Anda di halaman 1dari 18

BAGIAN MATA LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2017

UNIVERSITAS PATTIMURA

ODS PTERIGIUM

Disusun oleh:

Fauzi Mahmud

NIM. 2015-84-008

Pembimbing:

dr. Carmila L. Tamtelahitu, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN MATA RSUD Dr. M. HAULUSSY

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Definisi

Pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang tumbuh dari

arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra. Pterygium tumbuh berbentuk sayap

pada konjungtiva bulbi. Asal kata pterygium adalah dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang

artinya sayap.1

1.2. Epidemiologi

Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering.

Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah

daerah dekat ekuator, yakni daerah yang terletak kurang 370 Lintang Utara dan Selatan dari

ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat ekuator dan kurang dari 2% pada daerah

yang terletak di atas 400 Lintang. Insiden pterygium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di

daerah ekuator, yaitu 13,1%.2

Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium meningkat

dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20

dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4

kali lebih resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, riwayat

terpapar lingkungan di luar rumah.2

1.3. Faktor Resiko

Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet

sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.
1. Radiasi ultraviolet

Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterygium adalah

terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan

kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, waktu di luar rumah, penggunaan kacamata

dan topi juga merupakan faktor penting.3

2. Faktor Genetik

Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan

berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium,

kemungkinan diturunkan autosom dominan.3

3. Faktor lain

Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan

pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini

merupakan teori baru patogenesis dari pterygium. Wong juga menunjukkan adanya pterygium

angiogenesis factor dan penggunaan pharmacotherapy antiangiogenesis sebagai terapi. Debu,

kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus

papilloma juga penyebab dari pterygium.3

1.4. Patogenesis

Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih sering pada orang

yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu gambaran yang paling diterima tentang hal

tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari

(ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya.

Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film menimbulkan
pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterygium pada

daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini.4

Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal stem cell.

Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan

menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya

terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan

subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan

kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman

oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat

normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.4

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal

stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari

defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis,

kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada

pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterygium merupakan

manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet

terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.4

Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan phenotype,

pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah

dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun

menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan matrix

metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak,


penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterygium cenderung terus

tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.4

1.5. Gambaran Klinis Dan Pembagian Pterygium

Gambar 1.1. Pterigium5

Pterygium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah. Bisa unilateral

atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterygium yang terletak di nasal dan

temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun pterygium di daerah temporal jarang

ditemukan. Kedua mata sering terlibat, tetapi jarang simetris. Perluasan pterygium dapat sampai

ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan, menyebabkan penglihatan

kabur.5

Secara klinis pterygium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang

meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga
terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari

kepala pterygium (stoker's line).6

Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head) dan cap. Bagian segitiga

yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya kearah kantus disebut body, sedangkan bagian

atasnya disebut apex dan ke belakang disebut cap. A subepithelial cap atau halo timbul pada

tengah apex dan membentuk batas pinggir pterygium.6

Pembagian pterygium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu :6

- Progresif pterygium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan kepala pterygium

(disebut cap pterygium).

- Regresif pterygium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi membentuk membran

tetapi tidak pernah hilang.

Pada fase awal pterygium tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik. Gangguan terjadi ketika

pterygium mencapai daerah pupil atau menyebabkan astigatisme karena pertumbuhan fibrosis

pada tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan

mata.6

Pembagian lain pterygium yaitu :7

1) Tipe I : meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi dapat dijumpai pada

epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis meskipun sering mengalami

inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih

cepat.

2) Type II : menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah operasi,

berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.


3) Type III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas terutama

yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan

biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata

Pterygium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :7

1. Derajat 1 : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.

2. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.

3. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan

cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 – 4 mm)

4. Derajat 4 : pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

1.6. Diagnosa Banding

Secara klinis pterygium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama yaitu pinguekula

dan pseudopterygium. Bentuknya kecil, meninggi, masa kekuningan berbatasan dengan limbus

pada konjungtiva bulbi di fissura interpalpebra dan kadang-kadang mengalami inflamasi.

