Anda di halaman 1dari 8

ASUHAN KEPERAWATAN FLU BURUNG

I. DEFINISI DAN ETIOLOGI


Penyakit flu burung atau flu unggas (Bird Flu, Avian influenza) adalah suatu penyakit
menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dan ditularkan oleh unggas. Penyakit
flu burung yang disebabkan oleh virus avian infuenza jenis H5N1. Flu Burung merupakan
penyakit yang berbahaya karena dapat membunuh seluruh ternak unggas di areal usaha
peternakan. Flu Burung merupakan penyakit yang berbahaya karena dapat menyebar
dengan cepat ke areal peternakan lain dan di seluruh tanah air. Flu Burung berbahaya
karena banyak jenis Flu Burung dapat menyebabkan manusia sakit dan meninggal. (FAO,
Buku Petunjuk bagi Paramedik Veteriner).
Penyebab flu burung adalah virus influenza tipe A. Virus influenza termasuk famili
Orthomyxoviridae. Virus influenza tipe A dapat berubah-ubah bentuk (Drift, Shift), dan
dapat menyebabkan epidemi dan pandemi. Virus influenza tipe A terdiri dari Hemaglutinin
(H) dan Neuramidase (N), kedua huruf ini digunakan sebagai identifikasi kode subtipe flu
burung yang banyak jenisnya. Pada manusia hanya terdapat jenis H1N1, H2N2, H3N3,
H5N1, H9N2, H1N2, H7N7. Sedangkan pada binatang H1-H5 dan N1-N9. Strain yang
sangat virulen/ganas dan menyebabkan flu burung adalah dari subtipe A H5N1. Virus
tersebut dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 220 C dan lebih dari 30 hari
pada 00 C. Virus akan mati pada pemanasan 600 C selama 30 menit atau 560 C selama 3
jam dan dengan detergent, desinfektan misalnya formalin, serta cairan yang mengandung
iodine.
II. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia pada bulan Januari 2004 di laporkan adanya kasus kematian ayam ternak
yang luar biasa (terutama di Bali, Botabek, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Barat
dan Jawa Barat). Awalnya kematian tersebut disebabkan oleh karena virus new castle,
namun konfirmasi terakhir oleh Departemen Pertanian disebabkan oleh virus flu burung
(Avian influenza (AI)). Jumlah unggas yang mati akibat wabah penyakit flu burung di 10
propinsi di Indonesia sangat besar yaitu 3.842.275 ekor (4,77%) dan yang paling tinggi
jumlah kematiannya adalah propinsi Jawa Barat (1.541.427 ekor). Berdasarkan data
KEMENKES RI, jumlah kasus Flu Burung di Indonesia sejak tahun 2005 sampai dengan
Juni 2010 adalah 166 kasus dengan 137 kematian.

