Pendahuluan
≤ 50.000 /mm3, leukosit ≤ 3.500 /mm3 atau granulosit ≤ 1,5 x 109 /L. Keadaan ini
menginvasi sum sum tulang.1 Anemia aplastik terjadi 2 sampai 6 6 kasus tiap 1
aplastik dapat terjadi pada semua kelompok usia, kejadian paling banyak antara
usia 1,5 tahun sampai 22 tahun dengan rata-rata 6-8 tahun. Penelitian yang
Anemia aplastik terjadi dapat disebabkan oleh 2 hal, yaitu kongenital dan
didapat. Anemia aplastik yang didapat dapat berhubungan dengan paparan bahan
kimia, obat-obatan yang menekan fungsi sum-sum tulang, dan paparan radiasi. 1
Gejala klinis yang muncul pada penderita anemia aplastik tidak terlalu khas,
keluhan yang biasa timbul adalah gejala anemia, seperti kelelahan, kurang
konsenterasi, kurang berat badan, lemah, palpitasi, mudah infeksi, mudah terjadi
iketerik dan organomegali. Hal ini terjadi karena anemia aplastik terjadi karena
1
Diagnosis anemia aplastik ditegakan berdasarkan gejala klinis yang
muncul dan gambaran darah tepi pansitopenia. Diagnosis pasti penyakit anemia
aplastik adalah dengan pemeriksaan biopsi sum sum tulang. Biasanya didapatkan
gambaran sel yang sangat kurang, banyak jaringan penyokong dan jaringan
yang dapat diberikan pada penderita anemia aplastik adalah terapi suportif berupa
pencegahan infeksi dan transfusi darah, sedangkan terapi terbaik yang dapat
diberikan adalah transplantasi sum sum tulang. Komplikasi yang dapat terjadi
anemia aplastik.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang
ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang. 4 Pada anemia
aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga
menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia, monositopenia dan
trombositopenia.5 Istilah anemia aplastik sering juga digunakan untuk menjelaskan
anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun. Sinonim lain yang
sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif, aleukia
hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik.4
2.2 Epidemiologi
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia,
berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun. 5 Analisis
retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar
antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk pertahun. 7 The Internasional Aplastic
Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus
persejuta orang pertahun.5,7 Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang
berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun.
Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7
kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5
kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur
lebih besar daripada di negara Barat belum jelas. 7 Peningkatan insiden ini
diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan
dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti
dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di
Amerika.8
2.3 Etiologi
3
Etiologi penyakit ini kebanyakan tidak diketahui maka tata laksananya
juga belum optimal dan seringkali menimbulkan masalah-masalah baru pada
pasien, bukan hanya memperburuk kondisi pasien atau bahkan dapat mengancam
jiwa pasien. Penyebab anemia aplastik sulit ditentukan, terutama karena banyak
kemungkinan yang harus disingkirkan. Jika tidak ditemukan penyebab yang pasti
maka digolongkan ke dalam penyebab idiopatik. Pendapat lain menyatakan bahwa
penyebab terbanyak dari kegagalan sumsum tulang adalah iatrogenik karena
kemoterapi sitostatik atau terapi radiasi.Kerusakan yang terjadi pada anemia
aplastik terdapat pada sel induk dan ketidakmampuan jaringan sumsum tulang
untuk memberi kesempatan sel induk untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.
Hal ini berkaitan erat dengan mekanisme yang terjadi seperti toksisitas langsung
atau defisiensi selsel stromal. Penyimpangan proses imunologis yang terjadi pada
anemia aplastik berhubungan dengan infeksi virus atau obat-obatan yang
digunakan, atau zat-zat kimia.9-10
4
Folic acid
Chemicals Benzene
Insecticides
Pesticides
Solvent
Radiation
Other Pregnancy
Associations
Inflammatory and autoimmune (e.g. systemic lupus
erythematosus)
Graft-versus-Host-Disease
Idiopathic Of unknown etiology, this term is increasingly replaced by
“Immune-mediated AA”
5
Aktifasi sel T pada anemia aplastik masih belum diketahui penyebab
pastinya. Presentasi berlebih dari HLA-DR2 pada pasien memiliki peran dalam
rekognisi antigen kepada sel T. adanya polimorfisme pada gen sitokin, TNF alfa,
dan gen interleukin 6 juga berpengaruh terhadap peningkatan respon imun
seseorang. Ekspresi T-bet (regulator transkripsi yang penting dalam polarisasi
Th1) serta mutasi dari gen perforin juga ditemukan pada kebanyakan pasien
anemia aplastik.
