C08rza PDF
C08rza PDF
RIJAN ZAKARIA
RINGKASAN
RIJAN ZAKARIA. C34104021. Kemunduran Mutu Ikan Gurami (Osphronemus
gouramy) Pasca Panen pada Penyimpanan Suhu Chilling. Dibimbing oleh
NURJANAH dan TATI NURHAYATI
Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang tinggi dan dapat
dicerna dengan mudah oleh manusia. Pada umumnya ikan mempunyai
kandungan kolesterol rendah dan asam lemak berantai ganda dengan jumlah yang
besar. Komposisi kimia ikan tergantung dari spesies ikan, umur, habitat, dan
pakan. Salah satu contoh spesies ikan yang memiliki kandungan protein yang
tinggi, yaitu ikan gurami.
Ikan gurami memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan banyak dikonsumsi
oleh masyarakat sebab ikan ini memiliki rasa daging yang enak, mempunyai
kandungan gizi tinggi yang bermanfaat untuk pertumbuhan maupun pembentukan
energi. Biasanya ikan gurami banyak dijual di pasaran dalam keadaan segar baik
dalam kondisi masih hidup ataupun yang sudah mati. Kesegaran ikan gurami
dapat dipertahankan dengan penyimpanan suhu chilling.
Penelitian ini dibagi menjadi 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui
karakteristik dan fase post mortem ikan gurami dengan berbagai umur panen,
yakni umur 2,5 tahun (A); 1,5 tahun (B); dan umur 8 bulan (C) sebagai patokan
untuk uji objektif. Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui tingkat
kesegaran ikan gurami menggunakan uji subjektif (organoleptik) dan objektif
(TVB, TPC, pH, assay aktivitas enzim katepsin dan konsentrasi protein katepsin).
Uji organoleptik dilakukan pada 14 titik dengan selang pengamatan setiap 6 jam
sekali. Uji TVB, TPC, pH, assay aktivitas enzim katepsin dan konsentrasi protein
katepsin dilakukan pada fase pre-rigor, rigor, post rigor dan deteriorasi.
Ikan gurami A, B, dan C memiliki berat total dan panjang total secara
berturut-turut, yakni: 995,45 g ± 1,85 g , 36-38 cm, 697,65 g ± 1,24, 32-34 cm;
345,55 g ± 1,42, 27-29 cm. Rendemen gurami adalah kepala 45-52 %; tulang
30-38 %; jeroan 6-8 %; insang 1-2 %; sirip 3-5 % dan sisik 4 %. Komposisi kimia
ikan gurami adalah kadar air 72,96-75,48 %; abu 0,95-1,03 %; lemak 2,20-2,79 %
dan protein 18,71-20,67 %.
Ikan gurami A mencapai fase pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan
deteriorasi secara berturut-turut adalah pada jam ke-0, 36, 228, dan 324. Ikan
gurami B pada jam ke 0, 30, 198 dan 268 sedangkan ikan C, yakni jam ke 0, 24,
180, dan 234. Ikan gurami A mengalami kemunduran mutu lebih lambat
dibandingkan dengan ikan gurami B dan C. Nilai organoleptik ikan gurami
selama penyimpanan berselang antara 2-9. Ikan gurami memiliki nilai log TPC
antara 3,079-9,176 CFU/ml, pH antara 5,92-6,87, TVB antara 7,28-32,42 mg
N/100 g, aktivitas enzim katepsin antara 0,233-1,733 U/ml dan konsentrasi
protein enzim katepsin antara 0,457-0,253 mg/ml. Hasil ANOVA α=0,05
menunjukkan perbedaan umur panen dari ketiga ikan gurami memberikan
pengaruh yang nyata terhadap laju kemunduran mutu ikan terkait pada uji objektif
yang meliputi uji TPC, pH, TVB, dan aktivitas spesifik enzim katepsin.
Oleh:
RIJAN ZAKARIA
C34104033
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Diketahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Tanggal lulus :
Rijan Zakaria
C34104021
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini
dengan judul ”Kemunduran Mutu Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) Pasca
Panen pada Penyimpanan Suhu Chilling”. Adapun tujuan dari penyusunan skripsi
ini adalah sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini,
terutama kepada:
1. Ayah dan ibu tercinta atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan,
baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada
penulis.
2. Ibu Ir. Nurjanah M.S dan Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si selaku komisi
pembimbing, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada
penulis.
3. Bapak Ir. Dadi R Sukarsa dan Ibu Ir. Wini Trilaksani M.Si selaku dewan
penguji atas segala masukan dan kritikan yang membangun demi
penyempurnaan penulisan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim M.Si selaku pembimbing akademik atas
bimbingan dan dorongan semangatnya kepada penulis.
5. Bapak Ir Agoes M Jacoeb selaku komisi pendidikan THP atas kesabaran,
saran, dukungan yang telah diberikan pada penulis
6. Keluarga kakakku tercinta Yudi Astuti, Budi Netti, Saefudin Nurmiati, Adi
Nurhidayah dan adikku Ajad atas kasih sayang yang diberikan, baik moril
maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis.
6. Ibu Ema (Laboran THP), Ibu Ika dan Ibu Dewi (PAU) serta Pak Wahyu
(FKH) yang telah memberikan banyak sekali pembelajaran kepada penulis.
7. Seluruh staf dosen dan TU THP (Pak Jamhuri, Pak Tatang, Pak Ade, Mba
Heni, Mas Mail, Bu Yati, Mas Zaki, Mas Ipul, dan Umi mamah), terima kasih
atas dukungan dan bantuannya selama ini kepada penulis
8. Keluarga besar Wiliyanto dan Keluarga besar Malik di Pulau Panggung Enim.
”Doa dan dukungannya selama ini sangat berarti buatku, terima kasih
banyak”.
9. Sahabat sekaligus saudara terbaik saya Nurman Hidayat dan keluarga besar
Bapak Rachmat Lubis atas doa, semangat, dukungan nya selama ini.
10. Teman-teman satu bimbingan: Theta, Kudil, Opick, Wahyu, Erlangga Terima
kasih atas kebersamaan dan bantuannya kepada penulis selama melaksanakan
penelitian.
11. Teman-teman satu kost-an (Yudha, Gilang, Derry, Opik, Bozonk, Wawan)
”Terima kasih sudah bisa menjadi sahabat-sahabat terbaik buat penulis”.
12. Sahabat-sahabatku: Pu-Rie, Theta, Alim, Anez, Bang Yayan, Ijal, Afey, Galih,
Dede, Al-Saloon Crew, An-Nur Crew, anak-anak lab Om Benk dan anak-anak
THP 41. Terima kasih atas kebersamaan, bantuan, semangat dan doa nya.
13. Kakak-kakak kelasku (THP 40 dan THP 39) dan adik-adik kelasku (THP 42
dan THP 43) atas semangat dan dorongan kepada penulis untuk segera
menyelesaikan seminar dan sidang.
