Anda di halaman 1dari 10

Tugas Besar MKP Gender dan Pembangunan

Oleh: Rafi Faishal Azzam

Judul Stereotip dalam Mempengaruhi Timbulnya Diskriminasi Gender dalam Bidang


Pendidikan di Indonesia
Kalima Tesis Persepsi masyarakat terkait pendidikan yang salah telah menimbulkan
diskriminasi gender karena dapat membentuk pola pendidikan yang salah,
dominasi ilmu yang terbagi antara pria dan wanita, hingga pemegang
kekuasaan yang didominasi oleh salah satu pihak antara wanita atau pria.
Subjek Kekeliruan persepsi manusia terhadap pendidikan
Klaim Dapat menumbulkan diskiminasi gender
Pendukung 1 Hal tersebut dapat membentuk pola pendidikan yang keliru dan tidak adil
Pendukung 2 Dapat membentuk dominasi ilmu pengetahuan yang tidak seimbang antara
laki – laki dan perempuan
Pendukung 3 Pemegang kekuasaan didominasi oleh salah satu pihak antara laki – laki dan
perempuan.

1. Pendahuluan
Pendidikan merupakan sebuah faktor yang penting dalam membangun dan memajukan
suatu negara. Melalui pendidikan, pembangunan negara yang baik dan pesat dapat terwujud
sesuai harapan. Namun, dewasa ini kondisi pendidikan di Indonesia masih memiliki
permasalahan yang luas, salah satunya adalah pandangan masyarakat terhadap pendidikan.
Pandangan masyarakat terhadap pendidikan di Indonesia cenderung bersifat diskriminatif
terhadap gender, contoh kasusnya adalah wanita dianggap lebih pantas menempuh pendidikan
yang berhubungan dengan hal memasak, administrasi, perekonomian, dan sejenisnya. Persepsi
masyarakat terkait pendidikan yang salah telah menimbulkan diskriminasi gender karena dapat
membentuk pola pendidikan yang salah, dominasi ilmu yang terbagi antara pria dan wanita,
hingga pemegang kekuasaan yang didominasi oleh salah satu pihak antara wanita atau pria.
Pendidikan merupakan cara atau alat yang sangat penting dalam berkontribusi untuk
menumbuhkan pembangunan, kesetaraan, dan kesejahteraan yang baik. Pendidikan ditujukan
untuk melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu berkontribusi untuk
kemajuan bangsa. Menurut (Purwanto, 2006) terdapat 3 kunci utama dalam membangun suatu
bangsa, ketiga hal tersebut berupa kualitas sumber daya manusia, kemajuan teknologi, dan

