Anda di halaman 1dari 25

BAB I

STATUS PASIEN

1.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. S
Umur : 79 tahun
Jenis kelamin : Laki- laki
Alamat : Simponi Mas III B 3 No.8 Kelapa Gading
Status : Menikah
Agama : Kristen
Bangsa : Indonesia
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Pensiunan TNI
No. RM : 8748xx
Tanggal masuk : 23 Februari 2018 (di Poliklinik)

1.2. Anamnesis
Autoanamnesis hari Jumat, 23 Februari 2018 diruang periksa
poliklinik Kulit dan Kelamin RSPAD Gatot Soebroto.
A. Keluhan Utama
Gatal pada seluruh tubuh
B. Keluhan Tambahan
Kulit menjadi tebal dan kasar akibat digaruk.
C. Riwayat Perjalanan Penyakit
Keluhan tersebut diawali sekitar 3 bulan yang lalu timbul
bintik – bintik merah yang awalnya terdapat di kedua tangan, kedua
kaki, dan meluas ke daerah perut dan punggung disertai rasa gatal,
tidak nyeri. Gatal yang dirasakan sangat hebat sehingga pasien tidak
tahan untuk menggaruk daerah yang gatal. Jika digaruk keluar cairan
berwarna jernih dan terkadang sampai berdarah. Semakin lama,
bintik – bintik tersebut menjadi besar dan menjadi benjolan –
benjolan dan bertambah banyak. Pasien mengatakan kalau gatal

1
terasa terutama pada malam hari. Menurut pasien daerah yang
digaruk menjadi luka dan keluar cariran berwarna jernih lalu lama
kelamaan luka tersebut menjadi tebal serta berwarna kehitaman.
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan ataupun
obat.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
3 tahun yang lalu pasien pernah mengalami hal yang serupa
dan berobat ke dokter lalu sembuh total.
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang pernah mengalami
gejala seperti ini sebelumnya.
 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat DM : disangkal
 Riwayat Alergi : disangkal

1.3.Pemeriksaan Fisik
1.3.1. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis
TB : 165 cm
BB : 64 kg
IMT : normoweighht
Status Gizi : cukup
Tanda-tanda vital
Tekanan Darah :135/70mmHg
Nadi : 80 x/menit
Suhu : Afebris (palpasi)
RR : 20 x/menit
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis -/-. Sklera ikterik -/-
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-/-), rhinore (-/-)
Telinga : Normotia, sekret (-/-), hiperemis (-/-)

2
Lidah : geographic tounge (-)
Faring : Hiperemis (-)
Tonsil : T1-T1
Leher : Tidak teraba pembesaran kelenjar KGB dan
tiroid
Thorax
Paru : Suara napas vesikular +/+, ronkhi -/-,
wheezing (-/-)
Jantung : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : BU (+), pembesaran hepar dan lien (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CTR < 2 detik, edema (-),
sianosis (-) lihat pada status dermatologis
1.3.2. Status Dermatologis
1.3.2.Status Dermatologi
a) Lokasi: Regio ekstrimitas superior dextra dan sinistra, Regio
ekstimitas inferior dextra dan sinistra, Regio abdomen, Regio
lumbalis dextra dan sinistra.
b) Efloresensi: tampak hiperpigmentasi berukuran miliar -
lentikular berbatas tegas disertai likenifikasi dan tampak krusta
berukuran lentikular.