14. Ayunda “ Panda Hilton” atas motivasi, doa, senyuman dan canda tawa yang
telah diberikan kepada penulis
15. Kak Deden, Kak Aris Tenjo, Kak Merry Apriyanti, Kak Dian Purbasari, Nina,
Irfan, Rustam, Uu’, Idmar dan Idris atas segala bantuan dan semangat nya
16. Kak Dzulkifli Atas semua bantuan baik materil dan moril, waktu, kesabaran,
semangat dan doa nya
17. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan
skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat membangun dari semua pihak demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, 28 juli 2008
Rijan zakaria
C34104021
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xi
1. PENDAHULUAN................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Tujuan ............................................................................................ 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 4
2.1 Deskripsi Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) .......................... 4
2.2 Mutu Ikan ....................................................................................... 5
2.3 Proses Kemunduran Mutu .............................................................. 8
2.3.1 Perubahan pre-rigor mortis .................................................. 9
2.3.2 Perubahan rigor mortis ......................................................... 9
2.3.3 Perubahan karena aktivitas enzim ........................................ 10
2.3.4 Perubahan karena aktivitas bakteri...................................... . 11
2.3.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan... 13
2.4 Metode Pengukuran Kesegaran Ikan ............................................. 14
2.5. Proses Pendinginan ........................................................................ 16
2.6. Enzim Katepsin .............................................................................. 19
2.7. Peranan Enzim Katepsin dalam Kemunduran Mutu Ikan .............. 20
3. METODOLOGI .................................................................................. 22
3.1 Waktu dan Tempat ........................................................................ 22
3.2 Alat dan Bahan ............................................................................. 22
3.3 Metode Penelitian .......................................................................... 22
3.3.1 Penelitian pendahuluan ...................................................... 23
3.3.2 Penelitian utama ................................................................. 24
3.4 Pengamatan .................................................................................. 25
3.4.1. Rendemen ........................................................................ 25
3.4.2 Uji organoleptik (SNI 01-2346-2006) .............................. 25
3.4.3 Total plate count (TPC) (Fardiaz 1987) ........................... 25
3.4.4 Analisis Proksimat ........................................................... 26
(a). Kadar air (AOAC 1995) ........................................... 26
(b). Kadar abu (AOAC 1995) .......................................... 26
(c). Kadar protein (AOAC 1995) .................................... 27
(d). Kadar lemak (AOAC 1995) ...................................... 27
DAFTAR TABEL
No Teks Halaman
1. Ciri-ciri ikan segar dan tidak segar ...................................................... 7
2. Spesifikasi persyaratan mutu ikan basah.............................................. 8
3. Pengelompokkan mikroorganisme berdasarkan suhu
pertumbuhannya ................................................................................... 11
4. Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri dan mutu ikan ...................... 17
5. Potensi lamanya penyimpanan ikan dengan es .................................... 18
6. Enzim proteolitik yang berhubungan dengan lisosom otot ikan .......... 19
7. Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml................ 31
8. Fase post mortem ikan gurami (Osphronemus gouramy) A pada
penyimpanan suhu chilling ................................................................. 36
9. Fase post mortem ikan gurami (Osphronemus gouramy) B pada
penyimpanan suhu chilling .................................................................. 37
10. Fase post mortem ikan gurami (Osphronemus gouramy) C pada
penyimpanan suhu chilling .................................................................. 38
11. Hasil analisis proksimat ikan gurami (Osphronemus gouramy)
dengan berbagai umur panen ............................................................... 42
12. Nilai pH terendah berbagai jenis ikan pada fase post mortem ............. 52
13. Aktivitas katepsin, konsentrasi protein katepsin,
dan aktivitas spesifik katepsin ikan gurami pada berbagai umur panen
selama penyimpanan suhu chilling........................................................ 54
DAFTAR GAMBAR
No Teks Halaman
1. Ikan gurami (Osphronemus gouramy) ................................................. 4
2. Akibat dari terhentinya sirkulasi darah dalam jaringan otot
(Lawrie 1985) ........................................................................................ 12
3. Kerangka penelitian pendahuluan ......................................................... 23
4. Kerangka penelitian utama .................................................................... 24
5. Persentase rendemen ikan gurami A ..................................................... 34
6. Persentase rendemen ikan gurami B ..................................................... 34
7. Persentase rendemen ikan gurami C ..................................................... 34
8. Kadar air ikan gurami dengan berbagai umur panen ............................ 41
9. Kadar abu ikan gurami dengan berbagai umur panen ........................... 42
10. Kadar protein ikan gurami dengan berbagai umur panen ..................... 43
11. Kadar lemak ikan gurami dengan berbagai umur panen ....................... 44
12. Rata-rata nilai organoleptik dari ikan gurami dengan
berbagai umur panen pada penyimpanan suhu chilling ...................... 45
13. Nilai log TPC dari ikan gurami dengan berbagai umur
panen pada penyimpanan suhu chilling. ............................................... 47
14. Nilai log pH dari ikan gurami dengan berbagai umur
panen pada penyimpanan suhu chilling. ............................................... 49
15. Proses glikolisis pada daging ikan (Eskin 1990).................................... 50
16. Nilai log TVB dari ikan gurami dengan berbagai umur
panen pada penyimpanan suhu chilling. ............................................... 52
17. Aktivitas spesifik enzim katepsin ikan gurami pada berbagai umur
panen selama penyimpanan suhu chilling............................................... 56
18. Hubungan antar parameter kesegaran ikan gurami A............................. 58
19. Hubungan antar parameter kesegaran ikan gurami B............................. 58
20. Hubungan antar parameter kesegaran ikan gurami C............................. 59
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. PENDAHULUAN
berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri maupun eksternal yang berkaitan dengan
lingkungan dan perlakuan manusia. Faktor luar yang paling berpengaruh terhadap
kemunduran mutu ikan adalah penggunaan alat tangkap dan penanganan pasca-
panen yang dilakukan oleh para nelayan. Alat tangkap yang baik adalah yang
dapat menekan tingkat stres pada ikan dan mengurangi gerakan ikan (meronta-
ronta) sebelum mati. Penanganan yang baik adalah menggunakan sistem rantai
dingin serta mengutamakan sanitasi dan higiene untuk mempertahankan mutu
mengingat perairan Indonesia merupakan perairan tropis sebagai tempat yang baik
untuk pertumbuhan mikroba pembusuk. Jika tidak mendapatkan penanganan yang
baik maka akan mengalami kemunduran mutu dengan cepat. Mutu ikan dapat
terus dipertahankan jika ikan tersebut ditangani dengan hati-hati, cepat, bersih,
dan disimpan dalam ruangan dengan suhu yang dingin (C3Q: cool, clean, carefull
n quick).
Salah satu faktor internal yang sangat penting dan erat hubungannya dengan
mutu ikan adalah tingkat kesegaran ikan tersebut. Ikan dalam keadaan masih
segar memiliki mutu yang baik sehingga nilai jualnya tinggi, sebaliknya jika ikan
kurang segar memilki mutu yang rendah sehingga harganya rendah (Murniyati
dan Sunarman 2000). Kesegaran ikan tidak dapat ditingkatkan melainkan
dipertahankan. Agar tingkat kesegaran ikan dapat dipertahankan maka diperlukan
teknik-teknik penanganan yang tepat.
Salah satu teknik penanganan ikan yang paling umum dilakukan untuk
menjaga kesegaran ikan adalah penggunaan suhu rendah atau disebut juga teknik
pendinginan ikan. Teknik pendinginan ini biasanya diterapkan pada tahap pasca
panen setelah penangkapan, pengolahan, distribusi, dan konsumsi. Adapun
keuntungan penerapan suhu rendah pada ikan dapat memperpanjang daya awetnya
mencapai satu sampai empat minggu, serta mempertahankan tingkat kesegaran
ikan dan nilai gizinya. Selain itu, pada kondisi suhu rendah pertumbuhan bakteri
pembusuk dan proses-proses biokimia yang berlangsung dalam tubuh ikan yang
mengarah pada kemunduran mutu menjadi lebih lambat (FAO 1995). Oleh karena
itulah penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proses kemunduran mutu ikan
gurami selama penyimpanan suhu chilling agar dapat dijadikan acuan data oleh
masyarakat luas.
1.2 Tujuan
Penelitian ini memiliki tujuan umum yaitu untuk mengetahui pola
kemunduran mutu ikan gurami dan memiliki tujuan khusus sebagai berikut:
(1). mengetahui tingkat kesegaran ikan gurami pada penyimpanan suhu
chilling secara subjektif dan objektif (TVB, TPC, dan pH) pada beberapa
umur panen;
(2). mengetahui komposisi kimia (proksimat), karakteristik, dan rendemen
ikan gurami pada beberapa umur panen;
(3). mengetahui aktivitas katepsin dan konsentrasi protein enzim katepsin dari
ikan gurami pada beberapa umur panen.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Osteichtyes
Ordo : Teleostei
Subordo : Labyrinthici
Famili : Anabantidae
Genus : Osphronemus
Spesies : Osphronemus gouramy, Lac. ( Gambar 1)
Secara morfologi, ikan ini memiliki bentuk badan agak panjang, pipih dan
tertutup sisik yang berukuran besar serta terlihat kasar dan kuat, terdapat garis
lateral tunggal, lengkap dan tidak terputus, bersisik stenoid serta memiliki gigi
pada rahang bawah. Sirip ekor membulat. Jari-jari lemah pertama sirip perut
merupakan benang panjang yang berfungsi sebagai alat peraba. Tinggi badan
2,0-2,1 kali dari panjang standar. Pada ikan muda terdapat garis-garis tegak
berwarna hitam berjumlah 8 sampai dengan 10 buah dan pada daerah pangkal
ekor terdapat titik hitam bulat. Bagian kepala gurami muda berbentuk lancip dan
akan menjadi tumpul bila sudah besar. Mulutnya kecil dengan bibir bawah sedikit
menonjol dibandingkan bibir atas dan dapat disembulkan. (Jangkaru 1998).
