Anda di halaman 1dari 4

DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 49 tahun di bangsal penyakit dalam
RSUP DR. M. Djamil Padang dengan diagnosis akhir :

 Penurunan kesadaran ec ensefalopati hepatikum ec sirosis bilier ec kolestasis


ekstrahepatal ec koledokolithias
 Syok sepsis ec peritonitis bakterial spontan
 Hematemesis melena ec susp ruptur VE ec sirosis bilier
 DM type 2 tidak terkontrol underweight
 Acute on CKD ec nefropati diabetikum
 Anemia ringan normositik normokrom ec penyakit kronis
 Malnutrisi
 RBBB complete

Diagnosis sirosis bilier ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya perut


yang tampak makin membuncit, mata kuning dan buang air kecil seperti teh pekat,
dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya sklera ikterik, palmar eritema, spider
naevi, asites, dari pemeriksaan laboratorium ditemukan perbandingan albumin dan
globulin berbanding terbalik yaitu 2/2,4 g/dl. Diagnosis kolestasis ekstrahepatal
ditegakan dari anamnesis yaitu adanya riwayat mata kuning dan BAK seperti teh
pekat, gatal-gatal, BAB dempul dan berminyak, dan hasil pemeriksaan
laboratorium ditemukan penigkatan kadar bilirubin direk jauh melebihi kadar
bilirubin indirek. Dari hasil pemeriksaan USG yang telah dilakukan pasien
didapatkan kesan sugestif obstruksi bilier ekstra hepatal ec susp. sludge serta
sirosis bilier.

Pada 50% penderita sirosis bilier ditemukan gejala awal berupa gatal-
gatal dan kelelahan yang timbul beberapa bulan atau beberapa tahun sebelum
timbulnya gejala. Perkembangan penyakit ini bervariasi, pada awalnya tidak
mempengaruhi kualitas hidup penderita dan memiliki prognosis baik. Pada
penderita dengan kadar bilirubin yang tinggi, prognosisnya buruk. Pasien ini
sudah berada pada tahap akhir penyakit sirosis bilier sekunder, dimana adanya
tanda penyakit kronis semakin diperparah oleh perdarahan varises esofagus.
Keadaan ini juga diperberat oleh malnutrisi makronutrien dan mikronutrien.
Untuk menilai prognosis pada penyakit hati kronis pada pasien ini dapat
digunakan Child Pugh Score, yaitu :

Parameter Skor
Asites Moderate 3
Birubin 20,19 3
Albumin 2 3
PT Memanjang 1,1 detik 1
INR <1,7 1
Encephalopathy Grade 3-4 3
Total 14

Kesan : Grade C (decompensated disease) , menunjukan harapan hidup satu


tahun adalah 45% dan 2 tahun adalah 35%
Pada pasien ini telah terjadi suatu komplikasi sirosis yaitu peritonitis
bakterial spontan (PBS). Diagnosis ditegakkan berdasarkan keluhan utama yaitu
nyeri perut menyeluruh yang disertai demam dengan suhu > 37,8 C. Pada
pemeriksaan fisik, didapatkan adanya distensi abdomen, dan adanya nyeri lepas.
Pada pemeriksaan laboratorium, didaptkan leukositosis dan jumlah sel cairan
asites 12.000, dimana 70% nya adalah PMN. Predisposisi terjadinya PBS adalah
sirosis, 70% PBS terjadi pada asites dengan sirosis child pugh C. Pada pasien ini
ditemukan adanya bakteri Klebsiell sp dari hasil kultur cairan asites. Klebsiella
merupakan bakteri terbanyak ketiga yang menjadi penyebab PBS. Waktu yang
diperkirakan semenjak munculnya demam dengan terjadinya komplikasi PBS
berupa sepsis adalah dalam waktu yang relatif singkat. Pada pasien ini,
komplikasi yang ditemukan adalah terjadinya syok sepsis. Angka kematian tinggi
jika sudah terjadi syok. Lebih dari 92% dari semua kasus PBS adalah
monobakterial, dengan basil gram negatik aerob bertanggungjawab terhadap
kejadian PBS. Pada pasien ini diberi antibiotik cefotaxime 3x 1 gr (iv). Dosis
disesuaikan dengan gagal ginjal yang juga dialami oleh pasien ini. Dalam
beberapa penelitian, antibiotik ini menunjukkan tingkat keberhasilan yang sama
dalam penatalaksanaan PBS yaitu 77- 93%.4

