Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

GUILLAIN BARRE SYNDROM (GBS)

I. Konsep Penyakit Guillan Barre Sydrom (GBS)


1.1 Definisi
Guillain Barre Syndrome adalah sindroma yang memiliki karakteristik
berupa paralisis asenden simetris yang berkembang secara cepat,
biasanya mengikuti infeksi virus. Adanya riwayat flu saluran
pernapasan atas atau gastrik, infeksi mononukleus, atau hepatitis
merupakan hal yang umum. Pemulihan biasanya sempurna, namun
dapat di alami klien sampai 18 bulan, jika derajat yang dipengaruhi
cukup luas. Pemulihan motorik dimulai lebih kurang 10-14 hari setelah
serangan dari gejala-gejala tersebut (Widagdo,W dkk, 2008).

GBS yaitu sindrom idiopatik dengan karakteristik jenis infeksi yang


bertanggung jawab tidak dapat ditentukan (Sidartha, P, 1985 dalam
Muttaqin, 2008).

GBS adalah gangguan kelemahan neuromuscular akut yang memburuk


secara progresif yang dapat mengarah kepada kelumpuhan total, tetapi
biasanya paralisis sementara (Doenges, Moorhouse, & Geissler, 2012).

1.2 Etiologi
Penyebab dari GBS masih belum ditemukan, tetapi banyak ahli yang
berpendapat bahwa infeksi virus menyebabkan terjadinya reaksi
autoimun yang kemudian menyerang mielin saraf perifer (Smeltzer,
2002).

Akan tetapi, tidak ada jenis virus yang dapat diisolasi sejauh ini.Paling
banyak pasien yang terkena sindrom ini bermula dari infeksi pernapasan
atau gastrointestinal 1-4 minggu sebelum terjadi serangan penurunan
neurologis(Muttaqin, 2008). Selain itu, imunisasi, pembedahan,
penyakit Hodgkin atau limfoma lain dan lupus eritematosus merupakan
keadaan dan jenis penyakit yang mendahului sindrom tersebut (Price &
Wilson, 2006).
Penyebab spesifik sampai sekarang belum diketahui. Ada dua teori
mengenai penyebab dari guillain barre syndrome. Teori pertama
mengatakan bahwa guillain barre disebabkan karena infiltrasi virus ke
spinal dan kadang-kadang ke akar-akar saraf kranial. Teori kedua
mengatakan bahwa sindroma ini sebagai akibat dari respon autoimmun
dari tubuh yang mana di timbulkan oleh toksin atau agent infeksi yang
menimbulkan dimielintasi segmen dari saraf-saraf perifer atau kranial.
Penyakit ini umumnya menyerang seseorang yang berusia 30-50 tahun,
baik itu pria maupun wanita (Widagdo W, Suharyanto T, & Aryani R,
2008).

1.3 Tanda gejala


Menurut Smeltzer tahun 2002, terdapat variasi dalam bentuk
awitannya. Gejala awal yang timbul yaitu:
Parestesia (kesemutan dan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat
berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah.
1.3.1 Dari kelemahan otot kemudian dapat diikuti dengan cepat
adanya paralisis yang lengkap, kesulitan berjalan.
1.3.2 Saraf kranial yang paling sering terserang, yang menunjukkan
adanya paralisis pada ocular, wajah, dan otot orofaring dan juga
menyebabkan kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan.
1.3.3 Gangguan frekwensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah
(hipertensi transien, hipotensi ortostatik dan atau takikardi)
akibat terjadinya disfungsi autonom yang memperlihatkan reaksi
berlebihan atau kurang bereaksinya system saraf simpatis dan
parasimpatis, penekanan atau kegagalan pernapasan : dispnea,
menurunnya suara napas, menurunnya volume tidal/atau
kapasitas paru.
1.3.4 Nyeri berat dan menetap pada punggung dan bagian kaki.
1.3.5 Kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti
keterbatasan atau tidak adanya reflex tendon dalam.
1.3.6 Oftalmoplegia (tingkat kesadaran, fungsi serebral, dan /atau
tanda pupil yang tidak dipengaruhi)
1.4 Patofisiologi
Dimulai dari adanya faktor-faktor predisposisi yang terjadi 1-4 minggu
sebelum onset, yaitu infeksi pernapasan atau gastrointestinal (virus atau
inflamasi) merubah sel dalam system saraf, sehingga system imun
mengenali sel tersebut sebagai sel asing. Sesudah itu Limfosit T yang
tersensitisasi dan makrofag akan menyerang myelin.Selain itu, limfosit
T menginduksi limfosit B untuk menghasilkan antibodi yang menyerang
bagian tertentu dari selubung myelin, dan menyebabkan kerusakan
myelin (NINDS, 2000 dalam Price, 2006).