3
1.3.3 Pemeriksaan penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
1.4.Resume

4
1.5.Diagnosis Kerja
Prurigo Nodularis

1.6.Diagnosis Banding

1.7.Rencana Pemerikaan
Histopatologi

1.8.Penatalaksanaan
1.8.1. Non Medikamentosa
 Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya
 Mencegah garukan dan gosokan pada daerah yang gatal
 Hindari stress psikologis
 Menjaga kebersihan kulit
 Hindari dari gigitan serangga
1.8.2. Medikamentosa
1.8.2.1.Topikal
 Emolien Lotion  untuk menghindari kulit kering pada kulit
yang sehat
 Mometasone salep

1.9. Prognosis
Quo Ad Vitam : Bonam
Quo Ad Functionam : Bonam
Quo Ad Sanationam : dubia ad bonam

BAB II

5
TINJAUAN PUSTAKA

MORBUS HANSEN
2.1 Definisi
Penyakit kusta adalah penyakit infeksi yang kronik yang disebabkan
oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) yang bersifat intraselular
obligat. Pertama menyerang saraf perifer, selanjutnya dapat menyerang
kulit, mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ
lain kecuali susunan saraf pusat. Penyakit Morbus Hansen dikenal juga
dengan nama kusta atau lepra. Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta,
yakni kushtha yang berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum.1

2.2 Epidemiologi
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan
belum diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui
kontak langsung antar kulit yang lama dan erat serta secara inhalasi sebab
bakteri M. Leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.
Berdasarkan data WHO pada tahun 2011 mengenai distribusi pasien Morbus
Hansen diseluruh dunia, Indonesia merupakan daerah endemis dengan lebih
dari 10.000 kasus baru per tahun dengan prevalensi 1,03 per 10.000
penduduk. Berdasarkan data epidemiologi depkes, jumlah kasus baru pada
tahun 2012, sebanyak 17.980 kasus, jumlah kasus baru anak <15 tahun
sebesar 1959 dari total kasus baru.1,2
Anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali terkena. Frekuensi
tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25 – 35 tahun. Kusta terdapat
di seluruh dunia, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan
subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah.2

2.3 Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang
ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen tahun 1873 di Norwegia. Basil ini
bersifat tahan asam, bentuk pleomorf lurus, batang ramping dan sisanya

6
berbentuk paralel dengan kedua ujung-ujungnya bulat dengan ukuran 3 - 8
µm x 0,5 µm. Basil ini merupakan kuman berbentuk batang gram positif.
Dengan pewarnaan Ziehl - Nielsen basil yang hidup dapat berbentuk batang
yang utuh, berwarna merah terang, dengan ujung bulat (solid), sedang basil
yang mati bentuknya terpecah-pecah (fragmented) atau granular.1,5
Basil ini hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu rendah dan
tidak dapat dikultur dalam media buatan (in vitro). Bakteri dapat ditemukan
di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapatkan
di dalam urin. Pada sputum dapat ditemukan banyak mengandung M.
Leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Masa tunas sangat
bervariasi, antar 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata-
rata 3 – 5 tahun.1
Secara skematik struktur M. leprae terdiri dari :
a. Kapsul
Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan
elektron dari bahan berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan
secara struktur khas bentuk M. leprae. Zona transparan ini terdiri
dari dua lipid, phthioceroldimycoserosate, yang dianggap memegang
peranan protektif pasif, dan suatu phenolic glycolipid, yang terdiri
dari tiga molekul gula hasil metilasi yang dihubungkan melalui
molekul fenol pada lemak (phthiocerol). Trisakarida memberikan
sifat kimia yang unik dan sifat antigenik yang spesifik terhadap M.
Leprae.2
b. Dinding sel
Dinding sel terdiri dari dua lapis, yaitu:
1. Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung
lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang
arabinogalactan yang diesterifikasi dengan rantai panjang
asam mikolat, mirip dengan yang ditemukan pada
Mycobacteria lainnya.
2. Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan: karbohidrat yang
dihubungkan melalui peptida-peptida yang memiliki

7
rangkaian asam-amino yang mungkin spesifik untuk M.
Leprae.
c. Membran
Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah
suatu membran yang khusus untuk transport molekul-molekul
kedalam dan keluar organisme. Membran terdiri dari lipid dan
protein. Protein sebagian besar berupa enzim. Protein ini juga dapat
membentuk ‘antigen protein permukaan’ yang diekstraksi dari
dinding sel M. leprae yang sudah terganggu dan dianalisa secara
luas.2
d. Sitoplasma
Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan,
material genetik asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang
merupakan protein yang penting dalam translasi dan multiplikasi. M.
leprae, walaupun berbeda secara genetik, terkait erat dengan M.
tuberculosis dan M. scrofulaceum.2