Ikan gurami mempunyai alat pernafasan tambahan berupa labirin yang
berbentuk selaput, berkelok-kelok dan merupakan penonjolan tepi atas insang
pertama (Sitanggang 1992). Pada selaput ini terdapat pembuluh darah kapiler
sehingga memungkinkan gurami untuk mengambil oksigen langsung dari udara
dalam pernafasan nya. Adanya alat ini memungkinkan gurami untuk dapat hidup
dengan baik pada air yang tenang dan kurang oksigen
(Puspowardoyo dan Djarijah 1992).
Di alam aslinya ikan gurami termasuk ikan yang mendiami daerah
perairan yang tenang dan tergenang, seperti rawa, waduk, situ dan danau
(Susanto 1987). Temperatur yang ideal untuk pertumbuhan ikan gurami adalah
24-28 0C, pH 7-8 (Puspowardoyo dan Djarijah 1992).
Ikan gurami adalah salah satu komoditas yang banyak dikembangkan oleh
para petani hal ini disebabkan oleh permintaan pasar cukup tinggi, pemeliharaan
mudah serta harga yang relatif stabil (Sitanggang 1992).
(c). mata berwarna cerah dan bersih, menonjol penuh serta transparan;
(d). insang berwarna merah cerah;
(e). kulit mengkilat dan berwarna cerah.
Untuk mempertahankan mutu ikan segar, bahan baku harus secepatnya
diolah. Apabila terpaksa harus menunggu proses lebih lanjut maka ikan harus
disimpan dengan es atau air dingin (0 oC sampai dengan 5 oC), saniter dan
higienis (SNI 01-2729.1-2006)
Tingkat kesegaran ikan memberikan kontribusi utama terhadap mutu produk
hasil perikanan. Untuk semua produk, kesegaran ikan sangat penting bagi mutu
dari produk akhir yang dihasilkan. Secara umum ada 2 metode utama yang biasa
digunakan untuk menilai tingkat kesegaran dan mutu ikan, yaitu metode sensori
(subjektif) dan non-sensori (objektif) (Robb 2002).
Mutu mengandung arti nilai-nilai tertentu yang diinginkan pada suatu
materi, produk atau jasa, seperti hasil pertanian pada umumnya. Hasil perikanan
memiliki paling kurang beberapa aspek mutu antara lain aspek bio-teknis, aspek
sanitasi dan higiene, aspek industrial, dan lain-lain. Mutu ikan merupakan nilai-
nilai tertentu yang diinginkan dari ikan (Ilyas 1983). Hal-hal lain yang
membentuk mutu komoditas meliputi unsur-unsur mutu yang terlihat dan
tersembunyi serta dapat diukur dan yang tidak dapat diukur (Soekarto 1990).
Unsur mutu terdiri dari 3 kategori (Soekarto 1990), yaitu:
(a) sifat mutu, yaitu sifat yang dapat langsung diukur secara obyektif atau
subyektif ;
(b) parameter mutu, yaitu besaran yang mencirikan sifat mutu produk;
(c) faktor mutu, yaitu hal-hal yang tidak dapat diukur atau diamati secara
langsung namun mempengaruhi mutu, seperti varietas, faktor genetik, dan
asal daerah. Perbedaan ciri-ciri ikan segar dan tidak segar dapat dilihat pada
Tabel 1.
Keadaan Perut tidak pecah masih utuh Perut sobek, warna sayatan
perut dan sayatan dan warna sayatan daging daging kurang cemerlang dan
daging cemerlang jika ikan dibelah terdapat warna merah sepanjang
daging melekat kuat pada tulang belakang serta jika dibelah
tulang terutama rusuknya. daging mudah lepas.
Bau Spesifik menurut jenisnya, dan Bau menusuk seperti asam asetat
segar seperti bau rumput laut, dan lama kelamaan berubah
pupil mata kelabu tertutup menjadi bau busuk yang
lendir seperti putih susu, bola menusuk hidung.
mata cekung dan keruh
jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging
ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat,
asam fosfat, TMAO, dan basa-basa menguap. Setelah fase rigor mortis berakhir
dan pembusukan bakteri berlangsung maka pH daging ikan naik mendekati netral
hingga 7,5-8,0 atau lebih tinggi jika pembusukan telah sangat parah. Tingkat
keparahan pembusukan disebabkan oleh kadar senyawa-senyawa yang bersifat
basa. Pada kondisi ini, pH ikan naik dengan perlahan-lahan dan dengan semakin
banyak senyawa basa purin dan pirimidin yang terbentuk akan semakin
mempercepat kenaikan pH ikan (Junianto 2003).
Psikorofil -15 10 20
Psikrotrof -5 25 35
Mesofil -5-0 30-37 45
Thermofil 40 45-55 60-80
Thermotrof 15 42-46 50
Sumber : Lan et al. (2007)
Sirkulasi darah
Ikan mati
terhenti
Potensial redoks
Penurunan suhu menurun
Glikolisis terjadi
Respirasi terhenti (glikogen --- as.
Pemadatan (glikogen --- CO2)
lemak laktat)
Pemunculan
rigor mortis Denaturasi Pembebasan
protein dan
pengaktifan
katepsin
Protein
melepaskan Ca2+
dan mengikat K+
Oksidasi Akumulasi
lemak dan metabolit, Perubahan Penguraian Pertumbuh
ketengikan pemicu flavor, warna protein an bakteri
dll
dalam menangani ikan adalah bekerja cepat, cermat, bersih dan pada suhu
rendah.
(c) Musim. Daya simpan ikan pada musim panas yang hangat sering lebih
pendek. Daya awet ikan berfluktuasi secara musiman menurut suhu.
(d) Wilayah penangkapan. Perbedaan dalam wilayah penangkapan dapat juga
berpengaruh terhadap daya awet.
(e) Suhu air saat ikan ditangkap. Air yang bersuhu tinggi apalagi ikan agak
lama tinggal dalam air sebelum diangkat dapat mempercepat proses
penurunan mutunya.
I + Hx
K= X 100%
ATP + ADP + IMP + I + Hx
Keterangan : ATP = Adenosine Triphosphate
ADP = Adenosine Diphosphate
IMP = Inosine Monophosphate
I = Inosine
Hx = Hipoxantine
Setelah ikan mati (keadaan relaksasi), fosfat berenergi tinggi (ATP)
diperoleh dari penguraian kreatin fosfat. Kreatin fosfat menyumbang group
fosfatnya kepada ADP untuk memproduksi ATP (Eskin 1990).
Kreatinfosfotransferase
ADP + Kreatin Fosfat ATP + Kreatin
Ketika kandungan kreatin fosfat dan ATP mencapai titik yang sama,
adenosine triphosphate (ATP) mulai mengalami penguraian (hidrolisis) menjadi
ADP dan menghasilkan energi. Hidrolisis ATP menjadi ADP dengan bantuan
enzim ATPase terjadi berdasarkan reaksi sebagai berikut (Eskin 1990):
ATPase
ATP + H2O ADP + H3PO4
Degradasi ATP yang terjadi setelah ikan mati dipengaruhi oleh aktivitas
enzim. Degradasi ATP merupakan reaksi autolisis yang disebabkan oleh enzim
yang ada secara alami pada daging ikan. Pada ikan mati, ATP akan cepat berubah
menjadi AMP oleh enzim miokinase. Perubahan AMP menjadi IMP dipengaruhi
oleh enzim deaminase dan IMP menjadi inosine dipengaruhi oleh enzim fosfatase
(Eskin 1990). Defosforilasi dari IMP menjadi inosin relatif lambat, tetapi inosin
sangat cepat berubah menjadi hipoksantin. Pada tahap awal, hipoksantin terbentuk
secara autolisis, namun pada tahap kemunduran mutu ikan selanjutnya aktivitas
bakteri juga berperan dalam menambah jumlah hipoksantin (Hanna 1992).
tujuan utama untuk menghambat proses kemunduran mutu ikan yang disebabkan
oleh aktivitas mikroorganisme dan proses kimia maupun fisis sehingga ikan tetap
dalam kondisi segar sampai jangka waktu yang cukup lama (Gelman et al. 2004).
