Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH IMUNOLOGI

Peranan Cluster Defferetation pada penyaki HIV

Di Susun Oleh :

Rahmad Adityawarman

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA

PRODI D3 ANALIS KESEHATAN

SURABAYA

2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkat

dan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tugas mata kuliah ilmu

imunoserologi dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman

yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Semoga pembaca dapat

memanfaatkan makalah ini sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai.

Surabaya, 20 Januari 2017

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................................ i
Kata Pengantar............................................................................................... ii
Daftar Isi.......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan...................................................................................... 2
1.4 Manfaat penulisan......................................................................................2

BAB II GAMBARAN UMUM PENYAKIT IMUNOLOGI


2.1 AIDS........................................................................................................ 3
2.2 Kompleks Imun....................................................................................... 8
2.3 Alergi Obat............................................................................................... 15

BAB III TES DIAGNOSTIKA PENYAKIT IMUNOLOGI


3.1 HIV ½, Antibody Test, AIDS................................................................... 24
3.2 HTLV-I/II Antibody Test.......................................................................... 30
3.3 TPM Antibody......................................................................................... 31
3.4 Amebiasis Antibody Test......................................................................... 33
3.5 Pemeriksaan Quantitative........................................................................ 34

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan.............................................................................................. 45
4.2 Saran........................................................................................................ 46

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sistem imunitas adalah semua mekanisme yang digunakan badan untuk
mempertahankan keutuhan tubuh, sebagai perlindungan terhadap bahaya yang
dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Fungsi dari sistem
ini adalah unutk pertahanan, Homeostasis, dan pengawasan dari zat asing atau
antigen baik di luar maupun di dalam tubuh. Tubuh menggunakan berbagai
macam sel, yang berinteraksi satu sama lainnya dalam pembuangan zat asing
tersebut. Namun demikian, adakalanya terhadap zat yang asing tersebut, sel
imun bereaksi tidak sesuai sehingga terjadi gangguan berupa penyakit tertentu.

Dalam makalah ini kita akan membahas berbagai gangguan yang terdapat
dalam sistem imun antara lain AIDS, kompleks imun,dan alergi obat. Untuk
mengetahui berbagai gangguan yang terjadi pada sistem imunitas ini terdapat
beberapa macam tes laboratorium yang dapat dilakukan seperti human
imunnodeficiency virus (HIV 1/2). Antibody, acquired imunnodeficiency
syndrome (AIDS), HTLV, toxoplasma, entamoeba histolytica, pemeriksaan
quantitative IgA, IgG, IgM dan PEP (Protein Electrophoresis), serum dan urine.
Sel Cluster of differentiation 4 (CD4) adalah semacam sel darah putih atau

limfosit. Sel tersebut adalah bagian terpenting dari sistem kekebalan tubuh, Sel ini

juga disebut sel T helper yang merupakan titik pusat system pertahanan tubuh.

Jika virus HIV membunuh sel CD4 sampai terdapat kurang dari 200 sel CD4 per

mikroliter darah, maka kekebalan seluler akan hilang. Infeksi ini awalnya

asimtomatik, tanpa diimbangi upaya intervensi maka dari waktu kewaktu jumlah

sel CD4 akan semakin rendah, sehingga membuka peluang infeksi sekunder dan

muncul manifestasi klinis AIDS hingga sepsis.8

Seseorang yang tidak terinfeksi HIV biasanya memiliki sel CD4 antara 950 dan

1
1700 sel/mm3.19

Acquired Immune Deficiency Syndrome ( AIDS ) ialah kumpulan gejala

atau penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency

Virus) yang merusak system kekebalan tubuh manusia, sehingga apabila

seseorang didiagnosa menderita AIDS maka sistem kekebalan tubuh mereka

terlalu lemah untuk melawan infeksi sehingga mereka akan mudah terkena

berbagai penyakit menular.1,3,9 AIDS dapat didiagnosis ketika jumlah sel sistem

kekebalan (sel CD4) dalam darah orang HIV positif di bawah tingkat tertentu.5,8

HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan di

perantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau

secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang tidak intak. Setelah berada

dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama HIV dapat di

deteksi di dalam darah. Masa inkubasi HIV berkisar antara 6 minggu sampai 6

tahun atau lebih.1,8,9

Virus biasanya masuk tubuh dengan menginfeksi sel langerhans di mukosa

rectum ataupun vagina, kemudian bergerak dan bereplikasi di Kelenjar

Getah Bening (KGB) setempat. Kemudian virus di sebarkan melalui viremia yang

disertai sindrom dini akut berupa panas, mialgia dan atralgia. Virus menginfeksi

sel CD4, makrofag dan sel dendritik dalam darah dan organ limfoid.

