Anda di halaman 1dari 4

PEDANG itu seakan tak bermata.

Di Yogyakarta, pedang itu menyabet di Gereja


Santa Lidwina, Sleman, Yogyakarta. Polisi menembak kaki pelaku, yang merasa
sedang menjalankan apa yang dipercayainya. Di dunia maya, seseorang
mengayunkan kata-kata serupa pedang demi menghina Buya Syafii Maarif yang
mengunjungi gereja itu pasca aksi pedang. Saat polisi menangkap orang itu, kita
melihat sosok berbeda. Sosoknya santun, tenang, dan demikian menjaga setiap
tutur.

Rasanya tak percaya kalau hoaks yang isinya hinaan itu bermula dari sosok yang
demikian tenang ini. Polisi memastikan lelaki itu sebagai pelaku penyebar hoaks
yang kemudian viral dan tersebar ke mana-mana. Postingan itu telah dihapusnya
saat banyak protes bermunculan. Polisi punya teknologi yang memastikan bahwa
lelaki itu pelakunya, Ia tak bisa mengelak. Ia digelandang.

Beberapa netizen melampirkan bukti-bukti postingan lelaki itu. Dalam salah satu
foto yang diunggahnya di Facebook, dia dengan bangga swafoto memegang
sepucuk senjata api dengan latar belakang kotak besi tempat amunisi. Tertulis
pesan dirinya siap menjemput imam besar yang akan datang. Foto ini semacam
ancaman bagi siapapun yang menghalanginya.

Beberapa foto menunjukkan dirinya bersama petinggi partai. Malah, ada foto yang
menampikan dirinya sebagai pembicara di acara partai itu. Pada banyak foto,
terdapat kesan dirinya yang siap mengorbankan apa pun demi membela apa yang
diyakininya. Pada banyak postingan, dia menampilkan keberanian menanggung
apa pun risiko yang dihadapi dalam perjuangan.

Sering saya merasakan adanya kontradiksi. Bukankah postingan bohong dan


hinaan yang dibuatnya justru bertentangan dengan apa yang diyakininya? Apakah
keyakinannya membenarkan seseorang untuk berbohong dan “berpedang” di media
sosial hanya untuk dilihat berani melawan otoritas berkuasa?

Yang pasti, lelaki itu tak sendirian. Ada banyak orang sepertinya di dunia nyata
yang merasa sedang mengemban misi suci.

***

DI satu sudut kota Bogor, saya bertemu seorang anak muda. Sebut saja namanya
Asep. Umurnya di bawah 30 tahun. Ia sangat santun ketika menjabat tangan,
kemudian berbincang. Ia lebih sering menundukkan pandangan. Kesan saya, dia
seorang yang baik hati dan senantiasa menjaga dirinya dari segala yang dianggap
tercela.
Seorang teman di Jakarta meminta saya untuk bertemu Asep untuk satu keperluan.
Saya pun mengajukan pertemanan di media sosial. Saya pikir untuk seorang yang
santun sepertinya, media sosial pasti dipenuhi kalimat positif. Ternyata saya keliru.

Di media sosial, ia sibuk menebar berbagai link yang isinya adalah keburukan
pemerintah saat ini. Ia tak henti-hentinya berkampanye bahwa pemerintah ini
adalah antek Yahudi, antek Cina, antek Amerika, hingga boneka dari seorang ketua
partai.

Di dunia maya, ia bukan sahabat dialog yang baik. Ia seolah melihat media sosial
sebagai ajang saling menebas pedang. Setiap kalimat yang postingannya berisi
kritikan dan hujatan. Tanpa banyak argumen, ia menjawab setiap pertanyaan
dengan berbagai tautan yang isinya berita negatif. Bahkan ketika disodorkan tautan
berita yang isinya bantahan, ia akan mengabaikannya.

Saya melihat dua sisi lelaki itu. Di dunia nyata, ia adalah seseorang yang amat
menjaga lidahnya ketika berbicara. Ia menghindari kalimat-kalimat yang bisa
menyakiti orang lain. Ia melaksanakan semua ajaran yang menekankan
silaturahmi, serta perlunya menjaga prasangka baik ketika bertemu sesama.

Ia menghormati semua orang, yang terpancar dari kalimat-kalimatnya yang selalu


merendah. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Namun di dunia maya, ia
menjadi sosok yang lain. Ia laksana seorang ksatria berpedang yang setiap saat
menebas pendapat yang berbeda dengannya.

Ketika kami bertemu lagi, ia mulai terbuka. Ia menyebut dirinya menjalankan


perintah dari pimpinannya. Baginya, setiap kalimat dari gurunya adalah kebenaran
mutlak. Ia hanyalah seorang pekerja lapangan yang menjalankan instruksi partai. Ia
adalah bagian dari cyber army yang bertugas untuk menginvasi dunia maya dengan
berbagai isu negatif tentang satu calon.

“Apakah kamu tak merasa bersalah kalau isu itu ternyata tidak benar?” tanya saya.

Ia menggeleng. Baginya, ada satu tujuan besar yang hendak dicapai. Ia berangan-
angan tentang Indonesia yang lebih baik, yang hanya bisa diwujudkan dengan
memaksimalkan berbagai strategi dan menaikkan orang yang berpikir sama
dengannya.