Perkembangbiakan bakteri pada ikan sangat dipengaruhi oleh suhu. Semakin
rendah suhu yang digunakan, pertumbuhan bakteri semakin dihambat. Bakteri
dapat tumbuh dalam deret suhu yang besar, yaitu dari 0-45 oC. Proses
pendinginan yang diberikan pada saat proses pembusukan sudah mulai kurang
efektif dalam hubungannya dengan pencegahan pertumbuhan mikroorganisme dan
akan memberikan hasil yang kurang memuaskan (Ilyas 1983). Hubungan antara
suhu, kegiatan bakteri dan mutu ikan dapat dilihat pada Tabel 4.
dan proses kemunduran mutu dapat dihambat. Ikan yang disimpan harus dalam
keadaan bersih, terseleksi sehingga mutu awal tinggi. Sistem rantai dingin harus
diterapkan untuk mempertahankan ikan dalam kondisi dingin sampai ikan siap
untuk diolah (Gelman et al. 2004).
Cara termudah, praktis, dan tidak membutuhkan biaya besar adalah
menggunakan es. Es yang digunakan untuk mendinginkan ikan harus terbuat dari
air yang bersih dan disimpan di tempat yang bersih pula. Es untuk mendinginkan
harus berupa hancuran es untuk menghindari luka-luka atau memar pada ikan.
Selain itu dengan menggunakan hancuran es maka kontak langsung antara es
dengan ikan menjadi lebih baik dan proses terjadinya penurunan suhu pun
menjadi lebih cepat (Ilyas 1983). Lamanya penyimpanan ikan dengan es
dijabarkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Potensi lamanya penyimpanan ikan dengan es
Jenis Ikan Masa simpan (hari)
Tilapia 22-28
Mas 35
Catfish 12-16
Kakap merah 20
Mackarel 7-9
Herring 2-5
Cod 12-15
Sumber: Konagoya (1990).
3. METODOLOGI
Pemberokan (1 hari)
Pencucian
Penimbangan
Pemberokan (1 hari)
Pencucian
Pengamatan
3.4.1 Rendemen
Metode yang digunakan untuk perhitungan rendemen ini berdasarkan
SNI-19-1705-1992. Rendemen dihitung sebagai persentase bobot bagian tubuh
ikan dari bobot ikan awal. Adapun perumusan matematik adalah sebagai berkut :
Rendemen (%) = Bobot contoh (g) x 100 %
Bobot total (g)
3.4.3 Uji mikrobilogis atau Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1984)
Prinsip kerja dari uji mikrobiologis ini adalah penghitungan jumlah koloni
bakteri yang ada dalam sampel (daging ikan gurami) dengan pengenceran sesuai
keperluan dan dilakukan secara duplo. Pembuatan larutan contoh dilakukan
dengan mencampurkan 10 gram sampel dan larutan garam fisiologis sebanyak
90 ml sampai homogen.
Pengenceran dilakukan dengan cara mengambil 1 ml larutan contoh
menggunakan pipet steril dimasukkan ke dalam 9 ml larutan garam fisiologis dan
diaduk sampai homogen sehingga terbentuk seri pengenceran 10-1. Pengenceran
dilakukan disesuaikan dengan keperluan, biasanya sampai 10-6. Pemipetan
dilakukan pada tiap tabung pengenceran sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam
cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet steril.
Media agar dimasukkan ke dalam cawan petri dan digoyangkan supaya
merata (metode cawan tuang), didiamkan sampai media agar dingin dan padat.
Cawan petri yang berisi agar kemudian dimasukkan ke dalam inkubator dengan
posisi terbalik pada suhu 35 0C dan diinkubasi selama 2X24 jam. Dihitung
jumlah koloni bakteri yang ada dalam cawan petri. Jumlah koloni yang dapat
dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300.
asam borat. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer yang
berisi asam borat mencapai 200 ml.
(3). Tahap titrasi
Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan
pada erlenmeyer berubah warna menjadi pink.
Perhitungan kadar protein pada daging ikan gurami :
% Nitrogen = (ml HCl daging ikan – ml HCl blanko)x 0,1 N HCl x 14 x 100 %
mg daging ikan gurami
% Kadar Protein = % Nitrogen x faktor konversi
n X = Nilai rata-rata
∑ Xi
X= i =1 N = Jumlah data
n
Xi = Nilai X ke-i
insang
Jeroan
1% sirip
8%
5%
sisik
4%
daging
52%
tulang
30%
tulang
34%
Jeroan insang
6% 2% sirip
5% sisik
daging 4%
45%
tulang
38%
tinggi dan tulang paling rendah, sedangkan ikan gurami C, persentase tulangnya
lebih besar dibandingkan dengan persentase daging. Hal ini dikarenakan pada
ikan gurami C masih dalam fase pertumbuhan sehingga perkembangan tulang
masih dominan. Begitu juga sebaliknya terhadap ikan gurami A yang rendemen
dagingnya paling tinggi dikarenakan ikan gurami pada umur 2,5 tahun mengalami
perkembangan jaringan tulang yang cenderung lambat sehingga nutrisi yang
masuk ke dalam tubuh lebih banyak digunakan untuk pembentukan struktur
daging. Pada masa pertumbuhan ikan muda, asupan nutrisi digunakan untuk
pembentukan jaringan kerangka tubuh, selanjutnya nutrisi yang dimakan akan
beralih fungsi untuk pembentukan jaringan otot ketika ikan telah memasuki usia
dewasa (Jangkaru 1998)
Untuk rendemen bagian tubuh yang lain diantaranya jeroan, insang, sirip,
dan sisik tidak memiliki perbedaan yang cukup besar diantara ketiga jenis ikan
tersebut. Adapun persentase rendemen bagian tubuh ikan dari ketiga jenis
tersebut, yaitu untuk jeroan berkisar antara 6-8 %, untuk insang 1-2 %, untuk sirip
3-5 %, dan sisik sekitar 4 %.
Ikan gurami memiliki bagian yang belum dimanfaatkan yang cukup besar,
yaitu berkisar antara 48-55 % terdiri dari tulang, jeroan, insang, sirip dan sisik.
Tulang dan sirip merupakan sumber mineral yang memiliki potensi komersial bila
dimanfaatkan misalnya sebagai sumber gelatin. Sisik ikan dapat dijadikan
asesoris. Jeroan ikan dapat dijadikan pakan ternak. Pemanfaatan hasil perikanan
seperti ikan gurami diharapkan tidak hanya pada bagian yang dapat dimakan saja
(edible portion) tetapi bagian-bagian selain daging juga dapat dimanfaatkan
sebagai sumber bahan baku kimia, industri farmasi dan lain-lain sehingga tidak
ada bagian ikan yang terbuang (zero waste).
Insang Merah cemerlang, Warna merah kurang Merah agak Warna merah
tanpa lendir cemerlang, ada kusam, sedikit coklat ada sedikit
sedikit lendir. lendir putih, lendir tebal
Bau Bau sangat segar Segar spesifik jenis Bau agak segar, Bau deteriorasi
spesifik jenis spesifik jenis jelas
Tekstur Padat,elastis bila Padat, elastis bila Agak lunak, Sangat lunak,
ditekan dengan jari, ditekan dengan jari, kurang elastis bila bekas jari tidak
sulit menyobek sulit menyobek ditekan dengan hilang bila
daging dari tulang daging dari tulang jari, agak mudah ditekan, mudah
belakang. Ikan belakang. menyobek daging sekali menyobek
dalam keadaan dari tulang daging dari tulang
lemas belakang, belakang
Bau Bau sangat segar Segar spesifik Bau agak segar, Bau deteriorasi
spesifik jenis jenis spesifik jenis jelas
Tekstur Padat,elastis bila Padat, elastis bila Agak lunak, Sangat lunak,
ditekan dengan ditekan dengan kurang elastis bekas jari tidak
jari, sulit jari, sulit bila ditekan hilang bila
menyobek menyobek dengan jari, agak ditekan, mudah
daging dari daging dari mudah sekali menyobek
tulang belakang. tulang belakang. menyobek daging dari
Ikan dalam Kondisi ikan daging dari tulang belakang
keadaan lemas kaku, ekor tulang belakang,
mengejang dan kondisi lemas.
sulit
dibengkokkan
Tabel 9 menguraikan titik-titik waktu fase post mortem ikan gurami pada
penyimpanan suhu chilling dengan umur panen 1,5 tahun (B). Kondisi pre rigor
ikan gurami B terjadi pada 0 jam penyimpanan, fase rigor mortis pada ikan ikan
gurami B pada jam ke-30, sedangkan fase post rigor ikan gurami B pada jam ke-
198. Fase deteriorasi ikan gurami B terjadi pada jam ke-264. Fase post mortem
ikan gurami C pada penyimpanan suhu chilling dapat dilihat pada Tabel 10.