III. PATOFISIOLOGI
Virus influenza merupakan virus RNA termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Asam
nukleat virus ini beruntai tunggal, terdiri dari 8 segmen gen yang mengkode sekitar 11 jenis
protein. Virus influenza mempunyai selubung/simpai yang terdiri dari kompleks protein
dan karbohidrat. Virus ini mempunyai tonjolan (spikes) yang digunakan untuk menempel
pada reseptor yang spesifik pada sel-sel hospesnya pada saat menginfeksi sel. Terdapat 2
jenis spikes yaitu yang mengandung hemaglutinin (HA) dan yang mengandung
neuraminidase (NA), yang terletak dibagian terluar dari virion. Virus influenza mempunyai
4 jenis antigen yang terdiri dari (i) protein nukleokapsid (NP) (ii). Hemaglutinin (HA), (iii).
Neuraminidase (NA), dan protein matriks (MP).
Berdasarkan jenis antigen NP dan MP, virus influenza digolongkan dalam virus influenza A,
B, dan C. Virus Influenza A sangat penting dalam bidang kesehatan karena sangat patogen
baik bagi manusia, dan binatang, yang menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang
tinggi, di seluruh dunia. Virus influenza A ini dapat menyebabkan pandemi karena
mudahnya mereka bermutasi, baik berupa antigenic drift ataupun antigenic shift sehingga
membentuk varian-varian baru yang lebih patotegen. Di dalam virus influenza tipe A dapat
terjadi perubahan besar pada komposisi antigeniknya yang disebut antigenic shift atau
terjadi perubahan kecil komposisi antigenik yang disebut antigenic drift. Perubahan –
perubahan inilah yang bisa menyebabkan epidemi atau bahkan pandemi. ). Virus influenza
B adalah jenis virus yang hanya menyerang manusia, sedangkan virus influenza C, jarang
ditemukan walaupun dapat menyebabkan infeksi pada manusia dan binatang. Jenis virus
influenza B dan C jarang sekali atau tidak menyebabkan wabah pandemis. Terdapat 15 jenis
subtipe HA dan 9 jenis subtipe NA. Dari berbagai penelitan seroprevalensi secara
epidemiologis menunjukkan bahwa beberapa subtipe virus influenza A telah menyebabkan
wabah pandemi antara lain H7N7 (1977), H3N2 (1968), H2N2 (1957), H1N1 (1918), H3N8
(1900), dan H2N2 (1889). Infeksi virus H5N1 dimulai ketika virus memasuki sel hospes
setelah terjadi penempelan spikes virion dengan reseptor spesifik yang ada di permukaan
sel hospesnya. Virion akan menyusup ke sitoplasma sel dan akan mengintegrasikan materi
genetiknya di dalam inti sel hospesnya, dan dengan menggunakan mesin genetik dari sel
hospesnya, virus dapat bereplikasi membentuk virion-virion baru, dan virion-virion ini
dapat menginfeksi kembali sel-sel disekitarnya. Dari beberapa hasil pemeriksaan terhadap
spesimen klinik yang diambil dari penderita ternyata avian influenza H5N1 dapat
bereplikasi di dalam sel nasofaring dan di dalam sel gastrointestinal .Virus H5N1 juga dapat
dideteksi di dalam darah, cairan serebrospinal, dan tinja pasien (WHO,2005). Fase
penempelan (attachment) adalah fase yang paling menentukan apakah virus bisa masuk
atau tidak ke dalam sel hospesnya untuk melanjutkan replikasinya. Virus influenza A
melalui spikes hemaglutinin (HA) akan berikatan dengan reseptor yang mengandung sialic
acid (SA) yang ada pada permukaan sel hospesnya.
Ada perbedaan penting antara molekul reseptor yang ada pada manusia dengan reseptor
yang ada pada unggas atau binatang. Pada virus flu burung, mereka dapat mengenali dan
terikat pada reseptor yang hanya terdapat pada jenis unggas yang terdiri dari
oligosakharida yang mengandung N-acethylneuraminic acid -2,3-galactose (SA -2,3- Gal),
dimana molekul ini berbeda dengan reseptor yang ada pada manusia. Reseptor yang ada
pada permukaan sel manusia adalah SA - 2,6-galactose (SA -2,6-Gal), sehingga secara
teoritis virus flu burung tidak bisa menginfeksi manusia karena perbedaan reseptor
spesifiknya. Namun demikian, dengan perubahan hanya 1 asam amino saja konfigurasi
reseptor tersebut dapat dirubah sehingga reseptor pada manusia dikenali oleh HPAI-H5N1.
Potensi virus H5N1 untuk melakukan mutasi inilah yang dikhawatirkan sehingga virus