1
ketersediaan dana. Kualitas pelayanan pendidikan dianggap sebagai faktor penting dalam
mengupayakan sumber daya manusia yang baik. Melalui pendidikan, seseorang akan memiliki
ilmu pengetahuan dan memiliki peluang untuk mengembangkan ilmu tersebut bahkan
memperloeh kedudukan yang baik dalam bidang kerja.
Menurut Muhardi (2005) pendidikan dianggap sebagai kebutuhan dasar bagi setiap manusia,
oleh karena itu penting untuk memperhatikan keadilan dalam memenuhi kebutuhan pendidikan
tersebut. Pemerintah perlu untuk menjamin keadilan tersebut bagi setiap warganya tanpa
adanya perbedaan baik dari jenis kelamin, anak – anak, hingga usia dewasa. D. Sudhana dalam
Muhardi (2005) menyebutkan bahwa salah satu isi dari Deklarasi Dakkar (pendidikan untuk
sema) adalah penghapusan disparitas gender dalam pendidikan dasar maupun menengah pada
tahun 2005 dan mencapai kesetaraan gender pada tahun 2015. Kesetaraan tersebut berupa
suatu fokus jaminan terhadap perepuan dalam mengakses pendidikan yang setara dan adil.
Setiap manusia baik itu pria maupun wanita pada dasarnya memiliki kedudukan yang sama,
tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Menurut Efianingrum (2008) setiap manusia sudah
seharusya memiliki keadilan berupa akses yang sama dalam segala kepentingan seperti;
pendidikan, pengambilan keputusan, jaminan kesehatan, dan pelayanan lainnya. Namun pada
kenyataannya masih banyak pihak yang belum menganggap bahwa pendidikan merupakan
suatu hak asasi khususnya terhadap kaum wanita. Pendidikan di Indonesia saat ini masih belum
memperhatikan aspek gender, bahkan terdapat stereotip dalam sistem pendidikan yang masih
kental antara laki – laki dan perempuan.
Perlunya kesetaraan gender khususnya dalam aspek pendidikan memang penting untuk
diperhatikan dan diupayakan. Pendidikan yang baik dan berkeadilan dapat menunjang
pembangunan bangsa mencapai kesejahteraan yang merata. Pendidikan seharunya tidak
diskriminatif dan mampu memberikan akses dan manfaat yang sama baik bagi laki – laki,
perempuan, anak – anak dan dewasa. Efianingrum (2008) menjelaskan bahwa pemberdayaan
bagi perempuan dapat memberikan kesempatan untuk menyalurkan suara dalam mengurangi
tingkat kemiskinan. Oleh karena itu untuk mewujudkan pembangunan yang baik dan seimbang
diperlukan akses yang adil bagi semua orang terhadap kesempatan pendidikan.
Persepsi masyarakat terkait pendidikan di Indonesia mengalami kekeliruan yang mana hal
tersebut mampu mempengaruhi timbulnya diskriminasi. Persepsi masyarakat terkait pendidikan
yang salah telah menimbulkan diskriminasi gender karena dapat membentuk pola pendidikan
yang salah, pola yang dimaksud adalah kecenderungan peminatan dan kepantasan yang menjadi
budaya dalam bidang pendidikan. Selan itu, juga terjadi dominasi - dominasi ilmu yang terbagi

2
antara pria dan wanita, yang mana hal tersebut mampu menguatkan stereotip pendidikan yang
salah. Kemudian hal tersebut juga dapat menimbulkan pemegang kekuasaan yang didominasi
oleh salah satu pihak antara wanita atau pria salah satunya dalam dunia kerja.
Pembahasan topik secara lebih lengkap dan detail akan dilakukan dengan menyusun artikel
yang terdiri dari pendahuluan, yang menjelaskan terkait pengantar pembahasan menuju topik.
Setelah menjabarkan pendahuluan, maka isi pembahasan akan dijabarkan kedalam 3 pokok
bahasan. Pokok – pokok bahasan yang dimaksud yaitu; diskriminasi gender dalam bidang
pendidikan di Indonesia, stereotip gender dalam mempengaruhi terjadinya diskriminasi gender
di bidang pendidikan, kondisi dan upaya yang telah dilakukan dalam mengatasi diskriminasi
gender di bidang pendidikan.

2. Diskriminasi Gender dalam Pendidikan di Indonesia


Dalam memahami maksud dari gender, Mansour Fakih dalam (Mursidah, 2013)
membedakan menjadi gender dan jenis kelamin. Pemahaman terkait jenis kelamin cenderung
berupa pembagian 2 jenis kelamin manusia berdasarkan ciri – ciri biologis. Jenis kelamin
dikategorikan sebagai hal yang tidak dapat (tidak seharusnya) berubah dan berlaku kapanpun
dan di manapun. Sedangkan pemahaman terkait gender merupakan sifat yang terdapat dalam
diri seseorang. Berbeda dengan jenis kelamin, gender merupakan sesuatu yang dapat berubah
kapanpun, dan di manapun yang biasanya dipengaruhi oleh konstruksi sosial hingga budaya.
Adapun gender memiliki arti perbedaan peran, sifat, hingga tanggung jawab baik bagi laki – laki
maupun perempuan.
Kesetaraan gender merupakan sebuah hasil dari proses keadilan terhadap laki – laki maupun
perempuan termasuk dalam aspek pendidikan. Pendidikan dapat dianggap sebagai suatu
investasi yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kualitas baik individu maupun
kelompok. Pola pendidikan di Indonesia apabila diperhatikan melalui aspek gender terlihat
belum memenuhi kesetaraan dan keadilan gender. Hal tersbut dapat dilihat dari jumlah pelajar
khususnya wanita yang memilih pendidikan berdasarkan kecenderungan pada umumnya.
Ungakapan yang merendahkan dan meragukan kemampuan sering muncul apabila seorang
wanita memilih pendidikan yang identik dengan tenaga, alat berat, dan yang berhubungan
dengan fisik lainnya.
Dewasa ini, banyak masyarakat khususnya di Indonesia yang belum memahami makna dari
gender. Kondisi yang demikian dapat mengakibatkan semakin kuatnya kekeliruan pemahaman
gender, sehingga mengakibatkan pada kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab antara laki

