Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala klinis akibat kelainan struktural
ataupun fungsional jantung yang menyebabkan gangguan kemampuan pengisian ventrikel
dan ejeksi darah ke seluruh tubuh.Manifestasi yang khas pada gagal jantung kongestif ialah
dispnea, fatigue dan retensi cairan yang menyebabkan edema paru dan edema perifer (AHA,
2001).
Diperkirakan 1-2% dari populasi dunia menderita penyakit gagal jantung kongestif
dengan prevalensi yang terus meningkat.Sekitar 5-10 orang diprediksi menderita gagal
jantung kongestif dari 1000 penduduk dunia (Mosterd, 2007). Di Amerika Serikat, insidensi
gagal jantung kongestif ditemukan sebanyak 500.000 orang dan prevalensi gagal jantung
kongestif sebanyak 5 juta orang setiap tahun.
Angka mortalitas akibat gagal jantung kongestif juga cukup tinggi, kurang lebih 300.000 jiwa
setiap tahun (AHA, 2001).Gagal jantung kongestif merupakan penyakit yang bersifat
progresif dengan gejala yang sangat mempengaruhi kondisi vital pasien gagal jantung
kongestif.
Kondisi ini mengharuskan pasien gagal jantung kongestif untuk menjalani rawat inap.
Dari tahun 1990-1999 insidensi rawat inap (hospitalization) di Amerika Serikat sebanyak
810.000 hingga 1 juta jiwa, sedangkan prevalensi gagal jantung kongestif yang menjalani
rawat inap sebanyak 2.4 sampai 3.5 juta jiwa (Koelling et. al, 2004).Pasien yang menjalani
rawat inap dengan riwayat penyakit degeneratif rentan untuk mengalami rawat inap
ulang.Rawat inap ulang termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup
pasien-pasien penyakit degeneratif. Pada studi retrospektif yang dilakukan oleh Allaudeen
tahun 2011 terdapat 17% pasien yang mengalami rehospitalisasi setelah 30 hari keluar dari
rumah sakit. Salah satunya ialah gagal jantung kongestif.Pasien gagal jantung kongestif yang
selesai menjalani rawat inap rentan untuk kembali menjalani rawat inap ulang akibat
eksaserbasi dari gejalayang ditimbulkan oleh gagal jantung kongestif (Tsuchihashi et. al,
2001).
Kejadian rawat inap ulang (readmission) akibat gagal jantung kongestif meningkat
dengan persentase 29-47% setelah 3-6 bulan keluar dari rumah sakit. Sedangkan di
Yogyakarta, prevalensi pasien gagal jantung kongestif yang menjalani rawat inap ulang

1
dalam satu tahun sebesar 52,21% sementara yang dirawat ulang lebih dari satu kali dalam
waktu satu tahun sebesar 44,79% (Majid, 2010). Untuk Indonesia sendiri belum ada
gambaran yang jelas mengenai prevalensi kejadian rawat inap ulang khususnya untuk kota
Medan.
Menurut studi yang dilakukan oleh Krumholz et. al. pada tahun 2000 menyebutkan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian rawat inap ulang (readmission)
diantaranya ialah infeksi (terutama infeksi saluran nafas seperti pneumonia), infark miokard,
disritmia jantung, ischemic heart disease, gagal ginjal akut, dehidrasi, dan gagal nafas.
Menurut Majid dalam studi tahun 2010 mengatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif ialah hipertensi,
derajat penyakit, dukungan keluarga dan sosial, kepatuhan (terapi, diet dan cairan tubuh),
tingkat aktivitas dan istirahat serta tingkat kecemasan pasien gagal
jantung kongestif.

