Anda di halaman 1dari 26

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Anemia aplastik adalah gangguan hematopoesis yang ditandai dengan

penurunan produksi haemoglobin (≤ 10 gr/dL) atau hematokrit ≤ 30 %, trombosit

≤ 50.000 /mm3, leukosit ≤ 3.500 /mm3 atau granulosit ≤ 1,5 x 109 /L. Keadaan ini

terjadi akibat penurunan eritroid, mieloid dan megakariosit, tanpa dijumpai

adanya keganasan pada sistim hematopoetik atau metastasis keganasan yang

menginvasi sum sum tulang.1 Anemia aplastik terjadi 2 sampai 6 6 kasus tiap 1

juta populasi, perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 1 : 1. Anemia

aplastik dapat terjadi pada semua kelompok usia, kejadian paling banyak antara

usia 1,5 tahun sampai 22 tahun dengan rata-rata 6-8 tahun. Penelitian yang

dilakukan di RSCM taun 2002-2003 didapatkan kejadian anemia aplastik 9 kasus,

dengan 5 orang laki-laki dan 4 orang perempuan.2

Anemia aplastik terjadi dapat disebabkan oleh 2 hal, yaitu kongenital dan

didapat. Anemia aplastik yang didapat dapat berhubungan dengan paparan bahan

kimia, obat-obatan yang menekan fungsi sum-sum tulang, dan paparan radiasi. 1

Gejala klinis yang muncul pada penderita anemia aplastik tidak terlalu khas,

keluhan yang biasa timbul adalah gejala anemia, seperti kelelahan, kurang

konsenterasi, kurang berat badan, lemah, palpitasi, mudah infeksi, mudah terjadi

pertdarahan spontan terutama pada trombositopenia, dan keluhan lainnya, tanpa

iketerik dan organomegali. Hal ini terjadi karena anemia aplastik terjadi karena

gangguan paad sistem hematopetik1-3.

1
Diagnosis anemia aplastik ditegakan berdasarkan gejala klinis yang

muncul dan gambaran darah tepi pansitopenia. Diagnosis pasti penyakit anemia

aplastik adalah dengan pemeriksaan biopsi sum sum tulang. Biasanya didapatkan

gambaran sel yang sangat kurang, banyak jaringan penyokong dan jaringan

lemak, aplasia sistem eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik. Tatalaksana

yang dapat diberikan pada penderita anemia aplastik adalah terapi suportif berupa

pencegahan infeksi dan transfusi darah, sedangkan terapi terbaik yang dapat

diberikan adalah transplantasi sum sum tulang. Komplikasi yang dapat terjadi

pada penderita anemia aplastik adalah infeksi, berupa bronkopneumonia atau

sepsis danp perdarahan otak atau abdomen, hingga menyebabkan kematian.1

1.2 Batasan Masalah


Refrat ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologis

dan patogenesis, manidestasi klinis, diagnosis, tatalaksana dan komplikasi dari

anemia aplastik.

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan refrat ini bertujuan untuk mengetahi dan memahami definisi,

epidemiologi, etiologi, patofisiologis dan patogenesis, manidestasi klinis,

diagnosis, tatalaksana dan komplikasi dari anemia aplastik.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang
ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang. 4 Pada anemia
aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga
menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia, monositopenia dan
trombositopenia.5 Istilah anemia aplastik sering juga digunakan untuk menjelaskan
anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun. Sinonim lain yang
sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif, aleukia
hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik.4

2.2 Epidemiologi
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia,
berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun. 5 Analisis
retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar
antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk pertahun. 7 The Internasional Aplastic
Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus
persejuta orang pertahun.5,7 Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang
berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun.
Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7
kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5
kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur
lebih besar daripada di negara Barat belum jelas. 7 Peningkatan insiden ini
diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan
dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti
dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di
Amerika.8

2.3 Etiologi

3
Etiologi penyakit ini kebanyakan tidak diketahui maka tata laksananya
juga belum optimal dan seringkali menimbulkan masalah-masalah baru pada
pasien, bukan hanya memperburuk kondisi pasien atau bahkan dapat mengancam
jiwa pasien. Penyebab anemia aplastik sulit ditentukan, terutama karena banyak
kemungkinan yang harus disingkirkan. Jika tidak ditemukan penyebab yang pasti
maka digolongkan ke dalam penyebab idiopatik. Pendapat lain menyatakan bahwa
penyebab terbanyak dari kegagalan sumsum tulang adalah iatrogenik karena
kemoterapi sitostatik atau terapi radiasi.Kerusakan yang terjadi pada anemia
aplastik terdapat pada sel induk dan ketidakmampuan jaringan sumsum tulang
untuk memberi kesempatan sel induk untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.
Hal ini berkaitan erat dengan mekanisme yang terjadi seperti toksisitas langsung
atau defisiensi selsel stromal. Penyimpangan proses imunologis yang terjadi pada
anemia aplastik berhubungan dengan infeksi virus atau obat-obatan yang
digunakan, atau zat-zat kimia.9-10

Etiologi yang berhubungan dengan Anemia aplastik didapat


10

Infectious  Hepatitis-associated, typically seronegative


 Epstein-Barr Virus
 Cytomegalovirus
 Parvovirus
 Mycobacterial Infections
 Human Immunodeficiency Virus
 Human Herpes Virus 6
 Varicella Zoster Virus
 Measles
 Adenovirus
 and other

Nutritional  Copper deficiency


 Vitamin B12

4
 Folic acid

Drugs Toxic  Non-steroidal anti-inflammatory drugs


 Antibiotics
 Anticonvulsants
 Sulfonamides
 Gold Salts
 Many additional agents rarely associated with aplastic
anemia
 Chloramphenicol

Chemicals  Benzene
 Insecticides
 Pesticides

 Solvent
Radiation
Other  Pregnancy
Associations
 Inflammatory and autoimmune (e.g. systemic lupus
erythematosus)

 Graft-versus-Host-Disease
Idiopathic Of unknown etiology, this term is increasingly replaced by
“Immune-mediated AA”

2.4 Patofisiologi dan Patogenesis

Kebanyakan kasus anemia aplastik merupakan penyakit yang dimediasi


oleh sistem imun. Adanya aktifasi sel T yang bersifat sitotoksik mengekspresikan
sitokin Th1 terutama interferon gamma. Interferon gamma serta TNF alfa
menyebabkan terjadnya penghancuran dari progenitor hematopoetik. Hal ini
disebabkan adanya induksi apoptosis pada CD34 di sel target atau adanya
kaskade Fas-dependent yang berujung ke kematian sel.

