Abstrak
Depresi merupakan manifestasi neuropsikiatrik yang paling sering ditemukan
pada pasien stroke. Keadaan ini membutuhkan terapi tambahan serta dapat
mengganggu fungsional pasien. Depresi juga meningkatkan risiko bunuh diri pada
pasien stroke, oleh karena itu akan meningkatkan angka kematian. Depresi post-
stroke (Post Stroke Depresion;PSD) memiliki etiologi yang kompleks dan bersifat
multi-faktorial bergantung pada ukuran dan lokasi infark. Selain itu, riwayat
keluarga atau riwayat depresi sebelumnya membuat pasien menjadi lebih rentan
terkena depresi pasca stroke. Dalam artikel ini, kami akan menjelaskan berbagai
aspek PSD, prevalensi serta skrining yang digunakan dalam studi literatur.
Meskipun terdapat banyak alat skrining yang dilaporkan, hanya sedikit yang valid.
Kami juga akan membahas patofisiologi depresi pada pasien stroke dengan
berbagai pilihan terapi. Kami akan meninjau secara singkat penggunaan
pengobatan alternatif seperti Electroconvulsivetherapy (ECT) dan Transcranial
Magnetic Stimulation (TMS). Namun, kita memerlukan penelitian berbasis bukti
lebih lanjut yang mengeksplorasi alat skrining sehingga dapat diterima secara
universal dan menerapkan modalitas pengobatan non-invasif yang efektif.
Metodologi
Pencarian literatur relevan menggunakan PubMed, Google Scholar. Kata
kunci dan frase yang digunakan termasuk: Lesi stroke, depresi post stroke, depresi
berat, gejala pasca stroke, penilaian dan pengobatan. Studi lain yang relevan
ditemukan dengan meninjau studi primer yang diperoleh. Kriteria inklusi dan
eksklusi adalah: Setiap artikel yang melaporkan gejala, patofisiologi, evaluasi serta
pengobatan depresi post stroke. Semua penelitian yang diterbitkan dalam bahasa
Inggris dari tahun 1977-2017. Pada akhir pencarian, 135 artikel memenuhi kriteria
inklusi. Relevansi didasarkan pada artikel individual dan review abstrak yang
dilakukan oleh peneliti independen. 135 artikel ini digunakan untuk mengekstrak
data kualitatif dan merangkum temuan peneitian tersebut
Pendahuluan
Stroke atau kelainan serebrovaskular (CVA) merupakan salah satu penyebab
kecacatan di Amerika Serikat. Saat ini, lebih dari 6,5 juta orang dengan stroke di
Amerika Serikat. Depresi poststroke (PSD) merupakan salah satu komplikasi
perilaku yang paling umum, terutama stroke iskemik akut. Sekitar satu pertiga
pasien stroke mengalami depresi. Berdasarkan DSM V, PSD merupakan gangguan
mood akibat kondisi medis lainnya; yaitu stroke dengan ciri depresi, mania, atau
gejala campuran. Depresi lebih sering terjadi pada stroke daripada penyakit fisik
lainnya dengan tingkat kecacatan yang sama. Diagnosis PSD memerlukan suasana
depresi atau kehilangan minat pada aktivitas yang sebelumnya menyenangkan,
disertai dengan dua sampai empat gejala depresi lainnya yang terjadi paling tidak
dua minggu. Gejala somatik dan defisit kognitif membuat diagnosis PSD menjadi
kompleks dan seringkali mungkin memerlukan penilaian klinis oleh ahli yang
berpengalaman.
Namun, masih belum jelas mengenai etiologi dan patofisiologi depresi dalam
setting stroke, berbagai penelitian telah melaporkan mekanisme yang berbeda.
Stroke yang melibatkan syaraf pengatur mood merupakan salah satu mekanisme
tersebut. Penelitian lain melaporkan hubungan antara faktor stres psikologis
poststroke dan depresi.
Prevalensi
Rata-rata setiap 40 detik, terdapat satu kasus stroke di Amerika Serikat dimana
sekitar 600.000 kasus stroke baru setiap tahunnya. Berdasarkan studi literatur,
terdapat variabilitas data yang dilaporkan mengenai prevalensi PSD. Perbedaan ini
biasanya disebabkan oleh variasi kriteria yang digunakan dalam mendiagnosis PSD
dan perbedaan usia pasien yang diteliti.