Tindakan eksisi tidak diindikasikan. Prevalensi dan insiden meningkat dengan meningkatnya

umur. Pinguekula sering pada iklim sedang dan iklim tropis dan angka kejadian sama pada laki-

laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko penyebab pinguekula.8,9

Pertumbuhan yang mirip dengan pterygium, pertumbuhannya membentuk sudut miring

seperti pseudopterygium atau Terrien's marginal degeneration. Pseudopterygium mirip dengan

pterygium, dimana adanya jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi

menuju kornea. Berbeda dengan pterygium, pseudopterygium adalah akibat inflamasi permukaan

okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau

ulkus perifer kornea. Untuk mengidentifikasi pseudopterygium, cirinya tidak melekat pada

limbus kornea. Probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah
pseudopterygium pada limbus, dimana hal ini tidak dapat dilakukan pada pterygium. Pada

pseudopterygium tidak dapat dibedakan antara head, cap dan body dan pseudopterygium

cenderung keluar dari ruang fissura interpalpebra yang berbeda dengan true pterygium.8,9

1.7. Penatalaksanaan

Keluhan fotofobia dan mata merah dari pterygium ringan sering ditangani dengan

menghindari asap dan debu. Beberapa obat topikal seperti lubrikans, vasokonstriktor dan

kortikosteroid digunakan untuk menghilangkan gejala terutama pada derajat 1 dan derajat 2.

Untuk mencegah progresifitas, beberapa peneliti menganjurkan penggunaan kacamata pelindung

ultraviolet.10

Indikasi eksisi pterygium sangat bervariasi. Eksisi dilakukan pada kondisi adanya

ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan bila ukuran 3-4 mm dan pertumbuhan

yang progresif ke tengah kornea atau aksis visual, adanya gangguan pergerakan bola mata. Eksisi

pterygium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan mata yang licin. Suatu tehnik yang

sering digunakan untuk mengangkat pterygium dengan menggunakan pisau yang datar untuk

mendiseksi pterygium kearah limbus. Memisahkan pterygium kearah bawah pada limbus lebih

disukai, kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma jaringan sekitar otot.

Setelah eksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan. Beberapa tehnik operasi

yang dapat menjadi pilihan yaitu :11

1) Bare sclera : tidak ada jahitan atau jahitan, benang absorbable digunakan untuk melekatkan

konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus. Meninggalkan suatu daerah sklera yang

terbuka.

2) Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya defek

konjungtiva sangat kecil).


3) Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap konjungtiva digeser

untuk menutupi defek.

4) Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah konjungtiva yang

dirotasi pada tempatnya.

5) Conjunctival graft : suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior, dieksisi sesuai dengan

besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit.

6) Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren pterygium, mengurangi

fibrosis atau skar pada permukaan bola mata dan penelitian baru mengungkapkan menekan

TGF-β pada konjungtiva dan fibroblast pterygium. Pemberian mytomicin C dan beta

irradiation dapat diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi jarang digunakan.

7) Lamellar keratoplasty, excimer laser phototherapeutic keratectomy dan terapi baru dengan

menggunakan gabungan angiostatik dan steroid.

1.8. Komplikasi

Komplikasi pterygium termasuk ; merah, iritasi, skar kronis pada konjungtiva dan kornea,

pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, skar pada otot rektus

medial yang dapat menyebabkan diplopia. Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi

pada jaringan epitel di atas pterygium yang ada.12

Komplikasi sewaktu operasi antara lain perforasi korneosklera, graft oedem, graft

hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar, korneoskleral dellen, granuloma konjungtiva,

epithelial inclusion cysts, skar konjungtiva, skar kornea dan astigmatisma, disinsersi otot rektus.