5
Aktifasi sel T pada anemia aplastik masih belum diketahui penyebab
pastinya. Presentasi berlebih dari HLA-DR2 pada pasien memiliki peran dalam
rekognisi antigen kepada sel T. adanya polimorfisme pada gen sitokin, TNF alfa,
dan gen interleukin 6 juga berpengaruh terhadap peningkatan respon imun
seseorang. Ekspresi T-bet (regulator transkripsi yang penting dalam polarisasi
Th1) serta mutasi dari gen perforin juga ditemukan pada kebanyakan pasien
anemia aplastik.

2.5 Manifestasi Klinis

Permulaan dari suatu anemia aplastik sangat tersembunyi dan berbahaya,


yang disertai dengan penurunan sel darah merah secara berangsur sehingga
menimbulkan kepucatan, rasa lemah dan letih, atau dapat lebih hebat dengan

6
disertai panas badan namun pasien merasa kedinginan, dan faringitis atau infeksi
lain yang ditimbulkan dari neutropenia.11 Selain itu pasien sering melaporkan
terdapat memar (eccymoses), bintik merah (petechiae) yang biasanya muncul
pada daerah superficial tertentu, pendarahan pada gusi dengan bengkak pada gigi,
dan pendarahan pada hidung (epitaxis). Menstruasi berat atau menorrhagia sering
terjadi pada perempuan usia subur. Pendarahan organ dalam jarang dijumpai,
tetapi pendarahan dapat bersifat fatal.12-13

Pemeriksaan fisik secara umum tidak ada penampakan kecuali tanda infeksi
atau pendarahan. Jejas purpuric pada mulut (purpura basah) menandakan jumlah
platelet kurang dari 10.000/l (10  109 /liter) yang menandakan risiko yang
lebih besar untuk pendarahan otak. Pendarahan retina mungkin dapat dilihat pada
anemia berat atau trombositopenia. Limfadenopati atau splenomegali tidak selalu
ditemukan pada anemia aplastik, biasanya ditemukan pada infeksi yang baru
terjadi atau diagnosis alternatif seperti leukemia atau limpoma.12

Penemuan pada Darah.

Pasien dengan anemia aplastik memiliki tingkat pansitopenia yang beragam.


Anemia diasosiasikan dengan indeks retikulosit yang rendah. Jumlah retikulosit
biasanya kurang dari satu persen atau bahkan mungkin nol. Makrositosis mungkin
dihasilkan dari tingkat eritropoietin yang tinggi, merangsang sedikit sisa sel
eritroblas untuk berkembang dengan cepat, atau dari klon sel eritroid yang tidak
normal. Jumlah total leukosit dinyatakan rendah, jumlah sel berbeda menyatakan
sebuah tanda pengurangan dalam neutropil. Platelet juga mengalami pengurangan,
tetapi fungsinya masih normal.11 Pada anemia ini juga dijumpai kadar Hb <7 g/dl.
Penemuan lainnya yaitu besi serum normal atau meningkat, Total Iron Binding
Capacity (TIBC) normal, HbF meningkat.12

Penemuan pada Sumsum Tulang

Sumsum tulang biasanya mempunyai tipikal mengandung spicule dengan ruang


lemak kosong, dan sedikit sel hematopoetik. Limfosit, plasma sel, makrofag, dan
sel induk mungkin mencolok, tetapi ini mungkin merupakan refleksi dari
kekurangan sel lain dari pada meningkatnya elemen ini. Anemia aplastik berat
sudah didefinisikan oleh International Aplastic Anemia Study Group sebagai
sumsum tulang kurang dari 25 persen sel, atau kurang dari 50 persen sel dengan
kurang dari 30 persen sel hematopoetik, dengan paling sedikit jumlah neutropil
kurang dari 500/l (0.5  109 /liter), jumlah platelet kurang dari 20.000/l (20 
109 /liter), dan anemia dengan indeks koreksi retikulosit kurang dari 1 persen.
Pengembangan in vitro menunjukkan, kumpulan granulosit monosit atau Colony
Forming Unit-Granulocyte/Macrophage (CFU-GM) dan eritroid atau Burst
Forming Unit-Erythroid (BFU-E) dengan pengujian kadar logam menyatakan
tanda pengurangan dalam sel primitif.11

7
Penemuan Radiologi

Nuclear Magnetic Resonance Imaging (NMRI) dapat digunakan untuk


membedakan antara lemak sumsum dan sel hemapoetik. Ini dapat memberikan
perkiraan yang lebih baik untuk aplasia sumsum tulang dari pada teknik
morpologi dan mungkin membedakan sindrom hipoplastik mielodiplastik dari
anemia aplastik.11

Penemuan pada Plasma dan Urin

Serum memiliki tingkat faktor pertumbuhan hemapoetik yang tinggi, yang


meliputi erythropoietin, thrombopoietin, dan faktor myeloid colony stimulating.
Serum besi juga memiiki nilai yang tinggi, dan jarak ruang Fe diperpanjang,
dengan dikuranginya penggabungan dalam peredaran sel darah merah.11

