Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN

Abses peritonsil termasuk salah satu abses leher bagian dalam. Selain
abses peritonsil, abses parafaring, abses retrofaring, dan angina ludavici
(Ludwig’s angina), atau abses submandibula juga termasuk abses leher bagian
dalam. Abses leher dalam terbentuk di antara fascia leher dalam sebagai akibat
penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorokan, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher.
Abses peritonsil merupakan kumpulan atau timbunan pus yang terlokalisir
pada jaringan peritonsiler yang terbentuk akibat tonsilitis supuratif.1 Abses
peritonsil terbentuk karena penyebaran organisme bakteri yang menginfeksi
tenggorokan pada satu ruangan areolar yang longgar disekitar faring yang biasa
menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus bagian kapsul
tonsil, tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring. Peradangan akan
mengakibatkan terbentuknya abses dan biasanya unilateral. Tempat yang biasa
terjadi abses adalah di bagian pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior,
dan palatum superior.2
Infeksi ini bisa terjadi pada setiap kelompok usia namun insiden tertinggi
pada dewasa berumur 20 – 40 tahun. Abses peritonsil merupakan infeksi profunda
yang paling sering pada kepala dan tenggorok pada usia dewasa muda. Seringkali
pasien datang dengan keluhan yang berat. Pengenalan awal dan pemberian terapi
merupakan hal yang penting dilakukan untuk mencegah komplikasi serius yang
mungkin timbul.3

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tonsil
2.1.1 Anatomi Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsil
faringeal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya
membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.4

Gambar 2.1 Anatomi Tonsil.5

Gambar 2.2 Cincin Waldeyer.6

2
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong di atasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.
Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:7
 Lateral : Muskulus konstriktor faring superior
 Anterior : Muskulus palatoglosus
 Posterior : Muskulus palatofaringeus
 Superior : Palatum mole
 Inferior : Tonsil lingual
2.1.2 Sistem Vaskularisasi dan Persarafan Tonsil
Tonsil mendapatkan vaskularisasi dari cabang-cabang arteri karotis
eksterna, yaitu:
1. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteritonsilaris
dan arteri palatina asenden.
2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden.
3. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal.
4. Arteri faringeal asenden.
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal
dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, di antara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal
asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus
yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di
sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.4
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX
(nervus glosofaringeal).2
2.1.3 Fisiologi Tonsil
Peran imunitas tonsil adalah sebagai pertahanan primer untuk menginduksi
sekresi bahan imun dan mengatur produksi dari imunoglobulin sekretoris. Peran
tonsil mulai aktif antara umur 4-10 tahun dan akan menurun setelah masa

3
pubertas. Hal ini menjadi alasan fungsi pertahanan dari tonsil lebih besar pada
anak-anak daripada orang dewasa. Anak-anak mengalami perkembangan daya
tahan tubuhnya terhadap infeksi terjadi pada umur 7 hingga 8 tahun dan tonsil
merupakan salah satu organ imunitas pada anak yang memiliki fungsi imunitas
yang luas.8
Berdasarkan penelitian, tonsil mempunyai peranan penting dalam fase-fase
awal kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara pernafasan
sebelum masuk ke dalam saluran nafas bagian bawah. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa parenkim tonsil mempu menghasilkan antibodi. Tonsil
memegang peranan dalam menghasilkan IgA, yang menyebabkan jaringan
jaringan lokal resisten terhadap organisme patogen. Sewaktu baru lahir, tonsil
secara histologi tidak mempunyai sentrum germinativum, biasanya ukurannya
kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan
adenoid, yang pada permulaan kehidupan masa anak-anak dianggap normal dan
dapat dipakai sebagai indeks aktivitas sistem imun. Pada waktu pubertas atau
sebelum masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses
involusi. Terdapat dua mekanisme pertahanan, yaitu spesifik dan non spesifik.8
a. Mekanisme Pertahanan Non Spesifik
Mekanisme pertahanan non spesifik berupa lapisan mukosa tonsil dan
kemampuan limfoid untuk menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa
tempat lapisan mukosa ini sangat tipis, sehingga menjadi tempat yang lemah
dalam pertahanan dari masuknya kuman ke dalam jaringan tonsil. Jika kuman
dapat masuk ke dalam lapisan mukosa, maka kuman ini dapat ditangkap oleh sel
fagosit. Sebelumnya kuman akan mengalami opsonisasi sehingga menimbulkan
kepekaan bakteri terhadap fagosit. Setelah terjadi proses opsonisasi maka sel
fagosit akan bergerak mengelilingi bakteri dan memakannya dengan cara
memasukkannya ke dalam kantong yang disebut fagosom. Proses selanjutnya
adalah digesti dan mematikan bakteri. Mekanismenya belum diketahui pasti,
tetapi diduga terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang diperlukan untuk
pembentukan superoksidase yang akan membentuk H2O2 yang bersifat
bakterisidal. H2O2 yang terbentuk akan masuk ke dalam fagosom atau berdifusi di
sekitarnya, kemudian membunuh bakteri dengan proses oksidasi. Di dalam sel