Akibat yang ditimbulkan adalah cedera demielinasi ringan hingga berat


yang mengganggu konduksi impuls dalam saraf perifer yang
terserang.Virus dan antibodi menyebabkan suatu respon peradangan
awal dengan ditandai adanya edema yang mengakibatkan kompresi
akar-akar saraf, segmental demielination, dan wallerian degeneration.
Kompresi dari serabut saraf secara dramatis akan mengurangi konduksi
saraf sehingga menimbulkan paratesisi ekstremitas bawah pada awal
dan akhirnya menyebar pada persendian. Konduksi saraf di halangi oleh
segmental demielinated mengakibatkan paralisis flaccid assenden secara
cepat dengan hilangnya sensorik. Bila saraf tersebut berhubungan
dengan otot-otot interkostal dan diafragma yang mengalami kompresi
dan segmental demielination. Maka sangat potensial sekali untuk
terjadinya disfungsi pernapasan. Saraf-saraf kranial yang paling umum
dipengaruhi adalah Nervus VII, IX, X, XI dan XII (Widagdo W,
Suharyanto T, & Aryani R, 2008).

1.5 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Smeltzer C, et. all (2001), pemeriksaan yang dapat dilakukan
antaralain:
1.5.1 Pemeriksaan cairan spinal untuk memperlihatkan adanya
peningkatan konsentrasi protein dengan menghitung jumlah sel
normal.
1.5.2 Pengujian elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk
lambatnya laju konduksi saraf
Sedang pemeriksaan diagnostik GBS menurut Muttaqin A (2008) sangat
bergantung pada:
1.5.3 Riwayat penyakit dan perkembangan gejala-gejala klinik
1.5.4 Tidak ada satu pemeriksaan pun yang dapat memastikan GBS;
pemeriksaan tersebut hanya menyingkirkan gangguan
1.5.5 Lumbal fungsi dapat menunjukkan kadar protein normal pada
awalnya dengan kenaikan pada minggu ke 4 sampai ke 6. Cairan
spinal memperlihatkan adanya peningkatan kosentrasi protein
dengan menghitung jumlah sel normal
1.5.6 Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibodi baik
terhadap citomegalovirus atau virus Epstein-Barr.Telah
ditunjukkan bahwa suatu perubahan respons imun pada antigen
saraf tepi dapat menunjang perkembangan gangguan
1.5.7 Uji fungsi plumonal dapat dilakukan jika GBS terduga, sehingga
dapat ditetapkan nilai dasar untuk perbandingan sebagai
kemajuan penyakit. Penurunan kapasitas fungsi pulmonal dapat
menunjukkan kebutuhan akan ventilasi mekanik.

1.6 Komplikasi
1.6.1 Kegagalan jantung
1.6.2 Kegagalan pernapasan
1.6.3 Infeksi dan sepsis
1.6.4 Trombosis vena
1.6.5 Emboli paru

1.7 Penatalaksanaan
Menurut Smeltzer C, et. all (2001) adapun penatalaksanaan GBS
antaralain:
1.7.1 GBS dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis sehingga
pasien diatasi di ruang intensif.
1.7.2 Ventilator diberikan pada pasien GBS dengan masalah
pernapasan.
1.7.3 Pemantauan EKG kontinyu untuk kemungkinan perubahan
kecepatan atau ritme jantung.
1.7.4 Plasmaferesis (perubahan plasma) digunakan pada serangan
berat dan membatasi keadaan yang memburuk pada pasien dan
demielinisasi.
1.7.5 Propranolol untuk mencegah takikardi dan hipertensi oleh
disritmia jantung akibat keadaan abnormal autonom.
1.7.6 Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode bradikardia
selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik.