2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1.Definisi
Congestive Heart Failure (CHF)/gagal jantung adalah suatu keadaan
patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa
darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya
ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal.
Menurut Brunner dan Suddarth (2002) CHF adalah ketidakmampuan jantung
untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen
dan nutrisi.
Congestive Heart Failure (CHF) adalah ketidakmampuan jantung untuk
memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan
terhadap oksigen dan nutrient dikarenakan adanya kelainan fungsi jantung yang
berakibat jantung gagal memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian
ventrikel kiri.
Congestive heart failure adalah kumpulan gejala yan kompleks dimana seorang
pasien harus memiliki tampilan berupa : Gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal
saat istrahat atau saat melakukan aktivivtas disertai / tidak kelelahan) : tanda retensi
cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki) adanya bukti objektif dari gangguan
struktural atau fungsi jantung ssaat istirahat

2.2. Epidemiologi
Gagal jantung kongestif (Congestive Heart Failure/ CHF)mempunyai prevalensi
yang cukup tinggi pada lansia dengan prognosis yang buruk. Prevalensi CHF adalah
tergantung umur/age-dependent.Menurut penelitian, gagal jantung jarang pada usia di
bawah 45 tahun, tapi menanjak tajam pada usia 75 – 84 tahun. Dengan semakin
meningkatnya angka harapan hidup, akan didapati prevalensi dari CHF yang meningkat
juga. Hal ini dikarenakan semakin banyaknya lansia yang mempunyai hipertensi akan
mungkin akan berakhir dengan CHF. Selain itu semakin membaiknya angka keselamatan

3
(survival) post-infark pada usia pertengahan, menyebabkan meningkatnya jumlah lansia
dengan resiko mengalami CHF.

2.3. Etiologi
Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis penyakit
jantung kongenital maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal
jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir, atau
menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban
awal meliputi regurgitasi aorta dan cacat septum ventrikel dan beban akhir meningkat
pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta dan hipertansi sistemik.Kontraktilitas
miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati.
Menurut Hudak dan Gallo (1997) penyebab kegagalan jantung yaitu :
a. Disritmia seperti : bradikardi, takikardi, dan kontraksi prematur yang sering dapat
menurunkan curah jantung.
b. Malfungsi katup dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh kelebihan beban
tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang, seperti stenosis katup
aortik atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan beban volume yang
menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri.
c. Abnormalitas otot jantung, menyebabkan kegagalan ventrikel meliputi
infark miokard, aneurisme ventrikel, fibrosis miokard luas (biasanya
dari aterosklerosis koroner jantung atau hipertensi lama), fibrosis
endokardium, penyakit miokard primer (kardiomiopati), atau hipertrofi luas karena
hipertensi pulmonal, stenosis aorta, atau hipertensi sistemik.
d. Ruptur miokard, terjadi sebagai awitan dramatik dan sering membahayakan kegagalan
pompa dan dihubungkan dengan mortalitas tinggi. Ini biasa terjadi selama 8 hari
pertama setelah infark. (2)
Menurut Brunner dan Suddarth (2002) penyebab gagal jantung kongestif :
a. Kelainan otot jantung. Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot
jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari
penyebab kelainan fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner, hiprtensi arterial,
dan penyakit degeneratif atau inflamasi.
b. Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya
aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpuikan asam
laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya
4
gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif, berhubungan
dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun.
c. Hipertensi sistemik atau pulmonal ( peningkatan afterload ) meningkatkan beban kerja
jantung dan pada gilirannya mngakibatkan hipertrofi serabut otot jantung.
d. Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif, berhubungan dengan gagal
jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan
kontraktilitas menurun.
e. Penyakit jantung lain. Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung
yang sebenarnya secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya
terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup
semiluner), ketidak mampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade, perikardium,
perikarditif konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak afterload.
f. Faktor sistemik. Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan
dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (mis:
demam,tirotoksikosis), hipoksia dan anemia peperlukan peningkatan curah jantung
untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat
menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolik dan
abnormalitas elekttronik dapat menurunkan kontraktilitas jantung

2.4.Klasifikasi
Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart Association (NYHA).
Tabel 1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan NYHA
Klasifikasi Fungsional NYHA
(Klasifikasi berdasarkan Gejala dan Aktivitas Fisik)
Kelas Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari – hari tidak
I menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat,
II tetapi aktivitas sehari – hari menyebabkan kelelahan, palpitasi
atau sesak nafas.
Kelas Adanya pembatasan yang bermakna pada aktivitas fisik.
III Berkurang dengan istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari
aktivitas sehari – hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau

5
sesak nafas.