dapat membuat varian-varian baru dari HPAI-H5N1 yang dapat menular antar manusia ke
manusia .
Flu burung dapat menular melalui udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari
kotoran unggas yang sakit. Penularan juga bisa terjadi melalui air minum dan pasokan
makanan yang telah terkontaminasi oleh kotoran yang terinfeksi flu burung. Di peternakan
unggas, penularan dapat terjadi secara mekanis melalui peralatan, kandang, pakaian
ataupun sepatu yang telah terpapar pada virus flu burung (H5N1) juga pekerja peternakan
itu sendiri. Jalur penularan antar unggas di peternakan, secara berurutan dari yang kurang
berisiko sampai yang paling berisiko adalah melalui pergerakan unggas yang terinfeksi
,kontak langsung selama perjalanan unggas ke tempat pemotongan ,lingkungan sekitar
(tetangga) dalam radius 1 km, kereta/lori yang ,digunakan untuk mengangkut makanan,
minuman unggas dan lain-lain ,kontak tidak langsung saat pertukaran pekerja dan alat-alat
. Penularan virus flu burung dari unggas ke manusia dapat terjadi ketika manusia kontak
dengan kotoran unggas yang terinfeksi flu burung, atau dengan permukaan atau benda-
benda yang terkontaminasi oleh kotoran unggas sakit yang mengandung virus H5N1. Orang
yang berisiko tinggi tertular flu burung adalah pekerja di peternakan ayam ,pemotong ayam
,orang yang kontak dengan unggas hidup yang sakit atau terinfeksi flu burung orang yang
menyentuh produk unggas yang terinfeksi flu burung ,populasi dalam radius 1 km dari
lokasi terjadinya kematian unggas akibat flu burung. Pada dasarnya sampai saat ini, H5N1
tidak mudah untuk menginfeksi manusia dan apabila seseorang terinfeksi, akan sulit virus
itu menulari orang lain. Pada kenyataannya, penularan manusia ke manusia, terbatas, tidak
efisien dan tidak berkelanjutan. (Radji, 2006)
Penyakit dimulai dari infeksi virus pada sel epitel saluran napas. Virus ini kemudian
bereplikasi sangat cepat hingga menyebabkan lisis sel epitel & terjadi deskuamasi lapisan
epitel saluran napas.Pada tahap infeksi awal, respons imun innate akan menghambat
replikasi virus. Apabila kemudian terjadi re-eksposure, respons imun adaptif yang bersifat
antigen spesific mengembangkan memori imunologis yang akan memberikan respons yang
lebih cepat. Replikasi virus akan merangsang pembentukan proinflammatory cytokine
termasuk IL-1, IL-6 dan TNF-Alfa yang kemudian masuk ke sirkulasi sistemik & pada
gilirannya menyebabkan gejala sistemik seperti demam, malaise, myalgia dll. Pada
umumnya influenza merupakan penyakit yang self limiting & virus terbatas pada saluran
napas. Pada keadaan tertentu seperti kondisi sistem imun yang menurun virus dapat lolos
masuk sirkulasi darah & ke organ tubuh lain. Bila strain/subtipe virus baru yang
menginfeksi maka situasi akan berbeda.Imunitas terhadap virus subtipe baru yang sama
sekali belum terbentuk dapat menyebabkan keadaan klinis yang lebih berat. Sistem
imunitas belum memiliki immunological memory terhadap virus baru. Apalagi bila virus
subtipe baru ini memiliki tingkat virulensi atau patogenisitas yang sangat tinggi seperti
virus H5N1. Tipe virus yang berbeda akan menyebabkan respons imun & gejala klinis yang
mungkin berbeda. Diketahui bahwa pada infeksi oleh virus influenza A H5N1 terjadi
pembentukan sitokin yang berlebihan (cytokine storm) untuk menekan replikasi virus,
tetapi justru hal ini yang menyebabkan kerusakan jaringan paru yang luas & berat. Terjadi
pneumonia virus berupa pneumonitis intertitial. Proses berlanjut dengan terjadinya
eksudasi & edema intraalveolar, mobilisasi sel sel radang dan juga eritrosit dari kapiler
sekitar, pembentukan membran hyalin dan juga fibroblast. Sel radang akan memproduksi
banyak sel mediator peradangan. Secara klinis keadaan ini dikenal dengan ARDS (Acute
Respiratory Distress Syndrome). Difusi oksigen terganggu, terjadi hipoksia/anoksia yang
dapat merusak organ lain. Proses ini biasanya terjadi secara cepat & penderita dapat
meninggal dalam waktu singkat karena proses yang ireversibel.(Emedicine,2009)

