Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Luas wilayah

Indonesia seluruhnya adalah 5.193.250 km2 Dua pertiga wilayah Indonesia merupakan

perairan atau wilayah laut. Luas wilayah perairan di Indonesia mencapai 3.287.010 km2

Adapun wilayah daratan hanya 1.906.240 km2.

Batas laut Teritorial ialah garis khayal yang berjarak 12 mil laut dari garis dasar

ke arah laut lepas. Sebagaimana yang kita ketahui garis dasar/garis pangkal adalah adalah

garis khayal yang menghubungkan titik-titik dari ujung-ujung pulau. Penentuan garis

pangkal ditentukan dengan garis air rendah.

Jika ada dua negara atau lebih menguasai suatu lautan, sedangkan lebar lautan itu

kurang dari 24 mil laut, maka garis teritorial di tarik sama jauh dari garis masing-masing

negara tersebut. Laut yang terletak antara garis dengan garis batas teritorial di sebut laut

teritorial. Laut yang terletak di sebelah dalam garis dasar disebut laut internal.

Indonesia mempunyai wilayah yang sangat luas yang membentang dari barat ke

timur sepanjang 5.110 km dan membujur dari utara ke selatan sepanjang 1.888

km.Dengan wilayah seluruhnya mencapai 5.193.252 km2 yang terdiri atas 1.890.754

km2 luas daratan dan 3.302.498 km2 luas lautan.Luas daratan Indonesia hanya sekitar 1/3

dari luas seluruh Indonesia sedangkan 2/3-nya berupa lautan.


Wilayah laut teritorial merupakan laut yang masuk ke dalam wilayah hukum

Negara Indonesia. Berdasarkan ”Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonante”

tahun 1939, wilayah teritorial Laut Indonesia ditetakkan sejauh 3 mil diukur dari garis

luar pantai.

Ketetapan tersebut sangat merugikan negara Indonesia. Oleh karena laut menjadi

penghubung pulau-pulau yang tersebar di wilayah Indonesia. Wilayah laut teritorial yang

ditetapkan hanya sejauh 3 mil diukur dari pantai, banyak wilayah laut bebas di perairan

Indonesia. Akibatnya, kapal dari negara lain bebas keluar masuk perairan Indonesia.

Mereka juga mengambil sumber daya alam yang terdapat di laut.

Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia telah

mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu.

Meningkatnya permintaan ikan ini mengarah pada jumlah yang tidak terbatas, mengingat

kegiatan pembangunan yang merupakan faktor pendorong dari permintaan ikan

berlangsung secara terus menerus. Sementara disisi lain, permintaan ikan tersebut

dipenuhi dari sumberdaya ikan yang jumlahnya di alam memang terbatas.Kecendrungan

meningkatnya permintaan ikan telah membuka peluang berkembang pesatnya industri

perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Hanya sayangnya,

perkembangan industri perikanan ini lebih banyak dilandasi oleh pertimbangan teknologi

dan ekonomi, dan sekaligus mengabaikan pertimbangan lainnya seperti lingkungan,

social budaya serta kelestarian sumberdaya perikanan. Akibatnya, jaminan usaha

perikanan yang berkelanjutan menjadi tanda tanya, disamping upaya meningkatkan

kesejahteraan nelayan menjadi semakin jauh. Kondisi perekonomian Indonesia yang

sebagian besarnya berupa hasil dari kelautan, harus mampu mempersiapkan segala
sesuatunya untuk mengahadapi kondisi perekonomian Indonesia khususnya dalam bidang

hasil kelautan agar tidak tergiling oleh hasil kelautan dari negara-negara tetangga yang

juga menghasilkan pangan.