Komplikasi yang terbanyak adalah rekuren pterygium post operasi.12


1.9. Prognosis

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak nyaman pada hari

pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat

beraktivitas kembali. Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu masalah

sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan

antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan

rekuren pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau

transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 – 6 bulan pertama setelah

operasi.13

Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena

terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi

terpapar sinar matahari.13


BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. Identitas

Nama (Inisial) : Tn. SU

Umur : 43 Tahun

Alamat : Karpan/Waihoka

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Buruh Bangunan

Nomor Register : 07-70-00

Waktu Pemeriksaan : 3 Februari 2017

Ruang Pemeriksaan : Poliklinik Mata RSUD Dr. M. Haulussy Ambon

2.2. Anamnesis

1) Keluhan Utama

Ada pertumbuhan daging tipis di permukaan kedua bola mata.

2) Anamnesis Terpimpin

Keluhan yang dialami mulai dirasakan/disadari oleh pasien sejak sekitar 3 bulan yang lalu

sebelum diperiksa di Poliklinik. Keluhan muncul perlahan dan semakin memburuk. Saat

ini penglihatan pasien sedikit kabur, kedua bola mata terasa berat, kaku, seperti berpasir,

dan kadang terasa sakit. Pasien juga mengalami mata berair sejak > 10 tahun yang lalu.

3) Keluhan Tambahan

Kepala terasa sakit dan tegang, menjalar sampai ke leher.


4) Negatif Pendukung: -

5) Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-), Trauma pada mata (-), Orchitis (+)

6) Riwayat Kacamata: -

7) Riwayat Keluarga

Mata berair dan seperti berpasir (+) pada kakak kandung.

8) Riwayat Sosial dan Ekonomi

Pasien adalah seorang buruh bangunan sejak > 10 tahun yang lalu.

9) Riwayat Pengobatan

Pengobatan Tradisional dengan Daun-daunan (1 macam tanaman)

10) Riwayat Alergi: -

2.3. Pemeriksaan Fisik

1. Status Generalis

Kesadaran : Compos Mentis (E4M6V5)

Tekanan Darah : 100/70 mmHg

Nadi : 78 x / menit

Pernapasan : 24 x / menit

Suhu : Sekitar 36,5 °C

2. Status Oftalmologi

a) Visus

- OD : 6/9  S – 0,50: 6/6

- OS : 6/30  PH: 6/9 F  S – 1,50: 6/7 F


b) Segmen anterior ODS

OD Segmen Anterior Bola Mata OS


Edema (-) Palpebra Edema (-)
Pterigium (+), Hiperemis (-), Konjungtiva Pterigium (+), Hiperemis (-),
Anemis (-) Anemis (-)
Jernih, Pterigium (+) Kornea Jernih, Pterigium (+)
Hifema (-), Ulkus (-) Bilik Mata Depan Hifema (-), Ulkus (-)
Radier Iris Radier
Bulat 3 mm, isokor, RCL (+), Pupil Bulat 3 mm, isokor, RCL (+),
RCTL (+). RCTL (+)
Jernih Lensa Jernih

Gambar Skematik

(OD) (OS)

Pterigium Derajat III

- Tekanan Intra Okuli ODS: tidak dilakukan

- Pergerakan Bola Mata : ODS bisa ke segala arah

Terbatas Terbatas

- Funduskopi ODS : Tidak dilakukan


2.4. Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan

2.5. Diagnosis

ODS Pterigium Derajat III + Mata Kering

2.6. Diagnosis Banding

- ODS Pseudopterigium

- ODS Pinguekula

- ODS Conjungtiva Vein Injection

- ODS Konjungtivitis

- ODS Skleritis

2.7. Perencanaan

a) Terapi

- Cendo eyefresh (ED MD 5 x 0,6 ml) 1-2 tetes, 6 kali sehari.

b) Monitoring

- Keluhan Utama

c) Edukasi

- Penjelasan tentang kondisi mata pasien.

- Penjelasan tentang tindakan operasi yang perlu dilakukan.

- Penjelasan tentang cara pemakaian obat tetes.

- Kontrol ulang dalam 6 bulan.

