Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan
pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan
medis yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan
pasien yang membutuhkan penyembuhan. Dalam hubungan antara dokter dan
pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya masing-masing pihak mempunyai
hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis yang
sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan media ini dapat berupa penegakan diagnosis
dengan benar sesuai prosedur, pemberian terapi, melakukan tindakan medik sesuai
standar pelayanan medik, serta memberikan tindakan wajar yang memang
diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya maksimal yang dilakukan
dokter ini adalah bertujuan agar pasien tersebut dapat memperoleh hak yang
diharapkannya dari transaksi yaitu kesembuhan ataupun pemulihan kesehatannya.
Dalam pelayanan kesehatan terutama di rumah sakit, sering timbul
pelanggaran etik, penyebabnya tidak lain karena tidak jelasnya hubungan kerja
antara dokter dengan rumah sakit. Tidak ada suatu kontrak atau perjanjian kerja
yang jelas yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Sementara iu,
perkembangan teknologi kesehatan juga mempengaruhi terjadinya pelanggaran etik,
karena pemilihan teknologi kesehatan yang tidak di dahului dengan pengkajian
teknologi dan pengkajian ekonomi, akan memunculkan tindakan yang tidak etis
dengan membebankan biaya yang tidak wajar kepada pasien. Tindakan
penyalahgunaan teknologi dalam pelayanan kesehatan, dilakukan oleh dokter baik
pada saat berlangsungnya diagnosa maupun pada waktu berlangsungnya terapi
dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien. Misalnya, pasien yang seharusnya
tidak perlu diperiksa dengan alat atau teknologi kesehatan tertentu, namun karena
alatnya tersedia, pasien dipaksa menggunakan alat tersebut dalam pemeriksaan atau
pengobatan, sehingga pasien harus membayar lebih mahal pasien. Menyadari hal
tersebut, pengawasan terhadap kemungkinan pelanggaran etik perlu ditingkatan,
untuk itu dalam makalah ini akan di angkat kasus mengenai operasi cesar dengan
menggunakan silet. Tepat pukul 10.00 wib pasien tersebut di bawah ke ruang
operasi lalu di bius dan bersiap-siap menjalani operasi, saat hendak melakukan
1
pembedahan staf ruang operasi tidak menemukan pisau bedah lalu segera meminta
pada keluarga pasien untuk mencari pisau bedah di apotik RSUD namun apotik
tersebut kehabisan stok pisau bedah karena pasien sudah terlanjur di bius, dokter
yang bertanggung jawab atas operasi tersebut langsung segera mengambil langkah
darurat dengan mnggunakan pisau silet yang biasanya di gunakan untuk mencukur
bulu pasien operasi. Si pasien tersebut yang hanya di bius setengah badan juga
mengetahui proses pembedahan tersebut dan nampaknya tidak keberatan atas
langkah yang di ambil dokter tersebut. Operasi akhirnya berjalan dengan lancar, ibu
dan anaknya pun selamat meski dengan pembedahan yang tidak umum.
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, di tegaskan bahwa seorang dokter
harus senantiasa mengingat kewajibannya melindungi hidup makhluk insani,
mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita.
Jika ia tidak mampu melakukan statu pemeriksaan atau pengobatan, ia wajib
merujuk penderita lepada dokter lain yang mempunyai keahlian dalam menangani
penyakit tersebut.
Seorang dokter tidak dapat dianggap bertanggung jawab atas status
kegagalan untuk menyembuhkan pasien, CACAT atau meninggal, bilamana dokter
telah melakukan segala upaya sesuai dengan keahlian dan kemampuan
profesionalnya.
Bertolak dari hal tersebut diatas, dapat dibedakan antara apa yang dimaksud
sebagai upaya yang baik dengan tindakan yang tidak bertanggung jawab, lalai atau
ceroboh. Artinya apabila seorang dokter telah melakukan segala upaya,
kemampuan, keahlian, dan pengalamannya untuk merawat pasien atau penderita,
dokter tersebut dianggap telah berbuat upaya yang baik dan telah melakukan
tugasnya sesuai dengan etik kedokteran. Sebaliknya, jika seorang dokter tidak
memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau tidak meninggalkan hal-hal yang
seharusnya ditinggalkan oleh sesama dokter lain, pada umumnya di dalam situasi
yang sama, dokter yang bersangkutan dapat dikatakan telah melanggar standar
profesi kedokteran. Menurut Koeswadji (1992 : 104), standar profesi adalah nilai
atau itikad baik dokter yang didasari oleh etika profesinya, bertolak dari suatu tolak
ukur yang disepakati bersama oleh kalangan pendukung profesi. Wewenang untuk
menentukan hal-hal yang dapat dilakukan dan yang tidak dapat dilakukan dalam
status kegiatan profesi, merupakan tanggung jawab profesi itu sendiri. Seorang
dokter dalam menjalankan tugasnya mempunyai alasan yang mulia, yaitu berusaha
2
untuk menyehatkan tubuh pasien, atau setidak-tidaknya berbuat untuk mengurangi
penderitaan pasien.
Oleh karenanya dengan alasan yang demikian wajarlah apabila apa yang
dilakukan oleh dokter itu layak untuk mendapatkan perlindungan hukum sampai
batas-batas tertentu.
Sampai batas mana perbuatan dokter itu dapat dilindungi oleh hukum, inilah
yang menjadi permasalahan. Mengetahui batas tindakan yang diperbolehkan
menurut hukum, merupakan hal yang sangat penting, baik bagi dokter itu sendiri
maupun bagi pasien dan para aparat penegak hukum. Malpraktik etik adalah
tindakan dokter yang bertentangan dengan etika kedokteran, sebagaimana yang
diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia yang merupakan seperangkat standar
etika, prinsip, aturan, norma yang berlaku untuk dokter. Yang dimaksud dengan
malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika
kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan di dalam KODEKI
merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk
dokter.
Ngesti Lestari berpendapat bahwa malpraktek etik ini merupakan dampak
negative dari kemajuan teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang
sebenarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien,
dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih
cepat, lebih tepat dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat,
ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kajian perspektif standar operasional dalam sebuah operasi?
2. Siapa yang bertanggung jawab dalam kasus ini?
3. Apakah melanggar kode etik, pidana, perdata atau administratif?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kajian Perspektif Standar Operasional Dalam Sebuah Operasi


