Anda di halaman 1dari 5

SEMARANG, MINGGU--Sudah bukan rahasia lagi apabila kesenian

tradisional di Indonesia mulai ditinggalkan generasi muda negeri ini, dan


masuknya berbagai kebudayaan luar melalui berbagai media, terutama
televisi, tidak sedikit ikut mempengaruhi kelunturan apresiasi terhadap
kesenian tradisional.

Saat ini banyak anak-anak muda kurang mengenal kesenian tradisional


seperti karawitan, gamelan, dan juga wayang baik itu wayang kulit, wayang
orang maupun wayang golek, mereka (anak muda) lebih senang dengan
kesenian dan tradisi luar yang tidak jelas benar dari mana asalnya, kata Sri
Handayani, S.Pd, dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri
Semarang (Unnes) di Semarang, Sabtu.

Padahal, bukan tidak mungkin budaya yang digandrungi anak muda itu sama
sekali tak mempunyai nilai positif, kata Sri Handayani menambahkan.

Di masa sekarang ataupun masa yang akan datang tanggungjawab untuk


mengembangkan dan melestarikan warisan leluhur tersebut bukan lagi
ditentukan sepenuhnya oleh pemerintah, tetapi oleh masyarakat, dalam hal ini
mereka para pelaku seni, pecinta seni, pekerja seni dan pemerhati seni serta
lainnya agar kesenian dan budaya tersebut tidak hilang atau musnah di telan
zaman.

Terlebih lagi saat ini, budaya barat dan modernisasi merupakan konsumsi
sehari-hari anak-anak muda. Akibatnya kesenian dan budaya sendiri dianggap
tidak nge-trend dan terkesan kuno, sehingga generasi penerus tidak mau
menggelutinya bahkan mereka sudah tidak lagi mengenal budaya sendiri.

Hal ini terbukti dengan semakin menurunnya minat generasi muda khususnya
di Jawa untuk melihat pagelaran kesenian Jawa.

Sementara itu Anton, seorang anak muda di Kota Semarang mengatakan,


pada dasarnya kaum muda bukan tidak berminat terhadap kesenian
tradisional, akan tetapi saat ini kemasannya harus bisa disesuaikan dengan
kondisi seperti sekarang ini, sehingga tidak terkesan membosankan.
Advertisment

Sebagai contoh adalah wayang, dalam hal ini wayang kulit, dilihat dari
penggunaan bahasa Jawa Kawi yang mana kaum muda sekarang tidak lagi
mengerti bahasa tersebut. Sehingga memunculkan suatu keengganan untuk
menonton karena tidak paham akan ceritanya, katanya.

Saat ini memang ada sebagian dari paguyuban wayang yang sedikit
melakukan inovasi dalam pertunjukannya dengan menyelipkan musik
campursari dan dangdut untuk menarik minat kaum muda dalam menonton
Wayang. Pada awalnya memang banyak yang tertarik, namun, seiring dengan
berjalannya waktu, upaya itupun kurang berhasil.

Menurut Handayani, hal yang berbanding terbalik justru terjadi pada


masyarakat dari luar negeri yang begitu antusias untuk mempelajari kesenian
tradisional Indonesia. Seperti remaja perwakilan dari berbagai negara
dikawasan Asia Pasifik yang mendapatkan beasiswa seni dan budaya
Indonesia 2008 dari Departemen Luar Negeri RI.

Mereka (penerima beasiswa) dengan antusias belajar menabuh gamelan.


Selain itu mereka juga diajari untuk membatik dan seni keramik.

Hal yang sama juga terjadi pada Elizabeth Karen, seorang wanita asal
Amerika. Berawal dari ketertarikannya akan budaya Jawa, lalu pada tahun
1990 ia melakukan penelitian di IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri
Malang). Sampai saat ini Ia masih nyinden bersama suaminya Muhammad
Sholeh Adi Pramono, seorang dalang dan seniman tradisi di Malang.

Sungguh ironis memang, akankah suatu saat nanti justru Bangsa Indonesia
yang akan mempelajari seni dan budanyanya sendiri di luar negeri? Ini
memang membutuhkan perhatian yang sangat serius, pengenalan akan seni
dan budaya tradisional harus dilakukan sejak dini, hal ini untuk menghindari
punahnya seni dan budaya warisan leluhur.
Handayani berharap, kaum muda harus segera bangkit untuk tetap
melestarikan seni dan budaya yang merupakan warisan para leluhur yang
dengan susah payah telah mempertahankannya. Jangan sampai seni dan
budaya bangsa Indonesia direbut oleh bangsa lain, katanya
menegaskan.(ANT)

nasional.kompas.com/read/2008/09/14/02422737/anak.muda.ogah.melirik.seni.tradisional

Anda mungkin juga menyukai