Anda di halaman 1dari 23

Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
Mycobacteria. Pada manusia kebanyakan yang menginfeksi adalah Mycobacterium
tuberculosis. Biasanya tuberkulosis menyerang paru, namun dapat juga menyerang Central
Nervus System, sistem limfatikus, sistem urinaria, sistem pencernaan, tulang, sendi dan
lainnya.

Karena penyakit TB bersifat kronis dan resistensi kuman terhadap obat cukup tinggi,
maka tidak jarang menimbulkan komplikasi. Salah satu komplikasi yang bisa ditimbulkan
adalah pneumotoraks. Di mana pnumotoraks yang terjadi adalah pneumotoraks spontan
sekunder.Seaton dkk. Melaporkan bahwa pasien tuberkulosis aktif mengalami komplikasi
pneumotoraks sekitar 1,4% dan jika terdapat kavitas paru, komplikasi meningkat lebih dari
90%.

Pada referat kali ini akan dibahas tuberculosis paru dengan pendekatan strategi
DOTS. DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) Merupakan strategi
penanggulangan Tuberkulosis di Rumah Sakit melalui pengobatan jangka pendek dengan
pengawasan langsung. Yang merupakan program dari WHO agar dapat mengurangi hingga
sampai memberantas penyebaran kasus TB paru.

1
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

TUBERKULOSIS PARU
Definisi
Tuberculosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
dan varian mycobacterium lainnya seperti M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M.
canettii, dan M. microti. Bakteri patogen ini menyerang paru-paru dan organ tubuh lainnya.
Mycobacterium tuberculosis umumnya disebarkan melalui udara dalam bentuk droplet nuklei
yang menimbulkan respon granuloma dan inflamasi jaringan. Tanpa penanganan yang baik,
kasus akan menjadi fatal dalam 5 tahun1
Tuberculosis sebenarnya dapat menyerupai penyakit paru lainnya seperti penumonia,
penyakit paru interstitial bahkan keganasan akan tetapi dengan anamnesis yang baik,
tuberculosis dapat dengan mudah di tegakkan. Pada dasarnya pasien dengan sistem imun
yang baik biasanya terserang tuberculosis hanya pada satu area saja misalnya pada paru atau
salah satu organ ekstra paru sedangkan pada pasien dengan immunokompeten, tuberculosis
dapat terjadi lebih daripada satu organ. Terlepas dari pasien dengan HIV positif, sekitar 80%
pasien dewasa menderita tuberculosis paru, 15% ekstra paru dan 5% menderita tuberculosis
paru dan ekstra paru.Tuberculosis diklasifikasikan sebagai tuberkulosis paru dan ekstra paru
berdasarkan lokasi infeksinya. Pada tuberculosis paru dapat diklasifikasikan sebagai TB paru
primer atau post primer 1,
TB paru primer merupakan TB paru yang muncul segera saat infeksi pertama kali.
Pada daerah dengan tingkat transmisi M. Tuberculosis, jenis penyakit ini lebih sering muncul
pada anak-anak. Daerah yang sering terlibat dalam TB paru primer adalah lobus medial dan
lobus bawah paru. Lesi yang terbentuk biasanya terletak di perifer dan disertai dengan
limfadenopati hilar atau paratracheal yang biasanya sulit dideteksi secara radiologis.
Pembesaran limfonodus dapat menekan bronchus, menimbulkan obstruksi saluran nafas dan
menyebabkan kolaps paru segmental atau bahkan lobar. Pada sebagian besar kasus, lesi
biasanya sembuh sendiri dan bermanifestasi sebagai nodul kalsifikasi (fokus gohn) 1
Tuberculosis Post Primer Biasanya disebut juga sebagai tuberculosis sekunder.
Tuberculosis ini terjadi sebagai proses reaktivasi infeksi laten dan biasanya terjadi pada
segmen atas paru dimana tekanan oxigen lebih tinggi dibandingkan bagian paru lainnya yang
sangat menunjang pertumbuhan bakteri. Pada tahap ini, perkembangan lesi biasanya sangat

2
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

bervariasi mulai dari bercak inflitrat hingga terbentuknya kavitas bahkan diikuti dengan
infeksi sekunder yang menyebabkan pneumonia, selain itu pada tahap ini, pasien sangat
mudah untuk menularkan bakteri ke lingkungannya.1
Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi Tb paru yaitu menurut Depkes (2007) yaitu:
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lain –lain.
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis pada TB paru.
1. Tuberkulosis paru BTA positif
 Sekurang - kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tb positif.
 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif:
 Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
 Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan
Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.
yaitu:
1. Kasus baru
Pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang
dari satu bulan (4 minggu).