Untuk kasus yang penulis angkat sebenarnya telah menyalahi standar
operasional prosedur operasi, karena menggunakan alat yang tidak biasa digunakan
pada saat operasi umumnya, walaupun sebenarnya bahan dari alat yang di pakai
tersebut sama dengan pisau bedah yang biasa di gunakan, namun peruntukannya
memiliki beberapa perbedaan dimana silet tersebut seharusnya di gunakan untuk
mencukur bulu pasien pada saat operasi sementara pisau bedah di gunakan untuk
melakukan pembedahan. Dalam kasus ini ketua IDI (ikatan dokter Indonesia)
berkata bahwa silet steril itu dibenarkan dan tidak menjadi masalah selama silet
tersebut betul-betul steril. Jadi sebenarnya walaupun menyalahi standar operasional
prosedur operasi penggunaan silet steril itu tidak menjadi masalah bagi dokter
karena juga di desak dengan keadaan emergency atau darurat dari si pasien.
Seharusnya yang sesuai dengan standar operasional prosedur sebelum operasi
dimulai semua perlengakapan untuk pembedahan telah siap di ruang operasi
sehingga pada saat dokter masuk.

B. Pertanggung Jawaban Atas Kasus


Mengenai pertanggung jawaban atas kasus operasi cesar menggunakan silet
ada beberapa penjelasan mengenai tindakan pelayanan medis sebelum menentukan
siapa yang berhak untuk bertanggung jawab atas permasalahan ini, simaklah
penjelasan berikut ini.
Secara umum yang di maksud dengan pelayanan kesehatan adalah setiap
pelayanan atau program yang di tujukan pada perorangan atau masyarakat dan di
laksanakan secara perseorangan atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi
dengan tujuan untuk memelihara atau meningkatkan derajat kesehatan yang di
punyai “(Azwar.1996)
Sistem pelayan kesehatan melalui rumah sakit adalah tatanan daripada
tingkat pelayanan rumah sakit yang disusun menurut pola rujukan timbal antara
masyarakat, puskesmas, Rumah Sakit, dan sarana kesehatan lainnya sehingga
tercapai pelayanan yang bermutu, berdaya guna, dan berhasil guna.