Proporsi orang yang terinfeksi HIV, tetapi tidak mendapat pengobatan

anti-HIV dan akhirnya akan berkembang menjadi AIDS diperkirakan mencapai

lebih dari 90 %. Karena tidak adanya pengobatan anti-HIV yang efektif, “case

fatality rate” dari AIDS menjadi sangat tinggi, kebanyakan penderita di negara

berkembang (80 - 90%) mati dalam 3 – 5 tahun sesudah didiagnosa terkena

AIDS.23

2
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam banyak

negara diseluruh dunia . Pada tahun 2007 United Nations Program on HIV / AIDS

( UNAIDS ) memperkirakan bahwa lebih dari 30.000.000 orang di seluruh dunia

yang hidup dengan infeksi HIV, Kasus baru terinfeksi HIV sebanyak 2.500.000

orang dan kematian AIDS sebanyak 2.100.000 orang. Pada setiap hari seluruh

dunia 6800 orang memperoleh HIV dan 5700 orang meninggal karena AIDS.10

Di Indonesia sendiri, jumlah penderita HIV/AIDS terus meningkat.

Jumlah kasus AIDS selama tahun 2011 (1 April s.d. 30 Juni 2011) sebanyak
2352 kasus. Secara kumulatif kasus AIDS 1 April 1987 hingga 30 Juni 2011,
adalah: 26.483 orang, dengan jumlah kematian 5.056 orang.6
Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ) tahun 2010 merekomendasikan

pedoman pemberian antiretroviral awal untuk semua pasien dengan jumlah

CD4 ≤ 350 sel/mm,dimanasebelumnya pedoman WHO tahun 2006,


merekomendasikan mulai pengobatan dengan jumlah CD4 kurang dari 200

sel/mm.3,10,11

Meskipun tidak ada obat untuk AIDS, infeksi HIV dapat dicegah, dan

mereka yang hidup dengan HIV dapat menggunakan obat antiretroviral untuk

menunda awal terjadinya AIDS. Obat antiretroviral menjaga jumlah HIV dalam

tubuh pada tingkat yang rendah, sehingga sistem kekebalan tubuh dapat pulih dan

bekerja secara efektif. Sehingga Obat antiretroviral memungkinkan banyak orang

dengan HIV-positif untuk dapat hidup panjang dan sehat.10

Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretroviral yang sangat

aktif (highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini sangat

bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV. Di Indonesia secara nasional

telah memulai terapi antiretroviral pada tahun 2004.49

Madec Y et all (2007) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa sel CD4

3
meningkat setelah pemberian HAART rata-rata mencapai 130 sel/µl dalam 6

bulan dan mencapai rata-rata 189 sel/µl dalam 12 bulan.46 Demikian pula

Stephen D L et all (2006) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pada 0 - 16

minggu pertama pemberian HAART terjadi peningkatan sel CD4 yang cepat

(sebelum HAART, jumlah CD4: 97 sel/ µL, setelah 16 minggu HAART menjadi :