Sementara beberapa dokter menggunakan kriteria DSM-III dan DSM-IV
dalam menegakkan diagnosis PSD, beberapa menggunakan jenis skala atau
kuesioner yang berbeda. Selain itu, dokter yang berbeda memiliki skor cut-off yang
berbeda meskipun menggunakan kuesioner yang sama dalam menegakkan diagnosis
PSD. Penting untuk diingat bahwa tingkat ini banyak digunakan untuk menilai
tingkat keparahan depresi dan tidak dilakukan untuk mendiagnosisnya. Oleh karena
itu, sangat sulit untuk mengetahui secara pasti mengenai prevalensi PSD yang
sebenarnya. Robinson, dkk. melaporkan bahwa sekitar 30% pasien stroke
mengalami gejala depresi setelah enam bulan.
Pada tahun 2005, sebuah studi meta-analisis yang mencakup 51 studi
observasional terhadap pasien yang dirawat di rumah sakit dan pusat rehabilitasi.
Meta-analisis terbaru yang dipublikasikan pada tahun 2014, melaporkan data dari 61
studi observasional, dan mencakup 25.488 pasien dari wilayah geografis yang
berbeda. Menurut penelitian, terbukti bahwa 31% penderita stroke memiliki gejala
depresi hingga lima tahun post stroke.
Beberapa faktor mungkin menjadi predisposisi terjadinya PSD. Riwayat
depresi, wanita, usia tua dan cacat fisik mengikuti meurpakan faktor presdiposisi
PSD. Oleh karena itu, sebaiknya ketika seorang dokter menemukan faktor-faktor ini
agar dilakukan evaluasi terhadap pasien tersebut.
Depresi post stroke dianggap sebagai faktor prognostik terburuk bagi pasien
yang telah kembali bekerja. Namun, PSD sering diabaikan. Meskipun meningkatnya
jumlah penelitian yang menyelidiki prevalensi, farmakologi, patogenesis, faktor
risiko, pencegahan dan pengelolaan, namun hasil dari penelitian tersebut tidak
konsisten. Tidak terdapat kesimpulan yang kuat sehubungan dengan etiologi,
prediktor serta prosedur pencegahan dan pengobatan. PSD dapat mengganggu
pemulihan pasien, mempengaruhi kualitas hidup, memperpanjang masa rehabilitasi
dan bahkan menyebabkan kematian.
Patofisiologi
Patofisiologi PSD tergantung pada luas dan lokasi cedera. Meskipun
demikian, agak sulit membedakan antara PSD dan depresi pada penderita stroke,
terutama pada beberapa minggu pertama post stroke. Stroke merupakan cedera akut
yang dapat memicu proses duka dan dapat menyebabkan gejala depresi. Beberapa
penelitian melaporkan bukti depresi pada pasien anosognosia yang mungkin
memiliki hubungan antara stroke dan depresi. Karena pasien ini tidak memiliki
pemahaman mengenai kecacatan mereka, sehingga tidak mengalami reaksi
psikologis post stroke
Hubungan antara stroke iskemik dan depresi vaskular (depresi onset lambat)
menunjukkan bahwa depresi juga dapat terjadi tanpa gejala sebelumnya. Depresi
vaskular berkaitan dengan lesi iskemik pada striatal-frontal sirkuit yang mengatur
mood. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pasien stroke memiliki ukuran
amigdala yang lebih kecil, terutama pada pasien dengan gangguan kognitif. Peneliti
juga melaporkan bahwa amigdala yang lebih kecil akibat stroke iskemik dapat
meningkatkan kerentanan terhadap depresi. Juga terdapat hubungan antara
hyperintensitas white matter dengan depresi serta disfungsi eksekutif berdasarkan
temuan MRI T2-weighted. Temuan ini menunjukkan adanya gangguan pada
mekanisme sirkuit ganglia-prefrontal basal yang menyebabkan terjadinya PSD.