3
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

2. Kasus kambuh (relaps)


Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan
telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.
3. Kasus setelah putus berobat (default )
Pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (failure)
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada
bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
Etiologi
Penyakit Tb paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Mycobakterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga
dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Sumber penularan adalah penderita
tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke
udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).
Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama
beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran
pernafasan.Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan,
kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem
peredaran darah, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian - bagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin
menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka
penderita tersebut dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi tuberculosis ditentukan oleh
konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Patogenesis

Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan


mempermudah proses penularan dan berperan sekali dalam peningkatan jumlah kasus TB
Penularan TB biasanya melalui udara, yaitu dengan inhalasi droplet nukleus yang
mengandung basil TB. Hanya droplet nukleus ukuran 1-5 mikron yang dapat melewati atau
menembus sistem mukosilier saluran napas sehingga dapat mencapai dan bersarang di
bronkiolus maupun alveolus.1,2

Di bronkiolus dan alveolus inilah basil tuberkulosis berkembang biak dan menyebar
melalui saluran limfe dan aliran darah tanpa perlawanan yang berarti dari pejamu karena

4
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

belum ada kekebalan awal. Di dalam alveolus makrofag akan memfagositosis sebagian basil
tuberkulosis tetapi belum mampu membunuhnya. Sebagian basil TB dalam makrofag
umumnya dapat tetap hidup dan berkembang biak dan menyebar melalui saluran limfe
regional maupun melalui aliran darah sehingga dapat mencapai berbagai organ tubuh. Di
dalam organ tersebut akan terjadi transfer antigen ke limfosit.

Basil TB hampir selalu dapat bersarang di sumsum tulang, hepar dan limfe tetapi
tidak selalu dapat berkembang biak secara luas. Basil TB di lapangan atas paru, ginjal, tulang,
dan otak lebih mudah berkembang biak terutama sebelum imunitas spesifik terbentuk
Imunitas spesifik yang terbentuk biasanya cukup kuat untuk menghambat perkembangbiakan
basil TB lebih lanjut. Dengan demikian lesi TB akan sembuh dan tidak ada tanda dan gejala
klinis. Pada sebagian kasus imunitas spesifik yang terbentuk tidak cukup kuat sehingga
terjadi penyakit TB dalam 12 bulan setelah infeksi dan pada sebagian penderita TB terjadi
setelah lebih dari 12 bulan setelah infeksi.1,2

Kurang lebih 10% individu yang terkena infeksi TB akan menderita penyakit TB
dalam beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi. Kemungkinan menjadi sakit TB
lebih besar pada balita, pubertas dan akil balik. Keadaan yang menyebabkan turunnya
imunitas memperbesar kemungkinan sakit TB, misalnya karena infeksi HIV dan pemakaian
kortikosteroid atau obat imunosupresif lainnya yang lama, demikian juga pada diabetes
melitus. Hipersensitivitas terhadap beberapa komponen basil TB dapat dilihat pada uji kulit
dengan tuberkulin yang biasanya terjadi 2-10 minggu setelah infeksi. Dalam waktu 2-10
minggu ini juga terjadi cell-mediated immune response. Setelah terjadi infeksi pertama, basil
TB yang menyebar ke seluruh badan suatu saat di kemudian hari dapat berkembang biak dan
menyebabkan penyakit. Penyakit TB dapat timbul dalam 12 bulan setelah infeksi, tapi dapat
juga setelah 1 tahun atau lebih. Lesi TB paling sering terjadi di lapangan atas paru.

Tuberkulosis post primer dimulai dengan serangan dini, yang umumnya terletak di
segmen apikal dari lobus superior maupun anterior. Sarang dini mula-mula berbentuk suatu
sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan berikut:

1. Direabsorbsi kembali dan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat.

2. Sarang tadi mula-mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri, menjadi lebih keras, terjadi
perkapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga terjadi

5
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

bahwa sarang tadi menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan
kavitas, bila jaringan keju dibatukan keluar.

3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kavitas


mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya akan menjadi tebal (kavitas
sklerotik). Yang kemudian akan terjadi :

- Mungkin belum kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru, sarang ini
akan mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan di atas.

- Dapat memadati dan membungkus diri (encapsulated) dan disebut tuberkuloma.


Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin juga aktif kembali
mencair lagi dan menjadi kavitas lagi.

- Kavitas bisa juga menjadi bersih dan menyembuh dengan membungkus diri dan
akhirnya mengecil. Mungkin berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, dan
menciut kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

- Sarang-sarang aktif, eksudatif.

- Sarang-sarang yang terletak antara aktif dan sembuh.

Apabila kavitas yang terbentuk ini pecah maka akan terjadi pneumotoraks di mana
udara dari dalam paru akan masuk ke dalam rongga pleura sehingga paru menjadi kolaps.
Efusi pleura dapat terjadi setiap saat setelah infeksi primer. Efusi biasanya terjadi karena
tuberkuloprotein dari paru masuk ke rongga pleura sehingga terjadi reaksi inflamasi dan
terjadi pengumpulan cairan jernih di dalamnya. TB milier dapat terjadi pada masa dini, tetapi
dapat juga terjadi setelah beberapa waktu kemudian akibat erosi fokus di dinding pembuluh
darah. TB milier dapat mengenai banyak organ misalnya selaput otak, sehingga terjadi
meningitis TB, dapat juga mengenai tulang, ginjal dan organ lain. Pada individu normal,
respons imunologik terhadap infeksi tuberkulosis cukup memberi perlindungan terhadap
infeksi tambahan berikutnya.

Risiko terjadinya reinfeksi tergantung pada intensitas terpaparnya dan sistem imun
individu yang bersangkutan. Pada pasien dengan infeksi HIV terjadi penekanan pada imun
respons. Jadi kalau terkena TB sering terjadi TB yang berat dan sering gambaran klinik TB
dengan HIV berbeda dengan TB biasa.