Kelas Tidak dapat melakukan aktivitas sehari – hari tanpa adanya


IV kelelahan. Gejala terjadi pada saat istirahat. Jika melakukan
aktivitas fisik, keluhan akan semakin meningkat.

Klasifikasi Derajat Gagal Jantung berdasarkan American College of Cardiology


dan American Heart Association.

Tabel 2. Tahapan Gagal Jantung berdasarkan ACC/AHA


Tahapan Gagal Jantung berdasarkan ACC/AHA
(Derajat Gagal Jantung berdasarkan struktur dan kerusakan otot jantung)
Tahap A Risiko tinggi berkembang menjadi gagal jantung, tidak ada
dijumpai abnormalitas struktural dan fungsional, tidak ada
tanda atau gejala.
Tahap B Berkembangnya kelainan struktural jantung yang
berhubungan erat dengan perkembangan gagal jantung,
tetapi tanpa gejala atau tanda.
Tahap C Gagal jantung simptomatik berhubungan dengan kelainan
struktural jantung.
Tahap D Kelainan struktural jantung yang berat dan ditandai adanya
gejala gagal jantung saat istirahat meskipun dengan terapi
yang maksimal.

Gagal jantung secara umum juga dapat diklasifikasikan menjadi gagal jantung akut
dan gagal jantung kronik.
1. Gagal jantung akut, didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala atau tanda akibat
fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya penyakit
jantung sebelumnya. Disfungsi jantung dapat berupa disfungsi sistolik atau disfungsi
diastolik. Irama jantung yang abnormal, atau ketidakseimbangan preload dan afterload
dan memerlukan pengobatan segera. Gagal jantung akut dapat berupa serangan baru

6
tanpa ada kelainan jantung sebelumnya atau dekompensasi akut dari gagal jantung
kronis.
2. Gagal jantung kronik, didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks yang
disertai keluhan gagal jantung berupa sesak nafas, lelah, baik dalam keadaan istirahat
atau aktivitas, edema serta tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan
istirahat.

2.5.Patogenesis

Gagal Jantung diawali dengan gangguan otot jantung yang tidak bisa berkontraksi
secara normal seperti infark miokard, gangguan tekanan hemodinamik, overload volume,
ataupun kasus herediter seperti cardiomiopathy.
Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan penurunan kapasitas pompa jantung. Namun, pada
awal penyakit, pasien masih menunjukkan asimptomatis ataupun gejala simptomatis yang
minimal. Hal ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi tubuh
yang disebabkan oleh cardiac injury ataupun disfungsi ventrikel kiri.4 Beberapa mekanisme
yang terlibat diantaranya: (1) Aktivasi Renin- Angiotensin-Aldosteron (RAA) dan Sistem
Syaraf Adrenergik dan (2) peningkatan kontraksi miokardium. Sistem ini menjaga agar
cardiac output tetap normal dengan cara retensi cairan dan garam. Ketika terjadi penurunan
cardiac output maka akan terjadi perangsangan baroreseptor di ventrikel kiri, sinus karotikus
dan arkus aorta, kemudian memberi sinyal aferen ke sistem syaraf sentral di cardioregulatory
center yang akan menyebabkan sekresi Antidiuretik Hormon (ADH) dari hipofisis posterior.
ADH akan meningkatkan permeabilitas duktus kolektivus sehingga reabsorbsi air
meningkat.Kemudian sinyal aferen juga mengaktivasi sistem syaraf simpatis yang
menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah perifer, dan otot skeletal. Stimulasi simpatis
pada ginjal menyebabkan sekresi renin. Peningkatan renin meningkatkan kadar angiotensin II
dan aldosteron. Aktivasi RAAS menyebabkan retensi cairan dan garam melalui
vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Mekanisme kompensasi neurohormonal ini
berkontribusi dalam perubahan fungsional dan struktural jantung serta retensi cairan dan
garam pada gagal jantung yang lebih lanjut.4