199 sel/ µL ) dengan rata-rata 25,5 cel/µL/bulan48. Brechtl J R, et all, (2001),

pada penelitiannya di Terence Cardinal Cooke Health Care Center, New York,

dimana pada pasien HIV yang mendapat HAART dan di follow up setelah 3 bulan

menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel CD4 ( sebelum HAART,

CD4 :66 sel/ µL, setelah 3 bulan mendapat HAART, CD4: 132 sel/ µL).15 Song

R et all. (2007), dalam penelitiannya di General Hospital Mombasa,Kenya

mendapatkan adanya peningkatan secara signifikan dari sel CD4 setelah

pemberian HAART setelah 3 bulan ( sebelum HAART ,CD4: 182.3 sel/µL dan

setelah 3 bulan HAART, CD4: 187 sel/ µL) dengan nilai P < .0001.14

Okuliez J F et all (2009) dalam penelitiannya menunjukkan hal yang

menarik bahwasanya dijumpai adanya hitung sel CD4 yang menurun ( sebelum

HAART,jumlah CD4: 59 sel µL ,dan setelah 6 bulan mendapat HAART, jumlah


22
CD4 :50 sel µL . Demikian pula Piketty C et all (1997) pada penelitiannya

menemukan beberapa pasien dengan hitung sel CD4 yang menurun ( sebelum

HAART, jumlah CD4: 162 sel/µL,dan setelah 3 bulan HAART, jumlah CD4: 150

se/µL).47
Mengingat angka kejadian penyakit sistem imunitas ini yang cukup
banyak timbul pada masyarakat kita saat ini, maka kita perlu memahami tentang
beberapa penyakit sistem imunitas terutama pada tanda dan gejala yang terjadi
pada penyakit ini selain itu juga pemahaman terhadap berbagai tes yang dapat
menunjang ditegakkannya diagnosa penyakit ini sangat diperlukan. Hal inilah,
yang melatar belakangi disususnnya makalah mengenai sistem imunitas ini.

4
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah gambaran umum dari AIDS ?
2. Bagaimanakah gambaran umum dari kompleks imun ?
3. Bagaimanakah gambaran umum dari alergi obat ?
4. Bagaimana gambaran dari tes human imunnodeficiency virus (HIV 1/2).
Antibody, acquired imunnodeficiency syndrome (AIDS) ?
5. Bagaimana gambaran dari tes pemeriksaan quantitative IgA, IgG, IgM ?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Mendiskripsikan gambaran umum dari AIDS.
2. Mendiskripsikan gambaran umum dari kompleks imun.
3. Mendiskripsikangambaran umum dari alergi obat.
4. Mendiskripsikan gambaran dari tes human imunnodeficiency virus (HIV
1/2). Antibody, acquired imunnodeficiency syndrome (AIDS).
5. Mendiskripsikan gambaran dari tes pemeriksaan quantitative IgA, IgG,
IgM.

1.4. Manfaat Penulisan


1. Diharapkan maklah ini dapat menambah wawasan mengenadi hubungan
antara cluster defferentitaion dengan HIV

5
BAB II
GAMBARAN UMUM PENYAKIT IMUNOLOGI

2.1. AIDS
2.1.1. Definisi
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah
sekumpulan gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul karena rusaknya
sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV.

2.1.2. Gejala
Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang
yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi
tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya
dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV.
HIV mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita biasanya
memiliki gejala oportunistik seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim,
dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.

Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik ; seperti


demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar,
kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan. Infeksi oportunistik
tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan
terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.

6
Tabel. 1

Infeksi oportunistik atau kondisi ayng sesuai dengan criteria Diagnosis Aids

1. Cytomegalovirus (CMV), selain hati, limpa atau kelenjar getah bening


2. CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
3. ensefalopati HIV a
4. Herpes Simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronkitis,
pneumonitis atau esofagitis
5. Histoplasmosis, diseminata atau ekstra paru
6. isosporiasis, dengan diare kronik lebih dari 1 bulan
7. kandidiasis bronkus, trakea atau paru
8. kandidiasis esofagus
9. kanker serviks invasif
10. koksidiodomikosis, diseminataa atau ekstra paru
11. kriptosporiasis, dengan diare kronik lebih dari 1 bulan
12. leukoensefalopati multifokal progresif
13. limfoma burkitt
14. limfoma imunoblastik
15. limfoma primer pada otak
16. mikobakterium avium kompleks atau M. Kansasii, diseminata atau ekstra
paru
17. mikobakterium spesies alin atau spesies yang tidak dapat teridentifikasi,
diseminata atau ekstrapulmoner
18. mikobakterium tuberkulosis paru atau ekstra paru
19. peneumonia pneumocytis carinii
20. pneumonia recuren b
21. sarkoma karposi
22. septikemia salmonella rekuren
23. toksoplasmosis otak
24. wasting sindrom c

