Anda di halaman 1dari 51

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori
1. Penyandang Disabilitas dan Hak Asasi Manusia
a. Penyandang Disabilitas
1) Istilah Penyandang Disabilitas
Istilah penyandang disabilitas atau orang-orang yang
memiliki perbedaan kemampuan seringkali dikenal dengan istilah
“difable” (differently abled people) atau sekarang ini lebih dikenal
dengan istilah “disabilitas”, dimana masalah yang terkait dengan
disabilitas masih jarang mendapatkan perhatian dari pemerintah
maupun masyarakat di Indonesia. Terminologi lain yang digunakan
untuk menyebut “difable” ini antara lain adalah “penyandang
cacat”, “orang berkelainan”, atau “orang tidak normal”. Istilah
tersebut sebenarnya tidak “bebas nilai”, artinya ada pemahaman
nilai tertentu yang telah dipaksakan oleh sekelompok masyarakat
tertentu yang “melabelkan” dan mendominasi kelompok
masyarakat lain (Rahayu Repindowaty Harahap dan Bustanuddin,
Jurnal Inovatif, 2015 : 18).
Istilah penyandang disabilitas di Indonesia muncul setelah
adanya diskusi oleh Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia) yang bertajuk, “Diskusi Pakar Untuk Memilih
Terminologi Pengganti Istilah Penyandang Cacat” pada 19–20
Maret 2010 di Jakarta. Diskusi dihadiri oleh pakar hukum, pakar
bahasa, pakar komunikasi, pakar filsafat, pakar HAM, pakar
penyandang cacat, pakar psikologi, pakar isu kelompok rentan,
perwakilan kementerian sosial, Komisioner Komnas HAM. Hasil
diskusi terfokus berhasil menemukan dan menyepakati terminologi
penyandang disabilitas sebagai pengganti istilah penyandang cacat
(Daya Akselerasi Aditama, http://daksa.or.id/istilah-penyandang-

15
16

disabilitas-sebagai-pengganti-penyandang-
cacat/#sthash.vhaZpguI.dpuf, akses pada 13 Nopember 2015).
Beberapa istilah yang umum dikenal oleh masyarakat
beraneka ragam sehingga masih sulit untuk menyatukan paradigma
masyarakat dalam pemenuhan hak bagi mereka yang dikatakan
“cacat atau berkelainan” tersebut. Adapaun beberapa istilah yang
dikenal secara umum untuk menjelaskan mereka yang memiliki
keadaan “cacat” tersebut antara lain :
a) Orang dengan Disabilitas
Istilah ini digunakan dalam beberapa waktu
terakhir semenjak Indonesia meratifikasi Konvensi
Orang dengan Disabilitas (Convention on the Right of
Person with Disability) pada Tahun 2011. Definisi
istilah dari orang dengan disabilitas dalam konvensi ini
adalah termasuk mereka yang memiliki keterbatasan
fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka
waktu lama dimana ketika berhadapan dengan berbagai
hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh
dan efektif mereka dalam msayarakat berdasarkan
kesetaraan dengan yang lainnya. Menurut World Health
Organization (WHO), orang dengan disabilitas atau
disability adalah suatu keadaan dimana individu
mengalami kekuranganmampuan yang dimungkinkan
karena adanya impairment seperti kecacatan pada organ
tubuh.
b) Difabel
Difabel merupakan kependekan dari different
ability people yang berarti orang dengan kemampuan
berbeda. Istilah ini digunakan untuk memperlembut
istilah penyandang cacat. Istilah ini sudah mulai populer
digunakan oleh beberapa kalangan pemerhati difabel di
beberapa waktu terakhir ini, hingga saat ini pun
penggunaan istilah difabel ini masih sering digunakan.
c) Anak Berkebutuhan Khusus
Penyebutan ini lebih sering kita temui di dunia
pendidikan. Menurut Heward, anak berkebutuhan
khusus adalah anak yang memiliki karakteristik khusus
yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa
menunjukkan ketidakmampuan fisik, mental ataupun
emosi.
d) Anak Orang dengan Disabilitas
17

Istilah lain yang mulai diperkenalkan pada


akhir-akhir ini, khususnya dalam dunia aktivis anak
adalah Anak Penyandang Disabilitas yang berarti anak
yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual,
atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam
beriteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya
dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk
berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan
hak.
e) Penyandang Cacat
Istilah ini sangat berkembang di tahun 1990 atau
sebelumnya. Untuk beberapa pihak sampai saat ini
istilah tersebut masih digunakan misalnya di
Kementrian Sosial, masih menyebut orang dengan
disabilitas sebagai penyandang cacat meskipun bahasa
yang telah dilakukan setelah diratifikasinya CPRD di
Indonesia adalah orang dengan disabilitas. Namun
untuk definisi dari penyadang cacat itu sendiri adalah
setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau
mental, yang dapat mengganggu atau merupakan
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan
selayaknya, yang terdiri dari:
a. Penyandang cacat fisik,
b. Penyandang cacat mental,
c. Penyandang cacat fisik dan mental.
f) Handicap
Handicap ini juga sangat akrab dalam
menyebutkan mereka yang mengalami disfungsi salah
satu indera yang dimiliki akibat perang. Menurut WHO,
handicap ini merupakan ketidakberuntungan yang
dialami oleh individu yang dihasilkan dari impairment
atau disability yang membatasi atau menghambat peran
yang normal pada individu. Selain itu handicap juga
dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana individu
mempunyai ketidakmampuan dalam bersosialisasi dan
berinteraksi dengan lingkungan (Nurul Saadah
Andriani, dkk, 2015 : 26).

2) Pengertian Penyandang Disabilitas


Peraturan perundang-undangan di Indonesia merumuskan
pengertian penyandang disabilitas dalam Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang
menyatakan bahwa,
18

Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai


kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari:
a. Penyandang cacat fisik;
b. Penyandang cacat mental;
c. Penyandang cacat fisik dan mental.
Menurut Terjemahan Konvensi mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with
Disabilities) yang telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2011, penyandang disabilitas termasuk mereka yang
memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik
dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan
berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh
dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan
dengan yang lainnya (Pasal 1 Konvensi mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas).
3) Jenis Penyandang Disabilitas
Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997
tentang Penyandang Cacat, maka jenis-jenis atau macam-macam
kecacatan atau difabel dapat dikategorikan antara lain (Argyo
Demartoto, 2005 : 10-11) :
a) Cacat Fisik
Yaitu kecacatan yang mengakibatkan gangguan
pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan,
pendengaran, dan kemampuan berbicara. Yang
termasuk dalam criteria ini adalah: a) cacat kaki, b)
cacat punggung, c) cacat tangan, d) cacat jari, e) cacat
leher, f) cacat netra, g) cacat rungu, h) cacat wicara, i)
cacat raba (rasa), j) cacat pembawaan. Cacat tubuh
memiliki banyak istilah, salah satunya adalah tuna
daksa. Istilah ini berasal dari kata tuna yang berarati
rugi atau kurang, sedangkan daksa berarti tubuh. Jadi
tuna daksa ditujukan bagi mereka yang memiliki
anggota tubuh tidak sempurna.
Cacat tubuh dapat digolongkan sebagai berikut:
(1) Menurut sebab cacat adalah cacat sejak lahir,
disebabkan oleh penyakit, disebabkan kecelakaan, dan
disebabkan oleh perang.
19

(2) Menurut jenis cacatnya adalah putus (amputasi) tungkai


dan lengan; cacat tulang, sendi, dan otot pada tungkai
dan lengan; cacat tulang punggung; celebral palsy;
cacat lain yang termasuk pada cacat tubuh orthopedi;
paraplegia.
b) Cacat Mental
Yaitu kelainan mental dan atau tingkah laku,
baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit, antara
lain: a) retardasi mental, b) gangguan psikiatrik
fungsional, c) alkoholisme, d) gangguan mental organik
dan epilepsi.
c) Cacat Ganda atau Cacat Fisik dan Mental
Yaitu keadaan seseorang yang menyandang dua
jenis kecacatan sekaligus. Apabila yang cacat adalah
keduanya maka akan sangat mengganggu penyandang
cacatnya.
Lembaga Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak
(SAPDA) melalui “Buku Saku Kekerasan pada Perempuan dengan
Disabilitas” memberikan penjelasan mengenai jenis penyandang
disabilitas dalam empat kelompok, sebagai berikut:
a) Disabilitas Rungu-Wicara
Disabilitas wicara atau gangguan bicara adalah suatu
gangguan dimana seseorang mengalami kesulitan bicara, bisa
disebabkan adanya kelainan bentuk atau tidak berfungsinya
alat-alat bicara, kurang atau tidak berfungsinya indera
pendengaran, keterlambatan perkembangan bahasa, kerusakan
pada sistem syaraf dan struktur otot dan ketidakmampuan
dalam mengontrol gerak. Secara umum orang dengan gangguan
pendengaran atau penyandang disabilitas rungu dan wicara
sering menggunakan isyarat dalam hambatan berkomunikasi,
kurang tanggap bila diajak bicara, kata-kata yang diucapkan
tidak jelas. Sering juga mereka menutup diri dari disabilitas
yang lain atau non disabilitas karena mereka sering tidak bisa
memahami komunikasi dengan disabilitas rungu-wicara.
b) Disabilitas Netra
20

Gangguan penglihatan (disabilitas netra) adalah kondisi


seseorang yang mengalami gangguan atau hambatan dalam
indra penglihatannya, dimana jenis disabilitas netra antara lain:
(1) Low Vision
Seseorang dikatakan low vision apabila memiliki
kelainan fungsi penglihatan dengan jarak pandang
maksimal 6 meter dan luas pandangan 20 derajat. Beberapa
ciri yang tampak pada low vision, antara lain:
(a) Menulis dan membaca dengan jarak yang sangat dekat.
(b) Hanya dapat membaca huruf yang berukuran besar.
(c) Mata tampak lain, terlihat putih di tengah mata atau
kornea (bagian bening di depan mata) terlihat berkabut.
(d) Memicingkan mata atau mengerutkan kening terutama
di cahaya terang dan saat mencoba melihat sesuatu.
(e) Lebih sulit melihat pada malam hari daripada siang hari
(f) Pernah mengalami operasi mata dan atau memakai
kacamata yang sangat tebal tetapi masih tidak dapat
melihat dengan jelas.
(2) Total Blind
Total blind adalah keadaan dimana seseorang sama
sekali tidak dapat melihat atau mengalami kebutaan total.
c) Disabilitas Fisik (Daksa)
Disabilitas fisik dapat dilihat dalam beberapa jenis
gangguan dan mobilitas yang dialami, antara lain:
(1) Gangguan pada anggota tubuh seperti kaki, tangan dan lain-
lain
Gangguan ini terjadi akibat terbatasnya kemampuan
anggota tubuh untuk melakukan gerak dan perpindahan
sehingga memerlukan alat bantu untuk melakukan aktivitas.
(2) Gangguan fungsi tubuh akibat spinal bifida
21