4
fagosit terdapat granula lisosom. Bila fagosit kontak dengan bakteri maka
membran lisosom akan mengalami ruptur dan enzim hidrolitiknya mengalir dalam
fagosom membentuk rongga digestif, yang selanjutnya akan menghancurkan
bakteri dengan proses digestif.8
b. Mekanisme Pertahanan Spesifik
Merupakan mekanisme pertahanan yang terpenting dalam pertahanan
tubuh terhadap udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bawah.
Tonsil dapat memproduksi IgA yang akan menyebabkan resistensi jaringan lokal
terhadap organisme patogen. Di samping itu tonsil dan adenoid juga dapat
menghasilkan IgE yang berfungsi untuk mengikat sel basofil dan sel mastosit, di
mana sel-sel tersebut mengandung granula yang berisi mediator vasoaktif, yaitu
histamin. Bila ada alergen maka alergen itu akan bereaksi dengan IgE, sehingga
permukaan sel membrannya akan terangsang dan terjadilah proses degranulasi.
Proses ini menyebabkan keluarnya histamin, sehingga timbul reaksi
hipersensitivitas tipe 1, yaitu atopi, anafilaksis, urtikaria, dan angioedema.
Dengan teknik immunoperoksidase, dapat diketahui bahwa IgE dihasilkan dari
plasma sel, terutama dari epitel yang menutupi permukaan tonsil, adenoid, dan
kripta tonsil. Mekanisme kerja IgA adalah mencegah substansi masuk ke dalam
proses immunologi, sehingga dalam proses neutralisasi dari infeksi virus, IgA
mencegah terjadinya penyakit autoimun. Oleh karena itu IgA merupakan barrier
untuk mencegah reaksi imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis.8
2.2 Abses Peritonsil
2.2.1 Definisi Abses Peritonsil
Abses peritonsil sering disebut sebagai Peritonsillar Abscess (PTA) atau
Quinsy adalah suatu rongga yang berisi nanah didalam jaringan peritonsil yang
terbentuk sebagai hasil dari tonsillitis supuratif.4
2.2.2 Etiologi Abses Peritonsil
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat dari komplikasi tonsilitis akut atau
infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya
kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsillitis, dapat ditemukan
kuman aerob dan anaerob. Berikut daftar bakteri yang sering menyebabkan abses
peritonsil : 4

5
Tabel 2.1 Bakteri penyebab abses peritonsil
Bakteri Aerob Bakteri Anaerob
Streptococcus pyogenes Fusobacterium sp.
Staphylococcus aureus Peptostreptococcus
Neisseria sp. Pigmented Prevotella
Corynebacterium sp. Veillonella

Sedangkan virus yang dapat menyebabkan abses peritonsil antara lain


eipsten-barr, adenovirus, influenza A dan B, herpes simplex, dan parainfluenza.

2.2.3 Epidemiologi Abses Peritonsil


Di Amerika Serikat, insidensi abses peritonsil diperkirakan sekitar 30
kasus per 100.000 orang per tahun, sekitar 45.000 kasus tiap tahunnya. Infeksi
sebagian besar terjadi pada bulan November hingga Desember dan April hingga
Mei, bersamaan dengan terjadinya insidensi tertinggi faringitis streptokokus dan
tonsilitis eksudatif. Secara internasional, frekuensi dilaporkan lebih tinggi oleh
karena rekurensi dan resistensi terhadap antibiotik. 9,10
Mortalitas dari abses peritonsil belum diketahui. Morbiditas abses
peritonsiler sebagian besar berkaitan dengan nyeri, biaya terapi, absensi kerja dan
sekolah, dan komplikasi. Abses peritonsil dapat terjadi pada orang usia 10 hingga
60 tahun, akan tetapi sebagian besar terjadi pada usia 20-40 tahun. Anak-anak
yang lebih muda yang terkena abses peritonsil sering merupakan anak dengan
immunocompromised. 9,10
2.2.4 Patogenesis Abses Peritonsil
Kavitas oral, uvula, anterior pillar, posterior pillar dan tonsil adalah
tempat-tempat yang paling sering terbentuk abses. Diantara anterior pillar dan
posterior pillar terdapat ruang peritonsiler, ruang retropharyngeal, ruang
parapharyngeal dan banyak pembuluh darah. Kebanyakan abses peritonsil
didahului adanya gangguan atau penyakit sebelumnya di tonsil. Apabila terjadi
infeksi akut di tonsil maka infeksi akan menyebar ke ruang peritonsiler sehingga
menyebabkan selulitis peritonsiler atau bisa juga terjadi obstruksi di kelenjar

6
weber. Kelenjar weber adalah kelenjar saliva yang terletak di pole tonsil, pole
superior tonsil dan duktusnya menuju fossa tonsilaris.3

