Abstrak
Latar belakang: Sindroma steven Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik
(NET) merupakan reaksi obat yang tidak diharapkan yang jarang terjadi namun
berat dengan mortalitas yang tinggi.
Metode: Untuk menyajikan karakteristik klinis SSJ dan NET di Jepang dan
mengevaluasi efektivitas penatalaksanaan, kami secara retrospektif menganalisis
kasus-kasus SSJ dan NET yang diobati di 2 rumah sakit universitas selama tahun
2000 – 2013.
Hasil: Lima puluh dua kasus SSJ (21 laki-laki dan 31 perempuan; rata-rata usia,
55.1 tahun) dan 35 kasus NET (17 laki-laki dan 18 perempuan; rata-rata usia 56.6
tahun) diikutsertakan dalam penelitian ini. Dua puluh delapan kasus SSJ (53.8%)
dan semua kasus NET disebabkan oleh obat. Hepatitis merupakan keterlibatan
obat yang paling sering ditemukan baik pada SSJ maupun NET. Disfungsi ginjal,
gangguan pada usus, dan gangguan pernapasan juga terlibat dalam beberapa
kasus. Komplikasi utamanya adalah pneumonia dan sepsis. Semua kecuali 3 kasus
diobati secara sistemik dengan kortikosteroid. Terapi steroid dosis denyut
dilakukan pada 88.6% NET. Plasmapharesis dan atau terapi imunoglobulin
dikombinasikan dengan terapi steroid terutama pada NET setelah 2007. Angka
mortalitas adalah 6.9% dan angka untuk SSJ dan NET adalah 1.9% dan 14.3%,
secara berturut-turut. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan mortalitas yang
diprediksi menurut sistem penentuan skor tingkat keparahan penyakit untuk skor
Prognosis NET (SCORTEN). Ketika membandingkan angka mortalitas antara
tahun 2000 – 2006 dan 2007- 2013, angka ini menurun dari 4.5% menjadi 0.0%
pada SSJ dan dari 22.2% menjadi 5.3% pada NET.
Kesimpulan: Penatalaksanaan dengan terapi steroid dosis denyut dalam kombinasi
dengan plasmaparesis dan/atau terapi imunoglobulin tampak berkontribusi atas
perbaikan prognosis pada SSJ/NET.
Pendahuluan
Sindroma Stevens Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET)
merupakan penyakit yang berpotensi mematikan, yang ditandai dengan demam
tinggi, eksantema makula yang membentuk bula dan menyebar luas, dan lesi
target yang atipikal, disertai dengan keterlibatan mukosa.1-3 Kedua penyakit ini
seringkali disertai dengan komplikasi pada sejumlah organ, seperti hati, ginjal,
dan paru, yang mempersulit penatalaksanaan dan kadangkala menentukan
lamanya convalescent. Penyakit ini dianggap merupakan penyakit yang berada
pada spektrum yang sama namun dengan tingkat keparahan yang berbeda. 4,5 Pada
SSJ, yang merupakan kondisi yang lebih ringan diantara keduanya, pengelupasan
epidermis terjadi pada kurang dari 10% area permukaan tubuh. Area pengelupasan
epidermis lebih luas pada NET, dan penyakit ini seringkali disertai dengan lebih
banyak komplikasi pada lebih banyak organ dibandingkan dengan yang
ditemukan pada SSJ.
Penatalaksanaan penyakit ini belum ditetapkan dengan baik. Selain
perawatan suportif, kortikosteroid sistemik,6,7 imunoglobulin intravena dosis
8-11
tinggi (IVIG), dan plasmapharesis12-14 telah digunakan dan dianggap efektif
dalam banyak laporan. Namun, efek penatalaksanaan ini masih kontroversial.15 Di
Jepang, penatalaksanaan dengan kortikosteroid telah semakin banyak digunakan,
semenjak pedoman untuk penatalaksanaan SSJ dan NET telah ditetapkan pada
tahun 2007 dan direvisi pada tahun 2009 oleh Japanese Research Committee on
Severe Cutaneous Adverse reaction (J-SCAR) yang didukung oleh Ministry of
Health, Labour and Welfare Jepang.16 Dibawah pedoman ini, kortikosteroid
dianggap sebagai penatalaksanaan lini pertama, dan, dalam kasus-kasus yang
berat, terapi steroid dengan dosis denyut direkomendasikan. IVIG dan
plasmapharesis dianggap sebagai modalitas tambahan untuk digunakan secara
bersamaan hdengan kortikosteroid sistemik. Setelah plasmaparesis untuk
SSJ/TEN memenuhi persyaratan untuk termasuk dalam cakupan oleh asuransi
kesehatan di Jepang pada tahun 2006, penggunaan plasmapharesis dalam
penatalaksanaan SSJ/NET telah semakin banyak, terutama pada NET yang
bersifat sulit disembuhkan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menyajikan karakteristik SSJ/NET dan
untuk mengevaluasi penatalaksanaan terkini penyakit ini. Kami secara retrospektif
menganalisis kasus-kasus SSJ/NET yang diobati di 2 rumah sakit universitas dari
tahun 2000 hingga 2013. Data menunjukkan rendahnya mortalitas dengan
penatalaksanaan intensif, terutama pada pasien-pasien yang diobati setelah tahun
2007.