6
disertai panas badan namun pasien merasa kedinginan, dan faringitis atau infeksi
lain yang ditimbulkan dari neutropenia.11 Selain itu pasien sering melaporkan
terdapat memar (eccymoses), bintik merah (petechiae) yang biasanya muncul
pada daerah superficial tertentu, pendarahan pada gusi dengan bengkak pada gigi,
dan pendarahan pada hidung (epitaxis). Menstruasi berat atau menorrhagia sering
terjadi pada perempuan usia subur. Pendarahan organ dalam jarang dijumpai,
tetapi pendarahan dapat bersifat fatal.12-13
Pemeriksaan fisik secara umum tidak ada penampakan kecuali tanda infeksi
atau pendarahan. Jejas purpuric pada mulut (purpura basah) menandakan jumlah
platelet kurang dari 10.000/l (10 109 /liter) yang menandakan risiko yang
lebih besar untuk pendarahan otak. Pendarahan retina mungkin dapat dilihat pada
anemia berat atau trombositopenia. Limfadenopati atau splenomegali tidak selalu
ditemukan pada anemia aplastik, biasanya ditemukan pada infeksi yang baru
terjadi atau diagnosis alternatif seperti leukemia atau limpoma.12
7
Penemuan Radiologi
2.6 Diagnosis
8
anemia aplasti. Pada pemeriksaan trephine biopsy akan ditemukan
hiposelularitas hematopoietik (<30% untuk anak dan dewasa muda).
Pemeriksaan aspirat sumsum tulangg akan menunjukkan pola
diseritropoietik dengan jumlah megakariosit yang rendah atau tidak
ditemukan sama sekali. selain itu juga ditemukan displasia granulosit.
Temuan ini akan membantu dalam membedakan anemia aplasti dengan
mielodiplasia (MDS). 2 hiposelularitas juga diikuti dengan digantikannya
kompoen sumsum tulang dengan lemak dan stroma sumsum tulang. Sel
hematopoietik yang terlihat memiliki morfologi yang normal dan tidaak
ditemukan tanda-tanda malignansi.16
Dalam penegakan anemia aplati, uga perlu ditentukan tingkat
keparahannya, tabel 1 menunjukkan tingkat keparahan anemia aplasti
berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium.14
Anemia aplasti tidak berat Penurunan selularitas sumsum tulang dan sitopenia
perifer, namun tidak memenuhi kriteria anemia
aplasti berat
Anemia aplasti berat Selularitas sumsum tulang <25%
Ditambah minimal 2 kriteria berikut :
- Neutrofil <0,5 x 109/L
- Trombosit <20 x 109/L
- Retikulosit <20 x 109/L
Anemia aplasti sangat berat Memenuuhi kriteria anemia aplasti berat ditambah
dengan neutrofil <0,2 x 109/L
c. Pemeriksaan lain
Berdasaran panduan diagnsosi dan tatalaksana anemia aplasti, terdapat
beberapa pemeriksaan lain yang bisa dilakukan,baik untuk mecari
penyebab anemia aplasti maupun untuk mentinggkirkan diagnosis
bandingnya. Beberapa pemeriksaan tersebut adalah16:
1. Kadar fetal hemoglobin (HbF)
2. Flow cytometry untuk gliserofosfoditilinositol
3. Hemosiderin pada urin jika ditemukan defisiensi
gliserofosfoditilinositol
4. Vitamin B12 dan asam folat
5. Fungsi hati
9
6. Uji terhadap kemungkinan virus : hepatitis A, B, dan C, EBV, dan HIV
7. Antibodi anti-nuclear dan anti-dsDNA
8. USG andomen dan ekokardiogram
9. Analisis mutasi genetik untuk diskeratosis kongenital jika tidak respon
dengan terapi imunosupresif.
