Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13
Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang
telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008). Berdasarkan
defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65
tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari
suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk
beradaptasi dengan stres lingkungan.

Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk


mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini
berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan
kepekaan secara individual (Efendi, 2009). Penetapan usia 65 tahun ke atas
sebagai awal masa lanjut usia (lansia) dimulai pada abad ke-19 di negara Jerman.
Usia 65 tahun merupakan batas minimal untuk kategori lansia. Namun, banyak
lansia yang masih menganggap dirinya berada pada masa usia pertengahan. Usia
kronologis biasanya tidak memiliki banyak keterkaitan dengan kenyataan penuaan
lansia. Setiap orang menua dengan cara yang berbeda-beda, berdasarkan waktu
dan riwayat hidupnya. Setiap lansia adalah unik, oleh karena itu perawat harus
memberikan pendekatan yang berbeda antara satu lansia dengan lansia lainnya
(Potter & Perry, 2009).

Penuaan merupakan proses normal perubahan yang berhubungan dengan


waktu, sudah dimulai sejak lahir dan berlanjut sepanjang hidup. Usia tua adalah
fase akhir dari rentang kehidupan (Fatimah, 2010). Usia lanjut adalah kelompok
orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap dalam
jangka waktu beberapa dekade (Notoadmojo, 2010 ).

Di seluruh dunia saat ini terjadi transisi demografi dimana proporsi


penduduk berusia lanjut (lansia) bertambah, sedangkan proporsi penduduk berusia

1
muda menetap atau berkurang. Proporsi penduduk lansia dari total penduduk
dunia akan naik dari 10% pada tahun 1998 menjadi 15% pada tahun 2025, dan
meningkat hampir mencapai 25% pada tahun 2050 (Ratrinaningsih, 2007).
Indonesia sebagai salah satu Negara berkembang juga mengalami peningkatan
populasi penduduk lansia dari 4,48% (5,3 juta jiwa) pada tahun 1971 menjadi
9,77% (23,9 juta jiwa) pada tahun 2010. Bahkan pada tahun 2020 diprediksi akan
terjadi ledakan jumlah penduduk lansia sebesar 11,34% atau sekitar 28,8 juta jiwa
(Makmur, 2006). Indonesia termasuk Negara kelima yang akan memiliki populasi
lansia terbesar setelah Cina, India, Amerika Serikat dan Meksiko (Anonim, 2007).

Menurunnya fungsi tubuh pada proses menua menyebabkan munculnya


berbagai macam penyakit yang biasanya ditandai dengan keluhan susah tidur
(Ratrinaningsih, 2007). Meskipun beberapa usia mengalami perubahan pola tidur
merupakan konsekuensi normal proses penuaan, prevalensi dan potensial
terjadinya gangguan tidur berat memerlukan kewaspadaan klinis dan evaluasi.
Proses penuaan normal, penyakit kronik dan terapi obat meningkatkan kerentanan
terhadap insomnia. Insomnia yang terjadi pada lansia yaitu waktu untuk jatuh
tertidur memanjang dan jumlah total waktu tidur selalu menurun (Hudak dan
Gallo, 1997). Menurut data dari World Health Organisation (WHO) pada tahun
1993 kurang lebih 18% penduduk dunia pernah mengalami gangguan sulit tidur
dengan keluhan yang sangat hebat sehingga menyebabkan tekanan jiwa bagi
penderitanya. Prevalensi gangguan tidur setiap tahun cenderung meningkat sesuai
dengan peningkatan usia dan berbagai penyebabnya. Kaplan dan Sadock (2010)
melaporkan kurang lebih 40-50% dari populasi usia lanjut menderita gangguan
tidur.