Bau Bau sangat segar Segar spesifik Bau agak segar, Bau deteriorasi
spesifik jenis jenis spesifik jenis jelas
Tekstur Padat,elastis bila Padat, elastis bila Agak lunak, Sangat lunak,
ditekan dengan ditekan dengan kurang elastis bekas jari tidak
jari, sulit jari, sulit bila ditekan hilang bila
menyobek menyobek dengan ditekan, mudah
daging dari daging dari jari,mudah sekali menyobek
tulang belakang. tulang belakang. menyobek daging dari
Ikan dalam Kondisi ikan daging dari tulang belakang
keadaan lemas kaku, ekor tulang belakang,
mengejang kondisi lemas.
Tabel 11. Hasil analisis proksimat ikan gurami pada berbagai umur panen
50
40
30
20
10
0
ikan A ikan B ikan C
Umur ikan
Gambar 8. Kadar air daging ikan gurami segar pada berbagai umur panen
1,2
1,03
1 0,95
0,9
Kadar abu (%)
0,8
0,6
0,4
0,2
0
ikan A ikan B ikan C
Umur ikan
Gambar 9. Kadar abu daging ikan gurami pada berbagai umur panen
tubuh untuk pertumbuhan. Kadar protein yang terukur berupa protein kasar
(crude protein) sehingga termasuk didalamnya, yaitu non-protein nitrogen (NPN).
Kandungan NPN pada ikan teleostoi antara 9-18 % dari jumlah nitrogennya.
Komponen utama dari NPN, yakni basa volatil (asam amino dan TMAO),
kretain, asam amino bebas, nukleotida dan basa purin, serta urea pada ikan
Elasmobranchi (Ozogul et al. 2004). Pada Gambar 10 disajikan kandungan
protein dari daging ikan gurami dengan berbagai umur panen.
25
20,67
18,93 18,71
20
K a d a r p r o te in (% )
15
10
0
ikan A ikan B ikan C
umur ikan
Gambar 10. Kadar protein daging ikan gurami dengan berbagai umur panen
3 2,79
2,43
2,5 2,20
Kadar lemak (%)
1,5
0,5
0
ikan A ikan B ikan C
Umur ikan
Gambar 11. Kadar lemak daging ikan gurami pada berbagai umur panen
10 9 9 9
9
Nilai organoleptik
8 6,65
7 6,1 6,15 5,84
6
5 4,25 4,25
4
3 2,2 2,35 2,15
2
1
0
0 24 30 36 180 198 228 234 264 324
Gambar 12 Rata-rata nilai organoleptik dari ikan gurami pada berbagai umur
panen selama penyimpanan suhu chilling
Gambar 13. Nilai log TPC dari ikan gurami pada berbagai umur panen selama
penyimpanan suhu chilling
Nilai TPC ikan gurami A, B dan C pada Gambar 13 adalah sama, yakni
1,2x103 CFU/g atau nilai log TPC sebesar 3,079 CFU/g pada fase pre-rigor. Pada
fase rigor, nilai TPC dari ketiga ikan tersebut meningkat pada kisaran 8,7x103
CFU/g – 9,2x103 CFU/ ml atau nilai log antara 4,939 CFU/g – 4,964 CFU/g.
Semakin lama nilai TPC dari ketiga ikan tersebut semakin meningkat dengan
semakin lamanya waktu penyimpanan dan mencapai nilai tertinggi pada fase
deteriorasi, yaitu ikan A sebesar 1,5x109 CFU/g atau nilai log TPC sebesar 9,176
CFU/g, sedangkan pada ikan B dan C memiliki nilai TPC yang sama yakni
sebesar 1,2x109 CFU/g atau log TPC sebesar 9,079 CFU/g. Nilai TPC ikan gurami
pada penyimpanan fase post-rigor dan deteriorasi sudah berada di atas batas
maksimum jumlah cemaran mikroba yang ditetapkan dalam SNI 01-2729-1992
dengan nilai maksimum 5x105 CFU/g atau nilai log TPC sebesar 5,70 CFU/g,
sehingga sudah tidak layak lagi untuk dikonsumsi.
Daging ikan yang baru ditangkap masih steril karena memiliki sistem
kekebalan yang mencegah bakteri tumbuh pada daging ikan. Setelah ikan mati,
sistem kekebalan tersebut tidak berfungsi lagi dan bakteri dapat berkembang biak
dengan bebas. Pada permukaan kulit, bakteri bergerak ke seluruh tubuh dan
selama penyimpanan, bakteri menyerang daging dan bergerak diantara serat otot.
Jumlah mikroorganisme yang menyerang sangat terbatas dan pertumbuhan bakteri
sebagian besar berlangsung di permukaan. Proses deteriorasi terjadi akibat adanya
enzim yang dihasilkan bakteri yang merusak bahan gizi pada daging ikan (FAO
1995).
Proses deteriorasi yang disebabkan oleh aktivitas bakteri tidak akan terjadi
sebelum masa rigor mortis berakhir. Pada akhir fase rigor saat hasil penguraian
makin banyak, kegiatan bakteri pemdeteriorasi mulai meningkat. Bila fase rigor
telah lewat (badan ikan mulai melunak) maka kecepatan pembusukan akan
meningkat (Moeljanto 1992).
Aktivitas bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan biokimiawi dan
fisikawi yang pada akhirnya menjurus pada kerusakan secara menyeluruh yang
disebut sebagai deteriorasi (Irawan 1995). Jumlah bakteri yang terdapat pada
tubuh ikan ada hubungannya dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup.
Perbedaan jenis dan jumlah bakteri yang dijumpai pada ikan disebabkan oleh
makanan, cara penangkapan, penanganan, dan perbedaan suhu yang dipengaruhi
oleh musim dan letak geografis (FAO 1995; Junianto 2003).
Menurut Lan et al. (2007) jumlah bakteri yang terdapat pada ikan tergantung dari
lingkungan tempat ikan tersebut ditangkap. Bakteri yang umumnya ditemukan
pada ikan adalah bakteri Pseudomonas, Alcaligenes, Sarcina, Vibrio,
Flavobacterium, Serratia, Bacillus. Pada ikan air tawar juga terdapat jenis bakteri
Aeromonas, Lactobacillus, Bevibacterium dan Streptococcus
(Jeyasekaran et al. 2004).
Nilai TPC pada ikan gurami A, B, dan C pada penelitian ini mengalami
kenaikan pada tiap fase kemunduran mutu. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA
α=0,05 ) pada analisis TPC dapat dikatakan bahwa faktor perbedaan umur panen
dari masing-masing ikan gurami memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada
tingkat kepercayaan 95 %. Hal ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan
luas permukaan tubuh. Ikan berukuran besar memiliki permukaan tubuh yang
lebih luas dibanding ikan kecil sehingga penyerangan mikroorganisme cenderung
memerlukan waktu yang lama untuk merombak jaringan pada daging ikan. Selain
itu, aktivasi enzim katepsin terjadi lebih cepat pada ikan berukuran kecil
dibandingkan dengan ikan berukuran besar sehingga proses pembongkaran
senyawa-senyawa makromolekul, seperti protein menjadi senyawa-senyawa
mikromolekul seperti asam amino, peptida, dan amonia terjadi lebih cepat dan
4.2.4 Nilai pH
Kesegaran ikan juga dapat ditentukan dengan mengukur pH daging ikan.