4
Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 tahun 1989 tentang persetujuan
tindakan medic persetujuan tindakan medic digunakan ketika terjadi hubungan
professional antar dokter dengan pasiennya, dengan persetujuan tindakan medic
antara dokter dan pasien terjadi suatu perjanjian yang melahirkan hak dan
kewajiban bagi para pihak. Perkjanjian antara dokter dan pasien dalam persetujuan
tindakan medic adalah perjanjian daya upaya/usaha yang maksimal (inspanning
verbitennis).
Dari perjanjian ini dokter harus berusaha denga segala ikhtiar dan usahanya,
mengerahkan segenap kemampuannya, keterampilannya, ilmu pengetahuannya
untuk menyembuhkan pasien. Dokter harus memberikan perawatan dengan berhati-
hati dan penuh perhatian sesuai dengan standar pelayanan medic, sebab
penyimpangan dari standar berarti pelanggaran perjanjian.
Makna dari perjanjian ini adalah bahwa dokter harus mengambil alternatif
untuk menunjuk dokter dan atau sarana kesehatan lainnya mana kala ia merasa tidak
mampu untuk melanjutkan upaya pengobatan dan perawatan pasien tersebut.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/MENKES/Per/IX/1989 tentang
persetujuan tindakan medis Pasal 1 menyebutkan persetujuan tindakan medis adalah
persetujuan yang di berikan oleh pihak pasien dan keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medic yang di lakukan terhadap pasien tersebut.
Pada permulaan abad ke XX mulai terjadi perubahan bahwa rumah sakit
dapat di mintai tanggung jawab hukum menurut doktrin ”repondeat superior”
dalam arti rumah sakit bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh
petugas kesehatan bawahannya baik sebagai status tetap maupun tidak, kecuali bagi
mereka yang menjalankan tugas profesi sebagai tamu visitor yang sekarang banyak
di selenggarakan di rumah sakit (poernomo, 2000:150).
Dengan perkembangan ilmu kesehatan secara pesat, rumah sakit pun tidak
dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pekerjaan yang di lakukan oleh
bawahannya, doktrin charitable community dalam bidang hukum tidak dapat di
pergunakan lagi terhadap tanggung jawab hukum rumah sakit.
Rumah sakit secara institusional bertanggung jawab terhadap segala
konsekuensi yang timbul berkenaan dengan penyelenggaraan terhadap
keewajibannya dalam melaksanakan pelayanan kesehatan, merupakan suatu
kewajiban rumah sakit untuk tersedianya dan kesiapan tenaga kesehatan,
tersedianya sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan serta siap pakai. Selain itu
5
rumah sakit bertanggung jawab atas pemeliharaan segala sarana dan fasilitas
pelayanan kesehatan. Dalam hal ini tanggung jawab rumah sakit dapat di dasarkan
pada (Millee,1996:326:327) :
1. Pelanggaran kewajiban oleh tenaga kesehatan
2. Pelanggaran kewajiban rumah sakit
Rumah sakit bertanggung jawab untuk melengakpi segala peralatan yang di
perlukan untuk penegakkan diagnosis dan terapi terhadap pasien.
Dengan demikian pelanggaran kewajiban oleh tenaga kesehatan akan
melahirkan tanggung jawab tenaga kesehatan, sedangkan pelanggaran kewajiban
rumah sakit akan melahirkan tanggung jawab rumah sakit dalam penyediaan sarana
dan fasilitas atas dasar ini maka tanggung jawab hukum dalam pelayanan kesehatan
pada asasnya di bebankan kepada tenaga kesehatan dan kepada rumah sakit.
Tanggung jawab dokter apabila yang menjalankan tugasnya di rumah sakit
pemerintah, maka pemerintah (dalam hal ini sebagai atasannya ikut bertanggung
jawab). Pertanggung jawaban atas perbuatan dokter menurut dalmy iskandar (1998)
di dasarkan pada pertimbangan bahwa dokter tersebut bekerja untuk dan atas nama
rumah sakit yang bersangkutan, serta dalam melaksanakan pekerjaannya, terikat
pada peraturan kerja yang ada pada rumah sakit tersebut.
Freidon, mechanic, dan Cockerham dalam benyamin lomenta 1987 (melihat
pelaksanaan kesehatan tidak terlepas dari tiga komponen utama dari system
pelayanan kesehatan yaitu ketenagakerjaan yang meliputi tenaga kesehatan (dokter,
perawat, bidan, dll), fasilitas yang meliputi semua lokasi fisik yang melayani pasien
atau penunjang pelayanan pasien seperti apotik, dan laboratorium. Fasilitas utama
ialah Rumah Sakit termasuk semua perangkatnya seperti laboratorium, ruangan
pendidikan, dsb.
Komponen tiga adalah teknologi meliputi setiap perangkat pelaksanaan yang
penting bagi penegakan masalah kesehatan, penanganannya, bahkan
pencegahannya.