Pasien ini mengalami ensefalopati hepatikum yang merupakan sindrom


neuropsikiatri sebagai komplikasi sirosis bilier sekunder yang dideritanya. EH ini
ditegakkan dari adanya penurunan kesadaran yang dialami oleh penderita,
gangguan siklus tidur, dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya nafas fetor
hepatikum, dan flapping tremor. Pemeriksaan NCT tidak dapat dilakukan karena
kondisi pasien dengan nyeri VAS 10. Pada pasien ini, EH dicetuskan oleh
beberapa faktor pencetus nitrogenous yaitu perdarahan gastrointestinal,
konstipasi, uremia, hipokalemia, hiponatremia, PBS, sepsis dan gagal ginjal, serta
faktor pencetus non-nitrogenous yaitu anemia. Keadaan terjadinya EH pada
pasien sirosis akibat faktor pencetus tersebut terjadi pada 75% pasien EH. Pada
pasien ini, pada awalnya terjadi EH grade I yang ditandai dengan apatis, dan
gangguan siklus tidur, kemudian dalam waktu beberapa jam memburuk menjadi
EH grade II yang ditandai dengan somnolen dan letargi, kemudian pada tahap
akhir , pasie jatuh pada EH grade IV yang ditandai dengan koma.

Penyakit kolestasis ekstrahepatal yang diderita oleh pasien ini berlangsung


cepat menjadi sirosis bilier yaitu hanya dalam hitungan beberapa bulan. Ini
diakibatka oleh adanya statis empedu di saluran empedu ekstrahepatik yang dapat
mencetuskan kerusakan hepatoseluler dalam waktu singkat, dan kemudian
menjadi sirosis biliaris sekunder.

Dalam perjalanan penyakitnya, kondisi pasien ini mengalami perburukan


dimana akhirnya pasien ini mengalami ensefalopati hepatikum grade IV yang
diperberat oleh syok sepsis yang terjadi akibat PBS. Pada keadaaan renjatan ini,
pada pasien yang juga menderita acute on CKD yang sebelumnya direncanakan
untuk HD, akhirnya HD tidak bisa dilakukan. Walaupun sudah dilakukan
resusitasi cairan dengan 30 cc/kg, yaitu 1200 cc selama ± 2 jam, dengan
mengawasi tanda bendungan paru, tidak ada respon perbaikan tekanan darah dan
urine outpun. Kemudian, dilakukan pemberian drip norepinefrin dimulai dengan
dosis 0,2 µg/kg BB pada pasien ini. Pemberian norepinefrin ini awalnya
menunjukkan respon yang baik, tetapi kemudian pada hari rawatan ke tiga,
kondisi pasien mengalami perburukan tiba hingga kemudian dinyatakan apnoe.

Diagnosis DM type 2 pada pasien ini ditegakan dari adanya trias klasik
DM, dan adanya riwayat peningkatan glukosa darah puasa dan 2 jam post pradial
3 bulan sebelumnya. Pada pasien ini bisa difikirkan diagnosis banding DM tipe
sirosis yang merupakan komplikasi dari penyakit sirosisnya.

Doagnosis Acute om CKD ditegakkan dari adanya riwayat diabates pada


pasin ini, serta adanya peningkatan creatinin serum yang sangat jauh dibanding
pada saat perawatan 3 bulan yang lalu. Terhadap pasien juga sudah dilakukan
pemeriksaan USG Ginjal yang didapatkan kesan CKD. Pada pasien ini tidak
difirkan diagnosis banding hepatorenal syndrome karena keadaan ini merupakan
gangguan fungsional tanpa adanya kerusakan struktural ginjal.

Diagnosis anemia sedang normositik normokrom ec penyakit kronis


ditegakkan dari adanya reticulosit yang normal yaitu 0,6%. Dari pemeriksaan
sediaan hapus darah tepi ditemukan adanya gambaran eritrosit burr sel, ini dpat
ditemukan pada keadaan kerusakan ginjal, dan sepsis berat.

Anda mungkin juga menyukai