“Yang kita hadapi ini adalah sosok yang didukung cukong. Makanya, kita harus
rebut semua strategi demi mempengaruhi massa,” katanya

“Tapi kan tujuan yang baik harus didukung oleh cara-cara yang baik,” kataku.
“Itu rumus lama. Mereka banyak main kayu. Kita harus berani main logam. Kita
harus memastikan tujuan kita segera tercapai,” katanya tegas.

Diskusi kami berakhir. Tak ada guna berdebat dengan seseorang yang merasa telah
menemukan kebenaran. Saya memilih untuk lebih banyak diam. Benar kata
seorang sufi, jangan sesekali mengkritik seseorang yang merasa menemukan
kebenaran. Kritik akan semakin membuat dirinya membenci kita. Kritiklah
seseorang yang berakal. Setiap kritik akan membuat kita semakin dicintainya.

***

BEBERAPA malam selanjutnya, saya bertemu dua orang kawan alumni kampus
luar negeri. Mereka bekerja sebagai konsultan media sosial. Kami adalah teman
lama yang tiba-tiba saja bertemu saat singgah di satu kafe di dekat Sarinah. Mereka
dikontrak seorang politisi. Mereka menjelaskan pada saya tentang peta-peta politik.
Mereka menjelaskan tentang informasi yang disebarkan secara berjejaring yang
lalu disebarkan secara viral.

Tugas mereka membuat saya terkesima. Mereka membuat isu-isu hitam demi
menurunkan elektabilitas seseorang. Mereka mengendalikan dana besar untuk
membayar media. Iklan disebar di mana-mana. Mereka bercerita tentang cara kerja
ala intel yang mereproduksi isu. Mereka memanfaatkan para buzzer atau penggema
isu yang akan meneruskannya hingga ke lorong-lorong dunia maya.

Cara kerja mereka adalah ‘menyerang sebelum diserang.’ Di saat mereka tahu
bahwa tim lawan memiliki amunisi serang, maka mereka menyerang terlebih
dahulu. Mereka lalu menebar isu ke beberapa grup besar facebook atau twitter,
kemudian disebarkan ke mana-mana.

Diskusi dengan mereka membuat saya sadar bahwa di dunia maya, etika adalah
sesuatu yang tak selalu menjadi landasan gerak. Jika semua relawan terlanjur
melihat arena politik sebagai arena pertempuran, maka semua gerak dan energi
diarahkan untuk menang. Mungkin mereka berpikir bahwa hanya dengan
kemenangan, semua cita-cita bisa digapai dengan mudah.

Lewat kampanye hitam itu, mereka memperbanyak pundi-pundi keuangan. Mereka


menangguk dana besar dari capres, serta dari para donatur yang tersebar di mana-
mana. Mereka memanen banyak rupiah, hanya dengan cara menganalisis peta
politik, mereproduksi isu, menyebar kabar melalui media rekanan, dan terakhir,
menyebarkannya melalui para pasukan dunia maya.

Politik memang telah lama kehilangan esensinya. Bukan lagi arena untuk
merepresentasikan kepentingan publik, lalu mencari cara-cara paling tepat untuk
membumikannya. Di mata kawan-kawan ini, politik adalah arena untuk menyebar
kebencian, mengalahkan sosok lain dengan cara menikam dari belakang, lalu terus-
menerus mempropagandakan gagasan tentang dunia yang lebih berkeadilan dan
sistem yang menyejahterakan.

Dalam iklim politik yang penuh bujuk rayu itu, mereka membuai para laskar dunia
maya untuk bergerak dengan ide-ide utopis yang diyakini akan terwujud kalau
kandidatnya sukses menjadi pemimpin. Politik menjadi alat untuk kuasa.

***

TIBA-TIBA saja, saya teringat dengan teman di Bogor yang menjadi pasukan
dunia maya itu. Saya teringat pada ketulusannya dalam bersahabat, serta sikapnya
yang menjaga tutur kata. Saya tidak menyangka dirinya yang tulus itu menjadi
pasukan dari isu-isu dari orang lain yang kemudian menangguk untung.

Saya mengingat kesantunan dan keikhlasan Asep di Bogor. Saya agak sedih kala
membayangkan dirinya yang diserahi pedang demi menjadi martir di dunia maya,
sementara orang-orang yang dibantunya adalah mereka yang sedang memperkaya
diri, mereka yang melihat politik sebagai ladang untuk menanam gagasan, yang
kemudian dipanen sebagai materi.

Teman itu tak menyadari kalau dirinya berperang untuk kepentingan segelintir
orang. Dirinya mungkin sedang berharap surga di atas sana, sementara setiap
sabetan pedangnya mendatangkan bahagia sesaat di surga dunia bagi segelintir
orang. Dia bekerja dan menyerahkan keikhlasannya untuk hasrat kuasa sejumlah
orang yang tak sabar untuk duduk di kursi penguasa lalu mengendalikan semuanya.

Semuanya terasa getir.

Anda mungkin juga menyukai