IV. KLASIFIKASI
Penderita Konfirm H5N1 dapat dibagi dalam 4 kategori sesuai beratnya penyakit (MOPH
Thailand, 2005)
Derajat I : Penderita tanpa Pneumonia
Derajat II : Penderita dengan Pneumonia Derajat Sedang dan tanpa Gagal Nafas
Derajat III : Penderita dengan Pneumonia Berat dan dengan Gagal Nafas
Derajat IV : Pasien dengan Pneumonia Berat dan Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS) atau dengan Multiple Organ Failure (MOF)

V. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala
A. Gejala pada unggas.
- Jengger berwarna biru
- Borok dikaki
- Kematian mendadak
B. Gejala pada manusia.
- Demam (suhu badan diatas 38o C)
- Batuk dan nyeri tenggorokan
- Radang saluran pernapasan atas
- Pneumonia
- Infeksi mata
- Nyeri otot
manifestasi klinis avian influenza pada manusia terutama terjadi di system respiratorik
mulai dari yang ringan sampai yang berat. Manifestasi klinis avian influenza secara umum
sam dengan gejala ILI (influenza like illness), yaitu batuk, pilek, dan demam. Gejala lain
berupa sefalgia, nyeri tenggorokan, mialgia, dan malaise.
Adapun keluhan gastrointestinal berupa diare dan keluhan lain berupa konjungtivitis.
Spektrum klinis bisa sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik, flu ringan hingga berat,
pneumonia, dan banyak yang berakhir dengan ARDS (acute respiratory distress syndrome).
kelainan laboratorium hematologi yang hampir selalu dijumpai adalah lekopenia,
limfopenia dan trombositopenia. Kelainan foto thoraks bisa berupa infiltrate bilateral luas
infiltrate difus, multilokal atau tersebar (Pathcy) atau terdapat kolaps lobar.

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium
Setiap pasien yang datang dengan gejala klinis seperti di atas dianjurkan untuk sesegera
mungkin dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan darah rutin (Hb,
Leukosit, Trombosit, Hitung Jenis Leukosit), spesimen serum, aspirasi nasofaringeal.
Diagnosis flu burung dibuktikan dengan :
• Uji RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction) untuk H5.
• Biakan dan identifikasi virus Influenza A subtipe H5N1.
• Uji Serologi :
1. Peningkatan >4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari spesimen konvalesen
dibandingkan dengan spesimen akut ( diambil <7 hari setelah awitan gejala penyakit), dan
titer antibodi netralisasi konvalesen harus pula >1/80.
2. Titer antibodi mikronetralisasi H5N1 >1/80 pada spesimen serum yang diambil pada hari
ke >14 setelah awitan (onset penyakit) disertai hasil positif uji serologi lain, misalnya titer
HI sel darah merah kuda >1/160 atau western blot spesifik H5 positif.
3. Uji penapisan
• Rapid test untuk mendeteksi Influensa A.
• ELISA untuk mendeteksi H5N1.
2. Pemeriksaan Hematologi
Hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit, limfosit total. Umumnya ditemukan
leukopeni, limfositopeni dan trombositopeni.
3. Pemeriksaan Kimia darah
Albumin, Globulin, SGOT, SGPT, Ureum, Kreatinin, Kreatin Kinase, Analisis Gas Darah.
Umumnya dijumpai penurunan albumin, peningkatan SGOT dan SGPT, peningkatan
ureum dan kreatinin, peningkatan Kreatin Kinase, Analisis Gas Darah dapat normal atau
abnormal. Kelainan laboratorium sesuai dengan perjalanan penyakit dan komplikasi yang
ditemukan.

4. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan foto toraks PA dan Lateral harus dilakukan pada setiap tersangka flu burung.
Gambaran infiltrat di paru menunjukkan bahwa kasus ini adalah pneumonia. Pemeriksaan
lain yang dianjurkan adalah pemeriksaan CT Scan untuk kasus dengan gejala klinik flu
burung tetapi hasil foto toraks normal sebagai langkah diagnostik dini.
5. Pemeriksaan Post Mortem
Pada pasien yang meninggal sebelum diagnosis flu burung tertegakkan, dianjurkan untuk
mengambil sediaan postmortem dengan jalan biopsi pada mayat (necropsi), specimen
dikirim untuk pemeriksaan patologi anatomi dan PCR.

VII. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan avian influenza adalah istirahat, peningkataan daya tahan tubuh,
pengobatan antiviral, pengobatan antibiotic, perawatan respirasi, anti inflamasi,
imunomodulators.
Untuk penatalaksanaan umum dapat dilakukan pelayanan di fasilitas kesehatan non
rujukan dan di rumah sakit rujukan flu burung.
1. Untuk pelayanan di fasilitas kesehatan non rujukan flu burung diantaranya adalah :
• Pasien suspek flu burung langsung diberikan Oseltamivir 2 x 75 mg (jika anak, sesuai
dengan berat badan) lalu dirujuk ke RS rujukan flu burung.
• Untuk puskesmas yang terpencil pasien diberi pengobatan oseltamivir sesuai skoring di
bawah ini, sementara pada puskesmas yang tidak terpencil pasien langsung dirujuk ke RS
rujukan. Kriteria pemberian oseltamivir dengan sistem skoring, dimodifikasi dari hasil
pertemuan workshop “Case Management” & pengembangan laboratorium regional Avian
Influenza, Bandung 20 – 23 April 2006

Skor
Gejala 1 2
Demam < 380C > 380C
RR N > N
Ronki Tidak ada Ada
Leukopenia Tidak ada Ada
Kontak Tidak ada Ada
Jumlah

Skor :
6 – 7 = evaluasi ketat, apabila meningkat (>7) diberikan oseltamivir
> 7 = diberi oseltamivir.