Depresi adalah suatu perasaan sedih dan pesimis yang berhubungan


dengan penderitaan, dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau
perasaan marah yang dalam (Nugroho, 2000). Depresi merupakan masalah
kejiwaan yang seringkali menyerang Lansia dimana Lansia merasa tidak berdaya
dan kehilangan harapan hidup. Dengan semakin meningkatnya jumlah Lansia di
Indonesia yang diprediksi mencapai 414% pada tahun 2025, maka ada
kemungkinan banyak Lansia yang dapat menjadi depresi juga (Anonymous,

2
2009). Adapun prevalensi depresi pada Lansia yang menjalani perawatan di RS
dan panti perawatan sebesar 30-45% dari jumlah Lansia di Indonesia (Evy, 2008).

Kondisi lain yang sering ditemui pada Lansia yaitu insomnia. Lebih dari
50% Lansia mengeluh kesulitan tidur malam. Angka-angka ini cenderung
semakin bertambah untuk masamasa mendatang yang disebabkan karena usia
harapan hidup semakin bertambah, stressor psikososial semakin berat, dan
berbagai penyakit kronik yang semakin bertambah pada Lansia (Nugroho, 2000).
Lansia yang mengalami insomnia cenderung lebih mudah untuk menderita
depresi, dan mungkin juga sebaliknya. Selain itu akan timbul suatu penyakit,
menurunkan kemampuan dalam memenuhi tugas harian, dan kurang menikmati
aktivitas hidup. Hal tersebut akan mempengaruhi kehidupan Lansia sehari-hari
yang mengarah pada keadaan hilangnya perhatian terhadap keadaan sekelilingnya,
sehingga sedikit banyak akan memberi dampak pada kualitas hidup, produktivitas
dan keselamatan (Kembuan, 2009).

Mayoritas usia lanjut mengalami gangguan tidur dan frekuensi gangguan


tidur meningkat sesuai bertambahnya usia (Joseph, et al., 1993). Dalam studi
epidemiologi formal diperoleh data bahwa lebih dari 25% orang dewasa
mengalami insomnia dan berdampak pada kelangsungan hidup (Williams, 1999).
Diperkirakan gangguan tidur terjadi lebih dari satu setengah pada lansia usia 65
tahun (Hudak dan Gallo, 1997). Dan menurut National Institute of Aging dalam
evaluasi keluhan pada lansia, lebih dari 80% dari 9000 lansia 65 tahun keatas
melaporkan mengalami gangguan tidur (Ratrinaningsih, 2007).

Penyebab insomnia pada lansia dapat dibagi menjadi empat kelompok: (1)
penyakit fisik atau gejala, seperti nyeri jangka panjang, kandung kemih atau
prostat, penyakit sendi seperti arthritis atau bursitis, dan gastroesophageal reflux;
(2) faktor lingkungan/perilaku, termasuk diet/ nutrisi; (3) penggunaan obat-
obatan, seperti kafein, alkohol, atau obat resep untuk penyakit kronis, dan (4)
penyakit mental yang atau gejala, seperti kecemasan, depresi, kehilangan identitas
pribadi, atau dapat dikatakan status kesehatan yang buruk. Prevalensi insomnia
yang di definisikan sebagai gangguan tidur kronis yaitu sebanyak 50-70% dari

3
semua lansia yang berusia >65 tahun, penelitian sebelumnya juga menyebutkan di
thailand, hampir 50% pasien yang berusia >60 tahun mengalami insomnia.

Di Indonesia lansia termasuk lima besar terbanyak di dunia dengan jumlah


lansia sesuai sensus 4 penduduk 2010 berjumlah 18,1 juta jiwa (9,6% dr total
penduduk), pada tahun 2030 diperkirakan akan terus meningkat dan mencapai 36
juta. Gangguan tidur pada lansia dapat mengakibatkan dampak yang cukup berat,
karena pada negara berkembang banyak lansia yang masih bekerja. Dengan
adanya gangguan tidur, para lansia tidak dapat mengembalikan kondisi tubuhnya
dengan baik sehingga mengakibatkan kondisi mudah marah, kelelahan, pusing,
cemas serta stress yang mengakibatkan bunuh diri. Gangguan tidur juga sering
ditemukan pada lansia yang tinggal di panti jompo, terutama lansia yang biasa
bekerja dan setelah di panti jompo tidak bekerja, suasana berkabung, ataupun
hidup sendiri tanpa keluarga.

