Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM KOMPLEKS +


BRONKIOLITIS AKUT

OLEH
dr. Septia Nindi Fariani

PEMBIMBING
dr. Ita Patriani

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA


RSUD KOTA MATARAM
2016

1
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

Kejang Demam Kompleks


Bronkiolitis akut

Disetujui dan Disahkan Pada Tanggal, Juli 2016

Mengetahui,

Peserta Pendamping

dr. Septia Nindi Fariani dr. Ita Patriani


NIP. 19810805 2011012006

2
BAB I
PENDAHULUAN

Kejang demam merupakan kelainan terbanyak di antara penyakit saraf pada anak.
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal di
atas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranial. Menurut Consensus Statement on
Febrile Seizures, kejang demam adalah kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara
umur 6 bulan sampai 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya
infeksi intrakranial, gangguan elektrolit, atau metabolik. Anak yang pernah kejang tanpa
demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu (< 1 bulan) tidak termasuk kejang demam.
Derajat tingginya demam yang dianggap cukup untuk diagnosis kejang demam adalah 38oC
atau lebih, walaupun suhu sebenarnya pada waktu kejang sering tidak diketahui. Kejang
demam terjadi pada 2-4% anak berumur antara 6 bulan sampai 5 tahun. Anak laki-laki
umumnya lebih sering menderita kejang demam dibandingkan anak perempuan dengan
perbandingan berkisar antara 1.4 : 1 dan 1.2 : 1 (Purwanti & Maliya, 2008; UKK Neurologi
IDAI, 2006).

Dalam praktek sehari-hari orang tua sering cemas bila anaknya mengalami kejang,
karena setiap kejang kemungkinan dapat menimbulkan epilepsi dan trauma pada otak.
Hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi dikaitkan faktor risiko yang penting adalah
demam. Demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan atas, otitis media,
pneumonia, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih. Faktor risiko lainnya adalah riwayat
keluarga kejang demam, problem pada masa neonatus, serta kadar natrium yang rendah.
Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi atau
lebih, dan kira-kira 9% akan mengalami 3 kali rekurensi atau lebih (Purwanti & Maliya,
2008).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38ºC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah bangkitan kejang
pada bayi dan anak, biasanya terjadi antara umur 6 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan
demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab lain (Deliana, 2002).
Menurut The International League Against Epilepsy (ILAE), kejang demam adalah
kejang yang terkait dengan demam (suhu rektal lebih dari 38°C), dimana tidak ditemukan
kaitan dengan infeksi CNS atau ketidakseimbangan elektrolit yang akut pada anak usia > 1
bulan tanpa ada riwayat kejang di luar demam sebelumnya (ILAE, 1993).
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang yang
didahului oleh demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP atau epilepsi yang
kebetulan terjadi bersama demam (UKK Neurologi IDAI, 2006).

2.2. EPIDEMIOLOGI

Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak,
terutama pada anak umur 6 bulan sampai 5 tahun. Hampir 3% dari anak yang berumur
dibawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Insiden kejang demam 2,2-5% pada anak
di bawah usia 5 tahun. Anak laki-laki lebih sering dari pada perempuan dengan perbandingan
1.2–1.6 : 1. Saing B (1999), menemukan 62,2%, kemungkinan kejang demam berulang pada
90 anak yang mengalami kejang demam sebelum usia 12 tahun, dan 45% pada 100 anak yang
mengalami kejang setelah usia 12 tahun. Kejang demam kompleks dan khususnya kejang
demam fokal merupakan prediksi untuk terjadinya epilepsi. Sebagian besar peneliti
melaporkan angka kejadian epilepsi di kemudian hari sekitar 2-5% (Deliana, 2002).

2.3. FAKTOR RISIKO

Menurut Hassan & Alatas, dkk (2007), dengan penanggulangan yang tepat dan cepat,
prognosis pada kejang demam baik atau tidak perlu menyebabkan kematian. Risiko yang
dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam tergantung dari faktor :
1. Riwayat kejang tanpa demam dalam keluarga

4
2. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang
demam.
3. Kejang yang berlangung lama atau kejang fokal (Hassan & Alatas, 2007).