Gambar 4. Mycobacterium leprae


2.4 Patogenesis
Patogenesis terjadinya morbus hansen dimulai dari M. Leprae yang
dindingnya tersusun dari peptidoglikan yang berhubungan dengan arabinogalaktan
dan asam mikolat. Protein imunogenik yang dimiliki bakteri ini berhubungan
dengan dinding sel host dan terdapat pada sitoplasma. Adanya dinding sel yang

8
berasosiasi dengan lipoprotein dan ligan yang mengenali reseptor atau PRRs pada
sistem imun innate kemungkinan menginisiasi respon tubuh atau host pada
M. Leprae. Respon ini sangat penting untuk menentukan gejala klinis. Bakteri
kemudian memasuki saraf dimediasi oleh spesies spesifik trisakarida pada basal
lamina sel schwann, hal ini membuktikan kenapa M.Leprae hanya menginvasi saraf
perifer.1,2,5
Terdapat beberapa faktor yang menentukan terjadinya penyakit
kusta,mulai dari faktor agent hingga faktor host. Faktor-faktor tersebut
yaitu:
a. Agent
Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Kuman ini satu
genus dengan kuman TB dimana di luar tubuh manusia, kuman kusta
hidup baik pada lingkungan yang lembab akan tetapi tidak tahan
terhadap sinar matahari. Kuman kusta dapat bertahan hidup pada
tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa sinar matahari sampai
bertahun-tahun lamanya.
Kuman leprae jika terkena cahaya matahari akan mati dalam
waktu 2 jam, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan
kelembaban yang tinggi. Kelembaban udara yang meningkat
merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen.
Merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25-
40oC, tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-37oC.2
b. Sumber penularan : hingga saat ini hanya manusia yang dianggap sebagai
sumber penularan.
c. Cara penularan : droplet melalui saluran napas bagian atas. Penyakit
ini memiliki masa inkubasi 2-5 tahun atau lebih. Penularan
terjadi jika terdapat kontak yang lama dengan penderita yang belum
menjalani pengobatan MDT.
d. Cara masuk: melalui saluran napas bagian atas atau melalui kontak
kulit yang tidak intak.

9
e. Host
Manusia merupakan reservoir untuk penularan kuman. , tingkat
penularan kusta di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang
penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Di
dalam rumah dengan ventilasi baik, kuman ini dapat hilang terbawa angin dan
akan lebih baik jika ventilasi ruangannya menggunakan pembersih udara yang
bisa menangkap kuman. Hal yang perlu diketahui tentang host atau penjamu
meliputi karakteristik gizi atau daya tahan tubuh, pertahanan tubuh, hygiene
pribadi, gejala dan tanda penyakit dan pengobatan. Karakteristik host dapat
dibedakan antara lain : umur, jenis kelamin, pekerjaan , keturunan, pekejaan, ras
dan gaya hidup.2
f. Lingkungan
Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan non fisik, lingkungan fisik
terdiri dari : keadaan geografis (dataran tinggi atau rendah, persawahan dan lain-
lain), kelembaban udara, suhu, lingkungan tempat tinggal. Adapun lingkungan
non fisik meliputi : sosial (pendidikan, pekerjaan), budaya (adat, kebiasaan turun
temurun), ekonomi. Penderita kusta di dunia menyerang kelompok dengan sosial
ekonomi lemah atau miskin. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri, mungkin tidak
hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak
langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, serta perumahan yang tidak
sehat, hygiene sanitasi yang kurang dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga
menurun kemampuannya. Tingkat pekerjaan dan jenis pekerjaan sangat
mempengaruhi terjadinya kasus kusta atau keberhasilan pengobatan. 2,5
Status pendidikan berkaitan denga tindakan pencarian pengobatan
penderita kusta. Rendahnya tingkat pendidikan dapat mengakibatkan lambatnya
pencarian pengobatan dan diagnosis penyakit, hal ini dapat mengakibatkan
kecacatan pada penderita kusta semakin parah. 5