Penelitian mengenai Hubungan Depresi dan Insomnia pada Lansia sudah


pernah dilakukan sebelumnya di daerah Surakarta tepatnya di Panti Werdha
Dharma Bhakti Surakarta. Lansia di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta
sebagian besar mengalami depresi sebanyak 22 (59,5%). Salah satu yang paling
mempengaruhi adalah sebagian besar lansia yang tinggal di panti sudah tidak
memiliki keluarga dan yang memiliki keluarga sudah jarang ditemui lagi. Faktor
itulah yang menyebabkan lansia memiliki pandangan yang negatif terhadap
dirinya, sehingga didapatkan gejala depresi pada lansia yang tinggal di Panti
Wredha Dharma Bhakti Surakarta. Hal ini ditandai adanya pemikiran tidak ada
yang memperhatikan, merasa kesepian, merasa hidupnya tidak beruntung, dan
merasa sedih ditinggal keluarganya. Apabila itu terjadi terus-menerus akan
menyebabkan lansia tidak dapat mengendalikan dirinya, dan kejadian depresi
ringan-sedang merupakan tahapan awal yang terjadi sebelum memasuki tahapan
yang lebih kronis lagi. Penelitian ini didukung oleh Soejono bahwa depresi
menjadi salah satu problem gangguan mental yang sering ditemukan pada lanjut
usia. Prevalensinya diperkirakan 10%-15% dari populasi lanjut usia dan diduga
sekitar 60% dari pasien di unit Geriatri menderita depresi, sehingga gejala depresi
yang muncul seringkali dianggap sebagai bagian dari proses menua Angka

4
kejadian depresi pada lansia usia diatas 65tahun diperkirakan sekitar 10-30%
(Soejono, 2000).
Penelitian Panti Werdha Khusnul Khotimah di Kota Pekanbaru sendiri
belum ditemukan topik Hubungan Depresi dan Insomnia pada Lansia. Namun
demikian pernah diadakan penelitian tentang “Kehidupan Lansia yang di Titipkan
Keluarga di Panti Sosial Tresna Werda Khusnul Khotimah Pekanbaru” yang
menyatakan bahwa berbagai faktor atau masalah lansia yang dititipkan
keluarganya ke PSTW KK diantaranya yakni karena permasalahan ekonomi yang
minim, selalu berkonflik dan terjadi kesalahpahaman antara anak dan
menantunya, karena kasih sayang yang harus terbagi, dan ada juga karena ia tidak
ingin menyusahkan keluarga untuk merawatnya. Untuk hubungan keluarga
dengan lansia yang tinggal dipanti ini, ada yang hingga saat ini masih memiliki
hubungan yang bagus dengan keluarganya yakni para keluarga masih ada datang
berkunjung ke panti untuk menjenguk lansia yang dititipkannya dengan membawa
makanan dan buah-buahan, dan ada juga sebagian keluarga yang menjemput
lansia ini pulang kerumah pada saat hari besar islam yaitu hari raya idul fitri.
Tetapi ada juga yang sama sekali keluarga lansia tidak ada ada datang berkunjung
kepanti untuk menjenguk lansia ini, berkomunikasi melalui telepon,surat dan alat
komunikasi lainnya pun tidak ada, dan bahkan tidak tahu lagi kabar beritanya.