Metode
Kami mengumpulkan kasus-kasus SSJ dan NET, yang diobati di Rumah
sakit Universitas Yokohama City dan Pusat kesehatan Universitas Yokohama City
antara Januari 2000 dan Desember 2013. Diagnosis SSJ/NET didasarkan pada
kriteria Bastuji-Garin.3 Untuk SSJ, gejala harus mencakup kondisi akut yang
ditandai dengan erosi membrana mukosa dan lesi kulit (yang digambarkan sebagai
makula, lesi yang menyerupai target atipikal, bula, atau erosi) dengan maksimum
pengelupasan epidermis sebesar kurang dari 10% dari area permukaan tubuh total
(BSA); dan untuk NET gejalanya harus mencakup maksimum pengelupasan
epidermis sebesar lebih dari 10% BSA selain gejala-gejala diatas. Kasus-kasus
yang dikelompokkan sebagai pertumpang-tindihan SSJ/NET menurut kriteria
Bastuji-Garin dengan maksimum pengelupasan epidermal sebesar 10 – 30% BSA
dalam penelitian ini dimasukkan sebagai NET.
Dilakukan pengumpulan data untuk variabel berikut: informasi demografi
(usia dan jenis kelamin), riwayat medis masa lampau yang relevan, dan kelainan
yang ada secara bersamaan, penggunaan obat yang mendahului, waktu antara
asupan obat kausatif pertama dan onset gejala, pengelupasan epidermis
maksimum sebagai persentase BSA, ada dan luasnya keterlibatan membrana
mukosa, data laboratorium, hasil uji tempel dan uji stimulasi limfosit dengan
menggunakan obat yang diduga, keterlibatan organ dan komplikasi,
penatalaksanaan yang terdiri atas terapi kortikosteroid, terapi imunoglobulin
intravena (IVIG), dan plasmaparesis, dan mortalitas. Obat kausatif ditetapkan
dengan mempertimbangkan riwayat pemberian obat dan hasil uji tempel dan uji
stimulasi limfosit jika dilakukan.
Untuk mengevaluasi efektivitas penatalaksanaan, SCORTEN, digunakan
suatu sistem pemberian skor untuk tingkat keparahan penyakit untuk prognosis
NET. SCORTEN, yang terdiri atas 7 nilai klinis, diusulkan oleh Bastuji-Garin S
dkk pada tahun 2000 dan saat ini diterima secara luas sebagai alat prognostik
standar untuk prediksi mortalitas pada pasien-pasien dengan NET dan SSJ.17
Kriteria SCORTEN adalah: nitrogen urea darah serum > 10 mmol/L,
bikarbonat serum < 20 mmol/L, glukosa serum > 14 mmol/l, usia ≥ 40 tahun,
adanya keganasan, denyut jantung > 120 kali per menit, dan persentase BSA
dengan pengelupasan epidermis ≥ 10%. Angka mortalitas diprediksi menurut skor
total SCORTEN, yaitu sebagai berikut sebagai berikut: 0 – 1 poin, 3.2%; 2 poin
12.1%; 3 poin, 35.3%; 4 poin, 58.3%; dan 5 poin atau lebih, 90%.
Hasil
Usia dan jenis kelamin (gambar 1)
Delapan puluh tujuh kasus yang terdiri atas 52 SSJ dan 35 NET diobati
selama 14 tahun periode penelitian dan semua dari mereka dianalisis dalam
penelitian ini. Pasien dengan SSJ, yang terdiri atas 21 laki-laki dan 31 perempuan,
berusia antara 17 dan 87 tahun (rata-rata, 55.1 tahun). Pasien dengan NET, yang
terdiri atas 17 laki-laki dan 18 perempuan, berusia antara 2 dan 80 tahun (rata-rata
56.6 tahun). Rata-rata usia tidak berbeda antara SSJ dan NET, namun puncaknya
tercatat pada pasien yang berusia pada sekitar 40-an dan 70-an untuk SSJ dan
pasien pada usia 70-an untuk NET.
Interval antara konsumsi obat pertama dan onset gejala (gambar 2)
Inteval waktu antara konsumsi obat pertama dan onset gejala pada 41 kasus
SSJ dan 24 kasus NET disajikan dalam gambar 2. Rata-rata intervalnya adalah
18.0 hari pada SSJ dan 11.7 hari pada NET. Pada NET, gejalanya biasanya terjadi
dalam waktu 7 hari setelah konsumsi obat pertama; oleh karena itu NET tampak
terjadi lebih dini setelah konsumsi obat dibandingkan SSJ.