7
Perubahan neurohormonal, adrenergic dan sitokin menyebabkan remodeling ventrikel
kiri. Remodeling ventrikel kiri berupa (1) hipertrofi miosit; (2) perubahansubstansi kontraktil
miosit; (3) penurunan jumlah miosit akibat nekrosis, apoptosisdan kematian sel autophagia;
(4) desensitisasi beta adrenergic; (5) kelainanmetabolism miokardium; (6) perubahan struktur
matriks ekstraselular miosit.Remodeling ventrikel kiri dapat diartikan sebagai perubahan
massa, volume, bentuk, dan komposisi jantung. Remodeling ventrikel kiri merubah bentuk
jantung menjadi lebih sferis sehingga beban mekanik jantung menjadi semakin
meningkat.Dilatasi pada ventrikel kiri juga mengurangi jumlah afterload yang mengurangi
stroke volume. Pada remodeling ventrikel kiri juga terjadi peningkatan end-diastolicwall
stress yang menyebabkan (1) hipoperfusi ke subendokardium yang akan memperparah fungsi
ventrikel kiri; (2) peningkatan stress oksidatif dan radikal bebas yang mengaktivasi hipertrofi
ventrikel.Perubahan struktur jantung akibat remodeling ini yang berperan dalam penurunan
cardiac output, dilatasi ventrikel kiri dan overload hemodinamik. Ketiga hal diatas
berkontribusi dalam progresivitas penyakit gagal jantung.5

2.6. Diagnosis

8
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan penemuan
klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax, EKG,
ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan biomarker.

2.6.1.Anamnesis
KriteriaFraminghamadalah kriteriaepidemiologiyang telah digunakan secara luas.
Diagnosisgagaljantung kongestif mensyaratkanminimaldua kriteriamayor atau
satukriteriamayor disertaiduakriteria minor, kriteria minor dapat diterima jika
kriteriaminor tersebuttidakberhubungan dengankondisi medisyang lain seperti
hipertensi pulmonal, PPOK, sirosishati,atau sindroma nefrotik.

Kriteria mayor
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekanan vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria minor
1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea d’effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardi (>120/menit)

2.6.2. Pemeriksaan Fisik


a. Tekanan darah dan Nadi
Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi pada HF ringan, namun
biasanya berkurang pada HF berat, karena adanya disfungsi LV berat.Tekanan nadi

9
dapat berkurang atau menghilang, menandakan adanya penurunan stroke
volume.Sinus takikardi merupakan tanda nonspesifik disebabkan oleh peningkatan
aktivitas adrenergik.Vasokonstriksi perifer menyebabkan dinginnya ekstremitas
bagian perifer dan sianosis pada bibir dan kuku juga disebabkan oleh aktivitas
adrenergik berlebih.Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan oleh berkurangnya
sensitivitas pada pusat respirasi terhadap tekanan PCO2.Terdapat fase apneu, dimana
terjadi pada saat penurunan PO2 arterial dan PCO2 arterial meningkat.Hal ini merubah
komposisi gas darah arterial dan memicu depresi pusat pernapasan, mengakibatkan
hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti rekurensi fase apnea.Pernapasan Cheyne-Stokes
dapat dipersepsi oleh keluarga pasien sebagai sesak napas parah (berat) atau napas
berhenti sementara.