Batasan Frekuensi Napas :


< 2bl = > 60x/menit
2bl - <12 bl = > 50x/menit
>1 th - <5 th = > 40x/menit
5 th - 12 th = > 30x/menit
>13 = > 20x/menit

Pada fasilitas yang tidak ada pemeriksaan leukosit maka pasien dianggap sebagai leukopeni
(skor = 2)

2. Pelayanan di Rumah Sakit Rujukan


Pasien Suspek H5N1, probabel, dan konfirmasi dirawat di ruang isolasi.
• Petugas triase memakai APD, kemudian segera mengirim pasien ke ruang pemeriksaan.
• Petugas yang masuk ke ruang pemeriksaan tetap mengunakan APD dan melakukan
kewaspadaan standar.
• Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik.
• Setelah pemeriksaan awal, pemeriksaan rutin (hematologi dan kimia) diulang setiap hari
sedangkan HI diulang pada hari kelima dan pada waktu pasien pulang.
• Pemeriksaan PCR dilakukan pada hari pertama, kedua, dan ketiga perawatan.
• Pemeriksaan serologi dilakukan pada hari pertama dan diulang setiap lima hari.
• Penatalaksanaan di ruang rawat inap
Klinis
1. Perhatikan :
- Keadaan umum
- Kesadaran
- Tanda vital (tekanan darah, nadi, frekuensi napas, suhu).
- Bila fasilitas tersedia, pantau saturasi oksigen dengan alat pulse oxymetry.
2. Terapi suportif : terapi oksigen, terapi cairan, dll.

Mengenai antiviral maka antiviral sebaiknya diberikan pada awal infeksi yakni pada 48 jam
pertama. Adapun pilihan obat :
1. Penghambat M2 : a. Amantadin (symadine), b. Rimantidin (flu madine). Dengan dosis
2x/hari 100 mg atau 5 mg/kgBB selama 3-5 hari.
2. Penghambatan neuramidase (WHO) : a. Zanamivir (relenza), b. Oseltamivir (tami flu).
Dengan dosis 2x75 mg selama 1 minggu.
Departemen Kesehatan RI dalam pedomannya memberikan petunjuk sebagai berikut :
• Pada kasus suspek flu burung diberikan Oseltamivir 2x75 mg 5 hari, simptomatik dan
antibiotik jika ada indikasi.
• Pada kasus probable flu burung diberikan Oseltamivir 2x75 mg selama 5 hari, antibiotic
spectrum luas yang mencakup kuman tipik dan atipikal, dan steroid jika perlu seperti pada
kasus pneumonia berat, ARDS. Respiratory care di ICU sesuai indikasi.

Sebagai profilaksis, bagi mereka yang beresiko tinggi, digunakan Oseltamivir dengan dosis
75 mg sekali sehari selama lebih dari 7 hari (hingga 6 minggu).

VIII. PENCEGAHAN
Pengendalian adalah aspek yang sangat penting dalam pencegahan transmisi walaupun
belum ada bukti sahih adanya penularan dari manusia ke manusia yang berkelanjutan.
Pencegahan transmisi dilakukan dengan melakukan perawatan isolasi dan perawatan
pengendalian infeksi secara ketat menggunakan alat perlindungan personal dan metode
kewaspadaan isolasi yang baik. Selain kewaspadaan standar (cuci tangan, sarung tangan,
penggunaan bahan dekontaminan/desinfektan) perlu dilakukan pula kewaspadaan
berdasar transmisi sesuai cara penularan (kontak, droplet & airborne). Penanganan limbah
juga bagian yang sangat penting untuk pencegahan penularan. Adapun pencegahannya baik
pada hewan ataupun pada manuasia :