Apabila terdapat penyakit di tonsil, tonsillitis kronis dan lain-lain maka


akan menyebabkan obstruksi di duktus tersebut dan menyebabkan stasis yaitu
adanya kolonisasi bakteri sehingga terjadi infeksi bakteri berlanjut menjadi
selullitis. Jika selullitis ini tidak diterapi dengan baik maka akan berlanjut
menjadi abses peritonsiler. Abses dapat pecah sendiri, sembuh sendiri atau
menyebar ke ruang retropharyngeal. Gangguan ini juga bisa berkembang menjadi
mediastinitis melalui pembuluh darah carotis dan bisa sampai terjadi sepsis dan
menyebabkan kematian.3

Patologi abses peritonsil belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang


paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsilitis eksudatif
pertama menjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang
sebenarnya (frank abscess formation).3
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,
oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses
peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium
permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang
hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih
lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan
mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi
kontra lateral.4
Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses
dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru. 9 Selain itu, abses
peritonsil terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsilitis kronis atau
berulang sebelumnya. Abses peritonsil dapat juga merupakan suatu gambaran dari
infeksi virus Epstein-Barr (mononucleosis).12
Review terbaru menunjukkan bahwa glandula Weber memainkan peranan
kunci pada pembentukan abses peritonsil. Kelompok glandula saliva yang

7
berjumlah 20-25 ini terletak pada suatu tempat di palatum molle, dan superior
terhadap tonsil, dan dihubungkan dengan permukaan tonsil oleh suatu duktus.
Glandula ini membersihkan area tonsil dari debris dan membantu proses digesti
partikel makanan yang terperangkap pada kripta tonsilla. Jika glandula Weber
mengalami peradangan, selulitis lokal dapat terbentuk. Dengan berkembangnya
infeksi, duktus ke permukaan tonsil mengalami obstruksi yang terus berkembang,
oleh karena inflamasi di sekitarnya. Nekrosis jaringan dan pembentukan pus yang
dihasilkan oleh proses ini, menimbulkan tanda dan gejala klasik abses peritonsil.
Abses pada umumnya terbentuk pada area pada palatum molle, di atas polus
superior tonsil, di lokasi glandula Weber. Terjadinya abses peritonsil pada pasien
yang pernah menjalani tonsilektomi mendukung teori bahwa glandula Weber
memiliki peranan dalam patogenesis.11
2.2.5 Manifestasi Klinis Abses Peritonsil
Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris, disfagia dan
odinofagia yang menyolok dan spontan, “hot potato voice”, mengunyah terasa
sakit karena m. masseter menekan tonsil yang meradang, nyeri telinga (otalgia)
ipsilateral, foetor ex orae, perubahan suara karena hipersalivasi dan banyak ludah
yang menumpuk di faring, rinolalia aperta karena udem palatum molle (udem
dapat terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis = udem
perifokalis), trismus (terbatasnya kemampuan untuk membuka rongga mulut)
yang bervariasi, tergantung derajat keparahan dan progresivitas penyakit, trismus
menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna,
sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut. Limfadenitis servikal yang
sangat nyeri bisa didapatkan dengan palpasi pada sisi yang terkena. Akibat
limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan nyeri leher dan
terbatasnya gerakan leher (torticolis). Tonsil pada umunya tergeser ke arah
inferior dan medial dengan deviasi kontralateral uvula. 4
Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke arah garis tengah
dan dapat diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkan di palatum molle.
Terdapat riwayat faringitis akut, tonsillitis, dan rasa tidak nyaman pada
tenggorokan atau faring unilateral yang semakin memburuk. Keparahan dan
progresivitasnya ditunjukkan dari trismus. Kebanyakan pasien menderita nyeri

8
hebat. Kematian dapat terjadi oleh karena obstruksi jalan nafas, aspirasi, atau
perdarahan dari erosi atau nekrosis septik pada selubung karotid.13
Tabel 2.2 Gejala dan tanda yang umum ditemukan pada pasien dengan abses
peritonsil.13
Gejala Tanda
Demam Eritematosa, bengkak di palatum molle dengan deviasi
uvula ke sisi kontralateral dan pembesaran tonsil
Malaise Trismus
Nyeri tenggorok Drooling/ Hipersalivasi
Nyeri menelan Hot potato voice
Otalgia (ipsilateral) Nafas berbau
Limfadenitis servikal

2.2.6 Diagnosis Abses Peritonsil


Diagnosis abses peritonsil sering ditetapkan dengan dasar anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang teliti.
1. Anamnesis
Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis abses
peritonsil. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada tenggorokan adalah salah
satu yang mendukung terjadinya abses peritonsil. Riwayat adanya faringitis akut
yang disertai tonsilitis dan rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral. Selain
itu juga terlihat tanda dan gejala adanya abses peritonsil (Tabel 2.2). 13
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring.
Inspeksi terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit karena
ketidakmampuan pasien membuka mulut. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan
pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral didapatkan hiperemis.
Tonsil hiperemis, eksudasi, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah
tengah, depan, dan bawah. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral.
Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil yang
terkena, di fossa supratonsiler. Mukosa di lipatan supratonsiler tampak pucat dan
bahkan seperti bintil-bintil kecil. Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa

9
melihat pembengkakan peritonsilaris yang luas, mendorong uvula melewati garis
tengah, dengan edema dari palatum mole dan penonjolan jaringan dari garis
tengah. Asimetri palatum mole, tampak membengkak dan menonjol ke depan,
serta pada palpasi palatum mole teraba fluktuasi. 13,14
3. Pemeriksaan Penunjang 12
Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk
penderita yang mengalami gangguan pernafasan. Gold standart pemeriksaan yaitu
dengan melakukan aspirasi jarum (needle aspration). Tempat yang akan
dilakukan aspirasi di anestesi dengan menggunakan lidokain atau epinefrin
dengan menggunakan jarum berukuran 16-18 yang biasa menempel pada syringe
berukuran 10 cc. Aspirasi material yang purulen merupakan tanda khas, dan
material dapat dikirim untuk dibuat biakannya sehingga dapat diketahui
organisme penyebab infeksi demi kepentingan terapi antibiotika. Pada penderita
abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:
 Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit
(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).
 Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan
tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif,
penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function
tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.
 Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk identifikasi
organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan
antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi
antibiotik.
 Plain radiographs adalah foto pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft
tissue views) dari nasopharyng dan oropharyng dapat membantu dokter dalam
menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.
 Computerized tomography (CT scan) biasanya tampak kumpulan cairan
hypodense di apex tonsil yang terinfeksi menandakan adanya cairan pada
tonsil yang terkena disamping itu juga dapat dilihat pembesaran yang
asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk rencana
operasi.

10
 Peripheral Rim Enhancement Ultrasound, contohnya: intraoral
ultrasonography. Intraoral ultrasonografi mempunyai sensifitas 95,2 % dan
spesifitas 78,5 %. Transcutaneous ultrasonografi mempunyai sensifitas 80%
dan spesifisitas 92,8 %. merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan
dapat membantu dalam membedakan antara selulitis dan awal dari abses.
Pemeriksaan ini juga bias menentukan pilihan yang lebih terarah sebelum
melakukan operasi dan drainase secara pasti.
2.2.7 Diagnosis Banding Abses Peritonsil
Abses peritonsil dapat didiagnosis banding dengan penyakit-penyakit abses
leher dalam lainnya yaitu:
1. Abses retrofaring
2. Abses parafaring
3. Abses submandibula
4. Angina ludovici
Hal ini karena pada semua penyakit abses leher dalam, nyeri tenggorok,
demam, serta terbatasnya gerakan membuka mulut merupakan keluhan yang
paling umum. Untuk membedakan abses peritonsil dengan penyakit leher dalam
lainnya, diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat.4
Selain itu, abses peritonsil juga didiagnosis banding dengan infeksi gigi,
epiglotitis, selulitis peritonsil, faringitis, mononukleosis, adenitis servikal, infeksi
kelenjar saliva, leukemia atau limfoma.4

2.2.8 Tatalaksana Abses Peritonsil


Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah :
a) Pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
b) Pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral.
c) Insisi dan mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara
parenteral atau peroral.
d) Segera tonsilektomi disertai pemberian antibiotika parenteral.
e) Pemberian steroid.
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat
simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin

11
pada leher. Pemilihan antibiotik yang tepat tergantung dari hasil kultur
mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan drug of choice pada
abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika dikombinasikan dengan
metronidazole. Dosis untuk penisilin pada dewasa adalah 600 mg IV tiap 6 jam
selama 12-24 jam, dan anak 12.500-25.000 U/kg tiap 6 jam. Metronidazole dosis
awal untuk dewasa 15 mg/kg dan dosis penjagaan 6 jam setelah dosis awal
dengan infus 7,5 mg/kg selama 1 jam diberikan selama 6-8 jam dan tidak boleh
lebih dari 4 gr/hari.4,14
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian
diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar
uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan
dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan
supratonsilar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera
gejala-gejala pasien.4
Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia
lokal di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi
tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase
abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah
drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi
dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.4
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses
peritonsil berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.
Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Angka
kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses peritonsiler berkisar antara
0% sampai 22%. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi
dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8
minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis,
sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.4
Penggunaan steroid masih kontroversial. Penelitian terbaru
mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone
pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu

12
opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain),
demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik
parenteral.14
2.2.9 Komplikasi Abses Peritonsil
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah:4
 Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru, atau piemia.
 Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan
mediastinitis.
 Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan thrombus
sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.
 Sekuele post streptokokus seperti glomerulonefritis dan demam rheumatik
apabila bakteri penyebab infeksi adalah Streptococcus Group A.
 Kematian walaupun jarang dapat terjadi akibat perdarahan atau nekrosis
septik ke selubung karotis atau carotid sheath.
 Akibat tindakan insisi pada abses, terjadi perdarahan pada arteri supratonsilar.
Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis abses
peritonsil diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progresif
penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.
2.2.10 Prognosis Abses Peritonsil
Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian
kecuali jika terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan
aspirasi ke paru. Selain itu komplikasi ke intrakranial juga dapat membahayakan
nyawa pasien.15
Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan
tonsilektomi, maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut
peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada
saat operasi.15