Perikanan di Indonesia saat ini diarahkan pada perkembangan Budidaya Ikan

Konsumsi, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, semakin berkurangnya populasi

ikan di wilayah perikanan tangkap, wilyah penangkapan yang tercemar limbah, kondisi

cuaca yang tidak jelas, harga bahan operasional penangkapan yang semakin mahal dan

permintaan ikan konsumsi yang semakin banyak, baik itu ikan air laut maupun ikan air

tawar. Perkembangan Budidaya Ikan Komsumsi juga semakin diminati oleh sebagian

besar masyarakat di Indonesia dari masyarakat pesisir pantai ataupun masyarakat yang di

daerah rawah atau daerah pertanian, hal ini karena sistem budidaya ikan konsumsi yang

lebih mudah, lebih efisien dan permintaan pasar yang lebih besar akan Ikan Konsumsi

dalam waktu tertentu.

Dalam kerangka pembangunan nasional, maka peningkatan kontribusi perikanan

harus diupayakan secara berhati-hati, agar tidak menimbulkan dampak negative dimasa

yang akan datang. Disinilah peranan pengelolaan potensi perikanan menjadi sangat

strategis. Disisi lain, disadari juga bahwa pertumbuhan penduduk dunia dan pertumbuhan

ekonomi beberapa negara di dunia, telah mendorong meningkatnya permintaan bahan

makanan termasuk didalamnya ikan. Dengan besarnya potensi perikanan yang dimiliki

Indonesia tentunya dapat lebih meningkatkan pembangunan nasional.

Dalam meningkatkan sumber daya perikanan indonesia tentunya dimulai dari

peningkatan dari daerah – daerah, seperti daerah kutai kartanegara provinsi Kalimantan

Timur yang dimana terdapat Peraturan Daerah tentang usaha perikanan. Dalam PERDA

NO. 15 tahun 2011 tentang usaha perikanan yang berlaku di kabupaten kutai kartanegara
tepatnya pada pasal 3 poin a disebutkan “ meningkatkan taraf hidup nelaya kecil dan

pembudidaya ikan kecil “. Namun pada realitasnya masih sangat banyak para nelayan

kecil maupun pembudidaya ikan kecil yang taraf kehidupannya masih berada di bawah

garis kemiskinan karena belum mendapatkan dampak positif dari implementasi peraturan

daerah tersebut.

Salah satu bukti adalah sulitnya para nelayan kecil untuk mendapatkan bahan

bakar minyak (BBM) berupa solar yang kian hari kian sulit didapat oleh para nelayan

kecil. Misalnya di daerah kecamatan samboja yang mengeluhkan sulitnya untuk

mendapatkan solar untuk bahan bakar dikarenakan pemasokan yang terbatas yang tidak

sebanding dengan banyaknya jumlah nelayan kecil yang berada di daerah tersebut. Tidak

hanya di kecamatan samboja, nelayan di desa muara Pantuan, desa muara elo, desa

sungai banjar, dan desa Sepatin kecamatan Anggana juga mengeluhkan sulitnya untuk

mendapat bahan bakar berupa solar. Padahal bahan bakar berupa solar ini sangat

dibutuhkan sekitar 500 lebih nelayan di daerah tersebut. Hal ini dikarenakan tidak adanya

SPBU di daerah tersebut dan hanya mengandalkan solar sisa kapal – kapal yang

beroperasi didekat wilayah tersebut.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana implementasi Peraturan Daerah No. 15 tahun 2011 tentang usaha

perikanan di kabupaten kutai kartanegara?

2. Apa saja kendala pemerintah daerah dalam implementasi Peraturan Daerah No. 15

tahun 2011 tentang usaha perikanan di kabupaten kutai kartanegara?

C. Tujuan penelitian
1. Untuk mengeahui proses implementasi Peraturan Daerah No. 15 tahun 2011 tentang

usaha perikanan di kabupaten kutai kartanegara.

2. Untuk mengetahui apa saja kendala dalam implementasi Peraturan Daerah No. 15

tahun 2011 tentang usaha perikanan di kabupaten kutai kartanegara.

D. Manfaat penelitian

1. Sebagai bahan informasi bagi pihak yang berkepentingan terutama dalam hal ini adalah

Kepala dinas kelautan dan perikanan kabupaten kutai kartanegara.

2. Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti selanjutnya yang mempunyai relevansi dengan

peneliti ini.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. implementasi

1. Konsep implementasi

Menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier (1979) sebagaiamana dikutip

dalam buku Solihin Abdul Wahab (2008: 65), mengatakan bahwa, yaitu:

“Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program

dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi

kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah

disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-

usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata

pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

Dari pandangan kedua ahli diatas dapat dikatakan bahwa suatu proses

implementasi kebijaksanaan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku

badan- badan adminstratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan suatu program

yang telah ditetapkan serta menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran,

melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan poltik, ekonomi, dan social

yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi segala pihak yang

terlibat, sekalipun dalam hal ini dampak yang diharapkan ataupun yang tidak

diharapakan.
Van Meter dan Van Horn (Budi Winarno, 2002;102) membatasi implementasi

kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan individu-individu (kelompok-

kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan

yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya.

Micahel Howlet dan M. Ramesh (1995;11 dalam buku Subarsono (2006;13),

bahwa:

“implementasi kebijakan adalah proses untuk melakukan kebijakan supaya mencapai

hasil.”

Dari defenisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan terdiri dari

tujuan atau sasaran kebijakan, aktivitas, atau kegiatan pencapaian tujuan, dari hasil

kegiatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses yang

dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga

pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran

kebijakan dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu : tercapai

atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.

Meter dan Horn (subarsono;2006;99) mengemukakan bahwa terdapat enam

variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni;

a. Standar dan sasaran kebijakan, di mana standar dan sasaran kebijakan harus jelas

dan terukur sehingga dapat direalisir apabila standar dan sasaran kebijakan kabur,

b. Sumberdaya, dimana implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya, baik

sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia.


c. Hubungan antar organisasi, yaitu dalam benyak program, implementor sebuah

program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain, sehingga diperlukan

koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

d. Karakteristik agen pelaksana yaitu mencakup stuktur birokrasi, norma-norma dan

pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi yang semuanya itu akan

mempengaruhi implementasi suatu program.

e. Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variable ini mencakup sumberdaya ekonomi

lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi.

2. Teori implementasi

Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2004:70) mengemukakan

bahwa ”implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”. Pengertian

implementasi sebagai aktivitas yang saling menyesuaikan juga dikemukakan oleh

Mclaughin (dalam Nurdin dan Usman, 2004). Adapun Schubert (dalam Nurdin dan

Usman, 2002:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah sistem rekayasa.”

Subarsono (2008;89), mengemukakan beberapa teori dari beberapa ahli mengenai

implementasi kebijakan, yaitu:

a. Teori George C. Edward

dalam pandangan Edward III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat

variable, yaitu :

1. Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar

implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang menjadi tujuan
dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target

group), sehingga akan mengurangi distorsi imlpementasi.

2. Sumberdaya, dimana meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan secara

jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya

untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan

3. berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia,

misalnya kompetensi implementor dan sumber daya financial. c). Disposisi,

adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor. Apabila

implementor memiliki disposisi yang baik, maka implementor tersebut dapat

menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat

kebijakan. Edward III (1980;98) menyatakan bahwa sikap dari pelaksana

kadangkala menyebabkan masalah apabila sikap atau cara pandangnya berbeda

dengan pembuat kebijakan. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi

dapat mempertimbangkan atau memperhatikan aspek penempatan pegawai

(pelaksana) dan insentif.

b. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatlier

Teori ini berpendapat bahwa terdapat tiga kelompok variable yang

mempengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu Karakteristik masalah (tractability

of the problems)

1. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan dimana di satu pihak

terdapat beberapa masalah social yang secara teknis mudah dipecahkan, seperti

kekurangan persediaan air bersih bagi penduduk.


2. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran. Hal ini berarti bahwa suatu

program akan relative mudah diimplementasikan apabila kelompok sasarannya

adalah homogen, karena tingkat pemahaman kelompok sasaran relative sama.

3. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi, dimana sebuah program akan

relative sulit diimplementasikan apabila sasarannya mencakup semua populasi

dan sebaliknya sebuah program relatif mudah diimplementasikan apabila jumlah

kelompok sasarannya tidak terlalu besar

4. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan dimana sebuah program yang

bertujuan memberikan pengetahuan atau bersifat kognitif akan relative mudah

diimplementasikan dibanding program yang bertujuan untuk mengubah sikap dan

perilaku masyarakat.

