Semenjak runtunya rezim orde baru 1998, menyebabkan banyak bermunculan lembaga atau organisasi
masyarakat sipil (LSM) di Indonesia tumbuh secara cepat dan intens. Hal ini didasari oleh semangat demokrasi
global dengan kebebasan dasar berekspresi dan berasosiasi ditegakkan. Masyarakat sipil merasa perlu ikut
berpartisipasi, menetapkan haknya, ikut dalam mekanisme dan lembaga pemerintahan, ikut terlibat dalam proses
perumusan kebijakan, dan demi menjaga akuntabilitas. Kalau sebelum 1998 kita hanya mengenal organisasi
buruh dan serikat petani yang dalam proses geraknya selalu dikontrol dan diawasi pemerintah, namun sekarang
kita menyaksikan puluhan bahkan ribuan organisasi masyarakat sipil di Indonesia, mulai dari organisasi
keagamaan, berbasis massa keanggotaan organisasi, serikat pekerja, organisasi berbasis etnis, organisasi
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, asosiasi profesi dan bahkan organisasi yang berafiliasi dengan partai
politik.
Tidak bisa lepas dari perjalan sejarah selama 3 dekade lebih pada masa rezim orde baru, bahwa dahulu lembaga
swadaya masyarakat (LSM) hanya sebagai alat kendali pemerintah, namun di masa reformasi masa ini LSM
dituntut harus bisa memagang peran penting dan berkonstribusi demokratis dalam proses reformasi tersebut.
Dengan cara memiliki strategi dalam menghadapi tantangan baru ke depan.
LSM sebenarnya mulai dikenal sejak tahun 1970 pada jaman pemerintahan Soeharto. Walaupun perkembangan
ekonomi indonesia mencapai 8% per tahun, namun ruang partisipasi LSM sangatlah kurang. Sehingga tidak
heran ketika pertumbuhan ekonomi, masih banyak dan berkembangnya masyrakat miskin di Indonesia. Hal ini
disebabkan sedikitnya untuk ruang publik ikut berpartisipasi dalam pembangunan, dan kegiatan soial-ekonomi.
LSM hanya dijadikan sebagai penyedia komplementer atau sebagai agen program pemerintah yang tidak bisa
mencapai strata terendah masyarakat. Yang program dan kegiatannya mencakup pelayanan kesehatan, gizi,
sanitasi air bersih, keluarga berencana, pendidikan non formal, teknologi terapan, kredit mikro, usaha kecil,
usaha sektor informal bersama, koperasi, dan lain-lain.
Pada awal tahun 1980-an LSM banyak pengaruh oleh isu internasioanl dan keadaan nasional, maka tema yang
diusung disini lebih ke demokratisasi. Pemerintahan soeharto pada waktu itu juga menyadari bahwa ternyata
kedudukan LSM sangat penting bagi pembangunan, karena negara saja tidak bisa menanggung seluruh biaya
pembangunan dan karena itu diperlukan partisipasi masyarakat. Namun tetap saja LSM disini dibentuk hanya
sebagai instrumen dan dominasi pemerintah serta belum menujukan adanya “pertumbuhan demokrasi”.
Menjelang akhir tahun 1980-an munculah civil society yang berafiliasi dengan partai politik, petani, buruh,
perempuan, pelaut, pejabat dan kelompok lainnya, semua efektif dikendalikan oleh pemerintah. Cili society ini
dipangkas dan hanya sebagai miniatur pemerintah dan bisa disebut sebagai “bonsaifikasi”. Jumlah partai politik
hanya terbatas tiga saja. Namun yang paling menonojol pada saat itu ada LSM yang berbasis asa Islam, karena
tidak terpengaruh oleh isu-isu politik dan pemimpin yang terampil serta keanggotaannya yang jelas.
Pada pemerintahan Soeharto LSM tidak memilki peran politik, namun di ruang terbatas LSM aktif dalam hak
asasi manusia serta perlindungan dan pelestarian lingkungan. Pada tahun 1990-an baru LSM lebih
mengadvokasikan dirinya kepada kepentingan politik, walaupun sempat bergesekkan dengan aktivis-aktivis
politik. Namun dalam perkembangannya LSM inilah awal yang memkasa Soeharto mengundurkan diri. LSM
mengadakan dan membentuk gerakan pro-demokrasi. LSM di sini mempunyai gerak politik yang lebih kuat
dibandingkan pada tahun 1980-an.
Jatuhnya rezim Soeharto dan proses demokratisasi berikutnya di Indonesia menyebabkan munculnya wacana
tata pemerintahan yang baik, akuntabilitas dan transparansi lembaga publik. LSM di sini bisa disebut sebagai
“organisasi pengawas” pemerintah. Masyarakat Indonesia mengakui berbagai organisasi seperti Indonesian
Corruption Watch (ICW), DRP-Watch, Goverment Watch (GOWA), Police Watch (PolWatch), dan Budget
Watch (FITRA).