13
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Penderita
Nama : UAFS
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Tukang Bangunan
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Br. Tegal Jadi, Marga, Tabanan
Tgl Pemeriksaan : 16 Mei 2016

II. Anamnesa
Keluhan Utama : Nyeri pada tenggorokan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Tabanan tanggal 14 Mei 2016
dengan keluhan nyeri pada tenggorokan. Keluhan ini dirasakan sejak 5 hari
sebelum datang ke poliklinik. Nyeri terutama dirasakan ketika pasien menelan
saat makan maupun minum. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk, dan
berlangsung terus-menerus yang terutama dirasakan ketika pasien menelan.
Nyeri juga dirasakan di daerah wajah bagian kanan yang dirasakan menjalar
hingga ke telinga kanan. Selain nyeri menelan pasien juga mengeluhkan susah
menelan yang dirasakan semakin memberat. Sejak 3 hari sebelum datang
kepoliklinik pasien mengeluhkan mulai susah membuka mulut, mulut
dirasakan kaku dan pasien susah mengunyah, dan menelan, bahkan untuk
menelan air pasien mulai kesusahan. Makan dan minum pasien dikatakan
berkurang.
Pasien juga mengeluhkan benjolan pada belakang telinga kiri yang
dirasakan sejak 4 hari yang lalu yang dikatakan semakin membesar. benjolan
disertai dengan rasa nyeri. Pasien juga mengatakan sebelumnya merasakan

14
demam hilang timbul yang dirasakan sumer-sumer sejak 5 hari sebelum
datang ke poliklinik namun tidak sempat diukur suhunya. Pasien juga
mengeluhkan suara serak sejak hari 2 hari sebelum datang ke poliklinik.
Pasien menyangkal memiliki keluhan batuk, pilek, dan keluar cairan dari
telinga juga disangkal. Pasien juga menyangkal memiliki keluhan pusing
ataupun sakit kepala.

Riwayat Penyakit Dahulu dan pengobatan


Pasien mengatakan dulu pernah beberapa kali mengalami nyeri menelan
namun dikatakan biasanya hilang sendiri dan tidak pernah dibawa berobat.
Pasien juga mengatakan memiliki riwayat sakit gigi sejak kecil yang hilang
timbul. Gigi pasien dikatakan dulu banyak berlubang dan sudah dicabut
sendiri. Pasien sebelumnya sempat berobat ke bidan dan diberi obat-obatan
namun pasien tidak ingat obatnya.
Riwayat penyakit sistemik lain seperti hipertensi dan kencing manis
disangkal.

Riwayat Alergi
Pasien menyangkal adanya alergi terhadap obat, makanan maupun bahan
tertentu.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan
pasien.

Riwayat Pribadi dan Sosial


Penderita adalah seorang tukang bangunan, dikatakan semenjak sakit
pasien cuti bekerja karena tidak tahan sakitnya. Pasien mengatakan sering
makan makanan yang digoreng. Pasien juga memiliki kebiasaan merokok
setiap hari kurang lebih 2 pak per hari. Kebiasaan minum minuman
beralkohol dikatakan jarang.

15
III. Pemeriksaan Fisik (17/5/2016)
Status Present
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 80x/menit
Respirasi : 20x/menit
Tax : 37,0oC

Status General
Kepala : Normocephali
Mata : Anemis -/- , ikterus -/-
THT : Sesuai status lokalis
Thorax : Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, Wheezing -/-, Rhonki -/-
Abdomen : BU (+), Distensi (-)
Ekstremitas : Edema (-), Hangat (+)

Status Lokalis THT


1.1. Kepala dan Leher
Kepala : normocephale
Wajah : simetris, trismus (-)
Leher : pembesaran KGB (-), benjolan (-), nyeri tekan (-)
1.2. Gigi dan mulut
Gigi geligi : karies gigi (+)
Lidah : normal, kotor (-), tremor (-)
Pipi : bengkak (-)
1.3. Pemeriksaan Telinga
Bagian Auricula Dextra Sinistra
Auricula Bentuk normal, Bentuk normal

16
nyeri tarik (-) nyeri tarik (-)
nyeri tragus (-) nyeri tragus (-)
Serumen (-) Serumen (-)
MAE hiperemis (-) hiperemis (-)
Sekret (-) Sekret (-)
Intak Intak
Membran timpani putih mengkilat putih mengkilat
refleks cahaya (+) refleks cahaya (+)

1.4. Pemeriksaan Hidung


Bagian Hidung Luar
Dextra Sinistra
Bentuk Normal Normal
Inflamasi atau tumor - -
Nyeri tekan sinus - -
Deformitas atau septum
- -
deviasi
Rhinoskopi anterior
Vestibulum nasi Normal Normal
Dasar cavum nasi Normal
Sekret - -
Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Benda asing - -
Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Konka nasi media
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Konka nasi inferior.
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Septum Deviasi (-)