b. Jugular Vein Pressure


Pemeriksaan vena jugularis memberikan informasi mengenai tekanan atrium
kanan.Tekanan vena jugularis paling baik dinilai jika pasien berbaring dengan kepala
membentuk sudut 300.Tekanan vena jugularis dinilai dalam satuan cm
H2O (normalnya 5-2 cm) dengan memperkirakan jarak vena jugularis dari bidang
diatas sudut sternal.Pada HF stadium dini, tekanan vena jugularis dapat normal pada
waktu istirahat namun dapat meningkat secara abnormal seiring dengan peningkatan
tekanan abdomen (abdominojugular reflux positif).Gelombang v besar
mengindikasikan keberadaan regurgitasi trikuspid.
c. Ictus cordis
Pemeriksaan pada jantung, walaupun esensial, seringkali tidak memberikan
informasi yang berguna mengenai tingkat keparahan.Jika kardiomegali
ditemukan, maka apex cordis biasanya berubah lokasi dibawah ICS V (interkostal V)
dan/atau sebelah lateral dari midclavicular line, dan denyut dapat dipalpasi hingga 2
interkosta dari apex.
d. Suara jantung tambahan
Pada beberapa pasien suara jantung ketiga (S3) dapat terdengar dan dipalpasi
pada apex. Pasien dengan pembesaran atau hypertrophy ventrikel kanan dapat
memiliki denyut Parasternal yang berkepanjangan meluas hingga systole.
S3 (atau prodiastolic gallop) paling sering ditemukan pada pasien dengan volume
overload yang juga mengalami takikardi dan takipneu, dan seringkali menandakan
gangguan hemodinamika.Suara jantung keempat (S4) bukan indicator spesifik namun
10
biasa ditemukan pada pasien dengan disfungsi diastolic.Bising pada regurgitasi mitral
dan tricuspid biasa ditemukan pada pasien.
e. Pemeriksaan paru
Ronchi pulmoner (rales atau krepitasi) merupakan akibat dari transudasi cairan
dari ruang intravaskuler kedalam alveoli.Pada pasien dengan edema pulmoner, rales
dapat terdengar jelas pada kedua lapangan paru dan dapat pula diikuti dengan
wheezing pada ekspirasi (cardiac asthma).Jika ditemukan pada pasien yang tidak
memiliki penyakit paru sebelumnya, rales tersebut spesifik untuk CHF. Perlu
diketahui bahwa rales seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan CHF kronis,
bahkan dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang meningkat, hal ini disebabkan
adanya peningkatan drainase limfatik dari cairan alveolar. Efusi pleura terjadi karena
adanya peningkatan tekanan kapiler pleura dan mengakibatkan transudasi cairan
kedalam rongga pleura.Karena vena pleura mengalir ke vena sistemik dan pulmoner,
efusi pleura paling sering terjadi dengan kegagalan biventrikuler.Walaupun pada efusi
pleura seringkali bilateral, namun pada efusi pleura unilateral yang sering terkena
adalah rongga pleura kanan.
f. Pemeriksaan hepar dan hepatojugular reflux
Hepatomegali merupakan tanda penting pada pasien CHF.Jika ditemukan,
pembesaran hati biasanya nyeri pada perabaan dan dapat berdenyut selama systole
jika regurgitasi trikuspida terjadi.Ascites sebagai tanda lajut, terjadi sebagai
konsekuensi peningkatan tekanan pada vena hepatica dan drainase vena pada
peritoneum.Jaundice, juga merupakan tanda lanjut pada CHF, diakibatkan dari
gangguan fungsi hepatic akibat kongesti hepatic dan hypoxia hepatoseluler, dan
terkait dengan peningkatan bilirubin direct dan indirect.
g. Edema tungkai
Edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada CHF, namun namun tidak
spesifik dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang diterapi dengan
diuretic.Edema perifer biasanya sistemik dan dependen pada CHF dan terjadi
terutama pada daerah Achilles dan pretibial pada pasien yang mampu berjalan.Pada
pasien yang melakukan tirah baring, edema dapat ditemukan pada daerah sacral
(edema presacral) dan skrotum.Edema berkepanjangan dapat menyebabkan indurasi
dan pigmentasi ada kulit.
h. Cardiac Cachexia

11
Pada kasus CHF kronis yang berat, dapat ditandai dengan penurunan berat
badan dan cachexia yang bermakna. Walaupun mekanisme dari cachexia pada CHF
tidak diketahui, sepertinya melibatkan banyak faktor dan termasuk
peningkatan resting metabolic rate; anorexia, nausea, dan muntah akibat
hepatomegali kongestif dan perasaan penuh pada perut; peningkatan konsentrasi
sitokin yang bersirkulasi seperti TNF, dan gangguan absorbsi intestinal akibat
kongesti pada vena di usus. Jika ditemukan, cachexia menandakan prognosis
keseluruhan yang buruk.