Produksi asam laktat dari hasil proses glikolisis secara anaerob setelah ikan mati
akan menentukan perubahan pH pada daging ikan. Perubahan nilai pH pada ikan
bergantung pada berbagai faktor seperti jenis ikan, cara menangkap, pemberian
pakan dan kondisi lainnya (Sakaguchi 1990).
Pada dasarnya energi pada jaringan otot ikan setelah mati diperoleh secara
anaerobik dari pemecahan glikogen menjadi glukosa dan produk-produk
turunannya. Selanjutnya penguraian glukosa melalui proses glikolisis akan
menghasilkan ATP dan asam laktat. Akumulasi asam laktat inilah yang dapat
menyebabkan terjadinya penurunan pH daging ikan dan dapat menekan aktivitas
mikroba sehingga memperlambat proses deteriorasi. Besarnya penurunan pH ini
tergantung pada jumlah glikogen awal yang terdapat dalam otot ikan (Jiang 1998).
Perbandingan nilai pH ikan gurami yang disimpan pada suhu chilling dengan
berbagai umur panen disajikan pada Gambar 14.
6,87
8 6,85 6,7 6,68 6,72
7 6,85 6,62 6,64 6,67 5,92 5,92 5,94
6
Nilai pH
5
4
3
2
1
0
0 24 30 36 180 198 228 234 264 324
Gambar 14. Nilai pH ikan gurami dengan berbagai umur panen selama
penyimpanan suhu chilling
Tabel 12. Nilai pH terendah berbagai jenis ikan pada fase post rigor
No. Jenis ikan Nilai pH pada Sumber
fase post rigor
1. Nila 6,26 Muldani 1997
2. Patin (mati menggelepar) 6,46 Swasono 2007
3. Patin (mati ditusuk) 6,51 Swasono 2007
4. Cod 6,10 FAO 1995
5. Mackerel 5,80 FAO 1995
6. Tuna 5,40 FAO 1995
Glukosa-6-fosfat
fosfoglukosa isomerase
Fruktosa-6-fosfat
Fosfofruktokinase
Fruktosa-1,6-difosfat
Aldolase
30
20,72
25
20
10,64
15
7,28
10
5
0
0 24 30 36 180 198 228 234 264 324
Gambar 16. Nilai TVB dari ikan gurami berdasarkan perbedaan umur panen
selama penyimpanan suhu chilling
Nilai TVB ikan gurami A, B dan C yang disimpan pada suhu chilling pada
fase pre-rigor adalah sama, yakni sebesar 7,28 mg N/100 g. Nilai tersebut
menunjukkan ikan pada awal penyimpanan masih dalam keadaan sangat segar.
Nilai TVB ini akan semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu
penyimpanan akibat adanya degradasi enzim-enzim dalam tubuh ikan
menghasilkan senyawa-senyawa sederhana yang merupakan komponen-
komponen penyusun senyawa basa volatil. Menurut Karungi et al. (2003)
peningkatan nilai TVB selama penyimpanan akibat degradasi protein dan
derivatnya menghasilkan sejumlah basa yang mudah menguap seperti amoniak,
histamin, H2S, trimetilamin yang berbau busuk.
Pada penelitian ini, nilai TVB ikan gurami tertinggi dicapai pada fase
deteriorasi, yakni 32,42 mg N/100 g . Nilai tersebut menujukkan bahwa ikan
gurami setelah penyimpanan pada suhu chilling selama 324 jam untuk ikan A,
264 jam untuk ikan B dan 234 jam untuk ikan C sudah tidak segar dan tidak
layak untuk dikonsumsi.
Kesegaran ikan dapat dibagi menjadi 4 kriteria berdasarkan nilai TVB.
Ikan termasuk kriteria sangat segar apabila nilai TVB kurang dari 10 mg N/100 g.
Ikan dengan nilai TVB antara 10-20 mg N/100 g termasuk dalam kriteria segar.
Ikan termasuk kriteia masih bisa dikonsumsi dengan apabila nilai TVB antara
20-30 mg N/100 g dan tidak bisa dikonsumsi apabila nilai TVB lebih dari
30 mg N/100 g (Farber 1965). Berdasarkan batasan tersebut, ikan gurami yang
disimpan pada suhu chilling masih dapat diterima dan layak untuk dikonsumsi
sampai waktu penyimpanan 288 jam untuk ikan A, 198 jam untuk ikan B, dan 180
jam untuk ikan C karena memiliki nilai TVB sebesar 20,72 mg N/100 g, yang
berarti ikan gurami tersebut tergolong ikan yang masih dapat dikonsumsi.
Proses penyimpanan pada suhu chilling dapat menghambat proses
kemunduran mutu ikan gurami. Karungi et al. (2003) menyatakan akumulasi
nitrogen yang bersifat volatil berlangsung lebih lambat dibandingkan ikan yang
disimpan pada suhu lingkungan. Aktivitas enzim pada daging ikan berjalan lebih
lambat sehingga ikan tetap segar dalam jangka waktu lama.
Nilai TVB pada ikan gurami A, B, dan C semakin meningkat seiring
dengan fase laju kemunduran mutu ikan. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA
α=0,05 ) perbedaan umur panen dari masing-masing ikan gurami memberikan
pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 % terhadap nilai TVB.
Menurut Ozogul (1999), peningkatan nilai TVB disebabkan oleh aktivitas
autolisis dan kegiatan bakteri pembusuk selama proses penyimpanan. Pada proses
enzimatis, protein akan diuraikan menjadi senyawa-senyawa yang lebih
sederhana, seperti peptida, asam amino dan amonia. Di samping itu, hidrolisis
protein membentuk sedikit basa purin dan pirimidin (Kreuzer 1965).
Nukleotida utama yang berperan dalam mentransfer energi yaitu ATP.
Nukleotida ATP adalah senyawa utama pembawa energi kimia dalam sel. Ketika
ikan mati, kondisi menjadi anaerob dan ATP akan terurai dengan melepaskan
energi (Jiang 1998). Nukleotida ATP cepat berubah menjadi ADP oleh enzim
ATPase, kemudian diubah menjadi AMP oleh miokinase. Selanjutnya AMP
diubah oleh enzim deaminase menjadi IMP dan dari IMP diubah menjadi inosin
Aktivitas Konsentrasi
Fase post Aktivitas spesifik
Ikan katepsin protein katepsin
mortem katepsin (U/mg)
(U/ml) (mg/ml)
pre rigor 0,333 0,462 0,721
rigor 0,533 0,494 1,079
Ikan gurami A
post rigor 1,733 0,523 3,314
deteriorasi 0,933 0,492 1,896
pre rigor 0,3 0,459 0,654
rigor 0,433 0,485 0,893
Ikan gurami B
post rigor 1,533 0,512 2,994
deteriorasi 0,833 0,48 1,735
pre rigor 0,233 0,457 0,510
rigor 0,367 0,481 0,763
Ikan gurami C
post rigor 1,333 0,503 2,650
deteriorasi 0,7 0,477 1,468
Pada penelitian ini, aktivitas katepsin yang paling tinggi dari ikan A, ikan
B dan ikan C terdapat pada fase post rigor dengan aktivitas masing-masing yaitu
1,733 U/ml ; 1,533 U/ml dan 1,333 U/ml. Hal itu disebabkan pada fase tersebut
pH daging ikan paling rendah, yakni sebesar 5,92-5,94 sehingga sangat cocok
untuk berlangsungnya aktivitas enzim katepsin yang akan menguraikan protein
dalam jaringan tubuh ikan. Hasil penelitian ini menunjukkan pH terendah untuk
berlangsungnya aktivitas enzim katepsin pada ikan gurami tersebut sebesar
5,92-5,94. Sementara itu, pH optimal enzim katepsin D yang telah berhasil
dimurnikan dari otot ikan tilapia sebesar 5,5 - 6,0. Katepsin D ini memiliki berat
molekul 38 K Da dan dapat mendegradasi protein aktin dan miosin (Doke et al.