1.5. Pemeriksaan tenggorokan

17
Lidah Ulcus (-), Stomatitis (-)
Palatum mole Ulcus (-), hiperemis (-)
Uvula Bentuk normal, posisi terdorong kekiri
Tonsil
Tonsil Dextra Sinistra
Ukuran T1 T1
Permukaan Tidak Rata Tidak Rata
Warna Hiperemis (+) Hiperemis (-)
Kripte Melebar (+) Melebar (-)
Detritus (+) (-)
Faring  Mukosa hiperemis (-)
Suara Serak

IV. Resume
Pasien laki-laki berusia 35 tahun, Islam, suku jawa, datang ke poliklinik
THT RSUD Tabanan tanggal 14 Mei 2016 dengan keluhan nyeri pada
tenggorokan. Keluhan ini dirasakan sejak 5 hari sebelum datang ke poliklinik.
Nyeri terutama dirasakan ketika pasien menelan saat makan maupun minum.
Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk, dan berlangsung terus-menerus yang
terutama dirasakan ketika pasien menelan. Nyeri juga dirasakan di daerah
wajah bagian kanan yang dirasakan menjalar hingga ke telinga kanan. Selain
nyeri menelan pasien juga mengeluhkan susah menelan yang dirasakan
semakin memberat. Sejak 3 hari sebelum datang kepoliklinik pasien
mengeluhkan mulai susah membuka mulut, mulut dirasakan kaku dan pasien
susah mengunyah, dan menelan, bahkan untuk menelan air pasien mulai
kesusahan.makan dan minum pasien dikatakan berkurang.
Pasien juga mengeluhkan benjolan pada belakang telinga kiri yang
dirasakan sejak 4 hari yang lalu yang dikatakan semakin membesar. benjolan
disertai dengan rasa nyeri. Pasien juga mengatakan sebelumnya merasakan
demam hilang timbul yang dirasakan sumer-sumer sejak 5 hari sebelum
datang ke poliklinik namun tidak sempat diukur suhunya. Pasien juga
mengeluhkan suara serak sejak hari 2 hari sebelum datang ke poliklinik.

18
Pasien menyangkal memiliki keluhan batuk, pilek, dan keluar cairan dari
telinga juga disangkal. Pasien juga menyangkal memiliki keluhan pusing
ataupun sakit kepala.
Pada pemeriksaan fisik umum saat pemeriksaan ditemukan tanda vital dan
status generalis dalam kondisi baik. Pada pemeriksaan kepala tidak
didapatkan kelainan, pada pemeriksaan leher saat pemeriksaan tidak lagi
ditemukan benjolan dan nyeri tekan. Pada pemeriksaan THT telinga, tidak
didapatkan adanya kelainan, kondisi telinga masih dalam batas normal. Pada
pemeriksaan hidung, juga tidak didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan
tenggorokan didapatkan suara pasien serak, tonsil sudah mengecil dengan
ukuran T1/T1, dimana pada tonsil kanan mukosa masih terlihat hiperemi,
kripta melebar, masih terlihat detritus dan uvula tampak terdorong ke kiri.

V. Diagnosis Kerja
Abses Peritonsilar Dekstra

VI. Penatalaksanaan
Non-medikamentosa :
- Bedrest
- hindari makanan atau minuman panas dan dingin
- makan makanan lunak
- kumur dengan cairan hangat
- kompres dingin di bagian leher

Medikamentosa:
- Diet Cair TKTP
- IVFD RL:D5 2:1 20tpm
- Cefotaxime inj. 3x1gr
- Ketorolac inj. 3x30mg
- Cefuroxime acetyl PO
- Ranitidine inj 2x1 amp
- Metronidazole 3x500mg PO

19
- Metylprednisolone 2x62,5mg PO
Operatif:
- Pungsi, insisi dan drainase abses
- Usulan untuk dilakukan prosedur tonsilektomi

KIE:
- Penjelasan kepada pasien dan keluarga mengenai diagnosis, rencana terapi
dan intervensi, serta prognosis
- Menjaga higenitas mulut
- Penjelasan mengenai indikasi, prosedur, dan komplikasi tonsilektomi

VII. Prognosis
Ad Vitam : Bonam
Ad Functionam : Bonam
Ad Sanationam : Dubius ad Malam

20
BAB IV
PEMBAHASAN

Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri pada tenggorokan.