2.8. Prognosis

OD Prognosis OS

Bonam Quo ad Vitam Bonam


Dubia Quo ad Functionam Dubia

Bonam Quo ad Sanasionam Bonam


BAB III

DISKUSI

Pasien laki-laki usia 43 tahun datang dengan keluhan ada pertumbuhan daging tipis di

permukaan kedua bola mata yang mulai dirasakan/disadari sejak 3 bulan yang lalu sebelum

diperiksa di Poliklinik. Keluhan muncul perlahan dan semakin memburuk. Saat ini penglihatan

pasien sedikit kabur, kedua bola mata terasa berat, kaku, seperti berpasir, dan kadang terasa

sakit. Pasien juga mengalami mata berair sejak > 10 tahun yang lalu. Selain itu pasien mengeluh

kepala terasa sakit dan tegang, menjalar sampai ke leher. Pasien adalah seorang buruh bangunan

sejak > 10 tahun yang lalu. Berdasarkan keluhan yang dialami dan riwayat sosial ekonomi

pasien, maka sesuai dengan penjelasan yang pada kepustakaan, merupakan gejala, tanda, dan

faktor risiko pada Pterigium dan Mata Kering.

Pada pemeriksaan status oftalmologi didapatkan VOD: 6/9  S – 0,50: 6/6 dan VOS: 6/30

 PH: 6/9 F  S – 1,50: 6/7 F. Ditemuakan ada pertumbuhan jaringan tipis berbentuk segitiga

dari arah konjungtiva ke arah kornea pada kedua mata. Pergerakan kedua bola mata ke arah

lateral masing-masing terbatas. Pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk

segitiga yang tumbuh pada daerah interpalpebra. Pterygium tumbuh berbentuk sayap pada

konjungtiva bulbi.

Penatalaksanaan pterygium dapat bervariasi. Eksisi dilakukan pada kondisi adanya

ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan bila ukuran 3-4 mm dan pertumbuhan

yang progresif ke tengah kornea atau aksis visual, adanya gangguan pergerakan bola mata. Eksisi

pterygium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan mata yang licin. Suatu tehnik yang

sering digunakan untuk mengangkat pterygium dengan menggunakan pisau yang datar untuk
mendiseksi pterygium kearah limbus. Memisahkan pterygium kearah bawah pada limbus lebih

disukai, kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma jaringan sekitar otot.

Setelah eksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Stephen GW. Pterygium in Duane's Clinical Ophthalmology, chapter 35, vol 6, Lippincont

William & Wilkin, 2004

2. Khurana AK. Community Ophthalmology in Comprehensif Ophthalmology, chapter 20,

4thed, New Age International (P) Limited, New Delhi, 2007

3. Donald TH. Pterygium in Clinical Ophthalmology – An Asian Perespective, Singapore,

chapter 3, Saunders Elsevier, 2000

4. Nema HV. Textbook of Ophthalmology, 4thed, Jaypee Brothers, 2002

5. Fisher JP, Pterygium, available in: http://emedicine.medscape.com/article/1192527-

overview

6. Riordani Paul-Eva. Conjunctiva in Vaughan & Asbury's General Ophthalmology, chapter

5, 6thed. Mc Graw Hill. Singapore, 2004

7. Kanskii J.J. Pterygium in Clinical Ophthalmology A Systematic Approach, 6thed, 2007

8. Gazzard G, Saw S – M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in Indonesia :

Prevalence, severity and risk factors, British Journal of Ophthalmology, 2002

9. Pterygium, available in : http//www.emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

10. Atilla Alpay, Suat Hayri Ug.urbas, Berktug. Erdog.an, Comparing techniques for

pterygium surgery, available in : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2709008/

11. Edward J H, Mark J. Mannis. Ocular Surface Disease, Medical Surgical management, 2002

12. Coroneo MT, Pterygium, available in : http://www.Brjophthalmology.77(11):734-9.doi

13. Gulani AC, extended sun exposure increases risk of eye pterygium Release, available in :

http://www.prweb.com/releases/2005/3/prweb221035.htm

Anda mungkin juga menyukai