3
- laki dan perempuan. Hal tersebut merupakan diskriminasi terhadap gender karena
ketidakadilan yang timbul salam sistem sosial masyrakat. Salah satu bentuk diskriminasi gender
ini berupa stereotip terhadap pembagian peran, kemampuan, dan tanggungjawab bagi laki – laki
dan perempuan.
Stereotip merupakan pandangan atau citra yang melekat pada individu atau kelompok yang
merupakan anggapan atau opini dan belum pasti sesuai dengan kenyataanya. Pelabelan yang
tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya ini dapat merugikan salah satu pihak terutama
perempuan. Banyak stereotip yang merugikan bagi kaum perempuan yang akhirnya menjadi
kebiasaan dan membatasi kesempatan perempuan untuk berkembang lebih baik. Bentuk
ketidakadilan seperti ini pada akhirnya berdampak pada kesenjangan gender salah satunya di
bidang pedidikan. Adanya stereotip yang demikian dapat berdampak dengan tingkat
kepercayaan bagi masyrakat umum bahkan diri perempuan itu sendiri akan kemampuannya.

3. Stereotip Gender dalam Mempengaruhi Diskriminasi Gender di Bidang Pendidikan


Pandangan orang akan saat ini telah membentuk sebuha pola pendidikan yang kurang adil
dan keliru. Hal tersebut berupa anggapan bahwa perempuan dan laki – laki memiliki
kemampuan yang berbeda yang mana laki – laki dianggap memiliki kedudukan lebih tinggi. Laki
– laki dianggap lebih memiliki kemampuan dalam menempuh pendidikan yang berinteraksi
dengan alat – alat berat, maupun pendidikan lain yang membutuhkan tenaga fisik. Sedangkan
perempuan dianggap lebih pantas dalam menempuh pendidikan yang bersifat ringan atau tidak
banyak menggunakan tenaga fisik.
Menurut Gunawan (2013), persaingan dalam pekerjaan sudah sangat adil antara laki – laki
dan perempuan, baik yang berkemampuan di bidang teknik maupun non teknik. Menurutnya
jurusan teknik tidak cocok untuk ditekuni oleh kaum wanita kecuali untuk menjadi pengajar
seprti guru ataupun dosen. Selain itu, anakui, Januari 23 (2015) menuliskan beberapa anggapan
seorang wanita yang menempuh pendidikan di bidang teknik yaitu; (1) seorang wanita yang
menempuh pendidikan di bidang teknik dianggap tomboy, (2) seorang wnita yang menempuh
pendidikan di bidang teknik dianggap jarang mandi, (3) wanita yang menempuh pendidikan di
bidang teknik cenderung tidak bisa merias wajah, dan (4) wanita yang menempuh dibidang
teknik cenderung tidak disukai laki – laki. Beberapa pendapat yang muncul di kalangan
masyarakat umum tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi pola pendidikan di
Indonesia. Pola pendidikan yang dimaskud adalah bagaimana dominasi perempuan dan laki –