Spinal bifida adalah suatu keadaan yang dialami


oleh seorang yang berupa kelainan tulang belakang, yaitu
adanya celah pada tulang belakang yang disebabkan oleh
adanya ruas-ruas tulang belakang yang gagal menyatu dari
awal proses kehamilan. Gangguan ini mengakibatkan
tungkai kaki pengkor, kelumpuhan kaki, tidak dapat
mengontrol buang air kecil dan besar, serta gangguan
tumbuh kembang lainya.
(3) Gangguan fungsi tubuh akibat spinal cord injury (SCI)
SCI merupakan suatu kondisi yang dihasilkan dari
adanya kerusakan atau trauma pada jaringan tulang
belakang. Ini bisa disebabkan oleh peristiwa kecelakaan.
Jenis SCI dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
(a) Gangguan fungsi tubuh akibat paraphlegia
Gangguan fungsi tubuh akibat paraphlegia ini
adalah gangguan fungsi tubuh akibat kelumpuhan pada
tungkai kaki.
(b) Gangguan fungsi tubuh akibat hemiplegia
Gangguan fungsi tubuh akibat hemiplegia ini
adalah gangguan fungsi tubuh yang diakibatkan oleh
kelumpuhan pada bagian atas dan bawah tubuh pada
sisi yang sama.
(4) Gangguan fungsi tubuh akibat amputasi
Gangguan fungsi tubuh akibat amputasi adalah
gangguan fungsi tubuh yang kehilangan sebagian anggota
gerak baik tangan ataupun kaki, baik sebagian ataupun
seluruhnya.
(5) Gangguan fungsi tubuh akibat polio
Poliomielitis atau polio adalah penyakit paralisis
atau lumpuh yang disebabkan oleh virus Poliobirus (PB)
yang masuk ke tubuh melalui mulut dan menginfeksi
22

saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran dan mengalir


ke sistem syaraf pusat sehingga dapat menyebabkan
melemahnya otot bahkan dapat menyebabkan kelumpuhan.
d) Disabilitas Grahita
Disabilitas grahita merupakan istilah yang digunakan
untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual
di bawah rata-rata. Istilah lain untuk anak disabilitas grahita
dengan sebutan anak dengan hambatan perkembangan
intelektual. Diambil dari kata Children with developmental
impairment, kata impairment diartikan sebagai penurunan
kemampuan atau berkurangnya kemampuan dalam segi
kekuatan, nilai, kualitas, dan kuantitas. Faktor penyebab
grahita, antara lain:
(1) Genetik atau keturunan,
(2) Sebab-sebab pada masa prenatal (masa kehamilan),
(3) Sebab-sebab pada masa natal (proses melahirkan),
(4) Sebab-sebab pada post natal (pasca melahirkan), dan
(5) Faktor sosiokultural (lingkungan).
b. Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak asasi berasal dari dua kata yakni hak dan asasi.
Diterjemahkan dari bahasa Arab, kata Haqq diambil dari akar
kata haqqa, yahiqau, haqqaan artinya benar, nyata, pasti, tetap,
dan wajib. Haqq adalah kewenangan atau kewajiban untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan
kata asasiy berasal dari akar kata assa, yaussu, asasaan artinya
membangun, mendirikan, dan meletakkan (Satya Arinanto,
2009 : 17). Dalam bahasa Indonesia, Hak Asasi Manusia
(HAM) dapat diartikan sebagai hak-hak mendasar pada diri
manusia. Hak-hak asasi merupakan suatu perangkat asas-asas
yang timbul dari nilai-nilai yang kemudian menjadi kaidah-
kaidah yang mengatur perilaku manusia dalam hubungan
dengan sesama manusia (Satya Arinanto, 2009 : 15).

Isu Hak Asasi Manusia (HAM) terus berkembang seiring


dengan tingkat kesadaran manusia atas hak dan kewajiban yang
dimilikinya. Perubahan UUDNRI Tahun 1945 adalah fakta sejarah
23

sekaligus diyakini sebagai the starting point bagi penguatan demokrasi


Indonesia yang berbasis perlindungan HAM. HAM dipahami sebagai
hak absolut tanpa mengindahkan pentingnya kehadiran kewajiban
asasi manusia (Satya Arinanto, 2009 : 3). HAM merupakan hak kodrati
yang melekat pada manusia. HAM menyatakan bahwa kemanusiaan
manusia memiliki hak yang bersifat mendasar. Hak yang mendasar itu
menyatu dengan jati diri manusia. Adanya hak pada seseorang berarti
ia mempunyai suatu “keistimewaan” yang membuka kemungkinan
baginya untuk diperlakukan sesuai dengan “keistimewaan” yang
dimilikinya (Satya Arinanto, 2009 : 14–15). Perlindungan dan
pemenuhan HAM diharapkan dapat mewujudkan interaksi sosial yang
baik antar manusia.

c. Hak Asasi Manusia bagi Penyandang Disabilitas


Masyarakat internasional pada dasarnya telah memberikan
pengakuan terhadap perlindungan dan pemenuhan HAM terhadap
penyandang disabilitas atau penyandang cacat. Tidak saja dalam
bentuk deklarasi, perlindungan hak-hak penyandang cacat juga
ditetapkan dalam berbagai konvensi yang mengikat secara hukum.
Penyandang cacat memperoleh perlakuan khusus dimaksudkan sebagai
upaya perlindungan dari kerentanan terhadap berbagai pelanggaran
HAM (Satya Arinanto, 2009 : 275). Kecacatan tidak menjadi alasan
untuk mengibiri atau mengeliminasi mereka dalam memperoleh hak
hidup dan hak mempertahankan kehidupan. Ketentuan Pasal 28A
UUDNRI Tahun 1945 menjadi landasan konstitusional bagi
perlindungan hak-hak penyandang cacat (Satya Arinanto, 2009 : 276).
Pengakuan mendasar juga terlihat dari konsideran dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang menjelaskan, secara
nasional menegaskan penyandang cacat merupakan bagian masyarakat
Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran
yang sama. Jumlah penyandang cacat semakin bertambah, wujud
24

eksistensi terhadap mereka membutuhkan perlindungan yang lebih


konkret dan antisipatif (Satya Arinanto, 2009 : 277).
Permasalahan penyandang cacat, menurut Eva Rahmi Kasim,
haruslah dilihat sebagai sesuatu yang universal dan
menyeluruh. Universal dan menyeluruh dalam pengertian
bahwa kecacatan merupakan kondisi yang wajar dalam setiap
masyarakat, karena itu pembuat kebijakan seharusnya juga
memandang bahwa kebutuhan penyandang cacat adalah sama
seperti warga negara lainnya dengan mengintegrasikan
penyandang cacat dalam semua kebijakan yang menyangkut
segala aspek hidup dan penghidupan (Satya Arinanto, 2009 :
286–287).
Pemberian pelayanan-pelayanan khusus bagi penyandang cacat
atau penyandang disabilitas harus dipahami sebagai salah satu bentuk
pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM.
Kecacatan melambangkan adanya realitas kehidupan yang majemuk,
dimana perlu pula adanya perlindungan khusus sebagai wujud
kewajiban kemanusiaan yang universal, yaitu empat nilai utama HAM,
kemartabatan, otonomi, persamaan dan solidaritas kemanusiaan (Satya
Arinanto, 2009 : 288). Upaya perlindungan hak-hak penyandang cacat
merupakan upaya perlindungan bagi HAM universal. Sebagai
kelompok yang rentan terhadap pelanggaran HAM, maka eksistensi
dan masa depan penyandang cacat harus dilihat sebagai bagian dari
realitas kehidupan manusia universal. Perlindungan dan pemenuhan
HAM pada intinya adalah perlindungan hak-hak kelompok rentan,
termasuk di dalamnya hak-hak penyandang cacat (Satya Arinanto,
2009 : 289).
Selain telah tercantum dalam UUDNRI Tahun 1945, Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
juga telah memberikan jaminan, pengakuan, serta perlindungan
terhadap hak, kedudukan dan perlakuan tanpa diskriminatif kepada
setiap warga negara termasuk bagi penyandang disabilitas. Pasal 5 ayat
(3) menyatakan bahwa, “Setiap orang yang termasuk kelompok
masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
25

perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.” Dalam


Penjelasan Pasal 5 ayat (3) menjelaskan yang dimaksud dengan
“kelompok masyarakat yang rentan” antara lain adalah orang yang
lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang
cacat. Penjelesan pasal tersebut sudah jelas bahwa penyandang
disaibilitas atau penyandang cacat memiliki hak untuk mendapat
perlindungan yang khusus.
2. Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Perlindungan Hukum bagi
Korban Kejahatan terhadap Kesusilaan
a. Kejahatan terhadap Kesusilaan
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa
Belanda yaitu strafbaar feit. Arti kata “feit” sendiri dalam bahasa
Belanda merupakan “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een
gedeelte van de werkelijkheid”, sedangkan kata “strafbaar” berarti
“dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan “strafbaar feit”
dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang
dapat dihukum” (P.A.F. Lamintang, 2013 : 181).
Pembentuk undang-undang telah menggunakan istilah
“strafbaar feit” untuk menyatakan apa yang dikenal sebagai “tindak
pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa
memberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang
dimaksud dengan istilah “strafbaar feit” tersebut (P.A.F. Lamintang,
2013 : 181). Tindak pidana dapat dikatakan merupakan istilah resmi
dalam perundang-undangan pidana di Indonesia. Hampir seluruh
peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana.
Selain itu, ada istilah lain yang digunakan yakni perbuatan pidana,
peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, dan lainnya (Adami
Chazawi, 2011 : 67-68). Moeljatno mengatakan bahwa pengertian
perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
26

tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut (Mahrus


Ali, 2012 : 97).
Menurut Mahrus Ali dalam bukunya yang berjudul “Dasar-
Dasar Hukum Pidana”, secara teoritis terdapat beberapa jenis
perbuatan pidana, salah satu diantaranya yakni kejahatan.
Kejahatan atau rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu
diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak.
Sekalipun dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang,
perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai
perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Disebut juga
mala in se, yang artinya perbuatan tersebut merupakan
perbuatan jahat karena sifat perbuatan tersebut memang jahat
(Mahrus Ali, 2012 : 101).
Sesuai dengan permasalahan hukum yang dibahas oleh penulis,
banyaknya kejahatan yang terjadi sekarang ini yaitu kejahatan yang
terkait dengan kesusilaan. Bahkan korban atas kejahatan tersebut
bukan hanya orang dewasa melainkan pula anak-anak yang seharusnya
dilindungi. Kata “kesusilaan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
diterbitkan oleh Balai Pustaka Tahun 1989, memiliki arti “perihal
susila”, dimana kata “susila” sendiri memiliki arti yaitu:
1) Baik budi bahasanya, beradab, sopan, tertib.
2) Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban.
3) Pengetahuan tentang adat (Leden Marpaung, 1996 : 2).
Menurut Leden Marpaung, makna dari “kesusilaan” sendiri
berkaitan dengan moral, etika yang telah diatur dalam perundang-
undangan. Sedangkan persepsi masyarakat terhadap “kesusilaan”
menurut beliau, yakni “behavior as to right or wrong, esp in relation
to sexual matter” (Leden Marpaung, 1996 : 3). Penjelasan tersebut
mengacu pada pengertian bahwa “kesusilaan” erat kaitannya dengan
perilaku seksual.
27

Perilaku seksual yang dimaksud yakni dalam artian negatif atau


perilaku seksual yang menyimpang. Kemajuan teknologi yang makin
berkembang juga mempengaruhi perilaku seksual yang menyimpang,
yang kemudian memicu terjadinya kejahatan. Kejahatan yang muncul
akibat adanya perilaku seksual yang menyimpang sudah muncul sejak
lama, bahkan terus berkembang cara atau perbuatan yang dilakukan
karena pengaruh perkembangan teknologi tersebut. Peraturan
perundang-undangan di Indonesia mengenal kejahatan yang terkait
dengan perilaku seksual ini sebagai kejahatan terhadap kesusilaan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai dasar hukum
bagi hukum pidana yang berlaku di Indonesia telah mengatur
mengenai kejahatan terhadap kesusilaan.
1) Kejahatan terhadap Kesusilaan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)
Kejahatan terhadap kesusilaan diatur oleh Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), dalam BAB XIV yang tercantum
dalam Pasal 281 sampai dengan Pasal 303. Namun, dalam BAB
XIV KUHP bukan hanya mengatur mengenai kejahatan terhadap
kesusilaan yang terkait dengan perilaku seksual, ada pula beberapa
kejahatan yang dikategorikan dalam kejahatan terhadap kesusilaan
yang tidak diakibatkan oleh perilaku seksual yang menyimpang.
Pasal-pasal dalam BAB XIV KUHP memuat beberapa
perbuatan yang dikategorikan dalam kejahatan terhadap kesusilaan,
antara lain sebagai berikut:
a) Pasal 281 Tentang tindak pidana dengan sengaja
melanggar kesusilaan di depan umum.
b) Pasal 282 Tentang tindak pidana menyebarluaskan,
mempertunjukkan, dan lain-lain suatu tulisan, gambar atau
benda yang melanggar kesusilaan.
c) Pasal 283 Tentang tindak pidana menawarkan,
menyerahkan, dan lain-lain suatu tulisan, gambar, dan lain-
28

lain yang sifatnya melanggar kesusilaan kepada seseorang


anak di bawah umur.
d) Pasal 283 bis Tentang pencabutan hak untuk melakukan
pekerjaan bagi pelaku tindak pidana yang telah melakukan
tindak pidana yang diatur dalam Pasal 282 dan Pasal 283
KUHP dalam pekerjaannya.
e) Pasal 284 Tentang tindak pidana perzinaan.
f) Pasal 285 Tentang tindak pidana perkosaan.
g) Pasal 286 Tentang tindak pidana mengadakan
hubungan kelamin dengan wanita yang sedang berada dalam
keadaan pingsan atau tidak berdaya.
h) Pasal 287 Tentang tindak pidana mengadakan
hubungan kelamin di luar pernikahan dengan seorang wanita
yang belum mencapai usia lima belas tahun atau belum dapat
dinikahi.
i) Pasal 288 Tentang tindak pidana mengadakan
hubungan kelamin dalam pernikahan dengan seorang wanita
yang belum dapat dinikahi.
j) Pasal 289 Tentang tindak pidana dengan kekerasan
atau dengan ancaman akan memakai kekerasan memaksa
seseorang untuk melakukan atau untuk membiarkan
dilakukannya tindakan-tindakan melanggar kesusilaan.
k) Pasal 290 Tentang tindak pidana melakukan tindakan
melanggar kesusilaan dengan orang yang berada dalam
keadaan pingsan, dalam keadaan tidak berdaya atau belum
mencapai usia lima belas tahun.
l) Pasal 291 Tentang pemberatan.
m) Pasal 292 Tentang tindak pidana melakukan perbuatan
melanggar kesusilaan dengan seseorang anak di bawah umur
dari jenis kelamin yang sama.
29

n) Pasal 293 Tentang tindak pidana dengan sengaja


menggerakkan anak di bawah umur untuk melakukan
tindakan melanggar kesusilaan dengan dirinya atau
membiarkan dilakukannya tindakan seperti itu dengan
dirinya.
o) Pasal 294 Tentang tindak pidana melakukan tindakan
melanggar kesusilaan dengan anaknya sendiri, dengan anak
tirinya, dengan anak angkatnya, dan lain-lain yang masih di
bawah umur.
p) Pasal 295 Tentang tindak pidana dengan sengaja
menyebabkan atau mempermudah dilakukannya tindakan
melanggar kesusilaan dengan orang ketiga oleh anaknya
sendiri, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak yang
diurusnya yang belum dewasa.
q) Pasal 296 Tentang tindak pidana membuat kesengajaan
menyebabkan atau memudahkan dilakukannya tindakan-
tindakan melanggar kesusilaan dengan orang ketiga sebagai
mata pencarian atau sebagai kebiasaan.
r) Pasal 297 Tentang perdagangan wanita dan pria belum
dewasa.
s) Pasal 298 Tentang berlakunya pidana tambahan.
t) Pasal 299 Tentang tindak pidana dengan sengaja
merawat wanita atau menggerakkan seseorang wanita
mendapatkan perawatan dengan memberitahukan kepadanya
atau dengan memberikan harapan kepadanya bahwa suatu
kehamilan dapat menjadi terganggu (aborsi).
u) Pasal 300 Tentang tindak pidana dengan sengaja
menjual atau menyerahkan minuman yang sifatnya
memabukkan kepada seseorang yang berada dalam keadaan
mabuk dan lain-lain.
30

v) Pasal 301 Tentang tindak pidana memberikan atau


menyerahkan seorang anak di bawah usia dua belas tahun
yang berada di bawah kekuasaannya untuk melakukan
perbuatan meminta-minta, untuk dipakai dalam pertunjukan
ketangkasan yang berbahaya, atau untuk melakukan
pekerjaan yang berbahaya bagi keselamatannya.
w) Pasal 302 Tentang tindak pidana penganiayaan ringan
terhadap binatang.
x) Pasal 303 Tentang tindak pidana dengan sengaja
melakukan sebagai usaha, perbuatan menawarkan atau
memberikan kesempatan untuk bermain judi atau turut serta
dalam usaha seperti itu.
y) Pasal 303 bis Tentang tindak pidana berjudi atau turut
serta berjudi.
Pasal-pasal di atas dikategorikan dalam kejahatan terhadap
kesusilaan, namun dalam Pasal 297, Pasal 300 sampai dengan
Pasal 303 bis tidak berkaitan dengan perilaku seksual yang
menyimpang, atau dengan kata lain pasal-pasal tersebut tidak
sebenarnya tidak sesuai dengan makna dari kejahatan terhadap
kesusilaan yang diartikan terkait dengan pelanggaran akibat
perilaku seksual yang menyimpang. Namun, pasal-pasal tersebut
diatur dalam BAB XIV KUHP mengenai kejahatan terhadap
kesusilaan, ini berarti perbuatan tersebut masuk dalam kategori
pelanggaran terhadap kesusilaan. KUHP yang dianut oleh
Indonesia tidak membatasi kejahatan terhadap kesusilaan terbatas
pada perilaku seksual yang menyimpang atau etika itu sendiri.
Berlakunya KUHP sebagai dasar hukum bagi hukum
pidana di Indonesia, mengenal pula asas lex specalis derogat lex
generale, dimana diartikan bahwa undang-undang yang khusus
mengesampingkan undang-undang yang lama. Dibentuknya
undang-undang yang khusus mengatur mengenai peraturan terkait
31

beberapa perbuatan yang telah dirumuskan oleh KUHP


sebelumnya, maka akan berlaku undang-undang yang secara
khusus tersebut, atau dengan kata lain pasal dalam undang-undang
khusus tersebut menggantikan pasal yang diatur dalam KUHP.
Terkait kejahatan terhadap kesusilaan dalam BAB XIV
KUHP, terdapat beberapa pasal yang telah diatur dalam undang-
undang secara khusus, antara lain yaitu:
a) Pasal 297 KUHP yang mengatur mengenai perdagangan
wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa, sudah
digantikan dengan peraturan dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak, serta lebih spesifik terhadap
perdagangan orang telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
b) Pasal terkait dengan pelanggaran kesusilaan terhadap
seseorang yang belum dewasa atau di bawah umur, untuk
selanjutnya berlaku Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak. Undang-undang tersebut mengatur
mengenai kejahatan yang dilakukan terhadap anak secara
lebih rinci, termasuk perlindungan terhadap anak sebagai
korban dari kejahatan tersebut.
2) Kejahatan Kesusilaan terhadap Anak dalam Undang-Undang
No. 23 Tahun 2002 juncto Undang-Undang No. 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak
Kejahatan terhadap kesusilaan bukan hanya terjadi pada
orang dewasa saja, belakangan ini banyak kasus terjadi justru pada
anak-anak. Anak-anak yang seharusnya dilindungi justru menjadi
objek kejahatan. Dalam penjelasan penulis sebelumnya, KUHP
telah mengatur mengenai kejahatan terhadap kesusilaan dimana
32