2.5 Klasifikasi

10
Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis
(jumlah lesi, jumlah saraf yang terganggu), hasil pemeriksaan bakteriologi,
pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan imunologi.
Klasifikasi bertujuan untuk :
1. Menentukan rejimen pengobatan, prognosis dan komplikasi.
2. Perencanaan operasional, seperti menemukan pasien-pasien yang
menularkan dan memiliki nilai epidemiologi yang tinggi sebagai
target utama pengobatan.
3. Identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat.
Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah
klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, klasifikasi India dan
klasifikasi menurut WHO.
1. Klasifikasi Internasional: klasifikasi Madrid (1953)
Pada klasifikasi ini penyakit kusta dibagi atas Indeterminate
(I), Tuberculoid (T), Borderline-Dimorphous (B), Lepromatous (L).
Klasifikasi ini merupakan klasifikasi paling sederhana berdasarkan
manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis, dan pemeriksaan
histopatologi, sesuai rekomendasi dari International Leprosy
Association di Madrid tahun 1953.2,5
2. Klasifikasi Ridley - Jopling (1966)
Pada klasifikasi ini penyakit kusta adalah suatu spektrum
klinis mulai dari daya kekebalan tubuhnya rendah pada suatu sisi
sampai mereka yang memiliki kekebalan yang tinggi terhadap M.
leprae di sisi yang lainnya. Kekebalan seluler (cell mediated imunity
= CMI) seseorang yang akan menentukan apakah dia akan menderita
kusta apabila individu tersebut mendapat infeksi M. leprae dan tipe
kusta yang akan dideritanya pada spektrum penyakit kusta.
Sistem klasifikasi ini banyak digunakan pada penelitian
penyakit kusta, karena bisa menjelaskan hubungan antara interaksi
kuman dengan respon imunologi seseorang, terutama respon imun
seluler spesifik. Kelima tipe kusta menurut Ridley - Jopling adalah
tipe Lepromatous (LL), tipe Borderline Lepromatous (BL), tipe Mid-

11
Borderline (BB), tipe Borderline Tuberculoid (BT), dan tipe
Tuberculoid (T).1,3

3. Klasfikasi menurut WHO


Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk
memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh
penderita kusta hanya dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Pausibasiler
(PB) dan tipe Multibasiler (MB). Sampai saat ini Departemen
Kesehatan Indonesia menerapkan klasifikasi menurut WHO sebagai
pedoman pengobatan penderita kusta. Dasar dari klasifikasi ini
berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologi.
Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe BL, LL dan BB
dengan indeks bakteri lebih dari 2+ sedangkan pausibasilar adalah
tipe I, TT, dan BT dengan IB kurang dari 2+.1,3

Tabel 1. Pedoman utama dalam menentukan klasifikasi / tipe penyakit kusta


menurut WHO (1995)
Tanda Utama Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)
Lesi kulit Jumlah 1 sampai 5 Jumlah >5
(makula datar, papul - Hipopigmentasi/eritem - Distribusi lebih
yang meninggi, - Distribusi tidak simetris simetris
nodus) - Hilangnya sensasi yang - Hilangnya
jelas sensasi kurang
jelas
Penebalan saraf tepi Hanya satu saraf Lebih dari satu
yang disertai dengan Saraf
gangguan fungsi
(gangguan fungsi
bisa berupa
kurang/mati rasa
atau kelemahan otot
yang dipersarafi oleh