4
laki yang memilih bidang pendidikan terfokus hanya pada satu pihak antara perempuan dan laki
– laki.
Dalam perkembanganya, permasalahan terkait gender memang belum dapat diselesaikan
sepenuhnya. Hal ini tidak terlepas dari berbagai hambatan – hambatan yang timbul atas
penerapan gender dalam bidang pendidikan. Hogwood dan Gun, 1997 dalam Erna Tigayanti
(2014) menyebutkan hambatan yang mengakibatkan penerapan kebijakan salah satunya adalah
kondisi eksternal. Kondisi eksternal yang tidak diperhatikan akan menjadi penggagal sebuah
upaya perbaikan. Adapun sebuah kebijakan telah disusun dan dilaksanakan seusai rencana
namun dengan adanya hambatan dari luar dapat memberikan pengaruh terhadap hasil yang
tidak maksimal.
Salah satu faktor eksternal yang berpengaruh terhadap kegagalan pengarusutamaan gender
di bidang pendidiakan adalah kondisi budaya, kepercayaan, dan pandangan masyarakat yang
sangat kuat atau bisa disebut stereotip. Tajfel, 1994 dalam Zaduqisti (2009) menyatakan bahwa
stereotip diartikan sebagai proses pengenalan atas individu atau kelompok. Stereotip
merupakan hasil dari sebuah prasangka, yang mana dijelaskan oleh Tajfel, 1994 dalam Zaduqisti
(2009) bahwa prasangka dan pelabelan tidak dapat dipisah keterkaitannya. Dapat disimpulkan
bahwa stereotip adalah pelabelan yang diberikan kepada individu maupun kelompok (objek)
berdasar ciri – ciri atau karakteristik yang melekat (permanen) pada sekelompok orang.
Di Indonesia, masyarakat memiliki norma yang bersangkutan dengan status perempuan.
Perempuan dianggap memiliki kedudukan dibawah laki – laki dan dianggap sebagai perempuan
ideal apabila bersifat feminim. Sementara laki – laki dipandang memiliki kedudukan lebih tinggi
dan dianggap sebagai laki – laki ideal apabila bersifat maskulin. Figur feminim yang dimaksudkan
adalah lembut, patuh, halus, dan sebagainya. Sedangkan figur maskulin yang dimaksudkan
adalah gagah, pemberani, kuat, kasar, dan sebagainya. Pandangan – pandangan tersebut dapat
berpengauh terhadap bagaimana jenis pendidikan yang pantas bagi kedua sifat tersebut.
Pandangan masyarakat mengenai sifat – sifat feminim dan maskulin yang melekat pada
seorang perempuan dan laki – laki tersebut, dapat berpengaruh terhadap pola pendidikan yang
diskriminatif gender. Seorang perempuan mendapat pelabelan yang tidak pantas ketika
menekuni pendidikan yang dianggap maskulin, begitu pula dengan laki – laki yang memilih
pendidikan yang dianggap feminim. Tentunya permasalahan seperti ini tidak boleh terus
menerus terjadi, karena akan semakin membedakan kemampuan dan pengalaman yang dimiliki
oleh perempuan dan laki – laki. Seharusnya perempuan maupun laki – laki memiliki keadilan
yang sama dalam memilih pendidikan sesuai minatnya.