Penatalaksanaan
Penataaksanaan sistemik utama yang digunakan selain perawatan suportif
adalah kortikosteroid, IVIG, dan plasmapharesis. Penatalaksanaan yang dilakukan
disajikan dalam tabel 3. Semua kasus, kecuali 2 kasus SSJ dan 1 kasus NET,
diobati dengan kortikosteroid dengan atau tanpa terapi lainnya. Penurunan segera
untuk dosis steroid dilakukan sejalan dengan perbaikan gejala. Pada SSJ, sebagian
besar kasus (45 kasus, 86.5%) diobati dengan kortikosteroid saja. Dari kasus-
kasus ini, 18 pasien (34.6% dari semua SSJ) mendapatkan terapi dosis denyut
(500 – 1000 mg /hari metilprednisolon selama 3 hari). Di sisi lain, pada NET,
terapi steroid dosis denyut dilakukan pada 31 kasus (88.6%) dari semua kasus.
Kurang dari setengah kasus (14 kasus, 40%) diobati dengan kortikosteroid
saja dan diantara mereka sebanyak 12 kasus mendapatkan terapi dosis denyut (500
– 1000 mg/hari metilprednisolon selama 3 hari). Kasus yang diobati tanpa steroid
adalah wanita yang berusia 62 tahun yang diobati dengan IVIG (20g/hari selama 2
hari) saja, karena ita mengalami pneumonia Staphylococcus aureus resisten
methicilin (MRSA) setelah operasi untuk diseksi aorta akut ketika ia mengalami
NET. IVIG sangat efektif dalam kasus ini dan mengahasilkan perbaikan yang
sangat jelas dari erupsi NET.
Kombinasi penatalaksanaan dengan IVIG dan kortikosteroid hanya
dilakukan pada 3 kasus SSJ. Ketiga kasus ini mendapatkan kurang dari 2 g/kg
(lebih dari 1 g/kg) imunoglobulin secara total. Dua dari 3 kasus mendapatkan
terapi dosis denyut (500 – 1000 mg/hari metilprednisolon selama 3 hari. Satu
kasus SSJ telah diobati dengan metilprednisolon 60mg/hari untuk lupus
eritematosus sistemik ketika ia mengalami SSJ dan ia mendapatkan
penatalaksanaan tambahan plasmaparesis filtrasi ganda (DFPP). Kasus SSJ
lainnya diobati dengan kortikosteroid, IVIG, dan plasmapharesis secara berurutan.
Kasus ini mengalami SSJ sebagai reaksi terhadap diaphenylsulfone (DDS) yang
dikonsumsi untuk pemfigus foliaceus. Untuk mengobati pemfigus foliaceous dan
SSJ secara bersamaan, dilakukan DFPP.
Di sisi lain, terapi kombinasi dipilih secara positif pada NET. Sebelum
memulai IVIG atau plasmapharesis, semua kasus mendapatkan terapi steroid dosis
denyut. Delapan kasus (22.9%) diobati dengan kombinasi IVIG (lebih dari 1 g/kg)
dan kortikosteroid, dan 10 kasus (28.6%) dengan kombinasi plasmaparesis dan
kortikosteroid. Dua kasus (5.7%) diobati dengan steroid dosis denyut, IVIG dan
plasmaparesis karena perburukan gejala. Berkebalikan dengan SSJ, 2 kasus NET
yang diobati dengan IVIG setelah 2008 diberikan dengan jumlah total sebesar
lebih dari 2 g//kg imunoglobulin. Semua tindakan plasmapharesis yang dilakukan
pada NET adalah berupa tindakan pertukaran plasma (PE) kecuali untuk 1 kasus
yang diobati dengan steroid dosis denyut, IVIG (1 g/kg) dan DFPP sebelum tahun
2006.
Mortalitas, kasus kematian dan sekuele
Mortalitas total adalah 6.9% . Satu kasus SSJ (angka mortalitas 1.9%) dan 5
kasus NET (angka mortalitas, 14.3%) mengalami kematian. Rata-rata skor
SCORTEN adalah 2.43, oleh karena itu angka mortalitas yang diprediksi adlaah
25.3% (8.9 kasus) pada NET.