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


a. Radiologi/Rontgen.
Pada pemeriksaan rontgen dada ini biasanya yang didapatkan bayangan hilus paru
yang tebal dan melebar, kepadatan makin ke pinggir berkurang, lapangan paru
bercak-bercak karena edema paru, pembesaran jantung, cardio-thoragic ratio
(CTR) meningkat, distensi vena paru.
b. Pemeriksaan EKG.
Dari hasil rekaman EKG ini dapat ditemukan kelainan primer jantung ( iskemik,
hipertrofi ventrikel, gangguan irama ) dan tanda-tanda faktor pencetus akut (
infark miocard, emboli paru ).
c. Ekhokardiografi.
Pemeriksaan ini untuk mendeteksi gangguan fungsional serta anatomis yang
menjadi penyebab gagal jantung
d. Penilaian fungsi LV :
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi, dan
menangani gagal jantung.Pemeriksaan paling berguna adalah echocardiogram 2D/
Doppler, dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi
LV begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup dan/atau
pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan dilatasi atrial
kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada pengisian diastolic
pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai gagal jantung dengan
EF yang normal. Echocardiogram 2-D/Doppler juga bernilai untuk menilai ukuran
ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat penting dalam evaluasi dan
penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan analisis komprehensif terhadap
anatomi jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa dan volume
LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF (stroke volume dibagi

12
dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah diukur dengan pemeriksaan noninvasive
dan mudah dikonsepkan.Pemeriksaan ini diterima secara luas oleh para ahli.Sayangnya,
EF memiliki beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF
dipengaruhi oleh perubahan pada afterload dan/atau preload.Sebagai contoh, LV EF
meningkat pada regurgitasi mitral sebagai akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang
bertekanan rendah.Walaupun demikan, dengan pengecualian jika EF normal (> 50%),
fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika EF berkurang secara bermakna (<30-40%).

2.7 Penatalaksanaan
Gagal jantung ditangani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban
kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama dari fungsi
miokardium, baik secara sendiri-sendiri maupun secara gabungan dari beban awal,
kontraktilitas, dan beban akhir.
Prinsip penatalaksanaan Congestive Heart Failure menurut Mansjoer (2001) adalah :

1. Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi


O2 melalui istirahat/pembatasan aktivitas.
2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung.
3. Mengatasi keadaan yang reversible, termasuk tirotoksikosis, miksedema, dan
aritmia.
Digitalisasi
 Dosis digitalis :
 Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5 – 2 mg dalam 4-6 dosis selama
24 jam dan dilanjutkan 2 x 0.5 mg selama 2-4 hari.
 Digoksin iv 0,75-1 mg dalam 4 dosis selama 24 jam.
 Cedilanid iv 1,2-1,6 mg dalam 24 jam.
 Dosis penunjang untuk gagal jantung : digoksin 0,25 mg sehari. Untuk pasien
usia lanjut dan gagal ginjal dosis disesuaikan.
 Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg
 Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut yang berat :
 Digoksin 1-1,5 mg iv perlahan lahan
 Cedilanid 04-0,8 mg iv perlahan lahan.
4. Menurunkan beban jantung.
Menurunkan beban awal dengan diet rendah garam, diuretik dan vasodilator.

13
a. Diet rendah garam
Pada gagal jantung dengan NYHA kelas IV, penggunaan diuretic,
digoksin dan penghambat angiotensin converting enzyme (ACE), diperlukan
mengingat usia harapan hidup yang pendek.
Untuk gagal jantung kelas II dan III diberikan:
o Diuretik dalam dosis rendah atau menengah (furosemid 40-80 mg)
o Digoksin pada pasien dengan fibrilasi atrium maupun kelainan sinus
o Penghambat ACE (captopril mulai dari dosis 2 X 6,25 mg atau setara
penghambat ACE yang lain, dosis ditingkatkan secara bertahap dengan
memperhatikan tekanan darah pasien); isorbid dinitrat (ISDN) pada pasien
dengan kemampuan aktivitas yang terganggu atau adanya iskemia yang
menetap, dosis dimulai 3 X 10-15 mg. Semua obat harus dititrasi secara
bertahap.
b. Diuretik
Yang digunakan furosemid 40-80 mg. Dosis penunjang rata-rata 20 mg. Efek
samping berupa hipokalemia dapat diatasi dengan suplai garam kalium atau
diganti dengan spironolakton. Diuretik lain yang dapat digunakan antara lain
hidroklorotiazid, klortalidon, triamteren, amilorid, dan asam etakrinat.
Dampak diuretik yang mengurangi beban awal tidak mengurangi curah
jantung atau kelangsungan, tapi merupakan pengobatan garis pertama karena
mengurangi gejala dan pengobatan dan perawatan di rumah sakit. Penggunaan
penghambat ACE bersama diuretik hemat kalium harus berhati-hati karena
memungkinkan timbulnya hiperkalemia.