5
4. Kondisi dan Upaya dalam Mengurangi Diskriminasi Gender dalam Pendidikan di Indonesia
ACDP Indonesia (2013) menyatakan bahwa Indonesia telah melakukan banyak perbaikan
dalam mengupayakan kesetaraan gender khususnya pada akses bidang pendidikan. Perbaduan
kebijakan yang efektif dan berkelanjutan dapat membantu upaya pengarus utamaan gender.
Dengan keberhasilan dalam mengimplementasikan aspek gender di bidang pendidikan dapat
mencapai sebuah kesetaraan dan kesempatan belajar. Dengan kesetaraan kesempatan yang
sama, baik laki – laki maupun perempuan akan memiliki pengalaman yang sama dalam mencari
ilmu.
Namun dalam pelaksanaannya pengarus utamaan gender dalam bidang pendidikan belum
sepenuhnya berjalan dengan baik. Salah satu yang dapat diperhatikan adalah kondisi
pengimplementasian PUG di Kota Malang dalam bidang pendidikan. Di Kota Malang,
pengimplementasian gender masih terbilang belum maksimal dan menunjukan hasil yang
diharapkan. Lemahnya mekanisme dalam menyelenggarakan PUG di bidang pendidikan
menyebabkan pelaksanaan PUG tidak berjalan maksimal melainkan hanya sebatas pemahaman
individu saja. Selain itu dalam pelaksanaanya, penerapan PUG juga memiliki berbagai hambatan.
Menurut Popa and Bucur (2014), bidang pendidikan merupakan sarana terbaik dalam
meningkatkan kesadaran akan kesetaraan gender dan mengurangi diskriminasi gender.
Kurangnya pengetahuan dan komitmen dalam menerapkan pengarusutamaan gender
merupakan permasalahan dalam mengupayakan kesetaraan gender. Oleh karena itu, selain
menerapkan aspek gender dalam bidang pendidikan, perlu diketahui terlebih dahulu apa saja
yang dapat menjadi hambatan untuk pengarusutamaan gender.
Kebijakan dalam mengupayakan terciptanya pengarusutamaan gender di Indonesia terdapat
pada salah satu kebijakan yang resmi menjadi komitmen pemerintah dengan dikeluarkannya
Instruksi Presiden No 9 tahun 2000. Kebijakan PUG tersebut adalah respon atas kesenjangan
gender di Indonesia pada beberapa bidang pembangunan salah satunya pada bidang
pendidikan. Kebijakan PUG dibangun sebagai strategi dalam menanamkan aspek gender
menjadi satu dimensi dalam merencanakan, menyusun, melaksanakan, memantau, dan
mengevaluasi atas program kegiatan. Dalam mengintegrasikan dengan bidang pendidikan, maka
dikeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 84 tahun 2008 yang berisi mengenai
pedoman pelaksanaan PUG dalam bidang pendidikan.
Kebijakan pemerintah dalam mengupayakan pengarus utamaan gender adalah salah satu
kemajuan perhatian akan pentingnya aspek gender. Namun sejauh ini ternyata masih banyak

6
individu yang menerapkannya hanya sebatas pemahaman akan gender saja. Dalam bidang
pendidikan, pengarus utamaan gender belum dapat terealisasi dengan baik. Masih terdapat
banyak bukti kesenjangan gender di bidang pendidikan. Kondisi seperti ini terjadi karena dalam
penerapannya masih terdapat berbagai hambatan untuk menerapkan gender di bidang
pendidikan. salah satunya adalah faktor eksternal yang berasalh dari budaya yang berlaku di
masyarakat dengan sistem patriarki. Sistem patriarki ini memberikan gambaran bahwa laki – laki
lebih pantas dalam kegiatan yang bersifat kasar, gagah, berat, dan sejenisnya. Adapun sistem
patriarki ini memberi kerugian bagi perempuan karena memberikan stereotip bahwa wanita
lebih pantas dengan kegiatan yang mudah, tidak kasar, dan berhubungan dengan kecantikan.
Dalam pelaksanannya pemerintah sudah memberikan pedoman sebelum menerapkan
pengarus utamaan gender. Salah satunya adalah melakukan analisa gender untuk mengetahui
dan memahami penyebab terjadinya ketidaksetaraan gender tersebut. Seharusnya dalam
bidang pendidikan juga perlu melakukan analisis terjadinya kesenjangan tersbeut. Salah satu
yang nampak belum teratasi adalah kesenjangan antara pola pendidikan yang ditunjukan dalam
pendidikan tingkat SMK yang mana masih didominasi oleh laki – laki.
Stereotip atau dapat disebut prasangka dapat terjadi dalam bentuk apapun dan
mempengaruhi siapapun. Stereotip merupakan pandangan atau pelabelan antar satu pihak
minoritas terhadap pihak mayoritas ataupun sebaliknya. Stereotip dapat terbentuk melalui
berbagai kondisi dan menyebabkan diskriminasi terhadap salah satu pihak, seperti perbedaan
ras, usia, komunitas, jenis kelamin, dan banyak lainnya. Stereotip merupakan fenomena yang
sudah berlangsung lama dan menjadi budaya, hal ini dapat mengakibatkan permasalahan yang
besar dalam menjalin kebersamaan dan kepercayaan sehingga tidak menimbulkan diskriminasi.
Pettigrew dan Tropp, 2007 dalam Widyarini (2012) menyebutkan dalam mengatasi
permasalahan stereotip dengan memaksimalkan interaksi antar pihak yang terlibat merupakan
hal yang baik, meskipun hal tersebut tidak dapat mengurangi stereotip sepenuhnya. Namun
terdapat penelitian yang dapat mengurangi permasalahan stereotip, Sherif, dkk dalam Widyarini
(2012) melakukan penelitian untuk mengurangi setereotip menggunakan 6 kondisi. (1) kondisi
pertama dan kondisi saling terkait yaitu dengan menempatkan 2 kelompok berbeda dalam satu
kondisi yang membuat mereka saling membutuhkan untuk mencapai tujuan yang sama sebagai
kondisi kedua (2). Dengan cara tersebut, peneliti dapat merubah stereotip antar kelompok yang
saling bersaing menjadi satu kesatuan yang saling membantu. (3) kondisi kelima, yaitu ketika
seseorang memiliki status sosial yang berbeda layaknya seorang pimpinan terhadap karyawan
atau bawahan cenderung memiliki perlikau yang berbeda. Oleh karena itu kontak dan interaksi