2.7 Tatalaksana
terdiri dari tata laksana suportif yang ditujukan untuk mengatasi keadaan
graft- versus host disease (GVHD). Transfusi ini dapat berlangsung berulang-
ulang sehingga perlu diperhatikan efek samping dan bahaya transfusi seperti
jumlah trombosit di atas 20.000/uL.21,24 Hal ini dapat dilakukan dengan transfusi
10
menyebabkan keadaan isoimunisasi apabila dilakukan lebih dari 10 kali, dan
dengan pemberian trombosit dengan HLA yang kompatibel dengan pasien. Bila
dan perawatan gigi yang baik sangat penting, karena infeksi yang terjadi biasanya
berat dan sering menjadi penyebab kematian. 21,23 Pada pasien anemia aplastik
yang demam perlu dilakukan pemeriksaan kultur darah, sputum, urin, feses, dan
kalau perlu cairan serebrospinalis. Bila dicurigai terdapat sepsis dapat diberikan
antibiotik spektrum luas dengan dosis tinggi secara intravena dan kalau penyebab
demam dipastikan bakteni terapi dilanjutkan sampai 10-14 hari atau sampai hasil
kultur negatif.23 Bila demam menetap hingga 48 jam setelah diberikan antibiotik
Pada tata laksana anemia aplastik, yang tidak kalah penting adalah
yang mungkin menjadi penyebab. Bila zat-zat kimia atau fisika yang bersifat
toksik itu ditemukan dan masih terdapat dalam tubuh, harus diusahakan untuk
Obat-obatan
anemia plastik derajat ringan, pasien yang tidak mendapatkan donor yang sesuai
11
transplantasi sumsum tulang.21 Tujuan pemberian obat-obatan untuk mengurangi
Androgen
Efek androgen dalam tata laksana anemia aplastik untuk meningkatkan produksi
Dosis nandrolon dekanoat diberikan 5 mg/kg berat badan / minggu. 22,23 Efek
samping yang dapat timbul dari pemberian preparat androgen ini seperti
fungsi hati secara berkala, pemeriksaan ultrasonografi hati setiap tahun, dan
Imunosupresan
Metilprednisolon
12
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis rendah 2-
4 mg/kg berat badan /hari, dapat digunakan untuk mengurangi perdarahan dan
dilakukan tappering dengan dosis 1mg/kg berat badan /hari selama 9-14 hari, lalu
antilimfosit globulin tidak tersedia atau terlalu mahal. Efek samping antara lain
limfosit dalam sirkulasi sehingga berkurang 10%, dan ketika limfosit total
kembali normal berarti limfosit T aktif jumlahnya berkurang. Sediaan ALG invitro
berat badan /hari selama 12 jam dilanjutkan dengan infus yang dikombinasikan
dengan metilprednisolon 1mg/kg berat badan /hari intravena selama 4 hari. Dapat
juga diberikan dosis 20mg/kg berat badan /hari selama 4-6 jam dengan infus
40mg/m2/hari selama 5 hari dimulai pada hari terakhir pemberian ALG. ALG
13
panas dingin, kemerahan, trombositopenia dan serum sickness. Keberhasilan
mengubah fungsi sel T atau menghilangkan sel reaktif antigen. Dosis yang
laksana anemia aplastik dengan ATG dan transplantasi sumsum tulang (TST)
dilaporkan bahwa pada 155 pasien anemia aplastik dewasa yang diterapi dengan
TST lebih baik dibandingkan dengan penggunaan ATG tunggal sesuai protokol
terbaru.28 The European blood and marrow transplant severe anemia aplastic
working party melakukan penelitian pada pasien anemia aplastik tidak berat, yang
Siklosporin A (Cs A)
penolakan jaringan transplan, GVHD, dan lain-lain. Dosis awal dapat diberikan 8
mg/kg berat 30 badan /hari peroral selama 14 hari dilanjutkan dengan dosis 15
mg/kg berat badan /hari pada anak-anak dan 12 mg/kg/hari pada dewasa. Dosis
14
Bila ditemukan efek toksik, terapi dihentikan 1-4 hari untuk kemudian dilanjutkan
dengan dosis yang lebih rendah. Respons terapi dengan siklosporin tunggal hanya
Siklofosfamid (CPA)
Siklofosfamid (CPA) adalah zat kimia yang berkaitan dengan nitrogen mustard.