Penatalaksanaan lain yang dapat dilakukan, antaral ain sebagai berikut:


1.7.7 Penatalaksanaan Keperawatan ( Perawatan Supportif)
 Respirasi
Monitor ketat frekuensi dan pola nafas yaitu monitor
oksimetri dan AGD. Pernafasan mekanik, perawatan pasien
dengan ventilator mekanik.
 Kardiovaskuler
Monitor ketat frekuensi, irama, kekuatan denyut nadi (HR )
dan tekanan darah (blood pressure).
 Pemenuhan kebutuhan cairan, elektrolit dan nutrisi.
 Perawatan secara umum
 physioterapi
 perawatan pada bagian-bagian tubuh yang tertekan
 pertahankan ROM sendi
 pertahankan fungsi paru
 kultur urine dan sputum tiap 2 minggu
 pencegahan terhadap tromboemboli
 pemberian antidepressant jika pasien depresi

1.7.8 Penatalaksanaan medis


1.7.8.1 Pengobatan spesifik Plasma exchange
(plasmaphoresis) lebih efektif dalam 7 hari dari
timbulnya serangan / gejala. Diperlukan filter khusus
yang menyerupai filter pada dialisa ginjal. Filter ini
digunakan untuk menyaring keluar antibodi-antibodi
(merupakan media dari system imun) yang menyerang
dan merusak lapisan myelin dan saraf-saraf perifer.
Tak ada pedoman yang pasti dalam melakukan
tindakan ini,namun umumnya sekitar 3-5 liter dari
plasma pasien disaring keluar dan digantikan pada
waktu yang sama dengan plasma atau plasma +
normal saline. Setiap hari setelah terapi selesai, pasien
diberi ± 4-5 unit FFP (Fresh Frozen Plasma) untuk
menggantikan factor pembeku darah yang dapat ikut
tersaring keluar. Penggantian plasma diharapkan
dilakukan setiap hari selama 3-5 hari dan biasanya
berhasil dengan sangat baik, namun jika pasien tidak
berespon terhadap terapi ini sampai hari ke lima maka
terapi / tindakan ini tidak diulangi. Tindakan
penggantian plasma ini telah terbukti berhasil
mencegah pasien menggunakan ventilator atau
mengurangi lamanya pasien menggunakan ventilator.
Masalah yang timbul dengan tindakan penggantian
plasma antara lain :
a. Biayanya mahal
b. Dapat menyebabkan hipotensi, arythmia,
haematoma, thrombus dan komplikasi yang
mengarah terjadinya sepsis
c. Membutuhkan perawat yang trampil.
1.7.8.2 Pemberian immunoglobulin secara intravena yang
diberikan dengan dosis 0,4 g/kg selama 5 hari berturut
– turut.
1.7.8.3 Cairan , elektrolit dan nutrisi.
1.7.8.4 Sedative dan analgetik.
1.8 Pathway
II. Rencana Asuhan Klien Dengan Guillan Barre Sydrom (GBS)
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
2.1.1.1 Keluhan utama
Keluhan utama yang sering muncul adalah adanya
kelemahan, baik kelemahan fisik secara umum
ataupun lokalis seperti kelemahan otot-otot pernapasan
sehingga dapat mengakibatkan gangguan pernapasan.
2.1.1.2 Riwayat kesehatan sekarang
Melemahnya otot pernapasan membuat klien berisiko
lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi
pernapasan berulang.Disfagia juga dapat timbul yang
dapat mengarah kepada aspirasi.Selain itu, kelemahan
pada ekstremitas atas dan bawah, kelainan dari fungsi
kardiovaskuler yang dapat menyebabkan disritmia
jantung atau perubahan drastis yang dapat mengancam
kehidupan dalam tanda-tanda vital.
2.1.1.3 Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit lain yang pernah dialami klien yang
memungkinkan hubungan atau menjadi predisposisi
keluhan sekarang meliputi riwayat ISPA, infeksi
gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf. Selain itu
obat-obatan yang dikonsumsi klien juga dikaji seperti
pemakaian obat kortikosteroid, antibiotik dan
reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian
antibiotik).
2.1.1.4 Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian ini dilakukan untuk memperoleh persepsi
yang jelas tentang status emosi, kognitif, dan perilaku
klien.Mekanisme koping klien juga penting dikaji
untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit
yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam
lingkungan keluarga ataupun masyarakat, dan apakah
klien dapat mendiskusikan masalah kesehatan saat ini.
Apakah klien merasa cemas dan timbul ketakutan akan
kecacatan, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan timbul pandangan
terhadap dirinya yang salah.Selain itu, perlu juga
dikaji dampak perawatan terhadap status ekonomi
klien, karena biaya perawatan dan pengobatan
memerlukan dana yang tidak sedikit.