6
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

Gejala Klinis
Gejala yang muncul awalnya bersifat non spesifik, biasanya ditandai dengan
demam baik subfebris hingga febris dan keringat malam, berat badan yang menurun,
anoreksia, dan merasa lemas. Pada 80 % kasus ditemukan demam dan tidak adanya demam
bukan berati tuberculosis dapat dihilangkan. Dalam sebagian besar kasus, batuk non
produktif biasanya muncul minimal selama 2 minggu dan selanjutnya diikuti oleh batuk
produktif dengan sputum yang purulen bahkan diikuti bercak darah. Hemoptisis yang masif
biasanya muncul sebagai destruksi pembuluh darah pada kavitas terutama pembuluh darah
yang berdilatasi pada dinding kavitas (Rasmussen's aneurysm). Nyeri dada biasa juga
dirasakan terutama pada pasien dengan lesi pada pleura. Lebih lanjut biasanya pasien akan
sesak nafas dan diikuti dengan adult respiratory distress syndrome (ARDS). 1
Keluhan yang banyak dijumpai:

Gejala sistemik/umum
 Penurunan nafsu makan dan berat badan.
 Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
 Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari
disertai keringat malam. Kadang –kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat
hilang timbul.
 Berkeringat malam, nafsu makan menurun, kehilangan berat badan dan mudah menjadi
lelah.
Gejala Respiratorik
 Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru - paru) akibat
penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi",
suara nafas melemah yang disertai sesak.
 Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru - paru), dapat disertai dengan keluhan
sakit dada.
 Batuk kronik Gejala ini sering ditemukan. Batuk terjadi karena iritasi bronkus. Batuk
diperlukan untuk membuang produk-produk radang. Karena terlibatnya bronkus pada
setiap penyakit tidak sama, maka munculnya batuk maupun sifat batuk bisa bermacam-
macam. Batuk umumnya lebih dari 2 minggu.
Temuan pemeriksaan fisis cukup terbatas pada TB paru. Terkadang abnormalitas tidak
ditemukan pada pemeriksaan thorax. Bunyhi ronkhi biasa ditemukan terutama karena
peningkatan produksi sputum. Bunyi wheezing juga terkadang ditemukan akibat obstruksi

7
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

parsial bronkus dan bunyi amphoric klasik pada kavitas. Terkadang bunyi pernafasan
terdengar redup yang berarti menunjukkan ada proses abnormalitas yang cukup parah sebagai
komplikasi dari infeksi tuberculosis1,2

Tanda - tanda yang di temukan pada pemeriksaan fisik tergantung luas dan kelainan
struktural paru. Pada lesi minimal, pemeriksaan fisis dapat normal atau dapat ditemukan
tanda konsolidasi paru utamanya apeks paru. Tanda pemeriksaan fisik paru tersebut dapat
berupa: fokal fremitus meingkat, perkusi redup, bunyi napas bronkovesikuler atau adanya
ronkhi terutama di apeks paru.1

Diagnosis

Gambar 2.1 Alur diagnosis TB paru


Pemeriksaan foto thoraks PA merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan untuk
evaluasi tuberculosis paru. Gambaran yang biasanya muncul adalah bercak infiltrat terutama
kavitas yang biasanya dapat ditemukan pada 19% hingga 50%. Gambaran lainnya yang biasa
muncul adalah infiltrat lobus dan interstitial serta limfadenopati. Pada segmen apeks paru
biasa ditemukan gambaran densitas radiopak yang menandakan terbentuknya fibronodular.

8
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

Pada tahap lanjut lesi ini dapat menjadi kavitas dengan gambaran radiologi kavitas yang
berdinding tipis. Pada TB paru rekativasi, daerah yang paling sering tampak kelainan yakni,
apeks dan segmen posterior lobus kanan, apeks dan segmen posterior lobus kiri, dan segemen
superior lobus bawah Lesi pada daerah ini lebih sering terlihat pada pasien dengan diabetes.
Efusi pleura pada tuberculosis paru tahap dini juga dapat terlihat terutama pada
perkembangan penyakit yang progresif. CT scan biasanya dapat dilakukan untuk menentukan
luasnya penyebaran lesi namun biasanya tidak memberikan gambaran khas pada infeksi tahap
dini.2

Gambar 2.2 Gambaran radiologis infeksi TB pada paru.