Sebagai agen alkali CPA terlibat dalam cross-link DNA yang mungkin
menyatakan dosis terapi yang diberikan adalah 50mg/kg berat badan /hari selama
4 hari berturut-turut. Tetapi perlu diingat dosis tinggi yang diberikan akan
meningkatkan efek tosik yang serius dan efek terapi yang ditimbulkan tidak lebih
CPA 45mg/kg berat badan /hari selama 4 hari, memberikan hasil lebih efektif
CPA dengan dosis 50 mg/kg berat badan /hari selama 4 hari didapatkan hasil
terapi CPA dosis tinggi tanpa TST membuat remisi bebas pada pasien anemia
aplastik berat. Penelitian ini dilakukan pada pasien yang tidak dapat dilakukan
15
Faktor-faktor pertumbuhan hematopoetik
(growth factors)
perifer maupun di sumsum tulang. Keadaan ini bersifat sementara atau menetap
yang ditandai dengan respon klinis terhadap infeksi. Pasien dengan jumlah
granulosit awal lebih banyak memberikan respon terapi yang lebih baik, diduga
sensitivitas.18,27
migrasi dan sitotoksisitas dan neutrofil. Dosis yang dapat diberikan 5ug/kg berat
badan /hari subkutan. Efek samping yang dapat terjadi, risiko untuk berkembang
menjadi sindrom mielodisplastik atau leukemia mieloid akut. Human IL-3 dengan
pertumbuhan ini merupakan terapi tambahan pada anemia aplastik yang dengan
infeksi, dan berguna pada pasien anemia aplastik berat karena stem cell pada
16
GMCSF, IL-3, IL-6, dan G-CSF didapatkan G-CSF mempunyai efek yang paling
Penelitian yang dilakukan Stephen Rosenfeld dkk, dengan metode kohort pada
40 mg/kg berat badan /hari dengan ATG selama 4 hari dan 10-12 mg/kg berat
berat mempunyai waktu penyembuhan yang lebih baik dengan hasil jangka
tahun yang memuaskan pada 55% kasus.32 Kombinasi ATG dan CsA merupakan
terapi imunosupresan
17
Transplantasi sumsum tulang pada kasus anemia aplastik berat pertama
kali dilakukan pada tahun 1970. Sayangnya hanya 25-30% pasien yang
Pasien berusia muda tanpa transfusi berulang mempunyai respon yang lebih baik
lagi sekitar 85-95% karena limfosit pasien tersebut belum tersensitisasi oleh
20,22
paparan antigen sebelumnya. Dari sebuah penelitian yang dilakukan pada
1305 pasien didapatkan angka kesintasan 5 tahun meningkat dan 48% ±7% pada
tetapi risiko terjadinya penolakan jaringan transplan tidak. 37 Penelitian lain yang
mortalitas yang utama akibat GVHD kronik.38 Penelitian yang dilakukan terhadap
6.691 pasien yang dilakukan TST alogenik temyata kemungkinan dapat sembuh
lebih besar, meskipun beberapa tahun setelah TST mortalitasnya lebih tinggi
Sulitnya mencari donor yang sesuai dengan pasien, dapat diatasi dengan
TST yang berasal dan cord blood; dan penelitian yang dilakukan terhadap 78
pasien yang mendapat TST cord blood dan donor yang related, dan 65 pasien
adalah altematif yang mungkin sebagai sumber sel induk untuk TST pada anak-
anak dan dewasa dengan kelainan hematologis mayor, terutama jika donor dan
recipient related.30 Komplikasi TST yang paling sering terjadi adalah GVHD,
18
graft failure dan infeksi. Penelitian retrospektif yang dilakukan Min CK, dan
mampu bertahan hidup akan berisiko terkena keganasan. Angka kejadian sindrom
akut lebih tinggi dibandingkan dengan TST. (Tabel 1) Dari laporan penelitian-
penelitian yang telah dilakukan, dampak jangka panjang terapi anemia aplastik
mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadi tumor padat, sindrom mielodisplastik
2.8 Komplikasi17
2.9 Prognosis17
19
4. Pencegahan infeksi sekunder, terutama di Indonesia karena kejadian
infeksi masih tinggi. Gambaran sumsum tulang merupakan parameter
yang terbaik untuk menentukan prognosis.
