OLEH
dr. Septia Nindi Fariani
PEMBIMBING
dr. Ita Patriani
1
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
Mengetahui,
Peserta Pendamping
2
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang demam merupakan kelainan terbanyak di antara penyakit saraf pada anak.
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal di
atas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranial. Menurut Consensus Statement on
Febrile Seizures, kejang demam adalah kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara
umur 6 bulan sampai 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya
infeksi intrakranial, gangguan elektrolit, atau metabolik. Anak yang pernah kejang tanpa
demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu (< 1 bulan) tidak termasuk kejang demam.
Derajat tingginya demam yang dianggap cukup untuk diagnosis kejang demam adalah 38oC
atau lebih, walaupun suhu sebenarnya pada waktu kejang sering tidak diketahui. Kejang
demam terjadi pada 2-4% anak berumur antara 6 bulan sampai 5 tahun. Anak laki-laki
umumnya lebih sering menderita kejang demam dibandingkan anak perempuan dengan
perbandingan berkisar antara 1.4 : 1 dan 1.2 : 1 (Purwanti & Maliya, 2008; UKK Neurologi
IDAI, 2006).
Dalam praktek sehari-hari orang tua sering cemas bila anaknya mengalami kejang,
karena setiap kejang kemungkinan dapat menimbulkan epilepsi dan trauma pada otak.
Hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi dikaitkan faktor risiko yang penting adalah
demam. Demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan atas, otitis media,
pneumonia, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih. Faktor risiko lainnya adalah riwayat
keluarga kejang demam, problem pada masa neonatus, serta kadar natrium yang rendah.
Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi atau
lebih, dan kira-kira 9% akan mengalami 3 kali rekurensi atau lebih (Purwanti & Maliya,
2008).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38ºC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah bangkitan kejang
pada bayi dan anak, biasanya terjadi antara umur 6 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan
demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab lain (Deliana, 2002).
Menurut The International League Against Epilepsy (ILAE), kejang demam adalah
kejang yang terkait dengan demam (suhu rektal lebih dari 38°C), dimana tidak ditemukan
kaitan dengan infeksi CNS atau ketidakseimbangan elektrolit yang akut pada anak usia > 1
bulan tanpa ada riwayat kejang di luar demam sebelumnya (ILAE, 1993).
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang yang
didahului oleh demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP atau epilepsi yang
kebetulan terjadi bersama demam (UKK Neurologi IDAI, 2006).
2.2. EPIDEMIOLOGI
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak,
terutama pada anak umur 6 bulan sampai 5 tahun. Hampir 3% dari anak yang berumur
dibawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Insiden kejang demam 2,2-5% pada anak
di bawah usia 5 tahun. Anak laki-laki lebih sering dari pada perempuan dengan perbandingan
1.2–1.6 : 1. Saing B (1999), menemukan 62,2%, kemungkinan kejang demam berulang pada
90 anak yang mengalami kejang demam sebelum usia 12 tahun, dan 45% pada 100 anak yang
mengalami kejang setelah usia 12 tahun. Kejang demam kompleks dan khususnya kejang
demam fokal merupakan prediksi untuk terjadinya epilepsi. Sebagian besar peneliti
melaporkan angka kejadian epilepsi di kemudian hari sekitar 2-5% (Deliana, 2002).
Menurut Hassan & Alatas, dkk (2007), dengan penanggulangan yang tepat dan cepat,
prognosis pada kejang demam baik atau tidak perlu menyebabkan kematian. Risiko yang
dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam tergantung dari faktor :
1. Riwayat kejang tanpa demam dalam keluarga
4
2. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang
demam.
3. Kejang yang berlangung lama atau kejang fokal (Hassan & Alatas, 2007).
2.4. ETIOPATOFISIOLOGI
Penyebab kejang demam belum diketahui secara pasti. Namun, kejang demam muncul
pada demam yang disebabkan oleh infeksi ekstrakranial seperti infeksi saluran pernapasan
atas, radang telinga tengah, infeksi saluran cerna, dan infeksi saluran kemih (Purwanti &
Maliya, 2008).
Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi (hiperpireksia), terkadang demam
yang tidak terlalu tinggi dapat menyebabkan kejang. Hal ini diduga terkait dengan berbagai
faktor risiko yang mungkin ada pada anak, yang menyebabkan rendahnya batas ambang
pencetusan kejang sehingga kejang lebih mudah dibangkitkan. Hal ini mungkin terkait
dengan faktor herediter, dimana diketahui bahwa terdapat faktor genetik yang menyebabkan
5
kejang demam. Pada anak dengan kejang demam, 41,2% memiliki riwayat keluarga dengan
kejang demam. Sedangkan pada anak normal hanya 3% yang memiliki riwayat keluarga
dengan kejang demam. Diketahui bahwa kejang demam diturunkan secara herediter dominan
(Purwanti & Maliya, 2008).