7
yang lebih dekat cenderung dapat menimbulkan kepercayaan yang sama antar kedua pihak dan
tidak merendahkan satu sama lain. (4) Kondisi keempat, yaitu dengan meletakkan 2 kelompok
atau individu berbeda dalam suatu ruangan. Hal ini dapat meningkatkan interaksi untuk
mengenali dan memahami individu atau kelompok lainnya karena interaksi yang bersifat antar
personal. Melalui interaksi yang dekat dan bersahabat dapat mengkonfirmasi bahwa
pemahaman yang selama ini ada ternyata salah. (5) kondisi kelima, yaitu ketika 2 kelompok atau
individu didekatkan melalui pershabatan dan interaksi yang lebih. Persahabatan akan
membentuk kepercayaan dan memahami satu sama lain tanpa adanya perendahaan terhadap
salah satu pihak, sehingga dapat mengurangi permasalahan stereotip. (6) kondisi keenam,
merupakan kondisi terakhir yaitu dengan saling mendukung antar kelompok maupun individu,
hal ini dapat memperkuat kepercayaan dan melemahkan stereotip negatif terhadap kelompok
dan individu.
Elliot Aronson, 1971 dalam Widyarini (2012) menerapkan suatu konsep untuk meningkatkan
kondisi harmonis dan saling berinteraksi positif yaitu jigsaw classroom. Jiksaw Classroom
meningkatkan interaksi dan keharmonisan melalui kerjasama dan saling ketergantungan yang
merupakan syarat utama dalam mencapai tujuan. Melalui konsep jigsaw classroom semua
murid saling memperhatikan dan menghargai satu sama lain. Kunci keberhasilan dalam
menggunakan konsep jigsaw classroom adalah hasil dari adanay interpersonal positif yang
terjadi sehingga semua murid saling memahami dan percaya.
Di Indonesia tentunya perlu diterapkan bagaimana metode yang tepat diterakan untuk
mengurangi seterotip gender di bidang pendidikan. Sejauh ini upaya yang dilakukan untuk
mengurangi diskriminasi dalam bidang pendidikan adalah meningkakan kesmepatan melalui
pelayanan dan sarana. Namun banyak ditemui bahwa cara tersebut belum dapat menunjukan
adanya kesetaraan gender di bidang pendidikan. Menurut Fernández-Álvarez (2014) masalah
besar dan tantangan yang nyata adalah bagaimana memberantas stereotip tertentu dan
mempromosikan atau meningkatkan aspek gender untuk kesetaraan gender. Untuk
memberantas ketidaksetaraan tersebut tidak dapat dicapai secara otomatis dengan kondisi
stereotip yang masih melekat dan membudaya.
Hal yang penting untuk diperhatikan dalam kesetaraan gender khususnya di bidang
pendidikan adalah bagaimana merubah stereotip yang salah dan memberikan kepercayaan yang
sama terhadap perempuan maupun laki – laki. Dengan kondisi seperti ini tentunya pola
pendidikan yang salah sejauh ini dapat berkurang karena kepercayaan dan pemahaman yang
baik terhadap orang lain. Ketika kerpercayaan dan kerja sama timbul tanpa mengindahkan ras,

8
usia, maupun jenis kelamin maka untuk mencapai kesetaraan gender dapat berjalan dengan
baik.