Dalam hasil analisis laboratorium darah dapat ditemukan leukositosis, limfositik
leukopenia atau neutrofilik leukopenia. Ditemukan pula anemia normositik normokrom dan
hiponatremia terutama pada pasien dengan penyebaran lesi yang luas.2Apusan sputum dan
kultur merupakan pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis dengan
sensitivitas 40-60%. Pada pasien suspek tuberculosis paru, tiga sampel sputum diambil yakni
sewaktu, pada pagi hari dan sewaktu. Pada pasien dengan tuberculosis paru, sputum dapat
diperoleh dengan proses ekspektorasi atau nebulisasi dengan saline hipertonik, bilasan
bronkus atau bahkan dengan bronchoscopy.2
Induksi sputum dianggap sebagai salah satu cara yang umum dilakukan untuk
mendapatkan sputum, terutama dalam keadaan yang tidak memungkinkan dilakukannya
pengambilan sputum. Pengambilan sputum dengan fibreoptic bronchoscopy (FOB) dan
transbronchial lung biopsy (TBLB) biasanya sangat membantu dalam menegakkan diagnosa
TB. Walaupun demikian FOB merupakan metode yang invasif dan membutuhkan tenaga ahli
untuk melakukannya.Selain itu FOB dapat berkontribusi meningkatkan penularan TB.
Pemeriksaan apusan sputum dilakukan dengan menggunakan metode tahan asam
Ziehl-Neelsen atau Kinyoun dimana bakteri akan tampak bewarna kemerahan dengan latar
belakang biru dan putih. Metode pewarnaan lainnya seperti auramine juga dapat dilakukan,

9
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

dengan pewarnaan ini maka Mycobacterium tuberculosis yang terwarna akan dapat berpendar
pada sinaran Ultra Violet. Mycobacterium tuberculosis akan tampak berwarna kuning muda.
Akan tetapi hasil apusan sputum bergantung pada jumlah bakteri yang ditemukan pada
sampel sehingga dianggap kurang sensitif.1,2

Gambar 4. Basil Tahan Asam Mycobacterium Tuberculosis


Kultur merupakan gold standard untuk menegakkan diganosis akan tetapi hal ini
membutuhkan waktu yang lama. Karena pertumbuhannya lambat maka kultur harus ditunggu
4-8 minggu. Selain dari penampakan koloninya yang berwarna persik, tes biokimia juga
penting untuk menentukan jenis mycobacterium. Teknik kultur yang cepat sedang
dikembangkan untuk memotong waktu pemeriksaan.1
Pada umumnya diagnosis biasa di tegakkan berdasarkan gejala, temuan radiologi dan
respon terhadap pengobatan empiris tanpa konfirmasi kultur. Akan tetapi melihat insidensi
resistensi obat yang tinggi maka pemeriksaan kultur dan tes sensitivitas perlu dilakukan.
Secara umum, Mycobacterium tuberculosis perlu diperiksa senstivitas terhadap isoniazid,
rifampin, dan ethambutol. Pemeriksaan terhadap sensitivitas obat lainnya juga perlu
dilakukan guna mencegah resistensi dan kegagalan pengobatan. 1,2
Tatalaksana
Obat-obatan TB dapat diklasifikasi menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat lapis pertama
dan lapis kedua. Kedua lapisan obat ini di arahkan ke penghentian pertumbuhan basil,
pengurangan basil dorman dan pencegahan terjadinya resistensi. Obat-obatan lapis pertama
terdiri dari H, R, Z, E, S dan obat-obatan lapis kedua mencakup rifabutin, etionamid,
sikloserin, PAS, klofazimin, aminiglikosida di luar streptomisin dan kuinolon.3

10
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

Obat Anti Tuberkulosis Golongan 1 (first-line antituberculosis drugs)


1. Rifampisin
Rifampisin merupakan obat semisintetik derivat dari Stretomyces mediteranei.
Rifampisin memegang peranan utama dalam pengobatan tuberkulosis. Selain itu,
rifampisin juga memiliki spektrum yang luas, sehingga dapat mengatasi baik bakteri
gram positif, maupun bakteri gram negatif, seperti Legionella spp., M. kasasii, dan M.
marinum. Rifampisin memiliki aktiviti bakterisidal di intraseluler dan juga
ektraseluler. Rifampisin menghambat sintesa RNA dengan mengikat dan menghambat
polymerase DNA dependant RNA.
Rifampisin dapat menyebabkan urin berwarna merah kekuningan. Selain itu,
efek samping yang dapat ditimbulkan oleh rifampisin adalah gangguan
gastrointestinal, hepatitis, rash atau kemerahan pada kulit, anemia hemolitik,
trombositopenia dan juga imunosupresi.
Rifampisin dapat memicu tebentuknya enzim mikrosomal di hepar sehingga
dapat menurunkan efektivitas beberapa jenis obat, seperti digoksin, warfarin,
prednison, kontrasepsi oral, obat-obat Zidovudine (ARV) dan juga kuinidin.3
Rifampisin meningkatkan metabolisme hepatik kontrasepsi oral sehingga dosis
kontrasepsi oral harus ditingkatkan.

2. Isoniazid (INH)

Setelah rifampisin, isoniazid merupakan obat antituberkulosis yang paling


efektif .3 Isoniazid harus diberikan pada setiap pengobatan tuberkulosis, kecuali jika
terdapat resistensi. Isoniazid memiliki efek bakteriostatik dan juga bakterisidal.1
Isoniazid dianggap obat yang aman; efek samping utamanya antara lain hepatitis dan
neuropati perifer karena interferensi fungsi biologi vitamin B6 atau piridoksin.3 Efek
samping lainnya seperti rash/kemerahan di kulit, anemia, kejang, dan gangguan
kejiwaan jarang dijumpai. Isonizid mempunyai kemampuan bakterisidal TBC yang
terkuat. Mekanisme kerjanya adalah menghambat cell-wall biosynthecis pathway

