Anda di halaman 1dari 17

CICI PETRISIA

04011281520128
BETA 2015
ANALISIS MASALAH
1. Apa makna klinis cairan ketuban kental, berbau, dan kehijauan dan bagaimana
gambaran normal dari cairan ketuban?
Air ketuban yang normal berwarna kuning transparan, agak keruh, volume pada hamil
cukup bulan 1000-1500 ml; mempunyai bau yang khas, agak amis, dan manis.
Sedangkan pada kasus:
- Bad smell liquor merupakan bau busuk dari cairan amnion. Kondisi ini merupakan
salah satu kriteria dari 4 kriteria Amsel pada bacterial vaginosis yang menandakan
telah terjadi kolonisasi m.o. pada cairan ketuban. Infeksi kuman yang sering
ditemukan adalah Staphylococcus sp, Streptococus viridans, Klebsiella
pneumoniae, Enterobacter sp.
- Warna AK kehijauan atau kecoklatan menunjukkan bahwa neonatus telah
mengeluarkan mekonium (kotoran yang terbentuk sebelum lahir, pada keadaan
normal keluar setelah lahir saat pergerakan usus yang pertama kali). Hal ini dapat
menjadi petanda bahwa neonatus dalam keadaan stres. Keadaan hipoksia
menyebabkan peristaltik usus dan relaksasi otot sfingter ani, maka mekonium dapat
keluar melalui anus
- Air ketuban dapat dinilai kekeruhannnya dengan visual bersifat subjektif dari
penilai (klinisi) menjadi thin, medium, thick atau encer, sedang dan kental.
Meskipun penilaian subjektif tidak menimbulkan masalah serius, banyak penelitian
dilakukan untuk menilai mekonium secara objektif. Di antaranya pemeriksaan
spektrofotometri dan meconium crit. Bayi dengan AKK kental lebih sering
mempunyai masalah yang lebih besar dibanding bayi dengan AKK yang encer
2. Apa komplikasi apabila KPD tidak ditatalaksana?
Komplikasi yang biasa terjadi pada KPD meliputi ; (a) mudah terjadinya infeksi intra
uterin, (b) partus prematur, (c) ) prolaps bagian janin terutama tali pusat (Manuaba,
2009). Terdapat tiga komplikasi utama yang terjadi pada ketuban pecah dini yaitu (a)
peningkatan morbiditas neonatal oleh karena prematuritas, (b) komplikasi selama
persalinan dan kelahiran, (c) resiko infeksi baik pada ibu maupun janin, dimana resiko
infeksi karena ketuban yang utuh merupakan barrier atau penghalang terhadap
masuknya penyebab infeksi (Sarwono, 2010).
3. Apa interpretasi dan bagaimana mekanisme abnormalitas dari hasil
pemeriksaan fisik umum?
1) Body weight was 3500 grams. Body length 50 cms, head circumference 34
cms. (sertakan kurva lubchenko)

Gambar 1: Kurva Lubchenco


Pemeriksaan Kasus Normal Interpretasi
Berat Badan 3500 g BB : 2500-4000 g Sesuai dengan Usia
Kehamilan (AGA)
Panjang 50 Aterm (37 minggu) Sesuai dengan Usia
Badan cms  Kehamilan (AGA)
Lingkar 34 Aterm (37 minggu) Sesuai dengan Usia
Kepala cms  Kehamilan (AGA)
Tabel 1 : Hasil Pemeriksaan I