C. Tanggung Jawab Hukum Dokter Terhadap Pasien


Dokter sebagai tenaga professional bertanggung jawab dalam setiap
tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien. Dalam menjalankan tugas
profesionalnya didasarkan pada niat baik yaitu berupaya dengan sungguh-sungguh

6
berdasarkan pengetahuannya yang dilandasi dengan sumpah dokter, kode etik
kedokteran dan standar profesinya untuk menyembuhkan atau menolong pasien.
Dokter tidak bisa dituntut bila:
1. Berusaha mengobati pasiennya secara sungguh-sungguh
2. Tidak menelantarkan pasien
3. Meringankan penderitaan pasien
4. Bekerja secara tulus ikhlas
5. Menggunakan ilmudan keterampilan secara maksimal
6. Berusaha menyelamatkan pasien
7. Walaupun pasiennya cacat atau meninggal dunia.
Jadi, dari penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa yang berhak
bertanggung jawab sepenuhnya adalah pihak rumah sakit itu sendiri, karena tidak
menyediakan fasilitas peralatan pada saat operasi akan di laksanakan, dimana pada
bagian penyiapan alat-alat rumah sakit yang bertanggung jawab adalah bagian
pengadaan alat-alat rumah sakit, sebab seperti yang kita ketahui bahwa dalam setiap
rumah sakit sudah ada alokasi dana di tiap-tiap substansi. Dan bukan hanya rumah
sakit saja Dokter pun seharusnya membenah diri jika operasi akan dilaksanakan,
dokter harus ikut melakukan pengecekan alat-alat sebelum operasi dilaksanakan
agar tidak terjadi lagi hal-hal yang beresiko pada pasien dan semua berjalan dengan
standar operasional prosedur medik. Walaupun demikian tindakan yang dilakukan
dokter telah memiliki persetujuan medic dimana pembedahan ini di ketahui oleh
pasien beserta keluarganya dan menyetujui untuk melakukan pembedahan dengan
menggunakan silet.

D. Hukum Pidana, Perdata, Administratif atau Kode Etik


Dalam kasus “operasi dengan menggunakan silet” merupakan kasus yang
berhubungan dengan pihak rumah sakit, dimana kasus ini merupakan kasus
Malpraktek Etik. Dokter tidak dapat di kenai hukum karena dokter tersebut sudah
melakukan tugasnya dengan baik yaitu melindungi pasien dari penderitaan, serta
menyelamatkan nyawa pasien. Pokok permasalahannya hanya karena peralatan
(pisau bedah ) tidak terdapat dalam ruangan operasi tersebut si dokter menggunakan
alat seadanya yaitu “silet steril” untuk menyelamatkan nyawa si pasien tersebut,
dengan beberapa pertimbangan yaitu pasiennya sudah terlanjur di bius jadi harus
segera di lakukan tindakan emergency oleh dokter tersebut. Sebenarnya kasus ini
7
merupakan pelanggaran etik karena si dokter hanya berusaha membantu
menyelamatkan pasien tersebut sehingga tidak ada pilihan lain lagi untuk
membedah pasien tersebut dengan menggunakan silet, yang sebenarnya juga
mempunyai resiko medic bagi pasien.
Untuk sanksi yang di berikan, semua telah di atur dalam sebuah lembaga
disiplin profesi MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) sebagai lembaga
independen yang memiliki suatu Kewenangan Khusus dalam mengukur telah terjadi
tindak pelanggaran terhadap kode etik kedokteran ataukah tidak dan pemerintah
melalui amanat Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 khususnya pasal 55
membentuk sebuah lembaga disiplin profesi, bernama Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang berfungsi untuk menegakkan disiplin bagi
dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran.
Adapun sanksi yang diberikan MKEK kepada dokter yang melanggar
disusun secara bertahap seperti berikut:
1. Penasehatan.
2. Peringatan.
3. Pembinaan (pendidikan perilaku etis).
4. Reschoolling (untuk pelanggar berat).
Dalam kasus seperti ini yang bertanggung jawab adalah pihak rumah sakit
karena tidak menyediakan fasilitas untuk pelayanan kesehatan dalam hal ini adalah
peralatan untuk operasi yang memadai sehingga menyebabkan bawahannya (dokter)
melakukan tindakan yang beresiko untuk menindaklanjuti operasi tersebut. Disini
sudah sangat jelas bahwa mutu pelayanan kesehatan rumah sakit tersebut masih
belum baik di lihat dari segi fasilitas pelayanan kesehatannya yang kurang, serta
akan berdampak negative bagi citra rumah sakit walaupun si pasien berhasil
melakukan operasi cesar tersebut. Jadi, harus ada introspeksi diri bagi rumah sakit
dan dokter untuk membangun mutu pelayanan kesehatan yang bergengsi dan
diacungi jempol sebagai sistem dan subsistem pelayan kesehatan bagi masyarakat.
Seperti pada pernyataan ini Dokter tidak bisa dituntut bila:
1. Berusaha mengobati pasiennya secara sungguh-sungguh
2. Tidak menelantarkan pasien
3. Meringankan penderitaan pasien
4. Bekerja secara tulus ikhlas
5. Menggunakan ilmu dan keterampilan secara maksimal
8
6. Berusaha menyelamatkan pasien
7. Walaupun pasiennya cacat atau meninggal dunia