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan
permukaan luar adalah ionic. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya, konsentrasi K+ dalam sel neuron
tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel terdapat keadaan sebaliknya).
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi di dalam dan di luar sel, maka disebut potensial
membrane. Untuk menjaga keseimbangan potensial membrane diperlukan energi dan bantuan
enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel (Hassan & Alatas, 2007).
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1ºC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Kenaikan suhu tubuh tertentu dapat
mempengaruhi keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi
difusi dari ion kalium dan natrium dari membran tadi, dengan akibat lepasnya muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik ini demikan besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun
membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang (Hassan &
Alatas, 2007).
Tiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda. Pada anak yang ambang kejangnya
rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38ºC, sedangkan pada anak dengan ambang kejang
tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40ºC atau lebih. Kejang demam yang berlangsung
singkat tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi kontraksi otot skelet yang akhirnya menyebabkan hipoksemia,
hiperkapnea, asidosis lactate, dan hipotensi. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis
setelah kejang berlangsung lama yang dapat menjadi matang di kemudian hari, sehingga
terjadi serangan epilepsi spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat
menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi (Hassan & Alatas, 2007).
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung
singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau
akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak memberi
reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun
dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf (Purwanti & Maliya, 2008).
6
2.5. KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINIS
Source : Fetveit A. Assessment of Febrile Seizure in Children. Eur J. Pediatri (2008) 167 : 17-27.
Umumnya kejang demam pada anak berlangsung pada permulaan demam akut, berupa
serangan kejang klonik umum atau tonik klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda neurologi
post-iktal. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama
terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi atau kejang
umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam
7
1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara
anak-anak yang mengalami kejang demam (Deliana, 2002; UKK Neurologi IDAI, 2006).
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi
dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan
lain seperti gastroenteritis dehidrasi yang disertai demam. Pemeriksaan laboratorium
yang dapat dikerjakan, misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah.
4. Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti CT-scan atau MRI jarang sekali dikerjakan
dan tidak rutin dilakukan, kecuali atas indikasi seperti kelainan neurologis fokal yang
menetap (hemiparesis), paresis nervus VI, papiledema (UKK Neurologi IDAI, 2006).
8
2.7. PENATALAKSANAAN
9
kejang berhenti, dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kgBB/hari dimulai 12 jam setelah
dosis awal. Bila dengan pemberian fenitoin kejang belum berhenti, maka pasien harus
dirawat di ruang perawatan intensif (UKK Neurologi IDAI, 2006).
Bila diazepam tidak tersedia, dapat diberikan Luminal suntikan intramuskular
dengan dosis awal 30 mg untuk neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan – 1 tahun, dan 75
mg untuk usia lebih dari 1 tahun (Deliana, 2002).
10
♣ Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi
kejang berulang 2 kali dalam satu episode demam, dan kejang demam > 4
kali per tahun (UKK Neurologi IDAI, 2006).
11
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
♣ Identitas Pasien
Nama Lengkap : By. A
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 6,5 bulan
Agama : Islam
Alamat : Labuapi, Lombok Barat.
♣ Identitas Keluarga
HETEROANAMNESIS
♣ Riwayat Pengobatan :
Saat pasien mengalami demam, pasien dibawa ke Puskesmas dan diberikan Paracetamol
syrup, namun suhu tubuhnya tidak juga turun. Karena pasien masih demam dan
mengalami kejang, orang tua pasien segera melarikan anaknya ke RSUD Kota Mataram.
♣ Riwayat Nutrisi :
Pasien mendapatkan ASI eksklusif dari usia 0-3 bulan, sedangkan sejak usia 3-6 bulan
pasien mendapatkan ASI dan susu formula, karena ibu mengaku ASI-nya hanya keluar
sedikit. Sejak usia 6 bulan hingga kini, pasien telah mendapat makanan tambahan (MP-
ASI) berupa bubur beras.
13
Polio (+) 4x Usia 1 bulan Usia 2, 4, 6 bulan
Pasien mulai belajar utk Pasien sudah bisa Pasien belum dapat Pasien sudah bisa
merangkak. meraih benda. menyebut kata-kata. tersenyum spontan.
Pasien sudah bisa duduk Pasien sudah bisa Pasien mampu menoleh Pasien mampu utk
tegak tanpa pegangan. mengganggam dgn ke arah suara. mengamati tangan-
Pasien bisa tidur miring- jari dan ibu jari. nya sendiri.
miring dan tengkurap
sendiri.