2) He looked hypoactive and tachypnoe, respiratory rate 86 breaths perminute,


there were chest indrawing, grunting could be heard using stethoscope,
breathing sound was normal, saturation 80 % using nasal oxygen.
Pemeriksaan Interpretasi
Hypoactive Abnormal, kurangnya oksigen ke ekstremitas bayi
Tachypnoe menyebabkan bayi terlihat hipoaktif.
Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi
eksudatif jaringan ikat paru yang bisa lobular
(bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial. Pneumonia bakteri
dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran pembuluh
darah, eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan
infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi
merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunan
compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah
yamg melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya
pergeseran fisiologis (ventilation-perfusion missmatching)
yang kemudian menyebabkan terjadinya
hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan
peningkatan kerja jantung
Pemeriksaan Normal Interpretasi
RR 86 x <60 x/ menit Respyratory distress
menit
Chest Tidak ada Abnormal, pada keadaan hipoksia otot-otot
indrawing chest dinding dada ikut berkontraksi lebih kuat
indrawing untuk mendapat kan oksigen dengan baik.
Grunting Tidak terdapat Abnormal. Suara grunting keluar akibat
grunting adanya usaha meningkatkan oksigen pada
bayi dengan tertutupnya glottis selama
ekspirasi sehingga dapat meningkatkan akhir
ekspirasi pada paru.
Saturation Target saturasi Menunjukkan adanya hipoksemia
80 % using 10 menit ; 85-
nasal 95 %
oxygen
Tabel 2 : Hasil Pemeriksaan II

3) Sucking reflex was weak. Heart rate was 168 beats perminute. Abdomen was
tender with normal bowel sound. There were not meconium staining at
umbilical cord and skin.
Pemeriksaan Interpretasi
Sucking reflex was Abnormal, sucking refleks merupakan salah satu
weak refleks normal bayi baru lahir. Refleks hisap yang
lemah menunjukkan adanya gangguan neurologis,
kondisi bayi letargi dapat menyebabkan refleks hisap
bayi menurun. Hal ini dapat ditemukan pada kasus-
kasus infeksi pada neonatus
Heart rate was 168 Ketuban pecah dini  terjadi perubahan pH vagina
beats perminute dari asam ke basa  berpindahnya bakteri
chorioamniotis  infeksi yang terjadi di paru 
bronkopneumonia dan sepsis onset cepat  distress
pernapasan  Hipoaktif, merintih, Sulit bernafas,
Tidak menangis, HR dan RR meningkat, Sucking
reflex lemah, Retraksi dinding dada
Abdomen was tender Normal
with normal bowel
sound
There were not Normal
meconium staining at
umbilical cord and skin
Tabel 3 : Hasil Pemeriksaan III
4. Mengapa secara klinis air ketuban tampak kehijauan tapi secara lab tidak
ditemukan adanya meconeum?
Tidak didapatkannya meconium pada umbilicus dan kulit menandakan bahwa infeksi
yang terjadi pada intrauterine belum sampai menyebabkan fetal distress sehingga
belum mengganggu peristaltik pada janin. Maka dari itu meconium belum keluar dan
bercampur dengan air ketuban.
BRONKOPNEUMONIA NEONATAL
Bronkopneumonia adalah peradangan pada paru dimana proses peradangannya ini
menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan dapat pula
melibatkan bronkiolus terminal.
EPIDEMIOLOGI
Insidens penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan yang
tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan
dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (PK) atau di dalam rumah sakit/
pusat perawatan (pneumonia nosokomial/ PN).
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang
kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Laporan WHO
1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia
adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia
komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab
kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat
pneumonia di Amerika adalah 10%. Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab
pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan
waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan
kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan
antibiotika secara empiris.
ETIOLOGI
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus merupakan tindakan
yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Patogen penyebab pneumonia pada neonatus
bervariasi tergantung :
a. Usia
b. Status imunologis
c. Status lingkungan
d. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
e. Status imunisasi
f. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi).
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak,
terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan. Etiologi
pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram
negatif seperti E.colli, pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan
balita pneumoni sering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae,
Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain
bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.