2.1.2 Pemeriksaan fisik: data fokus


Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi 6B dengan fokus
pemeriksaan pada B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan
dengan keluhan-keluhan klien.
2.1.2.1 B1 (Breathing)
Klien batuk, produksi sputum meningkat, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, takipnue (karena infeksi
pernapasan), bradipnue (karena melemahnya otot-otot
pernapasan). Terdapat bunyi napas tambahan seperti
ronkhi akibat akumulasi secret dari infeksi saluran
napas.
2.1.2.2 B2 (Blood)
Gejala yang dapat diitemukan adalah bradikardi akibat
penurunan perfusi perifer.Tekanan darah didapatkan
ortostatik hipotensi atau tekanan darah meningkat
(hipertensi transien) yang berhubungan dengan
penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
2.1.2.3 B3 (Brain)
a. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran pada klien GBS biasanya yaitu
komposmentis.Tetapi dapat pula terjadi penurunan
kesadaran, dan penilaian GCS sangat penting untuk
menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi
untuk monitoring pemberian asuhan keperawatan.
b. Fungsi serebri
Yang dikaji yaitu status mental klien, yaitu
bagaimana penampilan klien dan tingkah lakunya,
gaya bicara dan ekspresi wajah klien, serta aktivitas
motorik klien dimana pada tahap lanjut dapat
disertai penurunan tingkat kesadaran. Biasanya
status mental klien mengalami perubahan.
c. Pemeriksaan saraf kranial
1) Saraf I : Biasanya tidak ada kelainan dan
fungsi penciuman normal.
2) Saraf II : Tes ketajaman penglihatan pada
kondisi normal.
3) Saraf III, IV, dan VI : Penurunan kemampuan
membuka dan menutup kelopak mata, paralisis
ocular.
4) Saraf V : terdapat paralisis pada otot wajah
sehingga mengganggu proses mengunyah.
5) Saraf VII : persepsi pengecapan dalam batas
normal, wajah asimetris karena adanya
paralisis unilateral.
6) Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tuli
konduktif dan tuli persepsi.
7) Saraf IX dan X : terdapat paralisis pada otot
orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah
dan menelan, sehingga mengganggu
pemenuhan nutrisi via oral.
8) Saraf XI : tidak ada atrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius,
kemampuan mobilisasi leher baik.
9) Saraf XII : lidah asimetris, tidak ada deviasi
pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi, indra
pengecapan normal.
d. Sistem motorik Kekuatan otot menurun, pada klien
GBS tahap lanjut dapat terjadi perubahan control
keseimbangan dan koordinasi. Klien mengalami
kelemahan motorick secara umum sehingga
mengganggu mobilitas fisik.
e. Pemeriksaan refleks Pemeriksaan refleks dalam,
pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periosteum derajat refleks pada respon normal.
f. Gerakan involunter Tidak ditemukan adanya
tremor, kejang, TIK, dan dystonia.
g. Sistem sensorik Gejala yang ditemukan yaitu
parestesia dan kelemahan otot kaki, dapat
berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan
otot wajah.Klien mengalami penurunan
kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri dan
suhu.
2.1.2.4 B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem kandung kemih biasanya
didapatkan berkurangnya volume haluaran urine
2.1.2.5 B5 (Bowel)
Gejala yang biasa didapatkan yaitu mual muntah
akibat peningkatan asam lambung. Anoreksia dan
kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses
menelan menyebabkan terjadinya penurunan
pemenuhan nutrisi

2.1.2.6 B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat
kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum.