1980 diacu dalam Shahidi dan Botta 1994). Selain itu, pada kelompok ikan tilapia
juga telah diketahui terdapat aktivitas enzim katepsin A (karboksipeptidase A)
yang memiliki aktivitas eksopeptidase dengan pH optimum 5-6. Katepsin ini
memisahkan karbobenzoksi-L-Glu-L-Tyr dan mampu memisahkan residu secara
sekuen dari karboksil terminal peptida, seperti glukagon (Sherekar et al. 1986
diacu dalam Shahidi dan Botta 1994). Pengukuran aktivitas katepsin sangat erat
kaitannya dengan konsentrasi protein enzim katepsin.
Aktivitas enzim katepsin yang tinggi pada fase post rigor ini tentunya
berkaitan erat dengan tingginya konsentrasi protein enzim katepsin dari masing-
masing ikan, yakni ikan A sebesar 0,523 mg/ml, ikan B sebesar 0,512 mg/ml dan
ikan C sebesar 0,503 mg/ml. Hal itu karena pada dasarnya enzim tersusun dari
komponen-komponen protein. Salah satu jenis protein yang berperan dalam
proses autolisis adalah protein sarkoplasma yang membantu terjadinya peristiwa
glikolisis, yaitu pemecahan karbohidrat menjadi asam laktat sehingga
menyebabkan pH daging ikan menjadi turun. Rendahnya pH daging ikan tersebut
akan menyebabkan aktivitas enzim katepsin meningkat (Dinu et al. 2002).
Sebagian besar protein sarkoplasma berpartisipasi dalam metabolisme sel, seperti
konversi energi dari glikogen menjadi ATP pada kondisi anaerob. Jika organel sel
otot rusak, fraksi protein ini dapat juga mengandung enzim metabolik yang
terdapat di dalam retikulum endoplasma, mitokondria, dan lisosom (FAO 1995).
Keterkaitan antara aktivitas katepsin dan konsentrasi protein katepsin
dapat dilihat berdasarkan aktivitas spesifik enzim katepsin. Aktivitas spesifik
3,314
3,500 2,994
3,000 2,650
1,896
2,500
1,735
(U/mg)
2,000 1,079
0,721 1,468
1,500 0,893
0,654 0,763
1,000
0,510
0,500
0,000
0 24 30 36 180 198 228 234 264 324
Gambar 17. Aktivitas spesifik enzim katepsin ikan gurami pada berbagai umur
panen selama penyimpanan suhu chilling
menjadi senyawa yang lebih sederhana yang bersifat basa sehingga nilai pH naik
(Eskin 1990). Hubungan antar parameter kesegaran ikan untuk setiap
perlakuannya dapat dilihat pada Gambar 18, 19, dan 20
35
Nilai parameter
30 324; 32,42
25
20 228; 20,72
36; 10,64
15 324; 9,176
0; 9 228; 6,996
10 36; 6,67
0; 7,28 36; 6,65 228; 5,94 324; 6,72
5 324; 2,15
0; 6,87 36; 4,960 228; 5,84
0; 3,079 0 228; 3,314 324; 1,896
36; 1,079
0; 0,721 0 50 100 150 200 250 300 350
Waktu penyimpanan (jam)
Nilai organoleptik
Nilai TVB ( mg N/100 g)
Nilai TPC (CFU/g)
Nilai pH
Nilai aktivitas spesifik enzim katepsin (U/mg)
35
264; 32,42
30
25
20 198; 20,72
15 30; 10,64
0; 9 198; 6,954 264; 9,079
10 30; 6,64 198; 5,92
0; 7,28 30; 6,15 264; 6,68
0; 6,85 5 30; 4,939 198; 4,25 264; 2,35
0; 3,079 198; 2,994 264; 1,735
0 30; 0,893
0; 0,654
0 50 100 150 200 250 300
Nilai parameter
35
234; 32,42
30
25
20 180; 20,72
15 24; 10,64
0; 9 180; 6,991 234; 9,079
10 24; 6,62 180; 5,92
0; 7,28 24; 6,1
5
0; 6,85 180; 4,25 234; 6,7
24; 4,964 234; 2,2
180; 2,65
0; 2,70 24; 0,76 234; 1,47
0; 0,51 0 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264
Waktu penyimpanan (jam)
Nilai organoleptik
Nilai TVB ( mg N/100 g)
Nilai TPC (CFU/g)
Nilai pH
Nilai aktivitas spesifik enzim katepsin (U/mg)
Gambar 20. Hubungan antar parameter kesegaran ikan gurami C
5.1 Kesimpulan
Ukuran ikan gurami yang dipanen pada saat berumur 2,5 tahun (ikan A),
1,5 tahun (ikan B), dan 8 bulan (ikan C) memiliki rata-rata berat total dan panjang
toal secara berturut-turut, yaitu 995,45 g ± 1,85 g ;36-38 cm, 697,65 g ± 1,24 ; 32-
34 cm 345,55 g ± 1,42 ; 27-29 cm Ukuran ini merupakan ukuran konsumsi.
Kisaran rendemen ikan gurami A, B, dan C, yakni daging 45-52 %, jeroan 6-8 %,
insang 1-2 %, sirip 3-5 %, sisik 4 %,dan tulang 30-38%). Rendemen daging
paling tinggi terdapat pada ikan gurami A dan yang paling rendah pada ikan B,
sedangkan untuk tulang, nilai rendemen yang paling tinggi terdapat pada ikan C
dan yang paling rendah pada ikan A.
Kondisi pre rigor untuk ikan A, ikan B dan ikan C terjadi pada 0 jam
penyimpanan, fase rigor mortis terjadi secara berturut-turut pada jam ke-36, 30
dan 24. Fase post rigor masing-masing umur ikan terjadi pada jam ke-228, 198,
dan 180. Untuk fase deteriorasi terjadi pada jam ke-324, 264, dan 234.
Komposisi kimia daging ikan gurami pada berbagai umur panen berkisar antara:
kadar air 72,96-75,48 %; abu 0,90-0,95 %; protein 18,71-20,67 %;
lemak 2,20-2,79 %. Kadar protein dan lemak tertinggi terdapat pada ikan A
sedangkan kadar air dan kadar abu tertinggi terdapat pada ikan C.
Pola kemunduran mutu ikan gurami dari fase pre rigor awal hingga ketika
pembusukan berlangsung cepat dapat dilihat dari kisaran nilai organoleptik 1-9;
pH 6,85-6,87; log TPC 1,2x103-1,5x109 CFU/g; TVB 7,28-32,42 mg N/100 g;
aktivitas katepsin 0,233-1,733 U/ml dan konsentrasi protein enzim katepsin
0,457-0,523 mg/ml.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan untuk dilakukan
penelitian lanjut mengenai kemunduran mutu ikan gurami dalam bentuk fillet
pada penyimpanan suhu chilling dan ruang dan karakteristik yang lebih spesifik
seperti kandungan glikogen, jenis katepsin, indeks rigor ikan, analisis kandungan
asam-asam amino, asam lemak bebas, penyusun mineral, dan biogenik amin.
Lampiran 1. Score sheet uji orgoneltik ikan segar (SNI-01-2345-2006)
Nama Panelis : …………………………………….. Tanggal: ………………
Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian
Berilah tanda V pada nilai yang dipilih sesuai dengan kode sampel yang diuji.
KODE
CONTOH
SPESIFIKASI Nilai
1 2 3
1. MATA
* Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih 9
* Cerah, bola mata rata, kornea jernih 8
* Agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan, kornea agak keruh 7
* Bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh 6
* Bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan, kornea agak keruh 5
* Bola mata cekung, pupil putih susu, kornea keruh 3
* Bola mata sangat cekung, kornea agak kuning. 1
2. INSANG
* Warna cerah cemerlang, tanpa lendir 9
* Warna merah kurang cemerlang tanpa lendir 8
* Warna agak kusam, tanpa lendir 7
* Merah agak kusam, sedikit lendir 6
* Mulai ada perubahan warna, merah kecoklatan, sedikit lendir, tanpa
5
lendir
* warna merah coklat lendir tebal 3
* Warna merah coklat ada sedikit putih, lendir tebal 1
3. LENDIR PERMUKAAN BADAN
* Lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah. 9
* Lapisan lendir jernih, transparan, cerah, belum ada perubahan warna. 8
* Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan. 7
* Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam, kurang transparan 6
* Lendir tebal menggumpal, mulai berubah warna putih, keruh 5
* Lendir tebal menggumpal, berwarna putih kuning 3
* Lendir tebal menggumpal, warna kuning kecoklatan 1
4. DAGING ( WARNA DAN KENAMPAKAN)
* Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan
9
sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh
* Sayatan daging cemerlang spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang
8
tulang belakang, dinding perut utuh
* Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidak ada
7
pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh.