Post-stroke Depresi & Lokasi Lesi
Gejala & Diagnosis
Gangguan depresi merupakan gangguan yang paling sering terlewatkan dan
tidak terobati. Depresi akibat stroke dapat menimbulkan berbagai dampak kesehatan
terutama kognisi, hilangnya konsentrasi, penurunan kemampuan pengenalan hal
baru, dan defisit fungsi motorik yang secara kolektif disebut sindrom depressive-
executive dysfunction syndrome (DES). Meskipun risiko depresi secara proporsional
menurun seiring bertambahnya usia pada populasi umum, hal ini hampir
menggandakan risiko pada pasien stroke. Permulaan dan perjalanan depresi pada
pasien stroke juga bervariasi antar pasien yang terjadi dalam waktu 1 sampai 2 tahun,
namun juga dapat menjadi kronis. Studi menunjukkan bahwa jika onset depresi
muncul dalam beberapa hari pasca stroke, memiliki remisi spontan yang tinggi.
Kemungkinan sembuh akan berkurang jika onsetnya lebih dari tujuh minggu. Dalam
sebuah penelitian menunjukkan bahwa pasien yang dirawat di komunitas memiliki
gejala depresi yang lebih ringan jika dibandingkan pasien rawat inap atau pasien
yang direhabilitasi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara depresi
dan gangguan fungsional.
Studi sebelumnya juga menunjukkan terdapat dua jenis gangguan depresi yang
berhubungan dengan iskemia serebral: depresi berat pada sekitar 25% pasien dan
depresi ringan pada sekitar 30% pasien. Depresi ringan merupakan gangguan mood
yang ditandai dengan kurangnya minat dan setidaknya dua gejala depresi. Prevalensi
depresi ringan pada pasien stroke diperkirakan sekitar 22% setelah dua bulan dan
8% setelah empat bulan .
Diagnosis depresi pada penderita stroke bisa dilakukan dengan berbagai alat
diagnostik, dimulai dengan gejala depresi seperti mood depresi, anhedonia, kurang
tidur, tidak nafsu makan, dan hilangnya konsentrasi, rasa tidak berharga dan
keinginan bunuh diri. Selain itu, diagnosis PSD memerlukan anamnesis
komprehensif serta penilaian oleh seorang profesional yang terlatih. Sangat penting
untuk menilai depresi pada pasien stroke dengan aphasia, anosognosia, dan defisit
kognitif. Kondisi ini perlu dipantau secara hati-hati dengan alat penilaian yang tepat
untuk meningkatkan akurasi diagnostik. Diagnosis depresi pada pasien stroke lebih
komplek jika dibandingkan pasien tanpa stroke dengan beberapa faktor yang
menghambat diagnosis.
Alat Skrining
Di antara semua alat skrining, Hamilton Depression Rating Scale (HDRS)
merupakam skrining yang paling banyak digunakan. Janneke, dkk. menggunakan
nine-item patient health questionnaire (PHQ 9) and two-item patient health
questionnaire (PHQ 2). Mereka membandingkan kedua alat dengan International
Diagnostic Interview, yang diasumsikan memiliki reliabilitas diagnostik tinggi
untuk depresi. Kemudian, beberapa peneliti menemukan bahwa skring
menggunakan PHQ 9 dan PHQ 2 memiliki akurasi yang lebih baik namun terbatas
dengan fakta bahwa keduanya membutuhkan komunikasi verbal yang baik. Oleh
karena itu, mereka merekomendasikan menggunakan PHQ 2 yang berfokus secara
khusus pada mood anhedonia. Berbagai peneliti menggunakan berbagai jenis alat
penilaian untuk penelitian seperti Beck Depression Inventory, Geriatric Depression
Scale, dan Montgomery-Asberg Depression Rating Scale. Suatu penelitian yang
dilakukan pada tahun 2009 untuk menilai tiga tingkat depresi menggunakan Beck
Depression Inventory (BDI), Skala Rating Depresi Hamilton dan Clinical Global
Impression Assessment (CGI). Di antara alat skrining tersebut, BDI dan HDRS
memiliki hasil yang sangat sensitif dan spesifik. Berg, dkk. juga melakukan
penelitian menggunakan Visual Analogue Mood Scale pada pasien dengan afasia
dan gangguan kognitif. Namun, ternyata bukan merupakan alat yang baik dalam
penilaian depresi.
Banyak alat skrining PSD yang tidak valid dan tidak dapat diandalkan karena
dilakukan pada pasien dengan gangguan sensorik, riwayat penyakit kejiwaan
sebelumnya dan defisit kognitif sebelumnya sehingga tidak mampu menyelesaikan
skrining. Menurut Hackett, dkk. hampir 50% pasien dieksklusikan karena
kebanyakan pasien stroke mengalami defisit kognitif yang menurunkan akurasi.