2.1.3 Pemeriksaan penunjang


2.1.3.1 Pemeriksaan FT
a. Keluhan utama pasien
1) Rasa lemas seluruh badan dan disertai adanya
rasa nyeri
2) Paraestasia jari kaki s/d tungkai
3) Progresive weakness > 1 Ekstremitas
4) Hilangnya refleks tendon
b. Pendukung
1) Weakness berkembang cepat dalam 4 minggu
2) Gangguan sensory Ringan
3) Wajah nampak lelah meliputi otot-otot bibir
terkesan bengkak
4) Tachicardi, cardiac arytmia, Tekanan Darah labil
5) Tidak ada demam
6) Inspeksi
a) Tampak kelelahan pada wajah
b) Otot-otot bibir terkesan bengkak
c) Kemungkinan adanya atropi
d) Kemungkinan adanya tropic change
7) Palpasi; nyeri tekan pada otot
8) Auskultasi; breathsound terdengar cepat dan
vital sign
9) Blood Preasure; labil (selalu berubah-ubah)
10) Heart Rate; tachicardy dan cardiac arythmia
11) Respiratory Rate; hyperventilasi
2.1.2.3 Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar
a. Aktif; kekuatan otot
b. Pasif; lingkup gerak sendi, endfeel
c. Tes isometrik melawan tahanan
Pada ketiga tes tersebut dominan menunjukkan adanya
kelemahan dan gangguan sendi dimungkinkan pada
kasus yang telah lama.
2.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
Diagnosa 1: Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
kelemahan progresif cepat otot-otot pernapasan dan ancaman gagal
pernapasan (T. Heather Hermand, Shigemi Kamitsuru. Diagnosis
Keperawatan, Definisi dan Klasifikasi 2015 – 2017. Edisi 10. Jakarta:
EGC, 2015. Hal: 243).
2.2.1 Definisi
Inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak member ventilasi yang
adekuat.
2.2.2 Batasan karakteristik
2.2.2.1 Subjektif
a. Dispnea
b. Napas pendek
2.2.2.2 Objektif
a. Perubahan ekskursi dada
b. Mengambil posisi tiga titik tumpu (tripod)
c. Bradipnea
d. Penurunan tekanan inspirasi-ekspirasi
e. Penurunan ventilasi semenit
f. Penurunan kapasitas vital
g. Napas dalam
h. Peningkatan diameter anterior-posterior
i. Napas cuping hidung
j. Ortopnea
k. Fase ekspirasi memanjang
l. Pernapasan bibir mencucu
m. Takipnea
n. Penggunaan otot bantu asesorius untuk bernapas
2.2.3 Faktor yang berhubungan
2.2.3.1 Ansietas
2.2.3.2 Posisi tubuh
2.2.3.3 Deformitas tulang
2.2.3.4 Deformitas dinding dada
Diagnosa 2: Ketidakefektifan bersihan jalan napas (T. Heather
Hermand, Shigemi Kamitsuru. Diagnosis Keperawatan, Definisi dan
Klasifikasi 2015 – 2017. Edisi 10. Jakarta: EGC, 2015. Hal: 406).
2.2.1 Definisi
Ketidakmampuan untuk membersihkan secret atau obstruksi
saluran napas guna mempertahankan jalan napas yang bersih
2.2.2 Batasan karakteristik
2.2.2.1 Subjektif
Dispenea
2.2.2.2 Objektif
a. Suara napas tambahan
b. Perubahan pada irama dan frekuesi pernapasan
c. Batuk tidak ada atau tidak efektif
d. Sianosis
e. Kesulitan untuk berbicara
f. Penurunan suara napas
g. Ortopnea
h. Gelisah
i. Sputum berlebihan
j. Mata terbelalak
2.2.3 Faktor yang berhubungan
2.2.3.1 Lingkungan: merokok, menghirup asap rokok, dan
perokok pasif
2.2.3.2 Obstruksi jalan napas: spasme jalan napas, retensi
secret, mucus berlebih, adanya jalan napas buatan,
terdapat benda asing di jalan napas, secret di bronki
dan eksudat di alveoli
2.2.3.3 Fisiologis: disfungsi neoromuskular, hiperplaspia di
dinding bronchial, PPOK (Penyakit Paru Obstruktif
Kronis), infeksi, asma, jalan napas alergik (trauma).
Diagnosa 3: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan mengunyah dan menelan
makanan (T. Heather Hermand, Shigemi Kamitsuru. Diagnosis
Keperawatan, Definisi dan Klasifikasi 2015 – 2017. Edisi 10. Jakarta:
EGC, 2015. Hal: 177).
2.2.1 Definisi
Asupan nutrisi tidak mencukupi untuk memnuhi kebutuhan
metabolik
2.2.2 Batasan karakteristik
2.2.2.1 Subjektif
a. Kram abdomen
b. Nyeri abdomen
c. Menolak makan
d. Persepsi ketidakmampuan untuk mencerna makan
e. Melaporkan perubahan sensasi rasa
f. Merasa cepat kenyang setelah mengkonsumsi
makanan
2.2.2.2 Objektif
a. Pembuluh kapiler rapuh
b. Diare atau steatore
c. Kekurangan makanan
d. Kehilangan rambut yang berlebihan
e. Bising usus hiperaktif
f. Kurang minat terhadap makanan
g. Membran mukosa pucat
h. Tonus otot buruk
i. Rongga mulut terluka
j. Kelemahan otot yang berfungsi untuk menelan atau
mengunyah
2.2.3 Faktor yang berhubungan
2.2.3.1 Ketergantungan zat kimia
2.2.3.2 Penyakit kronis
2.2.3.3 Kesulitan mengunyah atau menelan
2.2.3.4 Faktor ekonomi
2.2.3.5 Intoleransi makanan
2.2.3.6 Hilang nafsu makan
2.2.3.7 Mual dan muntah

