Anda di halaman 1dari 6

A.

Pengertian
WHO mendefinisikan bahwa Stroke adalah gejala-gejala defisit fungsi
susunan saraf yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak dan
bukan oleh yang lain dari itu. Menurut Price & Wilson (2006) pengertian
dari stroke adalah setiap gangguan neurologik mendadak yang terjadi
akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai
arteri otak. Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
pengertian stroke adalah gangguan sirkulasi serebral yang disebabkan oleh
sumbatan atau penyempitan pembuluh darah oleh karena emboli,
trombosis atau perdarahan serebral sehingga terjadi penurunan aliran darah
ke otak yang timbulnya secara mendadak. Stroke diklasifikasikan menjadi
dua :
1. Stroke Non Hemoragik Suatu gangguan peredaran darah otak tanpa terjadi
suatu perdarahan yang ditandai dengan kelemahan pada satu atau keempat
anggota gerak atau hemiparese, nyeri kepala, mual, muntah, pandangan
kabur dan dysfhagia (kesulitan menelan). Stroke non haemoragik dibagi
lagi menjadi dua yaitu stroke embolik dan stroke trombotik (Wanhari,
2008).
2. Stroke Hemoragik Suatu gangguan peredaran darah otak yang ditandai
dengan adanya perdarahan intra serebral atau perdarahan subarakhnoid.
Tanda yang terjadi adalah penurunan kesadaran, pernapasan cepat, nadi
cepat, gejala fokal berupa hemiplegi, pupil mengecil, kaku kuduk
(Wanhari, 2008).
B. Etiologi
Menurut Potter & Perry (2006) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu
empat kejadian yaitu:
1. Thrombosis yaitu bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher.
2. Embolisme serebral yaitu bekuan darah atau material lain yang di bawa ke
otak dari bagian tubuh yang lain.
3. Iskemia yaitu penurunan aliran darah ke area otak.
4. Hemoragi serebral yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan
perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak.
Akibat dari keempat kejadian diatas maka terjadi penghentian suplai darah
ke otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau permanen gerakan,
berpikir, memori, bicara, atau sensasi.
Faktor resiko terjadinya stroke menurut Mansjoer (2005) adalah:
1) Yang tidak dapat diubah: usia, jenis kelamin, ras, riwayat keluarga,
riwayat stroke, penyakit jantung koroner, dan fibrilasi atrium.
2) Yang dapat diubah: hipertensi, diabetes mellitus, merokok,
penyalahgunaan alkohol dan obat, kontrasepsi oral, dan hematokrit
meningkat.

C. Tanda dan Gejala Klinis


Menurut Price & Wilson (2006) tanda dan gejala penyakit stroke adalah
kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh,
hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran, penglihatan ganda atau
kesulitan melihat pada satu atau kedua mata, pusing dan pingsan, nyeri
kepala mendadak tanpa kausa yang jelas, bicara tidak jelas (pelo), sulit
memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat, tidak mampu
mengenali bagian dari tubuh, ketidakseimbangan dan terjatuh dan
hilangnya pengendalian terhadap kandung kemih. Berdasarkan lokasinya
di tubuh, gejala-gejala Stroke terbagi menjadi berikut:
1. Bagian sistem saraf pusat : Kelemahan otot (hemiplegia), kaku,
menurunnya fungsi sensorik
2. Batang otak, dimana terdapat 12 saraf kranial: menurun kemampuan
membau, mengecap, mendengar, dan melihat parsial atau keseluruhan,
refleks menurun, ekspresi wajah terganggu, pernafasan dan detak jantung
terganggu, lidah lemah.
3. Cerebral cortex: aphasia, apraxia, daya ingat menurun, hemineglect,
kebingungan.
Jika tanda-tanda dan gejala tersebut hilang dalam waktu 24 jam, dinyatakan
sebagai Transient Ischemic Attack (TIA), dimana merupakan serangan kecil
atau serangan awal Stroke. Pada sumber lain tanda dan gejala Stroke yaitu:
Adanya serangan defisit neurologis fokal, berupa Kelemahan atau kelumpuhan
lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh · Hilangnya rasa atau adanya
sensasi abnormal pada lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh. Baal atau
mati rasa sebelah badan, terasa kesemutan, terasa seperti terkena cabai, rasa
terbakar · Mulut, lidah mencong bila diluruskan · Gangguan menelan : sulit
menelan, minum suka keselek · Bicara tidak jelas (rero), sulit berbahasa, kata
yang diucapkan tidak sesuai keinginan atau gangguan bicara berupa pelo,
sengau, ngaco, dan kata-katanya tidak dapat dimengerti atau tidak dipahami
(afasia). Bicara tidak lancar, hanya sepatah-sepatah kata yang terucap · Sulit
memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat · Tidak memahami
pembicaraan orang lain · Tidak mampu membaca dan menulis, dan tidak
memahami tulisan · Tidak dapat berhitung, kepandaian menurun · Tidak
mampu mengenali bagian dari tubuh · Hilangnya kendalian terhadap kandung
kemih, kencing yang tidak disadari · Berjalan menjadi sulit, langkahnya kecil-
kecil · Menjadi pelupa ( dimensia) · Vertigo ( pusing, puyeng ), atau perasan
berputar yang menetap saat tidak beraktifitas · Awal terjadinya penyakit
(Onset) cepat, mendadak dan biasanya terjadi pada saat beristirahat atau
bangun tidur · Hilangnya penglihatan, berupa penglihatan terganggu, sebagian
lapang pandangan tidak terlihat, gangguan pandangan tanpa rasa nyeri,
penglihatan gelap atau ganda sesaat · Kelopak mata sulit dibuka atau dalam
keadaan terjatuh · Pendengaran hilang atau gangguan pendengaran, berupa tuli
satu telinga atau pendengaran berkurang · Menjadi lebih sensitif: menjadi
mudah menangis atau tertawa · Kebanyakan tidur atau selalu ingin tidur ·
Kehilangan keseimbangan, gerakan tubuh tidak terkoordinasi dengan baik,
sempoyongan, atau terjatuh · Gangguan kesadaran, pingsan sampai tidak
sadarkan diri