Seseorang dapat menyebabkan defisit karena infark yang dialaminya. Aphasia
ditemukan pada 20% sampai 40% pasien stroke. Oleh karena itu, diperlukan
modifikasi alat skrining seperti menggunakan visual analog scale atau mengubah
pertanyaan atau waktu wawancara, yang pada akhirnya menurunkan keakuratan alat.
Keterbatasan lain dalam diagnosis PSD adalah ketidakmampuan untuk
mengevaluasi gangguan kejiwaan lain yang menyertai depresi. Selain PSD,
gangguan kecemasan juga sering dialami oleh penderita stroke. Penting untuk
mendiagnosa kecemasan, karena tidak hanya menutupi diagnosis depresi tetapi juga
mempengaruhi prognosis pasien stroke. Beberapa penelitian telah membuktikan
bahwa sekitar 85% pasien akan mengalami GAD dan depresi, tiga tahun pasca
stroke.
Dampak Kesehatan
Stroke bisa terjadi pada usia berapapun, namun paling sering terlihat pada
lansia yang berusia diatas 65 tahun. Cacat fungsional yang terkait dengan depresi
post stroke mungkin merupakan respons psikologis terhadap ketidakmampuan fisik.
Sebuah studi baru-baru ini menggambarkan efek PSD terhadap kualitas hidup yang
dinyatakan sebagai gangguan terhadap activity of daily living (ADL). Studi tersebut
menyimpulkan bahwa penderita stroke yang mengalami depresi memiliki gangguan
ADL berat pada awal dan pasca rehabilitasi, dibandingkan pasien tanpa depresi.
Berdasarkan studi ini, kecacatan fungsional terbukti lebih umum pada pasien PSD.
Zikic, dkk. Studi menunjukkan hubungan PSD dengan penarikan sosial dan
kemunduran sosial. Juga terdapat korelasi yang signifikan antara gangguan kognitif
dan fungsional serta fungsi sosial pasien PSD. Keterbatasan kemampuan fisik dan
intelektual mengakibatkan penarikan sosial. Mereka juga melaporkan bahwa setelah
tiga tahun post stroke, hanya 7% pasien yang mengalami depresi dimana 66% pasien
tanpa depresi dapat bersosialisasi dengan teman dan saudara mereka.
Selain itu, penelitian melaporkan bahwa gejala psikologis pasien stroke
memiliki dampak negatif terhadap keluarga, yang menyebabkan tekanan emosional.
Beberapa penderita stroke didiagnosis menderita demensia.
Pengobatan
Depresi menurunkan tingkat perawatan, gangguan rehabilitasi dan
kemampuan pasien untuk bersosialisasi. Identifikasi awal dan perawatan yang tepat
sangat penting untuk mengurangi morbiditas dan kecacatan yang terkait stroke.
Mengingat perbedaan dinamika populasi penderita stroke, terdapat beberapa
pertanyaan mengenai protokol pengobatan yang direkomendasikan.
Pada PSD, terapi antidepresan merupakan pilihan pengobatan pertama jika
dibandingkan modalitas perawatan lainnya. Namun, terdapat laporan mengenai
kegagalan pengobatan atau efek samping dari pengobatan. Sangat penting untuk
tetap berhati-hati mengenai efek samping sistemik, terutama pada sistem
kardiovaskular, dan pasien dengan respons anti depresan yang buruk seperti pada
orang tua. Namun, beberapa faktor dapat mempengaruhi pasien stroke seperti
adanya komorbidit lain, beban keuangan dan stigma yang terkait dengan penyakit
jiwa.
Farmakoterapi
Serotonin Selektif Reuptake Inhibitor (SSRI) dan Antidepresan Tri-Siklik
merupakan intervensi farmakologis yang paling banyak digunakan pada pasien PSD.
Keduanya menghambat produksi sitokin inflamasi oleh sel mikroglial, yang
menyebabkan neurogenesis dan neuroplastisitas yang membantu pemulihan fisik
dan peningkatan kognitif post stroke. Selain itu, adanya sinergi antara
pengembangan motorik dan mengurangi kejadian depresi dengan penggunaan SSRI
awal post stroke. Dengan demikian, kemungkinan peran terapi SSRI dalam
pemulihan motor dapat merehabilitasi pasien
SSRI
SSRI merupakan pilihan utama dari semua antidepresan yang tersedia karena
efek samping kolinergik dan kardiovaskular yang rendah. Terlepas dari profil efek
sampingnya, terdapat peningkatan risiko trombosit dan sitokrom P450, dan juga
terdapat interaksi obat yang mematikan serta toksisitas yang mungkin menyebabkan
putus obat.