korban dalam keadaan belum dewasa atau belum cukup umur, atau
diartikan sebagai anak-anak.
Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan oleh
penulis di atas, sesuai dengan asas lex specialis derogat lex
generale. Maka, terkait bunyi pasal-pasal dalam BAB XIV KUHP
yang mengatur mengenai kejahatan atau tindak pidana yang
dilakukan terhadap anak, untuk selanjutnya mengacu pada
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dibentuknya
Undang-Undang tentang Perlindungan Anak tersebut berarti atas
semua perbuatan atau kejahatan yang terjadi pada anak, rumusan
delik serta ancaman hukuman berlaku dan merujuk pada ketentuan
dalam undang-undang tersebut, termasuk kejahatan terhadap
kesusilaan yang dialami oleh anak.
Undang-undang tersebut di atas dibentuk untuk melindungi
hak-hak anak, termasuk ketika anak menjadi korban kejahatan.
dalam undang-undang tersebut kejahatan terhadap kesusilaan lebih
diatur secara spesifik yaitu dengan menggunakan rumusan
kejahatan seksual. Berikut pasal-pasal yang mengatur mengenai
kejahatan terhadap kesusilaan dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, sebagai
berikut:
a) Pasal 76D, “Setiap Orang dilarang melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan kata lain.” Untuk ancaman hukuman
pidana dan/atau denda diatur dalam Pasal 81.
b) Pasal 76E, “Setiap Orang dilarang melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
33

cabul.” Ancaman hukuman pidana dan/atau denda pada pasal


ini diatur dalam Pasal 82.
c) Pasal 76F, “Setiap Orang dilarang mendapatkan,
membiarkan, melakukan, menyuruh lakukan, atau turut serta
melakukan penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan
Anak.” Ancaman hukuman pidana dan/atau denda diatur
dalam Pasal 83.
d) Pasal 76I, “Setiap Orang dilarang menempatkan,
membiarkan, melakukan, menyuruh lakukan, atau turut serta
melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual
terhadap Anak.” Diancam hukuman pidana dan/atau denda
yang diatur dalam Pasal 88.
b. Perlindungan Hukum bagi Korban Kejahatan terhadap
Kesusilaan
1) Korban
Rena Yulia dalam buku “Viktimologi: Perlindungan
Hukum terhadap Korban Kejahatan” mengemukakan pendapat Arif
Gosita mengenai korban, yang dimaksud dengan korban adalah
mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri
sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri
sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak
asasi yang menderita (Rena Yulia, 2013 : 49). Korban dalam
lingkup viktimologi memiliki arti luas tidak terbatas pada individu
saja yang mengalami penderitaan namun juga pada kelompok,
korporasi, swasta maupun pemerintah. Viktimilogi sendiri
merupakan ilmu yang memperlajari tentang korban, penyebab
timbulnya korban dan akibat-akibat timbulnya korban. Manfaat
viktimologi dapat memahami kedudukan korban sebagai sebab
dasar terjadinya kriminalitas dan mencari kebenaran (Rena Yulia,
2013 : 39).
34

Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun


2006 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, menyatakan bahwa: “Korban
adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.
Bunyi pasal tersebut memiliki pengertian bahwa semua orang yang
mengalami penderitaan seperti yang disebutkan tersebut
merupakan korban, yangmana harus tetap mendapat perlindungan
serta pemenuhan hak-haknya.
Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam
terjadinya kejahatan, Ezzat Abde Fattah menyebutkan beberapa
tipologi korban, antara lain sebagai berikut (Rena Yulia, 2013:53) :
(a) Nonparticipating victims adalah mereka yang
menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi
tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan
kejahatan.
(b) Latent or predisposed victims adalah mereka yang
mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban
pelanggaran tertentu.
(c) Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan
kejahatan atau pemicu kejahatan.
(d) Participating victims adalah mereka yang tidak
menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga
memudahkan dirinya menjadi korban.
(e) False victims adalah mereka yang menjadi korban
karena dirinya sendiri.
Peranan korban tindak pidana dalam sistem peradilan
merupakan unsur sentral dan dominan dalam menentukan putusan
terhadap terdakwa atau pelaku tindak pidana. Korban tindak pidana
adalah orang yang dirugikan karena pelanggaran hukum pidana
(kejahatan), pertama dan terutama adalah orang yag langsung
menderita karena kejahatan tersebut atau biasa juga disebut sebagai
korban sesungguhnya (primer), sedangkan yang lainnya sebagai
korban tidak langsung (sekunder) (Rena Yulia, 2013 : 187).
35

Van Boven berpendapat mengenai hak-hak korban, sebagai


berikut (Rena Yulia, 2013 : 55) :
“Hak-hak para korban adalah hak untuk tahu, hak atas
keadilan, hak atas reparasi (pemulihan), yaitu hak yang
menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material
maupun nonmaterial bagi para korban pelanggaran hak
asasi manusia. Hak-hak tersebut telah terdapat dalam
berbagai instrumen-instrumen hak asasi manusia yang
berlaku dan juga terdapat dalam yurisprudensi komite-
komite hak asasi manusia internasional maupun pengadilan
regional hak asasi manusia.”

2) Perlindungan Hukum bagi Korban


Satjipto Raharjo berpendapat bahwa Perlindungan hukum
adalah memberikan pengayoman terhadap HAM, yang dirugikan
oleh orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat
agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum
(Satjipto Rahardjo, 2000 : 53). Menurut Philiphus M. Hadjon
perlindungan hukum adalah suatu tindakan untuk melindungi atau
memberikan pertolongan kepada subyek hukum, dengan
menggunakan perangkat-perangkat hukum (Philipus M. Hadjon,
2011 : 10). Perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari
fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan
suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian
(Kementrian Hukum dan HAM Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Makalah, 2011).
Berdasarkan pengertian mengenai perlindungan hukum
yang telah dijelaskan di atas, perlindungan hukum merupakan
suatu perlindungan yang diberikan terhadap subjek hukum, yang
dalam hal ini dalam bentuk perangkat hukum atau produk hukum
baik bersifat preventif maupun represif, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis. Perlindungan hukum dimaksudkan dimana hukum
dapat memberikan keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan
dan kedamaian. Ini berarti peraturan perundang-undangan
36

menjamin hak-hak warga negara dilindungi. Begitu pula terhadap


korban tindak pidana, dimana jaminan atas perlindungan hak-hak
korban menjadi dasar perlindungan hukum bagi korban.
Kemudian dalam konsep perlindungan hukum terhadap
korban, terkandung pula asas hukum yang memerlukan perhatian.
Baik dalam hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun
hukum pelaksanaan pidana, asas hukum merupakan komponen
penting. Adapun asas-asas hukum terkait perlindungan hukum
terhadap korban tindak pidana adalah sebagai berikut:
a) Asas Manfaat
Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi
tercapainya kemanfaatan (baik materiil maupun
spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga
kemanfaatan bagi masyarakat secara luas, khususnya
dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta
menciptakan ketertiban masyarakat.
b) Asas Keadilan
Artinya penerapan asas keadilan dalam upaya
melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak
karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang
harus juga diberikan pada pelaku kejahatan.
c) Asas Keseimbangan
Karena tujuan hukum di samping memberikan
kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan
manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan
masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang
semula (restitution in integrum), asas keseimbangan
memperoleh tempat yang penting dalam upaya
pemulihan hak-hak korban.
d) Asas Kepastian Hukum
Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang
kuat bagi aparat penegak hukum pada saaat
melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan
perlindungan hukum pada korban kejahatan (Dikdik M.
Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007 : 163-164).
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Declaration of
Basic Principal of Justice for Victims of Crime and Abuse of
Power, merumuskan bentuk-bentuk perlindungan yang dapat
diberikan kepada korban yaitu :
37

a) Acces to justice and fair treatment (Akses untuk memperoleh


keadilan dan perlakuan yang adil).
b) Restitution (Restitusi).
c) Compensation (Kompensasi).
d) Assistance (Bantuan) (Rena Yulia, 2013 : 58).
Menurut Rena Yulia, bentuk perlindungan terhadap korban
antara lain sebagai berikut :
a) Ganti rugi
Dilihat dari kepentingan korban, dalam konsep ganti
kerugian terkandung dua manfaat. Pertama, untuk memenuhi
kerugian material dan segala biaya yang telah dikeluarkan.
Kedua merupakan pemuasan emosional korban. Sedangkan
dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban mengganti
kerugian dipandang sebagai suatu bentuk pidana yang
dijatuhkan dan dirasakan sebagai sesuatu yang konkrit dan
langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku.
b) Restitusi
Restitusi lebih diarahkan pada tanggung jawab pelaku
terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan sehingga
sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang
diderita korban. Dalam hal korban dengan status sosial lebih
rendah dari pelaku, akan mengutamakan ganti kerugian dalam
bentuk materi, dan sebaliknya jika status korban lebih tinggi
dari pelaku maka pemulihan harkat serta nama baik akan lebih
diutamakan.
c) Kompensasi
Kompensasi merupakan bentuk santunan yang dapat
dilihat dari aspek kemanusiaan dan hak-hak asasi. Kompensasi
sebagai bentuk santunan yang sama sekali tidak tergantung
bagaimana berjalannya proses peradilan dan putusan yang
38

dijatuhkan, bahkan sumber dana untuk itu diperoleh dari


pemerintah atau dana umum (Rena Yulia, 2013 : 59-61).
Menurut Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom
dalam buku yang berjudul “Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan”, bentuk perlindungan terhadap korban antara lain
sebagai berikut:
a) Pemberian Restitusi dan Kompensasi
Pengertian restitusi dan kompensasi dapat
dilihat dari bunyi Penjelasan Pasal 35 Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, kompensasi merupakan ganti kerugian yang
diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu
memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi
tanggung jawabnya. Sedangkan restitusi adalah ganti
kerugian yang diberikan kepada korban atau
keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.
b) Konseling
Pemberian bantuan dalam bentuk konseling
sangat cocok diberikan kepada korban kejahatan yang
menyisakan trauma berkepanjangan, seperti pada kasus-
kasus menyangkut kesusilaan. Bentuk pendampingan
atau bantuan (konseling) yang sifatnya psikis relatif
lebih cocok diberikan kepada korban daripada hanya
ganti kerugian dalam bentuk uang.
c) Pelayanan atau Bantuan Medis
Diberikan kepada korban yang menderita secara
medis akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang
dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan
laporan tertulis (visum atau surat keterangan medis yang
memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat
bukti). Keterangan medis ini diperlukan terutama
apabila korban hendak melaporkan kejahatan yang
menimpanya ke aparat kepolisian untuk ditindaklanjuti.
d) Bantuan Hukum
Bantuan hukum merupakan suatu bentuk
pendampingan terhadap korban kejahatan. Pemberian
bantuan hukum terhadap korban harus diberikan baik
diminta atau tidak diminta oleh korban.
e) Pemberian Informasi
Pemberian informasi kepada korban atau
keluarga berkaitan dengan proses penyidikan dan
pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban
39

(Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007 :


166-172).
3) Perlindungan Hukum bagi Korban Kejahatan terhadap
Kesusilaan
Perlindungan hukum bagi korban kejahatan terhadap
kesusilaan pada dasarnya sama dengan korban kejahatan pada
umumnya, namun ada beberapa hal khusus yang perlu diberikan
pada korban kejahatan terkait kesusilaan. Dalam proses peradilan
pidana, persidangan perkara kesusilaan tidak dilaksanakan secara
terbuka dan dibuka untuk umum melainkan dilaksanakan secara
tertutup.
Pemerintah telah membentuk Undang-Undang No. 13
Tahun 2006 jo. Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 untuk
memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban. Hal ini
sebagai salah satu upaya pemenuhan hak-hak saksi dan korban
agar tidak terbaikan terutama dalam proses peradilan pidana.
Dalam Pasal 6, dijelaskan bahwa:
(1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana
perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan,
korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban
penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan:
a. Bantuan medis; dan
b. Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
berdasarkan Keputusan LPSK.
Terkait dengan korban yang merupakan anak, seperti yang
telah dijelaskan penulis bahwa berlaku Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014. Perlindungan
hukum terhadap anak sebagai korban kejahatan terhadap
kesusilaan lebih diatur secara jelas. Kejahatan terhadap kesusilaan
yang dalam hal ini terkait dengan perilaku seksual, dalam undang-
undang tersebut juga dikenal dengan kejahatan seksual. Dalam
40

Pasal 17 ayat (2), menyatakan bahwa “Setiap anak yang menjadi


korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan
dengan hukum berhak dirahasiakan.” Pasal 15 huruf d dan j
menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh
perlindungan dari eksploitasi ekonomi dan/atau seksual serta
kejahatan seksual.
Lebih jelasnya dalam Pasal 54 menyatakan bahwa:
(1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan
wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan
fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya
yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan,
sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat
pemerintah, dan/atau masyarakat.
Pasal 59 ayat (2) huruf k, menyatakan bahwa perlindungan
khusus kepada anak diberikan kepada anak korban kejahatan
seksual. Kemudian dijelaskan dalam Pasal 66, perlindungan khusus
bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf d dilakukan
melalui:
a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan
Perlindungan Anak yang dieksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual;
b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
c. Pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja, lembaga
swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam
penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi
dan/atau seksual.
Pasal 69A terhadap perlindungan khusus bagi anak korban
kejahatan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2)
huruf k dilakukan melalui upaya:
a. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan
nilai kesusilaan;
b. Rehabilitasi sosial;
41

c. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai


pemulihan; dan
d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap
tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan,
sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan.

3. Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas sebagai Korban


Tindak Pidana dalam Sistem Hukum di Indonesia
Permasalahan penyandang disabilitas yang rentan menjadi korban
dari tindak pidana merupakan fenomena gunung es, dimana kasus yang
terungkap merupakan bagian kecil dari banyaknya kasus yang masih
belum ditemukan. Mengungkapkan fakta terjadinya tindak pidana terhadap
penyandang disabilitas merupakan hal yang sulit, hal ini dikarenakan
keterbatasan penyandang disabilitas itu sendiri. Penyandang disabilitas
yang rentan menjadi korban yakni perempuan. Perempuan merupakan
kelompok rentan yang kapan saja dan dimana saja mudah menerima
kekerasan dan diskriminasi. Kekerasan dan diskriminasi yang berbasis
gender ini kemudian yang memicu perempuan disabilitas rentan menjadi
korban tindak pidana.
a. Bentuk-Bentuk Kekerasan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Lembaga
SAPDA pada Tahun 2009 – 2010 terhadap 60 responden perempuan
dengan disabilitas, mengungkapkan bentuk-bentuk kekerasan yang
mereka alami adalah sebagai berikut :
1) Kekerasan Fisik
Yaitu segala tindakan yang mengakibatkan luka
fisik. Kekerasan fisik ini misalnya adalah bentuk-bentuk
tindakan pemukulan, tamparan, jambakan atau penyerangan
dengan senjata tajam.
2) Kekerasan Seksual
Bentuk kekerasan seksual ini seperti pemerkosaan,
memaksa untuk melakukan hubungan suami istri ,
pencabulan, dan lainnya.
3) Kekerasan Psikologis
Yaitu segala tindakan yang mengakibatkan tekanan
psikologis yang berakibat pada gangguan mental dan jiwa,
seperti trauma, hilangnya kepercayaan diri dan berbagai
42

akibat lainnya. Bentuk kekerasan psikologis ini seperti


umpatan, ejekan, cemooh, caci maki, bentakan dan
ancaman.
4) Kekerasan Sosial Budaya
Munculnya stigma negatif masyarakat terkait
penyandang disabilitas, yakni anggapan penyandang
disabilitas merupakan aseksual, adanya anggapan bahwa
laki-laki merupakan makhluk superior dan perempuan
makhluk inferior atau berada dalam budaya patriarki.
5) Kekerasan Ganda
Terjadi apabila penyandang disabilitas mengalami
lebih dari satu jenis kekerasan, misalnya kekerasan fisik
dan kekerasan psikologis atau kekerasan fisik dan
kekerasan seksual.
6) Kekerasan Ekonomi (Finansial)
Yaitu tindakan yang merampas hak atas harta atau
penghasilan yang dimiliki penyandang disabilitas (Nurul
Saadah Andriani, dkk, 2015: 15-16).
Bentuk tindak pidana yang dialami oleh penyandang disabilitas
terutama perempuan yakni berupa kekerasan baik kekerasan fisik,
kekerasan seksual, kekerasan psikologis, dan kekerasan lainnya.
Beberapa bentuk kekerasan yang terjadi dapat dilihat dari Laporan
Penelitian Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA)
pada Tahun 2009 di Daerah Istimewa Yogyakarta “Menguak Tabir
Kekerasan terhadap Perempuan Disabilitas Tahun 2009”. Berikut
bentuk kekerasan yang dialami oleh penyandang disabilitas terutama
perempuan (Nurul Saadah Andriani, dkk, 2015 : 7-8) :

Tabel 1. Bentuk Kekerasan yang Dialami oleh Perempuan


Penyandang Disabilitas Tahun 2009 di Daerah Istimewa Yogyakarta

No. Jenis Kekerasan Bentuk Kekerasan

- Suka memukul badan


- Suka memukul dengan alat atau barang
1. Kekerasan Fisik
- Kasar dan memukul kalau minta uang
belanja
2. Kekerasan Psikologis - Melarang bermain dengan teman-teman
43

keluar rumah
- Suami sering pergi tanpa pamit
- Suami asyik dengan dunianya sendiri
- Ditinggal pacar menikah karena dipaksa
orang tua
- Berkata kasar
- Salah paham dibentak suami
- Cemburu berlebihan, cekcok dengan
pasangan
- Keras dengan anak
- Cuek, tidak respon terhadap kesulitas istri
- Bentak-bentak tapi tidak berkata buruk
- Suami tidak adil, membedakan keluarga
(tidak mau bersinggung dengan keluarga
istri)
- Sombong
- Tidak percaya pada istri
- Suka memukul, berkata jorok, kasar, egois
- Suami pulang ke rumah orang tua setelah
istri menjadi cacat
- Suami/pacar melimpahkan kesalahan
karena kondisinya yang disabilitas
- Suami selingkuh
- Suami memaksa hubungan seksual saat
3. Kekerasan Seksual membutuhkan
- Saat berhubungan seksual perlakuan suami
kasar
- Ekonomi tidak dipenuhi suami (tidak
Kekerasan
4. cukup untuk jajan anak)
Ekonomi/Finansial
- Tidak memberi uang belanja rutin
44

- Memberi uang belanja sedikit


- Tidak memberi uang belanja walaupun
punya uang
- Tidak bertanggungjawab terhadap istri
- Menghabiskan harta istri unutk keperluan
pribadi/suami
Diancam suami untuk tidak kembali kepada
5. Kekerasan Spiritual agama asal padahal tidak nyaman dengan cara
beribadah agama yang baru
- Kekerasan psikologis dan finansial
(bentakan dan tidak dinafkahi)
- Kekerasan fiisk dan psikologis (dipukul
6. Kekerasan Ganda dan dibentak)
- Kekerasan fisik, psikologis dan seksual
- Kekerasan fisik, psikologis, seksual dan
finansial

Kondisi tersebut diperkuat dengan penelitian dari Lembaga


SAPDA pada Tahun 2009 – 2012 mengenai jumlah kekerasan yang
dialami oleh penyandang disabilitas terutama perempuan. Hasil yang
diperoleh terhadap angka kekerasan pada perempuan penyandang
disabilitas yakni sebagai berikut (Nurul Saadah Andriani, dkk, 2015 :
16) :
45

Bentuk Kekerasan

Kekerasan Fisik
30%
35% Kekerasan Psikologis
Kekerasan Seksual
Kekerasan Finansial
21%
12% Kekerasan Ganda
2%