Gambar 2. E.colli Gambar 3. Pseudomonas sp

Gambar 4. Klebsiella sp

Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari data di
Negara maju dapat dilihat di tabel 1.
Tabel 1. Etiologi Pneumonia
Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Lahir - 20 hari Bakteri Bakteri
E.colli Bakteri anaerob
Streptococcus grup B Streptococcus grup D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonie
Virus
CMV
HMV
3 miggu – 3 Bakteri Bakteri
bulan Clamydia trachomatis Bordetella pertusis
Streptococcus Haemophillus influenza
pneumonia tipe B
Virus Moraxella catharalis
Adenovirus Staphylococcus aureus
Influenza Virus
Parainfluenza 1,2,3 CMV

4 bulan – 5 Bakteri Bakteri


tahun Clamydia pneumoniae Haemophillus influenza
tipe B
Mycoplasma pneumonia Moraxella catharalis
Streptococcus Staphylococcus aureus
pneumonia
Virus Neisseria meningitides
Adenovirus Virus
Rinovirus Varisela Zoster
Influenza
Parainfluenza
5 tahun – Bakteri Bakteri
remaja Clamydia pneumoniae Haemophillus influenza
Mycoplasma pneumonia Legionella sp
Streptococcus Staphylococcus aureus
pneumonia
Virus
Adenovirus
Epstein-Barr
Rinovirus
Varisela zoster
Influenza
Parainfluenza
PATOGENESIS
Proses terjadinya bronkopneumonia dimulai dari berhasilnya kuman pathogen masuk
ke mukus jalan nafas. Kuman tersebut berkembang biak di saluran nafas atau sampai di paru-
paru. Bila mekanisme pertahanan seperti sistem transport mukosilia tidak adekuat, maka
kuman berkembang biak secara cepat sehingga terjadi peradangan di saluran nafas atas,
sebagai respon peradangan akan terjadi hipersekresi mukus dan merangsang batuk.
Mikroorganisme berpindah karena adanya gaya tarik bumi dan alveoli menebal. Pengisian
cairan alveoli akan melindungi mikroorganisme dari fagosit dan membantu penyebaran
organisme ke alveoli lain. Keadaan ini menyebabkan infeksi meluas, aliran darah di paru
sebagian meningkat yang diikuti peradangan vaskular dan penurunan darah kapiler.
(Price & Wilson, 2005).