PEMERIKSAAN FISIK
♣ Status Generalis
Keadaan umum : sedang
Kesadaran : waspada
Tanda Vital
Frekuensi nadi : 128 x/menit
Frekuensi napas : 48 x/menit
Suhu : 38,3oC
CRT : < 2 detik
♣ Status Gizi
BB : 7500 gram
PB : 63 cm
Z-score (Grafik WHO)
BB/PB = +2 SD ~ -2 SD = gizi baik
BB/U = +2 SD ~ -2 SD = normal
PB/U = +2 SD ~ -2 SD = normal
14
♣ Pemeriksaan Fisik Umum
Kepala/Leher
Bentuk : normocephali (LK 42 cm), UUB terbuka datar
Mata : anemis (-/-), ikterik (-/-), Rp (+/+) isokor, edema palpebra (-/-),
mata cowong (-/-), kornea/konjungtiva kering (-), air mata (+/+)
Telinga : bentuk normal, nyeri tekan tragus (-/-), otorrhea (-/-), perdarahan (-/-)
Hidung : bentuk normal, deviasi septum (-), krepitasi (-), rinorrhea (-).
Mulut : mukosa bibir basah, pucat (-), sianosis sentral (-), mukosa buccal
dbn, lidah kemerahan dengan papil (+), gigi geligi dbn.
Tenggorok : hiperemis (-), tonsil T1-T1
Leher : pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-), peningkatan JVP (-)
Thoraks
Inspeksi : bentuk normal, deformitas (-), iga gambang (-), retraksi (-)
Palpasi : pengembangan dinding dada simetris, vokal fremitus (+/+) normal
Perkusi : Pulmo → sonor Cor → sde
Auskultasi : Cor → S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo → vesikuler (+/+), stridor (-/-), rhonki (-/-), wheezing (+/+)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-), jejas (-), scar/luka bekas operasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan (-), H/L/R tak teraba, turgor kulit normal
Perkusi : timpani, meteorismus (-)
Ekstremitas
Akral hangat + + + +
Edema - - - -
Nyeri tekan - - - -
Pucat - - - -
15
Refleks Fisiologis + +
Refleks Patologis + +
Kekuatan Otot 5 5 5 5
PEMERIKSAAN PENUNJANG
♣ Darah Lengkap
HGB : 10,3 g/dl MCV : 68,8 fl
HCT : 30,6 % MCH : 23,1 pg
RBC : 4,45 x 106/µL MCHC : 33,7 g/dl
WBC : 11,1 x 103/µL GDS : 133 mg%
PLT : 524 x 103/µL
RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Kota Mataram dibawa oleh orang tuanya dengan
keluhan kejang sebanyak 1 kali selama + 10 menit di rumah. Pasien juga mengalami kejang
lagi sebanyak 1 kali saat berada di IGD RSUD Kota Mataram selama + 2 menit. Kejang
terjadi saat pasien tidur dalam posisi terlentang, badan serta tangan dan kaki kaku, mata
melirik ke atas, namun dari mulut tidak keluar busa. Saat kejang, pasien dalam keadaan
demam, namun orang tua pasien tidak mengukur suhu tubuh anaknya saat itu. Demam telah
dirasakan sejak 2 hari SMRS, terus menerus, dan suhu tubuh pasien tidak turun walaupun
telah diberikan Paracetamol. Setelah mengalami kejang, pasien tetap sadar, walaupun tampak
lemah. Pasien juga mengalami batuk pilek sejak 2 hari SMRS serta muntah sebanyak + 8
kali, berwarna putih susu. Pasien juga mencret dengan BAB cair sebanyak + 4 kali, berwarna
kuning, air >> ampas, tanpa disertai lendir maupun darah. BAK (+) lancar berwarna kuning
jernih. Ibu pasien juga mengatakan anaknya tampak sesak, tetapi tidak rewel dan nafsu
makannya baik.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak lemah. Nadi 128
x/menit, regular, kuat angkat cukup, RR 48 x/menit, regular, suhu 38,3oC. Pemeriksaan fisik
paru menunjukkan retraksi (-), suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-).
16
Sedangkan pada pemeriksaan neurologis didapatkan kaku kuduk (-), refleks fisiologis (+),
dan refleks patologis (+).
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 10,3 g/dl; Hct 30,6%; RBC 4,45
x106/uL; WBC 11,1 x103/uL; PLT 524 x103/uL; dan GDS 133 mg%.
DIAGNOSIS
♣ Kejang Demam Kompleks
♣ Bronkiolitis Akut
RENCANA TERAPI
17
BAB IV
PEMBAHASAN
Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38ºC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.