2.6 Diagnosis

Penegakan diagnosis anemia alasti adalah berdasarkan klinis dan pemeriksaan


penunjang. Beberapa gambaran klinis yang biasanya muncul pada anak dengan
anemia aplasti seperti demam, pucat, tanda-tandaperdarahan, tanpa disertai
dengan organomegali.15

Pasien dengan anemia aplasti juga harus disingkirkan untuk kemungkinan


leukimia, kegagalan sumsum tulang kongenital, infeksi, dan paroksismal
nocturnal haemoglonuria (PNH).14

Pemeriksaan lanjutan yang digunakan untuk kecurigaan terhadap anemia aplasti


adalah:

a. Darah perifer lengkap dan hitung jumlah retikulosit


Darah perifer lengkap biasanya menunjukkan keadaan pansitopenia. Pada
kebanyakan kasus, kadar hemoglobin, neutrofil, dan trombosit menurun,
namun pada fase awal dapat ditemukan keadaan sitopenia terisolasi,
terutama trombositopenia. Penurunan kadar komponen darah juga diikuti
dengann retikulositopenia.13 kkeadaan pansitopenia dan retikulosipotenia
menunjukkn adanya kegagalan sumsum tulang.16
b. Bone Marrow Aspration dan trephine biopsy
Kedua pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang sangat mendukung
diagnosis anemia alasti sekaligus menyingkirkan diagnosis banding dari

8
anemia aplasti. Pada pemeriksaan trephine biopsy akan ditemukan
hiposelularitas hematopoietik (<30% untuk anak dan dewasa muda).
Pemeriksaan aspirat sumsum tulangg akan menunjukkan pola
diseritropoietik dengan jumlah megakariosit yang rendah atau tidak
ditemukan sama sekali. selain itu juga ditemukan displasia granulosit.
Temuan ini akan membantu dalam membedakan anemia aplasti dengan
mielodiplasia (MDS). 2 hiposelularitas juga diikuti dengan digantikannya
kompoen sumsum tulang dengan lemak dan stroma sumsum tulang. Sel
hematopoietik yang terlihat memiliki morfologi yang normal dan tidaak
ditemukan tanda-tanda malignansi.16
Dalam penegakan anemia aplati, uga perlu ditentukan tingkat
keparahannya, tabel 1 menunjukkan tingkat keparahan anemia aplasti
berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium.14

Tabel 1. Kriteria tingkat severitas anemia alplasti14,16

Anemia aplasti tidak berat Penurunan selularitas sumsum tulang dan sitopenia
perifer, namun tidak memenuhi kriteria anemia
aplasti berat
Anemia aplasti berat Selularitas sumsum tulang <25%
Ditambah minimal 2 kriteria berikut :
- Neutrofil <0,5 x 109/L
- Trombosit <20 x 109/L
- Retikulosit <20 x 109/L
Anemia aplasti sangat berat Memenuuhi kriteria anemia aplasti berat ditambah
dengan neutrofil <0,2 x 109/L

c. Pemeriksaan lain
Berdasaran panduan diagnsosi dan tatalaksana anemia aplasti, terdapat
beberapa pemeriksaan lain yang bisa dilakukan,baik untuk mecari
penyebab anemia aplasti maupun untuk mentinggkirkan diagnosis
bandingnya. Beberapa pemeriksaan tersebut adalah16:
1. Kadar fetal hemoglobin (HbF)
2. Flow cytometry untuk gliserofosfoditilinositol
3. Hemosiderin pada urin jika ditemukan defisiensi
gliserofosfoditilinositol
4. Vitamin B12 dan asam folat
5. Fungsi hati

9
6. Uji terhadap kemungkinan virus : hepatitis A, B, dan C, EBV, dan HIV
7. Antibodi anti-nuclear dan anti-dsDNA
8. USG andomen dan ekokardiogram
9. Analisis mutasi genetik untuk diskeratosis kongenital jika tidak respon
dengan terapi imunosupresif.

2.7 Tatalaksana

Berdasarkan patofisiologi penyakit ini, pendekatan terapi anemia aplastik

terdiri dari tata laksana suportif yang ditujukan untuk mengatasi keadaan

pansitopenia yang ditimbulkannya, penggantian stem cell dengan transplantasi

sumsum-tulang atau penekanan proses imunologis yang terjadi dengan

menggunakan obatobat imunosupresan.18,21

a)Tata laksana suportif

Tata laksana suportif ditujukan pada gejala-gejala akibat keadaan

pansitopenia yang ditimbulkan. Untuk mengatasi keadaan anemia dapat diberikan

transfusi leukocyte-poor red cells yang bertujuan mengurangi sensitisasi terhadap

HLA (human leukocyte antigen), menurunkan kemungkinan transmisi infeksi

hepatitis, virus sitomegalo dan toksoplasmosis,21 pada beberapa kasus mencegah

graft- versus host disease (GVHD). Transfusi ini dapat berlangsung berulang-

ulang sehingga perlu diperhatikan efek samping dan bahaya transfusi seperti

reaksi transfusi, hemolitik dan nonhemolitik, transmisi penyakit infeksi, dan

penimbunan zat besi.24,25

Perdarahan yang terjadi sering menyebabkan kematian. Untuk mencegah

perdarahan terutama pada organ vital dapat dilakukan dengan mempertahankan

jumlah trombosit di atas 20.000/uL.21,24 Hal ini dapat dilakukan dengan transfusi