3. Pirazinamid

Pirazinamid merupakan derivat asam nikotinik, yang digunakan pada


pengobatan tuberkulosis jangka pendek 7. Pirazinamid memiliki efek bakterisidal 2,7
.
Efek samping yang paling sering dijumpai pada pemberian pirazinamid adalah

11
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

7,11
hepatotoksik dan juga hiperurisemia . Pirazinamid merupakan obat bakterisidal
untuk organisme intraselular dan agen anti tuberculous ketiga yang juga cukup
ampuh. Pirazinamid hanya diberikan untuk 2 bulan pertama pengobatan.3

4. Etambutol

2,7
Etambutol memiliki efek bakteriostatik terhadap MTB . Efek samping yang
paling berat dari etambutol adalah neuritis optik retrobulbar, yang biasanya muncul
setelah beberapa bulan mengkonsumsi etambutol. Efek samping ini muncul
tergantung dari dosis dan juga durasi pemberian obat. Kadang-kadang dapat pula
dijumpai hiperurisemia, namun asimtomatin. Etambutol satu-satunya obat lapis
pertama yang mempunyai efek bakeriostatik tetapi bila dikombinasikan dengan INH
dan Rifampisin terbukti bisa mencegah terjadinya resisten obat.3

5. Streptomisin
Streptomisin merupakan salah satu obat anti tuberkulosis pertama yang
ditemukan. Streptomisin ini merupakan suatu antibiotik golongan aminiglikosida
yang harus diberikan secara parenteral dan bekerja mencegah pertumbuhan organisme
ekstraseluler.3 Streptomisin dapat diberikan secara intramuskular. Streptomisin
memiliki efek bakterisidal.
Efek samping streptomisin muncul pada 10-20% pasien yang mendapat
streptomisin. Kekurangan obat ini adalah efek samping toksik pada saraf kranial
kedelapan yang dapat menyebabkan disfungsi vestibular dan atau hilangnya
pendengaran. Selain itu yang berbahaya dari streptomosin adalah sifatnya yang toksik
bagi ginjal (gagal ginjal non-oliguri).3

Obat Anti Tuberkulosis Golongan 2 (second-line antituberculosis drugs)


1. Quinolon
Obat-obat golongan quinolon digunakan jika terdapat resistensi terhadap OAT
golongan 1 atau pada pasien-pasien yang tidak dapat menggunakan OAT golongan 1.
Obat-obatan yang termasuk golongan quinolon adalah ofloxacin, levofloxacin,
ciprofloxacin, gatifloxacin dan moxifloxacin. Efek samping jarang sekali dijumpai.
Jika ada, biasanya berupa gangguan gastrointestinal, kemerahan pada kulit, pusing
dan sakit kepala. Efek samping yang cukup berat, seperti kejang, nefritis interstitial,
vaskulitis, dan gagal ginjal akut. Quinolon dapat diberikan secara intravena.3

12
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

2. Capreomycin
Capreomycin merupakan suatu kompleks antibiotik polipeptida siklik derifat
dari Streptomyces capreolus, yang memiliki kesamaan dalam pemberian dosis, cara
kerja, farmakologi dan toksisitas dengan streptomisin. Capreomycin diberikan secara
intramuskular dalam dosis 10-15mg/kg/hari atau 5 kali dalam seminggu (dosis
maksimal per-hari 1 g). Setelah diberikan selama 2-4 bulan, dosisnya diturunkan
menjadi 1 g dalam 2 atau 3 kali seminggu. Capreomycin merupakan obat injeksi
pilihan terhadap tuberkulosis setelah streptomisiin.3
3. Rifabutin
Rifabutin memiliki beberapa kemiripan karakteristik dengan rifampisin,
namun rifabutin ini juga dapat digunakan pada pasien-pasien yang resisten terhadap
rifampisin dan juga lebih efektif mengatasi M. avium complex dan nontuberculosis
mycobacterium lainnya. Pada pengobatan HIV dengan TB paru, akan lebih baik jika
menggunakan rifabutin dari pada rifampisin, karena efek interaksi obat antara
rifampisin dan Anti Retro Virus (ARV) yaitu nevirapin 7.
Efek samping rifabutin baru muncul jika pemberian dosis > 300 mg/hari. Efek
samping yang paling sering muncul adalah gangguan gastrointestinal. Selain itu, dapat
muncul gejala lain seperti kemerahan pada kulit, nyeri dada, myalgia, dan insomnia7.
Sama seperti rifampisin, pemakaian rifabutin juga dapat menyebabkan
perubahan warna urin menjadi berwarna merah kekuningan. Dari pemeriksaan
laboratorium, akan dijumpai neutropeni, trombositopeni dan peningkatan enzim hati.
Namun efek samping-efek samping tersebut akan hilang jika pemberian rifabutin
dihentikan 7.
4. Amikacin
Amikasin memiliki efek baksterisidal yang berkerja di ekstraseluler. Amikacin
ini efektif terhadap MTB, M. lepra, M. avium complex, dan lain-lain. Dosis yang
diberikan biasanya 7-10mg/kg IM atau IV, 3-5 kali dalam seminggu 7.
5. Ethionamide
Ethionamide adalah derivat asam isonikotinik, sama seperti isoniazid dan
pirazinamid. Obat ini memiliki efek bakteriostatik. Namun penggunaannya terbatas
karena efek toksisitas dan banyaknya efek samping, seperti gangguan gastrointestinal
berat (mual, muntah, anoreksia, disgesia), gangguan neurologis berat, hepatitis, reaksi
hipersensitivitas, dan juga hipotiroidisme 7.