12
saraf yang
bersangkutan
Pemeriksaan Tidak dijumpai Dijumpai basil
bakteriologi basil tahan asam tahan asam
(BTA negatif) (BTA positif)
Tabel 2. Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan
klasifikasi
menurut WHO (1982) pada penderita kusta
Kelainan kulit dan hasil Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)
pemeriksaan
Bercak (makula) mati rasa
Ukuran Kecil dan besar Kecil – kecil
Distribusi Unilateral atau bilateral Bilateral simetris
Asimetris
Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat
Batas Tegas Kurang tegas
Kehilangan rasa pada Selalu ada dan tegas Biasanya tidak jelas,
bercak jika ada, terjadi pada
yang sudah lanjut
Kehilangan kemampuan Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas,
berkeringat, rambut rontok jika ada, terjadi pada
pada bercak yang sudah lanjut
Infiltrat
Kulit Tidak ada Ada, kadang-kadang
tidak ada
Membran mukosa Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang
tidak ada
Ciri – ciri Central healing - Punched out lession
- Madarosis
- Ginekomasti
- Hidung pelana
- Suara sengau

13
Nodulus Tidak ada Kadang – kadang ada
Deformitas Terjadi dini Biasanya asimetris

2.6. Diagnosis
Sama seperti penegakan diagnosis penyakit lain dalam penegakan
diagnosis penyakit kusta diperlukan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis ditanyakan secara lengkap mengenai
riwayat lengkap penyakit. Mulai dari identitas, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat pengobatan,
riwayat kontak dengan pasien kusta dan riwayat sosial.5
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan secara generalis mulai dari
keadaan umum, tanda-tanda vital, dan pemeriksaan fisik head-to-toe.
Kemudian dilakukan pemeriksaan status dermatologis sekaligus charting lesi
dan pemeriksaan fungsi saraf tepi seperti nervus radialis, ulnaris, medianus,
peroneuscommunis, dan tibialis posterior. Pemeriksaan penunjang terutama
yang dilakukan adalah pemeriksaan bakteri tahan asam. Untuk menetapkan
diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau tanda kardinal
(Cardinal sign), yaitu : 3,5
a. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi yang dapat berbentuk bercak keputihan
(hypopigmentasi) atau kemerahan (erithematous) yang mati rasa
(anaesthesia).
b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan
kronis pada saraf tepi (neuritis perifer). Adapun gangguan-gangguan
fungsi saraf tepi berupa :
a) Gangguan fungsi sensoris: mati rasa.
b) Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (paresis) atau
kelumpuhan (paralisis).
c) Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak - retak.
c. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit
(slitskinsmear).

14
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila terdapat satu
dari tanda – tanda utama diatas. Pada beberapa pasien, lesi inisial dapat
timbul beberapa tahun sebelum lesi lain muncul atau bahkan sudah hilang
spontan beberapa bulan atau tahun sebelumnya. Secara klasik lesi inisial ini
dikenal sebagai Indeterminate leprosy, dengan gambaran makula
hipopigmentasi atau sedikit eritematosa dengan ukuran beberapa sentimeter,
biasanya hanya 1 buah. Umumnya terdapat diwajah, badan atau ekstensor
anggota gerak. Sensibilitas dapat normal atau sedikit terganggu., keringat
dan pertumbuhan rambut biasanya tidak terganggu. Basil sulit ditemukan
dan dibutuhkan pengamatan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis. Lesi
tersebut akan timbul lagi dikemudian hari sebagai lesi yang dapat
dikelompokkan ke dalam spektrum, lebih sering ke arah kutub
lepromatosa.1,3
Lesi kulit pada tipe mid-borderline leprosy (BB) berjumlah banyak,
namun tidak sebanyak tipe lepromatous leprosy (LL). Lesi – lesi tersebut
cenderung simetris. Lesi kulit berupa makula yang bervariasi dalam ukuran,
dapat berbatas tegas atau tidak. Tepi lesi dapat meninggi seperti tipe LL,
namun pada bagian tengah lesi dapat ditemukan ‘deeply punched-out area
or frank healing’ seperti pada tipe tuberculoid leprosy (TT). Lesi – lesi kulit
tersebut hipestesi. Lesi kulit pada lepra borderline tuberculoid leprosy (BT)
lebih sedikit, tidak terlalu halus dan mengkilat, batas lebih tegas. Sering
ditemukan lesi satelit. Pada tipe ini, lesi berjumlah banyak seperti pada tipe
LL. Lesi bervariasi dalam ukuran. Lesi lebih mengkilat dari pada tipe BT. 1,5
Gambaran khas lesi tipe BL berupa lesi anular dengan tepi dalamnya
lebih berbatas tegas daripada tepi luarnya. Bentuk plak dengan gambaran
punched out ditengah juga sering ditemukan. Distribusi lesi tidak terlalu
simetris. Biasanya tidak ditemukan adanya facies leonina, madarosis,
keratitis dan ulserasi nasal. Manifestasi gangguan syaraf dapat mendahului
munculnya lesi kulit beberapa bulan sampai beberapa tahun sebelumnya
pada tipe borderline. Lepra sering mengenai N. Tibialis posterior, diikuti N.
Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateral dan N. Facialis. Kerusakan N.