suspensi trombosit. Perlu diingat bahwa pemberian suspensi trombosit dapat

10
menyebabkan keadaan isoimunisasi apabila dilakukan lebih dari 10 kali, dan

keadaan ini dapat mempengaruhi keberhasilan terapi.24 Isoimunisasi dapat dicegah

dengan pemberian trombosit dengan HLA yang kompatibel dengan pasien. Bila

perdarahan tetap terjadi dapat ditambahkan antifibrinolisis.19,21

Untuk mengatasi infeksi yang timbul karena keadaan leukopenia, dapat

diberikan pemberian antibiotik profilaksis dan perawatan isolasi. Kebersihan kulit

dan perawatan gigi yang baik sangat penting, karena infeksi yang terjadi biasanya

berat dan sering menjadi penyebab kematian. 21,23 Pada pasien anemia aplastik

yang demam perlu dilakukan pemeriksaan kultur darah, sputum, urin, feses, dan

kalau perlu cairan serebrospinalis. Bila dicurigai terdapat sepsis dapat diberikan

antibiotik spektrum luas dengan dosis tinggi secara intravena dan kalau penyebab

demam dipastikan bakteni terapi dilanjutkan sampai 10-14 hari atau sampai hasil

kultur negatif.23 Bila demam menetap hingga 48 jam setelah diberikan antibiotik

secara empiris dapat diberikan anti jamur.26

Pada tata laksana anemia aplastik, yang tidak kalah penting adalah

penghindaran dari bahan-bahan fisika maupun kimiawi, termasuk obat-obatan

yang mungkin menjadi penyebab. Bila zat-zat kimia atau fisika yang bersifat

toksik itu ditemukan dan masih terdapat dalam tubuh, harus diusahakan untuk

mengeluarkannya walaupun hal ini kadang tidak dapat dilakukan.20,21,24

b)Tata laksana medikamentosa

Obat-obatan

Tata laksana anemia aplastik dengan obat-obatan diberikan pada pasien

anemia plastik derajat ringan, pasien yang tidak mendapatkan donor yang sesuai

untuk transplantasi, dan pasien yang mempunyai kontra-indikasi untuk dilakukan

11
transplantasi sumsum tulang.21 Tujuan pemberian obat-obatan untuk mengurangi

morbiditas, mencegah komplikasi, dan eradikasi keganasan.27

Androgen

Androgen digunakan sebagai terapi anemia aplastik sejak tahun 1960.

Efek androgen dalam tata laksana anemia aplastik untuk meningkatkan produksi

eritropoetin dan merangsang sel stem eritroid.39

Penggunaan androgen tunggal sebagai terapi anemia aplastik ternyata

tidak meningkatkan angka kesintasan pada pasien. Penelitian yang dilakukan di

Amerika Serikat, androgen sebagai tambahan terapi antitymocyte globulin (ATG)

juga tidak menunjukkan keuntungan, sedangkan penelitian yang dilakukan di

Eropa menunjukkan androgen hanya meningkatkan respons hematologi tetapi


18
tidak meningkatkan angka kesintasan. Terapi androgen pada pasien anemia

aplastik yang gagal dengan terapi imunosupresan mungkin berguna, meskipun

berbahaya. Preparat androgen yang sering digunakan adalah metil testosteron,

testosteron enantat, testosteron propionat, oksimetolon dan etiokolanolon. Dosis

yang digunakan adalah 2-5 mg/kg berat badan/minggu, secara intramuskular.

Dosis nandrolon dekanoat diberikan 5 mg/kg berat badan / minggu. 22,23 Efek

samping yang dapat timbul dari pemberian preparat androgen ini seperti

kolestasis, hepatomegali, tumor hepar, maskulinisasi, kebotakan, dan pembesaran

alat kelamin. Pasien dengan terapi androgen sebaiknya dilakukan pemeriksaan

fungsi hati secara berkala, pemeriksaan ultrasonografi hati setiap tahun, dan

pemeriksaan usia tulang per tahun.20

Imunosupresan

Metilprednisolon

12
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis rendah 2-

4 mg/kg berat badan /hari, dapat digunakan untuk mengurangi perdarahan dan

gejala serum sickness. Metilprednisolon dosis tinggi memberikan respons

pengobatan yang baik sampai 40%.20,27 Dosis metilprednisolon adalah 5mg/kg/

berat badan secara intravena selama 8 hari kemudian

dilakukan tappering dengan dosis 1mg/kg berat badan /hari selama 9-14 hari, lalu

tappering selama 15-29 hari. Pemakaian kortikosteroid dibatasi pada keadaan

antilimfosit globulin tidak tersedia atau terlalu mahal. Efek samping antara lain

ulkus peptikum, edem, hiperglikemia, dan osteonekrosis.27

Antilimfosit globulin (ALG)

Antilimfosit globulin adalah sitolitik sel T yang bersama dengan

siklosponin berperan dalam menghambat fungsi sel T, khususnya dalam produksi

limfokin-limfokin supresif.4,11,17 Pemberian ALG secara cepat akan mengurangi

limfosit dalam sirkulasi sehingga berkurang 10%, dan ketika limfosit total

kembali normal berarti limfosit T aktif jumlahnya berkurang. Sediaan ALG invitro

merangsang proliferasi sel T dan mempromosikan sekresi beberapa faktor

pertumbuhan.20,22 Antilimfosit globulin dapat diberikan dengan dosis 40 mg/kg

berat badan /hari selama 12 jam dilanjutkan dengan infus yang dikombinasikan

dengan metilprednisolon 1mg/kg berat badan /hari intravena selama 4 hari. Dapat

juga diberikan dosis 20mg/kg berat badan /hari selama 4-6 jam dengan infus

intravena selama 8 hari berturutturut yang dikombinasikan dengan prednison

40mg/m2/hari selama 5 hari dimulai pada hari terakhir pemberian ALG. ALG

dapat menyebabkan perasaan

13
panas dingin, kemerahan, trombositopenia dan serum sickness. Keberhasilan

terapi menggunakan ALG tunggal sekitar 50%.21

Antitymocyt Globulin (ATG)