Faktor risiko berulangnya kejang pada kejang demam adalah :


1. Riwayat kejang demam dalam keluarga,
2. Usia < 18 bulan,
3. Suhu tubuh saat kejang,
4. Demamnya lama saat awitan kejang, dan
5. Riwayat epilepsi dalam keluarga (ayah, ibu atau saudara kandung) (Al-Ajlouni &
Kodah, 2000).

Faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah:


1. Adanya gangguan neurodevelopmental,
2. Kejang demam kompleks,
3. Riwayat epilepsi dalam keluarga (ayah, ibu atau saudara kandung),
4. Demamnya lama saat awitan kejang dan lebih dari satu kali kejang demam kompleks
(Al-Ajlouni & Kodah, 2000).

2.4. ETIOPATOFISIOLOGI

Penyebab kejang demam belum diketahui secara pasti. Namun, kejang demam muncul
pada demam yang disebabkan oleh infeksi ekstrakranial seperti infeksi saluran pernapasan
atas, radang telinga tengah, infeksi saluran cerna, dan infeksi saluran kemih (Purwanti &
Maliya, 2008).

Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi (hiperpireksia), terkadang demam
yang tidak terlalu tinggi dapat menyebabkan kejang. Hal ini diduga terkait dengan berbagai
faktor risiko yang mungkin ada pada anak, yang menyebabkan rendahnya batas ambang
pencetusan kejang sehingga kejang lebih mudah dibangkitkan. Hal ini mungkin terkait
dengan faktor herediter, dimana diketahui bahwa terdapat faktor genetik yang menyebabkan
5
kejang demam. Pada anak dengan kejang demam, 41,2% memiliki riwayat keluarga dengan
kejang demam. Sedangkan pada anak normal hanya 3% yang memiliki riwayat keluarga
dengan kejang demam. Diketahui bahwa kejang demam diturunkan secara herediter dominan
(Purwanti & Maliya, 2008).
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan
permukaan luar adalah ionic. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya, konsentrasi K+ dalam sel neuron
tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel terdapat keadaan sebaliknya).
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi di dalam dan di luar sel, maka disebut potensial
membrane. Untuk menjaga keseimbangan potensial membrane diperlukan energi dan bantuan
enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel (Hassan & Alatas, 2007).
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1ºC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Kenaikan suhu tubuh tertentu dapat
mempengaruhi keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi
difusi dari ion kalium dan natrium dari membran tadi, dengan akibat lepasnya muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik ini demikan besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun
membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang (Hassan &
Alatas, 2007).
Tiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda. Pada anak yang ambang kejangnya
rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38ºC, sedangkan pada anak dengan ambang kejang
tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40ºC atau lebih. Kejang demam yang berlangsung
singkat tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi kontraksi otot skelet yang akhirnya menyebabkan hipoksemia,
hiperkapnea, asidosis lactate, dan hipotensi. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis
setelah kejang berlangsung lama yang dapat menjadi matang di kemudian hari, sehingga
terjadi serangan epilepsi spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat
menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi (Hassan & Alatas, 2007).
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung
singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau
akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak memberi
reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun
dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf (Purwanti & Maliya, 2008).
6
2.5. KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINIS

Penggolongan kejang demam menurut kriteria National Collaborative Perinatal Project


adalah kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana
adalah kejang demam yang berlangsung singkat (< 15 menit), berbentuk umum tonik dan
atau klonik, dan kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana
merupakan 80% di antara seluruh kejang demam pada anak. Kejang demam kompleks adalah
kejang demam yang berlangsung lebih lama dari 15 menit, baik bersifat fokal maupun
parsial, dan berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam (UKK Neurologi IDAI, 2006).

Source : Fetveit A. Assessment of Febrile Seizure in Children. Eur J. Pediatri (2008) 167 : 17-27.

Umumnya kejang demam pada anak berlangsung pada permulaan demam akut, berupa
serangan kejang klonik umum atau tonik klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda neurologi
post-iktal. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama
terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi atau kejang
umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam

7
1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara
anak-anak yang mengalami kejang demam (Deliana, 2002; UKK Neurologi IDAI, 2006).

2.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi
dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan
lain seperti gastroenteritis dehidrasi yang disertai demam. Pemeriksaan laboratorium
yang dapat dikerjakan, misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah.

2. Pemeriksaan Pungsi Lumbal


Pemeriksaan pungsi lumbal diindikasikan pada saat pertama kali timbul kejang demam
untuk menyingkirkan adanya proses infeksi intrakranial, perdarahan subaraknoid atau
gangguan demielinisasi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6-6,7%. Bila
yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal. Namun, pada
bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis
karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal pada :
a) Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan, bahkan diwajibkan.
b) Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
c) Bayi lebih dari 18 bulan tidak rutin dilakukan

3. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)


Pemeriksaan EEG pada kejang demam dapat memperlihatkan gelombang lambat di
daerah belakang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang unilateral. Pemeriksaan
EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan
kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang
demam kompleks pada anak usia > 6 tahun, kejang demam fokal, atau anak yang
mempunyai risiko untuk terjadinya epilepsi.

4. Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti CT-scan atau MRI jarang sekali dikerjakan
dan tidak rutin dilakukan, kecuali atas indikasi seperti kelainan neurologis fokal yang
menetap (hemiparesis), paresis nervus VI, papiledema (UKK Neurologi IDAI, 2006).

8
2.7. PENATALAKSANAAN

Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk :


♣ Mencegah kejang demam berulang
♣ Mencegah status epilepsi
♣ Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi
♣ Normalisasi kehidupan anak dan keluarga (Deliana, 2002)

1. Pengobatan Fase Akut (Saat Kejang)


Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar jalan
nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah
aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi juga dapat berlangsung
terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur,
kalau perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit
harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat dan
pemberian antipiretik, yaitu Asetaminofen oral 10 mg/kgBB 4 kali sehari atau
Ibuprofen oral 20 mg/kgBB 4 kali sehari (Deliana, 2002).
Saat ini, diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut,
karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat diberikan secara
intravena atau rektal, jika diberikan intramuskular absorbsinya lambat. Dosis diazepam
intravena pada anak adalah 0,3-0,5 mg/kgBB, diberikan secara perlahan-lahan dengan
kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.
Jika jalur intravena belum terpasang, diazepam dapat diberikan per rektal dengan dosis
0,5-0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg bila berat badan kurang dari 10 kg dan 10
mg pada berat badan lebih dari 10 kg. Pemberian diazepam secara rektal aman dan
efektif serta dapat pula diberikan oleh orang tua di rumah (Deliana, 2002; UKK
Neurologi IDAI, 2006).
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di RS dapat
diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB. Bila kejang tetap belum
berhenti, berikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB/kali
pemberian dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila

9
kejang berhenti, dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kgBB/hari dimulai 12 jam setelah
dosis awal. Bila dengan pemberian fenitoin kejang belum berhenti, maka pasien harus
dirawat di ruang perawatan intensif (UKK Neurologi IDAI, 2006).
Bila diazepam tidak tersedia, dapat diberikan Luminal suntikan intramuskular
dengan dosis awal 30 mg untuk neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan – 1 tahun, dan 75
mg untuk usia lebih dari 1 tahun (Deliana, 2002).

2. Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang


Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan
keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap.
Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu profilaksis intermittent pada waktu demam dan
profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan (Deliana, 2002).

a) Profilaksis Intermittent Pada Waktu Demam


Pengobatan profilaksis intermittent dengan antipiretik dan antikonvulsan segera
diberikan pada waktu pasien demam (suhu rektal lebih dari 38ºC). Pilihan
antipiretik Paracetamol dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari
atau Ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali diberikan 3-4 kali sehari.
Diazepam diberikan melalui oral atau rektal. Pemakaian diazepam oral dengan
dosis 0,3 mg/kgBB tiap 8 jam pada saat demam menurunkan risiko berulangnya
kejang pada 30-60% kasus. Dosis per rektal tiap 8 jam pada suhu > 38,5oC adalah
0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Efek samping diazepam adalah ataksia, iritabel,
sedasi, dan hipotoni yang cukup berat pada 25-39% kasus (Deliana, 2002; UKK
Neurologi IDAI, 2006).

b) Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Rumatan


Indikasi pemberian profilaksis terus menerus pada saat ini adalah :
♣ Sebelum atau sesudah kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau
gangguan perkembangan neurologis, seperti hemiparesis, cerebral palsy,
retardasi mental, hidrosefalus.
♣ Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang tua
atau saudara kandung.
♣ Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan
neurologis sementara atau menetap.

10
♣ Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi
kejang berulang 2 kali dalam satu episode demam, dan kejang demam > 4
kali per tahun (UKK Neurologi IDAI, 2006).

Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah


kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah berulangnya
kejang demam berat, tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian
hari. Pemberian fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang (UKK Neurologi IDAI, 2006).
Pemberian fenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1-2 dosis dengan kadar
sebesar 16 mg/mL dalam darah menunjukkan hasil yang bermakna untuk
mencegah berulangnya kejang demam. Efek samping fenobarbital ialah iritabel,
hiperaktif, pemarah dan agresif ditemukan pada 30-50% kasus. Fenobarbital juga
dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus.
Efek samping fenobarbital dapat dikurangi dengan menurunkan dosis. Obat lain
yang dapat digunakan adalah asam valproat yang memiliki khasiat sama dengan
fenobarbital. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3
dosis. Efek samping yang ditemukan adalah hepatotoksik, tremor dan alopesia
(Deliana, 2002; UKK Neurologi IDAI, 2006).

11
BAB III
LAPORAN KASUS

IDENTITAS

♣ Identitas Pasien
Nama Lengkap : By. A
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 6,5 bulan
Agama : Islam
Alamat : Labuapi, Lombok Barat.

♣ Identitas Keluarga

Identitas Ibu Ayah

Nama Ny. S Tn. M

Umur 19 tahun 34 tahun

Pendidikan SMP SMA

Pekerjaan IRT Wiraswasta

HETEROANAMNESIS

♣ Keluhan Utama : Kejang

♣ Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD Kota Mataram dibawa oleh orang tuanya dengan keluhan
kejang sebanyak 1 kali selama + 10 menit di rumah. Pasien juga mengalami kejang lagi
sebanyak 1 kali saat berada di IGD RSUD Kota Mataram selama + 2 menit. Kejang
terjadi saat pasien tidur dalam posisi terlentang, badan serta tangan dan kaki kaku, mata
melirik ke atas, namun dari mulut tidak keluar busa. Saat kejang, pasien dalam keadaan
demam, namun orang tua pasien tidak mengukur suhu tubuh anaknya saat itu. Demam
telah dirasakan sejak 2 hari SMRS, terus menerus, dan suhu tubuh pasien tidak turun
walaupun telah diberikan Paracetamol. Setelah mengalami kejang, pasien tetap sadar,
walaupun tampak lemah.
Pasien juga mengalami batuk pilek sejak 2 hari SMRS serta muntah sebanyak + 8 kali,
berwarna putih susu. Pasien juga mencret dengan BAB cair sebanyak + 4 kali, berwarna
12
kuning, air >> ampas, tanpa disertai lendir maupun darah. BAK (+) lancar berwarna
kuning jernih. Ibu pasien juga mengatakan anaknya tampak sesak, tetapi tidak rewel dan
nafsu makannya baik.

♣ Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat penyakit/keluhan serupa sebelumnya disangkal. Riwayat trauma kepala juga
tidak pernah dialami oleh pasien.

♣ Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat keluarga dengan keluhan serupa disangkal.
Riwayat epilepsi (-), riwayat asma (-), riwayat alergi (-), riwayat TB (-).

♣ Riwayat Pengobatan :
Saat pasien mengalami demam, pasien dibawa ke Puskesmas dan diberikan Paracetamol
syrup, namun suhu tubuhnya tidak juga turun. Karena pasien masih demam dan
mengalami kejang, orang tua pasien segera melarikan anaknya ke RSUD Kota Mataram.

♣ Riwayat Kehamilan dan Persalinan :


Selama hamil, ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya di Posyandu (> 4 kali selama
kehamilan). Ibu pasien mengaku selama hamil dirinya tidak pernah mengalami mual
muntah yang berlebihan, tekanan darah tinggi, kejang, asma, kencing manis, perdarahan,
demam yang lama, ataupun trauma. Ibu pasien juga rutin mengkonsumsi tablet penambah
darah dan vitamin selama kehamilan.
Pasien lahir di Puskemas melalui persalinan normal dan ditolong oleh bidan. Pasien lahir
pada usia kehamilan cukup bulan dengan berat badan lahir 3000 gram dan langsung
menangis. Riwayat kejang, biru, atau kuning setelah lahir disangkal.

♣ Riwayat Nutrisi :
Pasien mendapatkan ASI eksklusif dari usia 0-3 bulan, sedangkan sejak usia 3-6 bulan
pasien mendapatkan ASI dan susu formula, karena ibu mengaku ASI-nya hanya keluar
sedikit. Sejak usia 6 bulan hingga kini, pasien telah mendapat makanan tambahan (MP-
ASI) berupa bubur beras.

♣ Riwayat Imunisasi (Vaksinasi) :

Imunisasi Dasar Ulangan

BCG (+) 1x Usia 1 bulan (-)

Hepatitis B (+) 4x Usia 0 bulan (baru lahir) Usia 1, 4, 6 bulan

13
Polio (+) 4x Usia 1 bulan Usia 2, 4, 6 bulan

DPT (+) 3x Usia 2 bulan Usia 4, 6 bulan

Campak Belum dilakukan

♣ Riwayat Perkembangan dan Kepandaian

Motorik Kasar Motorik Halus Bicara Sosial

Pasien mulai belajar utk Pasien sudah bisa Pasien belum dapat Pasien sudah bisa
merangkak. meraih benda. menyebut kata-kata. tersenyum spontan.
Pasien sudah bisa duduk Pasien sudah bisa Pasien mampu menoleh Pasien mampu utk
tegak tanpa pegangan. mengganggam dgn ke arah suara. mengamati tangan-
Pasien bisa tidur miring- jari dan ibu jari. nya sendiri.
miring dan tengkurap
sendiri.

PEMERIKSAAN FISIK

♣ Status Generalis
Keadaan umum : sedang
Kesadaran : waspada
Tanda Vital
 Frekuensi nadi : 128 x/menit
 Frekuensi napas : 48 x/menit
 Suhu : 38,3oC
 CRT : < 2 detik

♣ Status Gizi
BB : 7500 gram
PB : 63 cm
Z-score (Grafik WHO)
 BB/PB = +2 SD ~ -2 SD = gizi baik
 BB/U = +2 SD ~ -2 SD = normal
 PB/U = +2 SD ~ -2 SD = normal

14
♣ Pemeriksaan Fisik Umum

Kepala/Leher
 Bentuk : normocephali (LK 42 cm), UUB terbuka datar
 Mata : anemis (-/-), ikterik (-/-), Rp (+/+) isokor, edema palpebra (-/-),
mata cowong (-/-), kornea/konjungtiva kering (-), air mata (+/+)
 Telinga : bentuk normal, nyeri tekan tragus (-/-), otorrhea (-/-), perdarahan (-/-)
 Hidung : bentuk normal, deviasi septum (-), krepitasi (-), rinorrhea (-).
 Mulut : mukosa bibir basah, pucat (-), sianosis sentral (-), mukosa buccal
dbn, lidah kemerahan dengan papil (+), gigi geligi dbn.
 Tenggorok : hiperemis (-), tonsil T1-T1
 Leher : pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-), peningkatan JVP (-)

Thoraks
 Inspeksi : bentuk normal, deformitas (-), iga gambang (-), retraksi (-)
 Palpasi : pengembangan dinding dada simetris, vokal fremitus (+/+) normal
 Perkusi : Pulmo → sonor Cor → sde
 Auskultasi : Cor → S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo → vesikuler (+/+), stridor (-/-), rhonki (-/-), wheezing (+/+)

Abdomen :
 Inspeksi : distensi (-), jejas (-), scar/luka bekas operasi (-)
 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Palpasi : nyeri tekan (-), H/L/R tak teraba, turgor kulit normal
 Perkusi : timpani, meteorismus (-)

Ekstremitas

Ekstremitas Atas Ekstremitas Bawah


Pemeriksaan
Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Akral hangat + + + +

Edema - - - -

Nyeri tekan - - - -

Pucat - - - -

15
Refleks Fisiologis + +

Refleks Patologis + +

Kekuatan Otot 5 5 5 5

PEMERIKSAAN PENUNJANG

♣ Darah Lengkap
 HGB : 10,3 g/dl  MCV : 68,8 fl
 HCT : 30,6 %  MCH : 23,1 pg
 RBC : 4,45 x 106/µL  MCHC : 33,7 g/dl
 WBC : 11,1 x 103/µL  GDS : 133 mg%
 PLT : 524 x 103/µL

♣ Rontgen Thorax : kesan C/P dbn

RESUME

Pasien datang ke IGD RSUD Kota Mataram dibawa oleh orang tuanya dengan
keluhan kejang sebanyak 1 kali selama + 10 menit di rumah. Pasien juga mengalami kejang
lagi sebanyak 1 kali saat berada di IGD RSUD Kota Mataram selama + 2 menit. Kejang
terjadi saat pasien tidur dalam posisi terlentang, badan serta tangan dan kaki kaku, mata
melirik ke atas, namun dari mulut tidak keluar busa. Saat kejang, pasien dalam keadaan
demam, namun orang tua pasien tidak mengukur suhu tubuh anaknya saat itu. Demam telah
dirasakan sejak 2 hari SMRS, terus menerus, dan suhu tubuh pasien tidak turun walaupun
telah diberikan Paracetamol. Setelah mengalami kejang, pasien tetap sadar, walaupun tampak
lemah. Pasien juga mengalami batuk pilek sejak 2 hari SMRS serta muntah sebanyak + 8
kali, berwarna putih susu. Pasien juga mencret dengan BAB cair sebanyak + 4 kali, berwarna
kuning, air >> ampas, tanpa disertai lendir maupun darah. BAK (+) lancar berwarna kuning
jernih. Ibu pasien juga mengatakan anaknya tampak sesak, tetapi tidak rewel dan nafsu
makannya baik.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak lemah. Nadi 128
x/menit, regular, kuat angkat cukup, RR 48 x/menit, regular, suhu 38,3oC. Pemeriksaan fisik
paru menunjukkan retraksi (-), suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-).

16
Sedangkan pada pemeriksaan neurologis didapatkan kaku kuduk (-), refleks fisiologis (+),
dan refleks patologis (+).
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 10,3 g/dl; Hct 30,6%; RBC 4,45
x106/uL; WBC 11,1 x103/uL; PLT 524 x103/uL; dan GDS 133 mg%.

DIAGNOSIS
♣ Kejang Demam Kompleks
♣ Bronkiolitis Akut

RENCANA TERAPI

♣ Pemberian oksigen nasal kanul 2 liter/menit


♣ IVFD D5 ¼ NS 32 tetes mikro per menit
♣ Injeksi Norages 4 x 75 mg IV
♣ Injeksi Ampicillin 4 x 200 mg IV
♣ Injeksi Diazepam 2 mg IV pelan atau Stesolid 5 mg supp jika pasien kejang
♣ Injeksi Deksametason bolus 4 mg IV, selanjutnya 3 x ⅓ ampul IV
♣ Nebulisasi Ventolin 1 ampul + 3 cc NaCl 0,9% tiap 8 jam
♣ PO/ Ambroxol 3 x ⅓ cth
♣ PO/ Luminal 2 x 20 mg pulv

17
BAB IV
PEMBAHASAN

Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38ºC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.
Penggolongan kejang demam menurut kriteria National Collaborative Perinatal Project
adalah kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana
adalah kejang demam yang berlangsung singkat (< 15 menit), berbentuk umum tonik dan
atau klonik, dan kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam, setelah terjadi kejang tidak
didapatkan adanya defisit neurologis, serta kejang demam terjadi pada anak usia 6 bulan
sampai 5 tahun. Pasien pada laporan kasus ini didiagnosis mengalami kejang demam
kompleks karena terdapat 1 kriteria diagnosis yang tidak terpenuhi untuk kejang demam
sederhana, yaitu kejang terjadi sebanyak 2 kali dalam 24 jam.
Kejang demam biasanya muncul pada demam yang disebabkan oleh infeksi
ekstrakranial seperti infeksi saluran pernapasan atas, radang telinga tengah, infeksi saluran
cerna, dan infeksi saluran kemih. Pada pasien ini didapatkan bahwa kejang demam terkait
dengan adanya infeksi pada saluran napas, yaitu bronkiolitis akut.
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktivitas listrik yang
berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain
secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut salah satunya dapat
dipengaruhi oleh kenaikan suhu 1ºC pada keadaan demam mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat mempengaruhi keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang
singkat terjadi difusi dari ion kalium dan natrium dari membran tadi, dengan akibat lepasnya
muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini demikan besar sehingga dapat meluas ke seluruh
sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang.
Pada pasien ini diberikan terapi Norages 4 x 75 mg IV untuk menurunkan demam,
Ampicillin 4 x 200 mg IV sebagai antibiotik dengan broad-spectrum, Diazepam 2 mg IV
pelan atau Stesolid 5 mg supp jika pasien kejang, Deksametason 3 x ⅓ ampul IV sebagai
antiinflamasi, melakukan nebulisasi Ventolin 1 ampul + 3 cc NaCl 0,9% tiap 8 jam untuk
meningkatkan mucocilliary clearance, serta pemberian Luminal 2 x 20 mg pulv sebagai
terapi rumatan untuk kejang.
Penting untuk melakukan edukasi pada orang tua. Bila anaknya mengalami kejang
demam, edukasi yang harus diberikan adalah penjelasan yang meyakinkan bahwa kejang
18
demam jika berlangsung < 15 menit pada umumnya tidak berbahaya, memberikan informasi
kemungkinan kejang kembali, menerangkan cara penanganan kejang di rumah, perlunya
menyediakan diazepam rectal untuk menghentikan kejang, penjelasan terapi profilaksis yang
efektif untuk mencegah rekurensi kejang demam beserta efek sampingnya, dan penjelasan
tidak ada bukti terapi akan mengurangi kejadian epilepsi. Hal yang harus dikerjakan orang
tua bila terjadi kejang di rumah adalah bersikap tenang tidak panik, kendorkan pakaian yang
ketat, posisikan anak terlentang dengan kepala miring, bersihkan muntahan dan lendir dari
mulut dan hidung, dan jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut, walau ada kemungkinan
lidah tergigit. Memasukkan benda apapun kedalam mulut saat anak kejang dapat
menghalangi jalan nafas dan dapat membahayakan nyawa anak. Ukur suhu, catat lama kejang
dan bentuk kejang, beri diazepam rectal (jangan diberikan bila kejang sudah berhenti) dan
bawa ke rumah sakit bila kejang berlangsung lebih dari 5 menit.

19
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ajlouni SF, Kodah IH. 2000. Febrile Convulsions in Children. Neurosciences, Vol. 5 (3),
p.151-155. Department of Pediatrics, King Hussein Medical Center, Amman : Jordan.
Deliana M. 2002. Tata Laksana Kejang Demam Pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2,
September 2002, p. 59-62. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-USU, RSUP H. Adam
Malik : Medan.
Fetveit A. 2008. Assessment of Febrile Seizure in Children. Eur J. Pediatri, Vol. 167,
September 2008, p. 17-27. Department of General Practice and Community Medicine,
University of Oslo : Norway.
Hassan R, Alatas H, editor. 2007. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Cetakan Kesebelas.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :
Jakarta.
Purwanti OS, Maliya A. 2008. Kegawatdaruratan Kejang Demam Pada Anak. Berita Ilmu
Keperawatan, Vol. 1, No. 1, Juni 2008, p. 97-100. Jurusan Keperawatan, FIK-UMS :
Surakarta.
Pusponegoro HD, Widodo DW, Ismael S, editor. 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam. UKK Neurologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia : Jakarta.

20

Anda mungkin juga menyukai