Gambar 1. Grafik Prosentase Jumlah Kekerasan terhadap


Perempuann Penyandang Disabilitas Tahun 2009-2012

b. Faktor-Faktor Penyebab Penyandang Disabilitas sebagai Korban


Tindak Pidana
Penyandang Disabilitas rentan menjadi korban tindak pidana
karena keadaan mereka yang lemah dan ketidaktahuan mereka
menjadikan pelaku semakin mudah melakukan kejahatan. Tidak
sedikit dari mereka yang menjadi korban tidak dapat memperoleh hak
sebagai korban. Beberapa faktor penyebab penyandang disabilitas
rentan menjadi korban serta hambatan mereka dalam memperoleh hak
sebagai korban, antara lain sebagai berikut :
1) Internal atau Disabilitas Sendiri
Adanya hambatan dengan disabilitasnya tersebut,
banyak perempuan disabilitas korban kekerasan merasa
malu dan aibnya diketahui orang lain. Mereka merasa itulah
nasib yang harus diterima karena tidak bisa melawan,
apalagi bila pelaku adalah orang dekat, keluarga atau suami
sendiri. Kondisi tersebut dipakai pelaku kekerasan untuk
menekan perempuan disabilitas korbannya agar tutup
mulut.
2) Informasi
Selain dari diri sendiri, perempuan disabilitas juga
banyak yang tidak mengenyam pendidikan yang tinggi
sehingga banyak yang masih minim informasi. Mereka
tidak paham apa itu kekerasan, mereka mengaggap itu
wajar menimpa kelompok yang lemah, mereka tidak tahu
kemana dan bagaimana harus melapor. Hambatan
46

komunikasi untuk disabilitas juga menjadi masalah dalam


menyampaikan informasi pada mereka.
3) Mobilitas
Hambatan ini banyak dirasakan oleh disabilitas
daksa khususnya pengguna kursi roda, walaupun tidak
terkecuali disabilitas yang lain misalnya disabilitas netra.
Banyak disabilitas daksa yang mobilitas bergantung pada
keluarganya, tidak bisa pergi kemana-mana, sehingga
hanya dipendam sendiri. Banyak perempuan disabilitas
yang hanya di rumah saja dan jarang keluar, sehingga
pelaku kekerasan banyak dari orang-orang
terdekat/keluarga. Untuk melapor lingkungan sekitar
kurang akses, jarak ke tempat layanan kesehatan dan kantor
polisi jauh, layanan angkutan umum dan bangunan kurang
ramah disabilitas.
4) Layanan
Sering perempuan disabilitas korban kekerasan
tidak dilayani dengan ramah di tempat layanan kesehatan
atau di kantor polisi petugas masih kurang berempati
terhadap korban karena perspektif disabilitas masih sedikit.
5) Partisipasi
Masyarakat masih jarang terlihat melibatkan
partisipasi perempuan disabilitas, baik dalam keluarga,
ataupun lingkungan sekitar. Kondisi tersebut semakin
menguatkan posisinya sebagai korban, mereka tidak diberi
kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan ikut
berpartisipasi dalam aktifitas atau kegiatan (Nurul Saadah
Andriani, dkk, 2015 : 51-52).
Melihat dari beberapa pengalaman lembaga pendamping,
terlihat bahwa banyak faktor yang menjadi penghambat kasus-kasus
yang tidak sampai pada putusan pengadilan, beberapa temuan
berdasarkan pengalaman lembaga pendampingan diantaranya (Nurul
Saadah Andriani, dkk, 2015 : 68-69) :

1) Pelaku kekerasan adalah orang terdekat korban yang mengetahui


kondisi ketidakberdayaan korban, misalnya orang tua, pasangan,
saudara dan tetangga sekitar.
2) Kejadian tidak hanya satu kali namun cenderung berulang, lagi-
lagi hal ini diakibatkan ketidakberdayaan korban.
47

3) Keluarga korban atau bahkan korban sendiri (untuk beberapa jenis


disabilitas misal daksa dan netra) mencabut laporan, apakah
laporan tersebut delik biasa ataupun aduan, dengan alasan
keterbatasan akses korban atau ketakutan jika keterangan korban
tidak dipercaya aparat penegak hukum.
4) Pelaku yakin bahwa dengan keterbatasan korban, korban dan
keluarga tidak akan melaporkan kekerasan yang terjadi.
5) Kasus tidak dapat dilanjutkan karena kurangnya alat bukti dan
dalam beberapa kasus korban dianggap tidak cakap hukum
sehingga menimbulkan kesulitan jika tidak ada ahli yang dapat
membantu menjelaskan kepada aparat penegak hukum.
6) Kondisi lingkungan korban yang tidak mendukung untuk
penyelesaian kasus di ranah hukum dengan alasan untuk menjaga
kenyamanan lingkungan, bukan berpihak kepada korban.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis terhadap
Lembaga Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA)
kendala dalam pemberian perlidungan hukum terhadap penyandang
disabilitas sebagai korban dalam proses peradilan dapat diketahui
sebagai berikut:

Tabel 2. Kendala Pemberian Perlindungan Hukum terhadap Penyandang


Disabilitas sebagai Korban Tindak Pidana
No. Faktor Bentuk Kendala
- Belum jelasnya peraturan yang
mengatur perlindungan hukum
terhadap korban terutama dalam
1. Peraturan Perundang-Undangan proses persidangan. Hal ini seperti
dilihat dalam UU No. 13 Tahun 2006
jo. UU No. 31 Taahun 2014.
- Diratifikasinya CPRD juga harus
48

diikuti dengan adanya peraturan yang


mengadopsi aturan dalam Konvensi
tersebut terutama dalam hal
perlindungan hukum terhadap korban.
UU No. 4 Tahun 1997 harus segera
diamandemen, harus ada kesesuaian
dengan CPRD. Begitu pun terhadap
undang-undang lain yang terkait
dengan penyandang disabilitas, harus
disamakan persepsi dan pengaturannya
sesuai CPRD.
- Ketidaksesuaian umur korban secara
fisik dan psikologi menyebabkan
dilema dalam menggunakan peraturan
perundang-undangan yang tepat. Hal
ini berkaitan dengan UU No. 23 Tahun
2002 jo. UU No. 35 Tahun 2014,
karena seringkali korban secara
psikologis masih berusia anak namun
dalam catatan sipil bukan termasuk
anak. Hal ini menyulitkan penyidik
menentukan pasal yang didakwakan
pada terdakwa.
- Dalam UU No. 13 Tahun 2006 jo. UU
No. 31 Tahun 2014, belum diaturnya
secara tegas kedudukan pendamping
atau penerjemah bagi korban yang
merupakan penyandang disabilitas
dalam proses peradilan pidana.
- Seringkali dalam penyusunan BAP
2. Penyandang Disabilitas
(Berita Acara Pemeriksaan), korban
49

tidak konsisten dalam memberikan


keterangan, hal ini dikarenakan secara
psikologis korban yang berbeda dari
orang normal.
- Pelaku biasanya merupakan orang
terdekat dari korban.
- Korban sendiri belum sadar bahwa
dirinya menjadi korban tindak pidana.
- Keluarga korban akan memilih untuk
tidak melaporkan perkara atau
melanjutkan perkara karena merasa
malu.
- Keluarga dan penyandang disabilitas
belum mengetahui hak yang dimiliki
baik hak mereka sebagai penyandang
disabilitas maupun hak mereka sebagai
korban.
- Kurangnya informasi mengenai proses
peradilan sehingga banyak kasus yang
tidak terungkap.
- Penyandang disabilitas sendiri kadang
menutup-nutupi adanya kekerasan
karena pelaku biasanya adalah suami
korban sendiri.
- Korban sering mengalah karena sadar
akan keadaan korban yang memiliki
keterbatasan.
- Umur korban yang tidak sesuai dengan
psikologis korban. Usia korban
biasanya sudah bukan tergolong usia
anak, namun secara psikologis masih
50

berusia anak. Hal ini menjadi kendala


dalam penerapan peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar
perlindungan terhadap korban.
- Aparat Penegak Hukum (APH)
memiliki keterbatasan dalam
berkomunikasi dengan korban yang
merupakan penyandang disabilitas,
sehingga dalam proses peradilan
sering menemui kesulitan. Termasuk
dalam proses penyusunan BAP,
seringkali penyidik mengalami
kesulitan. Selain kesulitan dalam
berkomunikasi juga terhadap
keterangan korban yang berubah-ubah.
3. Aparat Penegak Hukum (APH) - Dalam hal pembuktian, Jaksa Penuntut
Umum (JPU) juga sulit menemukan
bukti yang memperkuat terjadinya
tindak pidana. Ini sering terjadi pada
kejahatan terhadap kesusilaan.
- Proses peradilan tidak jarang berhenti
di tengah jalan karena proses BAP
yang sulit, penyidik juga kesulitan
mendapatkan keterangan dari korban
karena korban terkadang sulit
mengingat kejadian yang telah
dialaminya.
51

c. Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas dalam Sistem


Hukum di Indonesia
Dilihat dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
sendiri belum mengakomodir perlindungan hukum terhadap korban
tindak pidana. KUHP yang selama ini menjadi salah satu dasar hukum
pidana yang berlaku di Indonesia belum mengarah pada perlindungan
terhadap korban (victim oriented) melainkan menitikberatkan pada
pelaku saja. Hukum pidana digunakan sebagai pembalasan terhadap
pelaku tindak pidana dan mengacu pada tindak pidana yang dilakukan.
Sedangkan korban dalam hal ini bukan menjadi fokus pada
penyelesaiannya. Korban hanya menjadi saksi yang dimintakan
keterangannya guna mendukung terungkapnya fakta hukum yang
terjadi. Tidak jarang hak korban justru terabaikan oleh aparat penegak
hukum dan pihak-pihak terkait.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
merupakan hukum pidana formil masih pula belum sepenuhnya
memberikan perlindungan terhadap korban. Padahal perlindungan
terhadap pelaku diberikan mulai dilakukannya penangkapan hingga
selesainya proses persidangan serta eksekusi putusan hakim. Bahkan
KUHAP juga mengatur dalam proses persidangan dimana terdakwa
atau saksi merupakan penyandang disabilitas. Ketentuan dalam Pasal
178 KUHAP tersebut memperlihatkan adanya pengakuan hak terhadap
penyandang disabilitas meskipun dalam kedudukannya sebagai
terdakwa atau saksi. Dalam Pasal 178 KUHAP menyatakan bahwa,
(1) Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat
menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai
penerjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa
atau saksi itu.
(2) Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat
menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua
pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan
kepada terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk
menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan
serta jawaban harus dibacakan.
52