Antitymocyt Globulin menghambat mediasi respons imun dengan

mengubah fungsi sel T atau menghilangkan sel reaktif antigen. Dosis yang

diberikan 100-200mg/kg berat badan intravena. Kontraindikasi ATG adalah reaksi

hipersensitivitas, keadaan leukopenia dan

atau trombositopenia.27 Penelitian yang membandingkan hasil akhir antara tata

laksana anemia aplastik dengan ATG dan transplantasi sumsum tulang (TST)

dilaporkan bahwa pada 155 pasien anemia aplastik dewasa yang diterapi dengan

TST lebih baik dibandingkan dengan penggunaan ATG tunggal sesuai protokol

terbaru.28 The European blood and marrow transplant severe anemia aplastic

working party melakukan penelitian pada pasien anemia aplastik tidak berat, yang

diberikan terapi imunosupresan. Disimpulkan bahwa penggunaan kombinasi ATG

dan siklosporin A lebih baik daripada siklosporin A tunggal dalam kelompok

respons hematologi, kualitas respons dan kematian awal.29

Siklosporin A (Cs A)

Merupakan cyclic polypeptide yang menghambat imunitas humoral,

sebagai inhibitor spesifik terhadap sel limfosit T, mencegah pembentukan

interleukin-2 dan interferon-y.20,21,22 Dan dapat menghambat reaksi imun seperti

penolakan jaringan transplan, GVHD, dan lain-lain. Dosis awal dapat diberikan 8

mg/kg berat 30 badan /hari peroral selama 14 hari dilanjutkan dengan dosis 15

mg/kg berat badan /hari pada anak-anak dan 12 mg/kg/hari pada dewasa. Dosis

kemudian dipertahankan pada kadar 200-500ug/L untuk menghindari efek toksik.

14
Bila ditemukan efek toksik, terapi dihentikan 1-4 hari untuk kemudian dilanjutkan

dengan dosis yang lebih rendah. Respons terapi dengan siklosporin tunggal hanya

sekitar 25%. Kombinasi siklosporin dengan ATG meningkatkan kecepatan remisi

sistem hematopoetik sekitar 70%.20

Siklofosfamid (CPA)

Penggunaan siklofosfamid sebagai terapi anemia aplastik, dimulai pada

saat penggunaan siklofospamid sebagai persiapan transplantasi sumsum tulang. 4

Siklofosfamid (CPA) adalah zat kimia yang berkaitan dengan nitrogen mustard.

Sebagai agen alkali CPA terlibat dalam cross-link DNA yang mungkin

berhubungan dengan pertumbuhan sel normal dan neoplasma. 17 Sejumlah peneliti

menyatakan dosis terapi yang diberikan adalah 50mg/kg berat badan /hari selama

4 hari berturut-turut. Tetapi perlu diingat dosis tinggi yang diberikan akan

meningkatkan efek tosik yang serius dan efek terapi yang ditimbulkan tidak lebih

baik dibandingkan dengan terapi kombinasi.30

Penelitian yang dilakukan terhadap 10 pasien anemia aplastik berat dengan

CPA 45mg/kg berat badan /hari selama 4 hari, memberikan hasil lebih efektif

dibandingkan dengan imunosupresan konvensional lainnya, dalam hal

memperbaiki hematopoesis normal

dan pencegahan relaps atau kelainan-kelainan klonal sekunder, meskipun tanpa

dilakukan TST.21 Penelitian yang dilakukan terhadap 19 pasien yang diberikan

CPA dengan dosis 50 mg/kg berat badan /hari selama 4 hari didapatkan hasil

terapi CPA dosis tinggi tanpa TST membuat remisi bebas pada pasien anemia

aplastik berat. Penelitian ini dilakukan pada pasien yang tidak dapat dilakukan

transplantasi sumsum tulang.30

15
Faktor-faktor pertumbuhan hematopoetik

(growth factors)

Dari beberapa penelitian, pemberian cytokines dapat menyebabkan

perbaikan jumlah neutrofil dan juga meningkatkan angka kesintasan, meskipun

jika digunakan berkepanjangan dapat meningkatkan risiko penyakit klonal. Dari

penelitian, penggunaan recombinant human granulocyte-macrophage stimulating

factor (GM-CSF) dengan dosis 8-32 ug/kg/hari intravena yang dikombinasikan

dengan siklosponin A dan ALG dapat meningkatkan jumlah sel-sel darah di

perifer maupun di sumsum tulang. Keadaan ini bersifat sementara atau menetap

yang ditandai dengan respon klinis terhadap infeksi. Pasien dengan jumlah

granulosit awal lebih banyak memberikan respon terapi yang lebih baik, diduga

karena meningkatnya cadangan sel prekursor mieloid di sumsum tulang. Jangan

diberikan setelah 24 jam pemberian sitostatik karena dapat meningkatkan

sensitivitas.18,27

Dapat juga diberikan recombinat human granulocyte colony stimulating

factor (G-CSF) yang dapat mengaktifkan dan menstimulasi produksi, stimulasi,

migrasi dan sitotoksisitas dan neutrofil. Dosis yang dapat diberikan 5ug/kg berat

badan /hari subkutan. Efek samping yang dapat terjadi, risiko untuk berkembang

menjadi sindrom mielodisplastik atau leukemia mieloid akut. Human IL-3 dengan

dosis sampai 1000 ug/m2/hari juga dapat merangsang aktivitas sistem

hematopoetik bila diberikan bersama faktor pertumbuhan yang lain. Faktor

pertumbuhan ini merupakan terapi tambahan pada anemia aplastik yang dengan

infeksi, dan berguna pada pasien anemia aplastik berat karena stem cell pada

sumsum tulang yang sangat kurang.18,23,27 Penelitian yang mempelajari efek

16
GMCSF, IL-3, IL-6, dan G-CSF didapatkan G-CSF mempunyai efek yang paling

baik dalam memperbaiki respons hematopoesis.32

Terapi obat kombinasi

Kombinasi obat-obat imunosupresan pada terapi pasien anemia aplastik

hasilnya Iebih memuaskan dibandingkan dengan imunosupresan tunggal.