13
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

Gambar 2.1 Dosis Obat Anti Tuberkulosis Dewasa

Pengobatan Tb paru pada orang dewasa di bagi dalam beberapa kategori yaitu:3,4

1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Diberikan kepada
 Penderita baru TBC paru BTA positif.
 Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru) berat.
2. Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3
Diberikan kepada :
 Penderita kambuh.
 Penderita gagal terapi.
 Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.
3. Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Diberikan kepada penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif
4. Kategori 4: RHZES
Diberikan pada kasus Tb kronik .

Efek Samping OAT


Sebagian besar pasien Tb paru dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.
Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.

14
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

Efek samping yang terjadi dapat yaitu:


1. Isoniazid (INH)
Sebagian besar pasien Tb paru dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama
pengobatan.
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simptomatis ialah:
 Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
 Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang -
kadang diare
 sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang - kadang diare
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
 Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu
dan penatalaksanaan sesuai pedoman Tb paru ada keadaan khusus
 Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari
gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi
walaupun gejalanya telah menghilang
 Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata
dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak
berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak
perlu khawatir.
3. Pirinizamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman Tb paru pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin)
dan kadang - kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini
kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang
- kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan

15
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya
15 - 25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu.
Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat
dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan
okuler sulit untuk dideteksi.
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko
tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala
efek samping yang terlihat ialah
telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan
ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr.
Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah
dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitiviti kadang
terjadi berupa demam yang timbul tiba - tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema
pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan
sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila
reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat
menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan hamil
sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin
Komplikasi
Tb paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi -
komplikasi yang sering terjadi adalah:
 Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan
kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok hipovolemik
 Kolaps lobus akibat sumbatan duktus
 Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat
pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru
 Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang pecah
 Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan sebagainya

16
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

DOTS (Directly Observed Treatment Short-course)


Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) adalah strategi penyembuhan TB
jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan strategi DOTS,
maka proses penyembuhan TB dapat berlangsung secara cepat. Directly Observed Treatment
Shortcourse bukanlah obat, hanya merupakan istilah (term), singkatan atau strategi
pengobatan TB. Directly Observed Treatment Shortcourse hanya bisa berjalan dengan efektif
kalau komponennya bisa berjalan dengan baik pula 1.
Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah dilaksanakan sejak tahun
1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang telah dipakai yaitu Isoniazid (H), para-amino
salisilik asid (PAS),Streptomisin (S), Etambutol (E), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z).5
Strategi DOTS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1995 di Indonesia dan telah
diimplementasikan secara meluas pada tahun 1997 dalam sistem pelayanan kesehatan
masyarakat 9. Directly Observed Treatment Shortcourse yang didasarkan pada rekomendasi
WHO, memasukkan pendidikan kesehatan, penyediaan obat anti-TB gratis dan pencarian
secara aktif kasus TB dalam strateginya.. Sampai dengan tahun 2001, 98% dari populasi
penduduk dapat mengakses pelayanan DOTS di puskesmas. Strategi ini diartikan sebagai
"pengawasan langsung menelan obat jangka pendek oleh pengawas pengobatan" setiap hari.
Indonesia adalah negara high burden, dan sedang memperluas strategi DOTS dengan
cepat, karenanya baseline drug susceptibility data ( DST ) akan menjadi alat pemantau dan
indikator program yang amat penting. Berdasarkan data dari beberapa wilayah, identifikasi
dan pengobatan TBC melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif, dan
lebih banyak lagi untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas, maka
banyak pasien yang didiagnosis oleh RS memiliki risiko tinggi dalam kegagalan pengobatan,
dan mungkin menimbulkan kekebalan obat.5
Akibat kurang baiknya penanganan pengobatan penderita TB dan lemahnya
implementasi strategi DOTS. Penderita yang mengidap BTA yang resisten terhadap OAT
akan menyebarkan infeksi TB dengan kuman yang bersifat Multi-drugs Resistant (MDR).
Untuk kasus MDR-TB dibutuhkan obat lain selain obat standard pengobatan TB yaitu obat
fluorokuinolon seperti siprofloksasin, ofloxacin, levofloxacin ( hanya sangat disayangkan
bahwa obat ini tidak dianjurkan pada anak dalam masa pertumbuhan ).
Peran DOTS
Indonesia adalah negara high burden dan sedang memperluas strategi DOTS dengan
cepat, karenanya baseline drug susceptibility data akan menjadi alat pemantau dan indikator
program yang amat penting. Berdasarkan data dari beberapa wilayah, identifikasi dan