Dari defenisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan terdiri

dari tujuan atau sasaran kebijakan, aktivitas, atau kegiatan pencapaian tujuan, dari

hasil kegiatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu

proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau

kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan

tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan

dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu

tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.

Dalam arti yang sesungguhnya implementasi sebuah kebijakan adalah titik

terakhir dimana apakah kebijakan tersebut berhasil diterapkan atau tidak. Tahap

pengimplementasian dapat dideskripsikan sebagai suatu kebijakan sebagai ouput

yang menjadi suatu jawaban dari permasalahan-permasalahan yang dialami oleh

masyarakat. Dalam hal ini pembuat kebijakan harus melihat serta melakukan kontrol
agar kebijakan yang dibuat benar-benar bisa berjalan dengan baik sesuai dengan apa

yang diharapkan

B. peraturan daerah (PERDA)

Sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan Daerah

(Peraturan daerah) adalah “peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah”.

Definisi lain tentang Peraturan daerah berdasarkan ketentuan Undang- Undang tentang

Pemerintah Daerah adalah “peraturan perundang undangan yang dibentuk bersama oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di Propinsi maupun di

Kabupaten/Kota”. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang.

Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Peraturan daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan

otonomi daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran

lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri

khas masingmasing daerah.

Sesuai ketentuan Pasal 12 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, materi muatan Peraturan daerah adalah seluruh materi

muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan
menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi.

Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),

Gubernur atau Bupati/Walikota. Apabila dalam satu kali masa sidang Gubernur atau

Bupati/Walikota dan DPRD menyampaikan rancangan Peraturan daerah dengan materi yang

sama, maka yang dibahas adalah rancangan. Peraturan daerah yang disampaikan oleh DPRD,

sedangkan rancangan Peraturan daerah yang disampaikan oleh Gubernur atau

Bupati/Walikota dipergunakan sebagai bahan persandingan. Program penyusunan Peraturan

daerah dilakukan dalam satu Program Legislasi Daerah[7], sehingga diharapkan tidak terjadi

tumpang tindih dalam penyiapan satu materi Peraturan daerah. Ada berbagai jenis Peraturan

daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kota dan Propinsi antara lain:

1. Pajak Daerah;

2. Retribusi Daerah;

3. Tata Ruang Wilayah Daerah;

4. APBD;

5. Rencana Program Jangka

6. Menengah Daerah;

7. Perangkat Daerah;

8. Pemerintahan Desa;

9. Pengaturan umum lainnya.

Peraturan daerah. Penyampaian rancangan Peraturan daerah dilakukan dalam jangka waktu

paling lama 7 hari, terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Rancangan Peraturan daerah

ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota paling lama 30 hari sejak rancangan tersebut
disetujui bersama (Pasal 144 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah).

1. Dasar konstitusional peraturan daerah

Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menetapkan, ‘Pemerintahan daerah berhak

menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi

dan tugas pembantuan.’ Peraturan daerah adalah aturan daerah dalam arti materiil

(Peraturan daerah.in.materieele zin)..Peraturan daerah.mengikat (legally binding) warga

dan penduduk daerah otonom. Regulasi Peraturan daerah merupakan bagian dari kegiatan

legislasi lokal dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang berkaitan

dengan otonomi daerah dan tugas pembantuan.

2. Prosedur Pembentukan Peraturan Daerah

Peraturan Daerah merupakan produk legislasi pemerintahan daerah, yakni Kepala

Daerah dan DPRD. Sesuai Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Peraturan daerah merupakan hak

legislasi konstitusional Pemda dan DPRD.

Rancangan Peraturan daerah dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/

Walikota (Pasal 140 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).

Rancangan Peraturan daerah harus mendapat persetujuan bersama DPRD dan Gubernur

atau Bupati/Walikota. Tanpa persetujuan bersama, rancangan Peraturan daerah tidak

dibahas lebih lanjut.

Rancangan Peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan

Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur atau

Bupati/Walikota untuk ditetapkan sebagai


Dalam hal rancangan Peraturan daerah tidak ditetapkan Gubernur atau

Bupati/Walikota dalam waktu paling lama 30 hari maka rancangan Peraturan daerah

tersebut sah menjadi Peraturan daerah dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam

Lembaran Daerah. Dalam hal keabsahan rancangan Peraturan daerah dimaksud, rumusan

kalimat pengesahannya berbunyi ‘Peraturan daerah dinyatakan sah’, dengan

mencantumkan tanggal sahnya (Pasal 144 ayat (4), (5) UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah).

Peraturan daerah disampaikan kepada pemerintah pusat paling lama 7 hari setelah

ditetapkan (Pasal 145 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)

3. Materi Muatan Peraturan Daerah

Peraturan daerah tidak boleh meregulasi hal ikhwal yang menyimpang dari prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Betapapun luasnya cakupan otonomi daerah,

otonomi daerah tidak boleh meretak-retakkan bingkai Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Sebaliknya pemerintah pusat tidak boleh membatasi, apalagi menegasi

kewenangan otonomi daerah. Peraturan daerah tidak boleh memuat hal urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, seperti halnya:

1. politik luar negeri;

2. pertahanan;

3. keamanan;

4. yustisi;

5. moneter dan fiskal nasional; dan;

6. agama
Dalam pada itu, peraturan daerah mengatur semua urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangan pemerintahan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi

daerah dan tugas pembantuan. materi muatan peraturan daerah mengandung asas:

a. pengayoman;

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan;

f. bhineka tunggal ika;

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan

Peraturan daerah dapat memuat asas lain sesuai dengan substansi peraturan daerah

yang bersangkutan. Peraturan daerah dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan
4. Beberapa Asas Pembentukan Peraturan Daerah.

Di kala pembentukan peraturan daerah beberapa asas kiranya perlu diperhatikan,

berikut ini:

a. Muatan peraturan daerah mengcover hal ikhwal kekinian dan visioner ke depan (asas

positivisme dan perspektif);

b. Memperhatikan asas “lex specialis derogat legi generalis” (debijzondere wet gaat voor

de algemene wet), yakni ketentuan yang bersifat khusus menyampingkan ketentuan yang

bersifat umum.

c. Memperhatikan asas “lex superior derogat legi inferiori (de hogere wet gaat voor de

lagere wet), yakni ketentuan yang lebih tinggi derajatnya menyampingkan ketentuan

yang lebih rendah.

d. Memperhatikan asas “lex posterior derogate legi priori” (de laterewet gaat voor de

eerdere), yakni ketentuan yang kemudian menyampingkan ketentuan terdahulu.

C. Usaha perikanan

Perikanan adalah kegiatan manusia yang berhubungan dengan pengelolaan dan

pemanfaatan sumberdaya hayati perairan. Sumberdaya hayati perairan tidak dibatasi

secara tegas dan pada umumnya mencakup ikan, amfibi, dan berbagai avertebrata

penghuni perairan dan wilayah yang berdekatan, serta lingkungannya. Di Indonesia,

menurut UU RI No. 31/2004, sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 45/2009,

kegiatan yang termasuk dalam perikanan dimulai dari praproduksi, produksi, pengolahan

sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.[1]

Dengan demikian, perikanan dapat dianggap merupakan usaha agribisnis.


Di Indonesia sebenarnya pemanfaatan sumber daya alam di daratan sudah hampir

mencapai 80% mungkin lebih. Tetapi ternyata untuk sumber daya perairan Indonesia

masih belum optimal pemanfaatannya yaitu sekitar 30% saja. Hal ini membuktikan

bahwa dunia perikanan Indonesia masih besar potensinya untuk dikembangkan bahkan

Indonesia sendiri bisa menjadi negara maju dengan dunia perikanan ini.

Umumnya, perikanan dimaksudkan untuk kepentingan penyediaan pangan bagi

manusia. Selain itu, tujuan lain dari perikanan meliputi olahraga, rekreasi (pemancingan

ikan), dan mungkin juga untuk tujuan membuat perhiasan atau mengambil minyak ikan.

Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk

menangkap atau membudidayakan (usaha penetasan, pembibitan, pembesaran) ikan,

termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan, pengeringan, atau mengawetkan ikan

dengan tujuan untuk menciptakan nilai tambah ekonomi bagi pelaku usaha

(komersial/bisnis).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor

31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dikenal beberapa jenis delik perikanan, diatur dalam

pasal 86 sampai pasal 101. adapun delik perikanan ini terbagi atas, delik pencemaran,

pengrusakan sumberdaya ikan serta penangkapan ikan dengan menggunakan bahan

peledak, delik pengelolaan sumberdaya ikan dan delik usaha perikanan tanpa izin. Dalam

tulisan ini penulis akan mengkaji delik pencemaran, pengerusakan sumberdaya ikan serta

penangkapan ikan dengan menggunakan bahan terlarang.


Ketentuan mengenai delik ini diatur dalam pasal 84 sampai pasal 87. Pada pasal 84 ayat

(1) rumusannya sebagai berikut:

Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia

melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan

kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat/dan atau cara, dan/atau bangunan yang dapat

merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya

sebagaimana di maksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling

lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,00 (satu miliar dua

ratus juta rupiah).

Ketentuan Pasal 8 ayat (1) undang-undang perikanan yang dimaksudkan adalah larangan

bagi setiap orang atau badan hukum untuk melakukan kegiatan penangkapan dan

pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia dan sejenisnya yang dapat

membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya.

Pada pasal 84 juga ditujukan kepada nahkoda atau pemimpin kapal, ahli

penangkapan ikan, dan anak buah kapal hal ini diatur dalam ayat 2. pemilik kapal

perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggungjawab perusahaan perikanan,

dan/atau operator kapal perikanan, hal ini diatur dalam ayat 3. sedangkan pemilik

perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan,

dan/atau penanggungjawab perusahaan pembudidayaan ikan, diatur dalam ayat 4. Hal ini

semua ditujukan bilamana dilakukan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.

Pengelolaan sumberdaya perikanan umumnya didasarkan pada konsep “hasil

maksimum yang lestari” (Maximum Sustainable Yield) atau juga disebut dengan

“MSY”. Konsep MSY berangkat dari model pertumbuhan biologis yang dikembangkan

oleh seorang ahli Biologi bernama Schaefer pada tahun 1957. Inti dari konsep ini adalah
menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara

maksimum dalam waktu yang panjang. Pendekatan konsep ini berangkat dari dinamika

suatu stok ikan yang dipengaruhi oleh 4 (empat) factor utama, yaitu rekrutment,

pertumbuhan, mortalitas dan hasil tangkapan. Pengelolaan sumberdaya ikan seperti ini

lebih berorientasi pada sumberdaya (resource oriented) yang lebih ditujukan untuk

melestarikan sumberdaya dan memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat

dihasilkan dari sumberdaya tersebut. Dengan kata lain, pengelolaan seperti ini belum

berorientasi pada perikanan secara keseluruhan (fisheries oriented), apalagi berorientasi

pada manusia (social oriented).

Pengelolaan sumberdaya ikan dengan menggunakan pendekatan “Maximum

Sustainable Yield” telah mendapat tantangan cukup keras, terutama dari para ahli

ekonomi yang berpendapat bahwa pencapaian“yield” yang maksimum pada dasarnya

tidak mempunyai arti secara ekonomi. Hal ini berangkat dari adanya

masalah “diminishing return” yang menunjukkan bahwa kenaikan “yield” akan

berlangsung semakin lambat dengan adanya penambahan “effort” (Lawson,

1984). Pemikiran dengan memasukan unsur ekonomi didalam pengelolaan sumberdaya

ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan “Maximum Economic

Yield” atau lebih popular dengan “MEY”.Pendekatan ini pada intinya adalah mencari

titik yield dan effort yang mampu menghasilkan selisih maksimum antara total revenue

dan total cost.

Selanjutnya, hasil kompromi dari kedua pendekatan diatas kemudian melahirkan

konsep “Optimum Sustainable Yield” (OSY), sebagaimana dikemukakan oleh

Cunningham, Dunn dan Whitmarsh (1985).Secara umum konsep ini dimodifikasi dari

konsep “MSY”, sehingga menjadi relevan baik dilihat dari sisi ekonomi, social,
lingkungan dan factor lainnya.Dengan demikian, besaran dari “OSY” adalah lebih kecil

dari “MSY” dan besaran dari konsep inilah yang kemudian dikenal dengan “Total

Allowable Catch”(TAC).

Penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara,

dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber

daya ikan dan lingkungannya yang tidak saja mematikan ikan secara langsung, tetapi

dapat pula membahayakan kesehatan manusia dan merugikan nelayan serta pembudi

daya ikan. Apabila terjadi kerusakan sebagai akibat penggunaan bahan dan alat yang

dimaksud, pengembalian keadaan semula akan membutuhkan waktu yang lama, bahkan

mungkin mengakibatkan kepunahan.

Kemudian pada Pasal 85 yang diubah dal;am UU No. 45 Tahun 2009, menyebutkan:

Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau

menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang

mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di

wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling

banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Ketentuan dalam pasal 9 mengatur tentang penggunaan alat penangkap ikan yang

tidak sesuai dan yang sesuai dengan syarat atau standar yang di tetapkan untuk tipe alat

tertentu oleh negara termasuk juga didalamnya alat penangkapan ikan yang dilarang oleh

negara.

Pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan

ikan diperlukan untuk menghindari adanya penangkapan ikan dengan menggunakan


peralatan yang dapat merugikan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Hal itu

dilakukan mengingat wilayah pengelolaan perikanan Indonesia sangat rentan terhadap

penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ciri khas alam, serta

kenyataan terdapatnya berbagai jenis sumber daya ikan di Indonesia yang sangat

bervariasi, menghindari tertangkapnya jenis ikan yang bukan menjadi target

penangkapan.

Memahami aspek ekonomi perikanan tidaklah lengkap tanpa memahami terlebih

dahulu apa yang dimaksud dengan perikanan dari berbagai perspektif. Kegiatan

menangkap ikan dan membudi dayakan ikan telah berlangsung ribuan, bahkan puluhan

ribu tahun yang lalu. Dengan demikian kegiatan perikanan merupakan proses

pembelajaran kolektif dalam kurun waktu yang cukup lama tersebut. Oleh karenanya

dalam memahami konsep perikanan, berbagai perspektif ini harus dikaji terlebih dahulu

sehingga kita tidak terpaku pada pengertian sesaat yang mungkin berlaku pada konteks

ruang dan waktu yang berbeda.Perikanan memegang peranan sangat penting dalam

peradaban manusia dari zaman prasejarah hingga zaman modern. Lalu apa sebenarnya

perikanan itu sendiri? lstilah perikanan atau fishery memang bisa membingungkan karena

banyaknya definisi yang digunakan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solichin (2008). Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi Ke. Implementasi

Kebijaksanaan Negara. Edisi Kedua. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Budi Winarno, Kebijakan Publik : Teori dan Proses Edisi Revisi, Media Presindo. Yogyakarta.

AG. Subarsono. 2006. Analisis Kebijakan Publik: Konsep Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar

Usman, Nurdin. (2004). Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum.Jakarta:PT. Raja Grafindo

Persada.

awsassets.panda.org/downloads/wwf_msy_oct2011_final.pdf

Daftar undang-undang :

Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang.

Pemerintahan Daerah (UU Pemda)

Pasal – pasal :

Pasal 140 ayat (1) UU No.

Pasal 144 ayat (4), (5)

(Pasal 145 ayat (1)


UU RI No. 45/2009

UU RI No. 31/2004

Pasal 18 ayat (6) UUD 1945

Pasal 18 ayat (6) UUD 1945

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009

31 Tahun 2004 tentang Perikanan

pasal 84

pasal 87 Pada pasal 84 ayat

Pasal 85

Anda mungkin juga menyukai