Kombinasi ALG, metilprednisolon dan siklosporin A menghasilkan remisi parsial

atau total sebesar 65%.21,33

Kombinasi lain antara ATG, siklosporin A dan G-CSF dilaporkan memberikan

respon hematopoetik yang memuaskan dengan penurunan angka kematian.

Penelitian yang dilakukan Stephen Rosenfeld dkk, dengan metode kohort pada

122 pasien yang diberikan

40 mg/kg berat badan /hari dengan ATG selama 4 hari dan 10-12 mg/kg berat

badan /hari, siklosporin A selama 6 bulan dan pemberian jangka pendek

kortikosteroid didapatkan kurang lebih setengah dan 31 pasien anemia aplastik

berat mempunyai waktu penyembuhan yang lebih baik dengan hasil jangka

panjang yang memuaskan.34

Penelitian terbaru yang mengkombinasikan ATG dengan siklosporin pada

pasien anemia aplastik berat didapatkan hasil peningkatan angka kesintasan 7

tahun yang memuaskan pada 55% kasus.32 Kombinasi ATG dan CsA merupakan

terapi imunosupresan

lini pertama untuk pasien dengan anemia aplastik berat.35,36

Transplantasi sumsum tulang (TST)

17
Transplantasi sumsum tulang pada kasus anemia aplastik berat pertama

kali dilakukan pada tahun 1970. Sayangnya hanya 25-30% pasien yang

mendapatkan donor yang diharapkan.18,21 Pengobatan anemia aplastik dengan

transplantasi sumsum tulang meningkatkan angka kesintasan sekitar 60-70%.

Pasien berusia muda tanpa transfusi berulang mempunyai respon yang lebih baik

lagi sekitar 85-95% karena limfosit pasien tersebut belum tersensitisasi oleh
20,22
paparan antigen sebelumnya. Dari sebuah penelitian yang dilakukan pada

1305 pasien didapatkan angka kesintasan 5 tahun meningkat dan 48% ±7% pada

tahun 1976-1980 menjadi 66%±6% pada tahun 1988-1992 (p<0,0001). Risiko

terjadinya graft-versus-host-disease (GVHD) dan pneumonia interstisial menurun

tetapi risiko terjadinya penolakan jaringan transplan tidak. 37 Penelitian lain yang

dilakukan terhadap 212 pasien anemia aplastik didapatkan bahwa TST

menyebabkan hematopoesis menjadi normal dengan penyebab morbiditas dan

mortalitas yang utama akibat GVHD kronik.38 Penelitian yang dilakukan terhadap

6.691 pasien yang dilakukan TST alogenik temyata kemungkinan dapat sembuh

lebih besar, meskipun beberapa tahun setelah TST mortalitasnya lebih tinggi

dibandingkan populasi normal.39

Sulitnya mencari donor yang sesuai dengan pasien, dapat diatasi dengan

TST yang berasal dan cord blood; dan penelitian yang dilakukan terhadap 78

pasien yang mendapat TST cord blood dan donor yang related, dan 65 pasien

yang dilakukan TST dengan donor unrelated,disimpulkan bahwa cord blood

adalah altematif yang mungkin sebagai sumber sel induk untuk TST pada anak-

anak dan dewasa dengan kelainan hematologis mayor, terutama jika donor dan

recipient related.30 Komplikasi TST yang paling sering terjadi adalah GVHD,

18
graft failure dan infeksi. Penelitian retrospektif yang dilakukan Min CK, dan

kawan-kawan terhadap 40 pasien anemia aplastik yang dilakukan TST alogenik

didapatkan insidens graft failure, GVHD akut, GVHD kronis masing-masing

22,5%, 12,8% and 23,1%. sedangkan 5% pasien mengalami pneumonia

interstisial dan 2,5% pneumonia.41

Efek jangka panjang pada pengobatan anemia aplastik

Pengobatan anemia aplastik baik dengan TST maupun dengan penggunaan

imunosupresan menimbulkan efek jangka panjang pada pasien. Pasien yang

mampu bertahan hidup akan berisiko terkena keganasan. Angka kejadian sindrom

mielodisplasia dan leukemia

akut lebih tinggi dibandingkan dengan TST. (Tabel 1) Dari laporan penelitian-

penelitian yang telah dilakukan, dampak jangka panjang terapi anemia aplastik

mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadi tumor padat, sindrom mielodisplastik

dan leukemia akut setelah terapi TST dan imunosupresan.21,42

2.8 Komplikasi17

Sebab kematian pada pasien anemia aplastik :

1. Infeksi, biasanya bronkopneumonia atau sepsis. Harus waspada terhadap


tuberculosis akibat pemberian prednison jangka panjang.
2. Perdarahan otak atau abdomen

2.9 Prognosis17

Prognosis bergantung pada :

1. Gambaran sumsum tulang hiposeluler atau seluler


2. Kadar Hb F yang lebih dari 200mg % memperlihatkan prognosis yang
lebih baik
3. Jumlah granulosit lebih dari 2.000/mm3 menunjukkan prognosis yang
lebih baik

19
4. Pencegahan infeksi sekunder, terutama di Indonesia karena kejadian
infeksi masih tinggi. Gambaran sumsum tulang merupakan parameter
yang terbaik untuk menentukan prognosis.