2.2 Perencanaan
Diagnosa 1: Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
kelemahan progresif cepat otot-otot pernapasan dan ancaman gagal
pernapasan (Judith M. Wilkinson, Nancy R. Ahren. Buku Saku
Diagnosis Keperawatan: Diagnosis NANDA, intervensi NIC, kriteria
hasil NOC. Edisi 9. Jakarta: EGC, 2011. Hal: 99).
2.2.1 Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria): berdasarkan
NOC
Tujuan: Pasien menunjukkan pola pernafasan efektif, yang
dibuktikan oleh status pernafasan, status ventilasi dan
pernafasan yang tidak terganggu : kepatenan jalan nafas dan
tidak ada penyimpangan tanda vital dari rentang normal.
Kriteria hasil: tidak ada sesak napas, tidak menggunakan otot
bantu pernapasan, gerakan dada normal.
2.2.2 Intervensi keperawatan dan rasional: berdasarkan NIC
2.2.2.1 Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan,
perubahan irama dan kedalaman, penggunaan otot-
otot aksesori
R/ Menjadi bahan parameter monitoring serangan
gagal napas dan menjadi data dasar intervensi
selanjutnya
2.2.2.2 Evaluasi keluhan sesak napas baik secara verbal
maupun nonverbal
R/ Tanda dan gejala meliputi adanya kesukaran
bernapas saat bicara, pernapasan dangkal dan
irregular, menggunakan otot-otot aksesoris, takikardi
dan perubahan pola napas
2.2.2.3 Lakukan pemeriksaan kapasitas vital pernapasan
R/ Kapasitas vital klien dipantau lebih sering dan
dengan interval yang teratur dalam penambahan
kecepatan pernapasan dan kualitas pernapasan,
sehingga pernapasan yang tidak efektif dapat
diantisipasi. Penurunan kapasitas vital dapat
dihubungkan dengan kelemahan otot-otot yang
digunakan saat menelan, sehingga hal ini
menyebabkan kesukaran saat batuk dan menelan, dan
adanya indikasi memburuknya fungsi pernapasan
2.2.2.4 Beri ventilasi mekanik
R/ Ventilasi mekanik digunakan jika pengkajian
sesuai kapasitas vital, klien memperlihatkan
perkembangan kea rah kemunduran, yang
mengindikasikan kea rah memburuknya kekuatan
otot-otot pernapasan
2.2.2.5 Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian
humidifikasi oksigen 3 l/mnt
R/ Membantu pemenuhan oksigen yang sangat
diperlukan tubuh dengan kondisi laju metabolisme
sedang meningkat

Diagnosa 2: Ketidakefektifan bersihan jalan napas (Judith M.