Di antara kelompok SSRI, citalopram, fluoxetine, dan sertraline banyak
digunakan. Namun, obat ini bervariasi secara farmakokinetik yang membuat mereka
tidak umum diberikan pada semua pasien. Efek obat ini tergantung pada waktu
intervensi. Semakin dini intervensi, semakin baik hasilnya. Sertraline menunjukkan
peningkatan emosi. Fluoxetine juga memiliki efek yang sama.
Agen lainnya
TCA juga terbukti efektif namun tidak direkomendasikan sebagai pengobatan
lini pertama karena afinitasnya terhadap berbagai reseptor, seperti histaminergic,
alpha one adrenergic dan muscarinic acetyl-cholinergic receptors. Diperlukan
perhatian khusus ketika meresepkan TCA pada populasi lansia, karena memiliki
kemungkinan gangguan jantung yang mendasarinya dan efek aritmogenik yang
meningkatkan mortalitas. Dengan menggunakan obat stimulan, seperti
methylphenidate (MPH) pada populasi lansia sebagai terapi depresi berat, terbukti
bermanfaat dalam rehabilitasi pasien stroke akut. Antidepresan inhibitor reuptake
noradrenalin seperti reboxetine juga dapat digunakan pada pasien depresi. Depresi
merupakan keadaan klinis dimana pasien lesu dan gelisah tanpa komponen
kecemasan.
Menurut sebuah tinjauan komprehensif yang diterbitkan pada tahun 2008, jika
kita membandingkan hasil pra dan pasca pengobatan, terdapat beberapa perbaikan
yang nyata, namun untuk mencapai kondisi premorbid yang lengkap merupakan
tugas berat mengingat berbagai gejala somatik dan sistemik pada pasien stroke.
Kesimpulan
Post-Stroke Depression memiliki dampak negatif terhadap pemulihan
fungsional, kognisi, dan rehabilitasi pasien stroke. Hal ini akan meningkatkan risiko
morbiditas dan mortalitas. Selanjutnya, penting untuk mendiagnosis dan mengobati
PSD secara tepat. PSD tidak muncul secara murni akibat faktor biologis atau
psikologis saja, namun bersifat multi faktoral. Oleh karena itu, semua faktor
bertanggung jawab dalam keadaan ini.
Tidak terdapat alat skrining yang dapat diterima secara universal dalam
mengevaluasi depresi post stroke. Selain itu, setiap pasien harus menjalani penilaian
individu serta riwayat penyakit mereka selain dilakukan penilaian umum. Penelitian
lebih lanjut dan penelitian prospektif yang lebih besar diperlukan untuk memahami
keadaan ini serta dalam upaya untuk merancang skrining yang lebih akurat dalam
mendiagnosis PSD secara dini dan tepat. Penting bagi dokter untuk mendapatkan
pelatihan yang cukup agar dapat mengevaluasi dan menilai PSD. Dokter layanan
primer harus dapat menilai PSD berdasarkan evaluasi klinis dan merujuk pasien
tersebut ke perawatan yang tepat, jika diperlukan.
Sejauh ini, penelitian belum menyimpulkan pilihan terapeutik definitif untuk
PSD, walaupun antidepresan seperti SSRI, terbukti memiliki hasil positif pada
pasien PSD. Sayangnya, tidak terdapat antidepresan yang terbukti efektif untuk
memperbaiki prognosis secara signifikan. Penelitian selanjutnya harus difokuskan
pada pemahaman apakah kombinasi antidepresan yang berbeda dapat meningkatkan
prognosis PSD. Selain farmakoterapi, sangat penting untuk mendapatkan cognitive
behavioral therapy and group counseling dalam upaya manajemen secara holistik.
Selain itu juga penting untuk mengurangi kecacatan fisik yang terdapat pada pasien
tersebut untuk mengurangi spastisitas dan afasia yang mana dapat membantu
meringankan depresi sampai batas tertentu. Kesimpulannya, penting untuk
memahami apakah pemberian agen farmakoterapi dan psikoterapi dapat
memberikan hasil yang efektif. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut harus
dilakukan.