Gambar 1.5 gambaran perbedaan alveoli normal dan alveoli pada pasien
bronkopneumonia
Edema karena inflamasi akan mengeraskan paru dan akan mengurangi kapasitas paru,
penurunan produksi cairan surfaktan lebih lanjut, menurunkan compliance dan menimbulkan
atelektasis serta kolaps alveoli. Sebagai tambahan proses bronkopneumonia menyebabkan
gangguan ventilasi okulasi partial pada bronkhi dan alveoli, menurunkan tekanan oksigen
arteri, akibatnya darah vena yang menuju atrium kiri banyak yang tidak mengandung oksigen
sehingga terjadi hipoksemia arteri.
Efek sistemik akibat infeksi, fagosit melepaskan bahan kimia yang disebut endogenus
pirogen. Bila zat ini terbawa aliran darah hingga sampai hipotalamus, maka suhu tubuh akan
meningkat dan meningkatkan kecepatan metabolisme. Pengaruh dari meningkatnya
metabolisme adalah penyebab takhipnea dan takhikardia, tekanan darah menurun sebagai
akibat dari vasodilatasi perifer dan penurunan sirkulasi volume darah karena dehidrasi, panas
dan takhipnea meningkatkan kehilangan cairan melalui kulit (keringat) dan saluran
pernafasan sehingga menyebabkan dehidrasi (Price & Wilson 2005).
GEJALA KLINIS
Riwayat klasik dingin menggigil yang disertai dengan demam tinggi, batuk dan nyeri
dada. Anak sangat gelisah, dispneu, pernapasan cepat dan dangkal disertai pernapasan cuping
hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut. Kadang-kadang disertai muntah dan diare.
Batuk biasanya tidak ditemukan pada permulaan penyakit, mungkin terdapat batuk setelah
beberapa hari mula-mula kering kemudian menjadi produktif. Pada stadium permulaan sukar
dibuat diagnosis dengan pemeriksaan fisik, tetapi dengan adanya nafas cepat dan dangkal,
pernafasan cuping hidung dan sianosis sekitar mulut dan hidung baru dipikirkan
kemungkinan pneumonia. Penyakit ini sering ditemukan bersamaan dengan konjungtivitis,
otitis media, faringitis, dan laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring
pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk dengan nyeri dada.
DIAGNOSIS
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau serologis
merupakan dasar terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan bakteri penyebab tidak selalu
mudah karena memerlukan laboratorium penunjang yang memadai. Tidak ada gejala distress
pernafasan, takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara pernafasan dapat menyingkirkan
dugaan pneumonia. Terdapatnya retraksi epigastrik, interkostal, dan suprasternal merupakan
indikasi tingkat keparahan. Pada bronkopneumoni, bercak-bercak infiltrat didapati pada satu
atau beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti
pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran ke arah sel
polimorfonuklear juga dapat dijumpai. Pada bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada
dalam batas yang normal. Kadar hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun.
Kriteria diagnosis berdasarkan gejala klinis yang dapat dideteksi, menetapkan
klasifikasi penyakit, dan menentukan penatalaksanaan. Tanda bahaya pada anak berusia 2
bulan-5 tahun adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi, demam,
atau menggigil.
Klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut.
Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun :
 Pneumonia berat
- Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan ≥ 50 x/menit, Usia 1-5 tahun ≥ 40
x/menit
- Adanya retraksi
- Sianosis
- Anak tidak mau minum
- Tingkat kesadaran yang menurun dan merintih (pada bayi)
- Anak harus dirawat dan di terapi dengan antibiotik
 Pneumonia
- Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan ≥ 50 x/menit, Usia 1-5 tahun ≥ 40
x/menit
- Adanya retraksi
- Anak perlu di rawat dan berikan terapi antibiotik
Bayi berusia di bawah 2 bulan
Pada bayi berusia dibawah 2 bulan, perjalanan penyakit lebih bervariasi. Klasifikasi
pneumonia pada kelompok usia ini adalah sebagai berikut :
 Pneumonia
- Bila ada nafas cepat ≥ 60 x/menit atau sesak nafas
- Harus dirawat dan diberikan antibiotik
 Bukan pneumonia
- Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas
- Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatik
PEMERIKSAAN FISIK
Dalam pemeriksaan fisik ditemukan hal-hal sebagai berikut :
 Suhu tubuh ≥ 38,5o C
 Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan
pernapasan cuping hidung.
 Takipneu berdasarkan WHO:
Usia < 2 bulan ≥ 60 x/menit
Usia 2-12 bulan ≥ 50 x/menit
Usia 1-5 tahun ≥ 40 x/menit
Usia 6-12 tahun ≥ 28 x/menit
 Pada palpasi ditemukan fremitus vokal menurun.
 Pada perkusi lapangan paru redup pada daerah paru yang terkena.
 Pada auskultasi dapat terdengar suara pernafasan menurun. Fine crackles
(ronki basah halus) yang khas pada anak besar bisa tidak ditemukan pada bayi.
Dan kadang terdengar juga suara bronkial.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit dalam batas normal. Pada
pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000 – 40.000/mm3
dengan predominan PMN. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah
(LED) yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED
tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri secara pasti.
2. C-Reactive Protein (CRP)
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor
infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan
profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri
superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi
respons terhadap terapi antibiotik.
Pemeriksaan CRP dan prokalsitonin juga dapat menunjang pemeriksaan radiologi
untuk mengetahui spesifikasi pneumonia karena pneumokokus dengan nilai CRP ≥ 120
mg/l dan prokalsitonin ≥ 5 ng/ml.
3. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan
kecuali pada pneumonia berat,dan jarang didapatkan hasil yang positif. Untuk
pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret
nasofaring tidak memiliki nilai yang berarti. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman
ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru.
4. Pemeriksaan serologis
Uji serologik untuk medeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis infeksi
Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti
antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B. Uji serologik IgM dan IgG antara fase
akut dan konvalesen pada anak dengan infeksi pneumonia oleh Chlamydia pneumonia
dan Mycoplasma pneumonia memiliki hasil yang memuaskan tetapi tidak bermakna pada
keadaan pneumonia berat yang memerlukan penanganan yang cepat.
5. Pemeriksaan Roentgenografi
Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar diagnosis utama
pneumonia. Tetapi tidak rutin dilakukan pada pneumonia ringan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat dan timbul gejala klinis berupa
takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara pernafasan. Kelainan foto rontgen toraks
pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya
pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah
pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada
foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan
diagnosis.
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:
 Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,
peribronchial cuffing dan overaeriation. Bila berat terjadi pachy consolidation
karena atelektasis.
 Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris atau
terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis,
berbatas yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru disebut
sebagai round pneumonia
 Bronkopneumoni ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru
berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru
disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.
Foto rontgen tidak dapat menentukan jenis infeksi bakteri, atipik, atau virus. Tetapi
gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi.
Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat
pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar,
bronkopneumoni dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. 4
PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan antibiotika
Pemberian antibiotik berdasarkan umur
 Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
- ampicillin + aminoglikosid
- amoksisillin-asam klavulanat
- amoksisillin + aminoglikosid
- sefalosporin generasi ke-3
2. Penatalaksaan suportif
- Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit  sampai sesak nafas hilang atau
PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
- Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena 4,2% dengan
dosis awal 0,3 x defisit basa x BB (kg). Selanjutnya periksa ulang analisis
gas darah setiap 4-6 jam. Bila analisis gas darah tidak bisa dilakukan maka
dosis awal bikarbonat 0,5 x 2-3 mEq x BB (kg).
- Obat penurun panas dan pereda batuk sebaiknya tidak diberikan pada 72
jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibiotik awal.
Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi,
takikardi, atau penderita kelainan jantung.
Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam
24-72 jam  ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman
penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit
seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).
3. Penatalaksanaan bedah
Pada umumnya tidak ada tindakan bedah kecuali bila terjadi komplikasi
pneumotoraks atau pneumomediastinum.
KOMPLIKASI
 Pneumonia Staphylococcus
- Perburukan klinis yang cepat walaupun sudah diterapi ;
- Foto toraks ; pneumatokel/pneumotoraks dengan efusi pleura ;
- Apusan sputum : kokus Gram positif
- Infeksi kulit yang disertai pus/pustil mendukung diagnosis.