20
BAB III
KESIMPULAN
21
penyebab anemia aplastik harus dihentikan. Pemberian antibiotik bila terjadi
infeksi juga harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Terapi
standar untuk anemia aplastik meliputi terapi imunosupresif atau transplantasi
sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi
sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host
Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya
ditawarkan terapi imunosupresif.
Prognosis dipengaruhi banyak hal, antara lain derajat anemia aplastik, usia
pasien, ada tidaknya donor dengan HLA yang cocok untuk transplantasi sumsum
tulang allogenik serta apakah pasien telah mendapatkan terapi imunosupresif
sebelum tranplantasi sumsum tulang
22
DAFTAR PUSTAKA
4. William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In:
Lee GR, Foerster J, et al (eds). Wintrobe’s Clinical Hematology 9th ed.
Philadelpia-London:Lee& Febiger, 1993;911-43.
5. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit
FKUI, 2001;501-8.
6. Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology :
Basic Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000;153-68.
7. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds).
William Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.
8. Niazzi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia.
Available in URL: HYPERLINK http://www.jpmi.org/org_detail.asp
9. Isyanto & Abdulsalam M, Masalah pada Tata Laksana Anemia Aplastik
Didapat. Divisi Hematologi-onkologi. Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI RSCM, Jakarta. Sari Pediatri, Vol. 7, No. 1, Juni 2005
10.Hartung HD, Olson TS, Bessler M. Acquired Aplastic Anemia in Children.
HHS Public Access. 2013 Dec
11.Shadduck RK. Aplastic Anemia. In: Beuttler E, Coller BS, Lichtman M,
Kipps TJ. Williams Hematology. 6th ed. USA: McGraw-Hill;2001. p. 504-
523.
23
12.Bakta IM. Anemia Karena Kegagalan Sumsum Tulang. In: Hematologi
Klinik Ringkas. Cetakan I. Jakarta: EGC;2006. p. 97-112.
13. Marsh JCW, Ball SE, Cavenagh J, Darbyshire P, Dokal I, GordonSmith EC,
et al. 2009. Guidelines for Diagnosis and Management of aplastic anemia.
British Journal of Haematology; 147; 43-70.
14. Miano M and Dufour C. 2015. The diagnosis and treatment of aplastic
anemia: a review. International journal of Haematology; 101; 527-35.
15. Buku ajar hematologi idai
18. Young NS, Barrett AJ. The treatment of severe acquired aplastic anemia.
Blood 1995;85:3367-77.
19. Young NS, Maciejewski J. The pathofisiology of acquired aplastic anemia.
N engl J Med 1997;336:1365-72.
20. Alter BP, Young NS. The bone marrow failure syndromes. Dalam: Nathan
DG, Oski FA, penyunting. Hematology of infancy and childhood. Edisi ke-4.
Philadelphia: Saunders, 1993. h. 216-37.
21. Lanzkowsky P. Bone marrow failure. Manual of pediatric hematology and
oncology. Edisi ke-2. New york: Churchill Livingstone, 1995. h. 89-96.
22. Shadduck RK. Aplastic anemia. Dalam : Beutler E, Lietcman MA, Coller
BS, dkk, penyunting. Wiliams hematology. Edisi ke-5. New York:McGraw Hill,
1995. h. 238-51.
23. Young NS. Aplastic anemia. Dalam: Brain MC, Carbone PP. Kelton JG,
Schiler JH, penyunting. Current therapy in hematology-oncology. Edisi ke-5. St.