c. Vasodilator
 Nitrogliserin 0,4-0,6 mg sublingual atau 0,2-2 μg/kg BB/menit iv.
 Nitroprusid 0,5-1 μg/kgBB/menit iv
 Prazosin per oral 2-5 mg
 Penghambat ACE: captopril 2 X 6,25 mg
 Isosorbid dinitrat (ISDN) 10 – 40 mg peroral atau 5 – 15 mg sublingual
setiap 4 – 6 jam

2.8 Prognosis

14
Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat
berkembang, tetapi prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka mortalitas setahun
bervariasi dari 5% pada pasien stabil dengan gejala ringan, sampai 30-50% pada pasien
dengan gejala berat dan progresif. Prognosisnya lebih buruk jika disertai dengan
disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi ejeksi< 20%), gejala menonjol, dan kapasitas latihan
sangat terbatas (konsumsi oksigen maksimal < 10 ml/kg/menit), insufisiensi ginjal
sekunder, hiponatremia, dan katekolamin plasma yang meningkat.Sekitar 40-50%
kematian akibat gagal jantung adalah mendadak.Meskipun beberapa kematian ini akibat
aritmia ventrikuler, beberapa diantaranya merupakan akibat infark miokard akut atau
bradiaritmia yang tidak terdiagnosis.Kematian lainnya adalah akibat gagal jantung
progresif atau penyakit lainnya.Pasien-pasien yang mengalami gagal jantung stadium
lanjut dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi paliatif yang sangat
cermat.

BAB III
KESIMPULAN

Gagal jantung (heart failure) adalah kumpulan sindroma klinis yang kompleks yang
diakibatkan oleh gangguan struktur ataupun fungsi dan menyebabkan gangguan pengisian
ventrikel atau pemompaan jantung. . Disfungsi yang terjadi pada gagal jantung dapat berupa
disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik. Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah
hipertensi sistemik, penyakit katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit
miokardium primer. Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri, yang
menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria pulmonalis. Gagal jantung
kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri pada pasien dengan penyakit
parenkim paru dan atau pembuluh paru (kor polmunale) dan pada pasien dengan penyakit
katup arteri pulmonalis atau tricuspid. Tatalaksana gagal jantung yakni dengan Farmakologi
dan nonfarmakologi.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Kapita Selekta Kedokteran. Gagal Jantung. Jakarta : Media Aesculapius FKUI; 2007.

2. American Heart Association, 2001. Evaluation and Management of Chronic Heart


Failure in the Adult. Available from
:http://circ.ahajournals.org/content/104/24/2996.full.pdf [Accessed 06 Mei 2017]

3. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. 2007. Management of Chronic Heart


Failure. Available from : http://www.sign.ac.uk/pdf/sign95.pdf [Accessed 06 Mei
2017]

4. Hellermann, J.P., Goraya, T.Y., Jacobsen, S.J., Weston, S.A., Reeder, G.S.,
Gersh,B.J., Redfield, M.M., Rodheffer, R.J., Yawn, B.P., Roger, V.L., 2003.
Incidence of heart failure after myocardial infarction: is it changing over time?.Am.
J.Epidemiology 157 (12): 1101–1107. Available from:
http://m.aje.oxfordjournals.org/content/157/12/1101.long?view=long&pmid=1279604
6.

5. Mann, D.L., 2007. Pathophysiology of Heart Failure. In: Braunwald, E., et. al., Ed.
Braundwald’s Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. Ed. 8th,
Philadelphia, Elsevier Saunders, 541-560.

6. Mann, D.L. 2010. Heart Failure and Cor Pulmonale. In : Harrison’s Cardiovascular
Medicine Ed. 17th .

7. Sudoyo, W Aru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Interna Publihing

8. PAPDI. 2016. Penatalaksanaan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktis


Klinis. Jakarta: Interne Publishing

9. Braimbridge, M V. Lecture Notes Kardiologi. Jakarta: Penerbit Eirlangga

16

Anda mungkin juga menyukai