7
a. terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi otorik yang
mengganggu kerja atau aktivitas sehari-hari tanpa dapat dijelaskan oleh
penyebab lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain
dilakukan pemerikaan lumbal pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak
(CT scan atau MRI)
b. berulang lebih dari 1 episode dalam 1 tahun
c. terdapat epnurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik
(minimal 2 kali selama >30 hari), ata kelemahan kronik dan demam
lama(>30 hari, intermitten atau konstan) tanap dapat dijelaska oleh
penyakit atau kondisi lain selain HIV

2.1.3. Patogenesis
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul CD4. limfosit CD4+ berfungsi
mengkoordinasi sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi
tersebutmenyebabkan gangguan respon imun yang progresif.

Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi


akut Simian Immunodefisiensy Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit
CD4+ dan monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh agen presenting
cell kekelenjar getah bening regional. Pada model ini virus dideteksi pada
kelnjar getah bening 5 hari setelah inokulasi. Sel individual dikelenjar getah
bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan hibridisasi in
situ. Dalam 7-14 hari setelah inokulasi. Puncak jumlah sel yang
mengekspresika SIV di kelenjar getah bening berhubungan dengan puncak
antigemia p26 SIV. Jumlah sek yang mengekspresikan virus di limpoid
kemudian menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan
pembentukan respon imun spesifik. Koinsiden dengan menghilangnya
viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8. walaupun demikian tidak
dapat dikatakan bahwa respon limfosit CD8+ menyebabkan kontrol optimal
terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan steady-state
beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahap relatif stabil beberapa

8
tahun namun lamanya bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat
replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga perjalanan kekebalan tubuh
pejamu, adalah heterogenitas kapasitas replikatif virus dan heterogenitas
intrinsik pejamu.

2.1.4. Patofisologi
Dalam tubuh ODHA, ppartikel virus bergabung dalam DNA pasien,
sehingga satu kali seseorang terkena virus HIV maka seumur hidup ia akan
tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagia berkembang
masuk tahap Aids pada 3 tahun pertama, 50% sesudah 10 tahun pertama dan
sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkkan
gejala aids dan kemudian meninggal.

Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala


tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut,
spertidemam, nyeri menelan, pembengkakan kelanjar getah bening, ruam,
diare atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulai masa aimptomatik (tanpa
gejala) yang umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Seiring denngan
memburuknya kekebalan tubuh, odha muai menampakkan gejala-gejala
akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama,
pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis dll.

Tanpa pengobatan ARV walaupun selam beberapa tahun tidak


menunjukkan gejala, secara bertahap sistem kekbalan tubuh akan menurun
dan memburuk, akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang maki berat,
pasien masuk tahap AIDS. Manifestasi dari awal dari keruasakan sistem
kekebalan tubuh adalah kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah
bening dan infeksi HIV yang luas dijaringan limfoid yang dapat dilihat
dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi
di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.

9
2.1.5. Tes HIV
1. Pemeriksaan serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV
 Teknik ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay)
 Aglutinasi atau dot-blot assay

2. Pemeriksaan serologik untuk mendeteksi keberadaan virus HIV


 Isolasi dan biakan virus
 Deteksi antigen
 Deteksi materi genetik dalam darah pasien

Tabel 2 Strategi Pemeriksaa Anti HIV


Tujuan Pemeriksaan Prevalensi infeksi HIV Strategi Pemeriksaan
Keamana transfusi dan Semua prevalensi I
transplantasi
Surveillance >10% I
≤10% II
Diagnosis
a. Bergejala infeksi >30% I
HIV / AIDS
≤30% II

b. Tanpa gejala >10% II


≤10% III
Ket:
1. Strategi I hanya kali pemeriksaan. Bila hasil reaktif maka di anggap
terinfeki HIV dan bila non-reaktif maka di anggap tidak terinfeksi
2. Strategi II menggunakan 2 kali pemeiksaan jika pada pemeriksaan
pertama memeberikan hasil reaktif.
3. Strategi III menggunakan 3 kali pemeriksaan. Bila pemeriksaan
pertama, kedua dan ketiga reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa
pasien tersebut memang terinfeksi HIV.