15
Facialis dapat mengakibatkan facial palsy, cabang temporal dan zigomatik
menyebabkan lagoftalmus, cabang bukal, mandibular dan servikal
menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir.
Kerusakan N. Medianus dan N. Ulnaris sering bilateral yang
merupakan tanda khas tipe BL, bila berat terdapat penurunan sensibilitas di
alat gerak (anastesia glove dan stocking). Pada tipe borderline, banyak
syaraf yang terlibat dalam pola yang asimetris. Kerusakan N. Medianus
mengakibatkan gangguan sensibilitas pada sisi lateral telapak tangan
umumnya pada jari I,II,III, dan jika disertai paralisis otot dapat terjadi claw
hand, tidak mampu aduksi ibu jari, atrofi kedua otot lumbrikalis lateral. 1,5
Anastesi pada jari IV dan V tangan yang dapat disertai claw ulnar
disebabkan adanya kerusakan pada N. Ulnaris. Kerusakan pada N. Tibialis
posterior mengakibatkan anestesia pada telapak kaki dan dapat terjadi
clawing of the toes. Pada N. Tibialis posterior terdapat anestesia telapak
kaki, claw toes, paralisis otot intrinsik kaki. N. Trigeminus terdapat anestesi
kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata. Gangguan sensibilitas tersebut
mengakibatkan terjadinya trauma berulang pada tangan dan kaki.1
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer
menagkibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata. Sekunder karena
rusaknya N. Facialis yang dapat membuat paralisis N. Orbikularis
palpebrarumsebagian atau seluruhnya yang mengakibatkan lagoftalmus.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit dapat mengakibatkan kulit
kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat
gangguan keseimbangan hormonal dan infiltrasi granuloma pada tubulus
seminiferus testis.1,2,3

Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta MB


Sifat Lepromatosa (LL) Borderline Mid borederline
Lepromatosa (BL) (BB)
Lesi
Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrat difus Plakat Dome-shaped

16
Papul Papul (kubah)
Nodus Punched-out
Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapat dihitung, kulit
tidak ada kulit sehat masih ada kulit sehat ada
sehat
Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak
berkilat
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
Anestesia Tidak ada sampai Tidak jelas Lebih jelas
tidak jelas
BTA
Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
Sekret Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif
hidung
Tes Negatif Negatif Biasanya negatif
lepromin

Tabel 4. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta PB


Sifat Tuberkuloid (TT) Borderline Indeterminate (I)
Tuberculoid (BT)
Lesi
Bentuk Makula saja; makula Makula dibatasi Hanya makula
dibatasi infiltrat infiltrat; infiltrat
saja
Jumlah Satu, dapat beberapa Beberapa atau satu Satu atau beberapa
dengan satelit
Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi
Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak
berkilat
Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau

17
dapat tidak jelas
Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai
tidak jelas
BTA
Lesi kulit Hampir selalu Negatif atau hanya Biasanya negatif
negatif 1+
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah
atau negatif

Tes diagnostik untuk membantu menegakkan diagnosis lepra antara


lain pemeriksaan bakterioskopis, histopatologis dan serologis. Jika
memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu
penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu.
a. Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit)
Pemeriksaan digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan pengamatan obat. Sediaan dibuat dari kerokan
jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan terhadapt basil tahan asam (BTA),
antara lain dengan ZIEHL-NEELSEN. Tentukan lesi di kulit yang
padat oleh kuman dan tentukan jumlah tempat yang akan diambil.
Jumlah lesi ditentukan yaitu untuk riset atau rutin, untuk riset dapat
diperiksa 10 tempat, dan untuk rutin minimal 4-6 tempat yaitu kedua
cuping teling bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif,
berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. 1
Cara pengambilan dengan skalpel steril, setelah didesinfeksi
kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi
iskemik sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit darah yang
mengganggu sediaan. Irisan dibuat sampai dermis melampaui
subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang mengandung
sel Virchow (sel lepra). Kerokan jaringan dioleskan di gelas alas,
difiksasi diatas api, kemudian diwarnai. 1,3

18
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows,
terbaik dilakukan pagi hari yang ditampung pada sehelai plastik.
Perhatikan sifat duh tubuh apakah cair, serosa, bening, mukoid,
mukopurulen, purulen, ada darah atau tidak. Dengan kapas lidi
bahan dioleskan merata pada gelas alas, fiksasi harus pada hari yang
sama dedangkan pewarnaan tidak perlu pada hari yang sama.
Sediaan ini jarang dilakukan karena :
 Kemungkinan adanya M.atipik
 M. leprae tidak pernah positif kalau pada kulit negatif
 Rasa nyeri saat pemeriksaan
 Bila diobati, hasil pemeriksaan mukosa hidung
negatif lebih dulu bila dibandingkan dengan kerokan
jaringan kulit
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB), menurut RIDLEY :
 0 bila tidak ada BTA dalam 100 LP
 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP
 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
 5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
 6+ bila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan
dengan jumlah solid dan nonsolid. Syarat perhitungan :
 Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
 IB 1+ tidak perlu dibuat IM nya karena untuk
mendapat 100 BTA harus mencari dalam 1000
sampai 10.000 lapangan
 Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM nya sebab dengan
IB 3+ maksimum harus dicari dalam 100 lapangan
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑
Rumus : 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑+𝑛𝑜𝑛𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑 𝑥 100 % = ⋯ %

19
b. Pemeriksaan histopatologik
Gambaran histopatologik tiper tuberkuloid adalah tuberkel
dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya
sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi
subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah
langsung dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik.
Didapati sel virchow dengan banyak kuman. Pada tipe borderline,
terdapat campuran. 1,4

Gambar 5. Gambaran histopatologik

c. Pemeriksaan serologik
Pemeriksaaan di dasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang
terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae yaitu antibodi
anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD
dan 35 kD. Sedangkan antibodi non spesifik antara lain antibodi
anti-lipoarabinomanan (LAM). Kegunaan pemeriksaan ini untuk
membantu diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan
bakteriologik tidak jelas. Selain itu juga untuk membantu
menentukan kusta subklinis karena tidak didapati lesi kulit misal
pada narakontak serumah. Macam – macam pemeriksaan serologis
untuk kusta adalah: 1,3
o Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
o Uji ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

20
o ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick)
o ML flow test (Mycobacterium leprae flow test)