Remisi biasanya terjadi beberapa bulan setelah pengobatan (dengan


oksimetolon setelah 2-3 bulan), mula-mula terlihat perbaikanpada sistem
eriropoitik, kemudian sistem granulopoitik, dan terakhir sistem trombopoitik.
Kadang-kadang remisi terlihat pada sistem granulopoitik lebih dahulu, disusul
oleh sistem eritropoitik dan trombopoitik. Untuk melihat adanya remisi
hendaknya diperhatikan jumlah retikulosit, granulosit/ leukosit dengan hitung
jenisnya dan jumlah trombosit. Pemeriksaan sumsum tulang sebulan sekali
merupakan indikator terbaik untuk menilai keadaan remisi ini. Bila remisi parsial
telah tercapai, yaitu timbulnya aktivitas eritropoitik dan granulopoitik, bahaya
pendarahan yang fatal masih tetap ada, karena perbaikan sistem trombopoitik
terjadi paling akhir. Sebaiknya pasien dibolehkan pulang dari rumah sakit setelah
hitung trombosit mencapai 50.000-100.000/mm3.

20
BAB III

KESIMPULAN

Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang disebabkan oleh


kegagalan produksi di sumsum tulang sehingga mengakibatkan penurunan
komponen selular pada darah tepi yaitu berupa keadaan pansitopenia (kekurangan
jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit).
Anemia aplastik merupakan penyakit yang jarang ditemukan. Insidensinya
bervariasi di seluruh dunia yaitu berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta
penduduk pertahun. Frekuensi tertinggi insidensi anemia aplastik adalah pada usia
muda.
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh bahan kimia, obat-obatan, virus, dan
terkait dengan penyakit-penyakit yang lain. Anemia aplastik juga ada yang
ditururunkan seperti anemia Fanconi. Akan tetapi, kebanyakan kasus anemia
aplastik merupakan idiopatik.
Tanda dan gejala klinis anemia aplastik merupakan manifestasi dari
pansitopenia yang terjadi. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan gejala-
gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe d’effort, palpitasi cordis, takikardi,
pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis (granulositopenia)
menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan
keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik.
Trombositopenia dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau
pendarahan di organ-organ. Gejala yang paling menonjol tergantung dari sel mana
yang mengalami depresi paling berat.
Pansitopenia perifer adalah kelainan hematologis yang utama untuk anemia
aplastik. Anemia bersifat normokrom normositer dan tidak disertai tanda-tanda
regenerasi. Leukopenia berupa grnaulositopenia. Trombosit kuantitas berkurang
sedang secara kualitatif normal. Sumsum tulang akan mengandung banyak sel
lemak dan menganduk sedikit sekali sel-sel hemopoisis. Tidak terlihat
penambahan sel primitif.
Anemia aplastik bukan berat memiliki sumsum tulang yang hiposelular dan
dua dari tiga kriteria (netrofil < 1,5x109/l, trombosit < 100x109/l, hemoglobin <10
g/dl). Anemia aplastik berat memiliki seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-
50% dengan <30% sel hematopoietik residu, dan dua dari tiga kriteria (netrofil <
0,5x109/l, trombosit <20x109 /l, retikulosit < 20x109 /l). Anemia aplastik sangat
berat sama seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil <0,2x109/l.
Pengobatan anemia aplastik dapat bersifat suportif yaitu dengan transfusi
PRC dan trombosit. Penggunaan obat-obat atau agen kimia yang diduga menjadi

21
penyebab anemia aplastik harus dihentikan. Pemberian antibiotik bila terjadi
infeksi juga harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Terapi
standar untuk anemia aplastik meliputi terapi imunosupresif atau transplantasi
sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi
sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host
Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya
ditawarkan terapi imunosupresif.
Prognosis dipengaruhi banyak hal, antara lain derajat anemia aplastik, usia
pasien, ada tidaknya donor dengan HLA yang cocok untuk transplantasi sumsum
tulang allogenik serta apakah pasien telah mendapatkan terapi imunosupresif
sebelum tranplantasi sumsum tulang

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Ugrasena IDG. Anemia Aplastik dalam Buku Ajar Hematologi-Onkologi


Anak Cetakan Ke Dua. 2006. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. Hal 10-15.

2. Isyanto, Abdulsalam M. Masalah Pada Tatalaksana Anemia Aplastik


Didapat. 2005. Jakarta : Sari Pediatri, Volume 7 No 1. Hal 26-33.

3. Paquette RL, Young NS. Your Guide to Understanding Aplastic Anemia.


Aplastic Anemia & MDS International Foundation : 2008. Hal 1-40

4. William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In:
Lee GR, Foerster J, et al (eds). Wintrobe’s Clinical Hematology 9th ed.
Philadelpia-London:Lee& Febiger, 1993;911-43.
5. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit
FKUI, 2001;501-8.
6. Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology :
Basic Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000;153-68.
7. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds).
William Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.
8. Niazzi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia.
Available in URL: HYPERLINK http://www.jpmi.org/org_detail.asp
9. Isyanto & Abdulsalam M, Masalah pada Tata Laksana Anemia Aplastik
Didapat. Divisi Hematologi-onkologi. Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI RSCM, Jakarta. Sari Pediatri, Vol. 7, No. 1, Juni 2005
10.Hartung HD, Olson TS, Bessler M. Acquired Aplastic Anemia in Children.
HHS Public Access. 2013 Dec
11.Shadduck RK. Aplastic Anemia. In: Beuttler E, Coller BS, Lichtman M,
Kipps TJ. Williams Hematology. 6th ed. USA: McGraw-Hill;2001. p. 504-
523.

23
12.Bakta IM. Anemia Karena Kegagalan Sumsum Tulang. In: Hematologi
Klinik Ringkas. Cetakan I. Jakarta: EGC;2006. p. 97-112.