2.2. KOMPLEKS IMUN

10
2.2.1. Definisi
Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila
kompleks antigen-antibody ditemukan dalam sirkulasi atau dinding
pembuluh darah, atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Antibody
yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang diaktifkan
melepas Macrophage Chemotactic Faktor (C3a dan C5a) makrofag yang
dikerahkan ke tempat tersebut melepas berbagai mediator antara lain
enzim-enzim yang dapat merusak jaringan di sekitarnya.

Antigen dapat berasal dari infeksi kuman pathogen yang persisten


(malaria) , bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkjan alveolitis
alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi
dapat disertai antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa adanya
respon antibody yang efektif.

Kompleks imun akan mengaktifkan sejumlah komponen system


imun. Komplemen yang diaktifkan kompleks imun melepas C3a dan C5a
(anafilaktosin) yang merangsang sel mast dan basofil berbagai mediator.
Komplemen juga dapat menimbulkan lisis sel bila kompleks diendapkan
dalam jaringan. Bahan vasoaktif yang dibentuk mast sel dan trombosit
menimbulkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler dan
inflamasi. Neutrofil akan ditarik dan akan mulai mengeliminasi kompleks.
Bila neutrofil terkepung di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks
dan akan melepas granulnya (angry cell). Kejadian ini akan menimbulkan
lebih banyak kerusakan jaringan.

11
Makrofag yang memakan kompleks imun dapat juga mengalami
kesulitan dalam menghancurkannya, sehingga makrofag dirangsang terus-
menerus untuk melepas berbagai sitokin yang juga bekerja secara autokrin.

2.2.2. Klasifikasi Kompleks Imun


A. Kompleks Imun Menetap
Dalam keadaan normal, kompleks imun dalam sirkulasi diikat
dan diangkut eritrosit ke hati dan limpa. Di sana dimusnahkan oleh sel
fagosit mononuclear, terutama di hati, limpa, dan parutanpa bantuan
komplemen. Dalam proses tersebut, ukuran kompleks merupakan
faktor yang penting. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan
mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofagdalam hati. Kompleks
kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama
berada dalam sirkulasi. Diduga gangguan fungsi fagosit merupakan
salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan.
Meskipun kompleks imun berada dalam sirkulasi untuk jangka waktu
lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila
kompleks imun tersebut mengendap di jaringan.

12
B. Kompleks Imun Mengendap di Jaringan
Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan kmpleks
imun di jaringan ialah ukuran kompleks imun yang kecil dan
permeabilitas vascular yang meningkat, antara lain karena histamine
yang dilepas sel mast.

Kompleks antigen-antibodi dapat mengaktifkan beberapa system


imun sebagai berikut:
1. Aktifasi komplemen
a. Melepas anafilaktosin (C3a,C5a) yang merangsang sel
mast untuk melepas histamine.
b. Melepas factor kemotaktik (C3a, C5a, C5-6-7) yang
mengerahkan polimorf yang melepas anzim proteolitik
dan protein polikatonik.

2. Menimbulkan agregasi trombosit


a. Menimbulkan mikrotombi
b. Melepas amine vasoaktif

3. Mengaktifkan makrofag yang melepas IL-1 dan lain-lain


produk.

13
2.2.3. BENTUK REAKSI
Reaksi tipe III mempunyai 2 bentuk:
1. Reaksi Arthus (Bentuk Lokal)
Arthus yang menyuntikkan serum kuda ke dalam kelinci
intradermal berulangkali menemukan reaksi yang makin menghebat
di tempat suntikan. Mula-mula hanya terjadi eritem ringan dan
oedem dala 2-4 jam sesudah suntikan. Reaksi tersebut menghilang
keesokan harinya. Suntikan kemudian menimbulkan oedem dan
lebih besar dan suntikan ke 5-6 menimbulkan perdarahan dan
nekrosis yang sulit menyembuh. Hal trsebu disebut fenomena Arthus
yang merupakan bentuk reaksi dari kmpleks imun.