2.7 Pengobatan
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pda saat ini adalah DDS
(diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin dan rifampisin. Untuk
mencegah resistensi, pengobatan tuberkulosis telah menggunakan multi
drug treatment (MDT). Saat ini berbagai macam dan cara MDT dan yang
dilaksanakan di Indonesia sesuai rekomendasi WHO, dengan obat alternatif
sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan. 1
MDT digunakan sebagai usaha untuk :
- Mencegah dan mengobati resistensi
- Memperpendek masa pengobatan
- Mempercepat pemutusan mata rantai penularan
Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain :
- Efek terapeutik obat
- Efek samping obat
- Ketersediaan obat
- Harga obat
- Kemungkinan penerapannya
MDT untuk multibasilar (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif)
adalah :
- Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan
- DDS 100 mg setiap hari
- Klofazimin 300 mg setiap bulan dalam pengawasan, diteruskan 50
mg sehari atau 100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap
minggu
- Kombinasi diberikan 24 dosis dalam 24 sampai 36 bulan dengan
syarat bakterioskopis harus negatif (2 sampai 3 tahun)
- Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan
dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan.
MDT untuk pausibasilar (I, TT, BT, dengan BTA negatif) adalah :

21
- Rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan pengawasan
- DDS 100 mg setiap hari
- Diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan
- Selama pengobatan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan
bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan, pemeriksaan
dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan
bakterioskopis.

Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan,


penderita kusta dibagi menjadi 3 grup yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal,
pausibasilar dengan lesi 2-5 buah dan penderita multibasilar dengan lesi
lebih dari 5 buah. Sebagai standar pengobatan, WHO Expert Committee
(1998) telah memperpendek masa pengobatan untuk kasus MB menjadi 12
dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan kasus PB denggan lesi kulit
2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi tunggal
pengobatan adalah rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg
dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.1
Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan
resisten pula dengan DDS sehingga hanya bida mendapat klofazimin.
Dalam hal ini rejimen pengobatan menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin
400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan, diteruskan

22
klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg
setiap hari selama 18 bulan.1
Penderita MB yang menolak klofazimin, dapat diberikan ofloksasin
400 mg/hari atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan. Alternatif lain
diberikan rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan
minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan selama 24 bulan.1,3
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat
MDT mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Cara
terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities
(POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian
pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali
gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai
pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. 1,6
Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk
sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah
terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau
panas, dan memakai kaca mata untuk melindungi matanya. Selain itu
diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari, dengan mulai memeriksa
ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam,
disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah. WHO Expert Committee
on Leprosy (1977) membuat klasifikasi cacat bagi penderita kusta.6

Tabel 5. Klasifikasi cacat


Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau
deformitas yang terlihat
Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas
yang terlihat
Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0 Tidak ada kelainan/kerusakan pada mata (termasuk visus)
Tingkat 1 Ada kelainan/kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus

23
sedikit berkurang
Tingkat 2 Ada kelainan mata yang terlihat dan atau visus sangat
terganggu

DAFTAR PUSTAKA

1. Kosasih A, Wisnu IM. Kusta. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,


editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2016.h.87-102.
2. Gunawan D. Kasus kusta multibasiler tipe borderline lepromatous pada
geriatri [internet]. Manado; 2011 [cited 13 Januari 208]. Available
from:
http://www.perdoski.or.id/doc/mdvi/fulltext/23/141/15._Laporan_Ka
sus_5.pdf
3. Lee, Delphine J., Rea, Thomas H. dan Modlin, Robert L. Leprosy.
Fitzpatrick's Dermatology in ClinicalMedicine 8th Edition. New York
: McGraw Hill, 2012, hal. 2253-2262.
4. Mescher, AL. Histologi Dasar Junqueira, Teks dan Atlas, edisi 12.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,2011
5. Lockwood DNJ. Leprosy. Dalam: Burns T, Breathnach S,Cox N, et al.
Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke-8. Singapore: Blackwell
Publishing; 2010. h. 32.1-32.20.
6. Tiarasari R. Rehabilitation and Disability Limitation of Youth 22 Years
OldMorbus Hansen. J Medula Unila, 2014hal: 96-107.

24
25

Anda mungkin juga menyukai