17
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

pengobatan TB melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif dan lebih
banyak lagi untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas, maka
banyak pasien yang didiagnosis oleh RS memiliki risiko tinggi dalam kegagalan pengobatan
dan mungkin menimbulkan kekebalan obat
Directly Observed Treatment Shortcourse menekankan pentingnya pengawasan
terhadap penderita TB agar menelan obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai
dinyatakan sembuh. Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang tinggi, bisa sampai
95 %. Startegi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global untuk menanggulangi TB.5
Selain itu bank dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang
paling cost effective. Sampai tahun 2000, cakupan dari program DOTS baru mencapai 28%
dari 206.000 juta penduduk, dengan hasil pengobatan yang masih belum memuaskan. Ada
beberapa daerah yang sukses antara lain: Sulawesi. Faktor-faktor risiko yang sudah diketahui
menyebabkan tingginya prevalensi TB di Indonesia antara lain: kurangnya gizi, kemiskinan
dan sanitasi yang buruk. Pengobatan yang sukses di bawah program DOTS tetap tinggi
walaupun turun dari 91% menjadi 81% diantara tahun 1985-1996 kunci permasalahan dengan
pengobatan sistim DOTS ini adalah rendahnya penemuan kasus-kasus baru 3.
Strategi DOTS
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu :
 Komitmen politis dari pemerintah untuk bersungguh-sungguh menanggulangi TB &
dukungan dana
 Diagnosis penyakit TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis
 Pengobatan TB dengan paduan obat anti-TB jangka pendek, diawasi secara langsung
oleh Pengawas Minum Obat (PMO).
 Tersedianya paduan obat anti-TB jangka pendek secara konsisten
 Pencatatan dan pelaporan mengenai penderita TB sesuai standar 3.

Berikut akan dijelaskan satu persatu mengenai komponen-komponen tersebut diatas:


Pertama, komitmen politis dari para pengambil keputusan. Tuberkulosis adalah masalah
global, masalah bangsa sehingga program ini sangat membutuhkan dukungan yang kuat dari
para pimpinan puncak di masing-masing tingkatan pemerintahan.8 Komitmen yang
dimaksudkan di sini bukan komitmen semu, seakan-akan mempunyai komitmen padahal
mereka tidak mempunyai komitmen atau komitmen tersebut hanya teori saja tidak disertai
dengan tindakan nyata 3.

18
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

Hal lain misalnya dengan meningkatnya jumlah TB yang secara terus-menerus, para
pengambil kebijakan harus memberikan dana tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan
program lain dan seterusnya. Kelemahan sekaligus kesalahan yang terjadi adalah kadang-
kadang yang berkomitmen adalah para pengambil kebijakan tingkat di bawahnya sementara
mereka adalah pelaksana teknis di mana keputusan mereka ditentukan oleh pengambil
kebijakan di atasnya3.
Program ini tidak akan mungkin berjalan maksimal kalau yang mempunyai komitmen
hanya dimiliki oleh orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan seperti dinas kesehatan,
rumah sakit, puskesmas dan pelaksana unit lainnya. Komitmen utama harus berasal dari top
leader. Dukungan dana adalah hal yang sangat krusial dihadapi oleh hampir semua program
dan departemen, bahkan dana dianggap sebagai masalah klasik. Meskipun penanggulangan
TB saat ini mendapat bantuan dari global fund, namun hanya membiayai program-program
tertentu saja dan akan mempunyai periode waktu tertentu pula. Dengan kondisi ini, maka
sebaiknya pemerintah pusat dan daerah tetap harus mengalokasikan dana yang cukup untuk
penanggulangan program ini 3.
Kedua, diagnosis dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik. Untuk menentukan
seseorang menderita TB atau tidak, pada periode waktu yang lalu cara penentuannya kadang-
kadang berbeda antara satu unit pelaksana dengan unit yang lain. Misalnya di puskesmas
menentukan seseorang TB itu dengan pemeriksaan
dahak dengan istilah pagi-sewaktu-pagi. Sehingga kalau hasil pemeriksaan dahak dinyatakan
positif, maka mereka dianggap menderita TB sementara pada tempat yang lain, menyatakan
tidak cukup dengan pemeriksaan dahak dan harus didukung oleh pemeriksaan rontgen. Hasil
pemeriksaan rontgen yang akan memperkuat apakah seseorang benar-benar menderita TB
atau tidak 3.
Ketiga, pengobatan dengan pengawasan oleh Pengawas Minum Obat (PMO).
Pengawas Minum Obat mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses kesembuhan
penderita. Kita bisa membayangkan bahwa minum obat saja dengan penyakit biasa kadang-
kadang kita lupa minum obat dengan tepat waktu atau lupa sama sekali dan itu pun tidak
mempunyai efek besar kalau berhenti minum obat. Namun, berbeda halnya dengan penderita
TB di mana mereka harus menjalani masa pengobatan sekitar enam bulan. Obat harus
diminum sesuai aturannya, baik jumlahnya, jenisnya maupun waktunya. Dengan
kompleksnya masalah ini sehingga tidak sedikit penderita TB yang drop out, gagal berobat
karena mereka bosan 3.

19
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

Pemahaman penderita tentang TB yang kurang di mana penderita setelah minum obat
antibiotik beberapa hari dan batuknya sudah mulai membaik lalu kemudian mengklaim telah
sembuh. Padahal mereka sebetulnya belum sembuh, kuman TB hanya dormant (tidur
sementara) karena ia telah diintervensi dengan kehadiran antibiotik. Dalam hal ini, penderita
tetap butuh minum obat sampai benar-
benar kuman tidak ada lagi 3.
Keempat & kelima yaitu, ketersediaan obat untuk penderita yang disertai
pencatatan/pelaporan baku untuk pemantauan kemajuan pengobatan penderita dan evaluasi
kinerja program. Ketersediaan obat mempunyai peranan besar dalam program ini, baik
terhadap penderita yang sedang berobat atau pun penderita baru. Ketersediaan obat harus
mendapat jaminan dari pemerintah untuk menghindari drop out pada penderita lama maupun
penularan baru terhadap orang lain 3.
Tahapan DOTS
Dalam strategi DOTS ini ada tiga tahapan penting yaitu, mendeteksi pasien,
melakukan pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung. Deteksi atau diagnosis pasien
sangat penting karena pasien yang lepas dari deteksi akan menjadi sumber penyebaran TB
berikutnya. Seseorang yang batuk lebih dari 3 minggu bisa diduga mengidap TB. Orang ini
kemudian harus didiagnosa dan dikonfirmasikan terinfeksi kuman TB atau tidak. Sampai saat
ini, diagnosa yang akurat adalah dengan menggunakan mikroskop. Diagnosa dengan sinar-X
kurang spesifik, sedangkan diagnosa secara molekular seperti Polymerase Chain Reaction
(PCR) belum bisa diterapkan 3.
Jika pasien telah diidentifikasi mengidap TB, dokter akan memberikan obat dengan
komposisi dan dosis sesuai dengan kondisi pasien tersebut. Adapun obat TB yang biasanya
digunakan adalah isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, streptomycin, dan ethambutol. Untuk
menghindari munculnya bakteri TB yang resisten, biasanya diberikan obat yang terdiri dari
kombinasi 3-4 macam obat ini 3.
Dokter atau tenaga kesehatan kemudian mengawasi proses peminuman obat serta
perkembangan pasien. Ini sangat penting karena ada kecendrungan pasien berhenti minum
obat karena gejalanya telah hilang. Setelah minum obat TB biasanya gejala TB bisa hilang
dalam waktu 2-4 minggu. Walaupun demikian, untuk benar-benar sembuh dari TB
diharuskan untuk mengkonsumsi obat minimal selama 6 bulan. Efek negatif yang muncul
jika kita berhenti minum obat adalah munculnya kuman TB yang resisten terhadap obat. Jika
ini terjadi, dan kuman tersebut menyebar, pengendalian TB akan semakin sulit dilaksanakan.3

20
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

Akibat kurang baiknya penanganan pengobatan penderita TB dan lemahnya


implementasi strategi DOTS. Penderita yang mengidap BTA yang resisten terhadap OAT
akan menyebarkan infeksi TB dengan kuman yang bersifat Multi-drugs Resistant (MDR).
Untuk kasus MDR-TB dibutuhkan obat lain selain obat standard pengobatan TB yaitu obat
fluorokuinolon seperti siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin (hanya sangat disayangkan
bahwa obat ini tidak dianjurkan pada anak dalam masa pertumbuhan) 10.

BAB III
KESIMPULAN

Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
parenkim paru. Yang disebarkan melalui udara dari droplet penderita tb paru. Gejala dari tb
paru itu sendiri antara lain demam Biasanya terjadi sore hingga malam Batuk kronik lebih
dari 2 minggu hingga sampai batuk berdarah serta dapat bergejala seperti berkeringat malam,
nafsu makan menurun, kehilangan berat badan dan mudah menjadi lelah.

Strategi pemerintah dalam menanggulangi TB paru dengan sisrem DOTS (Directly


Observed Treatment Short-course). Kunci dari keberhasilan program DOTS adalah
Komitmen politis yang baik, Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya,
Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang
tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan., Jaminan ketersediaan OAT yang
bermutu. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.

21
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

REFERAT

TERAPI TUBERKULOSIS PARU DENGAN PROGRAM


NASIONAL DOTS

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

SUBBAGIAN PULMONOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN

JAKARTA 2018

Pembimbing:

dr. Ni Wayan S, Sp.P

Oleh:

Johanes Mayolus Davy Putra – 11.2017.002

22
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci, Anthony S. Kasper, Dennis L. Longo, Dan L. Braunwald, Hauser, Eugene


Stephen L. Jameson, J. Larry. Loscalzo, Joseph. Chapter 158 Tuberculosis in: Harrison
principle of internal medicine 17th edition. USA: Mc Graw Hill. 2008
2. Fitzpatrick, Lisa K. Braden, Christopher. Chapter 294 Tuberculosis in: Humes, David.
Dupont, Herbert L. Kelley textbook of medicine USA: Lippincott Williams & Wilkins
2000.
3. World Health Organization. Treatment of tuberculois, guidelines. Geneva: World Health
Organization. 2011
4. Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I ,
Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI , 2006: 998-1005, 1045-9.
5. NN. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 27 Juli 2009. Available from
http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia, Jakarta : Indah Offset Citra Grafika, 2006.
7. Aditama, T.Y. Tuberkulosis Diagnosis, Terapi & Masalahnya. Edisi IV. Jakarta : Ikatan
Dokter Indonesia (IDI), 2002.

23

Anda mungkin juga menyukai