 Emplema torasis : merupakan komplikasi tersering pada pneumonia bakteri.


 Perikarditis pululenta
 Infeksi ekstrapulmoner, misalnya meningitis purulenta
PROGNOSIS
Dengan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan
sampai kurang dari 1 %. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang
terlambat menunjukan mortalitas yang lebih tinggi.

SEPSIS NEONATAL
DEFINISI
Sepsis neonatal adalah sindrom klinik penyakit sistemik, disertai bakteremia yang
terjadi pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan.
EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian sepsis neonatal adalah 1-10 per 1000 kelahiran hidup, dan mencapai
13-27 per 1000 kelahiran hidup pada bayi dengan berat <1500gram. Angka kematian 13-
50%, terutama pada bayi premature (5-10 kali kejadian pada neonatus cukup bulan) dan
neonatus dengan penyakit berat dini. Infeksi nosokomial pada bayi berat lahir sangat rendah,
merupakan penyebab utama tingginya kematian pada umur setelah 5 hari kehidupan.
ETIOLOGI
E. colli adalah organisma gram-negatif yang sering menyebabkan septisemia dalam
tempoh neonatal. Klebsiella dan strain Enterobacter adalah yang kedua. Kira-kira 40%
daripada strain E. colli menyebabkan septisemia mempunyai antigen kapsul K1, dan strain
yang mirip dari hasil pengisolasian kultur darah biasanya boleh dikenal pasti dalam kultur
pada nasofaring atau rektum pesakit. Ciri-ciri klinikal sepsis E. colli umumnya adalah sama
seperti yang diperhatikan pada bayi dengan penyakit yang disebabkan oleh patogen lain.
Masalah pernafasan adalah tertulis di dalam kira-kira 73% dengan sepsis E. colli berlaku
pada minggu pertama kehidupan. Jangkitan setempat E. colli termasuk absess payudara,
selulitis,pneumonia, absess paru, empyema, osteomielitis, artritis septik, jangkitan saluran
kencing, ascending cholangitis, dan otitis media.
PATOGENESIS
Beberapa mikroorganisme penyebab seperti bakteri, treponema, virus, listeria dan
candida,transmisi ke janin melalui plasenta secara hematogenik. Cara masuknya
mikroorganisme dapat melalui proses persalinan. Dengan pecahnya selaput ketuban, mikro-
organisme dalam flora vagina atau bakteri patogen lainnya secara ascenden dapat mencapai
cairan amnion dan janin. Hal ini memungkinkan terjadinya khorioamnionitis atau cairan
amnion yang telah terinfeksi teraspirasi oleh janin atau neonatus, yang kemudian berperan
sebagai penyebab kelainan pernapasan. Adanya vernix atau mekoneum merusak peran alami
bakteriostatik cairan amnion. Akhirnya bayi dapat terpapar flora vagina waktu melalui jalan
lahir.
Kolonisasi terutama terjadi pada kulit, nasofaring, orofaring, konjungtiva, dan tali
pusat. Trauma pada permukaan ini mempercepat proses infeksi. Penyakit dini ditandai
dengan kejadian yang mendadak dan berat, yang berkembang dengan cepat menjadi syok
sepsis dengan angka kematian tinggi. Insidens syok septik 0,1-0,4% dengan mortalitas 15-
45% dan morbiditas kecacatan saraf. Umumnya terjadi setelah bayi berumur 7 hari atau lebih.
Proses terjadinya bronkopneumonia dimulai dari berhasilnya kuman patogen dari
cairan amnion yang telah terinfeksi teraspirasi oleh janin atau neonatus masuk ke mukus jalan
nafas. Kuman tersebut berkembang biak di saluran nafas atau sampai di paru-paru. Bila
mekanisme pertahanan seperti sistem transport mukosilia tidak adekuat, maka kuman
berkembang biak secara cepat sehingga terjadi peradangan di saluran nafas atas, sebagai
respon peradangan akan terjadi hipersekresi mukus dan merangsang batuk. Mikroorganisme
berpindah karena adanya gaya tarik bumi dan alveoli menebal. Pengisian cairan alveoli akan
melindungi mikroorganisme dari fagosit dan membantu penyebaran organisme ke alveoli
lain. Keadaan ini menyebabkan infeksi meluas, aliran darah di paru sebagian meningkat yang
diikuti peradangan vaskular dan penurunan darah kapiler (Price & Wilson, 2005).