Lois: Mosby, 1995. h. 129-34.
24. Munthe BG. Diagnostik dan penanggulangan anemia aplastik. Dalam:
Pendidikan tambahan berkala Ilmu Kesehatan Anak. FKUI-RSCM Jakarta 1991.
h. 33-40.
24
25. Gatot D. Penatalaksanaan transfusi pada anak. Dalam: Update emergencies
pediatrics. Jakarta : Balai Pustaka FKUI 2002. h. 28-47.
26. Speck B, Nissen C, Tichelli A, Gratwohl A. aplastic anemia: treatment.
Disampaikan pada kongres Internasional Society of Haematology, Singapore, 25-
29 Agustus, 1996.
27. Bakhshi S. Aplastic anemia. E-medicine journal; 2002. Didapat dari:
www.emedicine.com. Di akses tanggal 12 Pebruari 2003.
28. Paquete RL, Tebyani N, Frane M, dkk. Long-term outcome of aplastic
anemia in adults treated with antithymocyte globulin: Comparison with bone
marrow transplantation. Blood 1995;85:283-90.
29. Marsh J, Schrezenmeier H, Marin P. Prospective randomized study
comparing cyclosponine alone versus the combination of antithymocite globulin
and cyclosporine for treatment of patients with nonsevere aplastic anemia: A
report from the European blood and marrow transplantation (EBMT) severe
aplastic anemia working party. Blood 1999;93:2191-5.
30 Brodsky RA, Sensenbrenner LL, smith BD, Dorr D, Seaman DJ, Lee SM.
Durable treatment-free remission after high-dose cyclophosphamid therapy for
previously untreated
severe aplastic anemia. Ann intern Med. 2001;87:477-83.
31. Broadsky RA, Sensenbrenner LL, Jones RI. Complete remission in severe
aplastic anemia high-dose cyclophospamid without bone marrow transplantation.
Blood 1996;87:491-4.
32. Scopes J, Daly S, Atkinson R. Aplastic anemia: evidence for dysfunctional
bone marrow progenitor cells and the corrective effect of Granulocyte colony
stimulating factor in vitro. Blood 1996;87:3179-85.
34. Bacigalupo N, kaltwasser JP, Corda G, Arcese W, Carotenuto W, Gallamini
W. Antilymphocyte globulin, cyclosporin and granulocyte colony stimulating
factors in patients with acquired aplastic anemia. Blood 1995;324:1298-303
35. Rosenfeld S, Follmann D, Nunez O. Antythymocyte globulin and
cyclosporine for severe aplastic anemia association between hematologic response
and long-term outcome. JAMA 2003;289:1130-5.
25
36. Rosenfeld SJ, Kimball J, Vining D. Intensive immunosupression with
antithymocyte globulin and Cyclosporin as treatment for severe acquired aplastic
anemia. Blood 1995;85:3058-65.
37. Passweg JR, Socie G, Hinterberger W. Bone marrow transplantation for
severe aplastic anemia: has outcome improved?. Blood 1997;90:858-64.
38. Deeg HJ, Leisenring W, Rainer S, Nimms D, Flower M, Sandrers J. Long-
term outcome after marrow transplantation for severe aplastic anemia. Blood
1998;91:3637-45.
39. Socie G, Stone JV, Wingard JR. long-term survival and late deaths after
allogeneic bone marrow transplantation. N engl J Med 1991;341:14-21.
40. Gluckmann E, Rocha V, Boyer-Chammard A. Outcome of cord-blood
transplantation from related and unrelated donors. N engl J Med 1997; 337:373-
81.
41. Min CK, Kim DW, Lee JW, Han CW, Min WS, Kim CC. Hematopoetic stem
cell transplantation og high risk adult patient with severe anemia aplastic;
reduction of graft failure by enhanching stem cell dose. Haematologica
2001;86:303-10.
42. Socie G, Henry-Amar M, Bacigalupo A, Hows J, Tichelli A, Ljungman P.
malignant tumors occurring after treatment of aplastic anemia. N engl J Med
1993; 329:1152-7.
26