13. Marsh JCW, Ball SE, Cavenagh J, Darbyshire P, Dokal I, GordonSmith EC,
et al. 2009. Guidelines for Diagnosis and Management of aplastic anemia.
British Journal of Haematology; 147; 43-70.
14. Miano M and Dufour C. 2015. The diagnosis and treatment of aplastic
anemia: a review. International journal of Haematology; 101; 527-35.
15. Buku ajar hematologi idai

16. Dolberg OJ and Levy Y. Idiopathic aplastic anemia: Diagnosis and


classification. 2014. Autoimmunity Reivew; 1-5.
17. Buku ajar hematologi onkologi anak. 2006

18. Young NS, Barrett AJ. The treatment of severe acquired aplastic anemia.
Blood 1995;85:3367-77.
19. Young NS, Maciejewski J. The pathofisiology of acquired aplastic anemia.
N engl J Med 1997;336:1365-72.
20. Alter BP, Young NS. The bone marrow failure syndromes. Dalam: Nathan
DG, Oski FA, penyunting. Hematology of infancy and childhood. Edisi ke-4.
Philadelphia: Saunders, 1993. h. 216-37.
21. Lanzkowsky P. Bone marrow failure. Manual of pediatric hematology and
oncology. Edisi ke-2. New york: Churchill Livingstone, 1995. h. 89-96.
22. Shadduck RK. Aplastic anemia. Dalam : Beutler E, Lietcman MA, Coller
BS, dkk, penyunting. Wiliams hematology. Edisi ke-5. New York:McGraw Hill,
1995. h. 238-51.
23. Young NS. Aplastic anemia. Dalam: Brain MC, Carbone PP. Kelton JG,
Schiler JH, penyunting. Current therapy in hematology-oncology. Edisi ke-5. St.
Lois: Mosby, 1995. h. 129-34.
24. Munthe BG. Diagnostik dan penanggulangan anemia aplastik. Dalam:
Pendidikan tambahan berkala Ilmu Kesehatan Anak. FKUI-RSCM Jakarta 1991.
h. 33-40.

24
25. Gatot D. Penatalaksanaan transfusi pada anak. Dalam: Update emergencies
pediatrics. Jakarta : Balai Pustaka FKUI 2002. h. 28-47.
26. Speck B, Nissen C, Tichelli A, Gratwohl A. aplastic anemia: treatment.
Disampaikan pada kongres Internasional Society of Haematology, Singapore, 25-
29 Agustus, 1996.
27. Bakhshi S. Aplastic anemia. E-medicine journal; 2002. Didapat dari:
www.emedicine.com. Di akses tanggal 12 Pebruari 2003.
28. Paquete RL, Tebyani N, Frane M, dkk. Long-term outcome of aplastic
anemia in adults treated with antithymocyte globulin: Comparison with bone
marrow transplantation. Blood 1995;85:283-90.
29. Marsh J, Schrezenmeier H, Marin P. Prospective randomized study
comparing cyclosponine alone versus the combination of antithymocite globulin
and cyclosporine for treatment of patients with nonsevere aplastic anemia: A
report from the European blood and marrow transplantation (EBMT) severe
aplastic anemia working party. Blood 1999;93:2191-5.
30 Brodsky RA, Sensenbrenner LL, smith BD, Dorr D, Seaman DJ, Lee SM.
Durable treatment-free remission after high-dose cyclophosphamid therapy for
previously untreated
severe aplastic anemia. Ann intern Med. 2001;87:477-83.

31. Broadsky RA, Sensenbrenner LL, Jones RI. Complete remission in severe
aplastic anemia high-dose cyclophospamid without bone marrow transplantation.
Blood 1996;87:491-4.
32. Scopes J, Daly S, Atkinson R. Aplastic anemia: evidence for dysfunctional
bone marrow progenitor cells and the corrective effect of Granulocyte colony
stimulating factor in vitro. Blood 1996;87:3179-85.
34. Bacigalupo N, kaltwasser JP, Corda G, Arcese W, Carotenuto W, Gallamini
W. Antilymphocyte globulin, cyclosporin and granulocyte colony stimulating
factors in patients with acquired aplastic anemia. Blood 1995;324:1298-303
35. Rosenfeld S, Follmann D, Nunez O. Antythymocyte globulin and
cyclosporine for severe aplastic anemia association between hematologic response
and long-term outcome. JAMA 2003;289:1130-5.

25
36. Rosenfeld SJ, Kimball J, Vining D. Intensive immunosupression with
antithymocyte globulin and Cyclosporin as treatment for severe acquired aplastic
anemia. Blood 1995;85:3058-65.
37. Passweg JR, Socie G, Hinterberger W. Bone marrow transplantation for
severe aplastic anemia: has outcome improved?. Blood 1997;90:858-64.
38. Deeg HJ, Leisenring W, Rainer S, Nimms D, Flower M, Sandrers J. Long-
term outcome after marrow transplantation for severe aplastic anemia. Blood
1998;91:3637-45.
39. Socie G, Stone JV, Wingard JR. long-term survival and late deaths after
allogeneic bone marrow transplantation. N engl J Med 1991;341:14-21.
40. Gluckmann E, Rocha V, Boyer-Chammard A. Outcome of cord-blood
transplantation from related and unrelated donors. N engl J Med 1997; 337:373-
81.
41. Min CK, Kim DW, Lee JW, Han CW, Min WS, Kim CC. Hematopoetic stem
cell transplantation og high risk adult patient with severe anemia aplastic;
reduction of graft failure by enhanching stem cell dose. Haematologica
2001;86:303-10.
42. Socie G, Henry-Amar M, Bacigalupo A, Hows J, Tichelli A, Ljungman P.
malignant tumors occurring after treatment of aplastic anemia. N engl J Med
1993; 329:1152-7.

26

Anda mungkin juga menyukai