* Sayatan daging masih cemerlang, agak kemerahan pada tulang
5
belakang, dinding perut agak lembek, sedikit bau susu
* Sayatan daging mulai pudar, banyak kemerahan pada tulang belakang,
4
dinding perut lembek, bau segar seperti susu
* Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali sepanjang tulang
3
belakang, dinding perut lunak
* Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas sekali sepanjang tulang
1
belakang, dinding perut sangat lunak
5. BAU
* Bau sangat segar, spesifik jenis 9
* Segar, spesifik jenis 8
* Netral 7
* Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau asam 5
* Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam jelas dan busuk 3
* Bau busuk jelas 1
6. TEKSTUR
* Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang
9
belakang
* Agak padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari
8
tulang belakang
* Agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging
7
dari tulang belakang
* Agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, agak mudah
5
menyobek daging dari tulang belakang
* Lunak, bekas jari terlihat bila ditekan, mudah menyobek daging dari
3
tulang belakang
* Sangat lunak, bekas jari tidak hilang bila ditekan, mudah sekali
1
menyobek daging dari tulang belakang
67
68
69
Lampiran 3 c Data mentah nilai organoleptik ikan guarmi fase post rigor
70
71
Lampiran 4 data mentah nilai TPC ikan gurami pada tiap fase
2
umur panen
8
1,5-2tahun
3
umur panen
8
2,5-3tahun
fase 1 prerigor 6
2 rigor 6
3 postrigor 6
4 busuk 6
Duncan
umur N Subset
1 2
umur panen 1,5-2tahun 8 5,98038
umur panen 2,5-3tahun 8 6,00675 6,00675
umur panen 7bulan-
1tahun 8 6,05875
Sig. ,389 ,104
TPC
Duncan
fase N Subset
1 2 3 4
prerigor 6 3,08133
rigor 6 4,92950
postrigor 6 6,92533
busuk 6 9,12500
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
Alpha = ,05.
ANOVA
TPC
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 121,772 11 11,070 3173,606 ,000
Within Groups ,042 12 ,003
Total 121,814 23
TPC
Duncan
Subset for alpha = .05
interaksi N 1 2 3 4 5
u3f1 2 3,04950
u2f1 2 3,06400
u1f1 2 3,13050
u1f2 2 4,89750
u2f2 2 4,92900
u3f2 2 4,96200
u2f3 2 6,85400
u3f3 2 6,94100
u1f3 2 6,98100
u2f4 2 9,07450
u3f4 2 9,07450
u1f3 2 9,22600
Sig. ,216 ,319 ,063 1,000 1,000
Dependent Variable: pH
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 2,938(a) 11 ,267 66,487 ,000
Intercept 254004,05
1020,250 1 1020,250 ,000
0
umur ,016 2 ,008 1,954 ,184
fase 2,903 3 ,968 240,874 ,000
umur * fase ,019 6 ,003 ,804 ,586
Error ,048 12 ,004
Total 1023,235 24
Corrected Total 2,986 23
a R Squared = ,984 (Adjusted R Squared = ,969)
Hipotesa
Ho= Paling tidak sedikitnya ada satu perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
H1= Tidak ada satupun perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
Kesimpulan : Gagal tolak Ho (Fhit > F tabel, 1,954>0,184)
pH
Duncan
Subset
umur N 1
umur panen 1,5-2tahun 8 6,48750
umur panen 2,5-3tahun 8 6,52250
umur panen 7bulan-
1tahun 8 6,55000
Sig. ,084
Alpha = ,05.
fase
pH
Duncan
fase N Subset
1 2 3
postrigor 6 5,92667
rigor 6 6,64333
busuk 6 6,70000
prerigor 6 6,81000
Sig. 1,000 ,147 1,000
Alpha = ,05.
ANOVA
pH
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 2,938 11 ,267 66,487 ,000
Within Groups ,048 12 ,004
Total 2,986 23
pH
Duncan
Interaksi2 N Subset for alpha = .05
1 2 3 4
7 2 5,92000
11 2 5,92000
3 2 5,94000
10 2 6,62000
6 2 6,64000
2 2 6,67000
8 2 6,68000
12 2 6,70000
5 2 6,71000 6,71000
4 2 6,72000 6,72000
9 2 6,85000 6,85000
1 2 6,87000
Sig. ,769 ,181 ,057 ,758
TVB
Duncan
Subset
umur N 1
umur panen 2,5-3tahun 8 15,78500
umur panen 7bulan-
1tahun 8 16,52000
umur panen 1,5-2tahun 8 16,53500
Sig. ,269
Alpha = ,05.
TVB
Duncan
fase N Subset
1 2 3 4
prerigor 6 7,28000
rigor 6 10,68000
postrigor 6 20,72000
busuk 6 26,44000
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
Alpha = ,05.
TVB
Duncan
Subset for alpha = .05
interaksi3 N 1 2 3 4 5
u1f1 2 7,28000
u2f1 2 7,28000
u3f1 2 7,28000
u1f2 2 10,64000
u2f2 2 10,70000
u3f2 2 10,70000
u1f3 2 20,72000
u2f3 2 20,72000
u3f3 2 20,72000
u3f4 2 24,44000
u1f4 2 27,44000
u2f4 2 27,44000
Sig. 1,000 ,964 1,000 1,000 1,000
Katepsin
Duncan
umur N Subset
1 2 3
umur panen 2,5-3tahun 8 ,68325
umur panen 1,5-2tahun 8 ,77475
umur panen 7bulan-
1tahun 8 ,88300
Sig. 1,000 1,000 1,000
Alpha = ,05.
Katepsin
Duncan
fase N Subset
1 2 3 4
prerigor 6 ,28867
rigor 6 ,44433
busuk 6 ,82200
postrigor 6 1,56633
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
Alpha = ,05.
KonsProt
Duncan
umur N Subset
1 2 3
umur panen 2,5-3tahun 8 ,47938
umur panen 1,5-2tahun 8 ,48325
umur panen 7bulan-
1tahun 8 ,49275
Sig. 1,000 1,000 1,000
Alpha = ,05.
KonsProt
Duncan
fase N Subset
1 2 3
prerigor 6 ,45867
busuk 6 ,48267
rigor 6 ,48667
postrigor 6 ,51250
Sig. 1,000 ,065 1,000
Alpha = ,05.
ANOVA
KonsProt
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups ,010 11 ,001 75,270 ,000
Within Groups ,000 12 ,000
Total ,010 23
KonsProt
Duncan
Subset for alpha = .05
interaksi
5 N 1 2 3 4 5 6 7
u3f1 2 ,45650
u2f1 2 ,45750
u1f1 2 ,46200
u3f4 2 ,47650
u2f4 2 ,47950 ,47950
u3f2 2 ,48150 ,48150
u2f2 2 ,48450
u1f4 2 ,49200
u1f2 2 ,49400
u3f3 2 ,50300
u2f3 2 ,51150
u1f3 2 ,52300
Sig. ,150 ,188 ,188 ,568 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
Lampiran 10 a. Data mentah nilai pH, TVB, Assay aktivitas katepsin dan
konsentrasi protein katepsin ikan gurami
Aktivitas Konsentrasi
Sampel TVB pH
Katepsin Protein
A 7,28 6,87 0,333 0.462
B 7,28 6,85 0,300 0.459
C 7,28 6,85 0,233 0.457
A 10,64 6,67 0,533 0.494
B 10,64 6,64 0,433 0.485
C 10,64 6,62 0,367 0.481
A 20,72 5,94 1,733 0.523
B 20,72 5,92 1,533 0.512
C 20,72 5,92 1,333 0.503
A 27,44 6,72 0,933 0.492
B 27,44 6,68 0,833 0.48
C 27,44 6,70 0,700 0.477
0.35
0.335
0.33
0.325
0.32
0.315
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3