Reaksi Arthus dapat terjadi di dinding bronkus atau alvaol


dan menimbulkan reaksi asthma lambat ya ng terjadi 7-8 jam setelah
inhalasi antigen, hal ini sering terjadi pada asma akiba kerja. Reaksi
Arthus biasanya memerlukan antibody dan antigen dalam jumlah
besar. Antigen ang disuntikkan akan membentuk kompleks yang
tidak larut dan masuk ke dalam sirkulasi atau mengendap pada
dinding pembuluh darah. Bila agregat menjadi besar, komplemen
mulai diaktifkan. C3a dan C5a (anafilaktosin) yang terbentuk
meningkatkan permeabititas pembuluh darah dan terjadi oedem.
C3a dan C5a berfungsi juga sebagai factor kemotaktik. Neutrofil

14
dan trombosit mulai dikerahkan di tempat reaksi dan menimbulkan
stasis dan obstruksi total aliran darah. Neutrofil yang diaktifkan
memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang
digumpalkan melepas berbagai bahan, seperti protease, kolagenase,
dan bahan vasoaktif. Akhirnya terjadi perdarahan disertai dengan
nekrosis jaringan setempat.

Dengan teknik imunofluoresen, antigen, antibody, dan


berbagai komponen komplemen dapat ditemukan di tempat
kerusakan pada pembuluh darah. Bila kadar komplemen atau jumlah
granulosit menurun (pada hewan, kadar komplemen dapat
diturunkan dengan bias kobra), maka kerusakan khas dari arthus
tidak terjad. Reaksi Arthus di dalam klinik dapat berupa vaskulitis.

2. Reaksi Serum Sickness (Bentuk Sistemik)


Reaksi lain, disamping arthus, disebut serum sickness. Istilah
itu berasal dari Pirquet dan Shick yang menemukannya sebagai
konsekuensi imunisasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri
dan tetanus dengan antiserum asal kuda. Kerusakan patologis pada
infeksi korinebakterium dan klostridium disebabkan eksotoksin
yang dilepas, sedang kumannya sendiri tidak in vasif dan tidak
berarti.

15
Sekitar 1-2 minggu setelah serum itu diberikan, timbul panas
dan gatal, bengkak, kemerahan, dan rasa nyeri di beberapa bagian
badan, sendi, dan kelenjar getah bening.

2.2.4. Tanda dan Gejala


1. Peradangan jaringan
2. Kerusakan jaringan
3. Peradangan pembuluh darah
4. Endocarditis
5. Peradangan saraf
6. Peradangan ginjal

2.2.5. Diagnosa
1. Pemeriksaan fisik
* pembengkakan kuku / jari
* pucat
* Conjunctiva tampak pucat
* Quadriceps / tanda-tanda kelemahan paha
* Radang pada pergelangan kaki

2. Pemeriksaan laboratorium
* Indeks reseptor transferin menurun
* PCO2 dalam arterial darah menurun
* PO2 dalam arterial darah menurun
* Saturasi transferin menurun
* Sodium dalam sel darah merah menurun
* Factor IX / PTC menurun
* CSF eritrosit menurun

16
2.2.6. Penyakit Kompleks Imun
Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan di tempat-tempat
dengan tekanan darah yang meninggi dan disertai putaran arus (turbulence),
misalnya dalam kapiler gromelurus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus
koroid dan ciliary body mata. Pada Sistemik Lupus Eritematosus (SLE),
ginjal merupakan tempat endapan kompleks imun. Pada Arthritid
Reumathoid, sel plasma dalam sinovium membentuk anti-IgG (factor
rheumatoid yang berupa IgM) dan menimbulkan kompleks imun.

Penyakit Antigen terlibat Patologi Klinik


Sistemik Lupus DNA, nukleoprotein Nefritis, arthritis,
Eritematosus (SLE) vaskulitis
Poliartritis nodosa Antigen permukaan virus Vaskulitis
hepatitis B
Glomerulonefritis Pasca Antigen dinding sel Nefritis
streptokok streptokok (mungkin
tertanam pada membrane
basal glomerulus)
Penyakit Serum Berbagai protein Nefritis, arthritis,
vaskulitis
Artritis Reumatoid Faktor rheumatoid (IgM Kompleks
berupa anti IgG yang diendapkan di
mengikat FcG) sendi dan
menimbilkan
inflamasi
Farmer’s Lung;lain-lain: Aktinomise termofilik Paru
Pigeon breeder’s yang membentuk IgG
disease, Cheese washer’s
disease, Bagassosis,
Maple bark stripper’s
disease, Paprika
worker’s disease, dan
Thatched roof worker’s
disease

17
Infeksi: malaria, virus Antigen mikroba Endapan
lepra berikatan dengan antigen kompleks imun di
berbagai tempat.

Tabel 1. Beberapa Penyakit Kompleks Imun

2.3. ALERGI OBAT

2.3.1. Definisi

Alergi merupakan suatu reaksi abnormal dalam tubuh yang


disebabkan zat-zat yang tidak berbahaya. Alergi timbul bila ada kontak
terhadap zat tertentu yang biasanya, pada orang normal tidak menimbulkan
reaksi. Zat penyebab alergi ini disebut allergen. Allergen bisa berasal dari
berbagai jenis dan masuk ke tubuh dengan berbagai cara. Alergi juga dapat
ditimbulkan oleh obat.

Alergi obat adalah salah satu adversi yang ditimbulkan oleh obat
pada orang-orang yang sensitif. Alergi obat bentuknya sangat bervariasi.
Berdasarkan klinis bentuknya dapat berupa reaksi anafilaksis,
bronkospasme, dermatitis, demam, granulositopenis, anemia hemolitik,
hepatitis, lupus erythematosus-like syndrome, nefritis, pneumonitis,
trombositopenia, dan vaskulitis. Beberapa bentuk klinis dapat muncul dalam
waktu yang bersamaan. Mekanisme terjadinya reaksi ini masih
kontroversial, namun beberapa diantaranya diperantarai oleh pengaktifan
hapten-specific T cells (Kapsenberg 1996).

18
BAB III
PENUTUP

1.1. Kesimpulan
1. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan
gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV.

2. Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks
antigen-antibody ditemukan dalam sirkulasi atau dinding pembuluh
darah, atau jaringan dan mengaktifkan komplemen.

3. Alergi obat adalah salah satu adversi yang ditimbulkan oleh obat pada
orang-orang yang sensitif. Alergi obat bentuknya sangat bervariasi.

4. Human Imunnodeficiency Virus (HIV ½), Antibody Test, Acquired


Imunnodeficiency Syndrome (AIDS) mendeteksi pertahanan imun
manusian terhadap virus tipe 1 dan 2 ( HIV 1/2 ) merupakan penyebab
AIDS.

5. Pengukuran immunoglobulin quantitative dapat memonitor jalannya


penyakit dan pengobatannya. Jika terdapat protein monoclonal atau
komponen M pada serum protein electrophoresis (SPEP), pengukuran
kuantitatif pada IgA, IgG dan IgM dapat mengidentifikasi
immunoglobulin yang spesifik.

1.2. Saran
1. Pada makalah ini terdapat banyak kekurangan sehingga penulis akan
senang hati menerimakritik dan saran

19
DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja,Karnen Garna. 2004. Imunologi Dasar Edisi ke enam. Jakarta :


Balai Penerbit FKUI.

Suparman, dkk. 1991. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

Wilson, Denise D. 1999. Nurse’s Guide to Understanding Laboratory and


Diagnostic Test. Philadelphia : Library of Congress Cataloging in
Publication Data.

Media Aesculapius. 2001. Kapita Selekta Kedoktera. Jakarta: Media Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia.

Price, Sylvia A. dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-Proses


Penyakit. Jakarta : EGC.

Sudoyo,W dan Bambang Setiyohadi,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : Dep. IPD FKUI.

20

Anda mungkin juga menyukai