Peneliti sebelumnya juga membahas tentang suka dan duka yang dialami
lansia yang dititipkan keluarga di Panti Jompo. Dibalik beberapa rasa suka yang
dirasakan seperti tersedianya semua fasilitas dari panti tanpa harus ada yang
mereka pikirkan lagi seperti makan yang sudah terjadwal setiap hari, pakaian
sudah ada yang mencucikan, tempat tinggal dengan semua fasilitas yang sudah
tersedia, ada berbagai kegiatan yang diadakan panti dan berbagai instansi lain, dan
bahkan berbagai bantuan atau santunan yang selalu didapat. Mereka hanya
memikirkan untuk beribadah saja tanpa harus memikirkan hal-hal lainnya. Namun
tidak terlepas dari rasa suka, para lansia juga mengungkapkan rasa duka atau
kesedihannya tinggal di panti yakni jauhnya dari keluarga, rasa kangen kepada
anak, cucu, menantu dan keluarga lainnya, mereka merindukan berkumpul
bersama keluarganya dan hal itu tidak bisa mereka wujudkan kapan mereka ingin
bertemu keluarganya. Dan keinginan untuk kembali lagi berkumpul bersama

5
keluarganya tidak ada lagi keinginannya karena memang mereka merasa itulah
jalan Allah yang harus mereka jalani dengan sabar dan ikhlas dan sambil
menunggu hingga ajal menjemput.

Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti merasa perlu diadakan penelitian


tentang “Hubungan Depresi dan Insomnia pada Lansia di Panti Sosial Tresna
Werdha Khusnul Kotimah Kota Pekanbaru” untuk mengetahui ada atau tidaknya
hubungan antara rasa depresi yang dialami oleh lansia yang tinggal di Panti Sosial
Tresna Werdha Khusnul Khotimah dengan kejadian Insomnia yang diderita oleh
para lansia tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
perumusan masalah penelitian ini adalah “Apakah ada Hubungan Depresi dan
Insomnia pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Khusnul Khotimah Kota
Pekanbaru?”
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui Hubungan Depresi dan Insomnia pada Lansia di Panti Sosial
Tresna Werdha Khusnul Khotimah Kota Pekanbaru.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Distribusi frekuensi depresi pada lansia di Panti Sosial Tresna
Werdha Khusnul Khotimah Kota Pekanbaru
2. Distribusi frekuensi insomnia pada lansia di Panti Sosial Tresna
Werdha Khusnul Khotimah Kota Pekanbaru
3. Hubungan depresi dan insomnia pada lansia di Panti Sosial Tresna
Werdha Khusnul Khotimah Kota Pekanbaru

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian mengenai Hubungan Depresi dan Insomnia pada Lansia di Panti
Sosial Tresna Werdha Khusnul Khotimah Kota Pekanbaru tahun 2018 memiliki
tiga manfaat yaitu :

6
1. Manfaat Aplikatif
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat
kepada masyarakat tentang Hubungan Depresi dan Insomnia pada
Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Khusnul Khotimah Kota
Pekanbaru.
2. Manfaat Keilmuan
Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menambah ilmu
pengetahuan dan memberikan sumbangan ilmu pengetahuan yang
bermanfaat mengenai Hubungan Depresi dan Insomnia pada
Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Khusnul Khotimah Kota
Pekanbaru.
3. Manfaat Metodologi
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar dan
penambahan referensi yang dapat dijadikan pedoman untuk
menangani kasus mengenai Depresi dan Insomnia pada Lansia di
Panti Sosial Tresna Werdha Khusnul Khotimah Kota Pekanbaru
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Karena keterbatasan waktu, tenaga dan biaya, maka penulis membatasi
ruang lingkup penelitian. Hubungan Depresi dan Insomnia pada Lansia
dilaksanakan di Panti Sosial Tresna Werdha Khusnul Khotimah Kota Pekanbaru
saja mengingat PSTW KK adalah suatu wadah dikumpulkannya sebagian besar
lansia sehingga lebih mudah untuk diteliti. Hal ini menunjukkan adanya
kebutuhan berupa penelitian tentang Hubungan Depresi dan Insomnia pada Lansia
di Panti Sosial Tresna Werdha Khusnul Khotimah Kota Pekanbaru untuk
kemudian di evaluasi peningkatan pengetahuan serta perubahan sikap warga
setelah dilaksanakan penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai