Anda di halaman 1dari 4

TAK ADA SEKOLAH GRATIS

Oleh : Emat S. Elfarakani

Istilah sekolah gratis sebenarnya merupakan istilah yang tidak jelas di negeri ini. Karena
pada prakktiknya tidak ada sekolah yang benar-benar gratis, baik itu sekolah negeri maupun
sekolah yang dikelola oleh masyarakat atau yayasan.

Istilah sekolah gratis itu merujuk kepada pratik, bahwa siswa tidak dibebani beberapa
komponen biaya sekolah, seperti uang DSP (uang pangkal), SPP dan uang ujian. Komponen
biaya pendidikan yang lain siswa masih diwajibkan membayar, dan ini pun hanya berlaku di
sekolah-sekolah yang dikelola pemerintah daerah. Untuk sekolah-sekolah yang dikelola
masyarakat, sekolah masih diberikan kewenangan untuk memungut biaya.

Mulai 1 Januari 2017 regulasi pemerintah tentang pembiayaan sekolah telah berubah.
Seiring dengan berlakunya UU Nomor 23 tahun 2014 tentang PEMDA, maka skema
pembiayaan sekolah untuk wajib belajar 9 tahun SD-SMP dikelola oleh Pemerintah
kota/kabupaten, sedangkan untuk SMA/SMK akan dikelola oleh pemda provinsi.

Seperti yang dikatakan oleh Deputi Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayan
(PMK) Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Prof Dr R Agus Sartono MBA, “Kami akan
laksanakan penuh kebijakan di bidang pendidikan berdasarkan UU tersebut pada 1 Januari 2017
setelah melalui rapat koordinasi dengan kementerian terkait,” dia menambakan, “Setelah
melalui evaluasi, ternyata kewenangan yang ditanggung pemerintah daerah tingkat II selama ini
terlalu berat karena itu sesuai UU No 23 Tahun 2014 pelimpahan kewenangannya dibagi.”

Kewenangan-kewenangan dimaksud antara lain menyangkut alokasi dana dari APBN


dan APBD, tenaga pengajar, infrastruktur sekolah, pembangunan sekolah, dan siswa. Prof. Agus
mengatakan kebijakan di bidang pendidikan tersebut bertujuan untuk mencapai setidaknya
program wajib belajar 12 tahun tercapai sehingga anak-anak didik dapat bersekolah hingga ke
tingkat sekolah menengah atas atau sederajat, menunda usia untuk menikah, meningkatkan
kualitas pendidikan untuk menghadapi persaingan.
Sepertiya keingin untuk mencapai program wajib belajar 12 tahun itu tidak akan
tercapai, masalahnya anggaran pendidikan yang di provinsi-provinsi tidak cukup untuk
membiayai proses belajar di SMA/SMK. Kekhawatiran ini pernah disampaikan oleh Wali Kota
Surabaya, Bu Risma pernah berkeinginan untuk tetap mempertahankan SMA/SMK di bawah
pemda kota, bahkan ada masyarakat Surabaya yang menggugat UU Nomor 23 tahun 2014 ke
MK. Bu Risma yakin jika SMA/SMK dikelola provinsi maka anggaran pendidikan tidak akan
mencukupi.
Akhirnya kekhwatiran Bu Risma terbukti, Pemerintah Provinsi Jatim mengumungkan
bahwa SMA/SMK mulai tahun pelajaran baru 2017 tidak lagi gratis. Sepertinya kebijakan ini
akan diikuti oleh beberapa provinsi, karena masalahnya sama, yaitu anggaran operasional
pendidikan tidak mencukupi.
Akibat Liberalisasi Pendidikan
Liberalisasi pendidikan tidak hanya menyangkut konten kurikulum, namun juga
konteknya salah satunya adalah pengelolaan dana pendidikan. Jika merujuk kepada Pasal 1 ayat
(3) PP No. 48 tahun 2008, tentang Pendanaan Pendidikan, yang dimaksud dana pendidikan
adalah : “sumber daya keuangan yang disediakan untuk menyelenggarakan dan mengelola
pendidikan.” Menurut PP ini juga sumber dana pendidikan bisa bersumber dari pemerintah,
masyarakat, asing, atau usaha yang sah.
Sebenarnya pemerintah pernah mengeluarkan kebijakan larangan untuk memungut
dana pendidikan dari masyarakat, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 60
Tahun 2011 tentang Larangan Pungutan Biaya Pendidikan Pada Sekolah Dasar dan Sekolah
Menengah Pertama, akan tetapi umur regulasi ini tidak lama dan dihapus oleh aturan
Permendikbud No. 44 tahun 2012 tentang sumbangan dana pendidikan, dengan regulasi ini
lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat diperbolehkan memungut dana pendidikan
untuk tingkat pendidikan dasar.
Alasan memberlakukan kembali pungutan di sekolah tingkat SMA/SMK, karena itu
amanat UU No. 23 tahun 2014, sepertinya mengada-ada. Karena andaikan pemerintah provinsi
atau pusat tetap bersedia menganggarkan dana pendidikan pungutan kembali dana pendidikan
itu tidak akan terjadi. Namun sepertinya UU tersebut dijadikan dasar untuk lepas dari tanggung
jawab.
Di tengah menguatnya liberalisasi pendidikan, sesuai amanat Konstitusi sebenarnya
pemerintah masih menganggarkan dana pendidikan sebesar 20 persen atau sekitar 416,1 triliyun
APBN 2017. Anggaran ini masih termasuk BOS untuk sekolah SMA/SMK, itu artinya tidak berbeda
dengan anggran tahun 2016 dan pemda-pemda masih menanggung BOS, namun anehnya mengapa
pemda-pemda provinsi dengan cepat dan sigap untuk menghapus pendidikan gratis padahal
anggaran masih sama?
Memberlakukan kembali pungutan dana pendidikan di sekolah SMA/SMK bisa jadi dipicu
oleh keinginan Kemendikbud untuk meninjau kembali kebijakan sekolah gratis, seperti yang pernah
beliau sampaikan, “Sekolah gratis bukan berarti mematikan partisipasi masyarakat," beliau juga
menambahkan, "Biar nanti masyarakat yang menentukan sendiri, terutama lembaga seperti
komite sekolah akan kami perkuat lagi," (Tempo.com 2016/08/08/), dan benar saja diakhir
tahun 2016 Kemendikbud mengeluarkan peraturan Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite
Sekolah.
Di Pasal 10 ayat 1 dan 2, “Komite Sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber
daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga,
sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan.” Sedangkan ayat 2 menjelaskan
“Penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan.” Walaupun di ayat 2 disebutkan
bukan “pungutan” tapi “sumbangan”, namun istilah tersebut masih bisa diperdebatkan karena
praktik di sekolah dua kata tersebut tetap sama.
Dalam kondisi kualitas pendidikan Indonesia yang masih terpuruk, justru seharusnya
pemerintah menunjukan keberpihakannya terhadap kualitas pendidikan. Pendidikan berkulitas
itu mahal, karena itu pemerintah pusat atau daerah sudah seharusnya menempatkan
pendidikan sebagai investasi masa depan bangsanya. Sebagai contoh, bagaimana mungkin
pemerintah menetapkan kompetensi dasar peserta didik, misalkan : siswa mampu melakukan
langkah-langkah percobaan ilmiah, sedangkan labolatorium saja tidak ada. Atau siswa mampu
melakukan gerakan renang gaya kupu-kupu, tapi sarana tidak ada atau akses ke sarana juga
tidak disediakan oleh pemerintah.
Seharusnya ketika pemerintah menerapkan kompetensi-kompetensi yang harus dicapai
oleh peserta didik, maka pemerintah juga berkewajiabn menyediakan sarana atau akses ke
sarana tersebut, bukan malah menyerahkan kepada masyarakat. Di sinilah ujian yang
diselengarakan secara nasional menjadi tidak relevan, karena proses untuk mencapai standar
yang ditetapkan secara nasional di setiap daerah menjadi tidak standar disebabkan
kemampuan daerah yang berbeda. Apakah kita masih berharap kurikulumnya sama, prosesnya
berbeda, hasilnya bisa sama. Inilah yang menjadikan kualitas pendidikan tidak merata di
berbagai daerah.
Sebagaimana paham liberalisme, liberalisasi pendidikan mengharuskan berkurangnya
peran pemerintah, bahkan ekstrimnya pendidikan diserahkan kepada mekanisme pasar.
Pemerintah hanya berperan sebagai regulator. Di negera-negara yang bidang pendidikan sudah
berkualitas, tetap saja mereka tidak berani menyerahkan kualitas SDM rakyatnya kepada
mekanisme pasar, begitu saja. Mereka tetap melakukan intervensi-intervensi seperti seperti
konsep pendidikan gratis di German atau Finlandia.
Seharusnya ketika pemerintah bekerja keras untuk memungut dan menaikkan tarif
pajak dari berbagai sektor, kemudian berdalih akan mengalihkan subsidi BBM untuk pendidikan
dan serta kesehatan, maka harusnya dibuktikan dengan peningkatan akses rakyat untuk
mengenyam pendidikan yang tinggi dan berkualitas, bukan malah menguranginya.

Guru PPKn di Program Internasional Sekolah Bosowa Bina Insani

Anda mungkin juga menyukai