Perlindungan terhadap penyandang disabilitas dalam sistem


hukum di Indonesia pada intinya dapat dilihat dari beberapa peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hukum
terhadap penyandang disabilitas sebagai korban antara lain sebagai
berikut:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat.
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan
Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi
Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Peraturan perundang-undangan di atas merupakan sebagian
aturan yang menjadi payung hukum terhadap perlindungan hukum
bagi penyandang disabilitas pada khususnya yang menjadi korban dari
tindak pidana. Adanya peraturan hukum yang merupakan produk lama
dan belum dilakukannya perubahan menjadi salah satu kelemahan
dalam perlindungan terhadap penyandang disabilitas sebagai korban.
Munculnya peraturan perundang-undangan baru diharapkan akan lebih
memberikan ruang khusus dalam pemenuhan keadilan bagi
penyandang disabilitas. Untuk dapat melihat lebih jelas mengenai
perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas sebagai korban
tindak pidana, maka dari keempat peraturan perundang-undangan di
atas pada intinya dapat dibandingkan dalam tabel sebagai berikut:
53

Tabel 3. Perbandingan Peraturan Perundang-Undangan mengenai


Perlindungan Hukum terhadap Penyandang Disabilitas
Peraturan Perundang-Undangan
UU No. 4 UU No. 19 Tahun UU No. 13 UU No. 23
No. Pembeda Tahun 1997 2011 Tahun 2006 jo. Tahun 2002 jo.
UU No. 31 UU No. 35
Tahun 2014 Tahun 2014
1. Definisi Diatur dalam Diatur dalam Tidak ada Diatur dalam
Pasal 1 angka 1. Penjelasan UU pengertian Pasal 1 angka 7
Istilah yang No. 19 Tahun khusus. mengenai Anak
digunakan, 2011. Istilah Penyandang
yaitu “Penyandang Disabilitas.
“Penyandang Cacat” diganti
Cacat”. dengan
“Penyandang
Disabilitas”.
2. Hak-Hak Dalam Pasal 6 Dijelaskan dalam Tidak mengatur Anak
Penyandang disebutkan hak- Penjelasan UU secara khusus penyandang
Disabilitas hak yang No. 19 Tahun hak bagi disabilitas
diperoleh oleh 2011. penyandang berhak
penyandang disabilitas. mendapatkan
cacat. pendidikan,
rehabilitasi,
bantuan sosial
dan
kesejahteraan
sosial.
3. Hak Tidak mengatur Diatur dalam Korban Diatur dalam
Penyandang mengenai Pasal 15 dan disamaratakan Pasal 18
Disabilitas penyandang Pasal 16 haknya tanpa mengenai hak
54

sebagai cacat sebagai Konvensi tentang ada anak penyandang


Korban korban tindak Hak-Hak pengkhususan. disabilitas
pidana. Penyandang sebagai korban.
Disabilitas.
4. Perlindungan Perlindungan Setelah Perlindungan Diatur
Hukum hukum dalam diratifikasinya hukum terhadap perlindungan
masalah konvensi tersebut, korban berlaku khusus bagi anak
ketenagarkerjaa maka negara yang sama bagi penyandang
n, pendidikan, telah meratifikasi setiap korban disabilitas.
kesehatan, memiliki tanpa adanya
kesejahteraan kewajiban perlindungan
sosial, lalu mengadopsi khusus.
lintas serta pengaturan dalam
sarana dan konvensi tersebut
prasarana lain. sebagai dasar
dalam
pembentukan
undang-undang
terkait .

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat


merupakan undang-undang yang telah lama dibentuk oleh pemerintah sebagai
upaya pemenuhan hak-hak penyandang cacat pada saat itu. Materi muatan
yang diatur dalam undang-undang tersebut yakni mengenai hak dan
kewajiban, kesamaan kesempatan, upaya perlindungan, pembinaan dan peran
serta masyarakat, sanksi administratif, serta ketentuan pidana. Mengenai
istilah dan pengertian, undang-undang tersebut masih menggunakan istilah
penyandang cacat bukan penyandang disabilitas. Ini dikarenakan istilah
penyandang disabilitas sendiri baru digunakan setelah adanya Konvensi
mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Pengertian mengenai penyandang
cacat tercantum dalam Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa,
55

Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik


dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau atau merupakan
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya,
yang terdiri dari:
a. Penyandang cacat fisik,
b. Penyandang cacat mental,
c. Penyandang cacat fisik dan mental.
Sesuai yang tercantum dalam Pasal 5, setiap penyandang cacat
mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan
dan penghidupan. Kemudian Pasal 6 menjelaskan mengenai beberapa hak
yang diperoleh oleh penyandang cacat, yaitu sebagai berikut:
1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan,
2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatan, pendidikan dan kemampuannya,
3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati
hasil-hasilnya,
4. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya,
5. Rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial,
dan
6. Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan
kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat.

Mengenai perlindungan khususnya perlindungan hukum terhadap


penyandang disabilitas atau penyandang cacat itu sendiri dijelaskan dalam
Penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997, bahwa :
Hingga saat ini sarana dan upaya untuk memberikan perlindungan
hukum terhadap kedudukan, hak, kewajiban, dan peran penyandang
cacat telah dilakukan melalui berbagai peraturan perundang-undangan,
yaitu yang mengatur masalah ketenagakerjaan, pendidikan nasional,
kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas dan angkutan jalan,
perkeretaapian, pelayaran, penerbangan, dan kepabeanan.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 ini masih terdapat
kelemahan dalam pelaksanaannya. Pemenuhan hak-hak penyandang
disabilitas masih belum terpenuhi. Masih banyak kasus-kasus yang terjadi
56

mengenai perlakuan diskriminasi terhadap penyandang cacat. Hal ini


dikarenakan belum diaturnya secara lebih menyeluruh mengenai hak-hak yang
diperoleh penyandang cacat, terutama kedudukan mereka sebagai korban
kejahatan.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 dinilai sudah tidak relevan
dalam memberikan perlindungan terhadap penyandang disabilitas. Hal
tersebut dikarenakan berkembangnya tuntutan, tantangan dan kebutuhan
penyandang disabilitas di Indonesia saat ini. Perlu dilakukan penyesuaian
antara peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyandang
disabilitas dengan aturan yang ada dalam Convention on the Rights of Persons
with Disabilities (CPRD). Penyesuaian yang dimaksud seperti persamaan
terminologi dari penyandang cacat menjadi penyandang disabilitas, serta
penyesuaian hak yang dalam konvensi tersebut diatur lebih luas dan lebih
jelas, termasuk peran pemerintah atau negara dalam pemenuhan hak-hak
penyadang disabilitas.
Selain tercantum jelas dalam konstitusi kita, Indonesia telah
meratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CPRD)
atau Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas pada 30 Maret
2007. Telah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang
Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi
mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Diratifikasinya konvensi
tersebut sudah seharusnya peraturan perundang-undangan yang sudah ada atau
yang belum ada disesuaikan dengan pengaturan dalam konvensi tersebut
sebagai bentuk kewajiban atau konsekuensi pemerintah meratifikasi dan
mengakui konvensi tersebut. Hal ini sebagai salah satu upaya penghormatan
terhadap penyandang disabilitas serta pemenuhan dan perlindungan terhadap
hak-hak mereka sebagai warga negara.
Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas telah
menggunakan istilah baru yakni “penyandang disabilitas” untuk
menggambarkan seseorang yang memiliki keterbatasan. Definisi penyandang
disabilitas tercantum dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
57

2011, bahwa penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan


fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam
berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui
hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif
berdasarkan kesamaan hak.
Hak yang dimiliki oleh penyandang disabilitas dijelaskan dalam
Penjelasan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 bahwa,
Setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat
manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-
mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas
integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang
lain. Termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan
pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan
darurat.
Perlakuan yang nondiskriminasi terhadap penyandang disabilitas
merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap penyandang disabilitas.
Persamaan dan nondiskriminasi ini diatur dalam Pasal 5 Konvensi
menyatakan bahwa:
(1) Negara-Negara Pihak mengakui bahwa semua manusia adalah
setara di hadapan dan di bawah hukum dan berhak, tanpa
diskriminasi, untuk mendapatkan perlindungan dan manfaat hukum
yang setara.
(2) Negara-Negara Pihak harus melarang semua diskriminasi yang
didasari oleh disabilitas serta menjamin perlindungan hukum yang
setara dan efektif bagi penyandang disabilitas terhadap
diskriminasi yang didasari oleh alasan apapun.
Negara-Negara Pihak mengakui bahwa semua manusia adalah sama
dihadapan hukum dan berhak mendapatkan perlindungan dan manfaat hukum
yang sama, serta menjamin perlindungan hukum yang sama bagi setiap
penyandang disabilitas tanpa diskriminasi. Mengenai persamaan kedudukan
atau kesetaraan pengakuan di hadapan hukum diatur dalam Pasal 12 Konvensi
tersebut, yang menyatakan bahwa:
(1) Negara-Negara Pihak menegaskan kembali bahwa penyandang
disabilitas memiliki hak atas pengakuan sebagai individu di
hadapan hukum dimana pun berada.
58

