Peran utama dokter UGD yang sangat penting
adalah mendeteksi SSJ atau NET sesegera mungkin dan memulai penanganannya.
Penghindaran dari agen yang menjadi penyebabnya merupakkan langkah yang
sangat penting. Perkiraan waktu berhubungan erat dengan keadaan akhir pasien.
1. Penanganan di UGD harus dilakukan secara langsung untuk mengganti cairan dan
koreksi elektrolit.
2. Lesi pada kulit ditangani sama seperti luka bakar.
3. Pasien dengan SSJ harus ditangani dengan perhatian khusus kepada airway dan
stabilitas hemodinamik, status cairan, penanganan lesi kulit dan kontrol nyeri.
4. Perawatan secara primer bersifat suportif dan simptomatis. Beberapa ahli
menyarankan pemberian kortikosteroid, siklofosfamid, hemodialisis dan
imunoglobulin.
 Rawat lesi oral dengan obat kumur.
 Anestesi topikal sangat berguna untuk mengurangi rasa nyeri dan memberi
kesempatan kepada pasien untuk mendaapat cairan.
 Berikan profilaksis untuk tetanus.
 Bagian kulit yang mengalami lesi harus ditutup dengan kompres larutan NaCl
fisiologis.
5. Penyakit utama dan infeksi sekunder harus diidentifikasi dan diterapi. Obat yang
menjadi penyebab harus langsung dihentikan.
6. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversial. Beberapa ahli menyebutkan bahwa
steroid merupakan kontraindikasi, terutama karena diagnosis masih belum pasti.
Pasien dengan eritema multiforme yang disebabkan infeksi akan memburuk dengan
pemberian steroid. Beberapa penulis menyimpulkan bahwa steroid IV dan terapi
imunoglobulin tidak meningkatkan atau memperbaiki keadaan umum pasien.
7. Pada penelitian besar di Eropa, menemukan bahwa tidak ada cukup bukti adanya
keuntungan dari berbagai terapi spesifik. Studi ini memperhatikan mortalitas pasien
yang diterapi dengan imunoglobulin IV dan kortikosteroid.
Konsultan dapat membantu menegakkan diagnosis dan memberikan terapi.
Dermatologis merupakan konsultan yang paling tepat untuk menegakkaan diagnosis,
dengan atau tanpa biopsi.
a. Pada kasus-kasus yang berat sangat diperlukan bantuan daari ahli bedah plastik.
b. Dokter penyakit dalam atau spesialis anak diperlukan untuk membantu penanganan
pasien.
c. Konsultasi dengan spesialis mata merupakan keharusan untuk pasien dengan gejala
okular.
d. Berdasarkan sistem organ yang terkena, konsultasi dengan gastroenterologis,
pulmonologis dan nefrologis sangat membantu.
Medikamentosa
Tidak ada obat spesifik yang menunjukkan keuntungan secara konsisten pada
terapi SSJ. Pemilihan antibiotik untuk infeksi bergantung kepada penyebab infeksi
tersebut.
Gejala klinis dan hasil laboratorium memperlihatkan bahwa infeksi pada aliran
darah memastikan penggunaan antibiotik. Organisme yang paling umum antara lain
Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa dan spesies Enterobacteriaceae.
Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversial tetapi mungkin berguna
jika diberikan dalam dosis tinggi pada fase awal penyakit. Morbiditas dan mortalitas
dapat meningkat berhubungan dengan penggunaan kortikosteroid. Imunoglobulin IV telah
dijabarkan sebagai terapi dan profilaksis.
Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi
yang diberikan biasanya adalah :
 Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
 Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi
kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
 Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian
selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih
kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak
bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan,
namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan
nyawa.
 Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat
(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-
12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat
diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10
mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
 Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
 Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
 Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
 Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi,
berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya
klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
 Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3,
4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam
proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS. (Adithan, 2006; Siregar, 2004)
Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan :
 Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis
setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan
pada bola mata.
 Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya
perlekatan konjungtiva. (Sharma, 2006)
2.8 Komplikasi
Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai
berikut:
 Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan
 Gastroenterologi - Esophageal strictures
 Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina
 Pulmonari – pneumonia
 Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit
sekunder
 Infeksi sitemik, sepsis
 Kehilangan cairan tubuh, shock (Mansjoer, 2002).
Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam sampai
hari, dengan ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua mata. Akibat
adanya perlukaan di konjungtiva dapat menyebabkan pseudomembran atau konjungtivitis
membranosa, yang dapat mengakibatkan sikatrik konjungtivitis. Pada komplilasi yang
lebih lanjut dapat menimbulkan perlukaan pada palpebra yang mendorong terjadinya
ektropion, entropion, trikriasis dan lagoftalmus. Penyembuhan konjungtiva meninggalkan
perlukaan yang dapat berakibat simblefaron dan ankyloblefaron. Defisiensi air mata
sering menyebabkan masalah dan hal tersebut sebagai tanda menuju ke fase komplikasi
yang terakhir. Yang mana komplikasi tersebut beralih dari komplikasi pada konjungtiva
ke komplikasi pada kornea dengan kelainan pada permukaan bola mata. Fase terakhir
pada komplikasi kornea meningkat dari hanya berupa pemaparan kornea sampai
terjadinya keratitis epitelial pungtata, defek epitelial yang rekuren, hingga timbulnya
pembuluh darah baru (neovaskularisasi pada kornea) yang dapat berujung pada kebutaan.
Akhirnya bila daya tahan tubuh penderita menurun ditambah dengan adanya kelainan
akibat komplikasi-komplikasi di atas akan menimbulkan komplikasi yang lebih serius
seperti peradangan pada kornea dan sklera. Peradangan atau infeksi yang tak terkontrol
akan mengakibatkan terjadinya perforasi kornea, endoftalmitis dan panoftalmitis yang
pada akhirnya harus dilakukan eviserasi dan enukleasi bola mata (Viswanadh, 2002)
2.9 Prognosis
a. Lesi individual biasanya sembuh dalam 1-2 minggu, kecali terdapat infeksi sekunder.
Sebagian besar pasien sembuh tanpa adanya sekuele.
b. Adanya sekuele serius seperti gagal napas, gagal ginjal dan kebutaan menentukan
prognosis pada sistem yang terkena.
c. Sampai dengan 15% ddari seluruh pasien SSJ meninggal akibat keadaan umum yang
buruk. Bakteremia dan sepsis memainkan peranan penting sebagai penyebab utama
peningkatan mortalitas.
d. Skor SCORTEN menilai banyak variabel dan menggunakannya untuk menentukan
faktor resiko kematian pada SSJ dan NET. Variabel tersebut adalah:
1. Usia >40 tahun
2. Keganasan
3. Heart rate >120
4. Persentase awal dari pengelupasan epidermal >10%
5. Kadar glukosa serum >14 mmol/L
6. Kadar bikarbonat <20 mmol/L
7. Kadar BUN >10 mmol/L
e. Angka mortalitas sebagai berikut:
 SCORTEN 0-1 ≥ 3,2%
 SCORTEN 2 ≥ 12,1%
 SCORTEN 3 ≥ 35,3%
 SCORTEN 4 ≥ 58,3%
 SCORTEN 5 atau lebih ≥ 90%

Anda mungkin juga menyukai