Sumber: http://www.riyawan.com/2013/05/asuhan-keperawatan-pada-
penderita-stroke.html
Konten ini adalah milik dan hak cipta riyawan.com, harap mencantumkan link
sumber jika ingin mengcopy atau menyebarluaskan

Sumber: http://www.riyawan.com/2013/05/asuhan-keperawatan-pada-
penderita-stroke.html

Konten ini adalah milik dan hak cipta riyawan.com, harap mencantumkan
link sumber jika ingin mengcopy atau menyebarluaskan

Daftar Pustaka

J, Iskandar (2007),Stroke A-Z. PT BIP-Gramedia, Jakarta.Doenges, E.


Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta:
EGCCarpenito, L.J & Moyet. (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan
edisi 10. Jakarta: EGC.Nanda. (2005-2006). Panduan Diagnosa
Keperawatan. Prima medika.Potter & Perry. (2006). Fundamental
Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik Edisi 4 vol 1. Jakarta:
EGCPrice, S.A & Wilson. L.M. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Edisi 6 vol 2. Jakarta: EGC Smeltzer, S.C & Bare,
B.G. (2006). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 vol 3.
Jakarta: E

Sumber: http://www.riyawan.com/2013/05/asuhan-keperawatan-pada-
penderita-stroke.html

Konten ini adalah milik dan hak cipta riyawan.com, harap mencantumkan
link sumber jika ingin mengcopy atau menyebarluaskan
Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi yang
perlu dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6
jam pertama, dimulai sejak pasien tiba di unit gawat darurat. Tindakan mencakup
airway: a) breathing; b) circulation; c) oksigenasi, terapi cairan,
vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan. Pemantauan dengan kateter
vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-
12 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5
ml/kgBB/jam.

1. Oksigenasi

Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat disfungsi
atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi.
Transpor oksigen ke jaringan juga dapat terganggu akibat keadaan
hipovolemik dan disfungsi miokard menyebabkan penurunan curah
jantung. Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan menyebabkan
daya angkut oleh eritrosit menurun. Transpor oksigen ke jaringan
dipengaruhi juga oleh gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler,
mikrotrombus dan gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang
mengalami iskemia.

Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan


saturasi oksigen di darah, meningkatkan transpor oksigen dan
memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan.

2. Terapi cairan

Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan


baik kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu
dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis
respon terhadap pemberian cairan dapat terlihat dari peningkatan tekanan
darah, penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan
ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya penurunan kesadaran. Perlu
diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena
jugular, ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.

Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan
hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu
diberikan. Transfusi eritrosit (PRC) perlu diberikan pada keadaan
perdarahan aktif, atau bila kadar Hb rendah pada keadaan tertentu
misalnya iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan
dicapai pada sepsis dipertahankan pada 8-10 g/dl.

3. Vasopresor dan inotropik


Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi
dengan pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih mengalami
hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis rendah secara titrasi
untuk mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan sistolik 90 mmHg. Untuk
vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8 mcg/kg/menit,
norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit atau
epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik yang dapat digunakan adalah
dobutamin dosis 2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mc/kg/menit, epinefrin
0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan
milrinon).

4. Bikarbonat

Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau serum


bikarbonat <9 meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan
hemodinamik.

5. Disfungsi renal

Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis


maupun hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration). Pada
hemodialisis digunakan gradien tekanan osmotik dalam filtrasi substansi
plasma, sedangkan pada hemofiltrasi digunakan gradien tekanan
hidrostatik. Hemofiltrasi dilakukan kontinu selama perawatan, sedangkan
bila kondisi telah stabil dapat dilakukan hemodialisis.

6. Nutrisi

Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak, cairan,
vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan
pemberian secara enteral dan bila tidak memungkinkan beru diberikan
secara parenteral.

7. Kortikosteroid

Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi insufisiensi


adrenal, dan diberikan secara empirik bila terdapat dugaan keadaan
tersebut. Hidrokortison dengan dosis 50mg bolus intravena 4 kali selama 7
hari pada pasien renjatan septik menunjukkan penurunan mortalitas
dibanding kontrol.

(Chen dan Pohan, 2007).

Patofisiologi Syok Septik


Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi
yang melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin, neutrofil, komplemen,
NO, dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses
homeostasis dimana terjadi keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila
proses inflamasi melebihi kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi
yang maladaptif, sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang destruktif,
kemudian menimbulkan gangguan pada tingkat sesluler pada berbagai organ.

Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang menyebabkan


maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok.
Pengaruh mediator juga menyebabkan disfungsi miokard sehingga terjadi
penurunan curah jantung.

Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang


dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF
merupakan kerusakan pada tingkat seluler (termasuk difungsi endotel), gangguan
perfusi jaringan, iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang
diperkirakan turut berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi
(myocardial depressant substance), malnutrisi kalori protein, translokasi toksin
bakteri, gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan
(Chen dan Pohan, 2007).

Syok septik merupakan keadaan dimana terjadi penurunan tekanan darah (sistolik
< 90mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik > 40mmHg) disertai tanda
kegagalan sirkulasi, meski telah dilakukan resusitasi secara adekuat atau perlu
vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ (Chen dan
Pohan, 2007).

Chen K dan Pohan H.T. 2007. Penatalaksanaan Syok Septik dalam Sudoyo, Aru
W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp: 187-9

Anda mungkin juga menyukai