(2) Negara-Negara Pihak harus mengakui bahwa penyandang


disabilitas merupakan subyek hukum yang setara dengan lainnya di
semua aspek kehidupan.
(3) Negara-Negara Pihak harus mengambil kebijakan yang sesuai
untuk menyediakan akses oleh penyandang disabilitas dalam
bentuk dukungan yang mungkin diperlukan oleh mereka dalam
melaksanakan kewenangan mereka sebagai subjek hukum.
Bunyi Pasal 12 tersebut sudah jelas bahwa penyandang disabilitas
ketika berhadapan dengan hukum memiliki kedudukan yang sama dengan
subjek hukum yang lainnya. Hak-hak yang melekat pada mereka juga harus
dihormati sebagai hak individu dan memiliki kesetaraan yang sama dengan
lainnya. Pasal 12 mengakui bahwa pengakuan di depan hukum harus
dilaksanakan tanpa pengecualian atau pembatasan, penyandang disabilitas
menikmati kapasitas hukum atas dasar kesetaraan dengan orang lain dalam
semua aspek kehidupan (Penelope Weller, Laws Journal, 2016 : 5). Menurut
Terjemahan Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CPRD),
dalam Pasal 15 dan 16 menjelaskan bahwa negara pihak harus menjamin
adanya perlindungan dengan cara mengambil kebijakan terhadap penyandang
disabilitas yang menjadi korban dari suatu tindak pidana seperti penyiksaan,
eksploitasi, pelecehan seksual dan lainnya.
Selain pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak
Penyandang Disabilitas melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011,
perlindungan hukum terhadap saksi dan korban dalam proses peradilan pidana
sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban. Setiap orang yang menjadi saksi dan korban dilindungi oleh undang-
undang tersebut, dengan tidak menjelaskan adanya perbedaan keadaan, seperti
saksi dan korban yang merupakan penyandang disabilitas. Tidak ada
penjelasan khusus mengenai korban yang memiliki keterbatasan (penyandang
disabilitas). Pasal 1 angka 8 menjelaskan bahwa, perlindungan adalah segala
upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman
kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau
lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang tersebut.
59

Saksi dan korban yang berhadapan dengan hukum, Pasal 2 menyatakan


bahwa, “Undang-Undang ini memberikan perlindungan pada saksi dan korban
dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan.”
Tanpa membedakan keadaan saksi dan korban, perlindungan terhadap mereka
pada saat proses peradilan pidana yakni sama. Dalam undang-undang tersebut
tidak menjelaskan perlindungan khusus yang diperoleh oleh penyandang
disabilitas.
Keadaan penyandang disabilitas yang menjadi korban tindak pidana,
secara umum hak-hak mereka sebagai korban dapat dilihat dari Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014
tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Pasal 5 ayat (1) dicantumkan
saksi dan korban memiliki hak yang antara lain sebagai berikut:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan
harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan
kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan;
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. Mendapat penerjemah;
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
i. Dirahasiakan identitasnya;
j. Mendapat identitas baru;
k. Mendapat tempat kediaman sementara;
l. Mendapat tempat kediaman baru;
m. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan;
n. Mendapat nasihat hukum;
o. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir; dan/atau
p. Mendapat pendampingan.
Hak-hak saksi dan korban diatur Pasal 5, dimana pada ayat (1) huruf d
menyatakan bahwa saksi dan korban berhak mendapat penerjemah.
Penerjemah atau juru bicara dalam hal ini dimaksudkan untuk membantu saksi
dan korban dalam proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
60

pemeriksaan di persidangan. Namun, dalam Penjelasan Undang-Undang ini


penerjemah dimaksudkan untuk mereka yang tidak menguasai bahasa
Indonesia. Penerjemah ini tidak ditujukan pada penyandang disabilitas.
Kenyataannya penyandang disabilitas adalah mereka yang sebagian besar
mengalami keterbatasan dalam komunikasi. Tentu sangat diperlukan
penerjamah atau juru bicara yang sudah paham cara berkomunikasi dengan
penyandang disabilitas. Dalam Pasal 5 ayat (1) huruf p, saksi dan korban
berhak mendapat pendampingan. Namun, lagi-lagi tidak ada penjelasan
mengenai pendampingan yang dimaksud adalah pendampingan seperti apa
atau ditujukan pada saksi dan korban seperti apa.
Berdasarkan beberapa kasus dimana penyandang disabilitas sebagai
korban kekerasan atau tindak pidana, pihak yang rentan yakni perempuan dan
anak. Bahkan dalam Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas
(CPRD) mengakui bahwa penyandang disabilitas perempuan dan anak
perempuan seringkali mempunyai resiko yang lebih besar terhadap kekerasan,
cedera atau pelecehan, perlakuan yang menelantarkan atau mengabaikan,
perlakuan buruk atau eksploitasi, baik di dalam maupun di luar rumah. Terkait
perlindungan terhadap anak, Indonesia sudah memiliki peraturan perundang-
undangan yang mengaturnya, yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang tersebut setidaknya telah mengacu aturan dalam CPRD dalam
hal perlindungan terhadap anak penyandang disabilitas.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan
bahwa, “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Bunyi pasal
tersebut tentu dapat disimpulkan bahwa setiap anak harus dilindungi, hal
tersebut dilakukan tanpa melihat kondisi si anak, termasuk anak penyandang
disabilitas berarti juga harus tetap dilindungi.
61

Pasal 1 angka 7 menjelaskan apa yang dimaksud anak penyandang


disabilitas, yaitu anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental
sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.
Perlindungan terhadap anak penyandang disabilitas dikategorikan sebagai
perlindungan khusus, yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 15 yang dimaksud
perlindungan khsusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh
anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman
terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh
kembangnya. Hal ini dipertegas kembali dalam Pasal 59 bahwa anak
penyandang disabilitas berhak mendapat perlindungan khusus. Perlindungan
khusus bagi anak penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum juga
diatur dalam Pasal 64. Dalam Pasal 64 huruf m menyatakan bahwa bagi anak
penyandang disabilitas perlindungan khusus dilakukan melalui pemberian
aksesibilitas. Hal tersebut dipertegas dalam Pasal 70, bahwa perlindungan
khusus terhadap anak penyandang disabilitas dilakukan melalui upaya:
1. Perlakuan Anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak
Anak.
2. Pemenuhan kebutuhan khusus.
3. Perlakuan yang sama dengan Anak lainnya untuk mencapai
integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu.
4. Pendampingan sosial.
Namun, permasalahan lain yakni mengenai umur penyandang
disabilitas yang menjadi korban. Penyandang disabilitas pada khususnya
disabilitas mental terkadang secara psikologi masih berumur anak namun
dalam catatan sipil bukan merupakan anak. Hal ini menjadi pertimbangan
apakah menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak atau menggunakan
peraturan perundang-undangan pada umumnya dalam menentukan
perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas yang menjadi korban
tindak pidana. Undang-Undang Perlindungan Anak sampai saat ini belum
mengatur mengenai hal tersebut, sehingga beberapa kasus dimana penyandang
disabilitas sudah berusia lebih dari 18 (delapan belas) tahun namun secara
psikologi masih tergolong anak diberlakukan peraturan perundang-undangan
62

pada umumnya atau dengan kata lain tidak dilindungi oleh aturan dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak.
63

B. Kerangka Pemikiran

Tindak Pidana/Perbuatan
Pidana/Strafbaar Feit

Korban
(Penyandang Disabilitas)

Putusan Pengadilan Negeri Kota Agung


Nomor: 134/Pid.Sus/2014/PN.Kot.

Perlindungan Hukum terhadap


Korban

UU No. 13 Tahun 2006 UU No. 23 Tahun UU No. 19 Tahun UU No. 4


jo. UU No. 31 Tahun 2002 jo. UU No. 35 2011 tentang Tahun 1997
2014 tentang Tahun 2014 tentang Pengesahan CPRD tentang
Perlindungan Saksi dan Perlindungan Anak Penyandang
Korban Cacat

Memenuhi Rasa Keadilan bagi Penyandang Disabilitas


Skema 1 : Kerangka Pemikiran
sebagai Korban Tindak Pidana?

Gambar 2. Skematik Kerangka Pemikiran

Keterangan:
Kerangka pemikiran di atas disusun untuk menjelaskan pemikiran
penulis dalam menjabarkan, menganilisis dan menjawab permasalahan
dalam penelitian ini, yaitu perlindungan hukum bagi penyandang
disabilitas sebagai korban tindak pidana dalam sistem hukum di Indonesia.
64

Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh


aturan hukum dan disertai sanksi berupa pidana. Tindak pidana merupakan
istilah yang sering digunakan oleh peraturan perundang-undangan
Indonesia, yang berasal dari bahasa Belandan yakni, Strafbaar feit.
Korban adalah mereka yang mengalami penderitaan baik fisik,
mental atau fisik dan mental, atau pun mengalami kerugian materiil.
Penyandang disabilitas merupakan setiap orang yang mempunyai
keterbatasan baik fisik, mental maupun fisik dan mental, yang dapat
mengganggu atau menjadi hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-
hari. Akibat dari keterbatasan tersebut, penyandang disabilitas sering
dianggap pihak yang lemah dan tidak mampu melindungi dirinya. Hal ini
yang kemudian menyebabkan mereka rentan menjadi korban dari tindak
pidana. Salah satu kasus yang terjadi di masyarakat dapat dilihat dari
Putusan Pengadilan Negeri Kota Agung Nomor:
134/Pid.Sus/2014/PN.Kot. Dalam Putusan Hakim tersebut diketahui
seorang anak penyandang disabilitas rungu-wicara dan mental yang
menjadi korban pemerkosaan oleh tetangganya sendiri.
Keterbatasan yang dimiliki oleh korban tersebut biasanya
menyulitkan korban untuk mengungkapkan fakta atau kebenaran atas
kejahatan yang terjadi padanya. Untuk itulah perlu adanya perlindungan
terhadap korban dalam proses peradilan pidana. Perlindungan ini yang
dimaksud dengan perlindungan hukum. Penyandang disabilitas memiliki
hak yang sama dengan orang pada umumnya, untuk itulah perlindungan
hukum terhadap penyandang disabilitas sangat diperlukan untuk menjamin
pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas sebagai warga negara.
Perlindungan hukum yang dimaksud dapat dilihat dalam aturan-
aturan hukum yang ada di Indonesia yang harusnya dapat menjadi payung
hukum terhadap penyandang disabilitas sebagai korban dari tindak pidana.
Aturan hukum yang dijadikan dasar perlindungan hukum bagi penyandang
disabilitas sebagai korban dari tindak pidana yakni Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Undang-Undang Nomor
65

19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons


with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas),
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak.
Sebagai negara hukum, Indonesia harus mampu menciptakan
keadilan dan kepastian hukum. Terhadap penyandang disabilitas yang
menjadi korban tindak pidana, negara harus memiliki pengaturan yang
mampu memfasilitasi segala bentuk perlindungan terhadap mereka yang
menjadi korban. Segala aturan hukum harusnya mampu mengakomodir
terciptanya kepastian hukum serta keadilan bagi setiap orang termasuk
penyandang disabilitas.

Anda mungkin juga menyukai