Pembahasan
SSJ dan NET merupakan penyakit yang jarang terjadi namun mengancam
nyawa. Angka mortalitas untuk kondisi ini baru-baru ini dilaporkan sebesar 34%
pada 1 tahun untuk SSJ/NET di Eropa18 dan 3% dan 19% untuk SSJ dan NET,
secara berturut-turut, di Jepang.19 Penelitian terbaru telah mengungkapkan rincian
yang baru mengenai jalur apoptosis keratinosit dan perubahan imunologi yang
berkaitan dengan reaksi obat yang tidak diharapkan dalam penyakit ini.8,20-23
Selain sitotoksisitas langsung oleh sel T sitotoksik (CTL), beberapa faktor yang
larut seperti tumor necrosis factor alfa, nitrit oksida, ligan Fas yang larut (sFasL),
granulisin, annexin A1 saat ini dianggap memediasi apoptosis keratinosit. Abe dkk
melaporkan bahwa sel-sel mononuklear darah perifer (PBMC) dari pasien
SSJ/NET menyekresikan sFasL pada saat adanya stimulasi oleh obat penyebab.
Selain itu, mereka menunjukkan bahwa serum pasien memicu apoptosis pada
keratinosit yang dikultur, yang menunjukkan bahwa sFasL yang diproduksi oleh
PMBC dapat berkontribusi terhadap patogenesis SSJ/NET.21 Chung dkk
menegaskan bahwa granulisin yang dihasilkan oleh CTL atau konsentrasi natural
killer cells pada cairan bulla lesi kulit SSJ/NET dua hingga empat tingkatan
besarnya lebih tinggi dibandingkan perforin, granzyme B atau konsentrasi sFasL,
dan mengurangi granulosin akan mengurangi sitotoksisitas keratinosit. Selain itu,
mereka menunjukkan bahwa injeksi granulosin kedalam kulit mencit
menghasilkan gambaran yang menyerupai SSJ-NET.22 Baru-baru ini Saito dkk
mengungkapkan kontribusi annexin A1 dalam nekroptosis keratinosit pada
SSJ/NET. Pengurangan annexin A1 oleh antibodi spesifik mengurangi
sitotoksisitas supernatan. Keratinosit SSJ/NET mengekspresikan reseptor peptida
formyl 1 dalam jumlah yang sangat besar, yang merupakan reseptor untuk annexin
A1, sementara keratinosit kontrol tidak. Mereka juga menunjukkan bahwa inhibisi
necroptosis benar-benar mencegah respon yang menyerupai SSJ/NET pada model
SSJ/NET tikus.23
Tidak terdapat terapi yang telah ditetapkan untuk SSJ/NET, meskipun
banyak modalitas penatalaksanaan termasuk kortikosteroid, plasmaparesis dan
IVIG yang telah digunakan. Tantangannya masih terletak pada kesulitan untuk
menilai efektivitas penatalaksanaan untuk penyakit yang serius dan jarang
ditemukan seperti ini dalam uji klinis terkontrol acak yang besar (RCT).
Dalam penelitian ini, kami menyajikan karakteristik klinis terbaru dan
penatalaksanaan SSJ dan TEN pada 87 pasien yang diobati di 2 rumah sakit kami
untuk mengevaluasi kegunaan penatalaksanaan ini secara retrospektif.
Usia pasien dengan SSJ dan NET terdistribusikan secara luas dari usia muda
hingga tua. Obat kausatif utama adalah antibiotika, antikonvulsan, OAINS, dan
obat flu. Dominasi obat-obatan ini dalam menyebabkan penyakit tampak telah
tidak berubah sejak Aihara dkk menganalisis 269 kasus SSJ dan 287 kasus TEN
yang dilaporkan dari tahun 1981 hingga 1997 di Jepang.24 Namun, dalam
penelitian kami, antikonvulsan lebih sering ditemukan menjadi obat kausatif
dibandingkan yang sebelumnya dilaporkan pada SSJ. Hal ini kemungkinan
berkaitan dengan fakta bahwa pada beberapa tahun terakhir, antikonvulsan tidak
hanya digunakan untuk kejang namun juga untuk penyakit lainnya, seperti nyeri
neurogenik dan gangguan bipolar.
Selain gejala kulit yang berat, banyak keterlibatan organ yang teramati.
Organ yang paling sering terlibat adalah hati dan ginjal. Namun, meskipun lebih
jarang dibandingkan hepatitis dan disfungsi ginjal, gangguan respirasi dan
gastrointestinal merupakan kondisi berat yang seringkali menyebabkan kematian.
Selain keterlibatan multiorgan, masalah utama lainnya dalam rangkaian perjalanan
klinis adalah infeksi sekunder, terutama sepsis.
Sedangkan untuk penatalaksanaan, terapi kortikosteroid sistemik adalah
yang paling utama digunakan baik pada SSJ maupun NET di Jepang.25
Penggunaan kortikosteroid didasarkan pada gagasan bahwa kortikosteroid efektif
dalam menekan respon imunitas yang berlebihan. Meskipun penggunaannya
masih bersifat kontroversial,18,26 penelitian terbaru telah menyatakan bahwa agen
ini merupakan modalitas penatalaksanaan yang valid untuk SSJ/NET.6,7,27