Untuk terlebit dan lebih efektif LSM tidak hanya mempromosikan kebijakan publik, namun membentuk koalisi
dengan memeberikan adavokasi untuk mengubah, mempengaruhi dan / atau rancangan undang-undang baru.
Contoh koalisi tersebut Koalisi LSM untuk Yayasan Hukum, Koalisi LSM untuk Kebebasan Informasi Publik
Hukum, Koalisi LSM untuk Konstitusi Baru, dan Koalisi LSM untuk RUU Hukum Pembuatan Partisipatif.
Selama bertahun-tahun, semua bentuk yayasan hanyalah didasarkan pada norma-norma sosial dan yurisprudensi
Mahkamah Agung. Bentuk yayasan yang sebenarnya berasal dari perjanjian dan aspirasi pendiri saja dan
kemudian berkembang menjadi praktek hukum.Tujuan dan kesepakatan untuk mendirikan yayasan yang
kemudian disahkan oleh tindakan notaris, terdaftar di kabupaten pengadilan dan diumumkan dalam Berita
Negara.
Biasanya tujuan yayasan adalah keagamaan, pendidikan, sosial dan lingkungan hidup. Namun dalam prakteknya
yayasan digunakan untuk mencari laba atau keuntungan serta pencucian uang dilakukan oleh oknum pribadi
pemilik. Hal ini banyak terjadi ketika era Soeharto. Di sini yayasan dimanfaatkan untuk memperoleh
sumbangan dari konglomerat, melindungi bisnis, mengumpulkan dana publik untuk kepentingan pendiri
mereka. Namun semenjak jatuhnya rezim Soeharto dan Respon dari IMF maka di awal reformasi pemerintah
Indonesia mengajukan rancangan undang-undang yayasan ke DPR pada tahun 2000, disahkan sebagai UU
16/2001.
Tujuan dasar UU baru 16/2001 adalah untuk mempromosikan transparansi dan akuntabilitas dalam yayasan
pemerintahan. Namun dalam prakteknya tetap saja tidak sejalan dengan maksud dan tujuan yang ditetapkan
dalam Anggaran Dasar, yayasan telah digunakan untuk menampung kekayaan secara ilegal. Namun harus diakui
juga bahwa hukum ini dapat dianggap sebagai sebuah terobosan penting untuk pemerintahan yang baik dari
sektor nirlaba di Indonesia, karena memberikan jaminan dan kepastian hukum, serta dipulihkan yayasan yang
berfungsi sebagai lembaga nirlaba yang bergerak di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
Dengan berlakunya UU No 16/2001 sejumlah LSM, khususnya organisasi yang aktif dalam gerakan sosial dan
memiliki basis luas mempertimbangkan kembali status hukum mereka, yaitu, apakah akan tetap yayasan atau
menjadi sebuah Perkumpulan.
Namun, pemerintah masih memiliki kesulitan dalam mengembangkan kemitraan yang efektif dengan LSM. Hal
ini terutama karena fakta bahwa pertumbuhan yang cepat dari LSM belum disertai dengan pembentukan payung
organisasi untuk mewakili kepentingan LSM dengan pemerintah. LSM cenderung hanya berpikir untuk
keuntungan mereka sendiri. Hal ini tidak terlepas dari romantisme dan nostalgia pada zaman Soeharto.
Program ini akhirnya berhasil merumuskan kode etik tertulis. yang ditandatangani oleh 252 LSM dari delapan
provinsi, berisi hal yang berkaitan dengan integritas, akuntabilitas dan transparansi, independensi, anti-
kekerasan, kesetaraan gender, dan manajemen keuangan, termasuk akuntabilitas kepada pihak eksternal seperti
penerima manfaat, pemerintah, donor, LSM lain dan masyarakat luas.
Gugus tugas telah merumuskan visi program (“pembentukan proses demokratis, bertanggung jawab, transparan,
berkelanjutan, LSM yang dapat dipercaya dan didukung oleh masyarakat “) dan pernyataan misi (“untuk
membantu LSM menjadi lebih etis dan bertanggung jawab, untuk mencapai tingkat kinerja yang baik,
mendapatkan akses lebih baik terhadap sumber daya dan diterima secara luas oleh masyarakat “). Gugus tugas
saat ini (2005) melakukan serangkaian kegiatan, yang mencakup pembentukan instrumen yang solid, prosedur
dan standar sertifikasi; kampanye publik untuk sertifikasi LSM, pembentukan Badan Sertifikasi LSM;
kampanye advokasi untuk reformasi hukum pajak dan hukum untuk sektor nirlaba, dan program yang dirancang
untuk LSM pembangunan kapasitas dan pelaksanaan berbagai jenis teknis bantuan yang diperlukan.