Gambar 2.1 Alveoli neonatus dengan bronkopneumoni


Edema karena inflamasi akan mengeraskan paru dan akan mengurangi kapasitas paru,
penurunan produksi cairan surfaktan lebih lanjut, menurunkan compliance dan menimbulkan
atelektasis serta kolaps alveoli. Sebagai tambahan proses bronkopneumonia menyebabkan
gangguan ventilasi okulasi partial pada bronkhi dan alveoli, menurunkan tekanan oksigen
arteri, akibatnya darah vena yang menuju atrium kiri banyak yang tidak mengandung oksigen
sehingga terjadi hipoksemia arteri.
Efek sistemik akibat infeksi, fagosit melepaskan bahan kimia yang disebut endogenus
pirogen. Bila zat ini terbawa aliran darah hingga sampai hipotalamus, maka suhu tubuh akan
meningkat dan meningkatkan kecepatan metabolisme. Pengaruh dari meningkatnya
metabolisme adalah penyebab takhipnea dan takhikardia, tekanan darah menurun sebagai
akibat dari vasodilatasi perifer dan penurunan sirkulasi volume darah karena dehidrasi, panas
dan takhipnea meningkatkan kehilangan cairan melalui kulit (keringat) dan saluran
pernafasan sehingga menyebabkan dehidrasi (Price & Wilson 2005).
GEJALA KLINIS
Kebanyakan neonatus yang septicaemia dengan tanda yang tidak spesifik disadari
oleh perawat atau ibunya sendiri. Biasanya ditemukan suhu yang tidak stabil, letargi, apneu
dan tidak mau minum. Walaupun kebiasaanya hipotermia, peningkatan suhu yang di atas
37.8°C lebih sering dikaitkan dengan infeksi bakteri, terutama dengan suhu diatas 39°C.
Gejala klinis pada yang sering didapatkan pada neonatus biasanya penyakit GI atau respirasi
seperti takipneu, sianosis atau muntah-muntah, diare dan distensi abdominal.
FAKTOR RESIKO
Faktor Risiko untuk Terjadinya Sepsis Neonatal ialah:
• Prematuritas dan berat lahir rendah, disebabkan fungsi dan anatomi kulit yang masih
imatur, dan lemahnya sistem imun
• Ketuban pecah dini (>18 jam)
• Ibu demam pada masa peripartum atau ibu dengan infeksi, misalnya
khorioamnionitis, infeksi saluran kencing, kolonisasi vagina oleh Grup B
Streptokokkus , kolonisasi perineal dengan E. colli
• Cairan ketuban hijau keruh dan berbau
• Tindakan resusitasi pada bayi baru lahir
• Kehamilan kembar
• Prosedur invasif
• Tindakan pemasangan alat misalnya kateter, infus,pipa endotrakheal
• Bayi dengan galaktosemi
• Terapi zat besi
• Perawatan di NICU (neonatal intensive care unit) yang terlalu lama
• Pemberian nutrisi parenteral
• Pemakaian antibiotik sebelumnya
• Lain-lain misalnya bayi laki-laki terpapar 4x lebih sering dari perempuan9
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
a. Hematologi
Darah rutin, termasuk kadar hemoglobin Hb, hematokrit Ht, leukosit dan hitung jenis,
trombosit. Pada umumnya terdapat neutropenia PMN <1800/ml, trombositopeni
<150.000/ml (spesifisitas tinggi, sensitivitas rendah), neutrophil muda meningkat
>1500/ml, rasio neutrofil imatur : total >0,2. Adanya reaktan fase akut yaitu CRP
(konsentrasi tertinggi dilaporkan pada infeksi bakteri, kenaikan sedang didapatkan
pada kondisi infeksi kronik), LED, GCSF (granulocyte colonystimulatingfactor),
sitokin IL-1ß, IL-6 dan TNF (tumour necrosis factor).
b. Biakan darah atau cairan tubuh lainnya (cairan serebrospinalis) serta uji resistensi,
pelaksanaan pungsi lumbal masih kontroversi, dianjurkan dilakukan pada bayi yang
menderita kejang, kesadaran menurun, klinis sakit tampak makin berat dan kultur
darah positif.
c. Bila ada indikasi, dapat dilakukan biakan tinja dan urin.
d. Pemeriksaan apusan Gram dari bahan darah maupun cairan liquor, serta urin.
e. Lain-lain misalnya bilirubin, gula darah, dan elektrolit (natrium, kalium).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan radiologi yang diperlukan ialah foto dada, abdomen atas indikasi, dan
ginjal. Pemeriksaan USG ginjal, skaning ginjal, sistouretrografi dilakukan atas indikasi.
PENATALAKSANAAN
Menurut Opal (2012), penatalaksanaan pada pasien sepsis dapat dibagi menjadi :
1. Nonfarmakologi
Mempertahankan oksigenasi ke jaringan dengan saturasi >88-92 % dengan melakukan
ventilasi mekanik dan drainase infeksi fokal.
2. Sepsis Akut
a. Hidrasi IV, kristaloid sama efektifnya dengan koloid sebagai resusitasi cairan.
b. Memperbaiki keadaan asidosis dengan memperbaiki perfusi jaringan dilakukan
ventilasi mekanik, bukan dengan memberikan bikarbonat.
c. Antibiotik diberikan menurut sumber infeksi yang paling sering sebagai
rekomendasi antibotik awal pasien sepsis. Sebaiknya diberikan antibiotik
spektrum luas dari bakteri gram positif dan gram negative.cakupan yang luas
bakteri gram positif dan gram negative (atau jamur jika terindikasi secara klinis).
3. Sepsis Kronik
Terapi antibiotik berdasarkan hasil kultur dan umumnya terapi dilanjutkan minimal
selama 2 minggu.

Anda mungkin juga menyukai