Keluhan dirasakan sejak 5 hari sebelum datang ke poliklinik. Nyeri terutama
dirasakan ketika pasien menelan saat makan maupun minum. Nyeri juga
dirasakan menjalar hingga ke telinga. Selain nyeri menelan pasien juga
mengeluhkan susah menelan yang dirasakan semakin memberat. Sejak 3 hari
pasien juga mengeluhkan mulai susah membuka mulut, mulut dirasakan kaku dan
pasien susah mengunyah, dan menelan, bahkan untuk menelan air pasien mulai
kesusahan. Makan dan minum pasien dikatakan berkurang.
Pasien juga mengeluhkan benjolan pada belakang telinga kiri yang
dirasakan sejak 4 hari yang lalu yang dikatakan semakin membesar. benjolan
disertai dengan rasa nyeri. Pasien juga mengatakan sebelumnya merasakan
demam hilang timbul, suara pasien juga dikatakan serak sejak 2 hari sebelum
datang ke poliklinik. Pasien menyangkal memiliki keluhan batuk, pilek, dan
keluar cairan dari telinga juga disangkal. Sebelumnya dikatakan pasien pernah
beberapa kali mengalami sakit tenggorokan namun hilang sendiri. Gigi pasien
juga sebelumnya dikatakan sering sakit dan banyak yang berlubang. Riwayat
penyakit lain seperti alergi dan penyakit sistemik disangkal.
Berdasarkan Anamnesis, keluhan yang dialami oleh pasien sesuai dengan
manifestasi klinis pada pasien dengan abses peritonsil. Pada pasien dengan abses
peritonsil dapat ditemukan gejala panas sub febris, disfagia dan odinofagia yang
menyolok dan spontan, mengunyah terasa sakit karena m. masseter menekan
tonsil yang meradang, nyeri telinga (otalgia) ipsilateral, foetor ex orae (mulut
berbau), perubahan suara karena hipersalivasi dan banyak ludah yang menumpuk
di faring, trismus (terbatasnya kemampuan untuk membuka rongga mulut) yang
bervariasi, tergantung derajat keparahan dan progresivitas penyakit. Trismus
menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna,
sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut. Benjolan yang juga dikeluhkan
pasien bisa berasal dari limfadenitis servikal yang biasanya sangat nyeri
didapatkan dengan palpasi pada sisi yang terkena. Dari anamnesis, riwayat

21
adanya faringitis akut yang disertai tonsilitis dan rasa kurang nyaman pada
pharingeal unilateral juga mendukung diagnosis abses peritonsil. Dimana pada
pasien ini dikatakan sebelumnya pasien beberapa kali mengalami nyeri
tenggorokan.
Pada pemeriksaan fisik umum saat pemeriksaan ditemukan tanda vital dan
status generalis dalam kondisi baik. Pada pemeriksaan kepala tidak didapatkan
kelainan, pada pemeriksaan leher saat pemeriksaan tidak lagi ditemukan benjolan
dan nyeri tekan. Pada pemeriksaan THT telinga, tidak didapatkan adanya
kelainan, kondisi telinga masih dalam batas normal. Pada pemeriksaan hidung,
juga tidak didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan tenggorokan didapatkan suara
pasien serak, tonsil sudah mengecil dengan ukuran T1/T1, dimana pada tonsil
kanan mukosa masih terlihat hiperemi, kripta melebar, masih terlihat detritus dan
uvula tampak terdorong ke kiri.
Hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan sesuai dengan perjalanan
penyakit abses peritonsil dimana sebelumnya ditemukan pembesaran Tonsil
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh
karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati
daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Pada stadium permulaan
(stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis.
Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak dan
berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil ke
tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi kontra lateral. Bila
proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi
pada m. pterigoid interna, sehingga timbul trismus.
Dari anamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan, diagnosis abses
peritonsil dapat ditegakkan. Diagnosis diarahkan dari gejala klinis berupa nyeri
saat menelan, nyeri pada tenggorokan yang dirasakan menjalar hingga belakang
telinga kanan, keluhan susah menelan, susah membuka mulut, bengkak pada
belakang telinga kanan dan riwayat demam sumer-sumer sebelumnya. Penemuan
peradangan pada tonsil, adanya detirus dan kripta yang melebar serta uvula yang
terdorong kebagian yang sehat juga mendukung penegakkan diagnosis abses
peritonsil.

22
Penatalaksanaan abses peritonsil berupa pemberian antibiotika dosis tinggi
dan obat simtomatik, pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral, Insisi dan
mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara parenteral atau peroral,
rencana tonsilektomi setelah drainage dan pemberian steroid. Pada kasus ini.
pasien diberikan antibiotik injeksi untuk menanggulangi infeksi yang sedang
terjadi dilanjutkan dengan pemberian antibiotic oral. Pada pasien ini juga
diberikan analgetik untuk mengurangi nyeri yang dialami pasien berupa ketorolac
injeksi dan methylprednisolone oral yang berupa golongan steroi yang juga
diharapkan untuk mengurangi peradangan yang terjadi pada pasien ini. Pada
pasien ini diberikan injeksi ranitidine untuk mengurangi resiko ulserasi lambung
akibat peningkatan asam lambung dikarenakan intake yang kurang dari pasien
karena pasien sudah beberapa hari susah untuk makan dan makan dikatakan
berkurang.Pada pasien ini juga direncakan pungsi, dan insisi drainage dari abses
serta rencana untuk tonsilektomi setelah drainage.
KIE yang diberikan kepada pasien penjelasan kepada pasien dan keluarga
mengenai diagnosis, rencana terapi dan intervensi, serta prognosis. Informasi
tentang pentingnya menjaga higenitas mulut, serta penjelasan mengenai indikasi,
prosedur, dan komplikasi tonsilektomi yang direncakan untuk pasien ini.