5. Kesimpulan:
Permasalahan gender di Indonesia dalam bidang pendidikan merupakan hal yang sangat
kompleks dan penting diperhatikan karena berpengaruh terhadap kemajuan dan pembangunan
bangsa. Salah satu penyebab permasalahan ketidaksetaraan gender di bidang pendidikan adalah
stereotip masyarakat terkait suatu kelompok terhadap kelompok lainnya. Kasus yang terjadi di
Indonesia menunjukan bahwa stereotip mempengaruhi bagaimana pola pendidikan yang
terbentuk. Perempuan dan laki – laki dianggap memiliki kelebihan dan kelemahan terhadap
salah satu bidang yang hanya dapat dikuasai laki – laki atau perempuan saja. Stereotip seperti
ini mampu mampu menimbulkan diskriminasi dan perlakuan yang berbeda ketika laki – laki atau
perempuan mencoba untuk menguasai suatu ilmu pengetahuan dan pengalaman.
Pentingnya menyelesaikan permasalahan stereotip untuk mengurangi diskriminasi gender
adalah hal utama yang perlu diperhatikan. Berdasar informasi dalam pembahasan, terdapat
beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengurangi permasalahan gender akibat
kesalahan stereotip yaitu; (1) menciptakan kondisi saling keterganungan untuk mencapai suatu
tujuan yang sama, (2) menciptakan suatu tujuan bersama antar kelompok, (3) menciptakan
kesamaan status dan menghilangkan perbedaan dengan interaksi yang positif, (4) dengan
memahami satu sama lain melalui interaksi interpersonal, (5) menciptakan keakraban dan
kepercayaan satu sama lain, (6) menciptakan kebiasaan dan norma akan kesetaraan status dan
hubungan kepercayaan.
Berdasar pada informasi terkait permasalahan dikriminasi dan stereotip gender di bidang
pendidikan, ternyata stereotip masyarakat dapat mempengaruhi terjadinya diskriminasi gender.
Contohnya adalah stereotip masyarakat yang melekat pada seorang perempuan dapat
mempengaruhi kecenderungan dalam memilih bidang pendidikan yang dirasanya cocok sebagai
seorang perempuan. Stereotip ini dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan diri seorang
perempuan dalam menempuh pendidikan dan mencari pengalaman. Hal ini menunjukan bahwa
kekeliruan stereotip masyarakat dalam bidang pendidikan mampu mempengaruhi pola
pendidikan, mempengaruhi timbulnya diskriminasi gender, dan hingga pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap kepercayaan pemangku kekuasaan atau pengambil keputusan dalam
dunia kerja.

9
Daftar Pustaka:

ACDP Indonesia. (2013). Kesetaraan Gender dalam Pendidikan di Indonesia.


Efianingrum, A. (2008). Pendidikan dan Pemajuan Perempuan : Menuju Keadilan Gender*.
Fondasia.
Erna Tigayanti, M. S. S., Ratih Nurpratiwi. (2014). Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan
Gender (PUG) Bidang Pendidikan di Kota Malang (Studi Kasus SMA 8 Malang). Wacana,
17.
Fernández-Álvarez, Ó. (2014). The Gender Perspective in Managing Knowledge through Cross-
curricular Studies in Higher Education1. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 161,
269-274. doi: 10.1016/j.sbspro.2014.12.070
Muhardi. (2005). Kontribusi Pendidikan dalam Meningkatkan Kualitas Bangsa. 20, 478 - 479.
Mursidah. (2013). Pendidikan Berbasis Kesetaraan dan Keadilan Gender. Muwazah, 5.
Popa, O.-R., & Bucur, N.-F. (2014). Gender Discrimination and Education Practitioners. Reality,
Perception, Possible Solutions. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 127, 459-463.
doi: 10.1016/j.sbspro.2014.03.290
Purwanto, N. A. (2006). Kontribusi Pendidikan Bagi Pembangunan Ekonomi Negara. Manajemen
Pendidikan, 17.
Widyarini, N. (2012). Prasangka. Hand Out Psikologi Sosial II.
Zaduqisti, E. (2009). Stereotipe Peran Gender Bagi Pendidikan Anak. Muwazah, 1.

10

Anda mungkin juga menyukai