Wilkinson, Nancy R. Ahren. Buku Saku Diagnosis Keperawatan:
Diagnosis NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Edisi 9. Jakarta:
EGC, 2011. Hal: 37).
2.2.3 Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria): berdasarkan
NOC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam
diharapkan bersihan jalan napas efektif sesuai dengan kriteria
hasil: tidak ada sesak napas, tidak menggunakan otot bantu
napas, tidak ada retraksi, tidak ada bunyi napas tambahan, dan
dapat mendemonstrasikan batuk efektif.
2.2.4 Intervensi keperawatan dan rasional: berdasarkan NIC
2.2.4.1 Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan,
perubahan irama dan kedalaman, penggunaan otot-
otot aksesori, warna dan kekentalan sputum
R/ Memantau dan mengatasi komplikasi potensial.
Pengkajian fungsi pernapasan dengan interval yang
teratur adalah penting karena pernapasan yang tidak
efektif dan adanya kegagalan, karena adanya
kelemahan atau paralisis pada otot-otot interkostal
dan diafragma yang berkembang dengan cepat
2.2.4.2 Atur posisi semifowler
R/ Peninggian kepala tempat tidur dapat
mempermudah pernapasan, meningkatkan ekspansi
dada, dan meningkatkan batuk efektif
2.2.4.3 Ajarkan cara batu efektif
R/ Batuk efektif untuk membersihkan jalan napas
sehingga menghindari risiko aspirasi saliva yang
mencetuskan gagal napas akut
2.2.4.4 Lakukan fisioterapi dada: vibrasi dada
R/ Terapi fisik dada membantu meningkatkan batuk
lebih efektif
2.2.4.5 Penuhi hidrasi cairan melalui oral seperti minum air
putih dan pertahankan intake cairan 2500 cc/hari
R/ Pemenuhan cairan dapat mengencerkan mukus
yang kental
2.2.4.6 Lakukan pengisapan lendir di jalan napas
R/ Pengisapan mungkin diperlukan untuk
mempertahankan kepatenan jalan napas menjadi
bersih

Diagnosa 3: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan ketidakmampuan mengunyah dan menelan
makanan (Judith M. Wilkinson, Nancy R. Ahren. Buku Saku Diagnosis
Keperawatan: Diagnosis NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC.
Edisi 9. Jakarta: EGC, 2011. Hal: 503).
2.2.5 Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria): berdasarkan
NOC
Pasien akan memperlihatkan status gizi : asupan mkanan dan
cairan yang dibuktikan oleh indicator sebagai berikut:
2.2.5.1 makanan oral
2.2.5.2 pemberian makanan lewat selang adekuat
2.2.5.3 asupan cairan oral adekuat
2.2.6 Intervensi keperawatan dan rasional: berdasarkan NIC
2.2.6.1 Kaji kemampuan klien dalam pemenuhan nutrisi oral
R/ Perhatian yang diberikan untuk nutrisi yang
adekuat dan pencegahan kelemahan otot karena
kurang nutrisi
2.2.6.2 Monitor komplikasi akibat paralisis akibat
insufisiensi aktivitas parasimpatis
R/ Ileus paralisis dapat disebabkan oleh insufisiensi
aktivitas parasimpatis. Dalam kejadian ini, makanan
melalui intravena dipertimbangkan, dan perawat
memantau bising usus sampai terdengar
2.2.6.3 Berikan nutrisi melalui NGT
R/ Jika klien tidak mampu menelan, makanan
diberikan melalui selang lambung untuk tetap
memenuhi kebutuhan tubuh akan nutrisi
2.2.6.4 Berikan nutrisi melalui oral bila paralisis menelan
berkurang
R/ Bila klien dapat menelan, makanan melalui oral
diberikan perlahan-lahan dan sangat hati-hati.
Daftar Pustaka

Carpenito, L. J. (2010). Buku saku diagnosis keperawatan edisi 13. Jakarta:


EGC.

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2012). Rencana asuhan


keperawatan pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian
perawatan pasien. Jakarta: EGC.

Judith M. Wilkinson, Nancy R. Ahren. Buku Saku Diagnosis Keperawatan:


Diagnosis NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Edisi 9. Jakarta:
EGC, 2011.

Muttaqin, A. (2008). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem


persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi konsep klinis proses-proses


penyakit. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C. (2001). Buku ajar keperawatan medikal-bedah vol 3. Jakarta:


EGC.

T. Heather Hermand, Shigemi Kamitsuru. Diagnosis Keperawatan, Definisi dan


Klasifikasi 2015 – 2017. Edisi 10. Jakarta: EGC, 2015.

Widagdo, W., Suharyanto, T., & Aryanti, S. (2008). Asuhan keperawatan pada
klien dengan gangguan sistem persarafan. Jakarta: TIM
Banjarmasin, Desember 2017
Preseptor Akademik Preseptor Klinik

Linda, Ns.,M.Kep Ricca Desy Widiya Purwati, S.Kep., Ns

Anda mungkin juga menyukai