23
BAB V
SIMPULAN

Abses peritonsil sering disebut sebagai Peritonsillar Abscess (PTA) atau


Quinsy adalah suatu rongga yang berisi nanah didalam jaringan peritonsil yang
terbentuk sebagai hasil dari tonsillitis supuratif.
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat dari komplikasi tonsilitis akut atau
infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya
kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsillitis, dapat ditemukan
kuman aerob dan anaerob. Kebanyakan abses peritonsil didahului adanya
gangguan atau penyakit sebelumnya di tonsil. Apabila terjadi infeksi akut di tonsil
maka infeksi akan menyebar ke ruang peritonsiler sehingga menyebabkan selulitis
peritonsiler atau bisa juga terjadi obstruksi di kelenjar weber. Kelenjar weber
adalah kelenjar saliva yang terletak di pole tonsil, pole superior tonsil dan
duktusnya menuju fossa tonsilaris.

Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris, disfagia dan
odinofagia yang menyolok dan spontan, perubahan suara karena hipersalivasi dan
banyak ludah yang menumpuk di faring, rinolalia aperta karena udem palatum
molle, trismus (terbatasnya kemampuan untuk membuka rongga mulut) yang
bervariasi, tergantung derajat keparahan dan progresivitas penyakit, Limfadenitis
servikal yang sangat nyeri bisa didapatkan dengan palpasi pada sisi yang terkena.
Tonsil pada umunya tergeser ke arah inferior dan medial dengan deviasi
kontralateral uvula.
Diagnosis abses peritonsil sering ditetapkan dengan dasar anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang teliti serta dapat pula dilakukan pemeriksaan penunjang
untuk mengkonfirmasi diagnosis. Adapun Gold standart pemeriksaan penunjang
abses peritonsil yaitu dengan melakukan aspirasi jarum (needle aspration).
Penatalaksanaan abses peritonsil berupa pemberian antibiotika dosis tinggi dan
obat simtomatik, pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral, Insisi dan
mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara parenteral atau peroral.
rencana tonsilektomi setelah drainage dan pemberian steroid

24
Manifestasi klinis tonsillitis sangat bervariasi. Gejala yang sering ditemui
adalah rasa mengganjal pada tenggorokan, rasa kering di tenggorok, dan nafas
berbau tidak sedap. Tonsilitis dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis
serta pemeriksaan fisik pada pasien. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
untuk memperkuat diagnosa tonsilofaringitis akut adalah pemeriksaan
laboratorium. Diagnosa banding tonsillitis yaitu tonsillitis difteri, angina plaut
Vincent (stomatitis ulseromembranosa).
Secara umum, penanganan tonsillitis dapat dibagi kedalam terapi
farmakologi dan non-farmakologi. Terapi farmakologi dengan memberikan terapi
antibiotik dan terapi suportif/simtomatik. Untuk terapi non-farmakologi bisa
dengan terapi operatif atau dengan menghindari faktor resiko sehingga bisa
mengurangi rekurensi dan memberatnya dari penyakit ini. Abses peritonsil hampir
selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi, maka ditunda sampai 6
minggu berikutnya. Pada saat tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat
jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Abidin, Taufik. Abses Peritonsiler. Mataram : Fakultas Kedokteran


Universitas Mataram; 2006.
2. Mehta, Ninfa. MD. Peritonsillar Abscess. Available from.
www.emedicine.com. Diakses Mei 2016
3. Nicholas J. Galioto, Md. Peritonsillar Abscess. Des Moines, Iowa :
Broadlawns Medical Center; 2008.
4. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan: Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi VII.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.
5. Anonim. Host Defence Againts Pneumococcal Disease. Diunduh dari
http://www.ethesis.helsinki.fi/julkaisut/laa/haart/vk/nieminen/review.htm,
diakses Mei 2016.
6. Budapest Student. The Waldeyer’s Ring. Diunduh dari
http://www.tulip.ccny.cuny.edu, diakses Mei 2016.
7. Wanri A. Tonsilektomi. Palembang: Departemen Telinga, Hidung Dan
Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya; 2007.
8. Wiatrak BJ, Woolley AL. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease dalam
Cummings Otolaryngology–Head and Neck Surgery. 4th Edition. Elsevier
Mosby Inc.; 2005.
9. Bailey, Byron J., Johnson, J.T., 2006. Head & Neck Surgery –Otolaryngology
4th ed. Lippincott Williams & Wilkins
10. Galioto, N., Peritonsillar Abscess. Am Fam Physician. 2008;77(2):199-202.
11. Gosselin, B.J., Geibel, J. 2010. Peritonsillar Abscess. Available at
www.medscape.com. Diakses Mei 2016
12. Paleri, V., Hill, J., 2010. ENT Infections: An Atlas of Investigation and
Management. Clinical Publishing: Oxford
13. Kartosoediro S, Rusmarjono. Abses Leher Dalam. Edisi VI. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
14. Gosselin BJ. Peritonsillar Abscess Treatment and Management. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/194863-treatment#d13, diakses
Februari 2016.
15. Henry. Peritonsillar Abcess. Available at:
http://www.revolutionultrasound.com . diakses Mei 2016

26

Anda mungkin juga menyukai