a. Pada Unggas
1. Pemusnahan unggas/burung yang terinfeksi flu burung
2. Vaksinasi pada unggas yang sehat
b. Pada Manusia :
1. Kelompok berisiko tinggi ( pekerja peternakan dan pedagang)
a. Mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi sehabis bekerja.
b. Hindari kontak langsung dengan ayam atau unggas yang terinsfeksi flu burung.
c. Menggunakan alat pelindung diri. (contoh : masker dan pakaian kerja).
d. Meninggalkan pakaian kerja ditempat kerja.
e. Membersihkan kotoran unggas setiap hari.
2. Masyarakat umum
a. Menjaga daya tahan tubuh dengan memakan makanan bergizi & istirahat cukup.
b. Mengolah unggas dengan cara yang benar, yaitu :
- Pilih unggas yang sehat (tidak terdapat gejala-gejala penyakit pada tubuhnya)
- Memasak daging ayam sampai dengan suhu ± 800C selama 1 menit dan pada telur sampai
dengan suhu ± 640C selama 4,5 menit.

IX. PENGKAJIAN

1. Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, alamat, pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin dan penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Data yang mungkin ditemukan demam (suhu> 37oC), sesak napas, sakit tenggorokan,
batuk, pilek, diare
3. Riwayat kesehatan masa lalu
Apakah ada riwayat sakit paru-paru atau tidak.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama.
5. Riwayat perjalanan
Dalam waktu 7 hari sebelumnya apakah melakukan kunjungan ke daerah atau bertempat
tinggal di wilayah yang terjangkit flu burung, mengkonsumsi unggas sakit, kontak dengan
unggas / orang yang positif flu burung.
6. Kondisi lingkungan rumah
Dekat dengan pemeliharaan unggas dan memelihara unggas.
7. Pola fungsi keperawatan
• Aktivitas istirahat: lelah, tidak bertenaga.
• Sirkulasi: sirkulasi O2 < 95%, sianosis, • Eliminasi: diare, bising usus hiperaktif,
karakteristik feces encer, defekasi > 3x/hari.
• Nyeri atau ketidaknyamanan: nyeri otot, sakit pada mata, konjungtivitis.
• Respirasi: sesak napas, ronchi, penggunaan otot bantu napas, takipnea, RR > 20x/menit,
batuk berdahak.
• Kulit: tidak terjadi infeksi pada sistem integument.
• Psikososial: gelisah, cemas.

X. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas ditandai
dengan dispnea, saat diaskultasi terdengar ronci, klien mengeluh batuk berdahak.
2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit ditandai dengan peningkatan suhu
tubuh 37,50C, akral teraba panas, takipnea.
3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan takipnea,
kilen tampak menggunakan otot bantu pernafasan ,RR> 20 x /menit.
4. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler alveolar
ditandai dengan dispnea, pemeriksaaan AGD abnormal, saturasi oksigen <95%. 5. Diare
berhubungan dengan proses infeksi ditandai dengan bising usus hiperaktif, karakteristik
feces encer, defekasi > 3kali perhari.
6. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis ditandai dengan klien mengeluh
nyeri otot(myalgia), takipnea.
7. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan iritasi virus ditandai dengan
konjungtivitis, klien mengeluh sakit mata.
8. Resiko cedera berhubungan dengan fungsi regulatori terganggu
9. Kelelahan berhubungan dengan stadium penyakit ditandai dengan klien tampak lelah,
klien tampak tidak bertenaga.
10. Ansietas berhubungan dengan terpapar lingkungan ditandai dengan pasien tampak
gelisah dan tampak cemas
11. PK infeksi

DAFTAR PUSTAKA

Emedicine.2009. http://id.shvoong.com/medicine-and-health/2004014-manajemen-
klinis-kasus-flu-burung/#ixzz1RzrYHgri. I diakses pada 13 Juli 2011
Ester, Monica. 2011. NANDA internasional Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi
2009-2011. Jakarta : EGC
Depkes, Litbang. 2008. Flu Burung.
www.litbang.depkes.go.id/maskes/072005/flu_burung.pdf diakses : 13 juli 2011
Radji ,Maksum . 2006. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III, No.2, Agustus 2006, 55 – 65.
Jakarta: UI
Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi V.Jakarta : Interna
Publishing
WWW.CDC.COM (diakses pada tanggal : 13 juli 2011)

Anda mungkin juga menyukai