E. Tanggung Jawab Hukum Dokter Terhadap Pasien


Dokter sebagai tenaga professional bertanggung jawab dalam setiap
tindakan medis yang dilakukan terhadap pasaien. Dalam menjalankan tugas
profesionalnya didasarkan pada niat baik yaitu berupaya dengan sungguh-sungguh
berdasarkan pengetahuannya yang dilandasi dengan sumpah dokter, kode etik
kedokteran dan standar profesinya untuk menyembuhkan atau menolong pasien.
Kelalaian implikasinya dapat dilihat dari segi etik dan hukum, bila
penyelesaiannya dari segi etik maka penyelesaiannya diserahkan dan ditangani oleh
profesinya sendiri dalam hal ini dewan kode etik profesi yang ada diorganisasi
profesi, dan bila penyelesaian dari segi hukum maka harus dilihat apakah hal ini
sebagai bentuk pelanggaran pidana atau perdata atau keduannya dan ini
membutuhkan pakar dalam bidang hukum atau pihak yang berkompeten dibidang
hukum.
Dari penjelasan di atas bahwa dalam kasus yang penulis angkat adalah kasus
yang masuk dalam malpraktek etik. Dimana untuk penanganan atau pemberian
sanksi akan di tangani oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI) yang berfungsi untuk menegakkan disiplin bagi dokter dan dokter gigi
dalam menjalankan praktik kedokteran.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Standar pelayanan medis ini merupakan hukum yang mengikat para pihak
yang berprofesi di bidang kesehatan, yaitu untuk mengatur pelayanan kesehatan dan
mencegah terjadinya kelalaian staff medis dalam melakukan tindakan medis. Dalam
kaitannya dengan profesi dokter di perlukan estándar pelayanan medis yang
mencakup : standar ketenangan, standar prosedur, standar sarana, dan standar hasil
yang di harapkan.
Untuk standar pelayanan medis baiknya ada persiapan lebih dulu sebelum
memulai tindakan operasi agar tindakan pembedahannya berjalan dengan lancar
sesuai dengan standar operasional prosedur medic. Untuk pertanggung jawaban
kasus ini lebih menitik beratkan pada pihak rumah sakit sebagai penyedia sarana
kesehatan yang kurang maksimal dimana fasilitas pelayanan rumah sakit tersebut
masih di bawah standar di lihat dari segi kualitas mutu pelayanan kesehatan.

B. Saran
1. Pemahaman dan bekerja dengan kehati-hatian, kecermatan, menghindarkan
bekerja dengan ceroboh, adalah cara terbaik dalam melakukan praktek
kedokteran sehingga dapat terhindar dari kelalaian/malpraktek.
2. Standar profesi kedokteran dan standar kompetensi rumah sakit merupakan hal
penting untuk menghindarkan terjadinya kelalaian, maka perlunya
pemberlakuan standar praktek kedokteran Nasional dan terlegalisasi dengan
jelas.
3. Rumah Sakit sebagai institusi pengelola layanan praktek kedokteran dan tenaga
kesehatan harus memperjelas kedudukannya dan hubungannya dengan
pelaku/pemberi pelayanan keperawatan, sehingga dapat diperjelas bentuk
tanggung jawab dari masing-masing pihak.
4. Baiknya sebelum melakukan kegiatan pembedahan, jangan lupa untuk
mengecek alat-alat di dalam ruangan operasi.

10
DAFTAR PUSTAKA

Azwar, A, 1996. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Penerbit Mutiara Sumber


Widya, Jakarta.

Koeswadji, Hermein Hadiati. Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum


Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1992.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Permenkes Republik Indonesia


No.585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik. Jakarta:
Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 1989.

Miller, N.D., 1996, Antioxidant flavonoid structural usage alternative medical Review I
(2), 103-111.

Purnomo. 2000. Dasar-dasar Urologi. Jakarta : CV Sagung Seto.

11
12

Anda mungkin juga menyukai