Penggolongan kejang demam menurut kriteria National Collaborative Perinatal Project
adalah kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana
adalah kejang demam yang berlangsung singkat (< 15 menit), berbentuk umum tonik dan
atau klonik, dan kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam, setelah terjadi kejang tidak
didapatkan adanya defisit neurologis, serta kejang demam terjadi pada anak usia 6 bulan
sampai 5 tahun. Pasien pada laporan kasus ini didiagnosis mengalami kejang demam
kompleks karena terdapat 1 kriteria diagnosis yang tidak terpenuhi untuk kejang demam
sederhana, yaitu kejang terjadi sebanyak 2 kali dalam 24 jam.
Kejang demam biasanya muncul pada demam yang disebabkan oleh infeksi
ekstrakranial seperti infeksi saluran pernapasan atas, radang telinga tengah, infeksi saluran
cerna, dan infeksi saluran kemih. Pada pasien ini didapatkan bahwa kejang demam terkait
dengan adanya infeksi pada saluran napas, yaitu bronkiolitis akut.
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktivitas listrik yang
berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain
secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut salah satunya dapat
dipengaruhi oleh kenaikan suhu 1ºC pada keadaan demam mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat mempengaruhi keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang
singkat terjadi difusi dari ion kalium dan natrium dari membran tadi, dengan akibat lepasnya
muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini demikan besar sehingga dapat meluas ke seluruh
sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang.
Pada pasien ini diberikan terapi Norages 4 x 75 mg IV untuk menurunkan demam,
Ampicillin 4 x 200 mg IV sebagai antibiotik dengan broad-spectrum, Diazepam 2 mg IV
pelan atau Stesolid 5 mg supp jika pasien kejang, Deksametason 3 x ⅓ ampul IV sebagai
antiinflamasi, melakukan nebulisasi Ventolin 1 ampul + 3 cc NaCl 0,9% tiap 8 jam untuk
meningkatkan mucocilliary clearance, serta pemberian Luminal 2 x 20 mg pulv sebagai
terapi rumatan untuk kejang.
Penting untuk melakukan edukasi pada orang tua. Bila anaknya mengalami kejang
demam, edukasi yang harus diberikan adalah penjelasan yang meyakinkan bahwa kejang
18
demam jika berlangsung < 15 menit pada umumnya tidak berbahaya, memberikan informasi
kemungkinan kejang kembali, menerangkan cara penanganan kejang di rumah, perlunya
menyediakan diazepam rectal untuk menghentikan kejang, penjelasan terapi profilaksis yang
efektif untuk mencegah rekurensi kejang demam beserta efek sampingnya, dan penjelasan
tidak ada bukti terapi akan mengurangi kejadian epilepsi. Hal yang harus dikerjakan orang
tua bila terjadi kejang di rumah adalah bersikap tenang tidak panik, kendorkan pakaian yang
ketat, posisikan anak terlentang dengan kepala miring, bersihkan muntahan dan lendir dari
mulut dan hidung, dan jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut, walau ada kemungkinan
lidah tergigit. Memasukkan benda apapun kedalam mulut saat anak kejang dapat
menghalangi jalan nafas dan dapat membahayakan nyawa anak. Ukur suhu, catat lama kejang
dan bentuk kejang, beri diazepam rectal (jangan diberikan bila kejang sudah berhenti) dan
bawa ke rumah sakit bila kejang berlangsung lebih dari 5 menit.
19
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ajlouni SF, Kodah IH. 2000. Febrile Convulsions in Children. Neurosciences, Vol. 5 (3),
p.151-155. Department of Pediatrics, King Hussein Medical Center, Amman : Jordan.
Deliana M. 2002. Tata Laksana Kejang Demam Pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2,
September 2002, p. 59-62. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-USU, RSUP H. Adam
Malik : Medan.
Fetveit A. 2008. Assessment of Febrile Seizure in Children. Eur J. Pediatri, Vol. 167,
September 2008, p. 17-27. Department of General Practice and Community Medicine,
University of Oslo : Norway.
Hassan R, Alatas H, editor. 2007. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Cetakan Kesebelas.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :
Jakarta.
Purwanti OS, Maliya A. 2008. Kegawatdaruratan Kejang Demam Pada Anak. Berita Ilmu
Keperawatan, Vol. 1, No. 1, Juni 2008, p. 97-100. Jurusan Keperawatan, FIK-UMS :
Surakarta.
Pusponegoro HD, Widodo DW, Ismael S, editor. 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam. UKK Neurologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia : Jakarta.
20